Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

(NET)

Oleh :

Dita Latisha Savira, S.Ked

19360095

Pembimbing :

dr. Arif Effendi, Sp. KK

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG
2020

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

Nekrolisis Epidermal Toksik

Bandar Lampung, Oktober 2020

Penyaji Pembimbing

Dita Latisha Savira, S.Ked dr. Arif Effendi, Sp.KK


SKENARIO KASUS

An. FY, 3 tahun, datang ke Rumah Sakit dibawa oleh keluarganya dengan allo

anamnesis, dengan keluhan lepuh dan lecet pada seluruh tubuh sejak tiga hari yang lalu.

Awalnya muncul bintik merah pada dahi dan kedua tangan disertai demam. Kemudian

berobat ke bidan, mendapatkan obat berupa puyer, 3 hari kemudian muncul lepuh kehitaman

di ketiak disertai demam yang terus meningkat. OS juga mengeluhkan adanya bengkak dan

sakit pada kedua mata, obat dari bidan kemudian dihentikan, sehari kemudian lepuh

menyebar hampir ke seluruh tubuh kemudian pasien dibawa ke RS. OS mengeluhkan mata

tidak dapat dibuka. Riwayat alergi disangkal, keluhan adanya BAK nyeri, BAB cair berwarna

hitam. Riwayat os pernah mengalami kejang lebih kurang setahun yang lalu

Pengobatan yang pernah didapat : Obat puyer pemberian bidan yaitu, isinya

Asiklovir, CTM, Paracetamol, Prednisone.

Pada status dermatologis ditemukan, di area universalis, ditemukan adanya bulla

merah kehitaman, sirkumskripta, irregular, multipel, beberapa bulla konfluen, ukuran

lentikular sampai dengan plakat disertai erosi yang multipel.


BAB I

STATUS PASIEN

RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN BANDAR


LAMPUNG SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

Nama : An. FY

Usia : 3 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pramuka No.27, Kemiling, Bandar Lampung

Pekerjaan : (-)

Suku Bangsa : Lampung

Agama : Islam

Status : Belum menikah

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara allo anamnesis dengan keluarga os pada hari Kamis,

29 Oktober 2020 pukul 09.00 WIB.

Keluhan Utama : Lepuh seluruh tubuh sejak 3 hari yang lalu

Keluhan Tambahan : Demam, bengkak dan sakit pada kedua mata

Riwayat Penyakit : Sejak tiga hari yang lalu muncul keluhan lepuh dan lecet

pada seluruh tubuh. Awalnya muncul bintik merah pada dahi

dan kedua tangan disertai demam. Kemudian berobat ke bidan,

mendapatkan obat berupa puyer, 3 hari kemudian muncul

lepuh kehitaman di ketiak disertai demam yang terus

meningkat. OS juga mengeluhkan adanya bengkak dan sakit


pada kedua mata, obat dari bidan kemudian dihentikan, sehari

kemudian lepuh menyebar hampir ke seluruh tubuh kemudian

pasien dibawa ke RS. OS mengeluhkan mata tidak dapat

dibuka. Riwayat alergi disangkal, keluhan adanya BAK nyeri,

BAB cair berwarna hitam.

Penyakit lain yang pernah diderita : Kejang lebih kurang setahun yang lalu

Pengobatan yang pernah didapat : Obat puyer yang berisi Asiklovir, CTM,

Paracetamol, Prednison

Riwayat Alergi Obat : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

III. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis

Status Gizi : Cukup

Tanda vital

 Tekanan darah : Tidak diperiksa

 Nadi : 110x/ menit

 Suhu : 39,2 ˚ C

 Pernapasan : 24 x/menit

Berat Badan : 13 Kg

Tinggi Badan : 83 Cm
1. Kulit

 Warna : warna kulit sawo matang.

 Rambut : tumbuh rambut pada permukaan kulit kepala, hitam, lurus, tidak

mudah dicabut.

 Turgor : normal

2. Kepala

 Bentuk : Normocephali

3. Mata

 Konjungtiva : Hiperemis (+/+), Anemis (-/-) , Refleks cahaya (+/+)

 Sklera : Normal, warna putih

 Pupil : Isokor

4. Telinga

 Aurikula : Nyeri tekan tragus (-) Serumen(-)

 Meatus akustikus eksternus : Serumen (-), edem (-), eritem (-)

 Membran tympani : Hiperemis (-), perforasi (-) 

5. Hidung

 Polip (-) , pernafasan cuping hidung (-/-)

 Mukosa : Hiperemis (-), perdarahan (-)

 Septum nasal : Deviasi (-)

6. Mulut

 Labium oris : Sianosis (-), kering (+) pecah pecah (+)

 Lingua : Lidah kotor (+)

 Gingiva : Gingivitis (-)

7. Tenggorokan

 Faringitis (-), tonsilitis (-)


 Tonsil : hiperemis (-)

 Dentis : Karies dentis (-)

8. Leher : bentuk tidak ada kelainan, KGB tidak teraba membesar

9. Thorax

 Inspeksi : Jaringan parut (-), gerakan simetris

 Palpasi : vokal fremitus pada semua lapang paru (Dextra = Sinistra)

 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

 Aukultasi : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

10. Jantung

 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus cordis teraba

 Perkusi : DBN

 Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

11.Abdomen

 Inspeksi : Permukaan cembung

 Auskultasi : Bising usus meningkat

 Perkusi : Timpani (+),

 Palpasi : Turgor kulit dalam batas normal, massa (-), Nyeri tekan

abdomen (-), Hepar tidak teraba, Limfa tidak teraba

12. Genitalia

Tidak dilakukan pemeriksaan

13. Perianal

Tidak dilakukan pemeriksaan


14. Ekstremitas

 Superior : Simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas, edema(-), CRT < 2 detik,

sensoris baik

 Inferior : Simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas, edema (-),

CRT < 2 detik, sensoris baik.

IV. STATUS DERMATOLOGIS

Lokasi : Universalis

Inspeksi : Bula merah kehitaman, sirkumpkripta, irregular, multipel,

beberapa bulla konfluen, ukuran lentikuler, numuler, plakat,

erosi yang multipel.

UKURAN LESI KONFIGURASI EF.PRIMER EF. SKUNDER


Pungtata Multipel Linier Makula Krusta
Milier Diskret Anuler Papula Erosi
Guttata /konfluen
Sirkumpkripta Gyrata Vesikel Ekskonasi
Lentikuler Irregular Kribformis Pustul Ulkus
Numularis Arsiner Bula Skuama
Plakat E F. KHUSUS Nodulus Likenifikasi
Komedo Nodus Vegetasi
Terowongan Plak Sikatriks
Purpura Urtika Abses
Eksanterna Kista
Milia Tumor

Tes Manipulasi : Tidak Dilakukan


V. LABORATORIUM

No. Pemeriksaan Hasil Normal Satuan


1 Hemoglobin 12.1 Lk 14-18 Wn 12-16 gr/dl
2 Leukosit 5.200 4.500 – 10.700 ul
3 Hit. Jenis leukosit Basophil 0 0-1 %
4 Hit. Jenis leukosit Eosinofil 0 0-3 %
5 Hit. Jenis leukosit Batang 1 2-6 %
6 Hit. Jenis leukosit Segmen 62 50-70 %
7 Hit. Jenis leukosit Limfosit 29 20-40 %
8 Hit. Jenis leukosit Monosit 3 2-8 %
9 Eritrosit 4,6 Lk 4,6-6,2 Wn 4,2-6,4 10^6/ul
10 Hematokrit 40 Lk 50-58 Wn 38-47 %
11 Trombosit 201.000 159.000-400.000 Ul
12 MCV 83 80-96 Fl
13 MCH 30 27-31 Pg
14 MCHC 34 32-26 g/dl

VI. RESUME

An. FY, 3 tahun, datang dengan keluhan lepuh dan lecet pada seluruh tubuh sejak tiga

hari yang lalu. Adanya bengkak dan sakit pada kedua mata, OS mengeluhkan mata tidak dapat

dibuka. keluhan adanya BAK nyeri, BAB cair berwarna hitam. Ditemukan adanya konjungtiva

hiperemis (+/+), labium oris kering dan pecah-pecah, lingua kotor (+).

Pada status dermatologis ditemukan, di area universalis, ditemukan adanya bulla merah

kehitaman, sirkumskripta, irregular, multipel, beberapa bulla konfluen, ukuran lentikular sampai

dengan plakat disertai erosi yang multipel.

VII DIAGNOSA BANDING

1. Staphylococcal scalded skin syndrome

2. Sindrom steven johnson

3. Nekrolisis epidermal toksik

4. Pemfigus bulosa
VIII DIAGNOSIS KERJA

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

IX PENATALAKSANAAN
A. Umum (Non Medikamentosa)
1. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang dicurigai sebagai penyebab.
2. Pasien di monitor ketat
3. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Memberitahu bahwa tidak boleh menggaruk dan mengelupaskan keropeng.
5. Memberitahu pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar untuk
mencegah adanya imfeksi sekunder.
6. Beri nutrisi secara enteral.
7. Memberitahu diet tinggi protein.
8. Istirahat cukup.
B. Khusus (Medikamentosa)
1. Sistemik
 IVFD D5% ; NACL 0,9% = 3:1
 Inj dexamethasone dosis awal 0,02-0,3mg/kg BB/hari dibagi dalam 3-4 kali.
 Inj Ceftriaxon 500 mg/kgBB IM/IV / 12 Jam 1x
 Ibuprofen 400mg (bila demam)
2. Topikal
 Kompres NACL 0,9% 3x15 menit pada daerah luka.
 Hidrokortison krim 2,5% 3x sehari setelah dikompres pada bercak tubuh.
 Cendo lyteers 6x1 tetes ODS e.d.

X PEMERIKSAAN ANJURAN
Histopatologi dan Patch Test

XI PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
 Quo ad kosmetikum : Dubia ad malam
 Quo ad functionam : Ad bonam

XII FOLLOW UP
S/ Lepuh di tubuh baru (-), bintik merah di dahi dan kedua tangan baru (-), lepuh
kehitaman di ketiak baru (-), bercak merah pada wajah, perut, dada, lengan
atas mulai mengering.
Demam (-)
Nyeri BAK (+) ↓
BAB warna hitam (-)
O/ KU : Sedang
Kes : CM
Nadi : 83x/menit
RR: 20x/menit
T : 37,5OC
Dermatologi : Bula merah hitam, sirkumskripta, irregular, multipel lentikuler,
numuler, plakat, erosi
A/ NET
P/ IVFD D5% ; NACL 0,9% = 3:1
Inj dexamethasone dosis awal 0,02-0,3mg/kg BB/hari dibagi dalam 3-4 kali
Inj Ceftriaxon 500 mg/kgBB IM/IV / 12 Jam 1x
Kompres NACL 0,9% 3x15 menit pada daerah luka.
Hidrokortison krim 2,5% 3x sehari setelah dikompres pada bercak tubuh.
Cendo lyters 6x1 tetes ODS e.d.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai

dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis > 30% luas permukaan badan (LPB),

disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada

badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi lepuh flaksid dengan akibat

pengelupasan epidermis.

NET dibedakan dengan Sindrom Steven Johnson (SSJ) dari luas permukaan

tubuh yang mengalami epidermolisis. SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit

dan membran mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi

obat, serta mekanisme, SSJ dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang

dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh yang

terlibat lecet dan erosi kulit.

2.2 Epidemiologi

SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, kejadian NET lebih rendah

dibandingkan angka kejadian SSJ, secara umum insidens SSJ adalah 1-6 kasus juta

penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/ juta penduduk/tahun. Angka

kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5%-12%.

Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia di atas

40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan

perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap RSCM menunjukkan bahwa selama
tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET

19,3% dan NET 33,3%.

Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu

pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum,

dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Dalam

analisa kelangsungan hidup SSJ / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan

adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun.

Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh

yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi

dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam

dibandingkan dengan kulit putih.

2.3 Faktor Pencetus

Faktor pencetus dari SSJ dan NET salah satunya adalah obat yaitu dengan

presentase sebesar 77-95%. Selain obat, SSJ dan NET dapat disebabkan oleh infeksi,

imunisasi, keganasan, paparan bahan kimia dari lingkungan, dan radiasi. Obat

tersering penyebab kasus SSJ dan NET ialah antibiotik, antikonvulsan, non-steroidal

antiinflammatory drugs (NSAIDs), dan allopurinol. Dengan meningkatnya jumlah

pasien human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS) yang membutuhkan penggunaan obat anti-retroviral (ART),

nevirapin merupakan obat tersering penyebab SJS dan TEN pada penderita HIV dan

AIDS.
Berikut adalah daftar obat yang berersiko menyebabkan NET :

Tabel 2.1 Medication and the risk of Epidermal Necrolysis Toxic.

High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence of Risk

Allopurinol Acetic Acid Paracetamol Aspirin


Sulfhametoxazole NSAIDS Pyrazolone Sulfonilurea
Sulfadiazine Aminopenicilins Analgesics Thiazide diuretics
Sulfapyridine Cephalosporins Corticosteroids Furosemide
Sulfadoxine Quinolons Other NSAID Aldactone
Sulfasalazine Cylins ( Except Aspirine) CCB
Carbamazepine Macroilides Sentraline Beta blockers
Lemotrigine ACE – Inhibitor
Phenobarbital Angiotensin II
Phenytoin receptor antagonist
Phenylbutazone Statin
Nevirapine Hormones
Oxicam NSAIDS Vitamins
Thiacetazone

2.4 Etiopatogenesis

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi

SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan

apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T

COB+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam

patogenesis penyakit ini , yaitu : IL-6, TNF-a, IFN-y, IL-18, Fas-L, granulisin,

perforin, granzim-8. Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat.

Berbagai obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering

menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, anti konvulsan aromatik, alopurinol,

anti-inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya

karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA berperan pada proses

terjadinya SSJ-NET. lnfeksi juga dapat menjadi penyebab SSJ-NET, namun tidak

sebanyak pada kasus eritema multiforme· misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.
2.5 Klinis

Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi

39°C (102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul

kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas

disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan gejala awal keterlibatan

mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala non spesifik, sepertiganya

dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan keluhan eksantema.

Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului perkembangan

lesi kulit selama 2 minggu.

Lesi kulit yang nyeri seringnya pertama kali tampak pada badan yang

kemudian menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan

maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh

bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit

awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah kehitaman bentuk ireguler

yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah sering

terlihat. lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas dan

difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan

daerah yang merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s

sign. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit.

Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati

pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan

eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri.

Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan

nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran erosi
hemoragik yang nyeri tertutup grayish white pseudomembrane dan krusta pada

bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga

mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi.

Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang

mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya

dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan

erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang,

misalnya paru, saluran cerna dan ginjal.

Gambar 1. Lesi pada mulut

Gambar 2. Pengelupasan Epidermis > 30% Luas Permukaan Badan


Gambar 3. Nikolsky’s Sign Positif

2.6 Klasifikasi

Dalam hal ini pasien dikelompokan dalam 3 kelompok berdasarkan luas area

tubuh (Body Surface Area = BSA) yang mengalami pengelupasan (Nikolsky Sign +)

yaitu :

a) Sindrom Steven Jhonson <10% dari BSA

b) SSJ/NET overlap 10-30% dari BSA

c) NET > 30% dari BSA.


Gambar 4. Klasifikasi berdasarkan luas area tubuh

2.7 Diagnosis

Berdasarkan anamnesis penyebab terpenting adalah penggunaan obat. Riwayat

penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama

pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi,

eskoriasi, ulkus) atau mukosa. Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul

kelainan kulit (segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).

Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus) imunisasi,

dan transplantasi sumsum tulang belakang.

Pemeriksaan fisik SJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran

mukosa. Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta

kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.1-3 Tanda Nikolsky positif. Kelainan

mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema, erosi dan

nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis

kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri

yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa

erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan). Gejala ekstrakutaneus: demam,

nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam seperti paru-paru yang

bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta komplikasi

organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon. Kriteria

SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas

(epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-

30%), dan NET (>30%).


Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui

pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence.

Lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya

akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari

dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan sedang pada papilla dermis dapat

terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan makrofag. Diagnosis kausatif

dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang dengan uji tempel

tertutup. Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA)

dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi

pencetus.

2.8 Diagnosis Banding

1. Eritema multiforme major (EEM)

2. Pemfigus vulgaris

3. Mucous membrane pemphigoid

4. Pemfigoid bulosa

5. Pemfigus paraneoplastik

6. Bullous lupus erythematosus

7. Linear IgA dermatosis

8. Generalized bullous fixed drug eruption

9. Bullous acute graft-versus-host disease

10. Staphylococcal scalded skin syndrome

11. Acute generalized exanthematous pustulosis

2.9 Penatalaksanaan
a) Non Medikamentosa

1. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah

infeksi sekunder

3. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun

nasogastrik.

b) Medikamentosa

1. Prinsip menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus. Pasien dirawat

(sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk mencegah

hospital associated infections (Atasi keadaan yang mengancam jiwa

2. Topikal Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak,

infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi Penanganan lesi kulit

dapat secara konservatif maupun pembedahan (debrideman) dapat diberikan

pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan 50% cairan paraffin.

c) Sistemik

1. Kortikosteroid sistemik seperti deksametason intravena dengan dosis setara

prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan

4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.

2. Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, dan jika

nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol.

3. Pilihan lain: Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan

segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3.

4. Siklosporin dapat diberikan.


5. Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu

penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas. Antibiotik sistemik

hanya diberikan jika terdapat indikasi.

d) Edukasi

1. Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi penyebab.

2. Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga menjadi

pencetus dan memberikan edukasi pada pasien untuk menghindari obat obatan

tersebut.

2.10 Prognosis

Ditentukan berdasarkan SCORTEN, yaitu suatu perhitungan untuk

memperkirakan mortalitas pasien dengan nekrolisis epidermal. Masing-masing dinilai

1 dan setelah dijumlahkan mengarah pada prognosis angka mortalitas penyakit.

Kriteria SCORTEN antara lain :

Faktor Prognostik Nilai

Umur > 40 tahun 1


Denyut jantung > 120x/menit 1
Kanker ata keganasan hematologi 1
Area lesi > 10% dari luas permukaan 1
tubuh
Kadar urea serum >10 mmol/L 1
Kadar bikarbonat serum >20mmol/L 1
Kadar glukoasa serum >14 mmol/L 1

SCORTEN Angka Kematian (%)

0-1 3,2%
2 12,1%
3 35,8%
4 58,3%
5 90%

Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitelisasi terjadi dalam waktu

rata rata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

gangguan penglihatan. Kadang kadang terjadi skar pada kulit, gangguan pigmentasi

dan gangguan pertumbuhan kuku.

DISKUSI KASUS

NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

1. Diagnosis pasti keadaan NET menggunakan biopsy kulit, temuan apa saja yang

biasanya ditemukan dalam biopsy kulit pada kasus NET?

Jawaban :

Temuan yang paling umum ditemukan dalam kasus NET, yaitu adanya nekrotik

keratinosit, perubahan pemisahan epidermal-dermal, infiltrat pada kulit, dan edema

pada dermis dengan atau tanpa eosinophil

2. Apa perbedaan antara sindrom stevens’s johnson dengan nekrolisis epidermal toksik?

Jawaban :

SINDROM STEVEN-JOHNSON NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK


Bercak sirkuler kemerahan dengan ungu Sekitar 50% tidak ada lesi target
gelap di tengahnya
Lepasnya epidermal < 10% Lepasnya epidermis > 30%
Terdapat tanda Nikolsky positif Eritem menyebar kemudian nekrosis
Lokasi : Keseluruhan dengan keterlibatan Lokasi : Keseluruhan, kuku juga dapat
muka dan badan lebih banyak, telapak terlepas
tangan dan kaki sebagian
Prognosis lebih baik Prognosis lebih buruk
Epidermolisis (-) Epidermolisis (+)
Kesadaran : compos mentis Kesadaran : seringnya mengalami
penurunan

3. Apa indikasi pasien tersebut diberikan antibiotik?


Jawaban :

Indikasi pasien pada kasus ini diberikan antibiotik adalah untuk mencegah pasien

tersebut mengalami adanya infeksi sekunder, yang nantinya dapat memperburuk

ataupun memperparah keadaan pasien. Pemilihan antibiotik pada kasus nekrolisis

epidermal toksik juga dianjurkan untuk memilih antibiotik spektrum luas sehingga

dapat mematikan berbagai jenis bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, D. I., & Sulistyo, G. (2017). Nekrolisis Epidermal Toksik: Laporan Kasus pada
Pasien Geriatri. Jurnal Agromedicine, 4(1), 156-159.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi 7, Cetakan Pertama. 2015. Jakarta: FKUI

Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.

Onaran, Z., et al. (2011). Case Report: Topical Ophthalmic Cyclosporine in the Treatment of
Toxic Epidermal Necrolysis, Hindawi Publishing Corporation.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin di Indonesia. Jakarta : PERDOSKI ;
2017

Rahmawati, Y.W., & Indramaya, D.M. (2016). Studi Retrospektif: Sindrom Stevens-Johnson
dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin –
Periodical of Dermatology and Venereology, 28 (2), 68-76.

Zubir, Z., & Fahila, R (2017). Sindroma Steven Johnson Dan Nekrolisis Epidermal Toksik.
5(1), 154-159

Anda mungkin juga menyukai