Buku ajar ini telah penulis susun secara maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan buku ajar ini.
Penulis juga menyadari bahwa buku ajar ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi materi, bahasa dan lainnya. Oleh karena itu,
dengan keterbatasan yang penulis miliki, dengan lapang dada dan tangan
terbuka penulis mempersilahkan bagi pembaca yang ingin memberikan
saran dan kritik kepada penulis, sehingga penulis dapat memperbaiki
buku ajar ini di masa yang akan datang.
Rangkuamn .....................................................................................................16
Glosarium .....................................................................................................17
Rangkuaman ....................................................................................................28
Glosarium ....................................................................................................29
Rangkuman ....................................................................................................39
Glosarium ....................................................................................................40
Bab 4 Ragam Bahasa ........................................................................................41
Rangkuman ....................................................................................................53
Glosarium ....................................................................................................54
Rangkuman ....................................................................................................69
Glosarium ..................................................................................................................71
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup
sendiri, tetapi manusia membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya.
Dalam kehidupan sosial, tentu memerlukan adanya suatu interaksi. Salah satu
alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi adalah bahasa. Bahasa merupakan
alat komunikasi sosial yang berupa sistem simbol bunyi yang dihasilkan dari
ucapan manusia. Bahasa digunakan untuk mempermudah manusia dalam
menyampaikan pikiran, gagasan, ataupun perasaan. Bahasa lahir berbeda-beda
sesuai dengan daerahnya sehingga muncul bahasa yang beraneka ragam.
Page | 1
A. Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk
berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa Indonesia merupakan
salah satu identitas nasional bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia perlu dijaga dan dilestarikan oleh segenap masyarakat
Indonesia.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah sebuah
variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu Riau, tetapi telah mengalami perkembangan akibat penggunaanya
sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan pada awal abad ke-20.
Sampai saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup dan terus
berkembang dengan pengayaan kosakata baru, baik melalui penciptaan
maupun melalui penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu
(bahasa Melayu Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan. Hal itu dapat
diketahui, dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di
Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut. Prasati tersebut
di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit
berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M
(Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan
Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan
huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Pada saat itu, bahasa Melayu
yang digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta. Sebagai
penguasa perdagangan, di Kepulauan Nusantara, para pedagangnya
membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa
Melayu walaupun dengan cara kurang sempurna.
Prasasti-prasasti yang juga tertulis di dalam Melayu Kuno terdapat
di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli, tahun 832) dan di Bogor (Prasasti
Bogor,tahun 942). Kedua prasasti di Pulau Jawa inilah yang memperkuat
dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu bukan saja dipakai di
Pulau Sumatera saja, melainkan juga dipakai di Pulau Jawa (Prasasti,
2016). Salah satu bukti dari isi tulisan bahasa Melayu Kuno di Prasasti
Kedukan Bukit sebagai berikut. (Collins, 2005).
“Swasti syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syklapaksa wulan
waisyaakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap
siddhayaatra di saptamie syuklapaksa wulan jyestha dapunta hyang
marlapas dari minanga taamwan . . .”
Page | 2
(Selamat! Pada tahun syaka 605 hari kesebelas pada masa terang
Bulan Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik perahu menjemput
Siddhayaatra. Pada hari ke tujuh, pada masa terang bulan Jyestha,
Tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan . . .)
Page | 3
tetapi juga secara leksikal. Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki
ribuan morfem leksikal dan stuktur gramatikal yang banyak dan rumit.
Penggunaan bahasa Jawa juga dipengaruhi oleh struktur budaya
masyarakat Jawa yang cukup rumit. Ketidaksederhaan itulah yang
menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih sebagai dasar
bagi bahasa Indonesia. Yang sangat menggembirakan adalah bahwa
orang-orang Jawa pun menerima dengan ikhlas kebedaraan bahasa
Melayu sebagai dasar bagi bahasa Indonesia, meskipun jumlah orang
Jawa jauh lebuih banyak daripada suku-suku lain.
Page | 4
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia
banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli,
Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka,
Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi
bahasa Indonesia.
Page | 5
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan
dan fungsi bahasa Indonesia.
5. Kongres bahasa Indonesia IV yang diselenggarakan di Jakarta pada
tanggal 21-26 November 1983. Kongres ini diselenggarakan dalam
rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum
di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada
semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
6. Kongres bahasa Indonesia V di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d.
3 November 1988 yang dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar
bahasa Indonesia dari dalam negeri dan peserta tamu dari negara
sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda,
Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
7. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d.
2 November 1993 yang diharidi 770 pakar bahasa Indonesia dalam
negeri dan 53 peserta tamu dari Australia, Brunei Darussalam,
Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea
Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-
Undang Bahasa Indonesia.
Page | 6
Pada tahun 1980-an ketika terjadi ledakan kegiatan ekonomi di
Indonesia, yaitu saat banyak produk asing masuk ke Indonesia, banyak
istilah asing masuk ke Indonesia. Istilah asing marak digunakan sehingga
pemerintah menjadi khawatir. Pada tahun 1995 terjadi pencanangan
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Nama-nama gedung,
perumahan dan pusat perbelanjaan yang berbau asing diganti dengan
nama yang berbahasa Indonesia.
Namun, di sisi lain angin reformasi yang muncul sejak tahun 1998
justru membawa perubahan buruk bagi bahasa Indonesia. Kerancuan
penggunaan bahasa Indonesia makin buruk kala itu. Penggunaan bahasa
asing kembali marak dan bahasa Indonesia sempat terpinggirkan. Pada
zaman reformasi salah satu pihak yang memiliki andil dalam
perkembangan bahasa Indonesia adalah media massa baik cetak maupun
elektronik. Seorang tokoh pers nasional, Djafar Assegaf, menuding
bangsa Indonesia tengah mengalami “krisis penggunaan Bahasa
Indonesia” yang amat serius. Media massa sudah terjerumus kepada
situasi “tiada tanggung jawab” terhadap pembinaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Media massa cenderung menggunakan bahasa asing
padahal dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Hal itu
menunjukkan penghormatan terhadap bahasa Indonesia sudah mulai
memudar. Penyebabnya, antara lain, adanya euforia reformasi yang
“kebablasan” dan tidak ada konsep yang utuh, sikap tidak percaya diri dari
para insan pers dan pemilik perusahaan pers karena mereka cenderung
Page | 7
memikirkan pangsa pasarnya, persaingan usaha antarmedia dan selera
pribadi.
Selain itu, saat ini bahasa Indonesia sudah mulai bergeser menjadi
bahasa kedua setelah bahasa Inggris ataupun bahasa gaul. Di kalangan
pelajar dan remaja sendiri lahir sebuah bahasa baru yang merupakan
pencampuran antara bahasa asing, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah.
Bahasa tersebut biasa disebut dengan bahasa gaul. Keterpurukan bahasa
Indonesia tersebut umumnya terjadi pada generasi muda. Bahkan sudah
ada beberapa kalangan yang beranggapan dan meyakini bahwa kaum
intelek adalah mereka-mereka yang menggunakan bahasa asing dalam
kehidupan sehari-hari mereka, baik yang total memakai bahasa asing
ataupun mencampuradukkan bahasa asing tersebut ke dalam bahasa
Indonesia. Maraknya penggunaan jejaring sosial atau media sosial seperti
sms, chating internet, dan alat-alat teknologi informasi dan komunikasi
menambah carutmarutnya bahasa Indonesia.
Page | 8
Indonesia hingga ke pelosok daerah semakin mudah dan berkembang
pesat. Bahasa Indonesia semakin dikenal masyarakat. Jika pada awalnya
masyarakat Indonesia yang terdiri dari multisuku, multietnis, multiras,
dan multiagama susah bergaul antarsesama karena terdapat perbedaan
bahasa, kini dengan meratanya penyerbarluasan bahasa Indonesia, maka
kendala komunikasi antaranggota masyarakat dapat diatasi. Hal ini
merupakan salah satu bentuk kemajuan dalam bahasa Indonesia.
Page | 9
karena mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari, meskipun bahasa Indonesia seadanya. Padahal,
penguasaan bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tingkat
masyarakaty melainkan juga mencerminkan karakter, budaya, sikap,
perilaku, dan jatidiri bangsa.
Page | 10
D. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Kedudukan diartikan sebagai status relatif bahasa sebagai sistem
lambang nilai budaya yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang
bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang
dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang
diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan
sebagai bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak
diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD
1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum ”Bahasa negara ialah Bahasa
Indonesia”.
1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
nasional. Kedudukan sebagai bahasa nasional tersebut dimiliki oleh
bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober 1928. kedudukan ini dimungkinkan oleh kenyataan bahwa
bahasa Melayu, yang mendasari bahasa Indonesia, telah dipakai
sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh
kawasan tanah air kita. Dan ternyata di dalam masyarakat kita tidak
terjadi persaingan bahasa, yaitu persaingan di antara bahasa daerah
yang satu dan bahasa daerah yang lain untuk mencapai kedudukan
sebagai bahasa nasional.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2)
lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa
yang berlatar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda, dan
(4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa
kebanggaan kita. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia
menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dijadikannya
pegangan hidup. Atas dasar itulah, bahasa Indonesia kita pelihara
dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga dalam memakai bahasa
Indonesia wajib kita bina terus. Rasa bangga merupakan wujud sikap
positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif itu terungkap jika
Page | 11
lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa atau
katakata asing.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat
menimbulkan wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini
dapat terjadi jika bangsa Indonesia selalu berusaha membina dan
mengembangkan bahasa Indonesia secara baik sehingga tidak
tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa
Inggris). Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa
Indonesia harus selalu ditingkatkan.
Percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam
berbahasa masih sering kita temukan, seperti contoh berikut ini.
Papan usaha : Anditya Tailor; Service Televisi.
Ujaran : ”Aku lebih suka belanja di supermarket daripada
di pasar tradisional”.
Page | 12
kesalahpahaman antarindividu antarkelompok tidak pernah terjadi.
Karena bahasa Indonesia pula kita dapat menjelajah ke seluruh
pelosok tanah air tanpa hambatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, bahasa Indonesia
memungkinkan berbagai suku bangsa mencapai keserasian hidup
sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan
identitas kesukuan dan kesetiaan pada nilai-nilai sosial budaya serta
latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan bahasa
nasional, kita dapat meletakkan kepentingan nasional kita jauh di
atas kepentingan daerah dan golongan kita.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula
melaksanakan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Jika
beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang merasa bahwa bahasa
Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang
halus, maka sekarang dapat kita lihat dalam kenyataan bahwa seni
sastra, baik yang tertulis maupun lisan, serta dunia perfilman kita
telah berkembang sedemikian rupa sehingga nuansa perasaan yang
betapa halus pun dapat diungkapkan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Kenyataan tersebut tentulah menambah tebalnya rasa
bangga kita akan kemampuan bahasa nasional yaitu bahasa
Indonesia.
Page | 13
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-
surat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan
kenegaraan lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditulis di dalam bahasa Indonesia. Pidato-
pidato, terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan di dalam
bahasa Indonesia. Hanya di dalam keadaan tertentu, demi
kepentingan komunikasi antarbangsa, kadang-kadang pidato resmi
ditulis dan diucapkan di dalam bahasa asing, terutama bahasa
Inggris. Demikian pula halnya dengan pemakaian bahasa Indonesia
oleh warga masyarakat kita di dalam hubungan dengan upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi
timbal balik antarpemerintah dan masyarakat berlangsung dengan
mempergunakan bahasa Indonesia.
Untuk melaksanakan fungsinya sebagai bahasa resmi
kenegaraan dengan sebaik-baiknya, pemakai bahasa Indonesia di
dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan perlu senantiasa
dibina dan dikembangkan, penguasaan Bahasa Indonesia perlu
dijadikan salah satu faktor yang menentukan di dalam pengembangan
ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru, kenaikan pangkat
baik sipil maupun militer, dan pemberian tugas-tugas khusus baik di
dalam maupun di luar negeri. Di samping itu, mutu kebahasaan siaran
radio dan televisi perlu pula senantiasa dibina dan ditingkatkan.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-
lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi di seluruh Indonesia kecuali di daerah-daerah
bahasa seperti daerah bahasa Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, dan Makasar. Di daerah-daerah bahasa ini bahasa daerah yang
bersangkutan dipakai sebagai bahasa pengantar sampai dengan
tahun ketiga pendidikan dasar.
Sebagai alat perhubungan tingkat nasional, bahasa Indonesia
dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat luas, alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, dan
juga sebagai alat perhubungan dalam masyarakat yang latar
belakang sosial budaya dan bahasa yang sama. Dewasa ini orang
sudah banyak menggunakan bahasa Indonesia apapun masalah yang
dibicarakan, apakah itu masalah yang bersifat nasional maupun
kedaerahan.
Page | 14
Sebagai alat pengembang kebudayaan nasional, ilmu
pengetahuan, dan teknologi, bahasa Indonesia adalah satu-satunya
bahasa yang digunakan untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional yang memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri. Di
samping itu, bahasa Indonesia juga dipekai untuk memperluas ilmu
pengetahuan dan teknologi modern baik melalui penulisan buku-buku
teks, penerjemahan, penyajian pelajaran di Lembaga-lembaga
pendidikan umum maupun melalui sarana-sarana lain di luar lembaga
pendidikan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia
merupakan bahasa terpenting di kawasan republik kita ini. Penting
tidaknya suatu bahasa didasari oleh tiga faktor, yaitu (1) jumlah
penuturnya, (2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai
sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya yang bernilai tinggi.
Penutur suatu bahasa yang berjumlah sedikit menutup
kemungkinan bahasa tersebut memiliki peranan yang penting.
Artinya, jika ada dua bahasa yang satu jumlah penuturnya sedikit
dan bahasa yang satu memiliki jumlah penutur yang banyak, maka
bahasa dengan jumlah penutur sedikit akan kurang mendapat
perhatian dari penutur lainnya.
Luas penyebaran suatu bahasa menunjukkan banyak hal.
Pertama, bahasa tersebut banyak disenangi oleh pengguna. kedua,
bahasa tersebut mudah dipelajari dan enak digunakan. Ketiga,
masyarakat penggunanya adalah orang-orang yang memiliki wibawa,
prestasi dan prestise yang tinggi sehingga masyarakat dari luar
bahasa itu berasal akan merasa bangga jika menggunakan bahasa
tersebut.
Sebuah bahasa menjadi sangat penting jika memiliki fungsi
atau selalu digunakan dalam penyebaran ilmu pengetahuan, sastra,
dan teknologi. Hanya orang-orang terpelajar yang selalu berusaha
menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan baik sastra
maupun teknologi. Tidak dapat dibayangkan jika bahasa yang
berfungsi sebagai pengembang ilmu pengetahuan tersebut tidak ada.
Page | 15
RANGKUMAN
Page | 16
GLOSARIUM
Page | 17
BAB 2
HAKIKAT BAHASA, PERAn SERTA FUNGSI BAHASA
Pendahuluan
Dalam berkomunikasi, bahasa memiliki peranan yang sangat penting.
Informasi apapun yang tersampaikan memerlukan bahasa. Bahasa menjadi salah
satu alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, baik secara lisan
maupun tertulis. Tanpa bahasa, kita akan sulit berkomunikasi dan
menyampaikan maksud ataupun tujuan kita kepada orang lain. Bahasa
mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan
seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat
mengekspesikan dirinya.
Page | 18
A. Hakikat Bahasa
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial tentu dengan
tujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang
paling lemah dibandingkan dengan makhluk yang lain, tetapi juga makhluk
paling sempurna karena kelebihankelebihan atas kuasa-Nya. Salah satu
kelebihan manusia adalah akal budi yang melekat pada setiap insan. Akal
budi manusia dapat digunakan dan diberdayakan dengan bantuan bahasa.
Dalam konteks itu, bahasa berfungsi sebagai media untuk berpikir dan
bernalar. Boleh dikatakan bahwa tanpa bahasa, manusia tidak dapat
berpikir.
Pada hakikatnya bahasa adalah bunyi ujar atau lisan. Hal ini dapat
dijelaskan dengan menggunakan fakta sejarah bahwa orang atau
kelompok orang (masyarakat) sejak dahulu kala telah dapat melakukan
komunikasi dengan menggunakan bahasa yang telah disepakati bersama
secara lisan. Bahasa tulis baru datang kemudian setelah muncul para ahli
linguis yang menciptakan lambang-lambang tulis yang juga didasari atas
kesepakatan bersama. Kesepakatan masing-masing kelompok/lingkungan
masyarakat penggunan bahasa tersebut.
Bahasa memiliki sistem. Bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan disusun
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh kelompok masyarakat
pengguna bahasa tersebut. Contoh, suatu masyarakat (sebut saja sebagai
kelompok A) menyusun bunyi yang berasal dari fonem-fonem /a/, /t/, /o/,
/s/ → [a t o s] dan memberi makna ‘keras’, namun ada pula kelompok
masyarakat lain (kelompok B) menyusun bunyibunyi yang sama [a t o s]
dengan makna yang berbeda, yakni ‘sudah’. Jika bunyi-bunyi tersebut
disusun menjadi [t s o a] masing-masing kelompok tersebut tidak akan
pernah mengenalnya dan tidak mengerti maknanya karena di dalam
kelompok mereka tidak pernah ada kesepakatan susunan bunyi atau
sistem bunyi seperti itu. Jadi, sistem bahasa suatu masyarakat terbentuk
dari masyarakat penggunanya.
Bahasa itu bermakna. Konsep ini berkaitan dengan konsep tentang
sistem bahasa di atas. Artinya, bunyi-bunyi yang disusun secara teratur
berdasarkan kesepakatan tersebut diberi makna sehingga dapat dipahami
oleh pengguna. Bunyi-bunyi yang disusun tidak berdasarkan sistem tidak
akan bermakna. Sebagai contoh, silakan Anda baca susunan bunyi-bunyi
bahasa Indonesia berikut ini: ‘uukbiiniilkmsyaa’. Bagaimana? Dapat
dipastikan bahwa tidak ada satu orang Indonesia pun yang memahami
bunyibunyi bahasa yang disusun seperti itu. Itu berarti bahwa susunan
Page | 19
bunyi-bunyi bahasa seperti itu tidak bersistem. Jika bunyi-bunyi itu
disusun sesuai dengan sistem bahasa Indonesia maka akan menjadi ‘buku
ini milik saya’. Anda dapat memahami dan mengerti, apalagi jika disusun
sesuai dengan sistem atau kaidah penyusunan kalimat “Buku ini milik saya.”
Bahasa memiliki fungsi. Orang berbahasa karena ingin
mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam pikiran dan perasaannya.
Apakah sesuatu tersebut diungkapkan pada dirinya sendiri atau pada
orang lain? Perhatikan contoh ungkapan berikut ini.
Contoh:
1. ”Jika saya punya komputer, saya tidak perlu membayar orang untuk
mengetikkan makalah ini.” Ungkapan ini diujarkan seseorang kepada
dirinya sendiri. Pikiran tersebut merupakan ide yang diperuntukkan
bagi dirinya.
2. “Bu besok di rumah saya ada acara, tolong siapkan 25 potong ayam
goreng dan 25 porsi nasi lalap ya.” Ujaran ini diungkapkan seorang
ibu kepada pengusaha rumah makan atau juru masak.
1. Plato
Pengertian bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan
perantaraan onomata (nama benda) dan rhemata (ucapan) yang
merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
2. Keraf
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
3. Wahyu Wibowo
Pengertian bahasa merupakan sistem simbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi yang bersifat arbitrer dan konvensional.
4. Finocchiarno
Bahasa adalah satu system simbol vokal yang arbitrer,
memungkinkan semua orang dalam satu kebudayaan tertentu, atau
orang lain yang telah mempelajari system kebudayaan tersebut
untuk berkomunikasi atau berinteraksi.
