Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh :

Ria gita utami, S.Kep

NPM : 21149011121

Dosen Pembimbing :

Ns. Dian Emiliasari, S.Kep, M.Kes

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA

PALEMBANG

2021/2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................

BAB I KONSEP MENUA/LANSIA ...................................................................................

1. Definisi Lanjut Usia (Lansia).....................................................................


2. Batasan Lansia ........................................................................................
3. Ciri-Ciri Lansia...........................................................................................
4. Perkembangan Lansia .............................................................................
5. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lansia .............................................
6. Pendekatan Perawatan Lansia ................................................................

BAB II ASAS ETIK LEGAL DALAM KEPERAWATAN GERONTIK .................................

BAB III TINJAUAN TEORI KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS .....................................

1. Pengertian........................................................................................................
2. Etiologi ............................................................................................................
3. Tanda & Gejala................................................................................................
4. Patofisiologi......................................................................................................
5. Pemeriksaan Diagnostik..................................................................................
6. Penatalaksanaan Medis..................................................................................

BAB IV KONSEP ASKEP GERONTIK DENGAN KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS....

1. Pengkajian.......................................................................................................
2. Diagnosis ........................................................................................................
3. Intervensi.........................................................................................................
4. Evaluasi...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................
BAB I

KONSEP MENUA/LANSIA

A. KONSEP LANJUT USIA


1. DEFINISI LANJUT USIA (LANSIA)
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan
dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya
menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, telah
menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup
makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia
yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau
menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses
menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,
tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,
2008).

2. BATASAN LANSIA
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun
2) Usia tua (old) :75-90 tahun
3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan
masalah kesehatan.

3. CIRI-CIRI LANSIA
Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang
memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat
proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi,
maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi
ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam
segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan
sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan
lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia. Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat
mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal
bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap
pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,
cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. PERKEMBANGAN LANSIA
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia.
Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap
akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua
(tahappenuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada
masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan
merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan
dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan
pada faktor genetik.

5. TUJUAN PELAYANAN KESEHATAN PADA LANSIA


Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan, perawatan dan meningkatkan
mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :
1. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-tingginya,
sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental
3. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu penyakit
atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang optimal.
4. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang berada
dalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian dengan tenang dan
bermartabat
Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia, pusat informasi
pelayanan sosial lansia, dan pusat pengembangan pelayanan sosial lansia dan pusat
pemberdayaan lansia.

6. PENDEKATAN PERAWATAN LANSIA


a. Pendekatan Fisik
Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui
perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia semasa
hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapat
dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas
penyakitnya. Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:
1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya sehari-hari ia
masih mampu melakukannya sendiri.
2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit.
Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini, terutama yang berkaitan
dengan kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada
klien lansia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang
asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki
kesabaran dan ketelitian dalam memberi kesempatan dan waktu yang cukup banyak
untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus
selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service. Bila ingin mengubah
tingkahlaku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya
secara perlahan dan bertahap.
c. Pendekatan Sosial
Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah satu upaya perawat
dalam melakukan pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama klien lansia berarti menciptakan sosialisasi. Pendekatan sosial ini
merupakan pegangan bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan
hubungan sosial, baik antar lania maupun lansia dengan perawat. Perawat memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk mengadakan komunikasi dan
melakukan rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah.

B. PROSES MENUA
1. Teori Proses Menua
a. Teori – teori biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies – spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh
molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi penurunan
kemampuan fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada
jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan
tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus
kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
5) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan
usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat
regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan
dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-
sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat dilakukannya. Teori ini
menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari
usia pertengahan ke lanjut usia.
3) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi
pada seseorang yang lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
a) Kehilangan peran
b) Hambatan kontak sosial
c) Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan menjadi
dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial:
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel–sel
tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika seldari tubuh lansia dibiakkanlalu
diobrservasi di laboratorium terlihat jumlah sel–sel yang akan membelah sedikit. Pada
beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada
jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena
rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses
penuaan dan mempunyaikemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses
kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen
protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago,
dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari
protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada
kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan
permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya
penurunan mobilitas dan kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah dan Lilik,
2011).
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk
mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang
tinggi, tanpa mekanisme pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan
diri dari toksin tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan serta
terjadi kesalahan genetik. Membran sel tersebut merupakan alat sel supaya dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi juga untuk mengontrol proses
pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen
protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut, dipengaruhi oleh
rigiditas membran. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan
reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan
organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh
(Azizah dan Lilik, 2011).
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun
demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan
khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri.
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah
(Azizah dan Ma’rifatul L., 2011).
5) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut Mc. Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004), pengurangan
“intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena
menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan
pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah
menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua.
Teori ini menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan Ma’rifatul, L., 2011).
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Identity pada lansia yang
sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat,
melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah dan Lilik M, 2011).
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah dan Lilik M,
2011).

2. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Ketuaan


a. Hereditas atau ketuaan genetik
b. Nutrisi atau makanan
c. Status kesehatan
d. Pengalaman hidup
e. Lingkungan
f. Stres
BAB II
ASAS ETIK LEGAL TERKAIT ASKEP GERONTIK

A. Etika Profesi Keperawatan


Etika profesi keperawatan merupakan alat untuk mengukur perilaku moral dalam
keperawatan. Dalam penyusunan alat pengukur tersebut keputusan diambil berdasarkan kode
etik keperawatan sebagai standar yang mengukur dan mengevaluasi perilaku moral perawat(Arif,
2009).
Dengan menggunakan kode etik keperawatan, organisasi profesi keperawatan dapat
meletakkan kerangka dasar berpikir perawat untuk mengambil keputusan dan bertanggung
jawab kepada masyarakat, anggota tim kesehatan yang lain, dan kepada profesi. Menurut Kozier
dan Erb, kode etik penting dalam sistem pelayanan kesehatan dan dalam praktek keperawatan,
yaitu dalam hal :
1. Etika akan menunjukkan standar profesi untuk kegiatan keperawatan. Standar ini akan
melindungi perawat dan pasien.
2. Kode etik menjadi alat untuk penyusun standar praktek profesional, memperbaiki, dan
memelihara standar tersebut.
3. Kode etik merupakan pedoman resmi untuk tindakan profesional, yang akan diikuti oleh
orang-orang dalam profesi dan harus diterima sebagai nilai pribadi bagi anggota profesional.
4. Kode etik memberi kerangka pikir kepada anggota profesi untuk membuat keputusan dalam
situasi keperawatan.

B. Tujuan Keperawatan Gerontik


Keperawatan Gerontik yang berkeahlian khusus merawat lansia diberi nama untuk pertama
kalinya sebagai keperawatan geriatric (Ebersole et al, 2005). Namun, pada tahun 1976, nama
tersebut diganti dengan gerontological. Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut
usia dan logos berarti ilmu. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan
masalah-masalah yang terjadi pada lansia yang meliputi aspek biologis, sosiologis, psikologis,
dan ekonomi. Gerontologi merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach) terhadap berbagai
aspek dalam proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009).
Sedangkan keperawatan gerontik adalah istilah yang diciptakan oleh Laurie Gunter dan
Carmen Estes pada tahun 1979 untuk menggambarkan bidang ini.Namun istilah keperawatan
gerontik sudah jarang ditemukan di literature (Ebersole et al, 2005). Gerontic nursing berorientasi
pada lansia, meliputi seni, merawat, dan menghibur.Istilah ini belum diterima secara luas, tetapi
beberapa orang memandang hal ini lebih spesifik. Menurut Nugroho (2006), tujuan Keperawatan
Gerontik yaitu :
1. Membantu individu lanjut usia memahami adanya perubahan pada dirinya berkaitan dengan
proses penuaan
2. Mempertahankan, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia baik
jasmani, rohani, maupun social secara optimal
3. Memotivasi dan menggerakkan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan lanjut
usia
4. Memenuhi kebutuhan lanjut usia sehari-hari
5. Mengembalikan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
6. Mempercepat pemulihan atau penyembuhan penyakit
7. Meningkatkan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat, sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat

Adapun tujuan dari geriatrik menurut Maryam (2008) adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan derajat kesehatan pada lanjut usia pada taraf yang setinggi-tingginya
sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan akticitas fisik dan mental
3. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosis
yang tepat dan dini bila mereka menemukan kelainan tertentu
4. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lanjut usia yang menderita suatu penyakit
atau gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu
pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal)
5. Bila para lanjut usia sudah tidak dapat disembuhkan dan bila mereka sudah sampai pada
stadium terminal, ilmu ini mengajarkan untuk tetap memberi bantuan yang simpatik dan
perawatan dengan penuh pengertian (dalam akhir hidupnya, memberi bantuan moral dan
perhatian yang maksimal sehingga kematiannya berlangsung dengan tenang).

C. Fungsi Perawat Gerontik


Perawat memiliki banyak fungsi dalam memberikan pelayanan prima dalam bidang gerontik.
Menurut Eliopoulus (2005), fungsi dari perawat gerontologi adalah :
1. Guide persons of all ages toward a healthy aging process (membimbing orang pada segala
usia untuk mencapai masa tua yang sehat)
2. Eliminate ageism (menghilangkan perasaan takut tua)
3. Respect the tight of older adults and ensure other do the same (menghormati hak orang
yang lebih tua dan memastikan yang lain melakukan hal yang sama)
4. Overse and promote the quality of service delivery (memantau dan mendorong kualitas
pelayanan)
5. Notice and reduce risks to health and well being (memerhatikan serta menguragi resiko
terhadap kesehatan dan kesejahteraan)
6. Teach and support caregives (mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan)
7. Open channels for continued growth (membuka kesempatan untuk pertumbuhan
selanjutnya)
8. Listen and support (mendengarkan dan member dukungan)
9. Offer optimism, encouragement and hope (memberikan semangat, dukungan, dan harapan)
10. Generate, support, use, and participate in research (menghasilkan, mendukung,
menggunakan, dan berpartisipasi dalam penelitian)
11. Implement restorative and rehabilitative measures (melakukan perawatan restorative dan
rehabilitative)
12. Coordinate and managed care (mengoordinasi dan mengatur perawatan)
13. Asses, plan, implement, and evaluate care in an individualized, holistic maner (mengkaji,
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi perawatan individu dan perawatan secara
menyeluruh)
14. Link service with needs (memberikan pelayanan sesuai kebutuhan)
15. Nurtuere futue gerontological nurses for advancement of the speciality (membangun masa
depan perawat gerontik untuk menjadi ahli dibidangnya)
16. Understand the unique physical, emotical, social, spiritual aspect of each other (saling
memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, social, dan spiritual)
17. Recognize and encourage the appropriate management of ethical concern (mengenal dan
mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempatnya bekerja)
18. Support and comfort through the dying process (memberikan dukungan dan kenyamanan
dalam menghadapi proses kematian)
19. Educate to promote self care and optimal independence (mengajarkan untuk meningkatkan
perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal)

Dalam bidangetika (termasuk hukum) sangat penting artinya, bahkan diantara berbagai
cabang kedokteran mungkin pada cabang inilah etika dan hukum paling berperan. Kane (1994)
dkk menyatakan “ethic is fundamental part of geriatrics. While it is central to the practice of
medicine it self, the dependent nature of geriatric patients, makes it a special concern”.Berbagai
hal yang sangat perlu diperhatikan adalah, antara lain, keputusan tentang mati hidup
penderita.Apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan.Apakah perlu tindakan resusitasi.
Apakah makanan tambahan per infuse tetap diberikan pada penderita kondisi yang sudah jelas
akan meninggal? Dalam geriatric aspek etika ini erat dengan aspek hokum, sehingga
pembicaraan mengenai kedua aspek ini sering disatukan dalam satu pembicaraan.Aspek hukum
penderita dengsn kemampuan kognitif yang sudah sangat rendah seperti pada penderita
dementia sangat erat kaitannya dengan segi etik.

D. Prinsip Etika Pelayanan pada Lansia


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah
(Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
1. Empati
Istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam
istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit
denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh
penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan,
sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua
petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Yang harus dan yang ”jangan”
Prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri
selalu didasarkan pada keharusan untuk mngerjakan yang baik untuk penderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium
primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam
pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri,
pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-
kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
3. Otonomi
Yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya,
dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan,
akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat
membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini
dibantu (atau menjadi semakin rumit, oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,
prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel
(sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang
inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis.
Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan
Yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua
penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak
mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
5. Kesungguhan Hati
Yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang
penderita.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, asek etika pada pelayanan geriatric berdasarkan prinsip
otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai berikut :
1. Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan pembuatan
keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat sukarela.
2. Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau keputusan yang
akan diambil secara lengkap dan jelas.
3. Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental dianggap kapabel.

Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam
bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal
seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang
bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya
(harmful).Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari
kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label iagnosis, Pada dasarnya prinsip etika
ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip
otonomi) dibatasi oleh :
 Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada keadaan
depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut demikian berat,
sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil
hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan
ini disebut sebagai surrogate decission maker.
 Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi
mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu
badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan
hokum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).

Dalam kenyataannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-
facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena
hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik
maupun emosional.
Oleh Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian, kepercayaan
penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan yang
salah (antara lain menolak transfusi / tindakan bedah yang live saving). Dalam hal ini, dokter
dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.
Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an penderita
dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi.
Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter
dan apa yang diinginkan oleh penderita.

E. Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben Et Al, 1996, Kane Et Al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut sebagai arahan
keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang diucapkan pada saat
penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yang baik. Arahan keinginan yang
diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana
diperlukan untuk pengambilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu
atau menurun.
1. Pemberian Peralatan Perpanjangan Hidup (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetap controversial dalam pelayanan geriatric
adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya perpanjangan
hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering
kali tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masihj akan
berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya
sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru
merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).
2. Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane Et Al, 1994; Ruben Et Al,
1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas
hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar
merupakan penderita berusia lanjut.Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma
dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan,
nafas agonal dan keadaan yangjelas ”tidak memberi harapan”,. Pada penderita ini (misalnya
dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
 Apakah penderita perlu diberitahu
 Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah ada hal
lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap memaksakan pemberian
sotostatika atau tindakan lain.

F. Aspek Hukum Dan Etika


Poduk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran
sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di
indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang
Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara
berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.

G. Landasan Hukum Di Indonesia


Berbagai nproduk hokum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia
atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965.
beberapa di antaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan
Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan
Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan
lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965
tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
BAB III
TINJAUAN TEORI KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS

A. Pengertian
Kata arthritis berasal dari kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua,
itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan
rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (sendi tangan dan
kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).

