Anda di halaman 1dari 13

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang berjudul Identifikasi dan Efektifitas Antibiotik Pada Pasien

Infeksi Saluran Kemih di RSUD dr. Syaidiman Magetan, yang dilakukan secara

retrospektif selama periode 15 Maret – 15 April 2021 di dapatkan pasien sebanyak 95

Pasien.

5.2.1 Karakeristik Pasien

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik pasien dibedakan menjadi karekteristik

berdasarkan jenis kelamin, usia dan berdasarkan letak infeksi dapat dilihat pada tabel

5.1 dibawah ini:

Tabel 5.1 Persentase Berdasarkan Karakteristik Pasien ISK di RSUD dr. Sayidiman
Magetan
Karakteristik Jumlah Pasien (n) Presentasi (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 25 26,31
Perempuan 70 73,68
Total 95 100
Usia (Tahun)
0-5 13 13,68
06-11 6 6,31
12-16 5 5,26
17-25 9 9,47
26-35 7 7,36
36-45 11 11,57
46-55 15 15,78
56-65 17 17,89
65- keatas 12 12,63
Total 95 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa pasien pada penelitian ini sebagian

besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 73,68% dan usia 56-65 sebanyak

17,89%.

5.2.2 Identifikasi Kultur Bakteri


Persentase identifikasi kultur bakteri di RSUD dr.Syaidiman Magetan dapat dilihat

pada tabel 5.2 dibawah ini :

Tabel 5.2 Identifikasi Kultur Bakteri

Jenis Bakteri (n=95) Jumlah (n) Presentase (%)


E.coli Proteus P.aeruginosa Staphylococcus sp K.pneumoniae Enteroba
Enterococcus
Staphylococcus sp 4 4,21
Antibiotik
Enterococcus (n=5)25 (n=16) 26, 31(n=4) (n=3) (n=3
(n=25) (n=39)
E.coli 39 41,05
Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Presentase Present
(%)
Proteus spp (%) (%) 5 (%) 5,26 (%) (%) (%)
R S R S R S R S R S R S R
P.aeruginosa
0 96 2,56 89 20 1640 0 100 16,84
0 100 0 100 0 1
Levofloxacin
Cefadroxil 0
K.pneumoniae 100 0 100 0 100
3 0 100 0
3,15 100 33,33 66,66 0 1
Amoxicilin-clavulanat 4 96 5,12 94,87 0 100 18,75 81,25 25 75 33,33 66,66 0 1
Enterobacter 3 3,15
Ampicilin 0 100 2,56 89 0 100 0 100 0 100 0 100 0 1
Trimethopim- Total 66 69,45
0 100 12,82 87,17 0 100 0 100 0 100 33,33 66,66 0 1
Sulfamethoxazole
Ciprofloxacin 12 84 5,12 92,3 0 100 43,75 43,75 0 100 0 100 0 1
Ceftriaxone 0 100 0 100 0 100 0 100 25 75 0 100 0 1
Cefixime 0 100 0 100 0 100 6,25 93,75 0 100 0 100 0 1

Berdasarkan tabel 5.2 Presentasi identifikasi kultur bakteri, jumlah bakteri yang

paling banyak adalah bakteri gram negatif yaitu bakteri E. Coli dengan presentase

41,05%.

5.2.3 Resistensi dan Sensitifitas Antibiotik

Persentase jumlah pasien ISK di RSUD dr.Syaidiman berdasarkan resistensi dan sensitifitas

bakteri terhadap antibiotik dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Keterangan : S = Sensitif dan R = Resisten

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa bakteri Enterococcus resisten


terhadap Levofloxacin (96%), Amoxicilin-clavulanat (96%), Ciprofloxacin (96%):
E.coli resisten terhadap Levofloxacin (2,56%), Amoxicilin-clavulanat (5,12%),
Ampicilin (2,56%), Trimethopim-Sulfamethoxazole(12,82%), Ciprofloxacin (5,12%);
Proteus resisten terhadap Levofloxacin (20%); P.aeruginosa resisten terhadap
Amoxicilin-clavulanat (18,75%) dan Trimethopim-Sulfamethoxazole(43,75%);
Staphylococcus sp resisten terhadap Amoxicilin-clavulanat (25%) dan Ceftriaxone
(25%); K.pneumoniae resisten terhadap Amoxicilin-clavulanat (33,33%), Cefadroxil
(33,33%), dan Trimethopim-Sulfamethoxazole (33,33%).
5.2 Efektifitas Antibiotik Pada Infeksi Saluran Kemih

Efektifitas antibiotik pada pasien ISK di RSUD dr. Syaidiman Magetan dilihat

dari parameter WBC pada tabel 5.4 dibawah ini:

Tabel 5.4 Efektifitas Antibiotik Pada Infeksi Saluran Kemih


WBC
Rata-rata Rata-rata
No Golongan Obat
Sebelum Terapi Setelah Terapi
(103/µL) (103/µL)
1 Levofloxacin 15,16 6,21
2 Cefadroxil 13,62 4,17

3 Ampicilin 15,20 8,32

4 Ciprofloxacin 17,11 7,30


5 Ceftiaxone 16,69 7,90
6 Cefixime 14,38 8,14
7 Cefotaxime 18,05 7,24
8 Doxyciclin 16,26 7,53
9 Gentamicin 13,15 8,44
10 Cefepim 18,75 5,53
11 Ciprofloxacin + ceftriaxone 15,23 8,06
12 Ceftriaxone + gentamicin 19,12 7,07

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa hasil laboratorium sebelum dan

setelah terapi yang diberikan di RSUD dr. Syaidiman Magetan menunjukkan terapi

antibiotik efektif berdasarkan jumlah normal wbc adalah 4,8 – 10,8.

5.3 Perbedaan Terapi dengan Data Laboratorium WBC

Untuk melihat uji perbedaan terapi dengan data laboratorium dilakukan uji

normalitas data terlebih dahulu, nilai normalitas dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah

ini :
Tabel 5.5 Normalitas terapi antibiotik dengan data laboratorium dengan Uji
Shapiro-Wilk

WBC
N Rata-rata
Golongan Obat
o Sebelum Terapi Normalitas
(103/µL)
1 Levofloxacin 15,16
2 Cefadroxil 13,62
3 Ampicilin 15,20
4 Ciprofloxacin 17,11
5 Ceftiaxone 16,69
6 Cefixime 14,38 0,200
7 Cefotaxime 18,05
8 Doxyciclin 16,26
9 Gentamicin 13,15
10 Cefepim 18,75
11 Ciprofloxacin + ceftriaxone 15,23
12 Ceftriaxone + gentamicin 19,12

Menurut tabel 5.5 Data terapi antibiotik dengan data laboratorium WBC

berdistribusi normal P- 0,200 > 0,05.

Tabel 5. 6 Perberbedaan terapi antibiotik dengan data laboratorium WBC


dengan Uji One-Sampel T-Test.

WBC
N Rata-rata
Golongan Obat Normalitas
o Sebelum Terapi
(103/µL)
1 Levofloxacin 15,16
2 Cefadroxil 13,62
3 Ampicilin 15,20
4 Ciprofloxacin 17,11
5 Ceftiaxone 16,69
6 Cefixime 14,38
7 Cefotaxime 18,05 0,001
8 Doxyciclin 16,26
9 Gentamicin 13,15
10 Cefepim 18,75
Ciprofloxacin +
11 15,23
ceftriaxone
12 Ceftriaxone + gentamicin 19,12

Menurut tabel 5.6 Hasil Uji One-Sampel T-Test P-value 0,001 < 0,05, yang

artinya ada perbedaaan kadar wbc dalam sebuah terapi antibiotik dengan data

normal 4,8 – 10,8.


5.4 Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang berjudul identifikasi dan efektifitas antibiotik di

RSUD dr. Sayidiman Magetan didapatkan pasien sebanyak 95 sampel pada periode

Januari-Desember 2020, dimana didapat karakteristik berdasarkan jenis kelamin ,usia

dan letak infeksi.

