OLEH :
Hera Irama
3192431007
D GEO 19
M.K : GEOGRAFI PARIWISATA
DOSEN PENGAMPU : Dr. Sugiharto, M.Si
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
BAB III....................................................................................................................................14
PENUTUP...............................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................14
3.2 Saran........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Secara evolutif, Greenwood (1977) melihat hubungan antara wisatawan dengan masyarakat
lokal menyebabkan terjadinya proses komoditisasi dan komersialisasi dari keramahtamahan
masyarakat lokal. Tahapan-tahapan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan mulai dari
euphoria, apathy, irritation, annoyance, dan antagonism. Adanya berbagai kritik terhadap
interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal telah disadari oleh berbagai pihak termasuk
organisasi pariwisata internasional. Untuk mengurangi berbagai dampak negatif dan
meningkatkan dampak positif, PATA dan WTO telah mengeluarkan kode etik bagi
wisatawan. WTO juga sudah mengeluarkan kode etik Pariwisata Global yang sudah dijadikan
resolusi PBB, yaitu resolusi No. 37 tahun 2001 tanggal 26 Oktober 2001, tentang ‘Global
Code of Ethics for Tourism’.
ekologi, politik, sosial, budaya, dan seterusnya. Pariwisata sebagai suatu sistem juga
dijelaskan oleh Fennel (1999), yang memandang pariwisata sebagai:
... the interrelated system that includes tourist and the associated services that are provided
and utilised (facilities, attractions, transportation, and accommodation) to aid in their
movement”. (1999:4).
Dari perspektif teori konsensus (struktural-fungsional), sistem pariwisata dunia merupakan
suatu bentuk hubungan yang saling terkait yang merupakan wahana distribusi pendapatan dan
peningkatan hubungan antarbangsa. Model sistem pariwisata secara sederhana diusulkan oleh
Leiper (1979), yang menyebutkan bahwa sistem pariwisata terdiri atas tiga komponen utama,
yaitu:
1) Daerah asal.
2) Daerah tujuan.
3) Daerah antara.
Sistem pariwisata secara sederhana juga digambarkan oleh Mathieson dan Wall (1982), yang
melihat bahwa sistem pariwisata terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen dinamis: perjalanan
wisatawan, elemen statis: keberadaan di destinasi, dan elemen konsekuensial, yaitu berbagai
dampak yang timbul. Selanjutnya, Mill dan Morrison (1985, cf. Fennel, 1999), sistem
pariwisata terdiri dari empat komponen utama, yaitu:
1) Market (reaching the market place).
2) Travel (the purchase of travel products).
3) Destination (the shape of travel demand).
4) Marketing (the selling of travel).
Poon (1993) melihat sistem pariwisata dengan perspektif yang berbeda pula, yang lebih
menekankan pada aspek pemasaran pariwisata. Dikatakan bahwa sistem pariwisata terdiri
atas: subsistem produksi, subsistem delivery, subsistem manajemen, dan subsistem distribusi
serta penjualan. Model sistem pariwisata yang lebih komprehensif dengan melihat proses dan
dampak pariwisata, tetapi dengan penekanan pada daerah tujuan wisata dikembangkan oleh
Burns dan Holden (1995). Jackson (1989) melihat bahwa faktor penting yang menentukan di
daerah asal wisatawan antara lain jumlah penduduk, kemampuan finansial masyarakat, waktu
senggang yang dimiliki, sistem transportasi, dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.
Daerah transit adalah daerah yang sebenarnya bukan merupakan tujuan akhir perjalanan
wisata tetapi wisatawan dapat menikmati daerah tersebut beberapa waktu, baik dalam
perjalanan menuju DTW maupun dalam perjalanan kembali ke daerah asal. Daerah ini, secara
geografis terdapat di antara negara asal dengan negara tujuan wisata atau ada diantara dua
negara tersebut dalam kaitannya dengan jalur transportasi (penerbangan, kereta api, bus, dan
lain-lain). Di kawasan Asia Pasifik, daerah transit yang terkenal antara lain Singapura dan
Hongkong, sedangkan untuk kawasan Eropa adalah Frankfurt dan Zurich. Perkembangan
suatu daerah menjadi destinasi wisata dipengaruhi oleh beberapa pertanyaan penting, seperti:
