Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU

RMK:
“FOUNDATIONALISM”

DOSEN: Prof. Dr. I. K. G. Bendesa, Made

KELOMPOK IV

I PUTU ARI DARMAWAN (1981621008)


NI KADEK ALIT AGUSTINI WITARI (1981621009)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
MARET 2020
BAB 6: FONDASIONALISME

Keyakinan atau kepercayaan harus dijustifikasi dalam rangka


pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang kita
pegang. Justifikasi adalah alasan kenapa seseorang memiliki suatu kepercayaan, sebuah
penjelasan mengenai kenapa sebuah kepercayaan adalah benar, atau bagaimana
seseorang tahu apa yang diketahuinya. Ada beberapa teori justifikasi, diantaranya
adalah Fondasionalisme, Koherentisme, serta Internalism dan eksternalism. Pada bab ini
kita akan membahas lebih dalam mengenai teori fondasionalisme.

1. The Regress Argument for Traditional Foundationalism

Kita memiliki cara berpikir dengan suatu gagasan bahwa kepercayaan dapat
dijustifikasi (dibenarkan) bila kita mempunyai alasan yang tepat untuk
menganggapnya benar. Keyakinan saya bahwa “restoran lokal asia tidak
menyediakan Chana Puri minggu ini” bisa dijustifikasi (dibenarkan) oleh
keyakinan saya bahwa “saat itu Ramadhan”, dan keyakinan saya bahwa “breakfast
chef tidak bekerja selama festival keagamaaan ini berlangsung”. Jadi keyakinan A
dijustifikasi oleh keyakinan B dan C. Dengan justifikasi semacam itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa dengan menyampaikan B dan C, saya berkesimpulan bahwa A
memang benar. Tetapi, untuk menjadikan B dan C berperan sebagai penjustifikasi,
saya memerlukan alasan lebih lanjut untuk menganggap hal itu (B dan C) benar.
Disanalah kemudian ada bahaya penarikan mundur (regress) dari sebuah
justifikasi. Walaupun keyakinan C dijustifikasi dengan keyakinan D, “saya
percaya saat itu Ramadhan karena kalender memperlihatkannya”, sebuah
pertanyaan tetap akan mengemuka terkait apakah saya memiliki alasan yang bagus
untuk mempertahankan keyakinan ini lebih lanjut (dan seterusnya sampai tak
terbatas). Hal ini dianalogikan seperti rasa ingin tahu anak-anak yang secara terus
menerus membalas semua penjelasan dengan pertanyaan “mengapa?”. Kondisi
inilah yang disebut sebagi regress argument dalam justifikasi tradisional. Untuk
menghindari adanya regress ini maka diperkenalkanlah sebuah teori pembenaran
yang dinamakan Foundationalism atau Fondasionalisme.

1
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu
klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional
perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan
sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi
lebih lanjut. Adapun fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran
ini bisa berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi. Intuisi adalah
kemampuan memahami sesuatu tanpa penalaran rasional dan intelektual dan
persepsi indrawi adalah pengalaman yang didapatkan melalui sense indera yang
kita miliki. Ungkapan seperti: “menurut pendapat saya”, “menurut penglihatan
saya”, “perasaan saya mengatakan.....” adalah pernyataan-pernyataan pembenaran
yang berasal dari paham fondasionalisme ini.

Para penganut teori ini membedakan kepercayaan dalam justifikasi ini


menjadi dua bagian yaitu:

a. Kepercayaan dasar

Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya,


sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain
yang bersifat simpulan. Secara tradisional, keyakinan dasar memiliki
karakteristik

· Infallible / suatu keniscayaan/ kesempurnaan (tidak bisa salah);

· Incorrigible / sesuatu yang tidak dapat diperbaiki (tidak dapat


disangkal);

· Indubitable / sesuatu yang sudah pasti (tidak dapat diragukan).

Contoh keyakinan dasar misalnya pada perhitungan matematika kepercayaan


dasarnya adalah “positif dikalikan positif = positif ”, “positif dikalikan negatif
= negatif-” dan “ negatif dikalikan negatif = positif”

b. Kepercayaan simpulan.

Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau


lebih kepercayaan dasar. Sebagai contoh, dengan keyakinan dasar bahwa

2
bilangan “positif kali positif adalah positif”, maka semua bilangan yang
mengikuti pola “positif kali positif” pada akhirnya harus sesuai dengan
keyakinan dasar tersebut, yaitu hasil akhirnya positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.

Dengan demikian, justifikasi kebenaran berstruktur hierarkis, dimana


kepercayaan dasar sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan
simpulan hanya dapat dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Menurut
penganut paham fondasionalisme, justifikasi sebuah keyakinan harus
dikembalikan kepada sebuah kepercayaan dasar. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk:

1) Menghindari argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite regress


argument).
2) Menghindari skeptisisme dalam pengetahuan.

Untuk menjelaskan kedua tujuan ini maka berikut ini akan disajikan sejumlah opsi yang
dapat diilustrasikan bagi pendasaran kebenaran ini.

1) Pertama, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dimana B sendiri tidak


jelas kebenarannya.
2) Kedua, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada
kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai tak terhingga.
3) Ketiga, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada
kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar pada kepercayaan A.
4) Keempat, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B yang sudah jelas dengan
sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi.

Bagi kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu
keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada keyakinan lain
lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua. Begitu juga dengan
pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah lingkaran setan yang tidak berpangkal dan tidak
berujung. Adapun yang pertama sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan karena
ketidakjelasannya. Dengan adanya kepercayaan dasar sebagai fondasi yang tidak lagi
memerlukan pembenaran dari yang lain, sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian
dalam pengetahuan dapat tercapai.

3
Dalam perkembangannya, teori fondasionalisme dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Fondasionalisme versi ketat (hard foundationalism)

Menuntut agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi justifikasi pengetahuan


adalah kepercayaan yang tak boleh keliru, tidak dapat diragukan, dan tidak dapat
dikoreksi lagi. Oleh karena itu sebuah argumentasi pembenaran harus merujuk
pada kepercayaan tertentu sebagai “genus proximum” sehingga dapat dijadikan
landasan bagi inferensi logis dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh
hard fondationalism yang dapat dicatat antara lain, Descartes, Leibniz, dan
Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan
empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.;

b. Fondasionalisme versi moderat atau longgar

Fondasionalisme moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut


sebagai kepercayaan dasar dan menjadi fondasi justifikasi pengetahuan bila
secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Fondasionalisme
versi moderat tak menuntut bahwa kepercayaan harus tak dapat keliru dan tak
dapat diragukan, dan juga tidak menuntut implikasi logis. Apa yang paling
diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah
kepercayaan dasar.

2. Sellars and the Myth of the Given

Menurut pandangan fondasionalis tradisional, justifikasi terhadap semua


kepercayaan empiris kita pada akhirnya berasal dari konten pengalaman
perseptual. Konten dari pengalaman perseptual ini seringkali dikatakan sebagai
“given” (pemberian).

Wilfrid Sellars (1912-1989) adalah seorang fondasionalis dalam aliran


empirisme tetapi ia mengkritisi bahaya jatuhnya empirisme ke dalam “Myth of
the Given”. Dalam bukunya Empiricism and the Philosophy of Mind, Sellars
mempertahankan suatu bentuk empirisme tetapi sekaligus mencegah adanya

4
anggapan mengenai “Mitos Pemberian” itu. Empirisisme adalah aliran filsafat
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu harus bersumber dari
pengalaman (empeiria). Pengalaman, entah yang bersifat indrawi atau batiniah,
menjadi pokok refleksi utama. Ide-ide yang ada dalam pikiran kita itu berasal
dari pengalaman langsung akan sesuatu.

Ada dua argumen dari Sellars yang digunakan untuk mengkritik teori
fondasionalisme tradisional yaitu pertama, dia mengganggap bahwa
pengetahuan adalah bagian “ruang logis dari sebuah alasan” (logical space of
reason); kedua, dia menyediakan suatu bentuk alternatif untuk mengatakan “itu
terlihat merah olehku” sesuatu hal yang secara tradisional terlihat sebagai
sesuatu yang tidak mungkin salah, dalam bentuk “Looks Talk” sebagai bentuk
dasar persepsi pengetahuan kita.

Dalam konteks persepsi indrawi, Myth of the Given adalah anggapan yang
menyatakan bahwa pengalaman indrawi itu dapat secara langsung kita ketahui
tanpa adanya suatu pengetahuan atau konsep yang terasosiasi dengan
pengalaman itu. Pengalaman indrawi itu “terberi” begitu saja kepada subjek
pengamat. Sebagai contoh, bagaimana saya dapat berkata bahwa “ini berwarna
merah”? Dalam kacamata Myth of the Given, warna merah itu sudah terberi
begitu saja dan kita mengenalnya sebagai “warna merah”.

Sementara itu, Sellars berpandangan lain. Menurutnya, untuk dapat


mengatakan “ini berwarna merah”, kita membutuhkan terlebih dahulu konsep
mengenai “apa itu merah”. Untuk dapat memiliki konsep “apa itu merah”, tentu
saja hal itu mengasumsikan bahwa kita mengetahui perbedaan warna merah dari
warna-warna lainnya, termasuk juga membedakan konsep warna dari konsep-
konsep lain seperti bentuk, ukuran, dan lain-lain. Dengan kata lain, perkataan
“ini berwarna merah” adalah sebuah ekspresi akan pengalaman observasional
yang memuat dua unsur yaitu: pertama “ini berwarna merah” merupakan
tanda/symptom akan kehadiran sebuah objek yang secara visual berwarna
merah; kedua, “ini berwarna merah” juga merupakan tanda akan kehadiran
konsep yang dimiliki oleh si pengamat bahwa “ini berwarna merah” dan bukan
berwarna hijau, kuning, hitam, dan sebagainya

5
Dari pemahaman Sellars ini, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah persepsi
indrawi terdapat kaitan erat antara subjek dan objek. Subjek tidak semata-mata
pasif atau hanya menerima begitu saja apa yang sudah “terberi” di dalam objek.
Subjek pun memiliki peranan untuk mengenali pengalaman itu. Dengan
demikian, suatu persepsi indrawi memuat adanya korelasi antara objek yang
menampakkan dirinya serta subjek yang menangkap objek tersebut dengan
kerangka konsep tertentu.

3. Konten Konseptual dan Non Konseptual

Kepercayaan adalah konsep yang berperan dalam proses justifikasi. Hanya


dengan memikirkan susunan konsep kepercayaan kita dapat menyediakan alasan
untuk memberikan justifikasi atas suatu objek. Hal ini dapat terjadi karena
mereka dapat membentuk argumen. Seperti misalnya :

Dalam mempercayai sifat cumi-cumi adalah kenyal, maka saya meyakini


konsep tentang cumi dan konsep tentang sifat yang kenyal. Kepercayaan saya
bahwa Terry tidak akan memesan cumi-cumi di restauran karena kepercayaan
saya bahwa Terry tidak suka makan sesuatu yang kenyal dan dikuatkan lagi
dengan kepercayaan saya bahwa cumi-cumi bersifat kenyal. Dari kepercayaan
saya bahwa Terry tidak suka makan makanan yang kenyal dan kepercayaan saya
bahwa cumi-cumi bersifat kenyal, maka saya yakin Terry tidak akan memesan
cumi-cumi. Kepercayaan sebelumnya memberikan alasan yang bagus bahwa
sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti tampaknya akan menjadi kenyataan.
Justifikasi merupakan gagasan yang bersifat kesimpulan atau berasal dari suatu
percakapan.

Pada pembahasan tentang persepsi di chapter 4, fondasionalis tradisional


memperkenalkan pada kita berbagai macam jenis pengalaman perseptual yang
bagi kalangan non-epistemic dilihat sebagai “given” atau pemberian.
Pengalaman semacam itu dengan sendirinya menjadi non-konseptual, namun hal
itu menyediakan bahan mentah bagi struktur konseptual dari persepsi dan
pemikiran kita. Bagi kalangan fondasionalis tradisional, “The given” terdiri dari

6
pengalaman non-konseptual yang memainkan peran sebagai penjustifikasi.
Namun menurut Sellar, bagaimanapun konten pengalaman tidak menyediakan
kita alasan untuk berpikir tentang sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, “the
given” adalah sebuah mitos.

Kalangan fondasionalis tradisional menyatakan bahwa yang bersifat


sebagai gambaran tidak boleh disejajarkan dengan “konseptual”. “Given” adalah
sebuah gambaran/represensasional yang membawa informasi tentang dunia luar
walaupun tidak memerlukan sebuah konsep untuk melakukannya.

Informasi non konseptual adalah deskripsi nyata dari informasi konseptual.


Seperti misalnya dijelaskan dalam contoh berikut ini: anggaplah kita memiliki
sebuah konsep tentang gunung yaitu sesuatu yang ada di utara dan memiliki
sungai kecil dan berbatu. Maka ketika kita pergi kesana (gunung), dan berdiri
tepat di depannya maka kita memperoleh informasi yang lebih banyak dan
mendetail yang tidak terdeskripsikan secara konseptual. Informasi tentang
deskripsi nyata tentang sebuah gunung diluar konsep yang telah kita miliki
merupakan suatu konten non-konseptual dari sebuah pengalaman (persepsi
indrawi)

4. Wittgenstein’s Private Language Argument

Wittgenstein menyoroti persoalan besar tentang kekacauan bahasa sebagai


biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan
filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam
penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang
dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong
belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika
sebagai dasar dalam berfilsafat. Termasuk dalam kekacauan bahasa, diantaranya
adalah gagasan dari bahasa pribadi yang sifatnya dirahasiakan. Wittgenstein
menggunakan bermacam-macam argumen untuk menunjukan arti premis ini
yang sesungguhnya sementara itu ia menunjukan bahwa premis-premis tersebut
tidak dapat dipertahankan.Wittgeinstein’s mengemukakan bahasa yang bersifat
pribadi hanya bisa diketahui oleh pembicaranya saja, sehingga orang lain tidak

7
bisa mengerti bahasa si pembicara. Jadi pendapat ini, tidak dapat dijadikan dasar
kebenaran seperti paham fondasionalisme.

Misal:

a. Seorang anak kecil yang memberi nama khusus untuk semua


mainannya yang hanya dapat dimengerti oleh anak itu.
b. Penulisan kode atau simbol pada diary untuk mendeskripsikan sensasi
penulisnya.

5. Pengalaman dan Pemikiran

Menurut fondasionalis tersebut:

Ada dalam pengalaman kognitif kita, dua elemen, data langsung seperti
rasa yang disajikan atau diberikan kepada pikiran, dan bentuk, konstruksi
atau interpretasi, yang merupakan aktivitas pikiran. (C. Lewis, 1929, p. 38).

Melalui persepsi kita menerima informasi non-konseptual tentang dunia, dan


inilah yang menyediakan bahan baku untuk persepsi dan pemikiran konseptual
terstruktur. Pengalaman persepsi itu sendiri, bagaimanapun, adalah independen dari
aktivitas kognitif tersebut. Ini diklaim bahwa sifat pengalaman perseptual dipengaruhi
oleh jenis pikiran kita yang mampu kita memiliki.
Sebagai contoh, Collete adalah pemain cello profesional dan ia mempelajari
musik selama bertahun-tahun. Antoine adalah seorang yang jarang mendengarkan
musik klasik dan tidak bisa membedakan kunci B datar dari C. Antoine dan Collete
pergi ke pertunjukan Cello. Mari kita pertimbangkan seperti apa sifat dasar dari
pengalaman mereka masing-masing saat mengikuti konser. Fondasionalis akan
menyatakan bahwa mereka berdua mendapatkan pengalaman yang sama. Ini terjadi
karena keduanya menerima rangsangan fisikal yang sama (immediate data), yang hadir
atau “given” /terberi pada pikiran. Tetapi mungkin saja mereka memiliki pemikiran
yang berbeda tentang musik klasik tersebut. Kuncinya adalah bahwa mereka berdua
awalnya berbagi pengalaman dasar yang sama (non-konseptual) tentang suara musik

8
klasik, pengalaman sensorik keduanya terbebas dari pemikiran yang mereka mungkin
miliki tentang musik klasik.
Kalangan anti fondasionalis, berpendapat bahwa Antoine dan Collete tidak hanya
memiliki pemikiran yang berbeda tentang musik klasik, tetapi bahwa mereka juga
mengalaminya dengan cara yang berbeda. Collet tidak hanya bisa mengidentifikasi
sebuah chord B datar tetapi dia juga bisa mendengar cord itu. Pengalaman seperti itu
tidak bisa dimiliki Antoine, baginya musik itu terdengar berbeda. Antoine tidak
memiliki pengalaman tentang musik klasik sehingga tidak bisa memahami sebuah
musik klasik seperti halnya Collet yang merupakan seorang profesional cellist.
Untuk menyelidiki lebih lanjut klaim bahwa sifat pengalaman tergantung pada
kecanggihan konseptual dengan melihat beberapa contoh di bawah ini.

Awalnya kita melihat bebek, tetapi coba pikirkan kelinci, maka sekarang gambar
tersebut terlihat berbeda walaupun sebenarnya anda tetap melihat sebuah configurasi
tanda hitam dalam sebuah background putih. Dalam mengenali gambar tersebut, kita
memiliki pengalaman perseptual yang berbeda tergantung konsep pemikiran kita
terhadap gambar tersebut. Dengan demikian, konsep pemikiran yang kita miliki bisa
mempengaruhi pengalaman perseptual kita terhadap sesuatu hal. Berikut adalah
beberapa contoh lain tentang bagaimana pikiran dapat mempengaruhi pengalaman
persepsi kita tentang dunia.
1. Keyakinan moral kita tentang adegan atau seseorang dapat mempengaruhi
bagaimana mereka terlihat. Sebuah contoh yang dapat membantu Anda untuk fokus
pada hal ini dapat diambil dari film Cabaret (1972). Ada sebuah adegan di mana
seorang anak malaikat tampak menyanyikan sebuah lagu rakyat di taman bir Berlin,
dan ia dikelilingi oleh orang-orang tersenyum menyeruput bir di bawah sinar
matahari. Kamera kemudian turun dari wajah anak itu, mengungkapkan seragam
mudanya yang berbentuk Hitler. Saat kamera bergerak kembali untuk fokus pada
taman, adegan memiliki tampilan yang jauh lebih jahat daripada sebelumnya dan

9
lagu sekarang terdengar lebih mengancam, meskipun gaya bernyanyi anak itu tidak
berubah dan orang-orang di taman terus berperilaku dengan cara yang sama.
2. Perasaan emosional Anda terhadap seseorang dapat mempengaruhi bagaimana
mereka tampak untuk Anda. Jika Anda jatuh cinta dengan seseorang, orang itu
mungkin mulai tampak lebih indah dan mereka terlihat berbeda. Dan jika Anda
jatuh cinta, orang itu tidak mungkin terlihat lebih cantik atau lebih tampan seperti
sebelumnya.
3. Pengetahuan teoritis Anda dapat mempengaruhi apa yang Anda amati melalui
instrumen ilmiah. Ketika saya melihat slide mikroskop saya melihat tumpukan
bentuk tidak jelas. Seorang ahli biologi terlatih melihat bentuk-bentuk ini sebagai
struktur selular yang berbeda, terkait bersama-sama dengan cara yang koheren.
4. Seorang teman Anda terlihat sehat dan baik. Anda kemudian menemukan bahwa
dia mengharapkan bayi, dia sekarang terlihat berbeda. Anda melihat didiri teman
Anda yang tidak terlihat sebelumnya yaitu Anda mendengar berita dan akibatnya
memiliki pikiran-pikiran tentang ibu.
5. Seorang pendaki gunung berpengalaman melihat garis kontur pada peta sebagai
tebing curam dan menggantung lembah, sedangkan pemula melihat sebagai garis
biasa.
Beberapa orang menemukan contoh-contoh ini meyakinkan, bahkan, mereka
diterima sebagai deskripsi yang benar tentang fenomenologi pengalaman. Namun, tidak
demikian dengan yang lainnya dan di bawah akan dikatakan lebih banyak tentang
bagaimana hal ini dapat dilakukan dan bagaimana contoh-contoh seperti itu relevan
dengan fondasionalisme
Dalam bab 4 sebuah perbedaan dapat ditarik antara melihat baku dan bentuk konseptual
terstruktur persepsi seperti 'melihat bahwa' dan 'melihat sebagai’. Menurut
fondasionalisme, keterlibatan perseptual utama kita dengan dunia adalah dari yang
sebelumnya, jenis non-epistemik. Informasi non-konseptual yang kami peroleh dengan
cara ini kemudian dapat dikategorikan dalam bentuk konseptual. Antoine dan Colette
mungkin memiliki pengalaman persepsi non-epistemik yang sama terhadap pertunjukan
musik tersebut, meskipun kecanggihan musik Colette memungkinkan dia juga
mengalami musik sebagai D suite yang ringan dan memiliki pikiran tertentu tentang
musik yang Antoine tidak dapat memiliki. Contoh-contoh yang telah kita lihat,

10
menunjukkan bahwa semua melihat adalah epistemik. Tidak ada satu set dasar,
pengalaman non-konseptual yang merupakan bahan baku untuk pemikiran konseptual
dan persepsi kita. Hubungan antara pengalaman dan pemikiran adalah holistik: konsep
empiris yang kita miliki adalah produk dari keterlibatan persepsi kita dengan dunia,
tetapi juga karakter pengalaman kami tergantung pada jenis pemikiran konseptual yang
kita mampu memiliki.
Kita bisa menjelaskan perubahan yang disarankan dalam pengalaman persepsi
dengan menyatakan bahwa fokus perhatian kita bergeser. Mari kita mempertimbangkan
kembali bebek - kelinci. Ketika Anda melihat gambar sebagai kelinci, Anda fokus pada
mulutnya: takik di sebelah kanan gambar. Ketika Anda melihatnya sebagai bebek, Anda
fokus pada dua tonjolan ke kiri. Pengalaman kami berbeda karena kami diminta untuk
melihat aspek gambar yang berbeda, dan bukan karena pengalaman kami pada dasarnya
tergantung pada konsep-konsep yang kita miliki.

Fokus untuk melihat bebek

Fok

fokus untuk melihat kelinci

Dretske (1969) juga menolak posisi anti-fondasionalis. Kita mungkin dapat


melihat gambar diatas sebagai bebek atau sebagai kelinci, tapi kita hanya dapat
melakukan ini jika kita memiliki pengalaman non-konseptual konfigurasi tertentu tanda
hitam pada latar belakang putih. Pengalaman kami dari sosok hitam dan putih dasar itu
sendiri adalah independen dari setiap konsep kita mungkin memiliki yang kemudian

11
dapat memungkinkan kita untuk melihat garis-garis ini dengan cara yang lebih canggih
(yaitu sebagai bebek atau sebagai kelinci). Oleh karena itu Dretske mendukung
pendekatan fondasionalis.

6. Fondasionalisme Modest

Kita telah melihat tiga pandangan yang mengkritik teori fondasionalime. Sellars


berpendapat bahwa semua klaim pengetahuan memerlukan dukungan rasional dan
dengan demikian keyakinan mengenai pengalaman perseptual tidak dapat dijustifikasi
secara non-inferentially, baginya, justifikasi secara esensial adalah sebuah gagasan
inferensial (kesimpulan). Bagi barisan Wittgensteinian gagasan pengalaman non-
conceptual sangat tidak dapat dipertahankan. Terakhir, beberapa orang menolak
pandangan fondasionalisme dengan mengatakan pengalaman perseptual tergantung
kepada kemampuan kita secara konseptual membangun struktur pemikiran.
Beberapa foundationalists berusaha untuk mempertahankan versi 'sederhana'
atau 'moderat' dari pendekatan mereka. Robert Audi (2003) dan Arvin Plantinga (2000)
mempromosikan pandangan ini. Bagi mereka, keyakinan persepsi kita tidak sempurna.
Keyakinan saya bahwa 'Saya melihat merah' atau 'Saya tampaknya melihat merah' bisa
berubah menjadi dibenarkan atau salah, namun, itu wajar untuk menerima bahwa
keyakinan tersebut benar, kecuali jika saya memiliki bukti yang menunjukkan bahwa
mereka tidak seperti itu. Seperti persepsi tetap fondasionalis karena melibatkan
kepercayaan dasar - keyakinan yang non-inferensial dibenarkan, pembenaran yang
mereka miliki adalah yg dapat dibatalkan.
Dengan adanya kritikan tersebut, maka ada dua respon yang dibuat para
fondasionalis, beberapa memodifikasi fondasionalisme dengan memperhitungkan
berbagai kritik yang ada, sementara yang lainnya menolak kritikan tersebut secara
keseluruhan. Beberapa fondasionalis mencoba untuk mempertahankan “modest” atau
versi moderat dari pendekatannya. Modest fondasionalisme menghindarkan dilema yang
dihadapi pendekatan tradisional. Fondasionalisme moderat menyatakan bahwa suatu
kepercayaan dapat disebut sebagai kepercayaan dasar dan menjadi fondasi justifikasi
pengetahuan bila secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang
tinggi. Modest Fondasionalisme tidak menuntut bahwa kepercayaan harus infallible (tak

12
dapat salah), incorrigible (tidak dapat disangkal), dan indubitable (tak dapat diragukan).
Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang dapat diberikan
berdasarkan sebuah kepercayaan

Pertanyaan:
1. Apa argument regresi untuk fondasionalisme? Apakah itu persuasif?
2. Keyakinan saya bahwa ada sebutir apel di depan saya dibenarkan oleh fakta yang
tak dapat dibantah bahwa 'saya sekarang mengalami bentuk hijau bulat di bidang
visual saya. Diskus.
3. Apakah pemberian adalah myth?
4. Beberapa tahun yang lalu di sebuah bis di Perancis saya mendengarkan orang-orang
disekitar saya sedang mengobrol. Saya tidak mengerti tentang apa yang mereka
katankan karena saya sangat terbatas dalam berbahasa Perancis. Namun kemudian,
setelah kata-kata mereka lebih familiar terdengar dan saya seketika menyadari
bahwa apa yang selama ini saya dengarkan adalah Bahasa Inggris. Membingungkan,
Saya mengkonsentrasikan kembali dengan apa yang mereka katakan dan kembali
Saya mendengarkan kata-kata yang asing, yang tidak saya mengerti. Apa yang dapat
dikatakan oleh teori fondasionalisme dan anti fondasionalisme pada bagian 5
tentang pengalaman saya dan cerita yang mana menurut Anda yang lebih persuasif?
5. Apa persamaan antara fondasionalime tradisonal dengan fondasionalisme sederhana
dan apa perbedaan pendekatannya?
Jawaban:
1. Kemunduran pembenaran adalah pertanyaan masih akan muncul tentang apakah
saya memiliki alasan yang tepat untuk tetap percaya dan selanjutnya. Anggapan
bahwa keyakinan A (sebagian) dibenarkan oleh keyakinan C, dibenarkan oleh
keyakinan D, dibenarkan hingga tak terbatas. Jika sebuah rantai keyakinan
berfungsi untuk menyediakan sebuah alasan untuk percaya bahwa A, maka
harus berhati-hati terhadap isi dari rantai yang tak terbatas ini, dan bagaimana
sepertinya kebenaran dari A bisa disimpulkan dari rangkaian keyakinan ini. Jadi
tidak bisa dianggap bahwa pada titik tertentu pembenaran sudah habis karena
jika hal ini benar maka tidak lagi ada alasan untuk berpikir rantai keyakinan kita
benar. Kemunduran pembenaran ini bersifat persuasif karena kita selalu ingin

13
mengetahui pembenaran atas keyakinan dasar dari setiap keyakinan yang ada
untuk mempercayai kebenarannya. Jadi misalnya keyakinan A membujuk kita
untuk mencari tahu kebenarannya, dan demikian seterusnya.
2. Keyakinan tersebut tidak dibenarkan oleh kelanjutan keyakinan yang dimiliki;
mereka dibenarkan dalam keyakinan oleh persepsi pengalaman. Pengalaman
saya melihat sebuah bentuk bulat berwarna hijau yang membenarkan bahwa
saya yakin melihat sebuah bentuk bulat berwarna hijau, yang lebih condong
membenarkan keyakinan saya bahwa ada sebuah apel di depan saya. Usaha
pembenaran dihargai jika kita mempertimbangkan bagaimana kita berusaha
membenarkan keyakinan kita apabila kita diberitahu untuk melakukan itu. Saya
percaya ada objek berbentuk bulat berwarna hijau di depan saya karena
sepertinya saya melihat bentuk bulat berwarna hijau disana. Tidak ada yang bisa
saya katakan untuk mendukung keyakinan ini selain menganggap bahwa
memang seperti inilah yang saya lihat.
3. Ya, pertimbangan adalah sebuah mitos. Pertimbangan terletak di pengalaman
non konseptual yang berperan dalam proses pembenaran. Sellars menganggap,
bagaimanapun juga, pengalaman yang dibayangkan dengan cara ini tidak dapat
memberikan kita alasan bahwa dunia itu terlihat sedemikian rupa. Teori
pembenaran tradisional menganggap bahwa pertimbangan adalah sebuah
perwakilan, yang membawa informasi tentang dunia luar, walaupun hal itu tidak
memerlukan konsep untuk melakukannya.
4. Pengalaman tersebut merupakan persepsi dari diri kita. Sebenarnya kita
mendengar orang tersebut berbicara bahasa asing, yaitu bahasa
perancis, tetapi persepsi kita mengatakan itu bahasa inggris.
Pernyataan tersebut dapat dikalahkan oleh bukti psikologis dengan
memberikan pernyataan bahwa saya sedang tidak fokus atau
berkonsentrasi atau karena kebisingan yang ada di dalam bus yang
menyebabkan orang tersebut berbicara tidak terdengar jelas.
5. Persamaannya, yaitu fondasionalisme tradisional dan fondasionalisme
sederhana sama sama didasarkan pada keyakinan pembenaran yang disebut
dengan keyakinan dasar. K e y a k i n a n dasar bersifat inallible
(sempurna tidak mungkin salah), incorrigible (tidak dapat

14
diperbaiki), dan i n d u b i t a b l e ( tidak dapat diragukan). Perbedaannya,
yaitu fondasionalisme tradisional menyatakan bahwa pembenaran keyakinan
dasar tidak tak terbatas, sedangkan menurut fondasionalisme sederhana
pembenaran keyakinan dasar harus tak terbatas dimana kita tidak bisa
menganggap tahu sesuatu yang kita tidak punya alasan untuk menerima
bahwa hal tersebut adalah benar.

15
Daftar Pustaka

O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom:


Polity Press.

16

Anda mungkin juga menyukai