Anda di halaman 1dari 22

ANEMIA DALAM KEHAMILAN DAN INFEKSI PERKEMIHAN YANG

SERING TERJADI SAAT KEHAMILAN

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Kehamilan
Dosen Pembimbing : Titi Legiati P, SST., M.Kes

DisusunOleh:

Kelompok 6 Tingkat 2B
Agnia Oktavia P17324118019
Salsabila Aufa Nuraini P17324118039
Selvy Dwi Wahyuni P17324118005
Siti Munawaroh P17324118045

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANDUNG


PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-Nya kami masih diberikan
kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah mengenai “Anemia dalam
kehamilan dan infeksi perkemihan yang sering terjadi saat kehamilan”.
Kami mengucapkan terimakasih kepada keluarga yang telah memberikan doa
agar proses pembelajaran dan penyusunan makalah berjalan lancar, dosen pembimbing
yaitu Ibu Titi Legiati P. SST., M.Kes yang banyak memberikan dukungan berupa materi,
serta teman teman yang ikut terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi
kesempurnaannya.

Bandung, Agustus 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3
BAB I KAJIAN PUSTAKA................................................................................................. 4
A. Anemia Dalam Kehamilan ................................................................................. 4
1. Pengertian Anemia dalam Kehamilan ........................................................... 4
2. Macam-Macam Anemia dalam Kehamilan ................................................... 6
3. Gejala Anemia dalam Kehamilan .................................................................. 8
4. Faktor yang Mempengaruhi Anemia dalam Kehamilan ................................ 8
5. Dampak Anemia dalam Kehamilan ............................................................... 9
B. Infeksi Perkemihan Yang Sering Terjadi Saat Kehamilan ............................... 10
1. Pengertian Infeksi Saluran Kemih ............................................................... 10
2. Infeksi Saluran Kemih pada Ibu Hamil ........................................................ 11
3. Faktor – factor yang dapat mempengaruhi ................................................. 12
4. Macam – Macam Infeksi Saluran Kemih .................................................... 14
5. Patofisiologi ................................................................................................. 14
6. Diagnosis .................................................................................................... 15
7. Pengobatan ................................................................................................. 16
8. Pencegahan ................................................................................................ 17
9. Komplikasi ................................................................................................... 17
BAB II PENUTUP ............................................................................................................ 20
A. Simpulan .......................................................................................................... 20
B. Saran................................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 22

3
BAB I
KAJIAN PUSTAKA

A. Anemia Dalam Kehamilan


1. Pengertian Anemia dalam Kehamilan
Anemia merupakan suatu keadaan dimana masa eritrosit dan/ masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen
bagi jaringan tubuh. Secara laboratoris anemia dijabarkan sebagai kadar
hemoglobin serta eritrosit dan hematokrit yang di bawah normal. (Handayani dan
haribowo, 2008)
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di
bawah 11 gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar<10,5 gr% pada trimester 2.
Anemia terjadi dalam kehamilan, karena dalam kehamilan keperluan zat-zat
makanan bertambah dan terjadi perubahan – perubahan dalam darah dan
sumsum tulang. Darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut
hidremia atau hipervolemia. Namun bertambahnya sel-sel darah masih termasuk
kurang jika dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi
pengenceran darah. Pertambahan itu adalah plasma 30%, sel darah 18%, dan
hemoglobin 19%. Keadaan tersebut disebut sebagai anemia fisiologis atau
pseudoanemia.(Wuryanti, 2010)
Pengenceran darah yang terjadi pada wanita hamil dianggap sebagai
penyesuaian fisiologis bermanfaat karena:
a. Hemodilusi meringankan beban jantung yang harus berkerja lebih berat
dalam kehamilan. Hedremia menyebabkan cardiac out meningkat dan kerja
jantung diperingan bila viskositas darah menjadi rendah, resistensi perifer
berkurang sehingga tekanan darah tidak naik
b. Mengurangi hilangnya zat besi pada waktu terjadinya kehilangan darah paska
persalinan. Bertambahnya volume darah dalam kehamilan dimulai sejak umur
kehamilan 1 0 minggu dan mencapai puncaknya pada kehamilan 32–36
minggu. (Roosleyn, 2016)
Anemia pada ibu hamil disebut “ Potensial danger to mother and child ”
(potensial membahayakan ibu dan anak). Oleh karena itulah anemia memerlukan
perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan.
(Manuaba, 2007)
Sebagian besar penyebab anemiadi Indonesia adalah kekurangan besi
yang berasal darimakanan yang dimakan setiap hari dan diperlukanuntuk
pembentukan hemoglobin sehingga di sebut“anemia kekurangan besi”. Adapun

4
batasan kadar Hemoglobin yang normal menurut WHO adalah sebagai berikut.
(Roosleyn, 2016)

Adapun rata-rata Hb dalam kehamilan tiap trimesternya berbeda-beda


seperti berikut ini.

Secara klinis kriteria anemia di Indonesia umumnya bila didapatkan hasil


pemeriksaan darah kadar Hemoglobin < 10 g/dl, Hemotokrit < 30 % dan Eritrosit <
2,8 juta/mm3. Adapun derajat anemia pada ibu hamil berdasarkan kadar
Hemoglobin menurut WHO sebagai berikut. (Roosleyn, 2016)
a. Ringan sekali bila Hb 10 g/dl – batasnormal,
b. Ringan Hb 8 g/dl - 9,9 g/dl,
c. Sedang Hb 6 g/dl– 7,9 g/dl dan
d. Berat pada Hb < 6 g/dl.