1. Attractive to client.
2. Facilities and attractions.
3. Geographic location.
4. Transport link.
5. Political stability.
6. Healthy environment.
7. No government restriction (Jackson, 1989).
Suatu destinasi harus menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh wisatawan agar
tujuan kunjungan seorang wisatawan dapat terpenuhi. Jackson (1989) menyebutkan bahwa
ada empat elemen utama untuk mencapai tujuan umum dan khusus dari wisatawan, yaitu
fasilities, accommodation, transportation, dan attraction. Atraksi (objek dan daya tarik)
merupakan komponen yang vital karena atraksi merupakan faktor penyebab utama mengapa
seorang wisatawan mengunjungi suatu daerah tujuan wisata. Terkait dengan perkembangan
suatu daerah tujuan wisata, Noronha (1977), dengan mengembangkan teori Greenwood yang
membagi perkembangan suatu destinasi (DTW) menjadi tiga fase, yaitu discovery, lokal
response and initiative, dan institutionalization. Pada fase pertama, perkembangan pariwisata
terjadi secara spontan dan sporadis, karena adanya respons masyarakat untuk
mengakomodasi wisatawan yang mulai mengunjungi daerahnya. Selanjutnya, pada fase
kedua, inisiatif masyarakat lokal sudah intensif, dan pemerintah biasanya ikut campur dalam
pengaturannya. Tetapi akhirnya sistem pariwisata dikuasai atau didominasi oleh pihak luar
(fase III), pada saat pariwisata sudah menjadi “industri” skala internasional. Pada fase ini,
masyarakat lokal terpinggirkan.
1) Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem
sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah.
2) Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous.
3) Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik
lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi
nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy dan jet-age lifestyles.
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam
sepuluh kelompok besar, yaitu:
1) Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan
masyarakat yang lebih luas termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya.
2) Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat.
3) Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial.
4) Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata.
5) Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat.
6) Dampak terhadap pola pembagian kerja.
7) Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial.
8) Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan.
9) Dampak terhadap meningkatnya penyimpanan sosial.
10) Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Sedangkan Figuerola (dalam Pearce, 1989: 218) mengidentifikasi ada enam kategori dampak
sosial-budaya, yaitu:
1. Dampak terhadap struktur demografi.
2. Dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian.
3. Dampak terhadap transformasi nilai.
4. Dampak terhadap gaya hidup tradisional.
5. Dampak terhadap pola konsumsi.
6. Dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat sosial-budaya
pariwisata.
Mathieson dan Wall (1982) menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur
internal dari masyarakat sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai
hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Sharpley (1994) melihat bahwa
pariwisata merangsang munculnya komunikasi yang lebih intensif di dalam masyarakat lokal.
Masyarakat dapat memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pariwisata dan manfaat
ekonomi pariwisata dapat digunakan dalam kegiatan pelestarian budaya dan secara nyata
pariwisata memberikan kontribusi didalam pelestarian bangunan-bangunan bersejarah atau
keagamaan. Pariwisata juga menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk karena peluang
kerja dan kehadiran tamu merangsang kaum muda untuk pindah ke lokasi dimana pariwisata
berkembang. Budaya pariwisata adalah budaya mondial dengan dominasi budaya barat. Salah
satu ciri dari budaya barat ini adalah kuatnya daya sentripetal yang melakukan penetrasi,
merasuki semua budaya masyarakat dunia lainnya. Penetrasi budaya ini akhirnya akan
menyebabkan terjadinya homogenisasi, yaitu semakin miripnya ciri-ciri atau penampakan
suatu daerah dengan daerah lain. Proses homogenisasi atau coca colaisasi ini sepintas terlihat
sederhana tetapi konsekuensi budayanya secara jangka panjang akan sangat struktural karena
generasi yang sekarang masih anak-anak akan kehilangan selera terhadap makanan
tradisionalnya termasuk cara pembuatannya.
Pengaruh terhadap aspek kesenian, adat istiadat dan agama bisa terjadi secara langsung
karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan atau terjadi secara
tidak langsung melalui proses jangka panjang. Akulturasi merupakan proses yang wajar
dalam setiap pertemuan antar budaya. Namun demikian, ia juga mengakui adanya
komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan yang memunculkan konflik karena pengaruh
pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns dan Holden (1995), yang melihat perubahan
fungsi kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Beragam
penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau menghancurkan kebudayaan
lokal. Pariwisata secara langsung memaksa ekspresi kebudayaan lokal untuk di modifikasi
agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Namun, disisi lain, De Kadt (1979)
mengungkapkan bahwa kesenian, kerajinan, dan berbagai aspek kebudayaan lokal bisa
mengalami revitalisasi akibat kedatangan pariwisata.
Komoditisasi dan keaslian selalu merupakan topik yang muncul dalam setiap pembicaraan
dampak pariwisata terhadap sosial-budaya masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian di
negeri-negeri kepulauan Pasifik, MacNaught (1982) mengatakan bahwa pariwisata telah
mencabut masyarakat dari bentuk asli ekspresi budayanya, karena tuntutan wisatawan.
Gempuran dari luar melalui pariwisata ternyata justru memperkuat pencarian kedalam, atau
mencari identitas dari beberapa masyarakat di DTW. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
cultural identity only emerges under condition of contrast, most often condition of opposition
(Jonathan Friedman, 1993: 740).
b. Kelemahan dan Kelebihan Buku
Buku Sosiologi Pariwisata: Kajian sosiologis terhadap struktur, sistem, dan dampak-dampak
pariwisata (Penulis : Prof. Dr. I Gde Pitana, M.Sc dan Ir. Putu G. Gayatri, M.Si.)
• Penulisnya adalah Prof. Dr. I Gde Pitana, M.Sc dan Ir. Putu G. Gayatri, M.Si.
Target penulis ditujukan untuk mahaiswa yang mempelajari dan mengkaji mengenai
pariwisata dan perkembangannya di Indonesia dari waktu ke waktu serta menerangkan
dampak dari bidang pariwisata yang terus dikembangkan pemerintah dalam usaha
mendapatkan tambahan bagi devisa negara.
Jika terdapat kutipan dari bahasa asing, penulis tidak memberikan arti maupun makna
terkait materi yang dibahasnya.
Target penulis dalam menyampaikan informasi dalam buku ini menurut penyusun
sudah berhasil karena bab serta sub bab yang dibahas merupakan pembahasan lengkap
mengenai pariwisata dan perkembangannya.
Cara penjelasan dalam buku ini cukup mudah dimengerti.
Didalam buku ini terdapat daftar gambar dan daftar tabel yang cukup lengkap.
Dapat dilihat bahwa yang disampaikan kepada pembaca, berhubungan antara bab
yang satu dengan bab yang lainnya.
Bahasa yang digunakan penulis mudah untuk dipahami sehingga pembaca tidak
mengalami kesulitan dalam memahami isi bahasan buku ini meskipun penulis lebih sering
mengungkap pariwisata yang berdampak pada kebudayaan masyarakat Bali.
Gagasan yang diajukan penulis sangat logis karena menggunakan beberapa buku
untuk referensi serta dibagikan akhir buku.
Contoh/bukti pendukung yang diberikan penulis adalah data-data referensi yang bisa
mendukung pikiran utama penulis.
Contoh yang ada, sesuai dengan pembahasan buku serta tidak bertentangan dengan
isinya.
Pada buku ini tidak tercantum kesimpulan/rangkuman diakhir buku maupun di
penghujung akhir bab.
Penulis juga tidak menjelaskan apakah penulis mencapai tujuannya dalam buku ini
atau tidak.
Buku ini tidak disertai dengan indeks yang akan berguna bagi pembaca saat
menemukan kata-kata sulit dalam pokok bahasan dalam buku ini.
Meskipun tidak tercantum indeks, tetapi penulis menggunakan foto note di bagian
paling bawah teks buku sehingga pembaca lebih jelas mengenai maksud dari penulisan.
Buku ini dominan membahas dampak yang ditimbukan pariwisata daripada solusi
penanganan masalah dari dampak tersebut.
Buku ini sudah sangat lengkap membahas mengenai pariwisata dan perkembangannya
serta dampak pariwisata terhadap kebudayaan di Indonesia.
Secara keseluruhan buku ini sangat layak untuk dijadikan bahan referensi bagi
pembaca.
Kualitas isi buku ini sangat bagus karena mendeskripsikan dan mengupas bahasan
materi kepariwisataan yang semakin kompleks pada zaman sekarang ini terutama
menyangkut masalah hancurnya kebudayaan masyarakat Indonesia. Kita sebagai warga dan
masyarakat Indonesia yang baik hendaknya bisa berlaku lebih bijak dalam melihat hal ini.
Tentunya kita juga tidak ingin budaya kita rusak atau terkontaminasi oleh kebudayaan asing
dalam hal dampak negatif yang ditimbulkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wisatawan mengunjungi suatu daerah tujuan wisata antara lain di dorong oleh
keinginan untuk mengenal, mengetahui, atau mempelajari daerah dan kebudayaan
masyarakat lokal. Selama berada di daerah tujuan wisata, wisatawan pasti berinteraksi
dengan masyarakat lokal, bukan saja mereka yang melayani langsung kebutuhan wisatawan
tetapi juga dengan masyarakat secara luas. Interaksi dengan masyarakat luas ini lebih intensif
jika jenis pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya, karena kebudayaan
melekat pada kehidupan masyarakat sehari- hari.
Pariwisata dapat meningkatkan nilai jual keindahan alam Indonesia, tetapi kita
hendaknya mampu memilah mana yang baik untuk kita ambil dan mana yang kurang baik.
Ini berkaitan erat dengan kebudayaan yang kita pegang dimana kita menganut kebudaayan
Timur Tengah yang menjunjung tinggi etika sopan santun baik dalam bersikap, bertutur kata,
berbusana, dan sebagainya.
3.2 Saran
Penyusun juga merekomendasikan buku ini bagi pembaca sebagai sumber referensi
bacaan khususnya yang sedang mendalami materi kepariwisataan karena isi yang
disampaikan tergolong lengkap dan bermanfaat untuk memahami perubahan yang terjadi
akibat pariwisata terhadap bidang kebudayaan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Pitana, I., G., dkk. 2005. “Sosiologi Pariwisata: Kajian sosiologis terhadap struktur, sistem,
dan dampak-dampak pariwisata”. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta.