Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN

ANALISA JURNAL TREND ISU KEPERAWATAN JIWA, RESUME


SEJARAH DAN MODEL KONSEPTUAL
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa
Dosen Pengampu : Vera Fauziah Fatah., S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh :

Fanny Rachmawati
P17320119412

Tingkat : 3 C Ners

PROGRAM STUDI S-1 PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG
POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
2021/2022
Sejarah Keperawatan Jiwa

A. Perkembangan Keperawatan Jiwa di Dunia

a) Masa Peradaban

Masa ini dimulai antara tahun 1770 sampai dengan tahun 1880, ditandai dengan dimulainya
pengobatan terhadap pasien gangguan mental. Para masa ini, suku bangsa Yunani, Romawi
maupun Arab percaya bahwa gangguan mental (emosional) diakibatkan karena tidak
berfungsinya organ pada otak. Pengobatan yang digunakan pada masa ini telah
mengabungkan berbagai pendekatan pengobatan seperti: memberikan ketenangan,
mencukupi asupan gizi yang baik, melaksanakan kebersihan badan yang baik, mendengarkan
musik dan melakukan aktivitas rekreasi.

Hippocrates bapak kedokteran abad 7 SM, menerangkan bahwa perubahan perilaku atau
watak dan gangguan mental disebabkan karena adanya perubahan 4 cairan tubuh atauhormon,
yang dapat menghasilkan panas, dingin, kering dan kelembaban. Seorang Dokter Yunani
Galen, mengatakan ada hubungan antara kerusakan pada otak dengan kejadian gangguan
mental dan perubahan emosi. Pada masa itui suku bangsa Yunani telah menggunakan sistem
perawatan yang modern dimana telah digunakannya kuil sebagai rumah sakit dengan
lingkungan yang bersih, udara yang segar, sinar matahari dan penggunaan air bersih. Untuk
menyembuhkan pasien dengan penyakit jiwa/gangguan mental pasien diajak untuk
melakukan berbagai aktifitas seperti bersepeda, jalan-jalan, dan mendengarkan suara air
terjun, musik yang lembut dll.

b) Masa Pertengahan

Masa ini merupakan periode pengobatan modern pasien gangguan jiwa. Bapak Psikiatric
Perancis Pinel, menghabiskan sebahagian hidupnya untuk mendampingi pasien gangguan
jiwa. Pinel menganjarkan pentingnya hubungan pasien-dokter dalam “pengobatan moral".
Tindakan yang diperkenalkan nya adalah menerapkan komunikasi dengan pasien, melakukan
observasi perilaku pasien dan melakukan pengkajian riwayat perkembangan pasien.

c) Abad 18 dan 19

William Ellis seorang praktisi kesehatan mengusulkan perlunya pendamping yang terlatih
dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa. Pada tahun 1836, William Ellis
mempublikasikan Treatise on Insanity yaitu pentingnya pendamping terlatih bagi pasien
gangguan jiwa karena pendamping terlatih rterbukti efektif didalam memberikan ketenangan
dan harapan yang lebih baik bagi kesembuhan pasien. Bejamin Rush bapak Psikiatric
Amerika tahun 1783, menulis tentang pentingnya kerja sama dengan rs jiwa dalam
memberikan bantuan kemanusiaan terhadap pasien gangguan jiwa. Pada tahun Tahun 1843,
Thomas Kirkbridge mengadakan pelatihan bagi dokter di rumah sakit Pennsylvania mengenai
cara merawat pasien gangguan jiwa. Tahun 1872, didirikannya pertama kali sekolah perawat
di New England Hospital Women’sHospital Philadelphia, tetapi tidak untuk pelayan
pskiatrik.

Tahun 1882 didirikannya pendidikan keperawatan jiwa pertama di McLean Hospital


diBelmont, Massachusetts. Dan pada tahun 1890 diterimanya lulusan sekolah perawat bekerja
sebagai staff keperawatan di rumah sakit jiwa. Diakhir abad 19 terjadi perubahan peran
perawat jiwa yang sangat besar, dimana peran tersebut antara lain menjadi contoh dalam
pengobatan pengobatan pskiatrik seperti, menjadi bagian dari tim kesehatan, mengelola
pemberian obat penenang dan memberikan hidroterapi (terapi air).

d) Keperawatan Jiwa di Abad 20

Keperawatan jiwa pada abad ini ditandai dengan terintegrasinya materi keperawatan
psikiatrik dengan mata kuliah lain. Pembelajaran dilaksanakan melalui pembelajaran teori,
praktek dilaboratorium, praktek klinik di RS dan Masyarakat. Tingkat pendidikan yang ada
pada abad ini adalah D.III, Sarjana, Pasca Sarjana dan Doktoral.

Fokus pemberian asuhan keperawatan jiwa pada abad 21 adalah mengembangkan asuhan
keperawatan berbasis komunitas dengan menekankan upaya preventif melalui pengembangan
pusatkesehatan mental, praktek mandiri, pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care
(perawatan harian) yaitu pasien tidak dirawat inap hanya rawat jalan,kunjungan rumah dan
hospice care (ruang rawat khusus untuk pasien gangguan jiwa yang memungkinkan pasien
berlatih untuk meningkatkan kemampuan diri sebelum kembali ke masyarakat). Selain itu
dilakukan identifikasi dan pemberian asuhan keperawatan pada kelompok berisiko tinggi
berupa penyuluhan mengenai perubahan gaya hidup yang dapat mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan jiwa. Selain itu dikembangkan pula sistem management pasien care
dimana peran seorang manager adalah mengkoordinasikan pelayanan keperawatan dengan
menggunakan pendekatan multidisipliner.
B. Perkembangan Keperawatan Jiwa di Indonesia

a) Masa Penjajahan Belanda

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat merupakan penduduk pribumi yang
disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit.Tahun 1799
pemerintah kolonial Belanda mendirikan Rumah Sakit Binen Hospital di Jakarta, Dinas
Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat yang bertujuan untuk memelihara kesehatan
staf dan tentara Belanda. Jenderal Daendels juga mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya
dan Semarang, tetapi tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya
hanya untuk kepentingan tentara Belanda.

b) Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)

Gubernur Jenderal Inggris ketika itu dijabat oleh Raffles sangat memperhatikan kesehatan
rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah milik setiap manusia, ia
melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara
lain melakukan pencacaran umum, cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa dan
kesehatan para tahanan.

Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk Indonesia


menjadi lebih baik. Pada tahun 1819 didirikanlah RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan
pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yang sekarang bernama RS. Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Antara tahun 1816 hingga 1942 pemerintah Hindia Belanda banyak mendiirikan
rumah sakit di Indonesia. Di Jakarta didirikanlah RS. PGI Cikini dan RS. ST Carollus. Di
Bandung didirikan RS. ST. Boromeus dan RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan itu
berdiri pula sekolah-sekolah perawat.

c) Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)

Pada masa penjajahan Jepang, perkembangan keperawatan di Indonesia mengalami


kemundurandan merupakan zaman kegelapan,Pada masa itu, tugas keperawatan tidak
dilakukan oleh tenaga terdidik dan pemerintah Jepang mengambil alih pimpinan rumah sakit.
Hal ini mengakibatkan berjangkitnya wabah penyakit karena ketiadaan persediaan obat.

d) Zaman Kemerdekaan
Empat tahun setelah kemerdekaan barulah dimulai pembangunan bidang kesehatan yaitu
pendirian rumah sakit dan balai pengobatan. Pendirian sekolah keperawatan dimulai pertama
kali tahun 1952 dengan didirikannya Sekolah Guru Perawat dan sekolah perawat setingkat
SMP. Tahun 1962 didirikan Akademi Keperawatan milik Departemen Kesehatan di Jakarta
bertujuan untuk menghasilkan Sarjana Muda Keperawatan. Tahun 1985 merupakan
momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia, karena Universitas Indonesia mendirikan
PSIK (Program Studi Ilmu Keperawatan) di Fakultas Kedokteran. Sepuluh tahun kemudian
PSIK FK UI berubah menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan. Setelah itu berdirilah PSIK-PSIK
baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.
Trend Isu Keperawatan Jiwa

A. Judul Jurnal : Media Sosial dan Kesehatan Jiwa Mahasiswa Selama Pandemi Covid-19
B. Penulis : Syiddatul Budury, Andikawati Fitriasari, Diah Jerita Eka Sari
C. Tujuan penulisan :

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh media sosial terhadap kejadian
depresi, kecemasan, stres dan harga diri mahasiswa.

D. Metode penelitian :

Data diambil secara online menggunakan Depression Anxiety Stress Scale, Rosenberg Self
Esteem Scale dan kuesioner penggunaan media sosial. Data danalisis menggunakan uji
statistik korelasi person dan didapatkan hasil bahwa media sosial berpengaruh terhadap
munculnya depresi, kecemasan dan stress (P-value <0.05) dan tidak ada pengaruhnya dengan
harga diri (P-value >0.05).

