Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Kejang Demam Kompleks

Disusun Oleh :
dr. Dezalia Sayunda Pamano

Pendamping :
dr. Luluk Susaeny

Kepala Instalasi Gawat Darurat:


dr. Achmad Yudho Susilo

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PROGRAM INTERNSHIP


DOKTER INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG
CIBINONG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : dr. Dezalia Sayunda Pamano
Judul presentas : Kejang Demam Kompleks
Wahana : RSUD Cibinong
Telah menyelesaikan tugas Program Internship Dokter Indonesia pada wahana
RSUD Cibinong.

Cibinong, Agustus 2021

Pendamping Kepala Instalasi Gawat Darurat

dr.Luluk Susaeny dr. Achmad Yudho Susilo

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 24 bulan
BB : 10 kg
TB : 86 cm
Tanggal masuk : 27 Juni 2021
No. RM : 11259548

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kejang Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien An.K usia 24 bulan dibawa ke RSUD Cibinong karena
kejang. Satu jam sebelum masuk Rumah Sakit kejang terjadi 2x dan
kejang berlangsung lebih dari 5 menit. Saat kejang disertai dengan
demam tinggi dan pasien tidak sadar. Pasien mengalami kejang pada
seluruh tubuh dengan kedua tangan dan kaki pasien kaku serta mata
melirik ke atas. Tidak keluar busa dari mulut dan tidak disertai lidah
tergigit. Kejang berhenti sendiri dan belum diberikan obat. Setelah
kejang pasien sadar dan menangis.
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
demam naik turun dan sudah diperiksakan ke bidan setempat, telah
mendapatkan obat namun belum membaik. Menurut orangtua pasien
demam yang dialami pasien tidak disertai batuk maupun pilek. Tidak
didapatkan riwayat sakit telinga, keluar cairan dari telinga dan batuk

3
lama. Riwayat trauma atau terbentur disangkal. Pasien makan dan
minum seperti biasanya, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Kurang lebih 12 jam sebelum masuk rumah sakit pasien
mengalami demam tinggi. Telah diberikan obat penurun panas berupa
paracetamol sirup oleh ibu pasien sebanyak 2x tetapi tidak ada respon
dan tetap demam hingga muncul kejang.
Saat di IGD pasien dalam kondisi tidak kejang, tidak ada
penurunan kesadaran dan masih didapatkan demam. Pasien menangis
dengan kuat dan masih mau minum susu. Tidak terdapat riwayat kejang
sebelumnya baik disertai demam ataupun tidak.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat dengan keluhan serupa : disangkal
Riwayat kejang demam : disangkal
Riwayat kejang tanpa demam : disangkal
Riwayat diare : disangkal
Riwayat infeksi THT : (+) pilek

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat kejang demam pada keluarga : (+) ayah dan nenek pasien
Riwayat epilepsi pada keluarga : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KeadaanUmum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Tanda vital
BB : 10 kg
TB : 86 cm
SiO2 : 98%
Nadi : 120 x/menit

4
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 40.0º C (per axilla)
Kepala & wajah : Normochephal, Deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterus (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
THT : Sekret (-)
Dada : Simetris kanan = kiri
- Paru : Vesikuler + /+, ronkhi -/-, wheezing -/-
- Jantung : BJ I & II irreguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, BU (+) normal, nyeri tekan
epigastric (-), tidak teraba massa, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/-)
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Cek GDS dengan glucometer 167mg/dL
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Observasi Kejang Demam
E. INITIAL PLAN
Kaen3B 1000cc/24 jam
PCT drip
Inj Ondansentron 1mg
Konsul dr anak
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
G. HEMATOLOGI
Hemoglobin : 11,3 g/dL
Leukosit : 13.210/mm3 (H)
Trombosit : 225.000/mm3
Hematokrit : 33%
KIMIA KLINIK

5
GDS : 130 mg/dl

H. DIAGNOSIS KERJA
Kejang demam kompleks ec. dd meningitis, encephalitis

I. TATALAKSANA
1. Rawat bangsal neurologi anak
2. O2 nasal 2 lpm
3. Injeksi Diazepam (0,3 mg/kgBB) ~ 2,5 mg iv bolus pelan bila kejang
4. Paracetamol (10 mg/kgBB/kali) ~ 3 x 100 mg
5. IVFD D ½ NS (100 cc/kgBB/hari) ~ 1000 cc/hari

Konsul dr.Ava,Sp.A
o kaen3b 1000cc/24 jam
o ceftriaxone 1x1gr
o amikasin 2x75mg
o omeprazole 1x12mg
o deksametasone 3x1,5mg
o pct drip150mg
o pasang ngt
o cek agd

J. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

6
BAB II
ANALISIS KASUS

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Kejang demam diklasifikasikan menjadi:
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama > 15 menit
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan
kejang anak tidak sadar.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar
Pada pasien ini anak perempuan usia 16 bulan dengan berat badan 8,5 kg,
dari anamnesa didapatkan keluhan kejang sebanyak 1 kali ±1 jam SMRS yang

7
berdurasi kurang dari 5 menit. Saat kejang pasien tidak sadar dan demam tinggi
(+), namun setelah kejang pasien menangis. Pasien mengalami demam sejak ±12
jam sebelumnya dan sudah diberi obat penurun panas sebanyak 2 kali namun
demam tidak turun dan pasien kejang. Kejang pada pasien bersifat tonik, mata
mendelik ke atas. Pasien baru pertama kali ini mengalami kejang. Pada keluarga
tidak didapatkan riwayat kejang demam maupun epilepsi.
Pasien ini didiagnosis kejang demam karena pasien mengalami kejang
disertai demam tinggi dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Diagnosis kejang demam kompleks ditegakkan pada pasien ini atas dasar kejang
yang dialami pasien disertai demam tanpa riwayat gangguan neurologis dan
kejang berulang tanpa disertai demam. Demam terjadi ±12 jam SMRS, tidak
terlalu tinggi, tidak mendadak dan berlangsung terus-menerus. 2 hari SMRS ibu
pasien menyatakan pasien tidak batuk maupun pilek. Kemungkinan pasien telah
terjangkit infeksi saluran napas, saluran kemih atau peradangan pada otak maupun
mening yang dapat disebabkan oleh infeksi yang memicu terjadinya demam
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis
banding tersebut.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kepala mesosefal, UUB membonjol,
pemeriksaan mata refleks cahaya (+/+), pupil isokor dengan diameter 2 mm/2mm.
Pada hidung ditemukan adanya sekret. Tidak ditemukan sekret yang keluar dari
telinga. Pemeriksaan thoraks, cor, pulmo, abdomen, dan ekstremitas dalam batas
normal. Status neurologis pasien GCS E4V5M6, pemeriksaan nervus cranialis
dalam batas normal, pemeriksaan motorik dan sensorik dalam batas normal.
Refleks fisiologis pasien dalam batas normal dan tidak ditemukan adanya refleks
patologis. Pemeriksaan refleks meningeal didapatkan hasil negatif. Dari
pemeriksaan fisik tersebut menunjukkan tidak terdapat infeksi pada otak dan
meningen sehingga diagnosis banding kejang karena infeksi SSP dapat
disingkirkan. Pada meningitis, terdapat kelainan pada otak yang dapat ditandai
dengan refleks patologis dan refleks meningeal yang positif, EEG abnormal,
kejang berulang, tekanan intrakranial yang meningkat, dan terdapat penurunan
kesadaran.

8
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan Gambaran Darah Tepi pada
28 November 2015, didapatkan hasil kesan normal pada lab darah lengkap
maupun gambaran darah tepi. Untuk menemukan fokus infeksi atau faktor yang
menjadi penyebab demam dan kejang direncanakan untuk dilakukan Lumbal
pungsi untuk pemeriksaan LCS namun pemeriksaan ini belum dilakukan dan
pasien mengalami perbaikan klinis sehingga pemeriksaan dibatalkan.
Pada kasus kejang demam, indikasi untuk rawat inap adalah sebagai
berikut:
1. Kejang demam kompleks
2. Hiperpireksia
3. Usia di bawah 6 tahun
4. Kejang demam pertama kali
Pasien ini dimondokkan di bangsal neurologi anak karena memenuhi indikasi
rawat inap yaitu pasien berusia 1 tahun 3 bulan, baru pertama kali mengalami
kejang demam, dan termasuk dalam kejang demam kompleks.
Setelah kejang diatasi, pengobatan disusul dengan terapi rumatan yang
dibagi menjadi profilaksis intermitten dan profilaksis jangka panjang. Saat di
IGD, pasien sudah tidak kejang namun masih demam. Sehingga, diberikan
profilaksis intermitten pada saat demam berupa Paracetamol 10 mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari. Selain itu diberikan pula diazepam 0,3 mg/kgBB ~ 2,5 mg
iv bolus pelan bila kejang. Profilaksis jangka panjang diberikan injeksi sibital 5
mg/kgBB/hari ~ 25 mg/12 jam. Pemberian profilaksis ini sesuai pertimbangan
bahwa pasien mengalami kejang berulang 2 kali dalam 24 jam. Pengobatan
diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
Pada pasien ini, disarankan untuk melakukan pemeriksaan lumbal pungsi
untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pasien berusia 1
tahun 4 bulan (16 bulan), dimana pada usia 12-18 bulan lumbal pungsi sebagai
pemeriksaan penunjang dianjurkan. Pada bayi kurang dari 12 bulan, pemeriksaan
ini sangat dianjurkan. Sedangkan pada bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin
dilakukan.