Page | 20
5. Pei & Gaynor
Mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem komunikasi dengan
bunyi, 4 yaitu lewat alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang
dari kelompok atau masyarakat tertentu dengan mempergunakan
simbol- simbol vokal yang mempunyai arti arbitrer dan konvensional
6. Ownes
Bahasa merupakan kode atau sistem konvensional yang disepakati
secara sosial untuk menyajikan berbagai pengetian melalui
berbagaisimbol sembarang (arbritrary symbol) dan tersusun
berdasarkan aturan yang ditentukan.
B. Sifat-Sifat Bahasa
Bahasa pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi memiliki kandungan
irama dan tempo. Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok di dalam
seni. Oleh sebab itu, bahasa memiliki sifat estetis atau indah.
Bahasa adalah bunyi-bunyi yang diujarkan oleh pengguna. Bahasa
dapat berkembang karena digunakan oleh manusia. Dengan kata lain,
bahasa bersifat manusiawi atau insaniah.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dengan akal budinya
manusia dapat mengubah-ubah susunan bunyi-bunyi bahasa tersebut
menjadi bunyi bahasa yang berbeda-beda. Perbedaan bunyi-bunyi itu
membuat bahasa menjadi produktif. Jadi selain manusiawi, bahasa juga
memiliki sifat produktif. Manusia yang berakal budi juga memiliki sifat
yang tidak suka pada sesuatu yang statis atau tetap. Manusia pada
umumnya selalu menginginkan sesuatu yang lain dari yang pernah
dimilikinya. Ada dinamika dan perubahan dalam kehidupan komunitas
pengguna bahasa, perubahan itu berdampak pada bahasa. Akibatnya
sangat jelas, bahasa memiliki sifat untuk berubah dan berkembang,
seperti yang terjadi pada perubahan makna. Kondisi demikian itu menjadi
bukti bahwa bahasa memiliki sifat dinamis.
Manusia memiliki karakter yang berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya. Perbedaan karakter ini menyebabkan orang menggunakan
bahasa secara berbeda pula. Perbedaan di dalam menggunakan bahasa
Page | 21
menyebabkan munculnya ragam atau varian bahasa. Dengan demikian,
bahasa memiliki sifat variatif.
Bahasa memiliki sistem yang disepakati oleh penggunanya sebagai
konvensi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa bahasa bersifat
konvensional atau kesepakatan. Bahasa memiliki makna. Sebagai bunyi,
bahasa adalah bunyi-bunyi yang bermakna yang dilandasi dengan sistem
yang berlaku dalam bahasa tersebut. Bahasa memiliki fungsi, karena
bahasa digunakan manusia untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain,
bahasa adalah alat komunikasi.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, diketahui bahwa bahasa
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Bahasa sebagai Sistem
Bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan disusun berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh kelompok masyarakat pengguna
bahasa tersebut.Bahasa memiliki sistem tertentu di dalamnya.
Komponen-komponen yangterdapat di dalam suatu sistem bahasa harus
tersusun secara teratur supaya dapat dimengerti oleh penutur dan
lawan penuturnya. Dalam Bahasa Indonesia, komponenkomponen
tesebut berupa Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), dan Keterangan
(K). Unsur-unsur bahasa diatur, seperti pola yang berulang. Kalau salah
satu bagian terdeteksi maka keseluruhan bagiannya dapat diramalkan.
Misalnya, kita menemukan kalimat Nenek sedang …, kue … dapur, kita
akan dapat menerka bunyi keseluruhan kalimat itu. Oleh karena itu,
sebagai penutur bahasa Indonesia, kita dapat menerima kalimat :
(1.a) Bunga itu sangat indah,
(2.a) Kebaikan itu abadi,
(3.a) Kematiannya membuat warga kampung berduka; tetapi tidak
menerima kalimat
(1.b) Itu indah sangat bunga atau Uit abung ngasat dihan,
(2.b) Membaikan itu abadi,
(3.b) Kemampuannya berduka membuat warga kampung.
Page | 22
gemerincing atau kokok. Namun demikian, kata yang bersifat
onomatope itu tidak banyak jumlahnya. Jadi, penamaan sesuatu itu
(benda, sifat atau peristiwa) semata-mata hanya karena kesepakatan
sosial masyarakat penggunanya. Karena itulah bahasa bersifat
konvensional atau kesepakatan.
2. Bahasa merupakan Lambang
Bahasa itu merupakan sistem, maka dalam sifat ini adalah berupa
lambang-lambang yang berbentuk bunyi. Artinya, lambang-lambang
tersebut berwujud bunyi yang biasanya disebut sebagai bunyi bahasa.
Setiap lambang dari bahasa dapat melambangkan sesuatu yang
nantinya disebut dengan makna atau konsep.
3. Bahasa bersifat Arbitrer
Bahasa bersifat arbitrer artinya ‘mana suka’, sehingga dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara lambang bunyi dengan
yangdilambangkan itu tidak wajib, bisa berubah sewaktu-waktu, dan
tidak dapat dijielaskan mengapa lambang bunyi tersebut dapat
“mengonsepi” makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati
gambar berikut! Coba Anda tanya pada diri sendiri, mengapa benda
yang tercantum dalam gambar tersebut dalam bahasa Indonesia
dinamai (a) burung, (b) pohon, (c) matahari, dan (d) kursi? Sementara
itu, untuk benda yang sama dalam bahasa Inggris disebut dengan (a)
bird, (b) tree, (c) sun, dan (d) Chair. Jawaban Anda pasti, “Tidak tahu!
Sudah dari ‘sananya’, seperti itu.” Begitu, bukan? Anda betul karena
pada dasarnya tak ada alasan dan hubungan khusus antara nama dengan
benda atau objek yang dinamakannya. Memang ada beberapa kata yang
bersifat onomatopoe, artinya penamaan suatu objek atau peristiwa
berdasarkan ciri bunyi atau ciri lain yang dimilikinya, seperti cecak,
tokek, tekukur, gemerincing atau kokok. Namun demikian, kata yang
bersifat onomatope itu tidak banyak jumlahnya. Jadi, penamaan
sesuatu itu (benda, sifat atau peristiwa) semata-mata hanya karena
kesepakatan sosial masyarakat penggunanya. Karena itulah bahasa
bersifat konvensional atau kesepakatan.
4. Bahasa bersifat Konvensional
Dalam hal ini, setiap penutur suatu bahasa (manusia) harus
mematuhi adanya hubungan antar lambang dengan konsep yang
dilambangkannya. Apabila sang penutur suatu bahasa tidak memahami
hubungan tersbut, maka besar kemungkinan komunikasi yang tengah
dijalinnya akan terhambat.
Page | 23
5. Bahasa bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya bahasa dapat berkembang
dalam jumlah yang tidak terbatas. Sejalan dengan sifat bahasa yang
dinamis, satuan- satuan ujaran bahasa memiliki jumlah yang hampir
tidak terbatas. Contohnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
terdapat kurang lebih sekitar 23.000 buah kata, yang mana kata-kata
tersebut dapat pula dibuat menjadi banyak kalimat yang tidak
terbatas jumlahnya.
6. Bahasa bersifat Dinamis
Bahasa tidak akan terlepas dari adanya kemungkinan perubahan
yang terjadi sewaktu-waktu. Perubahan-perubahan tersebut dapat
terjadi pada semua tataran bahasa, mulai dari fonologis, morfologis,
sintaksis, semantik, hingga leksikon. Tataran bahasa yang paling jelas
kedinamisannya adalah pada leksikon. Pada setiap waktu tertentu,
akan ada kosakata baru yang bermunculan, kemudian kosakata lama
akan tenggelam dan tidak digunakan lagi, atau bahkan sebaliknya.
Sifat dinamis pada bahasa mengikuti sifat manusia yang selalu
potensial berubah. Akibatnya, tidak jarang unsur-unsur suatu bahasa
mengalami perubahan. Kita ambil contoh perubahan yang pernah
terjadi pada bahasa Indonesia. Dalam hal tatatulis, misalnya, sudah
tiga kali ejaan bahasa Indonesia mengalami perubahan, yaitu (1) ejaan
Vanopusen berubah menjadi (2) ejaan Suwandi, kemudian menjadi (3)
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), dan terakhir
adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
7. Bahasa itu Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola yang sama, tetapi
apabila disampaikan oleh penutur yang heterogen yang memiliki latar
belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa dapat
menjadi beragam. Beragam ini dapat dilihat dari tataran fonologis,
morfologism, sintaksis, dan leksikon.
8. Bahasa bersifat Manusiawi
Dalam hal ini bahasa yang bersifat manusiawi berarti bahasa
sebagai alat komunikasi verbal yang hanya dimiliki dan dituturkan oleh
manusia saja, sementara hewan dan tumbuhan tidak dapat
melakukannya. Meskipun hewan dapat berkomunikasi, tetapi tidak
serta-merta menggunakan bahasa manusia ini, melainkan menggunakan
bunyi atau gerak isyarat terhadap sesama hewan.
Page | 24
C. Peran Bahasa
Peran utama bahasa adalah memenuhi kebutuhan komunikasi di
antara sesama manusia. Selain itu dalam kehidupan manusia, bahasa juga
sangat berkaitan dengan perkembangan budaya.
Ada tiga (3) faktor yang menunjukkan peran bahasa dalam perkembangan
budaya, diantaranya :
1. Bahasa sebagai unsur budaya Setiap aktivitas dalam kehidupan
manusia, memiliki unsur bahasa di dalamnya. Maka untuk memahami
perkembangan suatu kebudayaan, terlebih dahulu perlu diteliti
perkembangan bahasa dalam masyarakatnya.
2. Bahasa sebagai penanda strasifikasi sosial Bahasa dapat menunjukkan
pola hubungan dan strasifikasi sosial di suatu masyarakat. Contohnya
dalam kebudayaan Jawa, anak berbicara dengan orang tua
menggunakan bahasa Jawa krama (bahasa halus). Sementara ketika
bercakap dengan sesama usianya, orang Jawa menggunakan bahasa
Ngoko (bahasa kasar).
