Anda di halaman 1dari 9

Mengenal Konsep Etika Immanuel Kant

April 13, 2015

javaphilosophy

image

PENDAHULUAN

ETIKA, berasal dari bahasa yunani yaitu ethikos yang merupakan kata dasar dari ethos, diartikan sebagai;
tempat tinggal biasa, padang rumput, watak, kebiasaan, akhlak, perasaan, sikap, adat, atau cara berpikir.
Akan tetapi, etika dalam perkembangannya cenderung diartikan sebagai adat kebiasaan. Dalam
etimologi, etika sering dikaitkan dengan moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin “mos”, bentuk
jamaknya “mores” yang berarti juga adat atau cara hidup.[1]

Dalam kamus ilmiah, etika memang sinonim dengan moral, namun fokus kajian keduanya dibedakan.
Etika lebih merupakan pandangan filosofis tentang tingkah laku, sedangkan moral lebih pada aturan
normatif yang menjadi pegangan seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika
merupakan studi kritis dan sistematis tentang moral, sedangkan moral merupakan objek material dari
etika.[2]

Etika termasuk objek pengkajian dari filsafat nilai. Nilai sendiri merupakan tema baru dalam filsafat,
cabang filsafat yang mempelajarinya adalah aksiologi. Tema nilai sendiri muncul pertama kali pada
paruh abad ke-19. Baik zaman kuno maupun modern, tanpa disadari manusia menempatkan nilai
sebagai tolok ukur sesuatu.

Usaha awal aksiologi diarahkan pada nilai-nilai yang terisolasi. Penelitian terhadap nilai yang terisolasi ini
merupakan sebuah makna baru manakala orang mengembangkan hakikat nilai dalam proses pengkajian
aksiologi. Maka, etika maupun estetika merupakan warisan kuno yang belakangan ini melangkah jauh
kedepan ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.[3]

Sebagai salah satu wilayah kajian filsafat, etika lebih menekankan pada upaya pemikiran kefilsafatan
tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Jadi, etika tidak hanya berkaitan dengan
pengetahuan tentang baik dan buruk atau berkaitan dengan sisi normatif suatu tingkah laku, tetapi
mencakup analisis-konseptual mengenai hubungan dinamis antara manusia sebagai subjek dengan
pikiran-pikirkannya sendiri (berupa dorongan, motivasi, cita-cita, tujuan hidup, dan perbuatan-
perbuatannya.[4]
RIWAYAT HIDUP IMMANUEL KANT

IMMANUEL KANT, lahir pada 22 April 1724 di Konisberg (sekarang Kaliningrad, UUSR), Prusia Timur,
Jerman. Ia adalah seorang filosof Jerman abad ke-18 yang sangat berpengaruh dalam dunia filsafat.
Ayahnya seorang ahli pembuat baju besi, sebelum akhirnya beralih profesi menjadi pedagang. Tetapi,
sekitar tahun 1730-1740, perdagangan di Konisberg mengalami kemerosotan, sehingga keluarga Kant
hidup dalam kemiskinan. Di kota ini pula sepanjang hidup Kant mencari ilmu hingga ia meninggal pada
usia 80-an (1804). Keluarganya adalah penganut Kristiani yang sangat saleh.[5] Keyakinannya itu
sekaligus merupakan latar belakang yang cukup penting bagi pemikiran filosofinya, terutama masalah
etika.

Kant memulai pendidikan formalnya pada usia 8 tahun di Collegium Friedericianum. Setelah itu, ia
memasuki Universitas Konisberg pada usia 16 tahun. Selama belajar disana, ia mempelajari hampir
semua mata kuliah yang ada. Meski miskin, ia tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada kerabat
yang membantunya. Ia menyambi berprofesi menjadi guru privat di beberapa keluarga kaya.[6]

Tahun 1770, Kant mendapatkan gelar doktor dengan desertasi berjudul Meditationumquarunsdum de
Igne Succinta Delineatio (Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api). Setelah
mendapatkan gelarnya, ia mengajar di Universitas Konisberg. Di sana ia mengajar banyak mata kuliah;
metafisika, geografi, pedagogi, fisika, matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak, dan mineralogi.
Cara mengajarnya begitu hidup, seolah ia seorang orator handal. Karena itulah ia disebut der schone
magister (guru yang cakap).[7]

Tahun 1775, ia diangkat menjadi professor logika dan metafisika dengan desertasi berjudul De
Mindisensibilis Atgue Intelligibilis Forma et Principiis (Mengenai Bentuk san Asas Dunia Inderawi dan
Budi). Kant banyak menuliskan karya-karyanya dalam buku; Kritik der Reinen Vernunft (The Critique of
Pure Reason) pada tahun 1770, Polegomena to any Future Metaphisics (1785), Metaphisical Foundation
of Rational Science (1786), Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgement (1790), Religion
Within the Boundaries of Pure Reason (1794), Religion Within Limits of Pure Reason (1794), dan
sekumpulan essai yang berjudul Eternal Peace (1795).[8]

LANDASAN PEMIKIRAN ETIKA IMMANUEL KANT

Menurut Kant, filsafat Yunani dibagi menjadi 3 bagian; logika, fisika, dan etika. Logika berkaitan dengan
bentuk pemahaman dan rasio, fisika terkait persoalan hukum alam (law of nature), dan etika berkaitan
dengan tindakan moral.[9] Dalam etika ia mengembangkan model filsafat baru. Pemikiran ini dituangkan
dalam karyanya Critique of Pure Reason, berisi penjelasan tentang penyelidikan dan struktur
keterbatasan akal itu sendiri. Dan dalam bukunya Critique of Practical Reason, yang berkonsentrasi pada
penyelidikan etika, estetika, dan teologi.

Etika, dalam pemikiran Kant sendiri dilatarbelakangi oleh realitas bahwa “rasio murni” (pure reason)
yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah objek noumena, yaitu dunia think in itself.
Menurut Kant, rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek fenomena.
Ketika sains memasuki wilayah noumena, yang terjadi ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy.
Demikian pula jika rasio memasuki wilayah noumena, ia akan terjebak dan hilang dalam “paralogisme”.
Oleh karena itu, Kant berkeyakinan bahwa untuk memasuki wilayah noumena maka harus
menggunakan “akal praktis” (practical reason). Dari sinilah pemikiran etika Kant muncul.[10]

Terdapat tiga postulat kategoris dalam bangunan filsafat Kant yang merupakan dalil-dalil akal praktis
yang harus diterima dan dipercaya kebenarannya. Pertama, kebebasan (reiheit), yang dimaksud adalah
kebebasan kehendak, sifatnya a priori dan transendental serta merupakan dasar kepribadian. Kedua,
immortalitas (unsterblichkeit), yang dimaksud adalah immortalitas jiwa, berkaitan dengan summum
bonum, yaitu kebaikan tertinggi (virtue atau highest good). Jiwa harus bersifat immortal agar dapat
mencapai kebaikan tertinggi. Ketiga, eksistensi Tuhan (das dasein gottes), yang berarti Tuhan adalah
kebaikan tertinggi, karena itu mempercayai adanya Tuhan adalah suatu keniscayaan. Dalam bukunya ia
menyebutkan, “Tercapainya kebaikan tertinggi di dunia ini merupakan objek niscaya dari suatu
kehendak yang dapat ditentukan oleh hukum moral. Dalam kehendak tersebut, kesesuaian secara
menyeluruh keinginan dengan hukum moral merupakan kondisinya paling tinggi dari kebaikan
tertinggi.”[11]

Disamping itu, terdapat tiga prinsip dasar dalam etika Kant, yaitu universalitas, humanitas, dan otonomi.
Bagi Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan maksim yang dapat menjadi maksim
umum dan bersifat universal. Prinsip universalitas yang mendasari etika Kant dapat kita cermati dari
konsepnya tentang imperatif kategoris. Sedangkan prinsip humanitas dimaksudkan bahwa etika Kant
menempatkan manusia pada posisi yang tinggi.

Konsekuensi dari konsep tersebut bahwa dalam segala tindakan manusia perlu ditanamkan suatu sikap
dimana sesama manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri, sebab
segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia dan digunakan untuk mengangkat harkat
kemanusiaan secara universal. Sedangkan prinsip otonomi yang dimaksudkan adalah otonomi
kehendak, yaitu kemampuan untuk menaati hukum moral yang dibuatnya sendiri. Otonomi kehendak
bersifat suci / sakral atau paling tidak merupakan kehendak baik. Otonomi kehendak inilah merupakan
prinsip moralitas tertinggi dan satu-satunya prinsip hukum kewajiban moral.[12]

BANGUNAN PEMIKIRAN ETIKA IMMANUEL KANT


Pemikiran Kant, khususnya tentang etika dijelaskan secara gamblang dalam beberapa karyanya seperti
Critique of Practical Reason (1787), The Metaphysics of Moral (1797), dan karya lainnya yang berbentuk
artikel dan essai yang bertemakan politik, sejarah, dan agama.[13]

Imperatif Kategoris

Dalam keseluruhan struktur bangunan pemikiran etika, Kant senantiasa mendasarkan konsepnya
tentang categories imperative, sehingga categories imperative merupakan produk pemikiran terpenting
dalam bidang etika Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etika Kant.

Categories imperative, secara sederhana disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral”.
Perintah ini tidak mengandung segala perintah (command), melainkan adanya perwujudan tentang
adanya suatu “keharusan objektif” yang datang dalam dirinya sendiri, tidak bersyarat, bersifat mutlak
dan merusakakan realisasi dari akal budi praktis.

Kerja etika adalah memberi landasan dan aturan mengenai tingkah laku yang baik dan benar,
sebagaimana halnya logika yang mencari aturan penggunaan akal pikiran secara benar. Etika semacam
ini menghasilkan produk etika universal. Etika murni tersebut bersifat a priori, karena itu terbebas dari
pengaruh yang bersifat empirik. Atas dasar ini, Kant berpendapat bahwa etika universal harus
dilandaskan pada unsur-unsur a priori yang ternyatakan pada kehendak baik (a good will).

Kehendak baik tidak tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi berkehendak karena memang demi
kewajiban, contohnya, perintah “jangan mencuri”. Perintah ini mengikat semua orang karenanya
bersifat universal. Unsur a priori-nya adalah kehendak baik yang ada dalam perintah tersebut. Kehendak
baik yang ada dalam perintah tersebut bukanlah karena hasil tindakan “jangan mencuri” itu baik,
melainkan memang karena hakikat yang terdapat dalam perintah “jangan mencuri” adalah benar-benar
baik. Oleh karena itu, melakukan tindakan demikian merupakan “keharusan objektif” yang muncul
sebagai perintah budi, sedangkan rumusan perintah itu disebut imperative. Imperative sebagaimana
contoh di atas disebut sebagai imperatif kategoris (categories imperative).

Categories imperative adalah perintah moral mutlak, sehingga tingkah laku yang di wajibkannya baik
dalam arti moral, baik dalam dirinya sendiri, bukan baik dalam arti untuk mencapai kepentingan atau
tujuan atau hanya sebagai sarana pemuasan perasaan.[14] Bentuk imperative seperti ini, oleh Kant
disebut dengan praktis “apodiktis” (pasti atau tegas), tanpa mengacu pada tujuan tertentu.
Untuk mempertegas konsepnya tentang categories imperative, Kant mempertentangkannya dengan
hypotesis imperative, sebab tingkah laku manusia tidak sepenuhnya merupakan wujud dari categories
imperative.

Hypotesis imperative adalah perintah bersyarat, dimana perintah objektif dipersyaratkan dengan
adanya tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Contoh, ungkapan “jika ingin kaya harus rajin
bekerja”. Terlihat bahwa “rajin bekerja” merupakan perintah bersyarat yang memiliki muatan
kepentingan dan tujuan tertentu, yaitu “ingin kaya”. Terhadap hypotesis imperative, walaupun Kant
mengakui keberadaannya, namun tidak dianggap sebagai perbuatan moral, sebab karakteristik dari
perbuatan bermoral adalah perintah tersebut harus berlaku universal dan bersifat categories.

