OLEH
NIM : P07120120037
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1) Tikus
2) Obat : Lidokain dosis 1-1,5 mg/kgBB, Bupivakain 0,5-2 mg/kgBB
3) Larutan NaCl Fisiologis 0,5 mL
4) CMC Na 1 %
5) Timbangan hewan
6) Jarum suntik
7) Gelas ukur
1) Gunting bulu hewan coba pada bagian punggung, diameter 1 cm, lingkari dengan spidol.
2) Evaluasi awal respon hewan coba terhadap nyeri dengan cara menusukkan jarum pentul
pada daerah yg sudah ditandai, sebanyak 5 kali, dg intensitas yang sama.
3) Ambil obat anestesi yang akan dicoba dengan spuite 1 cc
4) Suntikkan secara subcutan pada daerah yang sudah ditandai
5) Amati respon hewan coba terhadap nyeri spt pd evaluasi awal, setiap 5 menit, sampai 60
menit.
6) Catat jumlah tusukan yang tidak dirasakan oleh hewan coba (tidak ada respon) pada table
dibawah ini
1.6 Data Dan Hasil Pengamatan
MENCIT 1
5 . . . .
2 .
1
10 20 30 40 50 60
MENCIT 2
3 .
2 .
1
0 . . . .
10 20 30 40 50 60
BAB 2
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini digunakan 2 mencit, mencit I dan mencit II diberi lidokain
sebanyak 0,2 cc. Obat disuntikkan pada bagian yang telah dilingkari di badan mencit.
Pada mencit I, disuntikkan 0,2 cc lidokain dan pada 10 menit pertama mencit I ditusuk di
area bius sebanyak 5 kali dan tidak ada respon. Kemudian 10 menit kemudian mencit ditusuk
kembali sebanyak 5 kali tusukan dan tetap tidak ada respon selanjutnya 10 menit kemudian tetap
tidak ada respon dari mencit, akan tetapi pada menit ke 40 mencit merasakaan sakit pada kelima
tusukan nya, sehingga saya menyimpulkan bahwa obat bius sudah habis masanya. Pada menit ke
50 mencit ditusukan sebanyak 5 kali dan hanya merasakan 3 kali nyeri, di menit terakhir yaitu
menit ke 60 mencit ditusukan sebanyak 5 kali lagi dan tidak merasakan nyeri di kelima
tusukannya.
Pada mencit II , disuntikan 0,2 cc lidokain juga. Pada 10 menit pertama mencit
ditusukan sebanyak 5 kali dan merasakan sakit di kelima tusukan nya begitu juga pada menit ke
20 dan 30. Selanjutnya di menit ke 40 mencit merasakan 2 nyeri dari 5 kali tusukan. Kemudian
di menit ke 50 mencit merasakan 3 nyeri dari 5 tusukan. Di menit ke 60 mencit merasakan nyeri
di 5 tusukan. Artinya pada 30 menit awal obat bius tidak bereaksi pada mencit II. Selanjutnya di
menit ke 40 dan 50 obat bius mulai bereaksi pada mencit akan tetapi tidak bius total. Dan pada
menit ke 60 reaksi obat pada mencit hilang. Menurut saya hal ini terjadi karena perlakuan pada
mencit sebelum di suntikan lidokain, serta faktor dari massa atau berat badan dari mencit itu
sendiri lebih kecil dari mencit I
BAB III
KESIMPULAN
1. Anaesthesia umum adalah obat yang mampu mendepres CNS secara reversibel dan
menyebabkan hilangnya kesadaan.
2. Anaesthesia umum digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang berat seperti saat akan
dilakukan operasi juga digunakan untuk euthanasia.
3. Efek obat akan bereaksi sesuai hewan yang diuji
4. Banyak faktor yang mempengaruhi kerja obat mulai dari berat hewan, perlakuan kepada
hewan sebelum di berikan obat bius dan juga cara pemberiannya
Terdapat efek samping dari anaesthesia yang dapat dikurangi dengan mengkombinasikan
beberapa jenis obat anaesthesia. Obat anestesi memiliki efek samping yaitu pusing, mual, kantuk,
dan koma
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta : Balai
Tjay, Tan Hoan, Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Edisi 6 .Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo
Beggs, S., Cosgarea, M., Hatfield, NT., Menshouse, D., White, G., Smith, BJ., Slack, JA.,
Salinas, E., 2011., Introductory Clinical Pharmacology. Wiley Blackwel, London.