3. Bahasa sebagai simbol budaya suku bangsa Bahasa dapat menunjukkan
simbol budaya di suatu suku bangsa. Hal ini terbukti dari keberadaan
logat atau dialek bahasa yang beragam dari berbagai suku bangsa. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan secara geografis dan pelapisan
lingkungan sosial antarsuku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat.
D. Fungsi Bahasa
Banyak ahli yang memberikan definisi tentang fungsi bahasa.
Dengan demikian, banyak pula definisi yang dapat kita ketahui. Untuk itu
mari kita lihat definisi-definisi yang diungkapkan kembali oleh
Soemarsono (2004) berikut ini.
1. Aristoteles dalam Soemarsono (2004: 58) menyatakan bahasa
adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia.
2. Karl Raemind Popper mengemukakan 4 fungsi bahasa.
a. Fungsi ekspresif, yaitu fungsi untuk mengungkapkan atau
menyatakan diri.
b. Fungsi sinyal, yaitu fungsi mereaksi, menjawab, atau memberi
tanggapan.
c. Fungsi deskriptif, yaitu fungsi yang mencakup kedua fungsi di
atas, hanya caranya memberi gambaran atau mendeskripsikan
secara rinci apa-apa yang akan disampaikan.
Page | 25
d. Fungsi argumentatif, yaitu fungsi bahasa dalam memberikan
alasan atau argument
3. Karl Bühler, seorang sarjana Jerman membedakan 3 fungsi bahasa.
a. Appel, yaitu fungsi memerintah.
b. Ausdrüch, yaitu fungsi untuk mengungkapkan suasana hati.
c. Darstellung, yaitu fungsi yang mengacu objek tertentu yang
berada di luar diri penutur
4. Halliday (Tomkins. G.E., dan Hoskisson. K. 1995) mengemukakan 7
fungsi Bahasa, yaitu:
a. Instrumental, bahasa digunakan sebagai alat untuk memperoleh
kebutuhan fisik.
b. Regulatori, bahasa digunakan untuk mengontrol atau
mengendalikan orang lain.
c. Interaksional, bahasa digunakan untuk berhubungan atau
bergaul dengan orang lain.
d. Personal, bahasa digunakan untuk mengungkapkan diri.
e. Heuristik, bahasa digunakan untuk mengungkapkan dunia di
sekitarnya atau mengutarakan pengalaman.
f. Imajinatif, bahasa digunakan untuk mencipta.
g. Informatif, bahasa digunakan untuk mengomunikasikan
informasi baru (Tim, 2007: 120).
Page | 26
1. Bahasa berfungsi untuk memperoleh kebutuhan fisik. Artinya, ketika
fisik kita memerlukan sesuatu, misalnya lapar, kita akan mengujarkan
“Saya mau makan.”
2. Bahasa berfungsi untuk mengontrol atau mengendalikan orang lain.
Misal, ketika sedang mendidik anak akan keluar ujaran “Ayo, dicuci
dulu tangannya, baru makan!
3. Bahasa berfungsi untuk berhubungan atau bergaul dengan orang lain.
Dalam hal ini bahasa digunakan sebagai fungsi sosial, dapat berupa
kata-kata sapaan “Selamat pagi, apa kabar?” dan sebagainya.
4. Bahasa berfungsi untuk mengungkapkan diri. Di sini seseorang dapat
memperkenalkan diri atau memberikan identitas diri dengan ujaran-
ujaran “Nama saya Eki, saya tinggal di Jalan Jamblang, saya bekerja
…”, dan seterusnya.
5. Bahasa berfungsi untuk mengungkapkan dunia di sekitarnya atau
mengutarakan pengalaman. Dengan bahasa, orang menceritakan
peristiwa atau kejadiankejadian yang pernah dialami, masa lalu, masa
kini, di berbagai lingkungan.
6. Bahasa berfungsi untuk mencipta. Orang dapat memanfaatkan bahasa
untuk mencipta, dapat berupa ide-ide kreatif atau berupa karya
sastra (cerita, puisi, drama).
7. Bahasa berfungsi untuk mengomunikasikan informasi baru. Dengan
bahasa orang dapat saling memberi informasi, apakah berupa berita
tentang peristiwa atau berupa ilmu dan teknologi.
Page | 27
RANGKUMAN
Pada hakikatnya bahasa adalah bunyi ujar atau lisan. Hal ini dapat
dijelaskan dengan menggunakan fakta sejarah bahwa orang atau kelompok
orang (masyarakat) sejak dahulu kala telah dapat melakukan komunikasi dengan
menggunakan bahasa yang telah disepakati bersama secara lisan.
Page | 28
GLOSARIUM
Page | 29
BAB 3
HAKIKAT DAN TEORI PEMEROLEHAN BAHASA,
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PEMEROLEHAN
BAHASA
Pendahuluan
Bahasa merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita. Istilah tersebut
setiap saat kita dengar, baca ataupun digunakan sebagai komunikasi secara
lisan maupun tertulis. Bahasa diperoleh dan dipelajari secara alamiah bagi anak-
anak untuk memenuhi kebutuhan dalam lingkungan. Bahasa mampu mengubah
dan mengontrol perilaku tidak hanya pada anak, tetapi tingka laku yang lain.
Bahasa juga memfasilitasi dan kadang-kadang bertanggung jawab untuk
pertumbuhan kognitif. Bahasa memiliki peran penting dalam perkembangan
intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Page | 30
A. Hakikat Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan
memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan hal itu, maka yang
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan
kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan,
secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan
dkk,1998)
Ada juga pendapat Kiparsky dalamTarigan (1998) mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh
anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan
orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan
paling sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Kemerdekaan bahasa ditunjukkan mulai sekitar usia satu tahun di
saat anak-anak mulai menggunakan kata-kata lepas ataukata-kata
terpisah dari sandi linguistik untuk mencapai tujuan sosial
mereka.Pengertian lain mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki
suatupermulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi kognitif
pra-linguistik (McGraw, 1987 ; 570). Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam pemerolehan bahasa :
1. Berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar tanpa beban
dan berlangsung di luar sekolah (lingkungan tempat tinggalnya).
2. Pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga-
lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus.
3. Dilakukan tanpa sadar atau secara spontan.
4. Dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa
yang bermakna bagi anak.
Page | 31
Monks dkk, 2001). Skinner memakai teori stimulus-respon dalam
menerangkan perkembangan bahasa, yaitu bahwa bila anak mulai
belajar berbicara yang merupakan bukti berkembangnya bahasa
anak, maka orang yang berada disekelilingnya memberikan repons
yang positif sebagai penguat (reinforcement). Dengan adanya
respon positif tersebut maka anak cenderung mengulang kata
tersebut atau tertarik mencoba kata lain. Dalam teori ini, Skinner
menekankan agar para pendidik PAUD untuk senantiasa
menghadirkan suasana kelas dengan latihan yang diberikan kepada
anak harus dalam bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban
(respons) yang dikenalkan melalui berbagai tahapan, mulai dari yang
sederhana sampai yang lebih rumit, contohnya sistem pembelajaran
drilling. Pada awalnya, anak akan memberikan respons pada setiap
pembelajaran dan dapat segera memberi repons. Pendidik perlu
memberikan penguatan terhadap hasil kerja anak yang baik dengan
pujian atau hadiah. Ahli lain, Albert Bandura mencoba menerangkan
dari sudut teori belajar sosial. Dia berpendapat anak belajar bahasa
karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini tidak mesti
harus menerima reinforcement sebab belajar model dalam
prinsipnya lepas dari reinforcement dari luar.
2. Teori Nativisme (Nativistic Approach)
Pelopor teori ini adalah Chomsky, seorang ahli linguistik. Ia
berpendapat bahwa bahasa sudah ada dalam diri anak, merupakan
bawaan lahir,telah ditentukan secara biologis, bersifat alamiah.
Pada saat seorang anak lahir, ia telah memiliki seperangkat
kemampuan berbahasa yang disebut Tata Bahasa Umum atau
Universal Grammar. Jadi dalam diri manusia sudah ada innate
mechanism, yaitu bahwa bahasa seseorang itu ditentukan oleh
sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia atau sudah diprogram
secara genetik. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak
tidak banyak mendapat rangsangan, anak tetap dapat
mempelajarinya. Anak tidak sekedar meniru bahasa yang
didengarkannya, tetapi juga mampu menarik kesimpulan dari pola
yang ada Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky
menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud
adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini
merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses
Page | 32
penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap
anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi
memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi
dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses,
yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat.
Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau
mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar,sedangkan proses
penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat
sendiri (Chaer 2003:167). Sejak lahir anak manusia sudah dilengkapi
dengan alat yang disebut dengan alat penguasaan/pemerolehan
bahasa (language acquisation device/LAD), dan hanya manusia yang
mempunyai LAD. LAD ini mendapatkan inputnya dari data bahasa
dari lingkungan. LAD ini dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak
yang khusus untuk mengolah masukan (input) dan menentukan apa
yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan
seterusnya. Meskipun kita tidak tahu persis tepatnya dimana LAD
itu berada karena sifatnya yang abstrak (invisible). Dalam bahasa
juga terdapat konsep universal sehingga secara mental telah
mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Tanpa LAD, tidak
mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat
dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga
memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan
bukan bunyi bahasa. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas
yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik,
mana yang dipencet itulah yang akan menyebabkan bola lampu
tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa
ditentukan oleh input dari sekitarnya, antara Nurture dan Nature
sama-sama saling mendukung. Nature diperlukan karena tanpa bekal
kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa dan nurture
diperlukan karena tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati
itu tidak akan terwujud (Dardjowidjojo, 2003). Teori ini
berpengaruh pada pembelajaran bahasa, di mana anak perlu
mendapatkan model pembelajaran bahasa sejak dini. Anak belajar
bahasa dengan cepat sebelum usia 10 tahun, apalagi menyangkut
bahasa kedua (second language). Usia lebih dari 10 tahun, anak
kesulitan dalam mempelajari bahasa.
Page | 33
3. Teori Kognitivisme
Munculnya teori ini dipelopori oleh Jean Piaget (1954) yang
mengatakan bahwa bahasa itu salah satu di antara beberapa
kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Jadi
perkembangan bahasa itu ditentukan oleh urutan-urutan
perkembangan kognitif. Perkembangan bahasa tergantung pada
kemampuan kognitif tertentu, kemampuan pengolahan informasi, dan
motivasi. Piaget (Mussen dkk., 1984) dan pengikutnya menyatakan
bahwa perkembangan kognitif mengarahkan kemampuan berbahasa,
dan perkembangan bahasa tergantung pada perkembangan kognitif.
Menurut Piaget struktur yang kompleks itu bukan pemberian alam
dan bukan sesuatu yang dipelajari dari lingkungan melainkan
struktur itu timbul secara tak terelakkan sebagai akibat dari
interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognisi anak
dengan lingkungan kebahasaannya. Menurut kaum kognitivisme
bahwa kemampuan pembelajar sudah terprogram secara biologis
untuk memiliki kemampuan kognitif dan proses belajar terjadi
dengan cara memetakan kategori linguistik ke dalam kategori
kognitif, serta apa yang dipelajari adalah tata bahasa sebuah
bahasa. Jadi, sebetulnya kaum kognitivisme berusaha
menggabungkan peran lingkungan dan faktor bawaan, namun lebih
besar ditekankan pada aspek berpikir logis (the power of logical
thinking). Urutan pemerolehan bahasa: menuranikan struktur aksi –
representasi kecerdasan – membentuk struktur linguistik. (Lebih
jelas lihat Chaer, 2003; hal, 178-179). Menurut teori kognitivisme,
yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif,
barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan
berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada.
Anak hanya memahami dunia melalui inderanya. Anak hanya mengenal
benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak
sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen
sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan
benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian
berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak
4. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan
bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental
pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu
Page | 34
berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan
kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah
memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai
tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara
otomatis. Sebenarnya,faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan
bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada
teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa anak telah ada
sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai
penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia
mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai
kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah
kecerdasan berbahasa. Aspek kebahasaan merupakan sarana dalam
berkomunikasi atau berinteraksi satu individu dengan individu
lainnya atau satu kelompok dengan kelompok lainnya, untuk
menyampaikan atau menerima suatu informasi.
Page | 35
D. Faktor-Faktor Pendukung Pemerolehan Bahasa
1. Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak
adalah otak (sistem syaraf), alat dengar dan alat ucap. Dalam proses
berbahasa, seorang anak dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang
berada pada otak. Pada belahan otak sebelah kiri terdapat wilayah
broca yang mempengaruhi dan pengontrol produksi bahasa seperti
berbicara. Pada bagian belahan otak bagian kanan terdapat wilayah
wernicke yang mempengaruhi dan mengendalikan penerimaan atau
pemahaman bahasa seperti menyimak. Dan diantara kedua belahan
otak tersebut terdapat wilayah motor suplementer yang berfungsi
mengendalikan unsur fisik penghasil ujaran.
2. Faktor Lingkungan Sosial
Lingkungan yang kaya sumber, mendukung dan aktif dalam
berinteraksi dengan anak, akan membuat pemerolehan bahasa anak
semakin beraneka dan cepat. Dukungan dan keterlibatan sosial begitu
penting bagi anak dalam berbahasa.
3. Faktor Inteligensi
Intelegensi merupakan kemampuan seorang berfikir atau
bernalar termasuk memecahkan masalah suatu masalah. Intelengensi
bersifat abstrak tidak dapat diamati langsung kecuali melalui sikap.
4. Faktor Motivasi
Motivasi itu bersumber dari dalam dan luar individu keluarga
sangat berperan sangat signifikan dalam memotivasi anaknya agar
mempunyai semangat hidup dan motivasi hidup. Selain keluarga
pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak
untuk membuatnya kian bergairah dalam belajar dalam aspek belajar
untuk hal apapun.
5. Stategi Pemerolehan Bahasa
Dalam mempelajari dan menguasai suatu bahasa anak-anak
cenderung lebih cepat daripada orang dewasa. Selama masa anak-anak
sampai dengan usia pubertas, otak berada dalam keadaan paling siap
untuk mempelajari bahasa tertentu. Usia hingga 12 ahun itu disebut
„periode penting‟ (Critical period). Disebut periode kritis karena Pada
usia tersebut berbagai piranti atau kelengkapan kebahasaannya telah
siap dan matang. Mereka dalam mempelajari dan menguasai suatu
bahasa pertamanya dengan cepat dan baik. Ternyata anak melakukan
Page | 36
strategi dalam belajar suatu bahasa, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Mengingat
Mengingat yaitu memainkan peranan yang cukup penting
dalam belajar bahasa. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui
anak, dicatat dalam benaknya. Ketika ia menyentuh, menyerap,
mencium, mendengar dan melihat sesuatu, memori anak
merekamnya. Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai
membangun pengetahuan tentang bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi
tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia dengar dan alami.
Ingatan itu semakin kuat apabila penyebutan peristiwa terjadi
berulang-ulang. Dengan cara inianak akan mengingat bunyi,
kombinasi bunyi atau kata, sekaligus cara mengungkapkannya.
Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-anak biasanya dibantu
oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh dan konteks.
Dalam komunikasi dengan anak, orang tua tanpa selalu disadari
biasanya melakukan penyederhanaan bahasa melalui cara tutur
yang pelan dan lembut, pengulangan atau modifikasi kata yang
mudah diingat dan digunakan anak.
2. Meniru
Dalam belajar bahasa anak menggunakan strategi peniruan.
Pada dasarnya, peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa
pengulangan yang persis atau yang didengarkannya. Mengamati
pengulangan tiruan yang dilakukan seorang anak dalam berbahasa.
Tuturan anak cenderung berubah, mungkin berupa pengurangan,
penambahan atau penggantian kata atau susunan kata dan
intonasinya. Setidaknya ada dua penyebab, penyebab pertama,
berkaitan dengan perkembangan otak dan alat ucap, penguasaan
kaidah bahasa, serta adanya masukan dari sumber lain. Dengan
demikian anak akan mengucapkan tuturan yang dikuasainya.
Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak.
Di satu sisi anak secara bertahap dapat memahami dan
menggunakan tuturan yang lebih rumit. Di sisi lain, secara
bersamaan anak pun membangun suatu sistem bahasa yang
memungkinkan dia mengerti dan memproduksi tuturan dalam
bentuk dan jumlah tak terbatas.
Page | 37
3. Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa
pertamanya adalah mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam
konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika
berkomunikasi dengan oang lain, maupun sewaktu sendirian. Dia
menyimak dan berbicara langsung dan memperoleh tanggapan dari
mitra bicaranya. Secara tidak sadar anak memperoleh masukan
tentang kewajaran dan ketepatan perilaku berbahasanya, dalam
waktu yang sama anak mendapat masukan dari tindakan
berbahasa. Anak melakukan kegiatan berbahasa dalam situasi
formal, tanpa disadari dan tanpa beban. Dan mencoba eksperimen
atau uji coba dalam berbahasa tanpa takut salah, untuk
memperkaya dan mempermantap sistem bahasa yang dipelajari.
Secara bertahap si anak mengubah, memperbaiki dan
menyimpulkan aturan bahasa sampai tuturan dirasakan benar.
Orang tua tidak boleh serta merta mengkritik atau
menyalahkannya aturan bahasa yang dipelajari.
4. Bermain
Dunia anak memang dunia bermain. Kegiatan bermain sangat
penting untuk mendorong pengembangan kemampuan berbahasa
anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang
dewasa, sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-
dagangan, ibu, bapak atau anak dalam bermain rumahrumahan,
sebagai dokter, perawat atau pasien, atau sebagai guru dan murid
dalam bermain sekolah-sekolahan. Tanpa disadari mereka sedang
bermain drama, sekaligus mereka berlatih berbicara dan
menyimak.
Page | 38
RANGKUMAN
1. Teori Behaviorisme
2. Teori Nativisme (Nativistic Approach)
3. Teori Kognitivisme
4. Teori Interaksionisme
Ragam Pemerolehan Bahasa dapat ditinjau dari berbagi sudut pandang, sebagai
berikut:
1. Berdasarkan bentuk:
2. Berdasarkan urutan:
3. Berdasarkan jumlah:
4. Berdasarkan media:
5. Berdasarkan keaslian:
1. Faktor Biologis
2. Faktor Lingkungan Sosial
3. Faktor Inteligensi
4. Faktor Motivasi
5. Stategi Pemerolehan Bahasa
1. Mengingat
2. Meniru
3. Mengalami Langsung
4. Bermain
Page | 39
GLOSARIUM
Page | 40
BAB 4
RAGAM BAHASA
Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional serta bahasa negara bangsa
Indonesia. Bahasa ini sudah dipakai oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu
jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Namun tidak semua orang
menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar. Bahasa diartikan
sebagai suatu sistem berupa bunyi atau lambang yang bersifat spontan.Bahasa
dapat menyampaikan pola pikiran untuk dipahami induvidu lain,sehingga lahirlah
ragam-ragam bahasa beserta karakteristiknya. Dimana ragam bahasa
merupakan varian dari sebuah bahasa menurut penggunaannya.Ragam bahasa
amat luas pemakaiannya dan bermacam-macam pula latar belakang
penuturnnya,mau tidak mau akan melahirkan sejumlah ragam bahasa yang
berbeda-beda.
