TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BIMA
TENTANG PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) BIMA
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Dalam Keputusan Direktur ini yang dimaksud dengan Panduan Hak Pasien dan
Keluarga adalah aturan yang disusun sebagai acuan Rumah Sakit Umum Daerah
Bima dalam pelaksanaan pelayanan yang memenuhi hak pasien dan keluarga sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 2
Panduan Hak Pasien dan Keluarga di Rumah Sakit Umum Daerah Bima meliputi:
1) Hak dan kewajiban pasien
2) Informasi tentang hak dan kewajiban pasien
3) Hak pasien dalam pelayanan dan perawatan
4) Pelayanan rohaniawan
5) Pelayanan terhadap harta benda
6) Pelayanan perlindungan terhadap kekerasan
7) Pelayanan privasi dan kerahasiaan informasi
8) Persetujuan umum (general consent)
9) Persetujuan tindakan (inform consent)
10) Pelayanan terhadap keluhan dan komplain.
Pasal 3
1) Dokumen panduan yang tercantum dalam Lampiran Keputusan Direktur RSUD
Bima ini, dijadikan acuan dalam melakukan tugas dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur ini.
2) Peraturan Direktur RSUD Bima ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
BAB I
DEFINISI
1 Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah
ada sejak lahir bahkan sebelum lahir.
2 Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya
tergantung pada kita sendiri.
3 Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan
pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas. Arti hak yang terakhir
yang dipakai pada panduan ini.
a. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik
dalam keadaan sehat maupun sakit. Pasien juga merupakan konsumen
bagi sebuah rumah sakit yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu dan professional. Selain itu juga pasien berhak
mendapatkan perlindungan atas pelayanan yang diterimanya dari petugas
kesehatan. Pasien juga memiliki kewajiban untuk mentaati segala aturan
yang diberlakukan rumah sakit.
b. Keluarga
1) Keluarga pasien merupakan orang terdekat bagi pasien yang selalu
mendampingi pasien selama pasien tersebut mendapatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Sehingga keluarga pasien berhak
mendapatkan informasi atas pelayanan yang diberikan rumah sakit
kepada pasien tersebut.
2) Yang dimaksud Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau
ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau
pengampunya.
c. Hak Pasien dan Keluarga adalah sesuatu yang harus diperoleh oleh setiap
pasien dan keluarga yang ada di rumah sakit maupun tempat pelayanan
kesehatan lainnya yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
d. Kewajiban Pasien adalah suatu bentuk keharusan yang harus dipenuhi
oleh pasien yang berada di tempat pelayanan kesehatan baik berupa tata
tertib administrasi, serta prosedur tahapan untuk menerima pelayanan
yang telah ditetapkan oleh pihak Rumah Sakit tempat pelayanan
kesehatan lainnya.
e. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kewenangan dan ijin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan khusus,
memeriksa dan pengobatan penyakit dan dilakukan menurut aturan
pelayanan kesehatan.
f. Perawat merupakan seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan keperawatan baik didalam maupun di luar negeri yang diakui
pemerintah Republik Indonesia, Teregistrasi dan diberi kewenangan untuk
melaksanakan praktek Keperawatan sesuai peraturan perundang-
undangan.
g. Petugas Kesehatan Lain adalah semua petugas kesehatan yang tidak
termasuk dokter dan perawat yang mempunyai ijasah pendidikan
kesehatan serta terlibat dalam memberikan pelayanan selama pasien
berobat di rumah sakit.
h. Rumah Sakit adalah institusi yang memberikan pelayanan kesehatan bagi
pasien yang membutuhkan pengobatan.
BAB II
RUANG LINGKUP
a) RSUD Bima menerapkan regulasi hak dan kewajiban pasien dan keluarga
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
b) RSUD Bima melakukan identifikasi terhadap siapa yang diinginkan pasien
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatannya.
c) RSUD Bima menghormati hak serta kewajiban pasien dan dalam kondisi
tertentu terhadap keluarga pasien bahwa pasien memiliki hak untuk
menentukan preferensi pasien, pada beberapa keadaan preferensi keluarga
pasien dalam menentukan informasi apa mengenai perawatan pasien yang
dapat disampaikan pada keluarga/pihak lain dan dalam siatuasi apa.
d) Seluruh staf RSUD Bima dilatih tentang proses dan peran mereka dalam
mendukung hak dan kewajiban pasien dan keluarga serta partisipasi pasien
dan keluarga dalam perawatan.
e) Hak pasien dan keluarga di Rumah Sakit Umum Daerah Bima berdasarkan
Undang-Undang No.44 Tahun 2009 :
1. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib, peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit
2. Pasien berhak memperoleh informasi tentang Hak dan Kewajibannya.
3. Pasien berhak memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan
tanpa diskriminasi.
4. Pasien berhak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
5. Pasien berhak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi
6. Pasien berhak mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan
7. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit
8. Pasien berhak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya
kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit
9. Pasien berhak mendapat privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya
10. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko, dan
komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan
11. Pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang
akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya
12. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
13. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
14. Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di Rumah Sakit
15. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perilaku Rumah
Sakit terhadap dirinya
16. Pasien berhak menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya
17. Pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila
Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar baik secara perdata atau pidana
18. Pasien berhak mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
f) Kewajiban pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Bima berdasarkan
Permenkes No.4 Tahun 2014 :
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mematuhi peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit
2. Pasien dan keluarganya berkewajiban menggunakan fasilitas Rumah
Sakit secara bertanggung jawab
3. Menghormati hak Pasien lain, pengunjung dan hak Tenaga Kesehatan
serta petugas lainnya yang bekerja di Rumah Sakit
4. Memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya
5. Memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan
kesehatan yang dimilikinya
6. Mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan
di Rumah Sakit dan disetujui oleh Pasien yang bersangkutan setelah
mendapatkan penjelasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
7. Menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak
rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan dan/atau
tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan untuk
penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya; dan
8. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
2. Pelayanan Kerohanian
a. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,
dilakukan secara aktif maupun secara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh
pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang
tidak dikehendaki oleh korban.
b. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang melibatkan kontak langsung dan tidak
dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cidera, atau
penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat.
c. Kekerasan fisik (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang
lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikologi.
Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam,
menembak, mendorong (paksa), menjepit.
d. Upaya perlindungan terhadap kekerasan fisik di RSUD Bima adalah upaya
mencegah kekerasan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit melalui
prosedur identifikasi seluruh pengunjung/penghuni rumah sakit, investigasi
pada setiap orang yang tidak memilki identitas, monitoring lokasi terpencil
atau terisolasi di rumah sakit dan secara cepat bereaksi terhadap mereka
yang berada dalam bahaya kekerasan, ditujukan bagi kelompok pasien yang
beresiko mengalami kekerasan fisik maupun non fisik.
e. Kelompok pasien beresiko adalah kelompok karena keterbatasannya secara
fisik maupun psikologis, memiliki kemungkinan untuk mendapatkan
perlakuan kekerasan secarafisik, sehingga rumah sakit bertanggung jawab
melindungi kelompok pasien tersebut dari kekerasan fisik oleh pengunjung,
pasien lain dan staf rumah sakit. Kelompok yang dimaksud adalah bayi,
anak-anak, lanjut usia dan lainnya yang tidak mampu melindungi dirinya
sendiri dan atau memberi tanda untuk meminta bantuan.
f. Kriteria kekerasan fisik di lingkungan rumah sakit yang dapat dilakukan oleh
penunggu/pengunjung pasien maupun petugas rumah sakit meliputi
tindakan :
1) Pelecehan seksual
2) Pemukulan (termasuk menampar, menendang, menikam, mendorong
(paksa), dan menjepit)
3) Penelantaran
4) Pemaksaan fisik (seperti pengekangan/restrain) oleh petugas rumah sakit
yang tidak sesuai SPO dan etika rumah sakit yang berlaku.
g. Kriteria kelompok pasien yang beresiko mendapat kekerasan fisik meliputi:
1) Bayi baru lahir (neonatus)
Kekerasan terhadap bayi meliputi semua bentuk tindakan/perlakuan
menyakitkan secara fisik, pelayanan medis yang tidak standar seperti
inkubator yang tidak layak pakai, penculikan, bayi tertukar dan
penelantaran bayi.
2) Anak-anak
Adalah perlakuan kasar yang dapat menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan, penganiayaan fisik, seksual, penelantaran (ditinggal oleh
orangtuanya di rumah sakit), maupun emosional, yang diperoleh dari
orang dewasa yang ada dilingkungan rumah sakit
3) Usia lanjut atau manula (> 60 tahun)
Kekerasan fisik pada lansia di rumah sakit antara lain berupa
pemerkosaan, pemukulan, dipermalukan/diancam seperti anak kecil,
diabaikan/diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan yang tidak
standar.
4) Pasien yang cacat,
5) Pasien koma
6) Pasien dengan gangguan mental dan emosional/jiwa
7) Pasien dewasa yang tidak mampu melindungi dirinya atau yang memberi
tanda minta bantuan,
8) Kelompok pasien beresiko kekerasan lainnya:
a. Pasien Narapidana
b. Pasien korban perkelahian/bentrok,
c. Pasien korban kekerasan dalam rumah tangga/KDRT, penganiayaan,
dan penelantaran
d. Pasien dalam pengaruh obat/sedasi
e. Wanita bersalin dan wanita yang mengalami terminasi kehamilan.
h. Tata Laksana perlindungan pasien terhadap kekerasan fisik adalah sebagai
berikut:
a. PencegahanTerhadap Kekerasan Fisik
1) Melakukan identifikasi pasien beresiko kekerasan fisik mulai dari
penerimaan pasien di Rawat Jalan dan IGD
2) Mendokumentasikan pasien yang teridentifikasi beresiko
kekerasan fisik kedalam buku register pasien dengan resiko
kekerasan, melaporkan kepada petugas keamanan/security.
3) Segera merespon permintaan perlindungan ari pasien atau
keluarga pasien atau lembaga tertentu dengan berkoordinasi
dengan pihak terkait.
4) Semua Penunggu pasien memiliki Kartu Penunggu Pasien yang
dikeluarkan oleh RS.
5) Pemberlakuan jam berkunjung bagi pengunjung pasien :
Pagi - Siang : Pukul 11.00 – 14.00 Wita
Sore – Malam : Pukul 17.00 – 20.00 Wita
6) Penunggu atau Pengunjung yang mencurigakan diperiksa dan
diinvestigasi oleh petugas keamanan (SATPAM).
7) Setiap pengunjung yang berkunjung di luar jam berkunjung yang
ditentukan rumah sakit meliputi Tamu rumah sakit atau Keluarga
pasien, wajib lapor dan dilakukan identifikasi/pemeriksaan oleh
satuan pengamanan rumah sakit (SATPAM)
8) Lokasi terpencil dan terisolasi dilakukan pengawasan oleh satuan
pengamanan rumah sakit (SATPAM RS)
9) Daerah-daerah di lingkungan rumahsakit yang termasuk dalam
kriteria terpencil dan terisolasi adalah:
Area sekitar ruang perawatan zaitun
Area sekitar parkiran mobil ambulance RS
Belakang gedung Zaal Dalam RSUD Bima
Halaman belakang Gizi dan area mushola
Lorong belakang gedung Tata Usaha
10) Petugas satuan pengamanan RS (SATPAM RS) melakukan
pemantauan rutin pada daerah-daerah terpencil dan terisolasi di
lingkungan Rumah Sakit.
11) Memasang CCTV pada area yang perlu pengawasan ketat seperti di
ICU, ,NICU, serta area rumah sakit yang jauh dari keramaian atau
terisolasi/terpencil.
12) Pengaktifan kode komunikasi darurat bagi staf Rumah Sakit,
penunggu, maupun pengunjung rumah sakit.
13) RSUD Bima menjaga kemananan dalam tiga area :
a. Area publik yaitu area terbuka untuk umum meliputi: area
parkir, rawat jalan dan penunjang pelayanan
b. Area tertutup yaitu area yang hanya bisa dimasuki orang
tertentu dengan ijin khusus dan pakaian tertentu meliputi:
kamar operasi, ruang periksa dan tindakan di unit-unit
pelayanan penunjang dan rawat inap.
c. Area semi terbuka yaitu area yang terbuka pada saat-saat
tertentu dan tertutup pada saat yang lain terbuka meliputi:
semua area perawatan rawat inap
b. Pencegahan Terhadap Kelalaian Asuhan baik Medis maupun
Keperawatan:
1 Memberikan asuhan medis sesuai panduan praktek klinis dan
clinical pathway
2 Melakukan tindakan sesuai dengan SPO (Standar Prosedur
Operasional)
3 Melakukan sosialisasi kepada semua tenaga kesehatan yang
bertugas
c. Pencegahan Kekerasan Fisik pada kelompok-kelompok beresiko
1. Pasien Rawat Jalan
Pendampingan oleh petugas penerimaan pasien dan
mengantarkan sampai ke unit yang dituju dengan memakai
alat bantu bila diperlukan
Perawat di masing-masing Poli wajib mendampingi pasien saat
dilakukan pemeriksaan sampai selesai
2. Pasien Rawat Inap
Identifikasi pasien beresiko melalui pengkajian secara terperinci
Menempatkan pasien dikamar rawat inap sedekat mungkin
dengan Nurse Station
Meminta keluarga untuk menjaga pasien atau oleh pihak yang
ditunjuk atau dipercaya
Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat
identitas di Nurse Station
Perawat berkoordinasi dengan satuan pengamanan (SATPAM)
untuk memantau lokasi perawatan pasien, penjaga maupun
pengunjung pasien.
