Definisi sosial budaya dalam masyarakat Menurut Soerjono Soekanto budaya sosial
adalah suatu ketidaksesuaianantara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang
membahayakankehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur – unsur yangada
dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok
masyarakat.
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika ) yang berasal dari eksperi hasrat
manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yag
mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang
sederhana hingga perwujudan dan kesenian yang kompleks.
Paguyuban atau gemeinschaft adalah suatu kelompok atau masyarakat yang diantara para
warganya diwarnai dengan hubungan-hubungan sosial yang penuh rasa kekluargaan, bersifat
batiniah dan kekal, serta jauh dan pamrih-pamrih ekonomi.
Menurut Ferdinand Tonnes ciri-ciri pokok dari paguyuban yaitu Intimate, Private, Exclusive.
Paguyuban yang dapat dilakukan oleh bidan misalnya: Mengadakan pendekatan dengan pamong
desa yaitu untuk mengajak masyarakat untuk memanfaatkan posyandu dengan giat, Mengadakan
penyuluhan kesehatan tentang balita, imunisasi, KB, dll, Bekerja sama dengan pamong desa
untuk mendatangi para ibu yang memiliki bayi untuk melakukan imunisasi.
Pesantren sangat banyak tersebar diseluruh nusantara. Berbagai kegiatan sangat sering
dilakukan didalam pesantren tersebut. Misalnya lomba menulis, lomba menggambar, lomba
ceramah dll. Maka kegiatan-kegiatan tersebut dapat diisi berbagai tema kesehatan dalam hal ini
kebidanan. Sebagai contoh lomba menggambar menu makanan sehat untuk bayi dan ibu hamil
berdasarkan agama. Bahkan berbagai kesenian di lingkungan pondok pesantren juga dapat
ditampilkan tema-tema kesehatan yang berkaitan dengan kebidanan.
e. Pendekatan system banjar ( Bali )
Banjar adalah organisasi kemasyarakatan tradisional bagi suku bangsa Bali. Organisasi
ini seperti sistem RT/RW pada masyarakat lain seperti di Jawa atau lainnya, sudah ada sejak
jaman dahulu kala dan mulanya dikenal dengan nama subak.
Dari uraian mengenai banjar tersebut, maka berbagai tema kesehatan yang berkaitan
dengan kebidanan dapat dimasukkan pada berbagai bentuk kegiatan banjar tersebut. Masyarakat
Bali Aga di Desa Trunyan Bali juga memandang kelahiran sebagai hal wajar dan bersifat “
publik “ ( Danandjaja 1989.468 ). Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki. Karena dukun
bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan. Namun berbeda
dengan masyarakat krikati tersebut diatas, handai-tolan termasuk anak-anak bisa berkerumun
didepan pintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses kelahiran tersebut diluar
ruangan. Meskipun demikian, hanya dukun bayi pria, suami ibu kandung sang wanita
melahirkan, dan anak-anaknya yang lahit terdahulu saha yang berada diruangan ditambah