Hasil dari penelian, 95 kasus pasien yang di rawat di Rumah Sakit dr. Syaidiman

Magetan sebanyak 26,31% dialami oleh pasien laki-laki dan 73,68% dialami oleh

pasien perempuan, alasan perempuan cenderung lebih sering menderita ISK

dibandingkan laki-laki karena bakteri dapat menjangkau kandung kemih dengan lebih

mudah pada Perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Panjang uretra pada

Perempuan lebih pendek (sekitar 3-5 cm) daripada uretra laki-laki (sekitar 15-18 cm),

sehingga bakteri yang akan menyerang mempunyai jarak yang lebih pendek dan dekat

untuk menginfeksi bagian saluran kemih. Uretra pada perempuan letaknya juga

berdekatan dengan rektum sehingga mikroorganime lainnya dapat dengan mudah

menjangkau uretra dan menyebabkan infeksi. (Meryani H. Nisnoni, 2017).

Pada penelitian ini jumlah pasien ISK terbanyak yakni pada usia lansia akhir (56-

65 th) dengan presentase 17,89%, pada usia tua penyebab sering terjadinya ISK salah

satunya adalah karena adanya perubahan anatomi dan fisiologi dalam saluran kemih

yang menyebabkan statis dan batu kemih. Produksi hormone estrogen menurun pada

perempuan usia postmenopouse mengakibatkan pH pada cairan vagina naik sehingga

perkembangan mikroorganisme pada vagina meningkat. ISK pada laki-laki biasanya

dikarenakan adanya kelainan anatomi, batu saluran kemih atau penyumbatan pada

saluran kemih (Adib,M. 2011, Sudoyo dkk, 2014).


ISK disebabkan oleh bakteri, namun jamur dan virus juga dapat menjadi

penyebabnya. Bakteri yang sering menyebabkan ISK ialah Eschericia coli, yaitu

organisme yang dapat ditemukan pada anus. Selain E. coli bakteri yang dapat

menyebabkan ISK ialah golongan Proteus sp, Klebsiella sp, Pseudomonas sp,

Enterococcus sp, dan Staphylococcus sp. Adanya infeksi pada saluran kemih, akan

membuat leukosit meningkat yang disebut pyuria (Nuari dan Widayanti, 2017).

Pemeriksaan sampel yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan adanya

pertumbuhan mikroorganisme. Dari sampel yang diperiksa tersebut ditemukan bahwa

Escherichia coli merupakan mikroorganisme terbanyak penyebab ISK yang

ditemukan dalam penelitian ini dengan jumlah 39 kasus (41,05%). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Muhammad Yashir (2019) yang

menemukan Escherichia coli sebagai jenis bakteri penyebab ISK tersering dengan

jumlah 10 kasus (31 %) dari 40 kasus. Mikroorganisme penyebab ISK terbanyak pada

penelitian berturut-turut adalah Escherichia coli (40,05%), Enterococcus (26,31 %),

Pseudomonas aeruginosa (16,84%), Enterococcus faecalis (9%), Proteus spp (5,26%),

Staphylococcus saprophyticus (4,21%), Klebsiella pneumoniae (3,15%), Enterobacter

spp (3, 15%). Identifikasi kultur bakteri bertujuan untuk menentukan jenis antibiotik

yang paling efektif dalam membasmi bakteri tersebut.

Enterococcus merupakan bakteri gram positif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Data sensitifitas bakteri menunjukkan antibiotik yang sensitif

terhadap Enterococcus ialah Cefadroxil (100%), Ampicilin (100%), Trimethopim-

sulfamethoxazole (100%), Ceftriaxone (100%), Cefixime (100%) dan antibiotik yang

resisten terhadap Enterococcus ialah Amoxicilin-clavulanat (4%), Ciprofloxacin

(12%). Pada penelitian Aristo (2015) menunjukkan bahwa bakteri Enterococcus


resistensi terhadap Amoxicilin-clavulanat (100%), menurut Lee gilho (2013)

Enterococcus resisten terhadap ciprofloxacin sebesar 47%.

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Dan hasil sensitivitas bakteri menunjukkan antibiotik yang

sensitif terhadap Escherichia coli ialah cefadroxil (100%), Ceftriaxone (100%), dan

Cefixime (100%). Sedangkan antibiotik yang resisten adalah Levofloxacin (2,56%),

Amoxicilin-clavulanat (5,12%), Ampicilin (2,56%), trimethopim-sulfamethoxazone

(12,42), dan Ciprofloxacin (5,12%). Pada penelitian Meriani (2015) menunjukkan

bahwa bakteri Escherichia coli resistensi terhadap Levofloxacin (30%), Amoxicilin-

clavulanat (5,12%), Ampicilin (42,2%), trimethopim-sulfamethoxazone (23,7%), dan

Ciprofloxacin (56%).

Proteus mirabilis adalah bakteri gram negatif, uji sensitivitas pada beberapa

antibiotik menunjuukan bakteri Proteus mirabilis sensitif terhadap Cefadroxil (100%),

Amoxiciliin-clavulanat (100%), Trimethopim-sulfamethoxazole (100%),

Ciprofloxacin (100%), Ceftriaxone (100%), dan Cefixime (100%). Antibiotik yang

resistensi terhadap Proteus mirabilis ialah Levofloxacin dengan presentase 20%. Pada

penelitian Sujiwo (2017) menunjukkan bahwa bakteri Proteus mirabilis resistensi

terhadap Levofloxacin (45,3%)

P. aeruginosa merupakan bakteri gram negatif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Dan hasil sensitivitas bakteri menunjukkan antibiotik yang

sensitif terhadap P. aeruginosa ialah Levofloxacin (100%), Cefadroxil (100%),

Ampicilin (100%), Trimethopim-sulfamethoxazole (100%), Ceftriaxone (100%) dan

antibiotik yang resisten terhadap P. aeruginosa ialah Amoxicilin-clavanat (18,75%),

Ciprofloxacin (43,75%), Cefixime (6,25%). Penelitian lain menunjukkan bahwa


bakteri P. aeruginosa resistensi terhadap Amoxicilin-clavanat (75,23%),

Ciprofloxacin (23,4%), Cefixime (20,7%) (Anin, 2018).

Staphylococcus sp merupakan bakteri gram positif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Dan hasil sensitivitas bakteri menunjukkan antibiotik yang

sensitif terhadap Staphylococcus sp ialah Levofloxacin (100%), Cefadroxil (100%),

Ampicilin (100%), Trimethopim-sulfamethoxazole (100%), Ciprofloxacin (100%),

Ceftriaxone (100%) dan antibiotik yang resisten terhadap Staphylococcus sp ialah

Amoxicilin-clavanat (25%), dan Ciprofloxacin (25%). Penelitian lain menunjukkan

bahwa bakteri Staphylococcus sp resistensi terhadap Amoxicilin-clavanat (63%), dan

Ciprofloxacin (36,6%) (Arin,2015).

K.Pneumonia merupakan bakteri gram negatif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Data sensitifitas bakteri menunjukkan antibiotik yang sensitif

terhadap K.Pneumonia ialah Levofloxacin (100%), Ampicilin (100%), Ciprofloxacin

(100%), Ceftriaxone (100%), Cefixime (100%) dan antibiotik yang resisten terhadap

Enterococcus ialah Cefadroxil (33,33%), Amoxicilin-clavulanat (33,33%),

Trimethopim-sulfamethoxazole (33,33%). Pada penelitian Sujiwo (2017)

menunjukkan bahwa bakteri K.Pneumonia resistensi terhadap Cefadroxil (50%),

Amoxicilin-clavulanat (46,3%), Trimethopim-sulfamethoxazole (52%).