3. Perlindungan terhadap bayi dan anak-anak
Bayi/ anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya di RSUD Bima
dilakukan perawatan dengan baik agar sehat untuk
selanjutnya diserahkan ke Dinas Sosial
Pembatasan pengunjung di ruang perawatan
perinatologi/NICU, pengunjung hanya dapat masuk atas ijin
dari perawat jaga.
Terdapat prosedur pemulangan bayi yang dirawat di ruang
perawatan perinatologi/NICU hanya kepada orang tua kandung
bayi atau keluarga bayi dengan menunjukkan surat Kuasa dari
orang tua kandung bayi.
Serah terima bayi antar petugas dari ruang perawatan NICU ke
ruang perawatan lainnya atau sebaliknya dilakukan sesuai SPO
dan didokumentasikan dalam Rekam Medis Pasien
4. Penanganan terhadap kejadian Kekerasan Fisik
Bila tindakan kekerasan dilakukan oleh pengunjung atau
pasien lain, petugas diruangan/unit segera melaporkan
kejadian kepada petugas keamanan (security) rumah sakit.
Petugas keamanan (security) segera menangani kejadian, dan
segera mengkoordinasikan kejadian kepada Pihak Berwajib.
Buat laporan kejadian dan sampaikan kepada pihak
manajemen rumah sakit.
Bila tindakan kekerasan dilakukan oleh staf rumah sakit,
Kepala unit bertanggung jawab menegur staf tersebut dan
melaporkan kejadian ke Kepala Bidang terkait untuk diproses
lebih lanjut.
1. Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapatkan
informasi dan consent berarti persetujuan (izin). Yang dimaksud dengan
Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent)
atau izin dari seseorang (pasien) yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa
paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang kedokteran
yang dimaksud.
2. Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi adalah persetujuan
pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima
informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan.
3. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah pernyataan
sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau
dokter gigi, sehingga dapat ditarik kembali setiap saat.
4. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses
sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter
atau dokter gigi, dan bukan sekedar penandatanganan formulir persetujuan.
5. Tindakan Kedokteranadalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien.
6. Tindakan invasif, adalah tindakan yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.
7. Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko
tinggiadalah tindakan kedokteran atau kedokteran gigi, yang dengan
probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan
(kehilangan anggota badan atau kerusakan fungsi organ tubuh tertentu),
misalnya tindakan bedah dan tindakan invasif lainnya.
8. Pasien, adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit baik dalam
keadaan sehat maupun sakit.
9. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
Ayah :
- Ayah Kandung
- Termasuk “Ayah” adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan
penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat.
Ibu :
- Ibu Kandung
- Termasuk “Ibu” adalah Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan
penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat
Suami :
- Seorang laki-laki yang dalam ikatan pernikahan dengan seorang
perempuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Istri:
- Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-
laki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari 1 (satu) istri
persetujuan / penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka.
10.Wali, adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum
dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum, atau orang
yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
11.Induk semang, adalah orang yang berkewajiban untuk mangawasi serta ikut
bertangung jawab terhadap pribadi orang lain, seperti pemimpin asrama dari
anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.
12.Gangguan Mental, adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku yang
secara klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan
seseorang, mencakup Gangguan Mental Berat, Retardasi Mental Sedang,
Retardasi Mental Berat, Dementia Senilis.
13.Pasien Gawat Darurat, adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan
gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota
badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
14.Kompeten, adalah cakap untuk menerima informasi, memahami,
menganalisisnya dan menggunaknnya dalam membuat persetujuan atau
penolakkan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
15.Jenis Tindakan Kedokteran yang dilakukan Informed Consent :
a. Tindakan pembedahan atau operasi
b. Tindakan pembiusan atau anastesi
c. Tindakan pemberian transfusi darah
d. Tindakan dan pengobatan lainnya yang beresiko tinggi
16.Jenis tindakan yang di Informed Consent, berlaku bagi semua pasien yang di
rawat baik itu pasien yang di rawat jalan, rawat inap, dan pasien rawat IGD
17.Urutan prioritas untuk pemberi persetujuan tindakan adalah :
1) Pasien sendiri
2) Suami atau istrinya
3) Anaknya yang sudah dewasa
4) Orang Tuanya
5) Saudara kandungnya
6) Keluarga lain, teman, atau induk semang bila yang disebut diatas tidak
ada.
18.Pemberi informasi dan penjelasan tindakan kedokteran adalah:
a. Dokter DPJP
b. Dokter yang melakukan tindakan
c. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan
untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian
penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain
yang kompeten, yaitu :
Dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab
secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya
untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara
benar dan layak
Bila terjadi kesalahan dalam memberikan informasi tanggung
jawab berada ditangan dokter atau dokter gigi yang
memberikan delegasi.
d. Tenaga kesehatan tertentu yaitu perawat yang merawat dalam hal
ini adalah Perawat Primer atau Perawat Pelaksana dapat membantu
memberikan penjelasan sesuai dengan Kewenangan Klinisnya.
19.Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah
dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
Penjelasan tersebut dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis
oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan :
Tanggal
Waktu
Nama
Tandatanganpemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
20.Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan yang akan
diberikan dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak
diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan
penjelasan kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain sebagai saksi.
21.Pasal 45 Undang-Undang Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal
informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran (contemplated medical
procedure);
Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat
meliputi :
Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis
Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat
ditegakkan, maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan
diagnosis banding;
Bila ada indikasi atau keadaan klinis pasien yang
membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak
dilakukan tindakan.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami
pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping
atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
Penjelasan tentang tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa
tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif;
c. Alternatif tindakan lain, dan risikonya (alternative medical procedures
and risk);
Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-
masing alternatif tindakan;
Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau
keadaan tak terduga lainnya.
Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi
sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan
pasien. Setelah perluasan tindakan kedokteran dilakukan,
dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada
pasien atau keluarga terdekat.
d. Risiko (risk inherent in such medical procedures) dan komplikasi yang
mungkin terjadi;
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah
semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan
kedokteran yang dilakukan, kecuali :
1. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan
umum;
2. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau
dampaknya sangat ringan;
3. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan
sebelumnya (unforeseeable).
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (prognosis with and without
medical procedures);
Penjelasan tentang prognosis meliputi :
Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
Prognosis tentang kesembuhan (ad senationam).
22.Demi kepentingan pasien, penjelasan atau informasi tindakan kedokteran tidak
diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak
didampingi oleh keluarga pasien yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan kedokteran.
23.Persetujuan Tindakan Kedokteran
a. Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan kedokteran tidak
diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak
didampingi oleh keluarga pasien yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan kedokteran.
b. Yang berhak untuk memberikan persetujuan setelah mendapatkan
informasi adalah:
a) Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun atau telah
menikah.
b) Bagi Pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed consent)
atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan
hak sebagai berikut :
1) Ayah/ Ibu Kandung
2) Saudara – saudara kandung
c) Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua
atau orang tuanya berhalangan hadir, persetujuan (Informed Consent)
atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut hak
sebagai berikut :
1) Ayah/Ibu Adopsi
2) Saudara – saudara Kandung
3) Induk Semang
d) Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan (Informed
Consent) atau penolakan penolakan tindakan medis tidak boleh
dianggap tidak kompeten untuk memberikan persetujuan atau
penolakkan sampai nanti terbukti melalui pemeriksaan, namun
diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
1) Ayah/Ibu kandung
2) Wali yang sah
3) Saudara – Saudara Kandung
e) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle)
Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan menurut hal
tersebut.
1) Wali
2) Curator
f) Bagi Pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua, persetujuan atau
penolakan tindakan medik diberikan oleh mereka menurut urutan hal
tersebut.
1) Suami/ Istri
2) Ayah/ Ibu Kandung
3) Anak- anak Kandung
4) Saudara – saudara Kandung
c. Syarat pemberi persetujuan adalah seseorang yang dianggap kompeten,
syaratkompeten apabila:
Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya
dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan
tanpa istilah yang terlalu teknis.
Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan
Mampu mempertahankan informasi tersebut untuk waktu yang
cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakan untuk
membuat keputusan secara bebas.
d. Cara pasien menyatakan persetujuan dapat dilakukan secara terucap (oral
consent), tersurat (written consent), atau tersirat (implied consent).
e. Sebelum ditandatangani atau dibubuhkan cap ibu jari tangan kiri, formulir
tersebut sudah diisi lengkap oleh dokter atau dokter gigi yang akan
melakukan tindakan kedokteran atau oleh tenaga medis lain yang diberi
delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan dipersilahkan membacanya,
atau jika dipandang perlu dibacakan dihadapannya.
f. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak
mengandung risiko tinggi. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
24.Ketentuan pada Situasi Khusus
a. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup
(withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien.
b. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat
pasien diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter atau
dokter gigi yang bersangkutan. Persetujuan harus diberikan secara tertulis.
25.Penolakan Tindakan Kedokteran
a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
b. Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak
memberikan atau menolak memberikan persetujuan tindakan kedokteran
adalah orang tua, keluarga, wali atau kuratornya.
c. Bila pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri tidak diikut
sertakan menandatangani persetujuan tindakan kedokteran, kecuali untuk
tindakan keluarga berencana yang sifatnya irreversible; yaitu tubektomi
atau vasektomi.
d. Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima
informasi dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan
dokter atau dokter gigi maka orang tersebut dianggap telah menyetujui
kebijakan medis apapun yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi.
e. Apabila yang bersangkutan, sesudah menerima informasi, menolak untuk
memberikan persetujuannya maka penolakan tindakan kedokteran tersebut
harus dilakukan secara tertulis. Akibat penolakan tindakan kedokteran
tersebut menjadi tanggung jawab pasien.
f. Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter
pasien.
g. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap
saat, kecuali tindakan kedokteran yang direncanakan sudah sampai pada
tahapan pelaksanaan yang tidak mungkin lagi dibatalkan.
h. Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran diberikan keluarga maka yang
berhak menarik kembali (mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau
anggota keluarga lainnya yang kedudukan hukumnya lebih berhak sebagai
wali.
i. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan kedokteran harus
diberikan secara tertulis dengan menandatangani format yang disediakan.
26.Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan
persetujuan tindakan kedokteran harus dicatat dalam rekam medis
27.Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran disimpan
bersama-sama rekam medis
28.Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan kedokteran
menggunakan formulir dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dikeahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Tenaga keperawatan
bertindak sebagai salah satu saksi
b. Formulir harus sudah mulai diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum
tindakan kedokteran
c. Dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan harus
membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah memberikan
informasi dan penjelasan secukupnya
d. Sebagai tanda tangan pasien atau keluarganya yang buta huruf harus
membubuhkan cap jempol jari kanan.
a. Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang dokter atau
ahli medis terhadap suatu diagnosa, terapi dan rekomendasi medis lain
terhadap penyakit seseorang.
b. Meminta Pendapat Lain (second opinion) adalah pendapat medis yang
diberikan oleh dokter lain terhadap suatu diagnosa atau terapi maupun
rekomendasi medis lain terhadap penyakit yang diderita pasien. Mencari
pendapat lain bisa dikatakan sebagai upaya penemuan sudut pandang lain
dari dokter kedua setelah pasien mengunjungi atau berkonsultasi dengan
dokter pertama.
c. Meminta pendapat lain atau second opinion juga diatur dalam Undang
Undang no.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian empat pasal 32 poin
H tentang hak pasien, disebutkan bahwa "Setiap pasien memiliki hak
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit".
d. Permasalahan kesehatan yang memerlukan second opinion
1. Keputusan dokter mengenai tindakan operasi, diantaranya operasi usus
buntu, operasi amandel, (tonsilektomi), operasi caesar, operasi hordeolum
(bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan dan berair terus)
dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2
minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian
antibiotika jangka panjang, pemberian anti alergi jangka panjang dan
pemberian obat-obat jangka panjang lainnya.
3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat
mahal, baik obat minum, antibiotik atau pemberian susu.
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan pada
kasus yang tidak seharusnya diberikan: seperti infeksi saluran nafas,
diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. Biasanya dokter
memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi antibiotik.
5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium
dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit
yang dideritanya.
6. Keputusan dokter mengenai suatu penyakit yang berulang diderita
misalnya: penyakit tipes berulang, pada kasus ini sering terjadi
overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil
laboratorium yang menyesatkan.
7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan: biasanya dokter tersebut
menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala demam berdarah,
gejala usus buntu dll.
8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan
oleh institusi kesehatan nasional atau internasional dan tidak memilki
dasar evidence base medicine (kejadian ilmiah berbasis bukti penelitian
dibidang kedokteran).
e. Dalam rangka membantu pasien untuk mendapatkan second opinion, RSUD
Bima memberikan beberapa pertimbangan kepada pasien atau keluarga
sebagai berikut
1. Second Opinion sebaiknya didapatkan dari dokter yang sesuai
kompetensinya atau keahliannya.