Page | 41
A. Ragam Bahasa
Ketika berada pada tataran fungsi bahasa untuk mengekspresikan
diri dan sebagai alat komunikasi, bahasa tersebut termasuk ke dalam
ragam bahasa dan laras bahasa. Ragam bahasa adalah variasi bahasa
yang terbentuk karena pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa dibedakan
berdasarkan media yang digunakan, topik pembicaraan, dan sikap
pembicaranya. Di pihak lain, laras bahasa dapat dikatakan kesesuaian
antara bahasa dan fungsi pemakaiannya (KBBI). Fungsi pemakaian
bahasa lebih diutamakan dalam laras bahasa daripada aspek lain dalam
ragam bahasa. Selain itu, konsepsi antara ragam bahasa dan laras
bahasa saling terkait dalam perwujudan aspek komunikasi bahasa. Laras
bahasa akan memanfaatkan ragam bahasanya untuk menyampaikan
pikiran yang dapat berupa ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ragam bahasa
diartikan variasi bahasa menurut pemakaiannya; dapat dilihat dari topik
yang dibicarakan, hubungan pembicara dan teman bicara, serta media
pembicaraannya (2011: 1131). Pengertian ragam bahasa ini dalam
berkomunikasi perlu memperhatikan aspek (1) situasi yang dihadapi, (2)
permasalahan yang hendak disampaikan, (3) latar belakang pendengar
atau pembaca yang dituju, dan (4) media atau sarana bahasa yang
digunakan. Keempat aspek dalam ragam bahasa tersebut lebih
mengutamakan aspek situasi yang dihadapi dan aspek media bahasa yang
digunakan dibandingkan kedua aspek yang lain.
Adanya ragam bahasa sebagai bentuk gejala sosial dilihat dari
pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkebahasaan. Faktor
tersebut, antara lain, faktor lokasi geografis, situasi, waktu, dan
sosiokultural. Faktor-faktor itu mendorong timbulnya perbedaan dalam
pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut akan tampak dalam segi
pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah tata bahasa. Perbedaan
atau varian dalam bahasa yang digunakan masing-masing menyerupai pola
umum bahasa induk disebut ragam bahasa.
Ragam bahasa yang berhubungan dengan faktor daerah atau letak
geografis disebut dialek. Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan
perbedaan pemakaian bahasa (Departemen Pendidikan Menengah
Kejuruan, 2004: 4). Bahasa Melayu dialek Langkat, misalnya, berbeda
dengan bahasa Melayu dialek Batubara, walaupun keduanya satu bahasa.
Demikian pula halnya dengan bahasa Aceh dialek Aceh Besar berbeda
Page | 42
dengan bahasa Aceh dialek Pasai yang digunakan sebagian besar
masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara, atau berbeda juga dengan
bahasa Aceh dialek Pidie di Kabupaten Pidie. Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), saat ini sekurang-kurangnya hidup enam (6) dialek
masing-masing yaitu dialek Aceh Besar, Pidie, Peusangan, Pasai, Aceh
Timur, dan Aceh Barat (lihat Sulaiman dkk., 1983: 5).
Selain ragam yang sudah disebutkan, terdapat pula ragam bahasa
yang berkaitan dengan perkembangan waktu atau disebut dengan
kronolek. Misalnya, bahasa Melayu masa Kerajaan Sriwijaya berbeda
dengan bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, dan
berbeda pula dengan bahasa Melayu Riau sekarang.
Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan sosial para
penuturnya disebut dialek sosial. Faktor-faktor sosial yang
memengaruhi pemakaian bahasa, antara lain, tingkat pendidikan, usia,
dan tingkat sosial ekonomi. Bahasa golongan buruh, bahasa golongan atas
(bangsawan dan orang-orang berada), dan bahasa golongan menengah
(orang-orang terpelajar) akan memperlihatkan perbedaan dalam
berbagai bidang. Dalam bidang tata bunyi, misalnya, bunyi /f/ dan gugus
konsonan akhir /-ks/ sering terdapat dalam ujaran kaum yang
berpendidikan, seperti pada bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan
kompleks. Bagi orang yang tidak dapat menikmati pendidikan formal,
bentuk-bentuk tersebut sering diucapkan padil, pakultas, pilm, pitnah,
dan komplek. Demikian pula, ungkapan “apanya dong?” dan “trims” yang
disebut bahasa prokem sering diidentikkan dengan bahasa anak-anak
muda.
Ragam bahasa tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
penutur bahasa. Satu hal yang perlu mendapat catatan bahwa semua
ragam bahasa tersebut tetaplah merupakan bahasa yang sama.
Dikatakan demikian karena setiap penutur ragam bahasa sesungguhnya
dapat memahami ragam bahasa lainnya (mutual intelligibility). Apabila
suatu ketika saling pengertian di antara setiap penutur ragam tidak
terjadi lagi, saat itu pula tiap-tiap bahasa yang mereka pakai gugur
statusnya sebagai ragam bahasa. Dengan pernyataan lain, ragam-ragam
bahasa itu sudah berubah menjadi bahasa baru atau bahasa mandiri.
Page | 43
B. Macam-Macam Ragam Bahasa
1. Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi Pemakaiannya
Berdasarkan situasi pemakaiannya, ragam bahasa terdiri atas
tiga bagian, yaitu ragam bahasa formal, ragam bahasa semiformal,
dan ragam bahasa nonformal. Setiap ragam bahasa dari sudut
pandang yang lain dan berbagai jenis laras bahasa diidentifikasikan
ke dalam situasi pemakaiannya. Misalnya, ragam bahasa lisan
diidentifikasikan sebagai ragam bahasa formal, semiformal, atau
nonformal. Begitu juga laras bahasa diidentifikasikan sebagai ragam
bahasa formal, semiformal, atau nonformal. Ragam bahasa formal
memperhatikan kriteria berikut agar bahasanya menjadi resmi
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013: 6).
a) Kemantapan dinamis dalam pemakaian kaidah sehingga tidak
kaku, tetapi tetap lebih luwes dan dimungkinkan ada perubahan
kosa kata dan istilah dengan benar.
b) Penggunaan fungsi-fungsi gramatikal secara konsisten dan
eksplisit.
c) Penggunaan bentukan kata secara lengkap dan tidak disingkat.
d) Penggunaan imbuhan (afiksasi) secara eksplisit dan konsisten
e) Penggunaan ejaan yang baku pada ragam bahasa tulis dan lafal
yang baku pada ragam bahasa lisan.
Page | 44
bicara. Ragam bahasa lisan ini ditentukan oleh intonasi dalam
pemahaman maknanya. Misalnya,
Page | 45
Jika di dalam wilayah pemakaiannya, individu atau
sekelompok orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena
tempat kediaman mereka dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau
laut, lambat laun tiap logat dapat mengalami perkembangan
sendiri-sendiri. Selanjutnya, logat itu semakin sulit dimengerti
oleh penutur ragam lainnya. Pada saat itu, ragam-ragam bahasa
tumbuh menjadi bahasa yang berbeda. Dialek biasanya dianggap
sebagai bahasa nonformal, karena penggunaannya yang sering
dalam situasi nonformal.
b) Ragam Bahasa Menurut Pendidikan Formal
Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal
menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang
berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa
Indonesia golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan
fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-
ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang
tidak bersekolah atau hanya berpendidikan rendah.
c) Ragam Bahasa Menurut Sikap Penutur
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah
corak bahasa Indonesia yang masing-masing, pada asasnya,
tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini disebut langgam
atau gaya. Pemilihannya bergantung pada sikap penutur atau
penulis terhadap orang yang diajak berbicara atau pembacanya.
Sikap itu dipengaruhi, antara lain, oleh usia dan kedudukan orang
yang disapa, tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan
yang hendak disampaikan, dan tujuan penyampaian informasi.
Ketika berbicara dengan seseorang yang berkedudukan lebih
tinggi, penutur akan menggunakan langgam atau gaya berbahasa
yang berbeda daripada ketika dirinya berhadapan dengan
seseorang yang berkedudukan lebih rendah. Sama halnya ketika
berbicara dengan seseorang yang usianya lebih muda atau tua,
penutur tentu akan menggunakan langgam atau gaya bertutur
yang berbeda disesuaikan dengan kondisi lawan tutur.
d) Ragam Bahasa Menurut Jenis Pemakaian
Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Berdasarkan pokok persoalan
Page | 46
2) Berdasarkan media pembicaraan yang digunakan
3) Berdasarkan hubungan antarpenutur.
Page | 47
mengidealisasikan bahasa Indonesia berkemampuan menjadi
bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Hingga saat ini,
untuk hal yang disebutkan terakhir, masyarakat Indonesia masih
sangat bergantung pada bahasa asing.
Page | 48
benar. Akhir-akhir ini, dampak seruan tersebut semakin terasa.
Slogan “Gunakan bahasa Indonesia dengan baikdan benar” pada
kain rentang dapat kita temukan di mana-mana. Namun,
gencarnya pemasyarakatan ungkapan tersebut belum tentu
diikuti pemahaman yang benar tentang maknanya. Oleh karena
itu, pada bagian ini akan dijelaskan makna serta kriteria bahasa
yang baik dan bahasa yang benar tersebut. Kriteria yang dipakai
untuk menentukan bahasa Indonesia yang benar adalah kaidah
bahasa. Kaidah-kaidah bahasa yang dimaksudkan tersebut
meliputi aspek (1) tata bunyi, (2) tata kata dan tata kalimat, (3)
tata istilah, (4) tata ejaan, dan (5) tata makna. Benar tidaknya
bahasa Indonesia yang kita gunakan bergantung pada benar
tidaknya pemakaian kaidah bahasa.
Page | 49
b) Lambang identitas nasional yang dapat dikenali oleh masyarakat.
c) Alat pemersatu penduduk antar pulau diseluruh indonesia. d. Alat
komunikasi antar daerah dan antar budaya
3. Sebagai kontrol sosial
Berfungsi untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang
terlibat dalam komunikasi dapat saling memahami. Dalam kehidupan
sehari-hari dapat berbentuk komunikasi timbal balik, baik secara
lisan maupun tulisan. Dengan demikian, masingmasing dapat
mengendalikan komunikasi dan memberi saran, kritik dan lain-lain.
4. Sebagai sarana memahami diri
Dalam membangun karakter seseorang harus dapat memahami
dan mengidentifikasi kondisi dirinya terlebih dahulu.Pemahaman ini
mencakup kemampuan fisik, emosi,kecerdasan dan lain-lain.
5. Sebagai sarana ekspresi diri
Dapat dilakukan dari tingkat yang paling sederhana sampai
dengan tingkat yang kompleks. Ekspresi paling sederhana misalnya
untuk menyatakan cinta, lapar, krecewa. Tingkat kompleks misalnya
berupa pernyataan kemapuan mengerjakan proyek besar dalam
bentuk proposal yang sulit dan rumit, menulis laporan, desain produk,
dan lain-lain.
6. Sebagai sarana memahami orang lain
Dengan pemahaman terhadap seseorang, pemakai bahasa dapat
mengenali berbagai hal mencakup kondisi pribadinya. Melalui
pemahaman ini seseorang akan memperoleh wawasan yang luas dan
bermanfaat serta memperoleh kemampuan berfikir sinergis dengan
memadukan pengalaman orang lain bersama dengan potensi dirinya.
7. Sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar
Keberhasilan seseorang menggunakan kecerdasannya
ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan situasi lingkungannya
sehingga memperoleh berbagai kreatifitas baru yang dapat
memberikan berbagai keuntungan bagi dirinya dan masyarakat.
Misalnya, Apa yang melatarbelakangi pengamatan, bagaimana
masalahnya, bagaimana cara mengamati, tujuannya, hasilnya,
kesimpulan.
8. Sebagai sarana berfikir logis
Melalui proses berfikir logis, seseorang dapat menentukan
tindakan tepat yang harus dilakukan. Selain itu, perlu disadari bahwa
Page | 50
bahasa bukan hanya sarana proses berpikir melainkan juga penghasil
pemikiran, konsep, atau ide.
9. Mengembangkan kecerdasan ganda
Selain kecerdasan berbahasa, seseorang dimungkinkan
memiliki beberapa kecerdasan sekaligus. Selain itu orang yang tekun
mendalami bidang studinya secara seriu dimungkinkan memiliki
kecerdasan yang produktif. Misal seorang ahli pemograman yang
mendalami bahasa, ia dapat membuat kamus elektronik, mesin
penerjemaah, dlan lain-lain.
10. Membangun karakter
Kecerdasan merupakan bagian karakter dari manusia.
Kecerdasan berbahasa memungkinkan seseorang dapat
mengembangkan karakternya lebih baik.
Page | 51
5. Rasional (yakni, menggunakan gagasan yang dapat dicerna oleh akal
sehat), Efisien (menggunakan unsur sesuai kebutuhan, tidak boleh
berlebihan).
6. Tidak ambigu (tidak menimbulkan dua arti yang membingungkan )
Page | 52
RANGKUMAN
Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahsa
yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
Page | 53
GLOSARIUM
Page | 54
BAB 5
FONOLOGI
Pendahuluan
Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang dipakai oleh penutur kepada
lawan bicaranya untuk menyampaikan maksud atau tujuan dari sang penutur.
Oleh karena itu, pengajaran bahasa khususnya bahasa Indonesia pada
hakikatnya bertujuan untuk melatih bagaimana manusia dapat bertutur agar
dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan bahasa yang
baik dan benar supaya dapat langsung dipahami oleh lawan bicaranya.
Page | 55
A. Pengertian Fonologi
Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu
phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu
disebut juga tata bunyi.
Adapun Pengertian fonologi menurut beberapa ahli yakni:
1. Menurut Kridalaksana dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang
dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonologi dimaknai sebagai ilmu
tentang bunyi bahasa, terutama yang mencakup sejarah dan teori
perubahan bunyi.
3. Menurut Abdul Chaer, secara etimologi istilah “fonologi” ini
dibentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi yang berarti
“ilmu”.
B. Dasar-Dasar Fonologi
Batasan dan Kajian Fonologi Istilah fonologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi
adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang
mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi bahasa (fon)
yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang
disebut tata fomen (fonemik). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji
bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya. Fonologi
mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
Page | 56
lepas. Bibir kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi,
misal pada kata /buat/.
2. Alofon
Varian fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem
pertama pada kata makan dan makna secara fonetis berbeda. Variasi
suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon
dituliskan diantara dua kurung siku […]. Kalau[p] yang lepas kita
tandai dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai
dengan [p>]. Maka kita dapat berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia
fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p>]
C. Kajian Fonetik
Klasifikasi Bunyi
a) Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam
saluran suara.
1) Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak
mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi.
2) Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal
ini terjadi artikulasi.
3) Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk
konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum
membentuk konsonan murni.
b) Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.
1) Bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus
udara ke luar melalui rongga mulut dan membuka jalan agar
arus udara dapat keluar melalui rongga hidung.
2) Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan
mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak
untuk menutupi rongga hidung, sehingga arus udara keluar
melalui mulut.
c) Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di
artikulasikan.
1) Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu di
artikulasikan disertai ketegangan kuatarus.
2) Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu di
artikulasikan tidak disertai ketegangan kuatarus.
Page | 57
d) Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau
diartikulasikan
1) Bunyi panjang
2) Bunyi pendek
e) Berdasarkan derajat kenyaringannya
Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak
nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya
ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang
resonansi saluran bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi
derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
f) Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
1) Bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu
suku kata (semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan).
2) Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat
dalam satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari
3) Diftong (vocal rangkap) : [ai], [au] dan [oi].
4) Klaster (gugus konsonan) : [pr], [kr], [tr] dan [bl]. vi
g) Berdasarkan arus udara
1) Bunyi egresif, yaitu bunyi yang di bentuk dengan cara
mengeluarkan arus udara dari dalam paruparu. Bunyi egresif
di bedakan menjadi :
- Bunyi egresif pulmonik: di bentuk dengan mengecilkan
ruang paru-paru,otot perut dan rongga dada.
- Bunyi egresif glotalik: terbentuk dengan cara merapatkan
pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup.
2) Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang di bentuk dengan cara
menghisap udara ke dalam paru-paru.
- Ingresif glotalik: pembentukannya sama dengan egresif
glotalik tetapi berbeda pada arus udara.
- Ingresif velarik: di bentuk dengan menaikkan pangkal
lidah di tempatkan pada langit-langit lunak. Kebanyakan
bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
Page | 58
a. Berdasarkan bentuk bibir: vokal bulat, vokal netral, dan vokal tak
bulat.
b. Berdasarkan tinggi rendahnya lidah: vokal tinggi, vokal madya
(sedang), dan vokal rendah.
c. Berdasarkan bagian lidah yang bergerak: vokal depan, vokal
tengah, dan vokal belakang.
d. Berdasarkan strikturnya: vokal tertutup, vokal semi-tertutup,
vokal semi-terbuka, dan vokal terbuka.
2. Pembentukan Konsonan Pembentukan konsonan didasarkan pada
empat faktor, yakni daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita
suara, dan jalan keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan
tersebut:
a. Berdasarkan daerah artikulasi: konsonan bilabial, labio dental,
apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal.
b. Berdasarkan cara artikulasi: konsonan hambat, frikatif, getar,
lateral, nasal, dan semi-vokal.
c. Berdasarkan keadaan pita suara: konsonan bersuara dan konsonan
tak bersuara.
d. Berdasarkan jalan keluarnya udara: konsonan oral dan konsonan
nasal.
3. Pembentukan Diftong vii Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri
bersama dan pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan
vokal dengan diftong adalah terletak pada cara hembusan nafasnya.
Diftong dalam bahasa indonesia adalah sebagai berikut:
a. Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya: [harimaw]
/harimau/ [kerbaw] /kerbau/
b. Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya: [santay] /santai/
[sungay] /sungai/
c. Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya: [amboy] /amboi/
[asoy] /asoi/
4. Pembentukan Kluster Gugus atau kluster adalah deretan konsonan
yang terdapat bersama pada satu suku kata.
a. Gugus konsonan pertama: /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan /d/.
b. Gugus konsonan kedua: /l/,/r/ dan /w/.
c. Gugus konsonan ketiga: /s/,/m/,/n/ dan /k/.
d. Gugus konsonan keduanya adalah konsonan lateral /l/, misalnya:
1) /pl/ [pleno] /pleno/
2) /bl/ [blaƞko] /blangko/
Page | 59
3) Dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan /w/.
Page | 60
keduanya berkaitan erat, saling bergantung, dan tak terpisahkan. Kita
boleh mengatakan salah satu ada karena yang lainnya ada.
Hubungan antara fonologi dan fonetik dapat ibaratkan seperti
hubungan antara langue dan parole. Kajian bunyi bahasa pada tataran
langue diwakili oleh fonologi, sedangkan kajian bunyi bahasa pada tataran
parole diwakili oleh fonetik. Trubetzkoy (1959) mengatakan,”Phonetics is
the study of the sounds of parole” dan “Phonology is the study of the
sounds of langue.” Karena kajian fonetik berada pada tataran bunyi
bahasa yang konkret (parole), maka kajian fonetik lazimnya menjelaskan
bunyi pada dimensi artikulasi, akustik, dan persepsi. Kajian fonetik tidak
berada pada tataran kaidah bahasa sehingga fonetik dipandang sebagai
kajian bahasa ekstragramatikal. Fonetik tidak mendekripsikan bunyi
sebagai satuan yang membawa perbedaan makna atau fungsi. Ilmu fonetik
berada pada tataran etik, yaitu tataran di luar sistem bahasa tertentu.
Oleh sebab itu, fonetik sering dianggap ilmu yang bersifat inklusif.
Di pihak lain, berbeda dengan fonetik, fonologi mendeskripsikan
bunyi sebagai suatu sistem bahasa yang abstrak (langue), yaitu kaidah
bunyi dalam pengetahuan penuturnya. Karena fonologi mengkaji bunyi
bahasa yang berkaitan dengan kaidah bahasa maka kajian fonologi
dipandang sebagai bagian gramatika bahasa. Bunyi dideskripsikan sebagai
satuan yang membawa perbedaan makna atau fungsi. Tempatnya ilmu
fonologi berada pada tataran pada sistem bahasa tertentu, sehingga ada
yang mengatakan bahwa fonologi cenderung eksklusif.