Artritis Rheumatoid (RA) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat progresif,
yang cenderung menjadi kronik dan menyerang sendi serta jaringan lunak. Artritis
Rheumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana secara simetris persendian (biasanya
sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan sehingga menyebabkan terjadinya
pembengkakan, nyeri, dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi .
Karakteristik artritis rheumatoid adalah cairan sendi ( sinovitis inflamatior) yang persisten,
biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang sistematis (Junaidi,
2013).
Rematik adalah orang yang menderita rheumatism (encok), arthritis (radang sendi)
yang menyebabkan pembengkakan, (Utomo, 2005). Penyakit rematik meliputi cakupan dari
penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan
jaringan lunak (Soumya,2011).
Berdasarkan definisi diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa penyakit rematik
adalah penyakit sendi yang disebabkan oleh peradangan pada persendian sehingga tulang
sendi mengalami destruksi dan deformitas serta menyebabkan jaringan ikat akan mengalami
degenerasi yang akhirnya semakin lama semakin parah.
B. Anatomi Fisiologi Sendi

Sendi merupakan pertemuan dua tulang, tetapi tidak semua pertemuan tersebut
memungkinkan terjadinya pergerakan (Roger, 2002). Ada tiga jenis sendi pada manusia dan
gerakan yang dimungkinkannya yaitu : sendi fibrosa, kartilaginosa dan sinovial (Roger,
2002).
Macam-macam sendi :

1) Sendi fibrosa atau sendi mati terjadi bila batas dua buah tulang bertemu membentuk
cekungan yang akurat dan hanya dipusahkan oleh lapisan tipis jaringan fibrosa.
Sendi seperti ini terdapat di antara tulang-tulang kranium.
2) Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi tulang
rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan dan
dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak membentuk
sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut terletak diantara
badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan sternum.
3) Sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas terdiri dari dua atau lebih tulang yang
ujung-ujungnya dilapisi tulang rawan hialin sendi. Terdapat rogga sendi yang
mengandung cairan sinovial, yang memberi nutrisi pada tulang rawan sendi yang tidak
mengandung pembuluh darah keseluruhan sendi tersebut dikelilingi kapsul fibrosa yang
dilapisi membran sinovial. Membran sinovial ini melapisi seluruh interior sendi, kecuali
ujung-ujung tulang, meniskus, dan diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga
dihubungkan oleh sejumlah ligamen dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada
sendi sinovial meskipun terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi
metakarpal.
Adapun jenis-jenis sendi Sinovial :
o Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah, misalnya
sendi siku.

o Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan ulna pada
daerah siku dan antara vertebrata servikal I dan II yang memungkinkan gerakan
memutar pada pergelakan tangan dan kepala.
o Sendi kondilar merupakan dua pasangan permukaan sendi yang memungkinkan
gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa berada dalam satu
kapsul atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi lutut.
o Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah kepala
hemisfer yang masuk ke dalam cekungan berbentuk mangkuk misalnya sendi
pinggul dan bahu.
4) Pergerakan sendi dibagi menjadi tiga macam yaitu :
o Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan menyudut
atau ,memutar.
o Gerakan menyudut memnyebabkan peningkatan atau penurunan sudut diantara
tulang. Gerakan ini mencangkup fleksi ( membengkok), ekstensi ( lurus), abduksi (
menjauhi garis tengah) dan aduksi ( mendekati garis tengah).
o Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal ( memutar suatu bagian pada
porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna ( menjauhi garis tengah).
Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu lingkaran. Istilah
supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar telapak tangan keatas dan
kebawah.
C. Etiologi
Penyebab Artritis Rheumatoid belum diketahui dengan pasti. Namun kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan
(Suarjana, 2009).
1) Genetik, berupa hubungan dengan HLH-DRBI dan faktor ini memiliki angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60% ( Suarjana, 2009).
2) Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Plasental kortikotraonim
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis esterogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
proggesteron pada respon imun humoral ( TH2) dan menghambat respon imun selular
( TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progresteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini ( Suarjana,
2009).
3) Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa seinduk semang (host) dan merubah
reakrifitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
4) HeatShockProtein (HSP) Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stress. Protein ini mengandung untaian ( sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitok HSP Pada
agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa

5) mencetuskan terjadinya reaksi silang Limposit dengan sel Host sehingga mencetuskan
reaksi imunologis ( Suarjana,2009).

D. Klasifikasi Artritis Reumatoid


a. Buffer (2010) mengklasifikasikan reumatoid arthritis menjadi 4 tipe :
1) Reumatoid Arthritis Klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2) Reumatoid Arthritis Defisit
Pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3) Probable Reumatoid Arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4) Possible Reumatoid arthritis
Pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

b. Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :


1) Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.

2) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga
pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.

E. Patofisiologi

Pada Reumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama


terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi.
Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Smeltzer & Bare, 2002).
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskular,
eksudat febrin dan infiltrasi selular.  Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi
menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari sendi.  Pada persendian ini granulasi
membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.  Pannus masuk ke tulang sub
chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi
kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis. 
Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.  Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa
atau tulang bersatu (ankilosis).  Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan
ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian.  Invasi
dari tulang sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.
Lamanya Reumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi
progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi
vaskulitis yang difus (Long, 1996).

Pathway
F. Tanda & Gejala

1. Nyeri pada anggota gerak.


2. Kelemahan otot.
3. Peradangan dan bengkak pada sendi.
4. Kekakuan sendi.
5. Kejang dan kontraksi pada otot.
6. Gangguan fungsi.
7. Sendi berbunyi (Krepitasi)
8. Sendi goyah.
9. Timbulnya perubahan bentuk (Deformitas).
10. Timbulnya benjolan nodul.
(Soumya,2011)

G. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis :
a. Pemeriksaan cairan sinovial
1) Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi
yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3) Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
b. Pemeriksaan darah tepi
1) Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2) Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
1) Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan
nodul subkutan.
2) Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid
dini.
d. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal )
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio.
Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
e. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendi
f. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.

H. Penatalaksanaan Medis
a. Tujuan Utama Terapi Adalah :
1) Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2) Memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita.
3) Mencegah atau memperbaiki deformitas

b. Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana
pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1) Istirahat
2) Latihan fisk
3) Pengobatan : Aspirin dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat
serum yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml. Natrium kolin dan
asetamenofen meningkatkan toleransi saluran cerna terhadap terapi obat
dan Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari
mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga
menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
4) Nutrisi diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
5) Pembedahan dan indikasinya sebagai berikut:
 Sinovektomi, untuk mencegah artritis pada sendi tertentu, untuk
mempertahankan fungsi sendi dan untuk mencegah timbulnya
kembali inflamasi.
 Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian.
 Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan
tangan.
 Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran
pada persendian.

Penatalaksanaan Medis :

a. Keperawatan
1) Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi, (perjalanan penyakit),
penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua komponen
program penatalkansanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber
bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang penatalksanaan
yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus di lakukan secara
terus-menerus.
2) Istirahat , Merupakan hal penting karena rematik biasanya disertai rasa lelah yang
hebat . Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari , tetapi ada
masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus

membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti
oleh masa istirahat .
3) Latihan Fisik dan Fisioterapi, Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
memperthankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehat. Obat untuk menghilangkan nyeri
diperlukan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan
bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan yang berlebihan dapat merusak
struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.

b. Medis
1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umunya diberikan pada penderita AR
sejak dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering kali dijumpai, walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgetik yang sangat baik . OAINS terutama bekerja menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesi progtaglandin masih belum jelas apakah
hambatan enzim siklooxygenase juga berperan dalam hal ini , akan tetapi jelas
bahwa OAINS bekerja dengan cara :

 Memungkinkan stabilitas membran lisosomal.