Departemen Kesehatan menetapkan derajat anemia sebagai berikut


a. Ringan sekali bila Hb 11 g/dl – batas normal,
b. Ringan Hb 8 g/dl – 11 g/dl,
c. Sedang Hb 5 g/dl – 8 g/dl,dan
d. Berat Hb < 5 g/dl.

5
Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sahli, dilakukan minimal 2 kaliselama kehamilan yaitu trimester
I dan III. (Roosleyn, 2016)

2. Macam-Macam Anemia dalam Kehamilan


Adapun anemia pada kehamilan yang banyak dijumpai adalah sebagai
berikut.
a. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi Besi merupakan penyebabtersering anemia selama
kehamilan dan masa nifas.Bentuk anemia ini bisa disebabkan oleh kurang
masuknya unsur besi dan makanan, gangguan resorpsi, gangguan
penggunaan atau terlalu banyak zat besi yang keluar dari tubuh contohnya
saat terjadi pendarahan dan lainnya. (Wagiyo & Putrono, 2016)
Kebutuhan besi akan bertambah selama masa kehamilan terutama pada
trimester III dari 12 mg pada wanita tidak hamil menjadi 17 mg pada wanita
hamil. Ciri khas anemia ini adalah normositer,normokrom kadar besi serum
rendah, daya ikat serum tingg, ptotoporfirin eritrosit tinggi, dan tidak
ditemukan hemosiderin (Stainable iron) dalam sumsum tulang belakang.
(Wagiyo & Putrono, 2016)
Anemia jeni sini dapat diobati dengan pemberian zat besi dan pengaturan
diet. Jika tidak ada respon yang cepat terhadap terapi zat besi atau kadar
hemoglobinnya mencapai 8 g, transfusi dengan packed cells dapat diberikan.
(Supriyadi & Johannes, 1994)
Pada gestasi biasa dengan satu janin, kebutuhan ibu terhadap zat besi
rata-rata mendekati 800 mg, dimana sekitar 500 mg untuk ekspansi massa
hemoglobin ibu dan sekitar 300 mg atau lebih keluar melalui usus, urin dan
kulit. (Roosleyn, 2016)
Dengan meningkatnya volume darah yang relatif pesat selama trimester
kedua, maka kekurangan besi sering bermanifestasi sebagai penurunan
tajam konsentrasi hemoglobin. Walaupun pada trimester ketiga laju
peningkatan volume darah tidak terlalu besar, kebutuhan akan besi tetap
meningkat karena peningkatan massa hemoglobin ibu berlanjut dan banyak
besi yang sekarang disalurkan kepada janin. Karena jumlah besi tidak jauh
berbeda dari jumlah yang secara normal dialihkan, neonatus dari ibu dengan
anemia berat tidak menderita anemia defisiensi besi (Arisman, 2007).
b. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan
asam folat, pengobatannya dapat berupa pemberian asam folat 15-50
mg/hari, Vitamin B12 3 X 1 tablet per hari, Sulfas ferosus 3 X 1 tablet per hari

6
dan pada kasus yang sudah berat dan pengobatan per oral hasilnya lamban
dapat diberikan transfusi darah. (Wuryanti, 2010)
c. Anemia akibat pendarahan akut
Pada awal kehamilan, anemia akibat perdarahan sering terjadi pada
kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Perdarahan
masih membutuhkan terapi segera untuk memulihkan dan mempertahankan
perfusi di organ-organ vital walaupun jumlah darah yang diganti umumnya
tidak mengatasi difisit hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas. Secara
umum apabila hipovolemia yang berbahaya telah teratasi dan hemostasis
tercapai, anemia yang tersisa dapat diterapi dengan besi. Terapi besi selama
setidaknya 3 bulan merupakan terapi terbaik dibandingkan dengan transfusi
darah. (Roosleyn, 2016)
d. Anemia akibat penyakit kronik
Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia.
Beberapa di antaranya adalah penyakit ginjal kronik, supurasi, penyakit
peradangan usus (inflammatory bowel disease), lupus eritematosus
sistemetik, infeksi granulomatosa, keganasan, dan arthritis remotoid. Anemia
biasanya semakin berat seiring dengan meningkatnya volume plasma
melebihi ekspansi massa sel darah merah. (Roosleyn, 2016)
e. Anemia hemmolitik
Anemia hemolitik disebabkan penghancuran/ pemecahan sel darah merah
yang lebih cepat dari pembuatannya. Ini dapat disebabkan oleh Faktor intra
kopuskuler yang dijumpai pada anemia hemolitik heriditer, talasemia,
anemia sel sickle (sabit), dan Faktor ekstrakorpuskuler yang disebabkan
malaria, sepsis, keracun zat logam, obat-obatan, leukemia, dan lainnya.
(Roosleyn, 2016)
Wanita dengan anemia hemolitik akan sukar hamil, dan jika hamil akan
mengalami anemia berat. Gejala utama anemia hemolitik adalah anemia
dengan kelainan-kelainan gambaran darah, kelelahan, serta gejala
komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-organ vital. (Wuryanti, 2010)
Pengobatannya bergantung pada jenis anemia hemolitik serta
penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya di berantas dan
diberikan obat-obat penambah darah. Jika tidak, maka dapat dilakukan
transdusi darah secara berulang untuk mengurangi anemia pada ibu dan
hipoksia pada janin. (Roosleyn, 2016)
f. Anemia aplastik atau hipoplastik
Anemia ini merupakan anemia yang disebabkan hipofungsi sumsum
tulang membentuk sel darah merah baru. Walaupun jarang dijumpai pada
kehamilan, anemia aplastik adalah suatu penyulit yang parah. Diagnosis

7
ditegakkan apabila dijumpai anemia, biasanya disertai trombositopenia,
leucopenia, dan sumsum tulang yang sangat hiposeluler. Pada sekitar
sepertiga kasus, anemia ini dipicu oleh obat atau zat kimia lain, infeksi,
radiasi, leukemia, dan gangguan imunologis. . (Roosleyn, 2016)
Setiap ibu hamil perlu mengatur intake makanan sesuai program diit ibu
hamil yang bertujuan dengan memberikan makanan yang dapat mencegah
dan memperbaiki keadaan anemia. Diit yang sesuai untuk ibu hamil yaitu
harus memenuhi syarat energi sesuai kebutuhan secara bertahap sejumlah
2200 kalori + 300-500 kalori/hari, lemak cukup 53 gr/hari, protein tinggi 75
gram/hari + 8-1 2 gr/hari diutamakan protein bermutu tinggi, meningkatkan
konsumsi makanan sumber pembentukan sel darah merah, serta bentuk
makanan dan porsi disesuaikan dengan keadaan kesehatan ibu hamil. .
(Roosleyn, 2016)

3. Gejala Anemia dalam Kehamilan


Penderita anemia biasanya ditandai dengan lemah, letih, lesu, nafas
pendek, muka pucat, susah berkonsentrasi, mengantuk serta rasa lelah yang
berlebihan. Gejala ini terjadi karena otak dan jantung kekurangan distribusi
oksigen dari darah. Denyut jantungnya biasanya cepat untuk mengkompensasi
kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat sehingga kebugaran
darah menurun. (Fatmah, 2010)

4. Faktor yang Mempengaruhi Anemia dalam Kehamilan


a. Usia
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebihdari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil, karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, beresiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. (Bahar, 2006)
b. Paritas
Paritas mempengaruhi kejadian anemia pada kehamilan, semakin sering
seorang wanita hamil dan melahirkan maka risiko mengalami anemia semakin
besar karena kehamilan menguras cadangan zat besi dalam tubuh
(SyakiraHusada, 2008).
c. KEK
Menurut penelitian Wijianto, dkk, ada hubungan yang bermakna antara
resiko KEK dengan kejadian anemia pada ibuhamil. Ibu hamil yang berisiko
kekurangan energy kronis (KEK) berpeluang menderita anemia 2,76 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak beresiko, umur kehamilan trimester III

8
berpeluang 1,92 kali lebih besar dibandingkan trisemester I dan II. (Amini dkk,
2014)
Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energy. Karena itu,
kebutuhan energy dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan.
Peningkatan energy dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, serta
perubahan komposisi dan metabolism tubuh ibu. Karena peningkatan jumlah
konsumsi, makan perlu ditambah terutama konsumsi pangan sumber energy
untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin. Maka kurang mengkonsumsi kalori
akan menyebabkan malnutrisi atau biasa disebut Kurang Energi Kronis
(KEK). (Amini dkk, 2014)
d. Infeksi dan penyakit
Menurut penelitian, orang dengan kadarHb<10 g/dl memiliki kadar sel
darah putih (untuk melawan bakteri) yang rendah pula. Ibu yang sedang hamil
sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya
meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak
berbahaya bagi janin. Diantaranya, dapat mengakibatkan abortus,
pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat
bawaan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak
cairan tubuh serta zat gizi lainnya. (Bahar,2006)
e. Jarak kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu
singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi
sebelumnya. Pada ibu hamil dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi
anemia dalam kehamilan karena cadangan zat besi ibu hamil belum pulih
akhirnya berkurang untuk keperluan janin yang dikandungnya.
f. Pendidikan
Pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pemahaman dan kesadaran
tentang kesehatan seperti anemia dan pemahaman yang memadai akan
berdampak pada kesehatan yang dialaminya. Sehingga dalam memberikan
pengetahuan kepada ibu hamil penting menginformasikan tentang manfaat
pentingnya tablet tambah darah serta bahaya yang akan ditimbulkan jika ibu
tidak mematuhi untuk mengkonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan.
(Yuliatuti, dkk, 2014)

5. Dampak Anemia dalam Kehamilan


Anemia memiliki dampak yang buruk saat masa kehamilan baik untuk ibu
maupun untuk janinnya, adapun dampak anemia saat kehamilan adalah sebagai
berikut.

9
a. Mudah terjadi infeksi
b. Ancaman decompensasicordis atau payah jantung ( hb <6 gr%)
c. Mola hidatidosa (hamil anggur)
d. Hiperemesis gravidarum (mual muntah berlebihan)
e. Pendarahan antepartum (sebelum melahirkan)
f. Ketuban pecah dini (KTD) sebelum proses melahirkan.
Selain hal diatas, dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme
janin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
rahim. Gangguan yang terjadi dapat berbentuk :
a. Abortus
b. Gangguan pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak
c. Terjadi kematian intrauterin(dalam rahim)
d. Persalinan prematur tinggi
e. BBLR
f. Kelahiran dengan anemia
g. Terjadi cacat bawaan
h. Intelegensia rendah (Manuaba, 2007)

B. Infeksi Perkemihan Yang Sering Terjadi Saat Kehamilan


1. Pengertian Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran
kemih (mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra). ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan
mikroorganisme dalam urin. Walaupun terdiri dari berbagai cairan, garam, dan
produk buangan, biasanya urin tidak mengandung bakteri. Jika bakteri menuju
kandung kemih atau ginjal dan berkembang biak dalam urin, terjadilah ISK. Jenis
ISK yang paling umum adalah infeksi kandung kemih yang sering juga disebut
sebagai sistitis.(Wilianti, 2009)
Istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin,
dikatakan bakteriuria yaitu menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni
> 105 colony forming units (cfu/ml) pada biakan urin. Jika bakteriuria
bermakna tanpa disertai dengan manifestasi klinis maka di sebut dengan
konfersi bakteriuria (asimptomatik bakteriuria), tetapi jika disertai dengan
manifestasi klinik maka ia disebut bakteriuria simptomatik. (Sudoyo, 2008).
Perubahan fisiologis pada saluran kemih sepanjang kehamilan
meningkatkan risiko ISK. Pengaruh hormone progesterone dan obstruksi oleh
uterus menyebabkan dilatasi system pelviokalises dan ureter, serta peningkatan
refluks vesikoureter. Tekanan oleh kepala janin juga menghambat drainase darah

10
dan limfe dari dasar vesika, sehingga daerah tersebut mengalami edema dan
rentan terhadap trauma. (Gusrianti dkk, 2015)
Gejala ISK dilihat dari umur kehamilan yang paling banyak pada umur
kehamilan 28-40 minggu sebesar 17,5 % (11 orang). Secara teori semakin besar
kehamilan maka semakin rentan terkena ISK karena memungkinkan terjadinya
obstruksi oleh besarnya uterus yang menyebabkan dilatasi system pelviokalises
dan ureter. (Gusrianti dkk, 2015).

2. Infeksi Saluran Kemih pada Ibu Hamil


Penyakit infeksi saluran kemih merupakan masalah kesehatan terbanyak
kedua yang ditemukan setelah infeksi saluran napas. Perempuan lebih beresiko
menderita infeksi saluran kemih dibanding pria karena secara anatomis uretra
wanita lebih pendek daripada uretra laki-laki. Perempuan saat hamil lebih beresiko
lagi menderita infeksi saluran kemih karena perubahan anatomis dan fisiologis
yang terjadi pada tubuhnya.
Sebanyak 20% kasus infeksi saluran kemih terjadi pada ibu hamil. Namun,
tidak seluruh ISK menimbulkan gejala. Penanda terjadinya ISK pada pasien
bergejala (asimptomatik) maupun yang tidak bergejala (asimptomatik0 adalah
dengan d i t e m uk a n n ya bakteri dalam biakan urin dalam jumlah 100.000 cfu/ml

11
yang disebut bakteriuria. Bakteriuria pada wanita hamil dapat berkembang
menjadi pielonefritis. Prevalensi pielonefritis pada kehamilan sekitar 0.5-2%.
Bakteriuria asimptomatik pada kehamilan dapat meningkatkan resiko pielonefritis 20-
30 kali lipat dibandingkan perempuan tanpa bakteriuria.
Terdapat hubungan yang erat pada terj adinya pers alinan prem atur,
preeclampsia, hipertensi, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim / i n t r a
uterine grow restriction (IUGR) dan persalinan secara seksiosesar pada
pasien hamil yang mengalami infeksi saluran kemih. Oleh karena itu infeksi
saluran kemih pada kehamilan perlu mendapat perhatian yang serius.
Penanganan yang cepat dapat membantu mencegah terjadinya komplikasi.

3. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi


Faktor-faktor resiko infeksi saluran kemih secara umum adalah diabetes
melliitus (prevalensi 8-14%) dan inkontinensia alvi. Usia kehamilan yang paling
beresiko mengalami bakteriuria adalah antara usia kehamilan 9 hingga 1 7
m i n g g u . D e l a p a n p u l u h p e r s e n p e r e m p u a n dengan usia kehamilan 12
– 16 minggu mengalami bakteriuria asimptomatik.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah , riwayat infeksi saluran kemih

sebelumnya, aktif secara seksual, dan multiparitis juga berperan dalam kejadian

ISK. Penelitian sebelumnya dari Sheikh et al menemukan bahwa riwayat

gangguan urologi berhubungan dengan meningkatnya insiden ISK dalam

kehamilan. Sumber lain menyatakan ISK terjadi pada wanita yang baru saja

berhubungan seksual sehari sebelumnya atau dalam waktu 48 jam sebelumnya,

meningkatkan resiko 60 kali lipat. Kebiasaan menahan berkemih hingga 4 jam

dan konsumsi air putih sedikit, dan kebiasaan membasuh kemaluan dari

belakang ke depan menjadikan perempuan hamil rentan terhadap ISK.

12
a. Faktor Resiko
Adapun faktor resiko meningkatnya infeksi saluran kemih sebagai berikut:
1) Perubahan morfologi pada kehamilan.
Karena asal dari traktus genital dan traktus urinarius adalah sama
secara embriologi ditambah lagi letaknya yang sangat berdekatan maka
adanya perubahan pada salah satu sistem akan mempengaruhi sistem
yang lain. Pada saat hamil dapat terjadi perubahan pada traktus
urinarius berupa:
a) Dilatasi pelvis renal dan ureter
Dilatasi ini terjadi terutama setelah kehamilan 20 minggu, lebih
sering terjadi pada sebelah kanan 85,7% berbanding sebelah kiri
10%. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena adanya colon sigmoid
disebelah kiri dan adanya kecenderungan uterus untuk
mengadakan dekstrorotasi dan kecenderungan secara anatomi
bahwa ureter kanan rentan terhadap dilatasi. Adanya dilatasi
tersebut kemungkinan juga akibat dari adanya hormone
progesteron yang meningkat disamping efek penekanan dari uterus
yang membesar karena hamil.

b) Vesika urinaria terdesak ke anterior dan superior seiring dengan


makin bertambah besarnya uterus, dan cenderung lebih terletak
pada rongga abdominal daripada di rongga pelvis.
Terjadi juga pelebaran pada daerah basal. Kapasitas
penampungan urin akan meningkat tetapi daya pengosongan akan
menurun karena terjadi kelemahan dari otot detrusor kandung
kemih akibat pengaruh dari progesterone (terjadi kelemahan otot-

13
otot polos sehingga tonus akan berkurang, akibatnya juga akan
terjadi pelebaran saluran kemih secara keseluruhan dan kontraksi
akan berkurang), mengakibatkan sisa urine sering terjadi sehingga
pertumbuhan bakteri mudah terjadi.
c) Sistokel dan Urethrokel
d) Kebiasaan menahan kencing

4. Macam – Macam Infeksi Saluran Kemih


Pada wanita hamil dikenal 2 keadaan infeksi saluran kemih :
a. Infeksi saluran kemih tanpa gejala (Bakteriuria asimptomatik).
Dimana terdapat bakteri dalam urine lebih dari 100.000 /ml urine.
Urine diambil porsi tengah dengan cara vulva dan meatus urethra
eksternus dibersihkan terlebih dahulu dengan bahan antiseptik. Atau
jumlah bakteri antara 10.000 sampai dengan 100.000 bila urine diambil
dengan cara kateter urethra. Pada urinalisis dapat ditemukan adanya
leukosit.
b. Infeksi saluran kemih dengan gejala (simptomatik).
1) Infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis)
Dengan gejala dapat berupa disuria, terkadang didapatkan
hematuria, nyeri daerah suprasimpisis, terdesak kencing (urgency),
stranguria, tenesmus dan nokturia. Tetapi jarang sampai menyebabkan
demam dan menggigil. Pada urinalisis dapat dijumpai leukosit dan
eritrosit.
2) Infeksi saluran kemih bagian atas (pielonefritis)
Dengan gejala berupa nyeri dan tegang pada daerah sudut
“costovertebral” atau daerah pinggang, demam, mual dan muntah. Dapat
juga disertai keluhan seperti pada infeksi saluran kemih bagian bawah
seperti disuria, urgensi dan polakisuria, stranguria, tenesmus, nokturia.
Pada pemeriksaan darah dapat dijumpai kadar ureum dan kreatinin yang
meningkat dan pada pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosit. Atau pada
pemeriksaan imunologi didapatkan bakteriuria yang diselubungi antibody
.
5. Patofisiologi
Pada infeksi dan inflamasi dapat menginduksi kontraksi uterus. Banyak
mikroorganisme dapat menghasilkan fosfolipid A2 dan C sehingga meningkatkan
konsentrasi asam arakidonat secara lokal dan pada gilirannya dapat
menyebabkan pelepasan PGF-2 dan PGE-2 sehingga terjadi kontraksi
miometrium uterus. Selain itu pada keadaan infeksi terdapat juga produk sekresi
dari makrofag / monosit berupa interleukin 1 dan 6, sitokin, tumor nekrosis factor

14
yang akan juga menghasilkan sitokin dan prostaglandin. Umumnya bakteri yang
menyebabkan terjadinya infeksi berasal dari tubuh penderita sendiri.
Ada 3 cara terjadinya infeksi yaitu :
a. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain ke bagian
saluran kemih.
b. Penyebaran melalui saluran getah bening berasal dari usus besar ke buli-buli
atau ke ginjal.
c. Secara asendens yaitu migrasi mikroorganisme melalui saluran kemih yaitu
urethra, buli-buli, ureter lalu ke ginjal.
Berdasarkan pengalaman klinis dan percobaan, cara asendens ini adalah
cara yang banyak dalam penyebaran infeksi. Sebagai faktor predisposisi adalah
urethra wanita yang pendek dan mudahnya terjadi kontaminasi yang berasal dari
vagina dan rektum. Infeksi saluran kemih dalam kehamilan dapat bervariasi mulai
dari bakteriuria simptomatik hingga yang menimbulkan keluhan dan gejala sebagai
sistitis dan pielonefritis akut.
Bakteriuria asimptomatik adalah adanya 100.000 bakteri atau lebih per
milliliter urin dari penderita tanpa keluhan infeksi saluran kemih. Bakteriuria
asimptomatik ditemukan pada 4-12 % dari wanita hamil dan angka ini bervariasi
tergantung pada suku bangsa, paritas, dan keadaan sosioekonomi penderita. 30%
dari bakteriuria asimptomatik tersebut berkembang menjadi bakteriuria yang
simptomatik dalam kehamilan yakni berupa sistitis atau pielonefritis akut.
Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara bakteriuria
asimptomatik dengan partus prematurus, pertumbuhan janin terhambat dan
preeclampsia. Suatu studi yang bersifat meta-analisa melaporkan bahwa eradikasi
bakteriuria tersebut dapat meningkatkan keluaran (outcome) partus prematurus
sehingga menganjurkan untuk melakukan skrining terhadap semua wanita hamil
guna mendeteksi adanya bakteriuria yang asimptomatik tersebut.
Pengaruh hormone progesterone terhadap tonus dan aktivitas otototot
dan obstruksi mekanik oleh pembesaran uterus dalam kehamilan merupakan
faktor predisposisi meningkatkan kapasitas buli-buli dan terdapatnya sisa urin
setelah berkemih pada ibu hamil. Perubahan pH urin yang disebabkan
meningkatnya ekskresi bikarbonas memberikan kemudahan untuk pertumbuhan
bakteri. Glikosuria juga sering terjadi pada kehamilan ini juga merupakan faktor
predisposisi berkembangnya bakteri dalam urin.

6. Diagnosis
Diagnosis dari infeksi saluran kemih dapat diketahui dari adanya keluhan
(bagi yang simptomatik) berupa: disuria, polakisuria, terdesak kencing (urgency),

15
stranguria, nokturia dan bila berat dapat dijumpai demam, menggigil, mual, muntah
serta nyeri pinggang pada pielonefritis.
Untuk mendeteksi bakteriuria diperlukan pemeriksaan bakteriologik yang
secara konvensional dilakukan dengan metode biakan dan ditemukannya jumlah
kuman >l00,000 colony forming unit /ml urine. Metode biakan ini tidak selalu dapat
dilakukan laboratorium sederhana, karena tidak semua laboratorium mempunyai
kemampuan untuk pembiakan itu, yang biayanya cukup tinggi dan membutuhkan
waktu yang lama.
Yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopik pewarnaan secara
Gram, dengan ditemukannya kuman batang Gram - negatif. Namun cara ini
membutuhkan keahlian khusus. Selain itu dapat dilakukan dengan hitung jumlah
lekosit dalam urin untuk membantu diagnosis bakteriuria yang infektif. Bahan
pemeriksaan adalah urine arus-tengah pagi hari, urine diambil sebelum subyek
minum sesuatu untuk menghindarkan efek pengenceran.

7. Pengobatan
Pengobatan bakteriuria asimtomatik pada kehamilan perlu diberikan,
sebab menurut penelitian Elder dkk(4) , dengan memberikan pengobatan ASB
pada kehamilan dapat menurunkan insiden bakteriuria dari 86% menjadi 11%.
Komplikasi pielonefritis akuta dapat berkurang hingga 80% setelah diberikan
pengobatan pada ASB. Juga dapat menurunkan angka lahir berat badan rendah.
Penelitian yang membandingkan pengobatan dengan sulfonamida, cephalosporin,
dan nitrofurantoin dengan spectrum luas antibiotika penisilin menunjukkan bahwa
obat-obatan tersebut sama-sama efektif dalam eradikasi bakteriuria. Pengobatan
dengan ampisilin perlu hati-hati karena penyebab utama bakteriuria adalah E.coli
yang resistensinya mencapai 30% di Amerika.

16
8. Pencegahan
Pencegahan : macrodantin 100 mg Pengobatan dengan dosis tunggal
dapat mendukung pengobatan ASB dan menghemat biaya pengobatan. Dalam
pemilihan obat perlu diperhatikan efek samping dari obat-obat tersebut. Misalnya
penisilin dan sefalosporin dapat menyebabkan reaksi anafilaktik, sulfonamida
dapat menyebabkan fetal hyperbilirubinemia, nitrofurantoin dapat menyebabkan
defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase, trimethoprim adalah
kontraindikasi relatif untuk kehamilan trimester pertama dan dapat bersifat
teratogenik.

9. Komplikasi
a. Sistitis

Komplikasi bakteriuria pada kehamilan berupa sistitis, yang berkisar


antara 0,35-1,3%(4). Laporan mengenai sistitis pada kehamilan sangat
kurang. Lokalisasi infeksi bakterial pada sistitis adalah tractus urinarius bagian
bawah. Belum jelas kapan sistitis dapat berlanjut dengan meningkatnya lahir
prematur, lahir berat badan rendah atau pielonefritis. Diagnosis pada
penderita sistitis dapat ditegakkan dengan adanya keluhan disuria, hematuria,
sering miksi atau merasa tidak enak pada daerah suprapubik. Sistitis sering
berulang timbul pada kehamilan namun tanpa adanya gejala infeksi.
Pemeriksan urine sering positif dengan piuria dan bakteriuria. Yang terbaik
adalah biakan urine, sebab 10% sampai 15% piuria pada kehamilan terjadi
tanpa gejala infeksi. Pengobatan sistitis sama dengan pengobatan ASB. (Lihat
Tabel 1) Umumnya pengobatan selama 5-7 hari. Pengobatan dengan jangka
pendek lebih diminati, misalnya 1, 3 atau 4 hari, karena lebih murah, dan efek
samping juga dapat berkurang dari pada pemberian antibiotika jangka
panjang.

17
Biakan urine perlu dilakukan berulang secara teratur pada kehamilan
sebab diperkirakan 18% dari penderita dengan sistitis akuta didapatkan biakan
urine positif pada akhir kehamilan.
b. Pielonefritis akut
Pada kehamilan terdapat sebanyak 1-2 % pielonefritis akut. Insiden pada
populasi bervariasi dan tergantung pada prevalensi ASB dalam komunitas dan
penderita secara rutin diberi pengobatan pada ASB. Wanita dengan riwayat
pielonefritis, malformasi saluran kemih atau batu ginjal meningkatkan risiko
terjadinya pielonefritis.
Penelitian prospective pada 656 wanita dengan pielonefritis, di antaranya
73% terjadi pada antepartum, 8% pada intrapartum dan 19% terjadi pada
postpartum. .Pada antepartum 9% terjadi pada trimester pertama, 46 %
terdapat pada trimester kedua dan 45% terdapat pada trimester ketiga.
Menurut Harris(4) dengan pemeriksaan penyaring rutin dan pengobatan pada
ASB dapat menekan pielonefrits dari 4% menjadi 0,8%. Gejala dan tanda klinis
pada pielonefritis akut, temasuk demam, menggigil, sakit, mual dan muntah,
sepsis, insufisiensi pernafasan dan gejala yang konsisten dengan sistitis.
Diagnosis perlu dikonfirmasikan dengan biakan urine. Biakan urine
setelah pengobatan dengan antibiotika, hasilnya menjadi negatif.
Ditemukannya 1, 2 bakteri per lapangan pandang besar pada urine dari
kateterisasi, 20 bakteri dari penampungan urine atau 100,000 cfu /ml dari
biakan urine adalah bermakna. Komplikasi pielonefritis pada kehamilan
terutama disebabkan endotoksin yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Seringkali secara bersamaan terjadi kerusakan pada beberapa organ.
Sejumlah 10-15% pielonefritis pada kehamilan dengan bakteriemia,
manifestasi ke septic shock.
Kehamilan dengan sepsis dan demam tinggi menyebabkan cardiac output
turun. Insufisiensi pernafasan terdapat 2-8% pada pielonefritis pada
kehamilan, hal ini disebabkan oleh karena. toksin dari bakteri dapat mengubah
permeabilitas membrane alveoli-kapiler dan menyebabkan edema paru.
Gejala klinis berupa sesak nafas, nafas cepat, kekurangan oksigen, edema
paru atau respiratory distress syndrome, denyut nadi meningkat 110x /menit
atau lebih, suhu badan meningkat lebih dari 39oC, nafas cepat lebih 28x
/menit.
Disfungsi ginjal terdapat pada 25% kehamilan. Disfungsi ini dapat dilihat
dari creatinine clearence kurang dari 80 ml /menit, setelah beberapa hari dapat
normal kembali. Anemia, ditemukan pada 25-66% kehamilan dengan
pielonefritis. Anemia hemolitik timbul karena lipopolisakharida kuman yang
dapat merusak membran sel darah merah. Pielonefritis antepartum pada

18
kehamilan perlu diberi antibiotika yang mempunyai khasiat terhadap bakteri
yang menyebabkan infeksi saluran kemih. Pemberian antibiotika yang dapat
diterima untuk pengobatan pielonefritis seperti terlihat pada Tabel 2

Kombinasi ampisilin dengan aminoglikosida sudah digunakan sebagai


pengobatan yang umum diberikan pada kehamilan dengan pielonephrits.
Penggunaan gentamisin pada kehamilan sering dipertanyakan karena
toksisitasnya. Seperti nefrotoksik dan ototoksik, namun tidak ditemukan
nefropathy pada wanita hamil dan janinnya. Khususnya pada neonatal dan
infants setelah pengobatan dengan gentamisin. dapat mengakibatkan
gangguan ginjal. Pengobatan dengan mezlocillin dan piperacillin, dapat
menurunkan demam dalam waktu 96 jam. Pengobatan dengan cefazolin dan
ceftriaxon menurunkan febris, dalam 1 dan 1-3 hari. Resistensi terhadap
generasi pertama cephalosporin mencapai 12%. Penderita yang gagal dengan
cefazolin dapat diobati dengan penambahan aminoglikosida.
Kehamilan dengan pielonefritis perlu dirawat di rumah sakit untuk
observasi dan deteksi komplikasi pielonefritis, termasuk insufisiensi ginjal,
insufisiensi pernafasan dan sepsis, gejalanya seperti demam tinggi, dehidrasi
dan muntah-muntah. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah hitung
jumlah sel darah, serum elektrolit, kreatinin dan biakan urine. Angel(4)
membandingkan pengobatan cephalexin oral dengan cephalothin IV pada
penderita nonbakteriemia, ternyata antibiotika oral aman dan efektif diberikan
pada kehamilan.
Respon klinis dengan pengobatan antibiotika adalah cepat. Bila setelah
72 jam gagal atau tidak ada respon klinis perlu dilakukan renal sonografi untuk
memeriksa adanya obstruksi karena nephrolithiasis. Pengobatan intravena
diteruskan sampai setelah 1 - 2 hari tidak demam. Umumnya pengobatan
dengan antibiotika diberikan selama 2 minggu. Biakan urine dan antibiotika
profilaksis perlu diberikan pada wanita hamil dengan riwayat pielonefritis untuk
menurunkan risiko infeksi rekuren.

19
BAB II
PENUTUP

A. Simpulan
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah
11 gr% pada trimester 1 dan 3 atau kadar<10,5 gr% pada trimester 2. Anemia terjadi
dalam kehamilan, karena dalam kehamilan keperluan zat-zat makanan bertambah
dan terjadi perubahan – perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Anemia dalam
kehamilan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu anemia defisiensi besi, anemia
megaloblastik, anemia akibat pendarahan akut, anemia akibat penyakit kronik, ania
hemmolitik, dan anemia aplastik atau hipoplastik. Penderita anemia biasanya ditandai
dengan lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka pucat, susah berkonsentrasi,
mengantuk serta rasa lelah yang berlebihan.
Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil
adalah usia, partitas, KEK, inFeksi dan penyakit, jarak kehamilan, dan pendidikan.
Anemia memiliki dampak yang buruk saat masa kehamilan baik untuk ibu maupun
untuk janinnya.
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih
(mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih, dan
uretra). Gejala ISK dilihat dari umur kehamilan yang paling banyak pada umur
kehamilan 28-40 minggu sebesar 17,5 % (11 orang). Secara teori semakin besar
kehamilan maka semakin rentan terkena ISK karena memungkinkan terjadinya
obstruksi oleh besarnya uterus yang menyebabkan dilatasi system pelviokalises dan
ureter.
Penanda terjadinya ISK pada pasien bergejala (asimptomatik) maupun yang tidak
bergejala (asimptomatik0 adalah dengan d i t e m uk a nn ya bakteri dalam biakan urin
dalam jumlah 100.000 cfu/ml yang disebut bakteriuria.
Faktor-faktor resiko infeksi saluran kemih secara umum adalah diabetes melliitus
(prevalensi 8-14%) dan inkontinensia alvi. Usia kehamilan yang paling beresiko
mengalami bakteriuria adalah antara usia kehamilan 9 hingga 1 7 m i n g g u .
A d a p u n m a c a m - m a c a m i s k a d a l a h Infeksi saluran kemih tanpa gejala
(Bakteriuria asimptomatik), Infeksi saluran kemih dengan gejala (simptomatik).
Diagnosis dari infeksi saluran kemih dapat diketahui dari adanya keluhan (bagi yang
simptomatik) berupa: disuria, polakisuria, terdesak kencing (urgency), stranguria,
nokturia dan bila berat dapat dijumpai demam, menggigil, mual, muntah serta nyeri
pinggang pada pielonefritis.

20
B. Saran
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan promosi kesehatan
kepada masyarakat tentang informasi kesehatan diharapkan tenaga kesehatan
lebih meningkatkan mutu pelayanan khususnya konseling yang berkaitan dengan
faktor-faktor resiko dalam kehamilan seperti anemia dan Infeksi saluran kemih.
Agar masyarakat khususnya ibu hamil tidak menyepelekan kejadian kejadian
yang merujuk pada hal tersebut sehingga resiko-resiko dalam kehamilan dapat
dicegah

2. Bagi Ibu Hamil


Disarankan kepada ibu hamil untuk lebih rajin melakukan kunjungan ke
fasilitas kesehatan. lebih banyak mencari informasi kesehatan baik melalui media,
internet maupun dari tenaga kesehatan, agar resiko dalam kehamilan, persalinan
dan fase berikutnya dapat dicegah sedini mungkin, baik dengan perbaikan nutrisi,
terapi, maupun pengobatan

21
DAFTAR PUSTAKA

Aminin, F., & dkk. (2014). Pengaruh Kekurangan Energi Kronis dengan kejadian anemia pada ibu
hamil. Jurnal Kesehatan vo. 05 no. 02 Oktober 2014 , 167-172.

Arisman. (2007). Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: EGC.

Fakhrizal, E. (2017). Infeksi saluran kemih pada kehamilan prevalensi dan faktor faktor yang
memengaruhinya. JIK jilid II, No. 1, Maret 2017 , 19-24.

Fatmah. (2010). Gizi usia lanjut. Jakarta: Erlangga.

Handayani, W., & Haribowo, A. S. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Manuaba, I. B. (2007). Ilmu kebidanan, penyakit kandungan, dan keluarga berencana untuk
pendidikan bidan. Jakarta: EGC.

Roosleyn, I. P. (2016). Strategi dalam penanggulangan pencegahan anemia pada kehamilan. Jurnal
Ilmiah Widya Vol. 3 No. 3 , 1-9.

Sudoyono, A. (2008). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Jakarta: FKUI.

Supriyadi, T., & Johannes, G. (1994). Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC.

Wagiyo, & Putrono. (2016). Asuhan keperawatan antenatal, intranatal, dan bayi baru lahir fisiologis
dan fatologis. Yogyakarta: ANDI.

Wahyu, W. T. (2016). Hubungan paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil di puskesmas
Godean II Sleman Yogyakarta 2015. Program Studi Bidan Pendidik Jenjang Diploma Iv Fakultas Ilmu
Kesehatan (P. 4). Yogyakarta: Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

Wuryanti, A. (2010). Hubungan anemia dalam kehamilan dengan pendarahan postpatum karena
atonia uteri di RSUD Wonogiri. Program Studi D IV kebidanan Fakultas Kedokteran (p. 14).
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Yulianti, E., & dkk. (2014). Hubungan Pendidikan Dan Paritas Ibu Dengan Kejadian anemia pada ibu
hamil. Dinamika Kesehatan vol. 14 desember 2014 .

22

Anda mungkin juga menyukai