Trubetzkoy (Rahyono, 2003: 46) menjelaskan bahwa fonetik
merupakan studi bunyi bahasa yang berkenaan dengan peristiwa tutur,
murni fenomenalistik terhadap bunyi bahasa tanpa mempertimbangkan
fungsi, sedangkan fonologi merupakan studi bunyi bahasa yang berkenaan
dengan sistem bahasa, serta merupakan studi fungsi linguistis bahasa.
Titik tolak fonetik adalah konkret, yakni bahasa manusia. Fonetik meneliti
produksi, pengaruh langsung, dan persepsi bahasa. Sistem bahasa yang
merupakan cakupan studi fonologi, tidak diproduksi dan tidak dipersepsi,
Sistem bahasa telah hadir dan tersedia sebagai kerangka acuan baik bagi
pembicara maupun pendengar.
Sebagian pakar mengatakan bahwa karena kajian fonetik adalah
kajian bunyi bahasa pada tataran permukaan maka fonetik disebut juga
lower level phonology. Di pihak lain, kajian fonologi dianggap berada pada
tataran yang lebih tinggi, yaitu pada tataran representasi mental bunyi
sehingga disiplin ini kadang-kadang disebut higher level phonology.
Page | 61
Sebagian lagi mengistilahkan home based fonologi adalah otak, sedangkan
home based fonetik di luar otak (Hayward, 2000:9).
Para linguis mengenal dua jenis transkripsi bunyi, yaitu transkripsi
fonetis dan transkripsi fonemis. Perbedaan bunyi dalam fonetik biasanya
dideskripsikan menggunakan transkripsi fonetis yang biasa disebut IPA
(International Phonetical Alphabet) yang mulai diperkenalkan pada akhir
abad ke-19. Dalam transkripsi fonetik, satu simbol digunakan untuk satu
bunyi tanpa dibatasi konteks bahasa tertentu. Simbol bunyi yang
digunakan dalam fonetik adalah [ ]. Di pihak lain, fonologi mendeskripsikan
bunyi bahasa pada tataran fonem. Oleh sebab itu, perbedaan bunyi dalam
fonologi ditraskripsikan dengan transkripsi fonemis. Dalam transkripsi
fonemis, satu simbol untuk mereprsentasikan satu bunyi dalam konteks
bahasa tertentu. Simbolnya bunyi yang digunakan adalah / /.
Perbedaan ranah kajian antara fonetik dan fonologi dapat dilihat
dari ilustrasi berikut. Jika seseorang mengkaji bagaimana posisi lidah,
rahang, dan bibir ketika memproduksi vokal [i] dan bagaimana wujud
akustik bunyi tersebut, misalnya seberapa tinggi frekuensi fundamental
bunyi tersebut dibandingkan vokal-vokal lainnya maka ia sedang mengkaji
bunyi bahasa pada tataran fonetik. Namun, jika ia mengkaji di mana saja
vokal /i/ berposisi dalam kata atau dalam suku kata dalam suatu bahasa
tertentu, misalnya bahasa Indonesia, maka ia mengkaji bunyi bahasa pada
tataran fonologi.
E. Kajian Fonemik
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Fonem juga dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang
bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan. Dalam hal ini perlu
adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi yang
berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan demikian
fonemisasi itu bertujuan untuk:
1. Menentukan struktur fonemis sebuah bahasa,
2. Membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.
Page | 62
bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya
berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda.
Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem,
Yakni:
1. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari ciri
atau satuan fonologis, yakni fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi
fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan
salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara
segmental fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan
konsonan.
2. Variasi Fonem
Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat
maupun tak bersyarat dari fonem. Wujud variasi suatu fonem yang
ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang komplementer
disebut varian alofonis atau alofon.
1. Penambahan Fonem
Penambahan fonem pada suatu kata pada umumnya berupa
penambahan bunyi vokal. Penambahan ini dilakukan untuk kelancaran
ucapan.
2. Penghilangan Fonem
Penghilangan fonem adalah hilangnya bunyi atau fonem pada
awal, tengah dan akhir sebuah kata tanpa mengubah makna.
Penghilangan ini biasanya berupa pemendekan kata.
Page | 63
3. Perubahan Fonem
Perubahan fonem adalah berubahnya bunyi atau fonem pada
sebuah kataagar kata menjadi terdengar dengan jelas atau untuk
tujuan tertentu.
4. Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau
lebih fonem yang dihilangkan. Kadangkadang ada perubahan atau
penggantian fonem.
5. Analogi
Analogi adalah pembentukan suatu kata baru berdasarkan suatu
contoh yang sudah ada (Keraf, 1987:133).
6. Fonem Suprasegmental
Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental karena
dapat diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama
dengan ciri suprasegmentalseperti tekanan, jangka dan nada.
Disamping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri
suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.
a) Jangka, yaitu panjang pendeknya bunyi yang di ucapkan. Tanda […]
b) Tekanan, yaitu penonjolan suku kata dengan memperpanjang
pengucapan, meninggikan nada dan memperbesar intensitas tenaga
dalam pengucapan suku kata tersebut.
c) Jeda atau sendi, yaitu ciri berhentinya pengucapan bunyi
d) Intonasi, adalah cirri suprasegmental yang berhubungan dengan
naik turunnya nada dalam pelafalan kalimat.
e) Ritme, adalah ciri suprasegmental yang berhubungan dengan pola
pemberian tekanan pada kata dalam kalimat.
a) Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang tidak
sama menjadi bunyi yang sama atau hampir sama. Hal ini terjadi
karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan
Page | 64
sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal
pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentangdiucapkan
apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-
dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan
bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang
sama.
b) Disimilasi
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama
atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contoh :
Kata bahasa Indonesia belajar [bǝlajar] berasal dari
penggabungan prefix ber [bǝr] dan bentuk dasar ajar [ajar].
Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bǝrajar].
Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama
diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi
[bǝlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas
fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l]
merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
c) Modifikasi vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat
dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini
sebenarnya bisa dimasukkan kedalam peristiwa asimilasi, tetapi
karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.
d) Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat
pengaruh lingkungan. Untk mejelaskann kasus ini bisa dicermati
ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraƞ]
‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa
Indonesia ada fonem /b/ dan /p/.Tetapi dalam kondisi tertentu,
fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya
bermasalah karena dijumpai yang sama. Minsalnya, fonem /b/ pada
silaba akhir pada kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan
[sǝbab’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ xi pada
atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Mengapa terjadi demikian?
Karena konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak mungkin
terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasikan menjadi
Page | 65
hambatan tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang
biasa terdapat dalam fonem /p/.
e) Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat
upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini
biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk
bahasa Indonesia, asal saja tidak menggangu proses dan tujuan
komunikasi. Peristiwa ini terus dikembangkan karena secara diam-
diam telah didukung dan disepakti oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian katatak
ataundak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk
bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa
fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa
Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala
itu terus berlangsung. Zeroisasi dengan model penyingkatan ini
biasa disebut kontraksi. Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini
paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
f) Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu
kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam
bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak
banyak.
g) Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal
(monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong)
secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap
ini masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan sehingga tetap
dalam satu silaba.
h) Monoftongisasi
Monoftongisasi yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal
rangkap (diftong) menjadi vokal (monoftong) . (Muslich 2012 :
126). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa
Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-
bunyi diftong. Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah
vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal. Poses ini banyak
terjadi dalam bahasa Indonesia akibat dari ingin memudahkan
ucapan. (Chaer 2009 : 104). Monoftongisasi adalah proses
perubahan bentuk kata yang berujud sebuah diftong berubah
Page | 66
menjadi sebuah monoftong. Jadi, monoftongisasi adalah proses
perubahan dua bunyi vokal menjadi sebuah vokal.
Contoh:
Ramai menjadi (rame)
Kalao menjadi (kalo)
Danau menjadi (danau)
Satai menjadi (sate)
Damai menjadi (dame)
Sungai menjadi (sunge)
i) Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan
jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan
untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah
bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi
vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara
dua konsoan dalam sebuah kata; atau penambahan sebuah
konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis (suara bakti) adalah proses perubahan bentuk
kata yang berujud penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam
sebuah kata guna melancarkan ucapan. Jadi, anaptikis adalah
perubahan bentuk kata dengan menambahkan bunyi vokal tertentu
di antara dua konsonan.
Contoh:
Putra menjadi putera
Putri menjadi puteri
Bahtra menjadi bahtera
Srigala menjadi serigala
Sloka menjadi seloka
Anaptikis dibagi menjadi tiga yaitu: Protesis adalah proses
penambhan bunyi ada awal kata.
Misalnya:
Mas menjadi emas
Mpu menjadi empu
Tik menjadi ketik
Lang menjadi elang
Epentesis adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata.
Misalnya:
Page | 67
Kapak menjadi kampak
Sajak menjadi sanjak
Upama menjadi umpama
Beteng menjadi benteng
Paragog adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata.
Misalnya:
Huubala menjadi hulubalang.
Page | 68
RANGKUMAN
Kajian Foneti
1. Klasifikasi Bunyi
a. Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam
saluran suara.
b. Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.
c. Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di
artikulasikan
d. Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau
diartikulasikan
e. Berdasarkan derajat kenyaringannya
f. Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
g. Berdasarkan arus udara
Fonetik dan Fonologi adalah dua disiplin ilmu yang sama-sama mengkaji
bunyi bahasa. Namun demikian, ranah kajian kedua disiplin ini berbeda.
Pembagian ranah kajian antara fonetik dan fonologi secara tegas bersumber
dari pemikiran seorang linguis Swiss, Ferdinand de Saussure.
Page | 69
Gejala Fonologi Bahasa Indonesia
1. Penambahan Fonem
2. Penghilangan Fonem
3. Perubahan Fonem
4. Kontraksi
5. Analogi
6. Fonem Suprasegmental
Page | 70
GLOASRIUM
Page | 71
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. (1993). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Page | 72