Legalitas dan Moralitas

Kant membedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dengan tindakan yang dilakukan demi
kewajiban. Tindakan pertama oleh Kant disebut dengan legalitas, sedang tindakan kedua disebut dengan
moralitas. Legalitas dipahami sebagai kesesuaian suatu tindakan dengan norma hukum (lahiriah) belaka,
sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma moral (batiniah), yaitu yang
dipandang sebagai suatu kewajiban.

Pada legalitas, Kant memandang sebagai suatu tindakan yang belum bernilai moral karena baru
memenuhi norma hukum, belum memenuhi norma moral. Suatu tindakan yang memenuhi norma moral
adalah tindakan yang berdasar pada maksim formal, bukan maksim material. Bertindak berdasar
maksim formal berarti bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang murni dan a priori, karena tidak
memuat aturan empirik-material, dan karena bersifat mutlak serta universal (bukan partikukar). Jelas
berbeda dengan tindakan yang berdasar pada maksim material, dimana tindakan dilakukan berdasar
subjektifitas untuk mencapai tujuan tertentu.

Adanya distingsi antara legalitas dengan moralitas tersebut memberi pengertian bahwa suatu tindakan
bisa jadi memenuhi asas legalitas, tetapi tidak memenuhi asas moralitas. Contoh: bila ada orang miskin,
kita memberinya uang karena merasa kasihan, atau memiliki tujuan agar dianggap sebagai dermawan.
Tindakan demikian hanya memenuhi asas legalitas, tidak memenuhi asas moralitas, meskipun tindakan
tersebut baik dan terpuji, tetapi tidak bernilai moral, sebab tindakan tersebut memuat motif, tujuan
atau pamrih.

Otonomi Kehendak

Dalam sistem etika Kant, otonomi kehendak merupakan prinsip moralitas tertinggi (the highest morality)
dan satu-satunya prinsip hukum yang melandasi imperatif moral.[15] Otonomi kehendak adalah
kemampuan untuk manaati norma moral yang dibuatnya sendiri, bersifat mandiri, a priori, dan tidak
dipengaruhi oleh realitas empirik.
Otonomi kehendak bukan bermakna seakan-akan seorang seenaknya sendiri dapat menentukan apa
yang menjadi kewajibannya sendiri, melainkan manusia melalui akal budi praktis murni diharapkan
menyadari bahwa sesuatu itu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu merupakan
kewajiban adalah sama saja mengakui bahwa sudah sepatutnya membuktikannya.

Demi memperoleh kejelasan, Kant menghadapkan prinsip otonomi kehendak dengan heteronomi
kehendak. Prinsip heterenomi kehendak adalah sumber moral palsu, tidak mampu memberi dasar
kewajiban, bahkan lebih banyak melawan kewajiban bertindak. Prinsip herteronomi kehendak mengakui
bahwa keharusan tindakan dilakukan sebagai sesuatu yang semata-mata berasal dari berbagai hal lain
diluar kehendak manusia sendiri. Karenanya, heteronomi kehendak hanya menciptakan hypotesis
imperative dan bukan categories imperative.

Konsep Kebaikan dan Kebahagiaan (Virtue dan Happiness)

Menurut Kant, antara virtue dengan happiness memiliki perbedaan yang sangat tegas, walaupun
keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya, kalau virtue bersifat unconditioned, tak bersyarat,
otonom, kategoris, dan universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedaan agama,
suku, ras, atau bangsa), sedangakan happiness bersifat conditioned, bersyarat, heteronom, hepotesis,
dan partikular.

Hubuangan antarat virtue dengan happiness adalah adalah hubungan sebab-akibat, di mana virtue
berfungsi sebagai landasan, sedangkan happiness merupakan konsekuensi yang menyertai virtue. Hal ini
berarti bahwa tanda ada dorongan dalam diri manusia untuk meraih virtue, maka happiness tidak
memiliki landasan yang kokoh dalam dirinya.

Etika dan Agama

Bagi Kant, dengan pemahaman terhadap virtue sebagai tujuan akhir dari pure practical reason, maka
norma moral mengarah pada agama. Norma moral mengarah pada pengakuan terhadap kewajiban-
kewajiban sebagai perintah Tuhan. Tuhan adalah Yang Maha Sempurna secara moral, sehingga
kehendak dan perintah-Nya juga sempurna secara moral. Dengan adanya penyelarasan ini, akan
diakuilah kewajiban terhadap perintah Tuhan. Inilah yang oleh Kant diakui sebagai awal mula agama.