9
Pemeriksaan urinalisa dilakukan pada pasien ini untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi saluran kemih. Infeksi saluran kemih merupakan penyebab
demam kedua tersering setelah infeksi saluran nafas akut pada anak kurang dari 2
tahun. Pada anak kurang dari 10 tahun, ISK ditemukan lebih banyak pada anak
perempuan dibanding laki-laki. Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering
tidak khas hingga asimtomatik. Pada perawatan hari ke-3 hasil urinalisa
menunjukkan adanya leukosituria, hematuria dan bakteriuria. Hasil ini
menyokong adanya infeksi saluran kemih, tetapi perlu dilakukan kultur urin untuk
menegakkan diagnosis. Sebelum ada hasil kultur urin dan uji kepekaan, antibiotik
dapat diberikan secara empirik selama 7-10 hari untuk eradikasi infeksi akut. Oleh
karena itu, pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas golongan aminoglikosida
yaitu ampicillin 25mg/kgBB/6 jam. Pengobatan infeksi saluran kemih ini
diberikan untuk menghilangkan penyebab demam yang dapat memicu timbulnya
kejang yang berulang.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM
Definsi (1)(5)
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan
oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk
diagnosa kejang demam adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih.
Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang
mendadak dan lebih dari biasanya, yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari
substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh demam dari luar otak.
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering
dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Insiden
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada
laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita
didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden
kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83
orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan
pasien kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari
data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari
jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia
dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita
mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila

11
dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang
anak laki-laki.(1)
Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui,
akan tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi
terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang
mengalami kejang demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam
pasa masa kecilnya.(1)(9)
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas
terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut(cairan telinga yang tidak
segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan
menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema subitum dan infeksi
saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga
dapat menyebabkan kejang demam.
Patofisiologi (2)(4)
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran

12
listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh
dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
Klasifikasi Kejang Demam
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam
menjadi dua(8)
1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)
 Berlangsung singkat
 Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
 Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
 Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)
 Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan
kejang parsial
 Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang

13
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang
antara lain:
 Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah
relatif normal
 Riwayat demam yang sering
 Kejang pertama adalah kejang demam kompleks
Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak
disertai demam. Epilepsi terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi
sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba.
Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang
rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan
gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia
mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena
sinar lampu yang tajam.
Manifestasi Klinis (1)(2)(5)
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi
di luar susunan saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-
lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik,
klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan
terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya
kelainan neurologik.
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi
secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung
selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami
kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot
kedua sisi tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan,

14
tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontaksi
otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot
yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau
pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan
air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti
nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
 Anak hilang kesadaran
 Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
 Sulit bernapas
 Busa di mulut
 Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
 Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Diagnosis (4)(9)(10)
Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan
penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi
susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan
elektrolit dan adanya lesi structural pada system saraf, misalnya epilepsi.
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
 Anamnesis
- Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
- Sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun)

15
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
 Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan
terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan
membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang
dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi
yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan
janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan
penyuntikan obat anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial
yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
- Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena
yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis
dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

16
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
 Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap à penyebab demam
- Elektrolit, glukosa darah à diare, muntah, hal lain yang dpt mengganggu
keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal à gangguan metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS à meningkat à Ensefalitis
akut / Ensefalopati.
 Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi à curiga meningitis, umur kurang dari 12 bulan diharuskan
dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG à tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan
pada KDK

- CT-scan atau MRI tidak dilakukan pd KDS yang terjadi pertama kali, akan
tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami KDK untuk
menentukan kelainan struktural berupa kompleks tunggal atau multipel
Diagnosa Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat.
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis,
abses otak, dan lain-lain.oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan
dahulu apakah ada kelainan organis di otak.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi
dan anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas
dan gangguan neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi

17
kekhilafan yang berakibat fatal harus dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal
yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam
kejang demam kompleks atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
Tabel Diagnosa Banding
No Kriteri Banding Kejang Epilepsi Meningitis
Demam Ensefalitis
1. Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)
Ket (-): tidak ada
Penatalaksanaan (3)(4)(10)
Dalam penanggulangan kejang demam ada 6 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
 Mengatasi kejang secepat mungkin
 Pengobatan penunjang
 Memberikan pengobatan rumat
 Mencari dan mengobati penyebab
 Mencegah terjadinya kejang dengan cara anak jangan sampai panas
 Pengobatan akut
1. Mengatasi kejang secepat mungkin
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang,
kejang sudah berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mm/kgBB perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit. Obat yang praktis dan
dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering digunakan di rumah
sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg,
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan

18
dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau 7,5 mg mg untuk anak
diatas usia 3 tahun.
Berikut adalah tabel dosis diazepam yang diberikan :
Usia Dosis IV (infus) Dosis per rektal
(0.2mg/kg) (0.5mg/kg)
< 1 tahun 1–2 mg 2.5–5 mg
1–5 tahun 3 mg 7.5 mg
5–10 tahun 5 mg 10 mg
> 10 years 5–10 mg 10–15 mg
Jika kejang masih berlanjut :
- Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang
selang infus, 0,5 mg/kg per rektal
- Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Jika kejang masih berlanjut :
- Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit
- Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.
Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang
perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
2. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas,
pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya
semua pakaian ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk mencegah
aspirasi lambung. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar
oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan ditambah dengan
pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor
sekiranya terdapat kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara
ketat.

19
Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi,
manakala pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres
es dan alkohol tidak lagi digunakan karena pembuluh darah perifer bisa
mengalami vasokontriksi yang berlebihan sehingga menyebabkan proses
penguapan panas dari tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Kompres hangat
juga tidak digunakan karena walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang waktu anak dikompres, anak menjadi
tidak selesa karena dirasakan tubuh menjadi semakin panas, anak menjadi
semakin rewel dan gelisah. Menurut penelitian, apabila suhu penderita tinggi
(hiperpireksi), diberikan kompres air biasa. Dengan ini, proses penguapan bisa
terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan-lahan.\
Bila penderita dalam keadaan kejang obat pilihan utama adalah
diazepam yang diberikan secara per rektal, disamping cara pemberian yang
mudah, sederhana dan efektif telah dibuktikan keampuhannya. Hal ini dapat
dilakukan oleh orang tua atau tenaga lain yang mengetahui dosisnya. Dosis
tergantung dari berat badan, yaitu berat badan kurang dari 10 kg diberikan 5
mg dan berat badan lebih dari 10 kg rata-rata pemakaiannya 0,4-0,6
mg/KgBB. Kemasan terdiri atas 5 mg dan 10 mg dalam rectiol. Bila kejang
tidak berhenti dengan dosis pertama, dapat diberikan lagi setelah 15 menit
dengan dosis yang sama.
Untuk mencegah terjadinya udem otak diberikan kortikosteroid yaitu
dengan dosis 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Golongan
glukokortikoid seperti deksametason diberikan 0,5-1 ampul setiap 6 jam
sampai keadaan membaik.
3. Pengobatan rumat
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan
cara mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih
lanjut. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

Profilaksis intermitten

20
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang
demam diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus
diberikan kepada anak selama episode demam. Antipiretik yang diberikan
adalah paracetamol dengan dosis 10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau
ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Antikonvulsan yang
ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah terulangnya kejang demam
ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5 mg pada anak
dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas 10kg,
maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam. Profilaksis intermitten ini
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang
demam sedehana sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital,
karbamazepin dan fenition pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.
Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis
teurapetik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari. Obat yang dipakai untuk profilaksis
jangka panjang ialah:
a. Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital
jangka panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan
siklus tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.
b. Sodium valproat / asam valproat
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Namun, obat ini
harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan fenobarbital dan gejala
toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
c. Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat
berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau
kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka
panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati

21
epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-
lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
4. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks
biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan kuat perlu untuk mengobati infeksi
tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang demam yang datang untuk
pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal. Hal ini perlu
untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis.
Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif
perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya
gula darah, kalium, magnesium, kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.
Prognosis (8)(9)
1. Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik,
tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan angka kematian
KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6
bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari kejang
demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang
anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan
mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya
didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

22
4. Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung
lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang
fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ,
sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan
perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam,
kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC,
2000. Hal 2059-2067.
2. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton
dan Lange, 2002.
3. Pusponegoro. D. Hardiono dkk. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2006.
4. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2.
Blackwell pulblishing, 2006. Hal 72-90.
5. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC, Jakarta 2006.
6. Mardjono Mahar, dkk. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat. Jakrta, 2006.
7. Pediatrica, Buku Saku Anak, edisi 1, Tosca Enterprise. UGM Jogjakarta,
2005.
8. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke
Diunduh pada tanggal 20 October 2009. Didapatkan dari:
www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm
9. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh pada
tanggal 20 October 2009. Didapatkan dari:
www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
10. Seizures types. Diunduh pada tanggal 20 October 2009. Didapatkan dari
www.2betrhealth.com/SeizureTypes.html

Anda mungkin juga menyukai