Anda di halaman 1dari 35

REFLEKSI KASUS

STROKE NON HEMORAGIK


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf di
RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh:
Anindya Widianingtyas
NIPP. 1913020008

Pembimbing:
dr. Gama Sita Setya Pratiwi., Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan refleksi kasus dengan judul


STROKE NON HEMORAGIK

Disusun oleh:
Anindya Widianingtyas
NIPP. 1913020008

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Sabtu/28 Desember 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Gama Sita Setya Pratiwi., Sp.S

2
DAFTAR ISI
HALAMAN
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I LAPORAN KASUS .......................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 13

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 35

3
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W

Umur : 78 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Tirtoyoso 4/8 Kutowinangun Kidul Tingkir

Tanggal Masuk : 19 Desember 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kelemahan anggota
gerak kiri tiba – tiba sejak 1 jam SMRS. Dengan keluhan tersebut pasien
sulit berkomunikasi dan hampir terjatuh saat melakukan aktivitas berjalan.
Keluhan disertai dengan tremor anggota gerak kanan dan nyeri kepala.
Keluhan mual, muntah, demam dan sesak disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung
pada keluarga disangkal.

4
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien tinggal bersama dengan anak dan cucunya. Tidak ada riwayat
merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat–obatan terlarang.
C. PEMERIKSAAN FISIK
20 Desember 2019
1. Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos Mentis (GCS: E4Vafasia motorikM6) (IGD)
GCS: E4V5M6 (BANGSAL)
Vital Signs / IGD BANGSAL
Tanda-Tanda TD: 170/100 mmHg TD: 140/90 mmhg
Vital HR: 87x/menit HR: 65x/menit
RR: 20x/menit RR: 20x/menit
S: 37oC S: 38oC
SpO2: 94% SpO2: 95%
Kepala dan Leher
Inspeksi Normocephal, wajah simetris, tidak ada jejas,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Palpasi Pembesaran limfonodi (-), trakea teraba di garis tengah


Thorax
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk, tidak terdapat deformitas.
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak paru, fremitus normal
Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Pulmo: suara kedua paru vesikuler
Ronkhi: -/- Wheezing: -/-
Cor: suara S1 dan S2 reguler
Abdomen
Inspeksi Abdomen terlihat datar, tidak ada kelainan bentuk
abdomen, jejas (-)
5
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen
Palpasi Defens muskular (-), nyeri tekan (-), ginjal, hepar dan
lien tidak teraba
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-), jejas (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik

2. Status Neurologis
a. Kesadaran: (GCS E4V5M6)
b. Pemeriksaan Nervus Kranialis

Nervus
Kanan Kiri
Kranialis
N. I Daya penghidu Baik Baik
Daya penglihatan Baik Baik
N. II Penglihatan warna Baik Baik
Lapang pandang Baik Baik
Ptosis (-) (-)
Gerakan mata ke medial (+) (+)
Gerakan mata ke atas (+) (+)
Gerakan mata ke bawah (+) (+)
N. III
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Reflek cahaya langsung (+) (+)
Nistagmus (-) (+)
Strabismus divergen (-) (-)
Gerakan mata ke lateral
(+) (+)
N. IV bawah
Strabismus konvergen (-) (-)
Menggigit (+) (+)
Membuka mulut (+) (+)
N. V Sensibilitas muka (+) (+)
Refleks kornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
N. VI Gerakan mata ke lateral (+) (+)

6
Kedipan mata (+) (+)
Lipatan nasolabial (+) (+)
Mengerutkan dahi (+) (+)
N. VII Menutup mata (+) (+)
Meringis (+) (+)
Menggembungkan pipi (+) (+)
Daya kecap lidah 2/3
Tidak dinilai
depan
Mendengar suara berbisik (+) (+)
Mendengar detik arloji (+) (+)
N. VIII Tes Rinne Tidak dinilai
Tes Schwabach Tidak dinilai
Tes Weber Tidak dinilai
Arkus faring Baik
Daya kecap lidah 1/3
Tidak dinilai
N. IX belakang
Refleks muntah (+) (+)
Sengau (-) (-)
Tersedak (-) (-)
Denyut nadi 65x/menit 65x/menit
N. X Arkus faring Normal
Bersuara Normal
Menelan Baik
Memalingkan kepala (+) (+)
N. XI Sikap bahu Baik Baik
Mengangkat bahu (+) (+)
Atrofi otot bahu (-) (-)
Sikap lidah Baik
Artikulasi Baik
N. XII Tremor lidah (-) (-)
Menjulurkan lidah Baik
Atrofi otot lidah (-) (-)
Fasikulasi lidah (-) (-)

c. Pemeriksaan Ekstremitas
- Pemeriksaan ekstremitas atas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (-)
 Kekuatan 5- 1

7
 Tonus Normal Abnormal
 Sensibilitas
 Taktil (+) (-)
 Nyeri (+) (-)
Gerakan Involunteer
 Tremor (+) (-)
 Atetosis (-) (-)
 Chorea (-) (-)
 Tics (-) (-)
Refleks fisiologis
 Biseps (+) (-)
 Triseps (+) (-)
 Brachioradialis (+) (-)
Refleks patologis
 Tromner (-) (-)
 Hoffman (-) (-)

- Pemeriksaan ekstremitas bawah


Pemeriksaan Kanan Kiri
Motorik
 Pergerakan (+) (-)
 Kekuatan 5- 1
 Tonus Normal Abnormal
Sensibilitas
 Taktil (+) (-)
 Nyeri (+) (-)
Refleks fisiologis
 Patella (+) (-)
 Achilles (+) (-)
Refleks patologis
 Babinski (-) (+)
 Chaddock (-) (+)
 Schaefer (-) (+)
 Oppenheim (-) (+)
 Rossolimo (-) (-)
 Mendel-Bechterew (-) (-)
 Bing (-) (+)
 Gordon (-) (+)
Tes lasegue (-) (-)
Tes patrick (-) (-)

8
Tes kontrapatik (-) (-)

3. Sensibilitas
a. Eksteroseptif/rasa permukaan
- Rasa raba: (+)
- Rasa nyeri: (+)
- Rasa suhu panas: Tidak dilakukan
- Rasa suhu dingin: Tidak dilakukan
b. Proprioseptif/rasa dalam
- Rasa sikap: (+)
- Rasa getar: (+)
- Rasa nyeri dalam: (+)
4. Meningeal Sign

Kaku kuduk (-)

Kernig sign (-)

Laseque sign (-)

Brudzinski I (-)

Brudzinski II (-)

Brudzinski III (-)

Brudziinski IV (-)

5. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (18 Desember 2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi (18 Desember 2019)
Leukosit 8.89 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4.63 4.5 – 6.5 juta/ul
Hemoglobin 14.3 13 – 18 gr/dL

9
Hematokrit 40.1 40 – 52 vol%
MCV 86.6 85 – 100 Fl
MCH 30.9 28 – 31 Pg
MCHC 35.7 30 – 35 gr/dL
Trombosit 281 150 – 450 ribu/ul
Hitung Jenis
Eosinophil 0.4 2–4 %
Basophil 0.2 0–1 %
Limfosit 34.1 25 – 60 %
Monosit 2.7 2–8 %
Neutrofil 62.6 50 – 70 %
Kimia
GDS 127 < 140 mg/dL
Ureum 35 10 – 50 mg/dL
Creatinin 0.9 0.6 – 1.1 mg/dL
Cholesterol total 218 < 200 mg/dL
Trigliserida 146 < 150 mg/dL
HDL Cholesterol 68 > 45 mg/dL
LDL Cholesterol 79 < 100 mg/dL
Asam Urat 4.5 3.4 – 7 mg/dL
SGOT 17 < 37 U/I
SGPT 13 < 42 U/I
Elektrolit
Natrium 134 136-145 mmol/L
Kalium 5.8 3.7-5.5 mmol/L
Chlorida 102 98-107 mmol/L

6. Pemeriksaan CT Scan Kepala


Telah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala tanpa bahan kontras iv,
potongan axial (19 Desember 2019).
Hasil:
- Tak tampak soft tissue swelling extracranial
10
- Sisterna tulang yang tervisualisasi tampak intact
- Gyri dan sulci tak tampak prominent
- Batas grey matter dan white matter relative tegas
- Tampak lesi hipodens (32 HU) di corona radiata dextra dengan perifocal
edema dengan ukuran lesi 11.57 x 17.85mm
- Tampak lesi hipodens (20HU) di ganglia basalis sinistra
- Sistema ventrikel tak tampak melebar
- Tak tampak pergeseran linea mediana
- Air cellulae mastoidea dalam batas normal

Kesan:
- Gambaran subchronic ICH di corona radiata dextra dengan perifocal
edema
- Gambaran infark di ganglia basalis sinistra

D. ASSESSMENT
Diagnosis klinis : Hemiparese sinistra

Diagnosis topis : Pars corona radiata dextra et ganglia basalis sinistra

Diagnosis etiologi : Infark serebri

E. PENATALAKSANAAN/PLANNING
1. Umum
- Stabilisasi airway, breathing, circulation
- Observasi tanda-tanda vital
2. Medikamentosa
- IVFD Asering + drip NB 2x1 amp 20 tpm
- Injeksi Omeprazol 40 mg/12 jam
- Injeksi Citicolin 500 mg/12 jam
- Injeksi Piracetam 12 gram
- Injeksi Phenitoin 3x1amp
11
- Injeksi Halodol 0.5 1x1
- Clobazam 0-0-1
- Paracetamol 3x1
- Flunarizin 3x1
- Pasang NGT + DC
- Co fisioterapi

F. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke
1. Definisi
Stroke merupakan gangguan fungsional otak yang terjadi secara tiba-
tiba dengan tanda klinis fokal atau global yang berlangsung lebih dari 24
jam, yang disebabkan tanpa gangguan lain selain gangguan vaskular. Stroke
iskemik atau stroke non-hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh
sumbatan pada pembuluh darah.1

2. Etiologi
Beberapa penyebab stroke non-hemoragik antara lain1:
 Oklusi arteri akibat thrombosis yang bisa disebabkan oleh
aterosklerosis, vaskulitis, ruptur arteri karotis atau vertebralis
(spontan maupun traumatik), keadaan hiperkoagulasi (defisiensi
protein S atau C, kehamilan, konsumsi kontrasepsi oral), diseksi
arterial, dan gangguan pada darah seperti polisitemia atau sickle-cell
anemia.
 Oklusi arteri akibat embolisme di jantung atau pembuluh darah
esktrakranial yang dapat disebabkan oleh fibrilasi atrium, infark
miokardium, gangguan katup jantung, dan thrombosis aterosklerotik
pada arteri karotis komunis atau arkus aorta.
 Vasokonstriksi akibat penyalahgunaan zat (kokain, amfetamin).
 Gangguan aliran darah seperti hipotensi.

Beberapa faktor risiko stroke non-hemoragik antara lain1:

a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi


 Jenis kelamin: laki-laki lebih berisiko terkena stroke non-
hemoragik dibandingkan perempuan. Serangan stroke non-
hemoragik pada laki-laki umumnya dialami saat usia kurang dari

13
55 tahun, sedangkan pada perempuan lebih sering dialami saat
usia lebih dari 55 tahun.
 Usia: semakin bertambahnya usia, risiko terkena stroke semakin
meningkat.
 Genetik: seseorang dengan riwayat keluarga berupa stroke, TIA,
diabetes mellitus, hipertensi, maupun gangguan jantung
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena stroke.
b. Faktor yang dapat dimodifikasi
 Hipertensi
 Diabetes
 Hiperkolesterolemia
 Gaya hidup: merokok, aktivitas fisik, diet

3. Klasifikasi
Stroke non-hemoragik diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan waktunya,
antara lain2:
1. Transient Ischemic Attack (TIA), dimana defisit neurologis membaik
dalam waktu kurang dari 24 jam,
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND), dimana defisit
neurologis membaik setelah 24 jam namun kurang dari 3 hari,
3. Stroke in Evolution (SIE)/Progressing Stroke, dimana perkembangan
gejala stroke semakin lama semakin buruk selama beberapa jam
sampai beberapa hari,
4. Completed Stroke, dimana defisit neurologis yang timbul sudah
menetap atau permanen. Stroke komplit dapat diawali oleh serangan
TIA berulang.

4. Patofisiologi
Proses terjadinya stroke non-hemoragik diawali dengan terjadinya
sumbatan pembuluh darah yang paling sering disebabkan oleh thrombus
maupun emboli akibat proses aterosklerosis. Proses aterosklerosis melibatkan
14
deposisi lipid dan jaringan fibrosa pada lapisan subintimal arteri yang terjadi
secara progresif. Hal ini mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah
yang dapat memicu terjadinya koagulasi darah sehingga menghasilkan
thrombus yang akan menyumbat pembuluh darah.2

Sumbatan pada pembuluh darah di otak akan menyebabkan iskemia,


dimana suplai nutrisi dan oksigen tidak tersampaikan ke otak. Area otak yang
tersumbat dengan cerebral blood flow < 10 mL/100 gr jaringan otak per menit
disebut dengan area ischemic core yang akan mengalami kematian dalam
waktu beberapa menit setelah stroke terjadi. Area otak yang mengalami
penurunan cerebral blood flow < 25 mL/ 100 gr jaringan otak per menit
disebut dengan ischemic penumbra yang masih bisa diselamatkan dalam
waktu beberapa jam karena vaskularisasi kolateral.2
Iskemia pada jaringan otak akan menyebabkan hipoksia dan deplesi
ATP seluler pada neuron di area yang terkena. Tanpa ATP, neuron di otak
tidak memiliki energi untuk menjadi gradien ion dalam membran sel. Kerja
pompa ion natrium dan kalium pada membran plasma akan terganggu, dimana
terjadi peningkatan natrium intraseluler. Hal ini mengakibatkan peningkatan

15
air intraseluler sehingga menyebabkan edema sitotoksik pada pasien stroke
non-hemoragik.2
Pertukaran natrium dan kalsium pada membran sel neuron dalam
keadaan stroke non-hemoragik juga terganggu. Hal ini menyebabkan influks
kalsium sehingga terjadi pelepasan beberapa neurotransmitter eksitatorik
seperti glutamat. Akibatnya, banyak neuron yang akan mengalami depolarisasi
sehingga meningkatkan influks kalsium lebih lanjut. Influks kalsium yang
masif ini juga meningkatkan kadar enzim-enzim degradatif yang
menyebabkan kerusakan membran neuron. Kerusakan pada membran neuron
menyebabkan pelepasan radikal bebas, asam arakidonat, dan NO yang akan
memperparah kerusakan neuron. Kerusakan neuron tersebut akan
menyebabkan munculnya manifestasi klinis berupa defisit neurologis sesuai
dengan area otak yang terkena.2
Iskemia pada stroke non-hemoragik juga dapat menyebabkan
kerusakan pada struktur vaskuler otak yang akan menyebabkan terganggunya
blood-brain barrier yang terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah terjadi
sumbatan. Akibatnya, air dan protein akan masuk ke dalam celah ekstraseluler
dalam otak. Hal ini menyebabkan edema vasogenik yang dapat menyebabkan
edema dan mass effect pada otak yang akan memuncak dalam waktu 3-5 hari.
Edema tersebut akan berkurang setelah beberapa minggu karena resorpsi air
dan protein.2

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis stroke non-hemoragik bisa bermacam-macam,
tergantung dari area otak yang mengalami sumbatan. Gejala stroke non-
hemoragik bisa berupa gejala defisit neurologis global maupun fokal. Gejala
defisit neurologis global berupa gangguan kesadaran sedangkan gejala defisit
neurologis fokal ialah gejala-gejala seperti hemiparesis, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan perilaku, dan lain sebagainya.
Gejala yang bisa timbul berdasarkan pembuluh darah yang tersumbat antara
lain2:
16
a. Middle Cerebral Artery
 Hemiparesis kontralateral
 Hipestesia kontralateral
 Hemianopsia ipsilateral
 Agnosia
 Afasia (bila lesi terletak di hemisfer dominan)
b. Anterior Cerebral Artery
 Disinhibisi dan speech perseveration
 Refleks primitif (grasping, sucking)
 Perubahan status mental (bingung, disorientasi)
 Gangguan pada judgement
 Hemiparesis kontralateral
 Defisit sensoris kontralateral
 Gait apraksia
 Inkontinensia urin
c. Posterior Cerebral Artery
 Homonimus hemianopsia kontralateral
 Kebutaan kortikal
 Agnosia visual
 Perubahan status mental
 Gangguan memori
d. Vertebrobasilar Artery
 Vertigo  Ataksia
 Nistagmus
 Diplopia
 Defisit lapang pandang
 Disfagia
 Disartria
 Hipestesia fasial
 Sinkop
17
6. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis pada stroke non-hemoragik dapat dilakukan
dengan ditemukannya gejala defisit neurologis global (gangguan kesadaran)
atau satu atau lebih defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak. Gejala
tersebut harus disertai dengan bukti gambaran neuroimaging (CT-Scran atau
MRI).3
Guna membedakan stroke non-hemoragik dengan stroke hemoragik,
beberapa penilaian seperti Siriraj Score atau algoritma Gajah Mada dapat
digunakan.3

18
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan Kepala
CT-scan kepala dapat membantu dalam menemukan letak lesi
iskemik pada stroke non-hemoragik. Pada stroke non-hemoragik, akan
muncul gambaran infark berupa lesi hipodens pada jaringan otak. Selain
itu, pemeriksaan CT-scan juga dapat dilakukan untuk membedakan antara
stroke non-hemoragik dengan stroke hemoragik atau kelainan lain di
dalam otak.4

Gambaran infark pada hemisfer kiri area arteri cerebri media dan anterior
b. MRI
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang lebih sensitif dalam
mendeteksi edema serebral yang merupakan tanda awal dari stroke non-
hemoragik. Namun, pemeriksaan MRI membutuhkan waktu yang lebih
lama dan biaya yang lebih mahal daripada pemeriksaan CT-scan.4

Gambaran infark pada hemisfer kiri area arteri cerebri media

19
c. EKG
Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk menemukan gangguan
pada jantung yang dapat menjadi penyebab dari stroke non-hemoragik
yang dialami pasien. Gangguan jantung seperti fibrilasi atrium dapat
ditemukan melalui pemeriksaan EKG.4

d. Pemeriksaan Foto thoraks


Foto thoraks dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan
kelainan pada organ di rongga dada yang dapat menyebabkan stroke non-
hemoragik. Kelainan organ di rongga dada seperti kardiomegali bisa
terjadi karena hipertensi kronik yang merupakan faktor resiko untuk
stroke.4
e. Pemeriksaan Laboratorium Lain
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan darah tepi lengkap, GDS, HbA1c, fungsi ginjal, Activated
Partial Thrombin Time (APTT), waktu prothrombin (PT), asam urat,
fungsi hati, protein darah, profil lipid, elektrolit, dan pemeriksaan enzim
jantung.4

8. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
 Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
 Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
 Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
 Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)

20
 Analgetik dan antipiretik, jika diperlukan
 Gastroprotektor, jika diperlukan
 Manajemen nutrisi
 Pencegahan DVT dan emboli paru: heparin atau LMWH
2. Tatalaksana Spesifik
 Trombolisis intravena: alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset < 6 jam
 Terapi endovaskular: trombektomi mekanik, pada stroke iskemik
dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <
8 jam
 Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)
 Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
 Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet: aspirin, clopidogrel,
cilostazol atau antikoagulan: warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
 Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
 Perawatan di Unit Stroke
 Neurorestorasi/neurorehabilitasi
3. Tindakan Intervensi/Operatif
 Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
 Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
 Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi
4. Edukasi
 Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur,
masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan
komplikasi)
 Penjelasan mengenai stroke iskemik, risiko dan komplikasi selama
perawatan
 Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi

21
 Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
 Penjelasan mengenai gejala stroke, dan apa yang harus dilakukan
sebelum dibawa ke RS
9. Prognosis
Pasien dengan stroke non-hemoragik memiliki prognosis yang baik
dalam hal kesembuhan maupun fungsi tubuh apabila ditangani dengan benar,
baik dalam tatalaksana saat serangan maupun rehabilitasi. Sebagian dari
pasien stroke non-hemoragik dapat mengembalikan fungsi tubuh untuk
beraktivitas dan bekerja dengan baik. Namun, sebagian besar dari pasien
stroke non-hemoragik akan memiliki disabilitas ringan maupun berat akibat
derajat serangan stroke yang berat dan keberadaan komorbiditas pada pasien
tersebut. Dalam kasus-kasus pasien pasca stroke non-hemoragik dengan
disabilitas berat, terapi paliatif menjadi penting untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga pasien.5
Dalam studi Framingham dan Rochester, angka mortalitas pada pasien
stroke non-hemoragik 30 hari setelah onset ialah 28%. Angka keselamatan
setelah 1 tahun pasca stroke non-hemoragik pada studi tersebut mencapai
77%. Namun, prognosis pasien stroke non-hemoragik sangat bervariasi.
Banyak faktor yang akan mempengaruhi prognosis tersebut, misalnya derajat
keparahan stroke, keberadaan komorbiditas, usia, dan keberadaan komplikasi
pasca stroke.5

22
B. Afasia
1. Definisi
Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan
pada bagian otak yang mengandung bahasa (biasanya di hemisfer serebri kiri
otak). Individu yang mengalami kerusakan pada sisi kanan hemisfer serebri kanan
otak mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa.
Afasia dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara, mendengarkan, membaca,
dan menulis, tetapi tidak mempengaruhi kecerdasan. Individu dengan afasia
mungkin juga memiliki masalah lain, seperti disartria, apraxia, dan masalah
menelan.6
 Global Afasia adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara
spontan atau melakukannya dengan susah payah, menghasilkan tidak
lebih dari fragmen perkataan. Pemahaman ucapan biasanya tidak ada;
atau hanya bisa mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri
dan kemampuan untuk mengulang prkataan yang sama adalah nyata
terganggu. Penderita mengalami kesulitan menamakan benda, membaca,
menulis, dan menyalin kata kata. Bahasa otomatisme (pengulangan
omong kosong) adalah karakteristik utama. Distribusi lesi terletak di
seluruh arteri serebri, termasuk area Wernicke dan Broca.
 Broca’s afasia (juga disebut anterior, motorik, atau afasia ekspresif)
ditandai dengan tidak adanya gangguan spontan berbicara, sedangkan
pemahaman hanya sedikit terganggu. Pasien dapat berbicara dengan
susah payah, memproduksi kata kata yang goyah dan tidak lancar.
Penamaan, pengulangan, membaca dengan suara keras, dan menulis juga
terganggu. Daerah lesi adalah di area Broca; mungkin disebabkan infark
dalam distribusi arteri prerolandic (arteri dari sulkus prasentralis).
 Afasia Wernicke (juga disebut posterior, sensorik, atau reseptif aphasia)
ditandai dengan penurunan pemahaman yang kronik. Bicara tetap lancar
dan normal mondar-mandir, tetapi kata kata penderita tidak bisa
23
dimengerti (kata salad, jargon
aphasia). Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar, membaca,
dan menulis juga nyata terganggu. Area lesi ialah Area Wernicke (area
22). Mungkin disebabkan oleh infark dalam distribusi arteri temporalis
posterior.
 Afasia transkortikal. Kata-kata yang didengar penderita dapat diulang,
tapi fungsi linguistik lainnya terganggu: tidak bisa bicara secara spontan
untuk penderita transkortikal motor afasia (sindrom mirip dengan Broca
afasia), tidak mempunyai pemahaman bahasa bagi penderita transkortikal
afasia sensorik (sindrom mirip dengan Wernicke afasia). Area lesi
transkortikol motorik terletak di kiri lobus frontal berbatasan dengan area
Broca manakala lesi transkortikol sensorik terletak di temporo-oksipital
berhampiran Area Wernicke.

24
 Amnestik (anomik) afasia. Jenis afasia yang ditandai dengan gangguan
penamaan dan mencari perkataan. Bicara masih spontan dan fasih tapi
sulit untuk menemukan kata dan mencipta ayat. Kemampuan untuk
mengulang, memahami, dan menulis kata-kata pada dasarnya normal.
Daerah lesinya di korteks temporoparietal atau di substansia nigra.
 Afasia konduksi. Pengulangan sangat terganggu; fasih, bicara spontan
terganggu oleh jeda untuk mencari kata-kata. Pemahaman bahasa hanya
sedikit terganggu. Daerah lesi ialah fasikulus arkuata.
 Afasia subkortikal. Jenis aphasia yang mirip dengan yang dijelaskan
dapat diproduksi oleh subkortikal lesi pada berbagai situs (thalamus,
kapsul internal striatum anterior).
Terdapat 3 area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan
area konduksi:
 Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara. Area
Broca terletak di posterior gyrus frontal. Secara neuroanatomi,
daerah ini digambarkan sebagai daerah Brodman 44 dan 45.
 Area Wernicke dimana pusat pemprosesan kata kata yang
diucapkan terletak di posterior gyrus temporal superior. Secara
neuroanatomi, daerah ini digambarkan sebagai daerah Brodmann
22.
 Area konduksi terdiri daripada fasikulus arkuata yang merupakan
satu bundel saraf yang melengkung dan menguhubungkan antara
area Broca dan area Wernicke. Kerusakan fasikulus arkuata
menyebabkan: timbul defisit unutk mengulang kata kata.

 Area membaca terletak di bagian media lobus oksipital kiri dan di


splenium corpus callosum. Ini adalah pusat untuk membaca. Ia
menerima impuls dari mata dan mengirimkan impuls tersebut ke
daerah asosiasi untuk dianalisa dengan, kemudian ihantar ke
fasikulus arkuata. Lesi pada area ini menyebabkan kebutaan kata
25
murni. Daerah ini neuroanatomi digambarkan sebagai daerah
Brodmann Area motorik menempati gyrus presentral (area
broadmann 4) di lobus frontal. Topografi ini diwakili oleh
homunculus, seorang laki-laki kecil yang tinggal di atas otak.
Dikenali sebagai HAL (Head-Arm-Leg) kepala ke lengan ke kaki
dari lateral medial hemisfer. Area motorik disuplai oleh arteri
serebri anterior dan arteri serebri media yang bercabang dari arteri
karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai korteks lobus
frontalis dan lobus parietalis, dimana arteri serebri media
menyuplai korteks bagian lateral. Oleh itu arteri serebri anterior
dan arteri serebri media bertanggungjawab dalam menyuplai
darah ke bagian kepala, tangan dan kaki.

26
2. Epidemiologi

Diperkirakan ada 80.000 kasus baru afasia per tahun di Amerika


Serikat. Prevalensi afasia mengacu pada jumlah orang yang hidup dengan
afasia dalam jangka waktu tertentu. The National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS) memperkirakan bahwa sekitar 1 juta orang,
atau 1 dari 250 di Amerika Serikat saat ini, menderita afasia. Lima belas
persen dari individu-individu di bawah usia 65 menderita afasia; Persentase
ini meningkat menjadi 43% bagi individu usia 85 tahun dan lebih tua.7
Tidak ada perbedaan yang signifikan telah ditemukan dalam kejadian
afasia pada pria dan wanita. Namun, beberapa data menunjukkan perbedaan
yang mungkin ada menurut jenis dan tingkat keparahan afasia. Sebagai
contoh, Wernicke dan afasia global yang terjadi lebih sering pada wanita dan
afasia Broca terjadi lebih sering pada pria.3
Afasia merupakan dampak post strok. Strok merupakan empat
penyebab utama kematian di ASEAN sejak 1992 – yang pertama di
Indonesia.8

27
3. Etiologi
a) Stroke – iskemik strok dan hemoragik strok
b) Trauma kepala
c) Tumor otak (Space Occupying lesion)
d) Penyakit degeneratif seperti dementia.
e) Infeksi pada otak – meningitis dan meningioencephalitis

4. Patofisiologi
Area motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri
media yang bercabang dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior
menyuplai korteks lobus frontalis dan lobus parietalis, manakala arteri serebri
media menyuplai korteks bagian lateral. Apabila terjadi kerusakan pada arteri
serebri media yang menyuplai area Wernicke, Broca dan area fasikulus
arkuata akan menyebabkan gangguan untuk memahami kata-kata, berbicara
dengan lancar dan juga mengulang kata kata.7

5. Gejala Klinis
Afasia Broca
a. Bicara tidak lancar
b. Tampak sulit memulai bicara
c. Kalimatnya pendek
d. Repetisi buruk
e. Kemampuan menamai buruk (anomia)
f. Pemahaman lumayan
g. Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Afasia wernicke
a. Bicara lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Repetisi buruk
28
d. Kemampuan menamai buruk (anomia)
e. Komprehensi auditif dan membaca buruk
Afasia konduksi
a. Bicara lancar
b. Pemahaman bagus
c. Repetisi

29
6. Diagnosa
Boston Diagnostic Aphasia Examination (Goodglass & Kaplan, 1972
digunakan untuk memenuhi tiga kriteria
a) mendiagnosis dan mengenal sindrom afasia, yang mengarah ke
lokalisasi otak
b) pengukuran tingkat kinerja, baik untuk penentuan awal dan deteksi
perubahan dari waktu ke waktu
c) assesment komprehensif dari aset dan kemampuan penderita di
semua bidang sebagai panduan untuk terapi.
Diselenggarakan kepada lima bagian utama: Percakapan dan
ekspositori berbicara, pemahaman pendengaran, ekspresi lisan, tertulis
pemahaman bahasa, dan menulis.9

Tabel 1. Klasifikasi Afasia menurut Boston Diagnostic of Aphasia Examination

30
7. Penatalaksanaan

Impairment based therapies bertujuan untuk meningkatkan fungsi bahasa yang


terdiri dari prosedur dimana dokter langsung merangsang penderita afasia dengan
mendengar sesuatu, berbicara, membaca dan menulis.10
a. Contstraint-induced therapy (CIT): Terapi ini merupakan suatu terapi
fisik untuk penderita yang lumpuh di mana penderita "dipaksa",
misalnya, untuk menggunakan sisi tubuh yang terganggu, karena sisi
yang sehat telah dibatasi. Dalam menerapkan prinsip ini untuk fungsi
komunikasi, pederita afasia dapat dibatasi dalam menggunakan isyarat
utuh untuk mengarahkan individu untuk menggunakan gangguan bahasa
lisan.
b. Melodic Intonation Therapy (MIT): Dikembangkan oleh Robert Sparks
di Boston, MIT didasarkan pada pengamatan bahwa beberapa orang
dengan afasia "bernyanyi lebih baik daripada berkata-kata." Metode ini
adalah langkah di mana seorang penderita memproduksi kata-kata
artifisial bermelodi. Telah direkomendasikan untuk orang-orang dengan
tipe ekspresif afasia dengan pemahaman yang baik.

Specific Communication Based Therapies


a. Terapi PACE (Promoting Aphasics' Communicative Effectiveness):
Prosedur ini adalah variasi kecil dari dasar menggambar-menamakan,
penyesuaian dan memperkenalkan unsur percakapan dalam interaksi.
Penyesuaian ini termasuk penderita afasia serta terapis bergantian
menyampaikan pesan, gambar dengan pesan tersembunyi dari pendengar,
dan pilihan bebas modalitas untuk menyampaikan pesan. Dikembangkan
oleh Jeanne Wilcox dan Albyn Davis di Memphis, tampaknya telah
populer di Eropa di mana sebagian besar penelitian telah dilakukan.
b. Conversional Coaching: Dikembangkan oleh Audrey Holland di
Arizona, strategi ini bertujuan meningkatkan kepercayaan diri melalui
praktek percakapan yang diatur. Dengan bantuan dari Leora Cherney di

31
Chicago, metode ini diintegrasikan ke dalam program komputer. Disebut
"Aphasia Scripts" yaitu terapi secara virtual untuk memberikan bantuan
penderita aphasia.
c. Supported Conversation: Berasal oleh Aura Kagan di Toronto, Kanada,
adalah strategi tertentu untuk meningkatkan kepercayaan komunikasi
yang umum ditemukan dalam kelompok masyarakat. Relawan dilatih
untuk terlibat dalam percakapan dengan orang-orang yang memiliki
afasia.8

32
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan


keluhan kelemahan anggota gerak kiri tiba - tiba sejak 1 jam SMRS. Pasien
merasa nyeri kepala dan tidak mampu melakukan aktivitas berjalan. keluhan
juga disertai dengan adanya tremor pada anggota gerak kanan.
Keluhan lain seperti mual, muntah, demam, penurunan pendengaran
serta penglihatan kabur disangkal. Riwayat adanya penurunan kesadaran dan
kejang juga disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien tidak
memiliki riwayat jatuh, hipertensi dan diabetes mellitus.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis.
Pemeriksaan fisik umum memberikan hasil dalam batas normal. Pemeriksaan
fisik neurologis yang dilakukan yaitu pemeriksaan motorik, reflex fisiologis,
reflex patologis, pemeriksaan nervus cranialis, dan rangsang meningeal. Pada
pemeriksaan fisik motorik dan reflex fisiologis didapatkan hasil kekuatan
motorik mengalami penurunan pada anggota gerak kiri, serta didapatkan
adanya reflex patologis kecuali rosolimo dan medel bechterew. Hal ini
memperkuat pernyataan bahwa pasien mengalami hempiparese sinistra.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa citicolin, omeprazole,
phenitoin, halodol, clobazam, piracetam, flunarizin dan paracetamol..
Citicolin merupakan neuroprotektor atau neurotonik. Citicolin merupakan
obat yang bekerja dengan cara meningkatkan senyawa kimia di otak
bernama phospholipid phosphatidylcholine. Senyawa ini memiliki efek untuk
melindungi otak, mempertahankan fungsi otak secara normal, serta
mengurangi jaringan otak yang rusak akibat cedera. Selain itu, citicolin
mampu meningkatkan aliran darah dan konsumsi oksigen di otak.
Sebenarnya, citicolin merupakan senyawa kimia otak yang secara alami ada
di dalam tubuh manusia. Dosis yang diberikan berupa tablet 200-600 mg/hari
atau dalam bentuk injeksi maksimal 1 gram per hari. Terapi simptomatik

33
seperti omeprazole, phenitoin, clobazam dan paracetamol diberikan untuk
mengurangi gejala mual, muntah, tremor dan demam.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association (AHA) dan American Stroke Association.


(2013). An Updated Definition of Stroke for the21st Century.
2. American Heart Association (AHA) and American Stroke Association
(ASA). (2014). AHA/ASA Guideline for the Prevention of Stroke in
Patients with Stroke or Transient Ischemic Attack. Stroke;42;227-276.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2016). Panduan Praktek
Klinis Neurologi. Jakarta: PERDOSSI.
4. Goldstein LB, Bushnell CD, Adams RJ, Appel LJ, Braun LT, Chaturvedi
S, et al. Guidelines for the primary prevention of stroke: a guideline for
healthcare professionals from the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2011 Feb. 42(2):517-84.
5. Arboix A, Alio J. Acute cardioembolic cerebral infarction: answers to
clinical questions. Curr Cardiol Rev. 2012 Feb. 8(1):54-67.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Men and Stroke.
7. Naik, R. P., Streiff, M. B., Haywood, C., Jr, Nelson, J. A., & Lanzkron, S.
(2013). Venous thromboembolism in adults with sickle cell disease: a
serious and under-recognized complication. The American journal of
medicine, 126(5), 443–449.
8. Kroll, M. H., Michaelis, L. C., & Verstovsek, S. (2015). Mechanisms of
thrombogenesis in polycythemia vera. Blood reviews, 29(4), 215–221.
9. Chen, R., Ovbiagele, B., & Feng, W. (2016). Diabetes and Stroke:
Epidemiology, Pathophysiology, Pharmaceuticals and Outcomes. The
American journal of the medical sciences, 351(4), 380–386.
10. Adams HP Jr, Davis PH, Leira EC, Chang KC, Bendixen BH, Clarke WR,
et al. Baseline NIH Stroke Scale score strongly predicts outcome after
stroke: A report of the Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment
(TOAST). Neurology. 1999 Jul 13. 53(1):126-31.

35

Anda mungkin juga menyukai