2. Rekomendasi atau pengalaman keberhasilan pengobatan teman atau
keluarga terhadap dokter tertentu dengan kasus yang sama sangat penting
untuk dijadikan referensi. Karena, pengalaman yang sama tersebut
sangatlah penting dijadikan sumber referensi.
3. Carilah informasi sebanyak-banyaknya di internet tentang permasalahan
kesehatan tersebut. Jangan mencari informasi sepotong-sepotong, karena
seringkali akurasinya tidak dipertanggung jawabkan. Carilah sumber
informasi internet dari sumber yang kredibel seperti : WHO, CDC, IDAI, IDI
atau organisasi resmi lainnya.
4. Bila keadaan emergensi atau kondisi tertentu maka keputusan second
opinion juga harus dilakukan dalam waktu singkat.
5. Mencari second opinion diutamakan kepada dokter yang dapat
menjelaskan dengan mudah, jelas, lengkap dan dapat diterima dengan
logika. Dokter yang beretika tidak akan pernah menyalahkan keputusan
dokter sebelumnya atau tidak akan pernah menjelekkan pendapat dokter
sebelumnya atau menganggap dirinya paling benar.
6. Bila melakukan second opinion sebaiknya tidak menceritakan pendapat
dokter sebelumnya atau mempertentangkan pendapat dokter sebelumnya,
agar dokter terakhir tersebut dapat obyektif dalam menangani kasusnya,
kecuali dokter tersebut menanyakan pengobatan yang sebelumnya pernah
diberikan atau pemeriksaan yang telah dilakukan.
7. Bila sudah memperoleh informasi tentang kesehatan jangan menggurui
dokter yang anda hadapi karena informasi yang anda dapat belum tentu
benar. Tetapi sebaiknya anda diskusikan informasi yang anda dapat dan
mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu.
8. Bila pendapat lain dokter tersebut berbeda, maka biasanya penderita
dapat memutuskan salah satu keputusan berdasarkan argumen yang
dapat diterima secara logika. Dalam keadaan tertentu disarankan
mengikuti advis dari dokter yang terbukti terdapat perbaikan bermakna
dalam perjalanan penyakitnya. Bila hal itu masih membingungkan tidak
ada salahnya melakukan pendapat ketiga. Biasanya dengan berbagai
pendapat tersebut penderita akan dapat memutuskannya. Bila pendapat
ketiga tersebut masih sulit dipilih biasanya kasus yang dihadapi adalah
kasus yang sangat sulit.
9. Keputusan second opinion terhadap terapi alternatif sebaiknya tidak
dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan pemahaman
tentang kasus yang berbeda dan latar belakang ke ilmuan yang berbeda.
10.Kebenaran ilmiah di bidang kedokteran tidak harus berdasarkan
senioritas dokter atau gelar yang disandang. Tetapi berdasarkan
kepakaran dan landasan pertimbangan ilmiah berbasis bukti penelitian di
bidang kedokteran (Evidance Base Medicine).
f. Permintaan second opinion dapat dilakukan oleh pasien atau wali pasien,
berlaku bagi pasien yang dirawat jalan, rawat inap dan IGD.
g. Prosedur Meminta Second Opinion :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit
2. Pastikan pasien sudah mendapatkan pendidikan yang benar mengenai
proses penyakit yang dideritanya dari DPJP
3. Hindari hal yang menyebabkan pasien/keluarga tidak tenang
4. Berikan penguatan terhadap informasi yang diberikan oleh tim kesehatan
lain dengan tepat
5. Jika pasien atau keluarga masih bingung dukung pasien untuk
mencari/mendapatkan second opinion sesuai kebutuhan dan indikasi
6. Jelaskan kepada pasien/keluarga tentang hal yang perlu dipertimbangkan
dalam meminta pendapat lain (second opinion)
7. Apabila keputusan mengambil pendapat lain telah disepakati, siapkan
formulir permintaan pendapat lain/second opinion dan rekam medis
pasien
8. Persilahkan pasien/keluarga mengisi formulir dengan lengkap dan
menandatanganinya.
9. Fasilitasi pasien untuk mendapatkan penjelasan second opinion dari
dokter dengan kompetensi yang sama. Berikan nomor telepon atau alamat
yang dapat dihubungi.
10. Pelayanan Do Not Resucitate (DNR)
1. Tindakan Do Not Resucitate (DNR) adalah suatu tindakan dimana apabila
pasien mengalami henti jantung atau henti nafas para medis tidak akan
dipanggil dan tidak akan melakukan usaha tindakan resusitasi jantung paru
dasar maupun lanjut
a. Jika pasien mengalami henti jantung/henti nafas segera lakukan
assessment untuk mengidentifikasi penyebab, potensi jalan nafas,
memeriksa kondisi pasien dan sebagainya. Tidak perlu melakukan
usaha tindakan resusitasi dasar dan lanjut
b. DNR tidak berarti semua tata laksana/penanganan aktif pasien
diberhentikan (misalnya pemberian terapi intravena, pemberian obat-
obatan) tetap dilakukan pada pasien dengan DNR
2. Henti jantung adalah suatu keadaan ketika jantung dengan alas an apapun
tidak memompa dengan efektif atau bahkan tidak memompa sama sekali
disertai tidak adanya denyut nadi yang teraba.
a. Hal ini dapat disebabkan karena adanya fibrilasi ventrikel, asistol atau
pulseless electrikel activity (PEA)
b. Untuk memperoleh hasil RJP efektif maka resusitasi harus dilakukan
sesegera mungkin
c. Jika pasien ditemukan tidak bernafas, tidak ada denyut jantung, pupil
midriasi maksimal hal ini bukanlah henti jantung dan tidak perlu
dilakukan resusitasi.
3. Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah salah satu rangkaian tindakan
penyelamatan nyawa untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien henti
jantung mendadak. RJP dapat diberikan pada pasien yang tiba-tiba
terjatuh/tidak sadar, tidak bernafas atau bernafas tidak normal (gasping) serta
tidak ada tulisan DNR di status rekam medis.
4. Fase/penyakit terminal adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
cedera/penyakit yang menurut perkiraan dokter/tenaga medis lainnya tidak
dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang singkat dan dimana
pengaplikasian terapi untuk memperpanjang/mempertahankan hidup hanya
akan berefek dalam memperlambat proses penderitaan/sekarat pasien.
5. Panduan Do Not Resusitation (DNR) ini digunakan sebagai panduan bagi para:
1. Team Medis (Dokter, DPJP, Perawat)
2. Petugas Ambulance, jika pasien ditransfer ke unit pelayanan kesehatan
lainnya.
6. Panduan digunakan untuk:
1. Menghormati keinginan pasien dan keluarganya
a. Kecuali perintah DNR dituliskan oleh dokter untuk seorang pasien,
maka dalam kasus-kasus henti jantung dan henti napas, tenaga
emergensi wajib melakukan tindakan resusitasi
b. Ketika memutuskan untuk menuliskan perintah DNR, dokter tidak
boleh mengesampingkan keinginan pasien maupun walinya
c. Perintah DNR dapat dibatalkan (atau gelang DNR dapat dimusnahkan)
2. Kriteria DNR
a. Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten
mengambil keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya,
atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat
diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh
pengadilan, atau oleh surrogate decisionmaker
b. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi
bahan diskusi perihal DNR dengan pasien/walinya:
1) Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan
rendah atau CPR hanya menunda proses kematian yang dialami
2) Pasien tidak sadar secara permanen
3) Pasien berada pada kondisi terminal
4) Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian
dibanding keuntungan jika resusitasi dilakukan
7. Prinsip DNR:
1. Harus ada tetap anggapan untuk tetap melakukan resusitasi kecuali sudah
ada keputusan baik secara lisan dan tulisan untuk tidak melakukan
resusitasi
2. Keputusan tindakan DNR harus dicatat pada rekam medis pasien
3. Pasien harus diberikan informasi sejelas-jelasnya tentang kondisi dan
penyakit serta kemungkinan terjadinya henti nafas/henti jantung dan
kemungkinan adanya tindakan DNR yang akan dilakukan
4. Informasi diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien dengan
menggunakan teknik komunikasi yang baik
5. RJP sebaiknya tidak dilakukan apabila:
b. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan
pasien
c. Pasien dewasa, yang kompeten mental dan memilki kapasitas untuk
mengambil keputusan menolak untuk dilakukan usaha RJP
d. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai
pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP
e. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan
alas an kuat
f. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal, dimana tindakan
RJP tidak dapat menunda fase terminal dan tidak member keuntungan
terapetik (risiko/bahayanya melebihi keuntungannya)
6. Keputusan melakukan DNR harus merupakan langkah terbaik bagi pasien
dan sudah didiskusikan dengan pasien
7. Di status rekam medis pasien harus tercantum data-data:
a. Tulisan “pasien ini tidak dilakukan resusitasi”
b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan
c. Indikasi/alasan tindakan DNR
d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR
e. Nama dokter penanggungjawab pasien
f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang
mengambil keputusan)
8. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan
instruksi DNR, misalnya: keganasan fase terminal.
9. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan
tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.
8. Keputusan Dini/Awal
1. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien
(autonomi)
2. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi/penanganan
lainnya, seperti pemberian obat-obatan, cairan infuse, dan lain-lain
3. Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan
4. Berikut adalah beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan
pasien:
a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin
mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya
b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat
mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien
c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan
dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien
menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta
menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga
membahas mengenai manjemen paliatif dan prognosis secara
keseluruhan.
5. Berikut adalah beberapa kondisi di mana tidak perlu dilakukan diskusi
dengan pasien:
a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya/sia-sia
b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya
pasien menjadi depresi
c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak
ingin mendiskusikan hal tersebut
d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase
sekarat/terminal dari penyakitnya
e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil
keputusan
6. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan
tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan di
bawah ini:
a. Usia pasien harus > 18 tahun
b. Pasien harus kompeten dan memilki kapasitas yang baik secara mental
untuk mengambil keputusan
c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien
sendiri atau keluarga/kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus
dicatat dalam rekam medis
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:
e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh
pembuat keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain/terpisah, yang
menyatakan bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk
tindakan/penanganan spesifik, bahkan jika terdapat risiko kematian
f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus
ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien)
7. Diskusikan antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini
harus atas izin pasien
8. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan
keluarga/wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan
keinginan pasien. Jika tidak terdapat keluarga/wali yang sah, keputusan
dapat diambil oleh dokter penanggungjawab pasien.
9. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk
mengambil keputusan tetapi telah membuat “keputusan dini DNR”
sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.
10. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,
jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsiten terhadap
keputusan dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas
keputusan tersebut (misalnya pasien pindah agama)
b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut
dapat mempengaruhi keptusan pasien (misalnya, perkembangan terkini
dalam tatalaksana pasien yang secara drastic mengubah prospek
kondisi tertentu pasien)
c. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi
d. Terdapat perdebatan/perselisihan mengenai validitas keputusan
dini/awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan
11. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan,
paramedic harus bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik
untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.
12. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada
tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa
instruksi tersebut ada.
13. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan
14. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang
nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit/analgesic, manajemen gejala-
gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak nafas, muntah,
inkontinensia), dan manajemen hygiene/kebersihan diri pasien
15. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas
sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga
dibawa ke komisi etik
9. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif
1. Tindakan pembedahan dan anestesi turut konstribusi dalam perubahan
kondisi medis pasien dengan kuptusan DNR sebelumnya dikarenakan
adanya perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan resiko pasien.
2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional maupun umum), akan
menimbulkan instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan
dukungan/penanganan medis.
3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan di ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ini ditetapkan).
Angka keberhasilan RJP di kamar operasi ini dapat mencapai 92%.
4. Melihat dari hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan peninjauan ulang
keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anaestesi dan pembedahan.
5. Rekomendasi:
1) Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur
pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan
anestesiologinya.
2) Lakukan peninjauan ulang keputusan DNR oleh anestesiologi dan
dokter bedah dengan pasien, wali, keluarga, atau dokter
penanggungjawab pasien (jika diindikasikan) sebelum melakukan
prosedur anestesi dan pembedahan.
3) Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama
prosedur anestesi dan pembedahan.
4) Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu:
I. Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani
anestesi dan pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien
keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalni pembedahan dan
anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti jantung/nafas.
II. Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan
pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan/sesuai
dengan pemberian anestesi.
Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor
intraoperatif lainnya
Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan
pernafasan dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan; dan
dengan pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara
spontan di akhir prosedur.
Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk
mengkoreksi stabilitas kardiovaskuler yang berhubungan
dengan pemberian anestesi dan pembedahan
Penggunaan kardioversi atau defibrillator untuk mengkoreksi
aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien/wali
sahnya.Lakukan juga diskusi mengenai pemberian kompresi
dada.
III. Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada
perubahan)
Pada beberapa kasus pilihan ini tidak sesuai dengan
pemberian anestesi umum dalam pembedahan
Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan
tetap mempertahankan keputusan DNR-nya
Anestesiologi harus berdiskusi dan membuat kesepakatan
dengan pasien/wali sah mengenai intervensi apa saja yang
diperbolehkan, seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan
intravena, sedasi, analgesic, obat vasopressor, obat anti-
aritmia, oksigenasi, atau intervensi lainnya.
5) Pilihan yang disepakati harus dicatat dalam rekam medis pasien
6) Pilihan DNR ini dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang
terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang
pemulihan.
7) Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke
ruang rawat inap.
10. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi
operatif pada pasien dengan keputusan DNR adalah:
a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya: feeding tube)
b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan
penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut)
c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit
kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses
terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif)
d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur dan kolum
femur)
e. Prosedur untuk menyediakan akses vaskuler
11. Pada situasi emergensi:
a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang
mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan
atau resusitasi
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi
adanya keputusan DNR dini.awal yang telah dibuat sebelumnya (jika
memungkinkan)
12. Fase pre-operatif:
a. Lakukan diskusi antara pasien/wali sah, keluarga, anestesiologi,
dokter bedah, dokter penanggungjawab pasien, dan perawat
b. Lakukan asesmen meliputi:
i. Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi
pasien
ii. Intervensi pembedahan yang diperlukan
iii. Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk:
Durasi/batas waktu berlakunya keputusan tersebut
Siapa yang bertanggungjawab menetapkan keputusan tersebut
Alasan keputusan tersebut dibuat
iv. Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien
ini perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangkan dari
sudut pandang pasien, keluarga, dokter bedah, dan anestesiologi)
v. Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasan
tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase
peripoeratif, lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka
dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien
vi. Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, dicatat dalam
rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang
terlibat, dan cantumkan tanggal keputusan dibuat.
vii. Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat
dan kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani
pembedahan.
14. Fase intra-operatif
a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi
b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk
menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum
ditransfer ke kamar operasi
c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan
keputusan DNR yang diambil
d. Dokter bedah dan anestesiologi yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif
harus hadir selama prosedur berlangsung.
15. Fase pasca-operatif
a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikan kepada petugas di ruang
pemulihan
b. Pilihan ini akan tetap berlaku hinggap pasien dipulangkan/dipindahkan
dari ruang pemulihan
c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat
pasien dari ruang pemulihan ke perawat di ruang rawat inap
d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang baras waktunya
hingga pasien telah ditransfer ke ruang rawat inap pasca operasi.
Misalnya: jika penggunaan infuse epidural/analgesic akan tetap dipakai
oleh pasien pasca-operasi
e. Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan
DNR yang dijadwalkan untuk menjalani operasi.
16. Keputusan DNR Pada Pediatrik
a. Pada pasien anak (<18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien
b. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai
kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP, rekomendasi mengenai RJP
dan DNR
c. Pertimbangkan juga kondisi emosional dan tumbuh kembang pasien anak
d. Instruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali
pada kondisi berikut ini: Jika RJP dianggap membahayakan pasien atau
bersifat non-terapeutik.
e. Di rekam medis, harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua
pasien. Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang
terlibat, dan orang tua pasien
f. Pada kasus tertentu, dimana orang tua tetap meminta dilakukan RJP
meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RJP
membahayakan pasien/bersifat non-terapeutik, orang tua diperbolehkan
mencari pendapat ekspertise lainnya (second opinion) atau (jika orang tua
meminta) diperbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien
memungkinkan untuk di-transfer.
g. Jika masih belum sitemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang
tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis
untuk menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti
tercantum di bawah ini:
1 Tim medis harus mengkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan
diantara anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien
2 Minta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second opinion)
mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat
non-terpeutik/membahayakan
3 Jika secnd opinion ini mengandung keputusan DNR, salah seorang
anggota tim medis harus menghubungi Komisi Etik untuk
menjadwalkan konsultasi etik.
4 Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis
harus memberitahukan/melaporkannya kepada Kepala Bidang
Pelayanan dan Lembaga Hukum
5 Jika Kepala Bidang Pelayanan setuju dan Lembaga Hukum
menyatakan bahwa keterlibatan secara hokum tidak diperlukan, orang
tua harus diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam
medis pasien
6 Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang
tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer
pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien
7 Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR
akan dituliskan di rekam medis pasien.
17. Re-asesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur
anestesi dan pembedahan
a. Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjani prosedur anestesi
dan pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi
perawatan atau mengurangi nyeri
b. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara
signifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan
re-evaluasi mengenai instruksi DNR
c. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar
operasi/selama anestesi berlangsung
d. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tua menginginkan adanya
pembatasan usaha resusitasi yang digunakan sepanjang periode peri-
operatif
e. Pemberian anestesi sendiri melibatkan beberapa prosedur yang dapt
dianggap sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya
pemasangan kateter intravena, pemberian cairan dan obat-obatan
intravena, dan manjemen jalan napas dan ventilasi pasien
f. Anestesiologi harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tua, menilai
ulang status DNR sebelum dilkukan prosedur pembedahan, dan
mengkumunikasikan hasil diskusi dengan perawatan pasien selama
periode intra-operatif dan pasca-operatif
g. Terdapt 3 pilihan instruksi DNR sebelum prosedur anestesi/pembedahan:
i. Pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika
terjadi henti napas/jantung, dilakukan usaha resusitasi
sepenuhnya)
ii. Pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur).
Pasien dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur
spesifik, yaitu: kompresi dada, kardioversi.
iii. Pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien
dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi
dianggap bersifat sementara dan recersibel, berdasarkan
pertimbangan dokter bedah dan anestesiologi.
h. Didokumentasikan dalam rekam medis pasien
i. Saat pasien keluar/dipindahkan dari ruang pemulihan, instruksi DNR ini
harus ditinjau ulang
j. Jika pasien/orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan instruksi
DNR selama menjalani prosedur anestesi/pembedahan, dokter boleh
menolak untuk berpartisipasi dalam kasus ini pasien/keluarga harus
mencari dokter lain yang bersedia untuk merawat pasien.
18. Panduan Gelang/Stiker DNR
a. Gelang/stiker DNR merupakan satu metode identifikasi pasien yang
memiliki instruksi DNR yang valid
b. Gelang/stiker ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan
medis dengan atau tanpa adanya formulir instruksi DNR
c. Gelang/stiker ini harus:
d. Pasien/wali sahnya dapat meminta gelang/stiker DNR ini dari rumah sakit
tempat pasien berobat dengan membawa formulir DNR tertulis.
e. Rumah sakit akan menyimpan salinan formulir instruksi DNR
f. Rumah sakit akan bertanggungjawab dalam :
Memberikan gelang/stiker DNR kepada pasien berdasarkan formulir
tertulis DNR yang ada
Melengkapi tulisan di gelang/stiker DNR : nama pasien, nama dokter,
dan tanggal pembuatan instruksi DNR
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan
dan maksud dari instruksi DNR ini.
g. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara:
Melepas gelang/stiker DNR
Menyatakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR
Menghancurkan/menyobek instruksi tertulis DNR
h. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir
dan rumah sakit tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam
medis pasien.
Gambar Alur. 1
Tidak Selesai
Lapor. Ka.Ruang/Inst/Unit/Supervisor
Selesai
Penanganan Keluhan
Tidak Selesai
Tidak Selesai
Selesai
Penanganan Keluhan
Tidak Selesai
Selesai
Penanganan Keluhan
Tidak
Selesai Proses Mediasi
Lapor padaBupati
Gambar Alur 2.
Alur Penyampaian Keluhan/ Komplain Pada Direktur dan
Dewan Pengawas :
Identifikasi Keluhan
Tanggapi penyampaian keluhan Menanggapi dan
Tidak
dan sampaikan bahwa keluhan menjawab keluhan Berat
akan ditindaklanjuti
Berat
Dokumentasi
Tanggapi penyampaian keluhan
dan sampaikan bahwa keluhan
akan ditindaklanjuti
Gambar Alur 3.
Alur Penyampaian Keluhan Melalui
Lembar Saran Dan Kritik :
Tim PKRS
Dokumentasi Penyelesaian
Eksternal
Gambar Alur 4.
Alur Pengelolaan Keluhan melalui Media
Internet :
Tanggapi penyampaian
keluhan
Pencatatan Keluhan
Tim PKRS
Penyelesaian
eluarga dak lagi melanjutkan perawatan di Rumah Sakitn sendiri (APS)tuk pulangri RS atasDokumentasi
Eksternal
6) Pengelolaan Keluhan Melalui Media Massa, Media cetak/ elektronik atau media
lainnya selain yang sudah disebutkan diatas, masih banyak media yang dapat
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan saran kritik ataupun keluhan
seorang pasien kepada rumah sakit. Misal ketika pasien kecewa dengan
layanan rumah sakit, mereka berhak untuk mengutarakan kekecewaan
mereka melalui media massa berupa tabloid atau koran.
Berikut pengelolaan rumah sakit terhadap keluhan pasien yang disampaikan
melalui media lainnya :
a) Petugas melapor pada Tim PKRS
Keluhan yang disampaikan melalui Media Massa, Media cetak/ elektronik
atau media lainnya tidak selalu dibaca atau diketahui langsung oleh
petugas PKRS. Maka, rumah sakit memberikan himbauan kepada seluruh
petugas apabila mengetahui berita terkait keluhan dari pasien untuk RSUD
Bima maka diharapkan berita tersebut dilaporkan kepada Tim PKRS untuk
ditindaklanjuti.
b) Tim PKRS mencatat laporan tersebut pada Lembar Register Komplain dan
disampaikan kepada Direktur dan Tim SPI
c) Direktur mengidentifikasi berita mengenai keluhan tersebut, apakah
keluhan tersebut tergolong tidak berat atau berat.
1) Jika tidak berat, maka :
(a) Direktur dapat menanggapi dan membalas keluhan yang
disampaiakan tersebut
(b) Direktur mendokumentasikan keluhan tersebut pada lembar
Regsiter Komplain Di RSUD Bima, Direktur menyerahkan lembar
tersebut kepada Tim Pengaduan RS dan Tim SPI (Satuan Pemeriksa
Internal) untuk diarsipkan sebagai data
2) Jika berat, maka :
(a) Direktur dapat menanggapi penyampaian keluhan tersebut tanpa
harus membalas dari inti keluhan yang disampaiakan
(b) Direktur menyampaikan keluhan tersebut kepada Kepala Bidang
dan Unit yang bersangkutan
(c) Kepala bidang dan Unit terkait bekerja sama dalam melakukan
tindak lanjut berupa penyelidikan terhadap keluhan yang muncul
(d) Hasil penyelidikan keluhan didokumentasikan pada Lembar Regsiter
Komplain dan dilaporkan pada saat Forum Mutu Terbatas
(e) Pada Forum Mutu Terbatas , terbagi menjadi Forum Mutu Terbatas
sempit dan luas. Pada Forum Mutu Terbatas luas dapat dihadirkan
beberapa bagian atau orang yang bersangkutan dengan keluhan
tersebut sesuai dengan kebijakan Direktur, serta didiskusikan
beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut
penyelesaian keluhan
(f) Hasil diskusi yang dilakukan pada Forum Mutu Terbatas
dinotulensikan dan dilakukan tindak lanjut berupa penyelesaian
terhadap keluhan
(g) Penyelesaian didokumentasikan secara lengkap
(h) Penanganan keluhan diselesaikan maksimal 3 x 24 jam sejak
keluhan tersebut disampaikan
Gambar Alur 5.
Alur Pengelolaan Keluhan/ Komplain melalui Media
Massa, Media cetak/ elektronik atau media lainnya:
Petugas Pembaca Keluhan di Media Massa, Media cetak/ elektronik atau media lainnya
Pencatatan Keluhan
Identifikasi Keluhan
Tidak Berat
Menanggapi dan
menjawab keluhan
Berat
Dokumentasi Tanggapi penyampaian keluhan
dan sampaikan bahwa keluhan
akan ditindaklanjuti
b) RSUD Bima dalam mendukung hak pasien untuk pelayanan menjelang akhir
hayat melalui:
Asesemen pasien terminal atau menjelang akhir hayat sesuai yang tertera
dalam formulir asesmen pasien terminal
Memberikan pelayanan atau perawatan sesuai kebutuhan pasien pada
hasil asesmen
Melaksanakan pelayanan pasien terminal dengan penuh hormat.
BAB IV
DOKUMENTASI
Dokumentasi hak dan kewajiban pasien yang terdapat dalam dokumen rekam medik
sebagai berikut :
1. Formulir Persetujuan Umum (General Consent)
2. Formulir Persetujuan Tindakan (Inform Consent)
3. Formulir Persetujuan Anastesi
4. Formulir Penolakan Tindakan
5. Formulir Permintaan Privasi
6. Formulir Penyimpanan dan Pengembalian Harta Benda Pasien
7. Formulir Pulang APS (Atas Permintaan Sendiri)
8. Formulir Edukasi Terintegrasi
9. Formulir Permohonan Second Opinion
10. Formulir Permintaan Pelayanan Kerohanian
11. Formulir Asesmen Pasien Terminal
12. Register pelayanan kerohanian
13. Register Komplain
14. Register pasien dengan resiko kekerasan
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BIMA
TENTANG PENETAPAN KELOMPOK PASIEN BERESIKO
KEKERASAN DI RUMAH SAKIT UMUM (RSUD) BIMA
Kesatu Menetapkan kelompok pasien beresiko kekerasan sebagaimana
tercantum dalam lampiran keputusan ini
Kedua Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian
hari terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam keputusan ini akan
diperbaiki sebagaimana mestinya
Ditetapkan di : Raba - Bima
Pada Tanggal : Oktober 2022
Direktur RSUD Bima,