Bruton, L., Parker, KL., Blumenthal, DK., Buxton, LO., 2008., Goodman, Gilman’s Manual of
Pharmacology and Therapeutics. Mc Graw Hill, London.
Katzung, BG., Masters, SB., Trevor, AJ., 2009., Basic & Clinical Pharmacology, Eleventh
Edition, Mc Graw Hill, China.
Marcovitch, H., 2005., Blacks Medical dictionary 21 edition., A & C Black, London.
Welsh, L., 2009., Anaesthesia for Veterinary Nurses Second edition. Wiley blackwell.,
Singapore.
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran ( perbedaan dengan anestetika umum ).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan
( ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya
emosi dapat menimbulkan sakit ( kepala ) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula
menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan
ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan,
yakni pada 44-45oC (Tjay, 2007)
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat ( level ) dimana nyeri dirasakan untuk
pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan
nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal
hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap
sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi
jasad renik, atau kejang otot. (Tjay, 2007).
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-
mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin,
prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor nyeri
pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf
sensoris ke susunan syaraf pusat ( SSP ) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke
pusat nyeri di otak besar ( rangsangan sebagai nyeri ). Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung
saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan
dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat
dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum
lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak
besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
Kelompok % Proteksi
I ( paracetamol) 17,6 %
II ( asetosal ) 50
BAB 2
PEMBAHASAN
Percobaan ini menggunakan metode Witkin (Writhing Tes / Metode Geliat), dengan
prinsip yaitu menimbulkan geliat (Writhing). Dengan pemberian obat analgetik (paracetamol dan
asetosal) akan mengurangi respon tersebut.
Larutan stok dibuat dengan mensuspensikaan tablet paracetamol dan asetosal, karena
bahan obat sukar larut di dalam air dengan suspending agent CMC Na. Pemberian obat-obat
analgetik pada mencit dilakukan secara peroral,setiap mencit diberikan suspensi obat yang
berbeda, mencit kelompok I suspensi parasetamol, mencit kelompok II suspensi asetosal, dan
mencit kelompok III CMC Na sebagai mencit kontrol untuk menjadi pembanding antara mencit
lain, dalam artian untuk mengetahui perbedaan respon antara hewan uji mencit yang diberikan
obat analgesik dengan yang hanya diberikan pembawanya saja. Sebelum mengujikan sediaan ini,
masing-masing mencit akan diberi rangsangan nyeri, yaitu dengan diberikan larutan steril asam
asetat secara intraperitoneal.
Setelah pemberian rangsangan nyeri tersebut, mencit akan menggeliat, tiap geliatan
mencit umumnya berbeda karena setiap mencit diberikan suspensi obat yang berbeda. Dan dari
Hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh % proteksi parasetamol 17,6 % dan asetosal
50% dan sesuai dengan teori bahwa nilai persen analgetik asetosal lebih tinggi daripada persen
analgetik paracetamol. Keberhasilan dari percobaan ini tidak lepas dari persediaan yang
digunakan , dan kondisi hewan uji.
BAB III
KESIMPULAN
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
Obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu Analgesik Non Opioid/Perifer (Non-
Opioid Analgesics), dan Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Pada percobaan yang dilakukan diperoleh hasil obat yang paling efektif dalam mengatasi
nyeri yang diakibatkan oleh rangsangan kimia adalah pertama Asetosal, dan kedua
Parasetamol.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
1) Mempelajari daya anti inflamasi obat golongan steroid dan non steroid pada binatang dengan
radang buatan.
2) Mempelajari daya antiinflamasi tanaman obat / produk herbal tertentu.
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan ( Mycek, 2001 ).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman,
maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai
jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi
sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-
perubahan imunologik (Rukmono, 2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi
ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang
disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan,
di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :
amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi
melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-
HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
activating factor dan radikal bebas
1.4 Alat Dan Bahan
Bahan : Karagenin 0,5 % dalam NaCl 0,9%, Na Diklofenak, Prednison, CMC Na 1% tanaman
obat/produk herbaldan tikus b
1.5 Prosedur
Kelompok I : Tikus diberi larutan Na Diklofenak dengan dosis pemberian diperoleh dari
konversi dosis terapi pada manusia secara peroral .
Kelompok II : Tikus diberi suspensi prednison dengan dosis sama seperti dosis Na diklofenak
secara peroral
Kelompok III : Tikus diberi suspensi CMCNa 1% dengan dosis sama seperti dosis Na diklofenak
secara peroral 2. Semua tikus ditimbang dan kaki belakang kanan diberi tanda di atas lutut
kemudian diukur volume udem dengan mencelupkan telapak kaki sampai tanda ke dalam air
raksa pada alat plestimograf sebagai volume udem awal.
3. Tigapuluh menit setelah pemberian obat telapak kaki kanan disuntik (subplantar) dengan
karagenin 0,1 ml/100 gr BB tikus. Selanjutnya volume udem diukur setiap 30 menit selama 3
jam.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini, kami mempelajari efek pemberian suatu bahan uji dengan
aktivitas antiinflamasi. Bahan uji yang digunakan yaitu Prednison dengan pembanding Na
Diklofenak. Zat penginduksi terjadinya inflamasi sendiri menggunakan Karagenin 0,5%
dalam NaCl 0,9%. Pemberian obat dan zat uji dan obat pembanding diberikan secara peroral
setelah pemberian obat telapak kaki kanan disuntik (subplantar) dengan karagenin 0,1 ml/100 gr
BB mencit.
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbiulkan reaksi radang berupa:
panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh bahwa Efek yang ditimbulkan
akibat pemberian karagenin pada hewan percobaan adalah terjadinya udem, yang terlihat
dari bertambahnya volume kaki mencit setelah diukur dengan alat pletismometer.
Dan dari hasil pengamatan di peroleh % kenaikan volume udem pada kelompok I (Na
Diklofenak) 0,70% dan kelompok II (prednisone) 0,73%. Menurut teori Golongan kortikosteroid
memiliki anti inflamasi lebih tinggi dibanding golongan nonsteroid karena mekanisme kerja
golongan kortikosteroid langsung menghambat enzim Phospholipase yang dapat menghambat
pembentukan Asam arakidonat yang merupakan cikal bakal dari mediator inflamasi sedangkan
nonsteroid hanya menghambat di bagian sikooksigenase tapi masih ada dibagian lain yang bisa
menyebabkan terjadinya inflamasi bisa jadi dari enzim lipooksigenase. Oleh karena itu
kortikosteroid memiliki aksi yang lebih luas dan lebih poten dibandingkan OAINS yang hanya
menghambat jalur siklooksigenase. Namun dalam percobaan ini hasilnya tidak berbeda
signifikan yang dikarenakan mungkin ada kesalahan pada hewan uji atau eksternal lainnya yang
membuat tidak sejalan dengan teori.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
H. Gerhard Vogel, 2002. Drug Discovery and Evaluation, Pharmacological Assays,
Springer, Jerman
Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf
Pengajar Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 214.
Neal, M.J. (2006). Farmakologi Medis At Glance. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT
Erlangga. Hal 70-71
Wilmana, P.F. (1995). Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
Dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara.
Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. Hal 207-209.
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan Percobaan : Untuk mengetahui perbandingan efek diuretic dari suatu obat
Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan natrium klorida.
Secara normal, reabsobsi garam dan air dikendalikan masing – masing oleh aldosteron vasopiesin
(hormon antidiuretik, ADH). Sebagian basar diuretik bekarja dengan menurukan reabsorbsi elektrolit
oleh tubulus. Ekskresi elektolit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi air, yang penting untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik. Diuretik digunakan untuk mengurangi udema pada gagal
jantung kongesif, beberapa penyakit ginjal, dan sirosis hepatis (Neal,2010).
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik :
Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yangbekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium
sedikit, akanmemberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diure-tik yang bekerja pada
daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasijantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam
keadaan ini akanmemberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.
Interaksi antara obat dengan reseptor.
Penggolongan Obat
1. Diuretik kuat
Berkhasiat kuat dan agak pesat tetapi agak singkat (4-6 jam) dan terutama digunakan pada keadaan
akut, misalnya pada udema otak dan paru – paru. Diuretic kuat terutama bekerja dengan cara menghambat
reabsorbsi elektrolit Na2+/K2+/2CL- di ansa henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya di
permukaan sel epitel bagian luminal ( yang menghadap ke lumen tubuli). Misalnya : Furosemid,
Bumetanida, dan etarkrinat.
Efeknya lebih lemah dan lembut tapi juga lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan pada terapi
pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung.Bekerja pada tubulus kontrotus dustal ginjal sesudah ansa
henle dengan meningkatkab ekskresi sesudah ansa henle dengan meningkatkan sekresi natrium klorida
dan air.Misalnya : Hidroklorotiazid, Klortalidon, mefrosida, Indapamida, Xipamida dan kropamida.
Dosis : Hidroklortiazid. Tablet 250 dan 50 mg digunakan dalam dosis 25-100 mg/hari dengan lama kerja
6-12 jam. Klorotiazid. Tablet 250 dan 500 mg digunakan dalam dosis 500-2000 mg/hari dengan lama
kerja 6-12 jam.
Efek samping : pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, peningkatan kadar kolesterol dan
trigliserid plasma.
Efek obat ini lemah dan khusus digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya untuk menghambat
ekskresi kalium. Aldosterem menstimulasi reabsorbsi Na dan ekskresi kalium. Proses ini di hambat secara
kompetitif (saingan) oleh antagonis dan aldosterm.Diuretic hemat kalium bekerja pada tubulus distal
ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dari air dan resistensi kalium.Misalnya : Antagonis
aldosteron (spironolakton ), amilomida, dan triamteren.
Dosis :Spironolakton terdapat dlam bentuk tablet 25,50 dan 100 mg. Dosis dewasa berkisar antara 25-
200 mg, tetapi dosis efektif sehari-hari rata-rata 100 mg dalam dosis tunggal atau terbagi.terdapat pula
sediaan kombinasi tetap antara sprironolakton 25 mg dan hidroklorotiazid 25 mg dan, serta antar
aspironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.Triameteren tersedia sebagai kapsul dari 100 mg. dosisnya
100-300 mg sehari. Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri.Amilorid dalam
bentuk tablet 5 mg. Dosis sehari sebesar 5-10 mg.
Efek samping : hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan
kalium yang berlebihan.
4. Diuretika Osmotis.
Hanya direabsorpsi sedikit atau ditubuli hingga reabsorpsi air juga terbatas. Efeknya adlah diuresis
osmotis dengan ekskresi air tinggi dan relative sedikit ekskresi.Diuretic osmotic bekerja meningkatkan
osmolabilita (konsentrasi) plasma dan cairan dalam tubulus ginjal natrium, kalium dan air di
ekskresikan.Misalnya : Manitol dan Sorbitol.
Dosis :Manitol. Untuk suntikan intravena digunakan larutan 5-25% dengan volume antara 50-1000 ml.
Dosis untuk menimbulkan diuresis adalah 50-200g yang diberikan dalam cairan infus selama 24 jam
dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis sebanyak 30-50ml per jam. Untuk
penderita dengan oliguria hebat diberikan dosis percobaan yaitu 200mg/kgBB yang diberikan melalui
infus selama 3-5 menit. Bila dengan 1-2 kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30ml per jam
dalam 2-3 jam, maka status pasien harus di evaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan. Isosorbid.
Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya juga sama, hanya isosorbid
menimbulkan diuresis yang lebih besar daripada gliserin, tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis
berkisar antara 1-3g/kgBB, dan dapat diberikan 2-4 kali sehari.
5. Perintang – karbonhidrase
Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase ditubuli proksimal sehingga disamping karbonat, juga Nadan K
diekskresi lebih banyak bersamaan dengan air. Misalnya : asetazolamid, Diklorofenamid , metazolamid.
Dosis : Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk pemberian oral. Dosis
antara 250-500 mg per kali, dosis untuk chronic simple glaucoma yaitu 250-1000 mg per hari.
Efek samping : Mual, muntah, diare, gangguan rasa, depresi, poliurea, menurunkan libido, gangguan
elektrolit dan asidosis(Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja 2002, hal 490).
Tikus
Obat : furosemid injeksi
MC Na 1 %
Timbangan hewan
Alat suntik
Alat untuk pengujian (tabung metabolisme)
Gelas ukur
1.5 Prosedur
BAB II
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kelompok kami akan melakukan praktikum tentang obat
diuretik. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin sehingga
mempercepat pengeluaran urine dari dalam tubuh. Fungsi utama diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa
sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal (Hasan,2017). Berdasarkan
mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu
diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik air ke urin, tanpa mengganggu sekresi
atau absorbsi ion dalam ginjal dan penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli
ginjal, seperti diuretiktiazid (menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle
parsascendens), Loop diuretik (lebih poten dari pada tiazid dan dapat
menyebabkan hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi natrium sambil
menahan kalium).
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah furosemid. Furosemid merupakan
suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Furosemid termasuk ke dalam jenis
diuretik kuat (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat.
Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli
ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak
mempengaruhi tekanan darah yang normal. Onset secara injeksi adalah 5 menit dan diuresis
berlangsung selama 2 jam. Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60
menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu ( Tjay dan
Kirana, 2007).
Pada praktikum kali ini, hewan uji yang digunakan adalah mencit . Pada tikus kelompok
1 diberikan 3ml air hangat yang digunakan sebagai kontrol negatif. Sedangkan tikus kelompok 2,
3, dan 4 berturut-turut diberikan obat furosemid secara intraperitoneal dengan dosis manusia 20
mg/60 KgBB, 40 mg /60 KgBB, dan 80 mg/60 KgBB. Pada tikus kelompok 2,3,dan furosemid
secara intrapritoneal. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan memperbanyak urin yang akan
dikeluarkan oleh tikus.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada 60 menit setelah diinjieksikan obat furosemid
secara intra peritoneal didapatkan bahwa jumlah akumulasi volume urin yang keluar pada tikus
kelompok 1 (kontrol negatif) sebanyak 3 ml; tikus kelompok 2 sebanyak 1 ml; tikus kelompok 3
sebanyak 0,4 ml
Menurut hasil pengamatan, tikus yang diberikan furosemid memiliki jumlah volume
urin lebih banyak bila dibandingkan dengan tikus yang hanya diberikan air panas saja (kontrol
negatif). Hal ini membuktikan bahwa furosemid efektif memberikan efek diuresis pada tikus.
Furosemid merupakan diuretik yang efek utamanya pada pars ascendens ansa henle. Obat-obat
yang bekerja di salah satu bagian nefron ini memiliki efektivitas yang tertinggi dalam
memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh sehingga merupakan diuretik yang paling efektif dalam
meningkatkan volume urin. Hal ini disebabkan karena pars ascendens bertanggung jawab untuk
reabsorpsi 25-30% NaCl yang disaring.
Berdasarkan literatur, baik pada hewan maupun manusia, respon yang ditimbulkan oleh
suatu obat dalam dosis yang rendah, biasanya akan meningkat berbanding lurus dengan
peningkatan dosis (Katzung, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis, maka
respon tubuh terhadap obat akan semakin besar yang mengakibatkan obat lebih cepat bekerja.
Hal ini juga sesuai dengan praktikum bahwa jumlah volume urin dengan dosis 40 mg/60 KgBB
lebih banyak bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB. Namun, pada tikus yang
diberikan furosemid dengan dosis manusia 80mg/60KgBB memiliki volume urin yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB dan 40 mg/60 KgBB. Hal ini dapat
disebabkan oleh tidak masuknya seluruh obat dan juga dapat disebabkan oleh perbedaan dalam
hal faktor fisiologi dari hewan percobaan yang digunakan. Untuk beberapa obat, perubahan
dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman
respons penderita. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal
dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi
obat dan toleransi (Mycek, 1997).
pada praktikum kali ini pengujian yang dilakukan adalah dengan obat diuretic. Diuretik adalah
obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin sehingga mempercepat pengeluaran
urin dari dalam tubuh. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi carian udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal. Obat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah furosemid,
dengan control negative menggunakan aquadest. Obat furosemid yang digunakan dengan
bermacam-macam dosis sehingga dapat dilihat perbedaan efek dari setiap pemberian dosisnya.
