Oleh :
NPM : 21149011121
Dosen Pembimbing :
PALEMBANG
2021/2022
DAFTAR ISI
1. Pengertian........................................................................................................
2. Etiologi ............................................................................................................
3. Tanda & Gejala................................................................................................
4. Patofisiologi......................................................................................................
5. Pemeriksaan Diagnostik..................................................................................
6. Penatalaksanaan Medis..................................................................................
1. Pengkajian.......................................................................................................
2. Diagnosis ........................................................................................................
3. Intervensi.........................................................................................................
4. Evaluasi...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................
BAB I
KONSEP MENUA/LANSIA
2. BATASAN LANSIA
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun
2) Usia tua (old) :75-90 tahun
3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan
masalah kesehatan.
3. CIRI-CIRI LANSIA
Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Motivasi
memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang
memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat
proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi,
maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi
ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam
segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan
sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan
lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia. Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat
mereka cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal
bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap
pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,
cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.
4. PERKEMBANGAN LANSIA
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia.
Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap
akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua
(tahappenuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada
masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan
merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan
dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan
pada faktor genetik.
B. PROSES MENUA
1. Teori Proses Menua
a. Teori – teori biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies – spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh
molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.
Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi penurunan
kemampuan fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada
jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan
tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus
kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
5) Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan
usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat
regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat,
khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan
dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-
sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat dilakukannya. Teori ini
menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak
dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari
usia pertengahan ke lanjut usia.
3) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Teori ini merupakan
gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi
pada seseorang yang lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
a) Kehilangan peran
b) Hambatan kontak sosial
c) Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan menjadi
dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial:
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel–sel
tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika seldari tubuh lansia dibiakkanlalu
diobrservasi di laboratorium terlihat jumlah sel–sel yang akan membelah sedikit. Pada
beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada
jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena
rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses
penuaan dan mempunyaikemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses
kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen
protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago,
dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari
protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada
kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan
permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya
penurunan mobilitas dan kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah dan Lilik,
2011).
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk
mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang
tinggi, tanpa mekanisme pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan
diri dari toksin tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan serta
terjadi kesalahan genetik. Membran sel tersebut merupakan alat sel supaya dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi juga untuk mengontrol proses
pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen
protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut, dipengaruhi oleh
rigiditas membran. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan
reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan
organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh
(Azizah dan Lilik, 2011).
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun
demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan
khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri.
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah
(Azizah dan Ma’rifatul L., 2011).
5) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut Mc. Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004), pengurangan
“intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena
menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan
pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah
menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua.
Teori ini menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan Ma’rifatul, L., 2011).
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Identity pada lansia yang
sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat,
melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah dan Lilik M, 2011).
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah dan Lilik M,
2011).
Adapun tujuan dari geriatrik menurut Maryam (2008) adalah sebagai berikut:
1. Mempertahankan derajat kesehatan pada lanjut usia pada taraf yang setinggi-tingginya
sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan akticitas fisik dan mental
3. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosis
yang tepat dan dini bila mereka menemukan kelainan tertentu
4. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lanjut usia yang menderita suatu penyakit
atau gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu
pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal)
5. Bila para lanjut usia sudah tidak dapat disembuhkan dan bila mereka sudah sampai pada
stadium terminal, ilmu ini mengajarkan untuk tetap memberi bantuan yang simpatik dan
perawatan dengan penuh pengertian (dalam akhir hidupnya, memberi bantuan moral dan
perhatian yang maksimal sehingga kematiannya berlangsung dengan tenang).
Dalam bidangetika (termasuk hukum) sangat penting artinya, bahkan diantara berbagai
cabang kedokteran mungkin pada cabang inilah etika dan hukum paling berperan. Kane (1994)
dkk menyatakan “ethic is fundamental part of geriatrics. While it is central to the practice of
medicine it self, the dependent nature of geriatric patients, makes it a special concern”.Berbagai
hal yang sangat perlu diperhatikan adalah, antara lain, keputusan tentang mati hidup
penderita.Apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan.Apakah perlu tindakan resusitasi.
Apakah makanan tambahan per infuse tetap diberikan pada penderita kondisi yang sudah jelas
akan meninggal? Dalam geriatric aspek etika ini erat dengan aspek hokum, sehingga
pembicaraan mengenai kedua aspek ini sering disatukan dalam satu pembicaraan.Aspek hukum
penderita dengsn kemampuan kognitif yang sudah sangat rendah seperti pada penderita
dementia sangat erat kaitannya dengan segi etik.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian ituangkan dalam
bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal
seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang
bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya
(harmful).Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari
kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label iagnosis, Pada dasarnya prinsip etika
ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip
otonomi) dibatasi oleh :
Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada keadaan
depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut demikian berat,
sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil
hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan
ini disebut sebagai surrogate decission maker.
Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi
mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu
badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan
hokum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
Dalam kenyataannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan keadaan de-
facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena
hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik
maupun emosional.
Oleh Karen suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian, kepercayaan
penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan yang
salah (antara lain menolak transfusi / tindakan bedah yang live saving). Dalam hal ini, dokter
dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.
Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an penderita
dan kalau mungkin memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi.
Seringkali perlu diambil tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter
dan apa yang diinginkan oleh penderita.
E. Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben Et Al, 1996, Kane Et Al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut sebagai arahan
keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang diucapkan pada saat
penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yang baik. Arahan keinginan yang
diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana
diperlukan untuk pengambilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu
atau menurun.
1. Pemberian Peralatan Perpanjangan Hidup (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetap controversial dalam pelayanan geriatric
adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya perpanjangan
hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa muda hal ini sering
kali tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup penderita masihj akan
berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya
sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru
merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).
2. Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane Et Al, 1994; Ruben Et Al,
1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas
hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian besar
merupakan penderita berusia lanjut.Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma
dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan,
nafas agonal dan keadaan yangjelas ”tidak memberi harapan”,. Pada penderita ini (misalnya
dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
Apakah penderita perlu diberitahu
Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah ada hal
lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap memaksakan pemberian
sotostatika atau tindakan lain.
A. Pengertian
Kata arthritis berasal dari kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua,
itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan
rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (sendi tangan dan
kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya
menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
Artritis Rheumatoid (RA) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat progresif,
yang cenderung menjadi kronik dan menyerang sendi serta jaringan lunak. Artritis
Rheumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana secara simetris persendian (biasanya
sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan sehingga menyebabkan terjadinya
pembengkakan, nyeri, dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi .
Karakteristik artritis rheumatoid adalah cairan sendi ( sinovitis inflamatior) yang persisten,
biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang sistematis (Junaidi,
2013).
Rematik adalah orang yang menderita rheumatism (encok), arthritis (radang sendi)
yang menyebabkan pembengkakan, (Utomo, 2005). Penyakit rematik meliputi cakupan dari
penyakit yang dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan
jaringan lunak (Soumya,2011).
Berdasarkan definisi diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa penyakit rematik
adalah penyakit sendi yang disebabkan oleh peradangan pada persendian sehingga tulang
sendi mengalami destruksi dan deformitas serta menyebabkan jaringan ikat akan mengalami
degenerasi yang akhirnya semakin lama semakin parah.
B. Anatomi Fisiologi Sendi
Sendi merupakan pertemuan dua tulang, tetapi tidak semua pertemuan tersebut
memungkinkan terjadinya pergerakan (Roger, 2002). Ada tiga jenis sendi pada manusia dan
gerakan yang dimungkinkannya yaitu : sendi fibrosa, kartilaginosa dan sinovial (Roger,
2002).
Macam-macam sendi :
1) Sendi fibrosa atau sendi mati terjadi bila batas dua buah tulang bertemu membentuk
cekungan yang akurat dan hanya dipusahkan oleh lapisan tipis jaringan fibrosa.
Sendi seperti ini terdapat di antara tulang-tulang kranium.
2) Sendi kartilaginosa atau sendi yang bergerak sedikit (sendi tulang rawan). Sendi tulang
rawan terjadi bila dua permukaan tulang dilapisis tulang rawan hialin dan dan
dihubungkan oleh sebuah bantalan fibrokartilago dan igamen yang tidak membentuk
sebuah kapsul sempurna disekeliling sendi tersebut. Sendi tersebut terletak diantara
badan-badan vertebra dan diantara manubrium dan badan sternum.
3) Sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas terdiri dari dua atau lebih tulang yang
ujung-ujungnya dilapisi tulang rawan hialin sendi. Terdapat rogga sendi yang
mengandung cairan sinovial, yang memberi nutrisi pada tulang rawan sendi yang tidak
mengandung pembuluh darah keseluruhan sendi tersebut dikelilingi kapsul fibrosa yang
dilapisi membran sinovial. Membran sinovial ini melapisi seluruh interior sendi, kecuali
ujung-ujung tulang, meniskus, dan diskus. Tulang-tulang sendi sinovial juga
dihubungkan oleh sejumlah ligamen dan sejumlah gerakan selalu bisa dihasilkan pada
sendi sinovial meskipun terbatas, misalnya gerak luncur (gliding) antara sendi-sendi
metakarpal.
Adapun jenis-jenis sendi Sinovial :
o Sendi pelana (hinge) memungkinkan gerakan hanya pada satu arah, misalnya
sendi siku.
o Sendi pivot memungkinkan putaran (rotasi), misalnya antara radius dan ulna pada
daerah siku dan antara vertebrata servikal I dan II yang memungkinkan gerakan
memutar pada pergelakan tangan dan kepala.
o Sendi kondilar merupakan dua pasangan permukaan sendi yang memungkinkan
gerakan hanya pada satu arah, tetapi permukaan sendi bisa berada dalam satu
kapsul atau dalam kapsul yang berbeda, misalnya sendi lutut.
o Sendi bola dan mangkuk (ball and socket) sendi ini dibentuk oleh sebuah kepala
hemisfer yang masuk ke dalam cekungan berbentuk mangkuk misalnya sendi
pinggul dan bahu.
4) Pergerakan sendi dibagi menjadi tiga macam yaitu :
o Gerakan meluncur, seperti yang diimplikasikan namanya, tanpa gerakan menyudut
atau ,memutar.
o Gerakan menyudut memnyebabkan peningkatan atau penurunan sudut diantara
tulang. Gerakan ini mencangkup fleksi ( membengkok), ekstensi ( lurus), abduksi (
menjauhi garis tengah) dan aduksi ( mendekati garis tengah).
o Gerakan memutar memungkinkan rotasi internal ( memutar suatu bagian pada
porosnya mendekati garis tengah) dan rotasi eksterna ( menjauhi garis tengah).
Sirkumduksi adalah gerakan ekstremitas yang membentuk suatu lingkaran. Istilah
supinasi dan pronasi merujuk pada gerakan memutar telapak tangan keatas dan
kebawah.
C. Etiologi
Penyebab Artritis Rheumatoid belum diketahui dengan pasti. Namun kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan
(Suarjana, 2009).
1) Genetik, berupa hubungan dengan HLH-DRBI dan faktor ini memiliki angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60% ( Suarjana, 2009).
2) Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Plasental kortikotraonim
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis esterogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
proggesteron pada respon imun humoral ( TH2) dan menghambat respon imun selular
( TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progresteron
mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini ( Suarjana,
2009).
3) Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa seinduk semang (host) dan merubah
reakrifitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).
4) HeatShockProtein (HSP) Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stress. Protein ini mengandung untaian ( sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitok HSP Pada
agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa
5) mencetuskan terjadinya reaksi silang Limposit dengan sel Host sehingga mencetuskan
reaksi imunologis ( Suarjana,2009).
2) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga
pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
E. Patofisiologi
Pathway
F. Tanda & Gejala
G. Pemeriksaan Diagnostik
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis :
a. Pemeriksaan cairan sinovial
1) Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2) Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi
yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3) Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
b. Pemeriksaan darah tepi
1) Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat
splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2) Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c. Pemeriksaan kadar sero-imunologi
1) Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan
nodul subkutan.
2) Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid
dini.
d. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak,
erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal )
berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio.
Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan.
e. Artroskopi Langsung : Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/
degenerasi tulang pada sendi
f. Biopsi membran sinovial: menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan
panas.
H. Penatalaksanaan Medis
a. Tujuan Utama Terapi Adalah :
1) Meringankan rasa nyeri dan peradangan
2) Memperatahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal penderita.
3) Mencegah atau memperbaiki deformitas
b. Program terapi dasar terdiri dari lima komponen dibawah ini yang merupakan sarana
pembantu untuk mecapai tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1) Istirahat
2) Latihan fisk
3) Pengobatan : Aspirin dosis antara 8 s.d 25 tablet perhari, kadar salisilat
serum yang diharapakan adalah 20-25 mg per 100 ml. Natrium kolin dan
asetamenofen meningkatkan toleransi saluran cerna terhadap terapi obat
dan Obat anti malaria (hidroksiklorokuin, klorokuin) dosis 200 – 600 mg/hari
mengatasi keluhan sendi, memiliki efek steroid sparing sehingga
menurunkan kebutuhan steroid yang diperlukan.
4) Nutrisi diet untuk penurunan berat badan yang berlebih
5) Pembedahan dan indikasinya sebagai berikut:
Sinovektomi, untuk mencegah artritis pada sendi tertentu, untuk
mempertahankan fungsi sendi dan untuk mencegah timbulnya
kembali inflamasi.
Arthrotomi, yaitu dengan membuka persendian.
Arthrodesis, sering dilaksanakan pada lutut, tumit dan pergelangan
tangan.
Arthroplasty, pembedahan dengan cara membuat kembali dataran
pada persendian.
Penatalaksanaan Medis :
a. Keperawatan
1) Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi, (perjalanan penyakit),
penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua komponen
program penatalkansanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber
bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang penatalksanaan
yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus di lakukan secara
terus-menerus.
2) Istirahat , Merupakan hal penting karena rematik biasanya disertai rasa lelah yang
hebat . Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari , tetapi ada
masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus
membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti
oleh masa istirahat .
3) Latihan Fisik dan Fisioterapi, Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
memperthankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehat. Obat untuk menghilangkan nyeri
diperlukan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan
bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan yang berlebihan dapat merusak
struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
b. Medis
1) Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umunya diberikan pada penderita AR
sejak dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering kali dijumpai, walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgetik yang sangat baik . OAINS terutama bekerja menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesi progtaglandin masih belum jelas apakah
hambatan enzim siklooxygenase juga berperan dalam hal ini , akan tetapi jelas
bahwa OAINS bekerja dengan cara :
I. Komplikasi
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti imflamasi non steroid (OAINS)
atau obat pengubah jalan penyakit DMARD ( disease modifying antirheumatoid drugs) yang
menjadi faktor penyebab mortalitas utama pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang
terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi
artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebrata servikal dan neuropati siskemik vaskulitis (Mansjoer, 1999)
BAB IV
A. Pengkajian
a. Identitas
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pekerjaan,
pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan utama, kapan keluhan dimulai, dan
lokasi keluhan.
b. Riwayat Perawatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan keluarga, keadaan
lingkungan, dan riwayat kesehatan lainnya.
c. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan umum, Pengukuran Tanda-Tanda Vital (TTV), Pemeriksaan fisik tentang
system kardiovaskuler, system pernafasan, sistem pencernaan, system perkemihan,
sistem endokrin, sistem musculoskeletal, dan sistem reproduksi.
d. Pola Fungsi Kesehatan
Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit, kebiasaan sehari-hari, nutrisi metabolism, pola
tidur dan istirahat, kognitif-perseptual, persepsi-konsep diri, aktivitas dan kebersihan diri,
koping-toleransi stress, nilai-pola keyakinan.
e. Data penujang
Hasil pemeriksaan laboraturium, dan pemeriksaan lainnya
f. Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada
sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi
fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan,
keletihan.
b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit, kontraktor/ kelaianan
pada sendi.
2. Kardiovaskuler
a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan, ketidakmampuan,
faktor-faktor hubungan. Keputusan dan ketidakberdayaan ( situasi
ketidakmampuan )Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya
ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/ cairan
a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk mengunyah.
b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi.
Ketergantungan.
6. Neurosensori
E. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
F. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak
pada sendi ).
8. Keamanan
a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan
dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan
menetap Kekeringan pada meta dan membran mukosa.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat.
C. Rencana Intervensi
Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
1. Tujuan
Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan skala nyeri
berkurang
2. Kriteria Hasil
a. Skala nyeri berkurang
b. Pasien dapat beristirahat
c. Ekspresi meringis (-)
d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100, RR : 16-24
x/menit, T : 36,5-37,5°C)
3. Intervensi
MANDIRI
a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat faktor yang
mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan program.
b. Pantau TTV pasien.
R/ Mengetahui kondisi umum pasien
c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat
tidur sesuai indikasi.
R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk membatasi nyeri
atau cedera sendi.
d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.
R/Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral.
Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan mengurangi kerusakan
sendi.
e. Berikan masase yang lembut.
R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.
f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap
hangat untuk mengompres sendi yang sakit beberapa kali sehari.
R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan
kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat hilang dan luka dermal
dapat sembuh.
KOLABORASI
g. Berikan obat sesuai petunjuk :
1) Asetilsalisilat (aspirin)
R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan mengurangi kekakuan
dan meningkatkan mobilitas.
2) D-penisilamin
R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi lainnya tidak berhasil.
h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri dan membatasi
progresif perubahan degeneratif.
Depkes RI, 2005; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 tahun 2005 Tentang Kesehatan;
Jakarta; Hal 1. Fisioterapi Indonesia; Jakarta; Hal.5.
Azizah, Lilik Ma’rifatul (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu
Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.
Cynthia M, Taylor . 2011 . Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan . Jakarta : EGC.