Pandangan ini membawa implikasi bahwa moralitaslah yang mengarahkan manusia pada agama, sebab
moralitas lebih dahulu ada daripada agama. Pandangan Kant tentang agama banyak dipengaruhi oleh
keyakinannya akan keterbatasan akal teoritis (pure reason) dalam mengungkap misteri, Tuhan, dan alam
ghaib (metarasional), bila seorang bersikukuh untuk menggunakan pure reason dalam memahami,
misalnya, wahyu atau teks agama (seperti adanya Tuhan), maka akan terjebak pada “paralogisme”. Oleh
sebab itu, bagi Kant memahami teks kitab suci harus dilihat urgensinya secara moral. Sebab, agama
tidak akan ada gunanya bila tidak dapat bernilai moral.

Untuk mempertegas pandangannya tentang kaitan agama dengan moral, Kant memperkenalkan apa
yang disebut dengan agama sejati (true religion), yaitu agama yang menyatakan di dalam kewajiban
harus memandang Tuhan sebagai Sang Pemberi hukum universal yang harus dihormati. Menghormati
Tuhan berarti telah menaati hukum moral, yakni bertindak sesuai kewajiban sebagai perintah-Nya.

KESIMPULAN

Kant membangun norma moral universal adalah dengan menggunakan pendekatan rasional. Jangkauan
atau frekuensinya yang sangat luas dan menyeluruh, mengikat semua orang. Ini bukan berarti Kant tidak
mempercayai Tuhan, justru ia menempatkan Tuhan sebagai postulat tertinggi.

Etika Kant, pada hakikatnya memberikan landasan agar manusia berbuat baik atas dasar kesadaran
sendiri sesuai dengan otonomi kehendak yang dimilikinya. Hal ini merupakan kesadaran tertinggi dari
manusia untuk mencapai moral yang luhur (virtue).

Walaupun Kant secara tegas tidak didasarkan pada agama, namun dimensi pemikirannya sangat religius
yang mengarahkan kebaikan kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Oleh sebab itu pula, ia disebut
dengan filosof, bukan teolog.

Virtue dan happiness merupakan tujuan akhir dari moral dengan menempatkan eksistensi Tuhan dan
immortalitas jiwa sebagai postulat. Maka, sangat tidak dibenarkan tindakan yang memiliki tujuan
individual dan bersifat egois. Secara implisit dan tersembunyi Kant dengan tindakan moralnya
mengharapkan adanya kebahagiaan dalam keabadian jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens. K. 1994. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Zubaedi, dkk. 2010. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.


Partanto, Pius & Al Barry, Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkeola

Frondizi, Riseiri. 1963. What is Value?. Terj. Cuk Ananta Wijaya. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta: Diva Press.

Russell, Bertrand. 1961. History of Western Philosophy. London: George Allen & Unwin Ltd.

Kant, Immanuel. 1956. Critique of Practical Reason. New York: The Liberal Art Press New York. Terj.
Nurhadi. 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[1] K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 4-5.

[2] Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, (Yogyakarta: Ar-ruzz media, 2010), hlm. 66.

[3] Risieri Frondizi, What is Value?, diterjemahkan Cuk Ananta Wijaya, Pengantar Filsafat Nilai,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 1-2.

[4] Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, hlm. 66.

[5] Bertrand Russell, History of Western Philosophy, (London: George Allen & amp; Unwin Ltd. 1961),
hlm. 675.

[6] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hlm.
121-122.

[7] Ibid., hlm. 122.

[8] Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, hlm. 67-68.


[9] Op.cit., hlm. 68.

[10] Ibid., hlm. 68.

[11] Immanuel Kant, Critique of Practical Reason. (New York: The Liberal Arts Press, 1956). Terj. Nurhadi,
Kritik Atas Akal Budi Praktis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 202.

[12] Zubaedi, dkk, Filsafat Modern, Op.cit., hlm. 70.

[13] Ibid., hlm. 70.

[14] Op.cit., hlm. 72.

[15] Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, hlm. 75.

Anda mungkin juga menyukai