Hewan yang digunakan dalam uji diuretic ini adalah tikus. Sebelum pemberian obat, seharusnya
tikus dipuasakan terlebih dahulu. Fungsi mempuasakan tikus sebelum perlakuan adalah untuk
menghindari pengeluaran urin yang dieksresikan dari hasil makanan yang telah tikus konsumsi,
karena dalam pengujian ini yang akan dilihat adalah volume urin yang disekresikan oleh hewan
uji. Makanan yang dikonsumsi tikus akan mempengaruhi metabolisme dari tikus tersebut.
Sebelum pemberian obat, tikus terlebih dahulu diberikan air hangat secara oral. Air hangat yang
diberikan melalui perhitungan yaitu 15 ml air dikali dengan berat badan tikus. Berat badan tikus
kelompok 1 adalah 200 gram, sehingga air hangat yang diberikan adalah sebanyak 3 ml.
pemberian air hangat adalah untuk membantu mempercepat atau memperbanyak urin yang
dikeluarkan. Pada kelompok 1 menggunakan control negative dengan hanya memberikan air
hangat tidak menggunakan obat diuretic. Control negated merupakan control tanpa perlakuan
dalam hal ini yaitu tidak menggunakan obat furosemid . dengan adanya control negative ini
dapat dihasilkan suatu baseline sehingga perubahan pada variabel tertentu / pada perlakuan
dengan obat furosemid dapat terlihat. Dalam hal ini dapat terlihat hewan dengan control positif
mengeluarkan urin lebih cepat dan lebih banyak dari pada hewan uji control negative.
KESIMPULAN
1) Efek utama dari obat efek diuretik ialah meningkatkan volume urin yang diproduksi serta
meningkatkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air
2) Volume urine yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat diuretik semakin
bertambah
3) Mekanisme kerja obat diuretic yaitu menghambat reabsorpsi elektrolit Na+ pada bagian-
bagian nefron yang berbeda, akibatnya Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam
jumlah yang banyak dibandingkan bila dalam keadaan normal bersama-sama air, yang
mengangkkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik sehingga
meningkatkan volume urin
Pada praktikum ini control yang digunakan adalah aquadest dan tikus paling banyak
mengeluarka nurin pada perlakuan saat diberikan obat furosemide
DAFTAR PUSTAKA
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 1997, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi Kedua,
Penerbit Widya Medika : Jakarta, Hal. 230-231.
Neal, M.J., 2010 , Ata Glance Farmakologi Medis, Penerbit Erlangga: Jakarta.
Tan Hoan, Tjay, Kirana Rahardja, 2007,Obat-obat Penting Edisi 6 , PT. Elex Media
Komputindo : Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
1) Mengenal dan mempraktekkan uji anti diare dan uji laksansia menggunakan metode transit
intestinal
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan (mencret) dan merupakan
gejala-gejala dari penyakit tertentu atau gangguan lainnya. Menurut tori klasik, diare disebabkan
oleh meningkatnya peristaltik usus, hingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih
mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa penyebab utama diare adalah bertumpuknya cairan di usus akibat
terganggunya resorpsi air atau dan terjadinya hipersekresi. Pada keadaan normal, proses sekresi
dan reosrpsi dari air dan elektrolit-elektrolit berlangsung pada waktu yang sama di sel-sel epitel
mukosa.
Proses ini di atur oleh beberapa hormon, yaitu resorpsi oleh enkefalin, sedangkan sekresi
diatur oleh prostaglandin dan neurohormon V.I.P (Vasoactive Intestinal Peptide). Biasanya,
resorpsi melebihi sekresi, tetapi karena sesuatu sebab sekresi menjadi lebih besar daripada
resorpsi, maka terjadilah diare. Terganggunya keseimbangan antara resorpsi dan sekresi, dengan
diare sebagai gejala utama, sering kali terjadi pada gastroenteritis (radang lambung usus) yang
disebabkan oleh kuman dan toksinnya.
Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan empat jenis gastroenteritis dan diare sebagai
berikut:
1. diare akibat virus, misalnya ’influenza perut’ dan ’travellers diarrhoea’ yang
disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus. Virus melekat pada sel-sel mukosa
usus, yang menjadi rusak sehingga kapasitas resorpsi menurun dan sekresi air dan
elektrolit memegang peranan. Diare yang terjadi bertahan terus sampai beberapa hari
sesudah virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6 hari. Di negara-negara barat,
jenis diare ini paling sering terjadi, lebih kurang 60%
2. diare bakterial (invasif) agak sering terjadi, tetapi mulai berkurang berhubung semakin
meningkatnya derajat higiene masyarakat. Bakteri-bakteri tertentu pada keadaan tertentu,
misalnya bahan makanan yang terinfeksi oleh banyak kuman, menjadi ”infvasif” dan
menyerbu ke dalam mukosa. Di sini bakteri-bakteri tersebut memperbanyak diri dan
membentuk toksin-toksin yang dapat diresorpsi ke dalam darah dan menimbulkan gejala
hebat, seperti demam tinggi, nyeri kepala, dan kejang-kejang, di damping mencret
berdarah dan berlendir. Penyebab terkenal dari jenis diare ini ialah bakteri Salmonella,
shigella, campylobacter, dan jenis coli tertentu.
3. diare parasiter, seperti protozoa Entamoeba histolytica, Giardia Llambia,
Cryptosporidium, dan Cyclospora, yang terutama terjadi di daerah (sub) tropis. Diare
akibat parasit-parasit ini biasanya mencirikan mencret cairan yang intermiten dan
bertahan lebih dari satu minggu. Gejala lainnya dapat berupa nyeri perut, demam,
anorexia, nausea, muntah-muntah, dan rasa letih umum (malaise).
4. diare akibat enteroktosin. Diare jenis ini lebih jarang terjadi, tetapi lebih dari 50 % dari
wisatawan di negara-negar berkembang dihinggapi diare ini. Penyebabnya adalah kuman-
kuman yang membentuk enteroktosin, yang terpenting adalah E. Coli dan Vibrio
cholerae, dan jarang Shigella, Salmonella, Campylobacter, dan Entamoeba histolytica.
Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya. Diare jenis ini juga bersifat
”selflimiting”, artinya akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam lebih
kurang 5 hari, setelah sel-sel yang rusak diganti dengan sel-sel mukosa baru.
Kelompok obat yang sering digunakan pada diare adalah :
Bahan : larutan NaCl fisiologik 0,9 %, suspensi gom arab 20 % diwarnai dengan norit 5 %
sebagai marker, obat pembanding ( loperamid), produk herbal, laksansia kertas saring.
Alat : Kandang tikus atau kandang mencit, (jumlah sesuai jumlah kelompok hewan), alat ukur
jarak (mistar), meja bedah tikus atau mencit, alat suntik untuk pemberian oral.
1.5 Prosedur
1. Hewan percobaan dipuasakan makan selama kurang lebih 18 jam, minum tetap diberikan.
Kelompok I: mendapat obat anti diare (loperamid dengan dosis konversi dari manusia ke
mencit) volume 1 ml/100 g BB secara peroral.
Kelompok II : mendapat sediaan tanaman obat dengan volume 1 ml/100 g BB secara peroral.
Kelompok III : mendapat larutan fisiologik volume 1 ml/100 g BB secara peroral.
Uji Laksansia Kelompok I: mendapat obat laksansia (dosis konversi dari manusia ke mencit)
volume 1 ml/100 g BB secara peroral
3. Setelah t = 45 menit (untuk pemberian obat oral) atau 15 menit (untuk pemberian obat secara
subkutan) semua hewan diberikan suspensi norit sebanyak 1 ml / ekor (atau 0,1 ml / 10 g mencit)
secara oral.
4. Pada t = 65 menit ( untuk pemberian obat oral) atau 35 menit (untuk pemberian obat subkutan)
semua hewan dikorbankan secara dislokasi tulang leher. Usus dikeluarkan secara hati-hati,
sampai teregang. Panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pilorus sampai rektum dari
masing-masing hewan. Kemudian dari masing-masing hewan dihitung rasio normal jarak yang
ditempuh marker terhadap panjang usus seluruhnya. Umumnya pada tikus normal diperlukan
waktu 1,5 - 2 jam untuk membawa marker dari pilorus sampai rektum.
5. Nilai rasio ini kemudian di rata-rata untuk masing-masing kelompok, dan nilai dari masing-
masing kelompok tersebut dibandingkan (kelompok kontrol, kelompok uji dan kelompok
pembanding) Bila obat yang diuji mempunyai aktivitas anti diare, maka nilai rasionya akan lebih
kecil bila dibandingkan kelompok kontrol. Sebaliknya, nilai rasio akan lebih besar bila obat uji
mempunyai aktivitas sebagai laksansia atau antipasmodik
BAB II
PEMBAHASAN
Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah mencit. Selain karena
anatomi fisiologinya sama dengan anatomi fisiologi manusia,juga karena mencit mudah
ditangani, ukuran tubuhnya kecil sehingga waktu penelitian dapat berlangsung lebih
cepat. Sebelum digunakan untuk percobaan, mencit dipuasakan selama 18 jam sebelum
percobaan tetapi minum tetap diberikan. Hal tersebut dikarenaka makanan dalam usus akan
berpengaruh terhadap kecepatan peristaltik.
Mencit pertama merupakan mencit diberikan loperamid , mencit kedua akan diberikan
obat herbal (diapet), dan mencit ketiga diberikan dulcolax, mencit keempat diberikan obat herbal
( laxing ), dan kelima yaitu mencit kontrol negatif karena akan diberikan Larutan nacl fisiologik
0,9 %. Pemberian kelima zat tersebut dilakukan secara peroral. kemudian mencit-mencit tersebut
didiamkan selama 45 menit agar obat-obat tersebut dapat terabsorpsi secara sempurna di dalam
tubuh mencit, sehingga didapat efek yang diharapkan.
Setelah itu, tiap-tiap mencit diberikan suspensi norit sebanyak 1 ml secara peroral.
Suspensi norit ini berguna sebagai indikator untuk megetahui kecepatan motilitas usus. Setelah
pemberian suspense norit masing-masing mencit di dislokasi dan dibedah untuk melihat
kecepatan peristaltik antara mencit kontrol dan mencit yang telah diberikan loperamid dan obat
herbal ( diapet ) untuk menguji antidiare, sedangkan dulcolax dan laxing untuk menguji
laksansia. Karena panjang usus yang dilewati suspensi norit dapat dijadikan sebagai indikator
kecepatan peristaltik usus.
Dari hasil praktikum uji antidiare dan uji laksansia didapatkan rasio kelompok mecit I
( loperamid ) ( 0,47 cm ), kelompok mecit II ( diapet ) ( 0,63 cm ), kelompok mecit III
( dulcolax ) ( 0,80 cm ), kelompok mecit IV ( laxing ) ( 0,72 cm ) dan kelompok mecit V
( kontrol ) ( 0,7 cm ). Dan sesuai dengan teori bahwa suatu obat dikatakan efektif sebagai
antidiare disaat nilai rasionya lebih kecil dibanding rasio kontrol, sedangkan obat dikatakan
efektif sebagai laksansia disaat nilai rasionya lebih besar dibanding rasio kontrol. Jadi bisa
dikatakan bahwa kelompok I dan kelompok II efektif sebagai antidiare dengan yang paling
efektif yaitu kelompok I ( loperamid ) karena rasionya lebih kecil dibanding rasio kontrol,
sedangkan kelompok III dan kelompok IV efektif sebagai laksansia dengan yang paling efektif
yaitu kelompok III (dulcolax ).
BAB III
KESIMPULAN
suatu obat dikatakan efektif sebagai antidiare disaat nilai rasionya lebih kecil dibanding
rasio kontrol, sedangkan obat dikatakan efektif sebagai laksansia disaat nilai rasionya lebih besar
dibanding rasio kontrol. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa obat herbal masih kurang
efektif jika dibandingkan obat loperamid dan dulcolax yang menimbulkan efek yang baik bagi
antidiare dan laksansia.
DAFTAR PUSTAKA
Daldiyono. 1990. Diare, Gastroenterologi-Hepatologi. Jakarta : Infomedika. Hal : 14-
Gilman GA et.al., (eds), 1985, Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basic of
Harkness, Richard. 1984. Interkasi Obat. Bandung : Penerbit ITB. National Digestive
EfekEfek Sampingnya, edisi IV, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Wattimene JR, dkk, 1989, Kursus Singkat Farmasi Klinik dan Teknik