Enterobacter merupakan bakteri gram negatif dan diuji sensitivitasnya pada

beberapa antibiotik. Data sensitifitas bakteri menunjukkan antibiotik yang sensitif

terhadap Enterobacter ialah Levofloxacin (100%), Cefadroxil (100%), Ampicilin

(100%), Amoxicilin-clavulanat (100%), Trimethopim-sulfamethoxazole (100%).

Ciprofloxacin (100%), Ceftriaxone (100%), Cefixime (100%).

Levofloxacin dan ciprofloxacin adalah golongan floroquinolone bekerja dengan

spektrum luas menghambat relaksasi DNA, menghambat gyrase DNA pada


organisme yang rentan; mempromosikan kerusakan DNA untai ganda. florokuinolon

yang merupakan pengobatan lini pertama infeksi saluran kemih atas (Katzung, 2015).

Cefadroxil adalah antibiotik beta-laktama golongan sefalosporin generasi pertama

bekerja dalam spektrum luas terutama aktif terhadap Gram positif, dengan cara kerja

menangkap pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel

bakteri. Aktivitas bakterisidal melawan organisme yang berkembang pesat.

Ceftriaxon, cefixime dan cefotaxime adalah obat antibiotik beta-laktam golongan

sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai

sistem saraf pusat. Sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas gram negatif

spektrum luas, golongan ini umumnya kurang aktif terhadap kokus gram positif

dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif

terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Cefepim adalah

obat antibiotik beta-laktam golongan sefalosporin generasi keempat memiliki cakupan

gram negatif sebanding dengan ceftazidime dan cakupan gram positif lebih baik

(sebanding dengan ceftriaxone), dengan cepat menembus sel gram negatif, dapat

berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga.

Resistensi bakteri terhadap golongan β-Laktam seperti penisilin dan sefalosporin

disebabkan karena bakteri memproduksi enzim β-Laktam yang membuat ikatan

dengan antibiotik dan kemudian membentuk hidrolisis β-Laktam, bakteri akan

membuka cincin β-Laktam dari penisilin dan sefalosporin yang mengakibatkan

hilangnya sensitivitas antibiotik (Brooks et al, 2015).

Amoxicilin dan ampicilin adalah golongan penicilin dengan cara kerja spektrum

luas; mengganggu sintesis dinding sel bakteri selama replikasi aktif, menyebabkan

aktivitas bakterisidal terhadap organisme yang rentan. Resistensi bakteri terhadap

golongan β-Laktam seperti penisilin dan sefalosporin disebabkan karena bakteri


memproduksi enzim β-Laktam yang membuat ikatan dengan antibiotik dan kemudian

membentuk hidrolisis β-Laktam, bakteri akan membuka cincin β-Laktam dari

penisilin dan sefalosporin yang mengakibatkan hilangnya sensitivitas antibiotik

(Brooks et al, 2015).

Trimethoprim secara umum digunkan dengan kombinasi sulfamethoxazole,

bekerja dengan denghambat dihidrofolat reduktase, sehingga menghalangi produksi

asam tetrahidrofolat dari asam dihidrofolat. Sulfametoksazol menghambat sintesis

bakteri asam dihidrofolat dengan bersaing dengan asam para-aminobenzoic.

Resistensi bakteri terhadap trimetropim/sulfametoksazol terjadi karena berkurangnya

permeabilitas sel, kelebihan dihidrofolat reduktase, perlawanan juga dapat muncul

dengan mutasi karena plasmid tahan terhadap reduktase dihidrofulat yang

menghasilkan target baru sehingga tidak sensitif terhadap obat. Jika kultur pasien

menunjukkan bakteri positif, pengobatan lini pertama adalah ampicilin (Katzung,

2015).

Analisis efektivitas antibiotik diperoleh hasil analisis normalitas data yang

digunakan yaitu Shapiro-Wilk, karena jumlah data kurang dari 50 sampel. Hasil

normalitas data pada terapi antibiotik adalah 0,200, maka dapat disimpulkan bahwa

terapi antibiotik berdistribusi normal karena nilai signifikan data tersebut > 0,05, dari

hasil uji perbedaan terapi dengan laboratorium wbc menunjukkan data yang ada dapat

dianalisa secara parametrik dengan Uji One-Sampel T-Test tersebut menunjukkan

penurunan leukosit bermakna signifikan (P-value 0,001 < 0,05), yang artinya ada

perbedaaan kadar wbc dalam sebuah terapi antibiotik dengan data normal 4,8 – 10,8.

Menurut penelitian Tori, sebanyak 91 pasien yang mendapatkan terapi antibiotik

ceftriaxone, cefeixime, cefotaxime, ciprofloxacin, dan ampicilin menghasilkan

efektifitas yang sama atau tidak ada perbedaan signifikan (p = 0,634 > 0,05) (Baso,
2018). Selain wbc parameter yang digunkan di RSUD dr. Syaidiman Magetan adalah

nilai nitrit, laukosit esterase dan bakteriuria.

Hasil pemeriksaan nitrit urin sebelum dan setelah terapi menunjukan bahwa terapi

antibiotik yang diberikan efektif (Lampiran 3). Uji nitrit dapat digunakan untuk

mendeteksi keberadaan bakteri pereduksi nitrat diurin (misalnya E. coli). Perubahan

nitrat menjadi nitrit terjadi akibat adanya bakteri yang menghasilkan enzim nitrat

reduktase. Bakteri yang dapat memproduksi enzim tersebut adalah bakteri gram

negatif (Malau UN, 2019). Stein et al (2014) menyebutkan bahwa pemeriksaan nitrit

positif sangat sensitif untuk mendiagnosis ISK, namun jika hasilnya negatif tidak

dapat menyingkirkan adanya ISK, sebab terdapat keadaan tertentu yang dapat

menyebabkan hasil nitrit negatif pada pasien dengan ISK, seperti terinfeksi oleh

bakteri yang tidak dapat menghasilkan nitrit atau urin yang diperiksa merupakan urin

yang belum lama tersimpan di kandung kemih. Prajapati (2018) pada penelitiannya

menyatakan bahwa pemeriksaan nitrit urin tidak cocok pada bayi dan anak kecil untuk

mendiagnosis ISK, sebab pada bayi dan anak kecil cenderung sering buang air kecil,

dan bakteri dalam urin menghasilkan nitrit membutuhkan waktu sekitar 4 jam

(Prajapati, 2018).

Leukosit esterase merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya leukosit yang

mengeluarkan enzim esterase yang disebab-kan oleh adanya bakteri gram negatif. Tes

leukosit esterase adalah tes dipstik cepat untuk mendeteksi piuria, yang umum

digunakan sebagai indikasi terjadinya respon inflamasi terhadap serangan bakteri ke

urotelium. Hasil pemeriksaan leukosit esterase ditampilkan pada (Lampiran 4). Pada

pemeriksaan leukosit sebelum dan setelah terapi menunjukan terapi antibiotik yang

diberikan efektif. Leukosit esterase yang positif harus dicurigai karena kemungkinan

hasil positif palsu. Terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan leukosit
esterase positif di antaranya ialah penyakit Kawasaki, glomerulonefritis, dan apendi-

sitis. Hidayah et al melaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan

leukosit esterase sebesar 88% dan 30%. (Becknell B, 2019; Hidayah, 2011).

Metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis ISK adalah dengan

kultur urin kuantitatif. Hasil kultur sebelum dan setelah terapi menunjukan terapi

antibiotik yang diberikan efektif (Lampiran 5). Pasien dengan infeksi biasanya

memiliki lebih dari 105 bakteri / mL [108 / L] urin, meskipun sebanyak sepertiga

wanita dengan gejala infeksi memiliki lebih sedikit dari 105 bakteri / mL [108 / L].

Kultur urine memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 99%. Selain itu, kultur juga

dapat menilai sensitivitas bakteri terhadap antibiotik untuk membantu menentukan

terapi (Dipiro, 2015).

Anda mungkin juga menyukai