E. Sampel penelitian:

Populasi penelitian adalah mahasiswa keperawatan di Universitas Nahdlatul Ulama, dengan


sampel penelitian sebesar 118 mahasiswa yang berusia 18-25 tahun.

F. Hasil penelitian:

Tabel 1 diketahui bahwa mahasiswa yang menjadi responden mayoritas adalah perempuan
(91.5%) dan rata-rata berusia 20 tahun dengan pemakaian media sosial perhari banyak yang
lebih dari 2.5 jam.

Hasil penelitian yang ditunjukkan dari tabel 2 adalah bahwa usia berhubungan dengan
terjadinya cemas (P=0,027) dan gangguan harga diri (0,050). Di sisi lain jenis kelamin
berhubungan dengan gangguan harga diri. Sedangkan penggunaan media sosial berpengaruh
terhadap terjadinya depresi, cemas dan stres dan tidak berpengaruh terhadap gangguan harga
diri.
G. Pembahasan :

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19, mahasiswa banyak
menghabiskan waktu bermain media sosial (87.3%) dan hasil lainnya menunjukkan bahwa
ada hubungan antara usia dengan terjadinya kecemasan dan gangguan harga diri, jenis
kelamin berhubungan dengan terjadinya gangguan harga diri, sedangkan penggunaan media
sosial berpengaruh terhadap terjadinya depresi, kecemasan dan stres.

Selama pandemi covid-19, media sosial memberikan banyak informasi tentang covid-19,
morbiditas dan mortalitas, sementara informasi yang diberikan belum tentu benar dan
menimbulkan banyak disinformasi yang justru menimbulkan kecemasan pada pengguna

(Huaxia, 2020) di sisi lain, banyak netizen yang mengekspresikan perasaan negatif misalnya,
ketakutan, kekhawatiran serta kecemasan, hal ini berpotensi memperburuk situasi mental
pengguna media sosial yang mengkasesnya (Gao et al., 2020) kondisi diperburuk lagi jika
mahasiswa tinggal bersama orang tua di perkotaan dengan penghasilan orang tua yang tidak
stabil karena dampak pandemi juga membuat tingkat kecemasan dan stres makin meningkat
(Cao et al., 2020).

Depresi, kecemasan dan stres bisa dipicu dari berita buruk yang mereka peroleh dari sosial
media (Zhong et al., 2021). Pengguna pasif sosial media yang hanya stalking dan scrolling
lebih berisiko terjadinya depresi. Gejala depresi lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibanding laki-laki (Keyes, Gary, O’Malley, Hamilton, & Schulenberg, 2019) diantaranya
adalah kehilangan minat, gangguan konsentrasi, badan merasa lelah dan perasaan rendah diri
(Aalbers, McNally, Heeren, de Wit, & Fried, 2019) di sisi lain, kondisi mental yang sedang
tidak sehat ditambah rasa bosan saat di rumah membuat mahasiswa juga pergi ke tempat
ramai meski sedang dalam pandemi covid-19 dan beberapa diataranya tidak menjaga jarak
dan memakai masker (Budury, 2020).

Stres akademik pada mahasiswa karena banyak tugas kuliah membuat mahasiswa lebih
banyak bermain media sosial yang berpotensi kecanduan internet (Jun & Choi, 2015), selain
itu stres juga dipicu oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, mereka
terobsesi untuk mendaatkan like dan comment sebanyak-banyaknya di halaman media sosial
mereka, lebih lanjut, kondisi ini juga memungkinkan terjadinya cyberbullying pada user yang
dampaknya jauh lebih traumatis dan berbahaya bagi kesehatan mental.

H. Kesimpulan penelitian:

Remaja perempuan lebih sering menggunakan media sosial dan lebih rentan mengalami stres
dan harga diri rendah yang dapat memicu terjadinya depresi. Keberdaan fitur screen time
pada ponsel diharapkan agar user bisa memanage lama waktu pemakain ponsel dan media
sosial sehingga efek negatif terhadap kesehatan mental bisa diminimalisir. Studi lanjutan
diharapkan dapat menemukan intervensi baru dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan mental remaja pemakai media sosial.

I. Saran Penelitian

Depresi yang dialami mahasiswa selama masa pandemi covid-19 berada pada beberapa
tingkat berkaitan dengan akademik, finansial dan waktu yang mempengaruhi kesehatan fisik
maupun mental. Mahasiswa disarankan untuk tetap menjalankan aktivitas harian meski
dirumah, mengikuti layanan konseling online dan melakukan latihan rileksasi yang
disediakan di kampus. Hal ini dapat meningkatkan kesehatan mental mahasiswa selama
pandemi COVID-19.
J. Korelasi antara isi jurnal dan situasi klinis

World Health Organization (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemik. Hal ini
membuat pemerintah dan masyarakat dunia semakin waspada dengan penyebaran virus
corona (Bouey & Dong, 2020). Munculnya pandemi COVID-19 tidak hanya memengaruhi
kesehatan fisik, namun juga memengaruhi kesehatan mental individu di seluruh dunia
(Giacalone, Rocco, & Ruberti, 2020).

Kebijakan-kebijakan besar telah diambil oleh negara-negara terjangkit sebagai upaya


menghentikan penularan infeksi, salah satunya di Indonesia. Sejak minggu ketiga bulan
Maret 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud
RI) telah memberlakukan segala kegiatan pendidikan dilakukan secara daring termasuk di
tingkat perguruan tinggi sebagai upaya mengurangi perkumpulan masal dan mencegah
penularan COVID-19.

Sejalan dengan yang telah dipaparkan pada jurnal, perkuliahan daring bukanlah solusi yang
seratus persen ampuh dan baik dijalankan oleh mahasiswa. Sebagian mahasiswa merasa stres
dan sedih karena jaringan yang tidak stabil sehingga tidak dapat mengikuti perkuliahan
dengan optimal, sebagian mahasiswa cemas karena tidak mampu membeli kuota internet,
merasa tertekan karena banyaknya tugas yang diberikan oleh dosen dalam waktu yang
singkat, dan sebagian besar mahasiswa semester akhir merasa frustasi tidak bisa lulus tepat
waktu karena proses penelitian maupun bimbingan yang terhambat.

Dengan segala problematika kuliah, mahasiswa kebanyakan akan melarikan diri ke dunia
maya. Mereka bahkan berselancar dengan durasi berjam-jam dalam satu hari. Hal ini juga
berpotensi menimbulkan stress ketika mereka membuka situs yang berisikan berita hoaks
yang tidak bertanggung jawab. Stress juga dapat ditimbulkan dari laman pribadi dimana
mungkin saja terdapat komentar berisikan ujaran kebencian yang ditujukan pada mereka.

K. Perbandingan isi jurnal dengan teori

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19, mahasiswa banyak
menghabiskan waktu bermain media sosial (87.3%) dan hasil lainnya menunjukkan bahwa
ada hubungan antara usia dengan terjadinya kecemasan dan gangguan harga diri, jenis
kelamin berhubungan dengan terjadinya gangguan harga diri, sedangkan penggunaan media
sosial berpengaruh terhadap terjadinya depresi, kecemasan dan stres.
Hal ini berbanding lurus dengan penelitian lain yang dilakukan di Semarang dan berjudul
“Tingkat Depresi Mahasiswa Keperawatan di Tengah Wabah COVID-19”. Penelitian ini
ditulis oleh Agus Santoso dkk. Metode yang digunakan adalah sebuah metode penelitian
kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Analisis deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran tingkat depresi yang terjadi pada 148 mahasiswa usia 18-20 tahun.
Pengumpulan data menggunakan instrumen BDI II (Beck Deperession Inventory II),
pengambilan sampel menggunakan total sampel berjumlah 148 sampel. Proses pengumpulan
data dilakukan dengan metode survey menggunakan google form.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat sebagian besar responden yang mengalami depresi
normal saat karantina. Hasil ini sejalan dengan penelitian Lu, Nie, & Qian (2020) yang
menunjukkan dampak yang berbeda selama karantina. Penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara karantina dan sikap optimis terkait pemberitaan
terkontrolnya penyebaran virus corona. Responden merasa aman saat melakukan karantina
diri, sehingga terhindar dari penyebaran virus, menunjukkan tingkat depresi yang rendah dan
peningkatan kebahagiaan.

Hasil data penelitian lainnya masih menunjukkan mahasiswa yang mengalami depresi
gangguan mood ringan, depresi, depresi rendah, depresi sedang dan terdapat mahasiswa yang
memiliki depresi ekstrem. Hal ini dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang sedang
pandemi, sistem kuliah daring, dan keadaan lainnya memunculkan gangguan psikologis
tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden berasal dari semua tingkatan
dalam satu jurusan. Hal ini dapat menyebabkan dampak psikologis bagi mahasiswa tingkat
pertama dimungkinkan karena kurangnya dukungan orangtua terkait jurusan yang dipilih,
adanya masa transisi antara sekolah menengah atas menuju masa perkuliahan dan adaptasi
dengan lingkungan sekitar, pergaulan maupun gaya hidup yang berubah. mahasiswa tingkat
menengah memiliki tuntutan akademik yang mulai banyak dikarenakan organisasi intra
maupun ekstra kampus yang menyita waktu dan energi selama periode kepengurusan.
Mahasiswa tingkat akhir yang memiliki tuntutan untuk segera menyelesaikan tugas belajar,
persiapan mencari pekerjaan, menyelesaikan tugas akhir, magang maupun hal-hal yang
berkaitan dengan tugas semester akhir.

Adapun tipe-tipe stress psikologi yang dialami individu menurut buku ajar Kesehatan Mental
(Kartika, 2016) antara lain :
1. Tekanan (Pressure). Tekanan bersumber dari dalam diri (misal: ambisi) atau luar diri
(misal: kompetisi di lingkungan), bahkan dapat berupa gabungan keduanya. Apabila
terlalu keras menuntut diri sendiri, muncul perilaku self-defeating, dimana diri kita kalah
dengan tuntutan kita sendiri yang berlebihan (contoh: pada orang perfeksionis). Tekanan
lingkungan lainnya, seperti menghadapi ujian, tagihan hutang.
2. Frustrasi (Frustration). Muncul karena adanya hambatan terhadap motif atau perilaku kita
dalam mencapai tujuan. Dapat muncul akibat tidak adanya objek tujuan yang sesuai,
misal: saat lapar, tidak ada makanan; atau adanya penundaan, misal: menunggu lampu
lalu-lintas hijau; atau adanya rintangan sosial, misal: ingin jadi juara menyanyi tapi tidak
pernah punya kesempatan. Sumber frustrasi dari dalam diri individu:
a. tidak punya kemampuan
b. rendahnya komitmen
c. rendahnya kepercayaan diri
d. perasaan bersalah
e. karakteristik individu: jenis kelamin, warna kulit

Tingkat frustrasi tertentu merupakan bagian dari proses pertumbuhan (contoh: masa remaja
masa matang fisik dan seksual sehingga ingin independen, padahal secara ekonomi masih
dependen pada orangtua). Frustrasi dapat menimbulkan kemarahan dan perilaku yang agresif,
semakin rendah toleransi kita terhadap frustrasi maka semakin mudah kita untuk cenderung
menjadi agresif.

3. Konflik. Muncul ketika individu berada dalam kondisi di bawah tekanan untuk merespon
dua atau lebih dorongan yang saling bertentangan secara simultan atau bersamaan.
Konflik dibedakan berdasar nilai dari masing-masing pilihan; jika pilihannya memiliki
tujuan yang positif bagi individu maka dinamakan sebagai approach tendency. Sedangkan
jika pilihannya memiliki tujuan negatif dinamakan avoidance tendency.

Hal-hal yang disebutkan diatas tadi dapat terjadi melalui media sosial dan berpengaruh
terhadap kesehatan mental mahasiswa. Mahasiswa yang notabene berada di masa transisi
remaja akhir menuju dewasa berpotensi menimbulkan koping yang tidak efektif dan masalah
berkepanjangan. Pada mahasiswa masalah stress berkepanjangan dapat menimbulkan
turunnya prestasi akademi, menurunnya motivasi belajar, penurunan kualitas lulusan bahkan
dapat terjadi gangguan kesehatan mental pada mahasiswa (Giacalone et al., 2020).
L. Referensi :

Budury, Syiddatul. Fitriasari, Andikawati. Jerita, Diah. 2020. Media Sosial Dan Kesehatan
Jiwa Mahasiswa Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 4 Hal
551 – 556

Santoso, Agus. Ardi, Wandria dkk. 2020. Tingkat Depresi Mahasiswa Keperawatan di
Tengah Wabah COVID-19. Journal of Holistic Nursing and Health Science Volume 3, No. 1
Hal. 1-8

Dewi, Kartika. 2016. Kesehatan Mental. Lembaga Pengembangan Dan Penjaminan Mutu
Pendidikan Universitas Diponegoro : Semarang

Anda mungkin juga menyukai