 Menghambat pembesaran dan aktivitas mediator imflamasi (histamin,
serotoin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
 Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan (d). Menghambat proliferasi
seluler
 Menetralisirkan radikal oksigen
 Menekan rasa nyeri
2) Pengunaan DMARD
pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara
stimultan atau secara siklik seperti penggunaan obat-obatan imunosuprensif pada
pengobatan penyakit keganasan, digunakan untuk melindungi rawan sendi dan
tulang dari proses estruksi akibat artiris rheumatoid. Beberapa jenis DMARD yang
lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah :

(a) Klorokuin : Dosis anjurkan klorokuin fosfat 250mg/hari hidrosiklorokuin


400mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan
ketajaman penglihatan, dermatitis, makulopapular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.
(b) Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfazalazine dalam bentuk euteric
coated tabelet digunakan mulai dari dosis 1x500 mg/hari, untuk kemudian
ditingkatkan 500mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4x500mg. Setelah
remisi tercapai dengan dosis 2g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga
mencapai 1g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi
sempurna terjadi.
(c) Dpeicillamine : Dalam pengobatan AR. DP (Cuprimin 250mg Trolovol 300mg)
digunakan dalam dosis 1x250mg sampai 300mg/hari kemudian dosis
ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x250 sampai 300mg/hari.
3) Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat
alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis
pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni,
artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

I. Komplikasi

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti imflamasi non steroid (OAINS)
atau obat pengubah jalan penyakit DMARD ( disease modifying antirheumatoid drugs) yang
menjadi faktor penyebab mortalitas utama pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang
terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi
artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebrata servikal dan neuropati siskemik vaskulitis (Mansjoer, 1999)
BAB IV

KONSEP ASKEP GERONTIK DENGAN KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS

A. Pengkajian
a. Identitas
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pekerjaan,
pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan utama, kapan keluhan dimulai, dan
lokasi keluhan.
b. Riwayat Perawatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga, keadaan
lingkungan, dan riwayat kesehatan lainnya.
c. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan umum, Pengukuran Tanda-Tanda Vital (TTV), Pemeriksaan fisik tentang
system kardiovaskuler, system pernafasan, sistem pencernaan, system perkemihan,
sistem endokrin, sistem musculoskeletal, dan sistem reproduksi.
d. Pola Fungsi Kesehatan
Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit, kebiasaan sehari-hari, nutrisi metabolism, pola
tidur dan istirahat, kognitif-perseptual, persepsi-konsep diri, aktivitas dan kebersihan diri,
koping-toleransi stress, nilai-pola keyakinan.
e. Data penujang
Hasil pemeriksaan laboraturium, dan pemeriksaan lainnya
f. Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada
sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit, kontraktor/ kelaianan
pada sendi.
2. Kardiovaskuler
a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan, ketidakmampuan,
faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan ( situasi
ketidakmampuan )Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/ cairan
a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk mengunyah.
b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
Ketergantungan.
6. Neurosensori
E. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
F. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak
pada sendi ).
8. Keamanan
a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan
dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan
menetap Kekeringan pada meta dan membran mukosa.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat.

C. Rencana Intervensi
 Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
1. Tujuan
Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan skala nyeri
berkurang
2. Kriteria Hasil
a. Skala nyeri berkurang
b. Pasien dapat beristirahat
c. Ekspresi meringis (-)
d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100, RR : 16-24
x/menit, T : 36,5-37,5°C)
3. Intervensi
MANDIRI
a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat faktor yang
mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan program.
b. Pantau TTV pasien.
R/ Mengetahui kondisi umum pasien
c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat
tidur sesuai indikasi.
R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk membatasi nyeri
atau cedera sendi.
d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.
R/Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral.
Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan mengurangi kerusakan
sendi.
e. Berikan masase yang lembut.
R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.
f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi yang sakit beberapa kali sehari.
R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan
kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat hilang dan luka dermal
dapat sembuh.
KOLABORASI
g. Berikan obat sesuai petunjuk :
1) Asetilsalisilat (aspirin)
R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan mengurangi kekakuan
dan meningkatkan mobilitas.
2) D-penisilamin
R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi lainnya tidak berhasil.
h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri dan membatasi
progresif perubahan degeneratif.

 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.


1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan kekuatan otot
pasien meningkat
2. Kriteria Hasil
a. Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau
kompensasi bagian tubuh.
c. Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.
R/ Tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan proses inflamasi.
b. Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk memberikan periode
istirahat terus-menerus dan tidur malam hari.
R/ Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase
penyakit untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan.
c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.
R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.
d. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri serta
berjalan.
R/ Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
KOLABORASI
e. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis vokasional.
R/ Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan individual dan
mengidentifikasi bantuan mobilitas.
f. Berikan obat sesuai indikasi (Steroid)
R/ Menekan inflamasi sistemik

 Gangguan body image berhubungan dengan deformitas sendi.


1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan pasien menerima
perubahan tubuh.
2. Kriteria Hasil
a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk
menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup dan kemungkinan keterbatasan.
b. Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam konsep diri.
c. Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat berfungsi dalam
masyarakat.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan masa depan.
R/ Berikan kesempatan mengidentifiaksi rasa takut/kesalahan konsep dan
menhadapi secara langsung.
b. Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.
R/ Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang adaptif.
c. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal/terlalu memperhatikan
tubuh.
R/ Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga membutuhkan
intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
d. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
R/ Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.
KOLABORASI
e. Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri, psikologi, pekerja
sosial)
R/ Pasien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan dnegan proses
jangka panjang.
f. Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas)
R/ Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien dapat menggunakan
kemampuan koping efektif.

 Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.


1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat
melaksanakan aktivitas perawatan diri
2. Kriteria Hasil
g. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan
kemampuan individual.
h. Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
i. Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
3. Intervensi
MANDIRI
a. Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat diri yang menurun
dan diberi dukungan emosional.
R/ Perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan perasaan cemas
dan frustasi, dimana dapat mengganggu kemampuan lebih lanjut.
b. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
R/ Mendukung kemandirian fisik dan emosional.
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi modifikasi
lingkungan.
R/ Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga diri.
d. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas yang terjadwal
memungkinkan waktu untuk merawat diri.
R/ Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan harga diri dan
menurunkan perasaan ketergantungan.
KOLABORASI
e. Konsultasi dengan ahli terapi okulasi
R/ Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.

 Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.


7. Tujuan
Setelah diberikantindakan keperawatan selama 1 x 60 menit pasientidak menderita
cidera
8. Kriteria Hasil
a. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mempersiapkan lingkungan yang aman
d. Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera
e. Menghindari cedera fisik
9. Intervensi
a. Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.
R/karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis bahkan oleh benturan
ringan sekalipun. Bila klien mengalami penurunan kesadaran pasanglah tirali
tempat tidurnya.
b. Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien dengan hati-hati.
R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya penekanan punggung
dan memperlancar aliran darah serta mencegah terjadinya dekubitus.
c. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi kelemahan fisik.
R/ kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid dapat mengganggu
proses pemenuhan ADL pasien.
d. Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.
R/ aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit pasien.
e. Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara mengubah posisi tubuh,
dan cara berjalan serta menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba.
R/ mencegah terjadinya cedera pada pasien

 Kurang penegtahuan berhubungan dengan kurangnya mengingat.


1. Tujuan
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dan
keluarga menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
2. Kriteria Hasil
a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya hidup
yang konsisten dengan mobilitas atau pembatasan aktivitas.
3. Intervensi
- Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.
R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkna
informasi.
- Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui diet,
obat, latihan dan istirahat.
R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi atau jaringan lain
untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas.
- Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik.
R/ Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan dosis, misal : aspirin
diberikan secara reguler untuk mendukung kadar terapeutik darah 18 - 25 mg.
- Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau palang keamanan.
R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan pasien
ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan.
- Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri untuk
mempersiapkan makanan dan mandi
R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri dan
kemandirian.
DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi Nugroho, 2008.Gerontik dan Geriatik. EGC: Jakarta

Depkes RI, 2005; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 tahun 2005 Tentang Kesehatan;
Jakarta; Hal 1. Fisioterapi Indonesia; Jakarta; Hal.5.

Azizah, Lilik Ma’rifatul (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu

Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.

Cynthia M, Taylor . 2011 . Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan . Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai