Anda di halaman 1dari 29

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM :

HASAN AL-BANNA & JAMALUDDIN AL-AFGHANY

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Pemikiran Pendidikan Islam
dengan dosen pengampu:
Prof. Dr. H. Syahidin, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok 3
Adam Alamsyah (2311318)

Afkarul Azmi (2217251)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillāhirabbil ‘ālamĭn, puji serta syukur tak lupa penyusun panjatkan kehadirat
Allah SWT. karena atas berkah serta hidayahnya penyusun dapat menyelesaikan makalah
“PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM : HASAN AL-BANNA & JAMALUDDIN AL-
AFGHANY” dengan lancar. Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. sebagai pembawa syariat Islam yang perlu kita iman, pelajari, hayati, serta
amalkan, dan semoga mengalir kepada kita semua selaku umatnya. Dalam makalah ini, penulis
membahas pemikiran pendidikan Islam Hassan Al-Banna dan Jamaluddin Al-Afghany.
Keduanya merupakan ulama besar, Mujaddid, dan cendikiawan Muslim kontemporer yang
memiliki pemikiran yang luas dan mendalam dalam berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan. Pemikiran pendidikan Islam dari kedua tokoh tersebut sangat relevan untuk
diterapkan dalam pendidikan Islam masa kini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi para
mahasiswa yang sedang mempelajari Pendidikan Islam. Penulis juga berharap makalah ini dapat
menjadi bahan masukan dan diskusi bagi para ahli pendidikan Islam. Adapun dalam pengerjaan
makalah ini, penyusun tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang bersifat fisik maupun
mental. Oleh karena itu, kami berterima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan makalah ini. Semoga menjadi amal baik dan dapat diterima oleh Allah SWT.
Terkhusus kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Kajian
Pemikiran Pendidikan Islam, yaitu Prof. Dr. H. Syahidin, M.Pd. serta rekan-rekan seperjuangan
kelas S2 PAI 2023 yang turut menyemangati dan membantu dalam pengerjaan makalah ini.

Bandung, Oktober 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................................................. 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pemikiran Hasan al-Banna tentang Komponen Pendidikan Islam................................... 3
2.1.1 Biografi Hasan Albana .............................................................................................. 3
2.1.2 Azas/Pondasi Pendidikan Islam ................................................................................ 5
2.1.3 Tujuan Pendidikan Islam .......................................................................................... 8
2.1.4 Kurikulum Pendidikan .............................................................................................. 9
2.1.5 Materi Pendidikan ................................................................................................... 11
2.1.6 Model dan Metode Pendidikan Islam Hasan al-Banna ........................................... 11
2.1.7 Hubungan Pendidik dan Peserta Didik ................................................................... 13
2.1.8 Evaluasi Pendidikan ................................................................................................ 14
2.2 Pengaruh Pemikiran Pendidikan Hasan Al-Banna di Indonesia .................................... 15
2.3 Biografi Jamaluddin Al-Afghani.................................................................................... 17
2.4 Ide Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani ..................................................................... 18
2.4.1 Pelestarian Kegiatan Ijtihad .................................................................................... 18
2.4.2 Salafiyah ................................................................................................................. 19
2.4.3 Pemurnian Ajaran Islam ......................................................................................... 19
2.4.4 Bidang Politik ......................................................................................................... 20
2.5 Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani terhadap Pendidikan ............................................... 20
2.5.1 Menekankan pentingnya pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan modern .. 20
2.5.2 Menentang pendidikan tradisional yang terlalu fokus pada hafalan tanpa
pemahaman. ........................................................................................................................... 21
2.5.3 Mengadvokasi pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
kreativitas............................................................................................................................... 22
2.5.4 Menekankan pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing untuk memperluas
wawasan................................................................................................................................. 22
BAB 3 PENUTUP
ii
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 23
3.2 Saran ............................................................................................................................... 23
REFERENSI ................................................................................................................................. 25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Saat ini, terdapat banyak sekolah Islam di Indonesia, terutama di daerah
perkotaan. Sekolah-sekolah Islam ini menawarkan pendidikan modern yang diselarasi
dengan nilai-nilai Islam bagi para siswa mereka. Keberadaan sekolah-sekolah ini,
sebagaimana disebutkan oleh Hefner (2009) dan Tayeb (2018), tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh iklim reformasi di Indonesia dan pertumbuhan kelas menengah muslim.
Reformasi membuka pintu bagi kelompok-kelompok Islam yang sebelumnya terkekang
oleh pemerintah otoriter, dan mereka mulai muncul dalam politik melalui berbagai partai
Islam, seperti yang diuraikan oleh Bubalo, Fealy, dan Mason (2008), Muhtadi (2012),
dan Hadiz (2016). Perkembangan ini juga berdampak pada sektor pendidikan Islam, di
mana sekolah-sekolah Islam swasta, terutama sekolah Islam terpadu, turut bermunculan.
Sekolah-sekolah ini mengadopsi pendekatan pendidikan yang holistik yang mencakup
iman, intelektualitas, dan keterampilan modern, sebagai ciri khasnya.
Hasan Al-Banna, sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, juga diakui sebagai pemikir
pendidikan Islam dalam gerakan revivalisme Islam, sebagaimana diungkapkan oleh
Suwito dan Fauzan (2005). Meskipun pemikirannya lebih banyak tercermin melalui
tindakan nyata dalam gerakan Ikhwanul Muslimin daripada melalui tulisan-tulisannya,
beberapa aspek penting pemikirannya tentang pendidikan tercermin dalam catatan-
catatan yang dibuat oleh murid-muridnya yang mengikuti gerakan Al-Banna bersama
Ikhwanul Muslimin, seperti yang dicatat oleh Al-Qardhawi (2005).
Pendekatan pendidikan Al-Banna didasarkan pada konsep Islam yang
komprehensif, menganggap Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai
eksistensi sosial dan budaya yang mencakup berbagai aspek kehidupan, sebagaimana
dijelaskan oleh Al-Qardhawi (2005). Pandangan ini memandang pendidikan Islam
sebagai usaha yang melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk aspek
spiritual, intelektual, fisik, dan sosial.
Penelitian terdahulu telah mengungkapkan dampak pemikiran pendidikan Islam
Hasan Al-Banna di Indonesia, seperti yang diuraikan oleh Suyatno (2013), Djalaluddin
(2015), dan Abdussyukur (2018). Mereka menemukan bahwa sekolah Islam terpadu telah
membawa inovasi dalam pendidikan Islam di Indonesia, serta berkontribusi dalam
gerakan reislamisasi. Sejumlah penelitian juga menggali aspek-aspek khusus dalam
pemikiran pendidikan Al-Banna, termasuk integrasi antara pendidikan agama dan umum,
yang selaras dengan pandangan Al-Banna. Selain itu, dalam konteks Kalimantan Selatan,
beberapa penelitian telah mengkaji sekolah Islam terpadu, terutama dalam hal teknik,
pola, model pembelajaran, dan manajemen, sebagaimana yang dilakukan oleh Shafiyah
(2007), Nawawi (2009), dan Halim (2010). Semua penelitian ini memberikan wawasan
yang berharga tentang bagaimana pemikiran pendidikan Hasan Al-Banna tercermin
dalam praktik pendidikan di sekolah Islam terpadu.

1
2

Ada satu tokoh lagi yaitu Jamaluddin Al-Afghani´ dengan pemikiran- pemikiran
yang dimunculkan oleh Afghani, baik dalam bidang pendidikan, politik maupun bidang
agama. Inti dalam dakwahnya yang punya gagasan pemikiran bertujuan untuk
mempersatukan umat Islam, dengan maksud menginginkan agar umat Islam di berbagai
penjuru dunia Islam berada dalam satu kekhalifahan yang besar, agar umat Islam yang
sedang terpuruk oleh kejumudan bisa bangkit bersama-sama dengan jalan bersatu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah akan memaparkan hal-hal berikut.
1.1.1 Bagaimana pemikiran Hasan Al-Bana tentang Komponen Pendidikan Islam?
1.1.2 Bagaimana pengaruh Pendidikan Hasan Al-Bana di Indonesia?
1.1.3 Bagaimana ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani ?
1.1.4 Bagaimana Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani terhadap pendidikan islam?
1.3 Tujuan
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk:
1.1.5 Memaparkan hasil analisis terhadap pemikiran Hasan Al-Bana tentang Pendidikan
Islam
1.1.6 Memaparkan hasil analisis terhadap berbagai pengaruh dari konsep Pendidikan
Hasan Al-Bana di Indonesia
1.1.7 Memaparkan hasil analisis ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani
1.1.8 Memaparkan hasil analisis Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani terhadap
pendidikan islam
1.4 Manfaat
Meninjau isi dari tulisan ini, manfaat yang dapat dipetik bagi pembaca adalah
untuk menambah wawasan terkait konsep Pendidikan Islam menurut pemikiran Hasan
Al-Bana dan Jamaluddin Al-Afghani. Selain itu juga tulisan ini akan berguna bagi para
pelajar, peneliti, serta ahli-ahli di bidang Pendidikan Islam guna menambah referensi-
referensi bacaan mereka terkait ragam pemikiran para cendikiawan Muslim terkhusus
Hasan Al-Banna dan Jamaluddin Al-Afghani.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pemikiran Hasan al-Banna tentang Komponen Pendidikan Islam


2.1.1 Biografi Hasan Albana
Hasan al-Banna lahir pada tahun yang sama dengan wafatnya Muhammad Abduh
tahun 1906. Kelahirannya ditakdirkan untuk melanjutkan perjuangan pembaharuan
pemikiran Islam di Mesir (Al-Banna, 1949). Muhammad Abduh adalah tokoh mujaddid
kharismatik dengan ide-ide tajdid yang membakar semangat bangsa Mesir untuk bangkit
dari kejumudan dan terbelenggunya pemikiran. Kematiannya kemudian mengejutkan
bangsa Mesir dan meninggalkan luka yang mendalam. Di tahun kematian Muhammad
Abduh itulah lahirnya Hasan al-Banna yang kemudian menjadi penerus pemikiran dan
perjuangan Muhammad Abduh.
Hasan al-Banna menjadi tokoh kebangkitan Islam internasional karena organisasi
yang dibangunnya, Himpunan Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin). Gerakan
paling berpengaruh di abad ke-20 yang berjuang mengarahkan masyarakat muslim
kepada tatanan Islam murni. Didirikan oleh seorang guru sekolah berusia 22 tahun.
Keunggulan Hasan al-Banna menurut David Commins adalah ia mengubah mode
intelektual elit yang terbatas daya tariknya menjadi gejala popular yang kuat pengaruhnya
sehingga dalam perkembangannya gerakan ini menggurita ke berbagai wilayah muslim di
dunia. Gerakan pembaharuan ini menjadi lebih unggul karena Hasan al-Banna
mengembangkan pendidikan kepada masyarakat muslim dengan bertopang pada mimbar
organisasi masa dan menampilkan sosok pemimpin kharismatik yang mengilhami ribuan
masyarakat muslim Mesir bahkan dunia Islam untuk melaksanakan programnya dengan
penuh keyakinan dan keikhlasan (Commins, 1998).
Hasan al-Banna lahir di kota Delta Mahmudiyah wilayah Bahirah, sebuah
kawasan dekat kota Iskandariyah Mesir (Al-Masih, 2006), tahun 1906 M bertepatan
dengan bulan Sya‟ban 1324 H (Yakan,1997). Nama lengkapnya adalah al-Imam al-
Syahid Hasan bin Ahmad Abd al-Rahman al-Banna. Ayahnya bernama Syekh Ahman
Abd al-Rahman, seorang ulama yang taat beribadah dan pernah belajar di Universitas al-
Azhar Mesir pada masa syekh Muhammad Abduh (Ensiklopedia,2023).
Hasan al-Banna dibesarkan dan hidup dalam lingkungan keluarga yang beragama,
berpendidikan dan terhormat. Ayahnya adalah seorang imam dan orator ulung, hafal
Alquran dan menekuni pelajaran fiqh serta mendalami mazhab Imam Malik, Syafi’i dan
Ahmad. Pekerjaan sehari-harinya adalah memperbaiki jam. Kepada ayahnya inilah Hasan
al-Banna kecil mendapatkan didikan dalam berbagai disiplin ilmu. Jenjang pendidikan
formal dilalui Hasan al-Banna pada pendidikan dasar Madrasah Diniyah al-Rasyid di
tempat kelahirannya dengan gurunya Muhammad Zahran, pemilik madrasah. Di sekolah
ini ia menerima pelajaran hadis dengan target hafalan dan pemahaman, juga belajar
qawa’id, insyak dan lain-lain. Karena ayahnya ingin ia hafal Alquran, ia pindah sekolah
ke madrasah I’dadiyah. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah al-Mu’allimin
al-Awwaliyah, sejenis sekolah keguruan tingkat pertama di Damanhur. Tamat dari

3
4

lembaga ini tahun 1923 di usia 16 tahun, Hasan al-Banna telah mengantongi ijazah
sebagai prasyarat untuk menjadi guru. Hanya saja Hasan al-Banna lebih memilih untuk
melanjutkan studinya ke Dar al-‘Ulum, perguruan tinggi di bawah naungan al-Azhar
Mesir saat itu (Al-Husaini,1983).
Di waktu yang bersamaan Hasan al-Banna giat dalam berbagai organisasi dan
asosiasi pelajar. Ia memprakarsai berdirinya organisasi Jam‟iyat al-Akhlaq al- „Adabiyah
(Himpunan Prilaku Bermoral) dan Jam‟iyat man‟I al-Muharramat (Himpunan Pencegah
kemungkaran). Ia juga hidup dalam lingkungan keluarga yang tekun menjalankan ajaran
tarekat. Di usia belasan tahun ia sudah menjadi anggota tafauf Hassafiyah, tarekat
berwawasan syariah (Syalbi, tt).
Hasan al-Banna, selama menjadi mahasiswa Kairo selalu menghabiskan
waktunya di perpustakaan dan mempelajari karya-karya Rasyid Ridha seperti al- Manar.
Itulah sebabnya kenapa pandangan Rasyid Ridho banyak mempengaruhi pikirannya
terutama dalam memahami Islam Universal. Hasan al-Banna juga banyak mempelajari
ilmu-ilmu modern seperti ilmu pendidikan, filsafat, psikologi, serta ilmu mantiq/ logika.
Ia memandang tindakan sebagai interpretasi dari ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan
akal pikiran manusia, sehingga ia yakin bahwa Alquran adalah sumber segala ilmu. Ia
juga memperhatikan masalah politik, industri, perdagangan, dan olahraga.
Pada usia 21 tahun, ia menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum dan memulai
karirnya sebagai guru. Ia diangkat menjadi guru oleh kementerian pendidikan Mesir dan
ditempatkan di sebuah sekolah di kota Isma‟iliyah wilayah terusan Suez (Al-
Hajrasyi,1999). Keinginannya menjadi guru dipengaruhi oleh pemikiran Imam al-
Ghazali, ulama sufi yang berpendapat bahwa seorang guru bagaikan matahari yang
menerangi orang lain dan dirinya sendiri, laksana kasturi yang mewangi dan orang lain
pun menjadi wangi (Sulaiman,tt).
Hasan al-Banna yang dibesarkan dan hidup dalam suasana religius menempa
dirinya menjadi sosok yang istiqamah, sederhana, dan zuhud, walaupun ia berasal dari
keluarga berada. Pandangan kuatnya tentang kebenaran Islam dan ajarannya yang bersifat
universal membantunya untuk tidak ternodai oleh paham sekularisme dan materialis
(Qardhawi,1999). Walaupun demikian, Hasan al- Banna tidak alergi dengan ilmu
pengetahuan yang dikembangkan dunia Barat, ia menginginkan pemikiran baru yang
berasal dari pemahaman eksplorasi ayat-ayat Alquran dan Sunnah serta disiplin
emosional sufistik yang ia warisi dari guru dan ayahnya (Saidan,2013).
Menurut Sayyid Quthb seperti yang dikutip Yusuf Qardhawi, penamaan tokoh ini
dengan nama al-Banna sebagai sighat mubalaghah (kata sifat yang menunjukkan intensif)
berasal dari kata bana yang berarti membangun/ kebaikan sang pembangun) seakan
memang direncanakan sebelumnya yang merupakan takdir dan bukan kebetulan belaka
(Qardhawi, 1993).
Hasan al-Banna di usia 22 tahun mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimun yang
bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini menjadikan Banna semakin
populer dan pengikutnya semakin bertambah sehingga organisasi ini menjadi tangguh
bagaikan negara di dalam negara. Kuatnya pengaruh Hasan al-Banna membuat para
penguasa Mesir saat itu merasa terpojok dan menganggap gerakan Banna adalah gerakan
5

bawah tanah yang membahayakan pemerintah dan dikhawatirkan akan mengkudeta


pemerintahan yang sah, dengan berbagai dalil yang dibuat-buat. Kekhawatiran ini
menurut Maryam Jamilah yang mendorong pemerintah melakukan berbagai tekanan dan
menetapkan vonis bahwa asosiasi yang dipimpin Banna adalah ilegal, tanpa putusan
pengadilan. Ribuan tokoh Ikhwanul Muslimin dijebloskan ke penjara dan kekayaan
mereka disita oleh negara. Tahun 1949 tanggal 14 bulan Februari di usia 43 tahun, Hasan
al-Banna ditembak mati disebuah jalan di kota Kairo oleh seorang penembak jitu dari
polisi rahasia. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit al-Qashr ‘Aini.
Penembakan itu kabarnya dibawah pimpinan Ibrahim Abd al-Hadiy sebagai hadiah ulang
tahun untuk raja Faruq (Al-Jabari,1986).
2.1.2 Azas/Pondasi Pendidikan Islam
2.1.2.1 Azas Al-Qur’an Al-Karim
Hasan al-Banna memperlihatkan pemahaman yang mendalam terhadap al-Qur'an
dan ketulusan dalam memahami kekhasan isi kitab suci tersebut, yang semakin
memperkuat komitmennya terhadap ajaran al-Qur'an. Bagi al-Banna, al-Qur'an selalu
menjadi prioritas utama dan panduan dalam semua aspek kehidupan. Untuk memahami
esensi pendidikan Islam, kita harus memahami pondasinya, yaitu al-Qur'an (Tafsir,
2004). Al-Qur'an bukan hanya sumber petunjuk, tetapi juga dasar dari seluruh ajaran
Islam dan syari'at. Dalam al-Qur'an, kita menemukan semua ketentuan syari'at, dan kitab
suci ini berperan sebagai kamus ilmu, undang-undang, ketetapan, dan panduan dalam
berbagai aspek kehidupan, budaya, dan pergaulan. Al-Qur'an juga dianggap sebagai
mukjizat abadi bagi nabi dan merupakan pusat serta dasar dari kesatuan dalam ajaran
Islam (Al-Banna, 1949).
Pandangan Hasan al-Banna tentang al-Qur'an sebagai fondasi pendidikan Islam
dapat dilihat dalam pernyataannya, "al-Qur'an adalah sumber petunjuk Islam, dari
Alquran lah para mujtahid mengambil hukum dan kepadanya pulalah berpegang ahli
istimbath. Tidak ada ilmu bagi mereka selain yang diajarkan Alquran itu, tidak ada
hukum kecuali yang ditunjukkannya, dan tidak aqidah kecuali yang dijelaskannya. Ia
menjadi sejenis kamus ilmu, menjadi undang-undang dan ketetapan serta jadi pedoman
dalam kebudayaan, dalam pergaulan dan juga sebagai petunjuk bagi para ikutan mereka
sebagai mukjizat abadi bagi nabi mereka markaz dan pondasi kesatuan mereka, itulah
kitab yang menghimpun segala sesuatu." Menurut al-Banna, umat manusia semakin
menjauh dari petunjuk dan tujuan hidup mereka karena mereka telah menjauhkan diri
dari ajaran al-Qur'an. Bagi al-Banna, banyak orang seperti "sekelompok manusia yang
diliputi kegelapan dari segala penjuru." Mereka merasa bingung, tanpa petunjuk apa pun,
padahal ada al-Qur'an yang berisi pedoman (Al-Banna, 1949).
Menurut al-Banna, pendidikan harus dibangun di atas pondasi yang kokoh dan
fleksibel agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Al-Qur'an dianggap sebagai sumber
utama dan prinsip dasar dalam pengembangan teori dan operasional pendidikan Islam.
Operasional pendidikan Islam juga harus sesuai dengan sinyal-sinyal yang terdapat dalam
ayat-ayat al-Qur'an (Al-Banna, 1949).
Hasan al-Banna juga menekankan bahwa Islam memiliki makna yang
komprehensif, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik di dunia maupun akhirat.
6

Namun, ia merasa bahwa banyak orang salah dalam pandangannya terhadap Islam,
mempersempitnya hanya sebagai ajaran kejiwaan. Al-Banna memandang Islam sebagai
ajaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dan untuknya, al-Qur'an adalah
ajaran yang mengatur semua aspek kehidupan. Dia meyakini bahwa tidak ada
penyelamatan bagi manusia kecuali melalui sistem sosial yang berlandaskan pada al-
Qur'an. Kaum Muslimin diharapkan menjadikan al-Qur'an sebagai sahabat dekat, teman
bicara, dan guru mereka. Mereka diwajibkan untuk membacanya setiap hari dan menjalin
hubungan dengan Allah melalui al-Qur'an. Setelah beriman kepada al-Qur'an, tugas
selanjutnya adalah mengamalkan hukum-hukumnya (Al-Banna, 1949).
Al-Banna memandang bahwa pendidikan yang berbasis pada al-Qur'an tidak akan
menciptakan pemisahan antara ilmu duniawi dan ilmu agama. Al-Qur'an justru
menggabungkannya, mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam dalam satu ayat, dan
mendorong umat manusia untuk menggali lebih dalam ilmu-ilmu tersebut. Al-Qur'an juga
membantu manusia untuk memahami keagungan Sang Pencipta, mengungkapkan
keindahan ciptaannya, dan memberikan manfaat bagi kemajuan umat manusia di dunia
dan akhirat (Al-Banna, 1949).
Dalam esensi pandangannya, al-Qur'an bukan hanya kitab suci yang berbicara
tentang masalah kejiwaan dan agama, tetapi juga merupakan sumber ilmu pengetahuan,
pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dan fondasi dalam mengembangkan berbagai
aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an mempersatukan ilmu pengetahuan alam dan ilmu
agama, serta memberikan arah kepada manusia dalam mencari pengetahuan dan
menerapkan ajaran agama secara praktis. Melalui al-Qur'an, manusia bisa memahami
prinsip-prinsip mendasar yang membentuk dasar pemikiran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan mereka (Al-Banna, 1947).
2.1.2.2 Azas Al-Sunnah/Hadis
Kehadiran Sunnah Rasulullah sebagai dasar pendidikan Islam tercermin dalam
kata-kata Hasan al-Banna, yang menyatakan, "...al-Qur'an yang mulia dan Sunnah Rasul
yang suci adalah sumber rujukan bagi setiap muslim untuk memahami hukum-hukum
Islam. Oleh karena itu, al-Qur'an harus dipahami sesuai dengan prinsip-prinsip bahasa
Arab tanpa paksaan atau kelalaian dalam pemikiran." (al-Ghazali, 2001. Terj. Wahid
Ahmadi)
Hasan al-Banna percaya bahwa Rasulullah memainkan peran penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur'an ke dalam kehidupan
sehari-hari. Menurutnya, Rasulullah adalah seorang pendidik yang menerjemahkan al-
Qur'an ke dalam realitas kehidupan selama hidupnya. Al-Banna percaya bahwa
Rasulullah telah menanamkan tiga pilar perasaan penting dalam hati para sahabatnya saat
ia membentuk individu-individu yang taat kepada ajarannya.
Pilar pertama adalah keyakinan terhadap keagungan risalah Nabi SAW, yang
mengakar dalam hati para sahabat bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah adalah benar
dan yang lain adalah salah. Rasulullah mengajarkan mereka bahwa manhaj (metode)
yang ia bawa adalah yang paling lurus, dan dengan mengikuti metodenya, kebahagiaan di
dunia dan akhirat akan terwujud.
7

Pilar kedua adalah rasa bangga dalam memeluk ajaran Sunnah. Rasulullah
menanamkan dalam hati para sahabat bahwa selama mereka menjadi pembela kebenaran
dan penyebar risalah, mereka harus menjadi pemandu dan pelopor bagi umat manusia.
Pilar ketiga adalah optimisme dengan dukungan Allah SWT. Rasulullah
meyakinkan para sahabat bahwa selama mereka yakin pada kebenaran dan dengan
bangga memegang teguh prinsip-prinsip tersebut, Allah akan selalu bersama mereka.
Allah akan selalu mendukung, memberi panduan, dan memberikan rasa aman pada
mereka, bahkan di saat tidak ada manusia lain yang bisa membantu. (al-Ghazali, 2001.
Terj. Wahid Ahmadi)
Kutipan di atas mempertegas bahwa pendidikan harus tetap kuat dan
berkelanjutan, serta harus mampu melahirkan generasi yang sesuai dengan tuntutan
zamannya. Oleh karena itu, pendidikan harus didasarkan pada dua fondasi utama, yaitu
al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kedua prinsip tersebut harus menjadi inti dari
setiap aspek pendidikan dan menjadi dasar normatif. Namun, dalam
mengoperasionalisasikan pendidikan, tentu saja diperlukan pemikiran-pemikiran inovatif.
2.1.2.3 Amaliyah Sahabat Rasul
Hasan al-Banna memandang kehidupan para sahabat Nabi sebagai kisah penuh
nilai-nilai pendidikan yang mencerminkan kepatuhan mereka kepada Rasulullah, yang
hadir di tengah-tengah mereka pada saat itu. Mereka diyakini sebagai individu yang
terpelihara dari perbuatan jahat dan tidak pernah terjerumus dalam dosa besar. Mereka
selalu hidup dalam naungan bimbingan Rasulullah dan dianggap sebagai individu yang
paling memahami petunjuk serta paling dapat dipercaya dalam menyampaikan seluruh
pesan Rasulullah (Mahmud, 2000).
Keberadaan sahabat Rasulullah dan tindakan mereka, menurut Hasan al-Banna,
adalah pondasi utama dalam pendidikan Islam. Hal ini tercermin dalam tulisan Hasan al-
Banna yang menyatakan, "...telah ada penjelasan tentang sifat-sifat sahabat Rasulullah
SAW; mereka adalah manusia pilihan Allah SWT dan individu yang saleh dari kalangan
hambaNya. Mereka mengabdikan diri di mihrab untuk beribadah hingga larut malam,
sering menangis dalam istighfar, menyerupai seorang rahib pada malam hari dan seorang
pejuang yang gigih pada siang hari" (al-Banna, 1947).
Menggunakan amaliyah sahabat sebagai dasar pendidikan Islam adalah konsep
yang didukung secara kuat oleh Hasan al-Banna, mengingat para sahabat adalah individu
yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, dan menjadi penghubung utama antara pesan
Allah dan umat manusia pada masanya, bahkan berabad-abad setelah wafatnya Rasul.
Mereka adalah individu yang tulus dalam meniru perilaku Nabi, tanpa banyak pertanyaan
atau interupsi. Mereka lebih mengutamakan tindakan tanpa mempersoalkan manfaatnya
atau apa yang akan mereka terima sebagai balasannya di akhirat. Mereka adalah
perwujudan nyata dari kata-kata, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah. Oleh karena itu,
dalam banyak seruannya, Hasan al-Banna selalu mendorong umat Islam untuk
meneladani tindakan para sahabat. Dalam kata-katanya, "Dengarkan, saudara-saudaraku,
dakwah kami adalah dakwah yang menggabungkan Islam dalam semua maknanya,
berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul, serta sejarah individu-individu shaleh di masa
lalu. Kitab Allah adalah dasar Islam dan pondasinya, sedangkan sunnah Rasul adalah
8

penjelasannya. Sejarah individu-individu shaleh di masa lalu adalah pelaksana dari


seluruh perintah Allah. Mereka yang menerapkan ajaran-ajaran tersebut dan menjadi
contoh dalam menjalankannya." (al-Banna, 1949)
2.1.3 Tujuan Pendidikan Islam
Hasan Al-Banna (1906-1949) dikenal sebagai pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir. Meskipun lebih banyak berfokus pada tindakan praktis daripada karya tulis, ia
telah menyumbangkan pemikirannya melalui beberapa karyanya, seperti Mudzakirat al-
Da’wah wa al-Da’iyah dan Majmu’ah Rasa`il, serta tulisan-tulisan para akademisi dan
pengikutnya yang sangat melimpah. Terlepas dari orientasinya yang lebih politis,
pemikiran Hasan Al-Banna juga memberikan kontribusi penting dalam bidang
pendidikan sebagai bagian integral dari gerakannya. Dalam konteks ini, konsep
"tarbiyah" dalam pemahaman Hasan Al-Banna mengacu pada pembinaan dan kaderisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan menurut Hasan Al-Banna adalah
proyek kaderisasi untuk gerakan Ikhwanul Muslimin (Jung dan Zalaf 2020; Kramer
2009).
Hasan Al-Banna mengusung gagasan pendidikan melalui Ikhwanul Muslimin
dengan tujuan mempersiapkan individu-individu yang mencerminkan prinsip-prinsip
Islam sejati. Bagi Al-Banna, pendidikan adalah upaya manusia untuk memperbaiki
keadaan. Menurutnya, "tarbiyah" harus menjadi fondasi untuk bangkitnya Islam. Umat
Islam harus dididik agar mereka memahami hak-hak mereka dengan baik dan memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk memperoleh hak-hak tersebut (Ruslan, 2000).
Terdapat tiga poin fundamental yang terkait dengan pendidikan umat Islam
menurut Hasan Al-Banna. Pertama, umat Islam harus menjadi individu yang
berpendidikan; mereka harus mendapatkan pendidikan. Kedua, umat Islam harus
menjalankan kewajiban-kewajiban mereka agar mereka dapat memahami hak-hak yang
harus mereka terima. Umat Islam harus memiliki keterampilan dan kemampuan yang
diperlukan untuk memperoleh hak-hak ini. Al-Banna berusaha menciptakan hasil
pendidikan berupa individu yang saleh dan memadukan antara kebaikan moral dan
kemanfaatan praktis. Manusia yang sempurna, menurut pandangan Al-Banna, adalah
mereka yang memiliki keyakinan kuat, menjalankan ibadah dengan benar, dan memiliki
keterampilan yang memungkinkan mereka untuk menjadi kontributor positif dalam
masyarakat.
Pendidikan yang diajarkan oleh Al-Banna berakar pada prinsip-prinsip al-Qur'an,
yang membentuk dasar, pondasi, serta isi dan tujuan pendidikan. Pendidikan ini bertujuan
untuk mengenalkan manusia kepada Tuhannya, sehingga mereka dapat merasakan makna
dan mendapatkan pencerahan spiritual yang membantu mereka meninggalkan
materialisme yang kaku dan melangkah menuju kesucian, keindahan, dan kemuliaan
kemanusiaan. Pendidikan ini ditujukan untuk seluruh manusia, karena pada dasarnya
mereka adalah satu keluarga, bersaudara, dengan tuhan yang sama, dan tidak ada
perbedaan yang signifikan di antara mereka, kecuali dalam hal ketakwaan (Al-Banna,
1949).
Tujuan pendidikan menurut Hasan Al-Banna dirinci dalam sepuluh poin pokok,
masing-masing dengan sarana tersendiri. Pertama, pembentukan individu yang sehat
9

secara fisik dapat dicapai melalui olahraga teratur, gizi yang baik, dan gaya hidup sehat.
Kedua, pengembangan karakter yang baik dapat ditempuh dengan membiasakan perilaku
jujur, kejujuran, keberanian membela kebenaran, dan kualitas moral lainnya. Ketiga,
meningkatkan wawasan dilakukan dengan belajar berbagai ilmu pengetahuan, termasuk
sejarah kenabian, ilmu agama, ilmu komunikasi, budaya, ilmu politik, teknik, dan
berbagai keterampilan hidup. Keempat, mandiri dalam urusan ekonomi dilakukan dengan
menggalakkan kewirausahaan, menjauhi praktik riba, dan berperilaku ekonomi yang
halal. Kelima, memperbaiki keyakinan dilakukan dengan memperkuat keyakinan tanpa
memakai penafsiran yang berpotensi merusak, tidak mengkafirkan sesama Muslim,
melawan bid'ah, menghormati orang saleh, dan mengikuti sunnah yang diterima.
Keenam, meningkatkan ibadah dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat,
puasa, zakat, haji, jihad dalam segala kondisi, peningkatan niat dan taubat, serta
pengendalian diri. Ketujuh, menghargai waktu dengan melakukan prioritisasi dalam
pekerjaan. Kedelapan, memanfaatkan waktu luang dengan bijak. Kesembilan, memiliki
manajemen yang efektif dan efisien. Kesepuluh, memberi manfaat kepada orang lain
dengan aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial, memberikan pelayanan yang baik,
mendukung proyek-proyek Islam, menghormati sesama, dan memberikan pengaruh
positif kepada orang lain (al-Ghazali, 2001, terj. Wahid Ahmadi).
2.1.4 Kurikulum Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, terdapat ketidakseimbangan yang perlu diperbaiki,
terutama terkait masalah kurikulum. Sekolah-sekolah pemerintah lebih berfokus pada
pengetahuan umum dan mengabaikan ilmu-ilmu agama. Sebaliknya, sekolah-sekolah
agama hanya menekankan pada ilmu-ilmu agama dan mengabaikan pengetahuan umum.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan saat ini perlu diperbaiki, dengan fokus pada ilmu-
ilmu periferal yang tidak banyak memberikan manfaat bagi kemajuan Mesir. Tujuan
kurikulum seharusnya bukan hanya mencetak "mesin-mesin tulis" untuk tugas-tugas
pemerintahan. Upaya untuk menghilangkan identitas keberagamaan siswa telah
mengurangi peran pelajaran agama, yang kini hanya dianggap sebagai mata pelajaran
ekstra atau mata pelajaran non-SKS yang tidak diujikan dan tidak berpengaruh pada
kelulusan siswa. Bahasa Inggris juga mendominasi bahasa Arab (Al-Aziz dan Wibowo
2007).
Konsep pendidikan Hasan Al-Banna memiliki dua pilar utama. Pertama, ada pilar
"tarbawiy" atau pembinaan yang melibatkan pola belajar-mengajar dengan berbagai
perangkatnya. Tujuan dari pilar ini adalah untuk menyempurnakan potensi pribadi
Muslim yang terpelajar dan meningkatkannya agar mampu berinteraksi dengan
kehidupan yang lebih baik. Kedua, ada pilar "tanzhimiy" atau institusional yang terdiri
dari dua jenis institusi: internal dan eksternal. Institusi internal bertanggung jawab untuk
menetapkan aturan, kode etik, dan memastikan hubungan yang adil antara sesama
Muslim. Institusi eksternal mengatur hubungan antara negara Islam dan pihak lain,
termasuk aturan terkait perang, perdamaian, dakwah, kekuasaan, serta pengukuhannya
sebagai penutup bagi seluruh sistem nilai (Mahmud, 2001).
Hasan al-Banna, sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, secara konsisten mendorong
pemerintah untuk merombak sistem pendidikan berdasarkan Islam. Ia sangat
10

memperhatikan pentingnya menyusun kurikulum yang berbeda untuk siswa laki-laki dan
perempuan, serta menekankan agar pelajaran ilmu-ilmu eksakta tidak dicampur dengan
paham materialisme modern.
Melalui Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna aktif membangun dan mengelola
lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal (pendidikan luar sekolah). Komite
khusus yang dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin bertugas mendirikan sekolah dasar,
sekolah menengah, dan sekolah teknik untuk anak laki-laki dan perempuan, yang
mendekatkan pendidikan mereka dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan non formal,
menurut Al-Banna, dapat diatur di luar lingkungan sekolah melalui kegiatan
pembelajaran yang berkelanjutan, tanpa harus mengikuti jenjang tertentu. Ikhwanul
Muslimin menyelenggarakan beragam program pendidikan keagamaan, kursus, pelatihan
kejuruan untuk anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah, serta program khusus untuk
anak laki-laki dan perempuan. Mereka juga mendorong kewirausahaan bagi individu
yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Hasan Al-Banna percaya bahwa reformasi kurikulum pendidikan dapat dicapai
melalui tiga strategi:
2.1.4.1 Melakukan seleksi terhadap materi-materi pelajaran.
Hasan al-Banna, dalam memilih materi pelajaran, mengedepankan prinsip
pertama yang diakui para pakar pendidikan, yaitu mempertimbangkan tujuan
pembelajaran. Dalam konteks ini, al-Banna menekankan tiga hal penting. Pertama,
memberikan fokus yang lebih besar pada pelajaran agama dengan tujuan membentuk
mahasiswa yang kuat dalam ilmu agama dan mampu memahami dasar-dasar agama serta
ajarannya. Kedua, membebaskan kurikulum dari imitasi sekolah-sekolah modern dengan
menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu modern. Ketiga, membatasi pengajaran bahasa asing
dan lebih memprioritaskan pengajaran bahasa yang relevan untuk kepentingan dakwah.
Dengan prinsip-prinsip ini, al-Banna berupaya menciptakan kurikulum yang seimbang
antara agama dan ilmu-ilmu modern, serta menekankan pada persiapan mahasiswa untuk
berdakwah.
2.1.4.2 Menyeleksi dan menyiapkan para guru
Menurut pandangan Hasan al-Banna, peningkatan kualitas para dosen di
perguruan tinggi dapat dicapai dengan memberikan kebebasan kepada para mahasiswa
dalam memilih mata kuliah dan dengan menerapkan program khusus untuk memilih
dosen-dosen yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi. Dengan memberikan
kebebasan pemilihan mata kuliah kepada mahasiswa, akan tercipta kompetisi konstruktif
di antara para dosen, mendorong mereka untuk terus meningkatkan kualitas dan
kapabilitas mereka. Sehingga, hanya dosen-dosen terbaik yang dapat bertahan dan
memberikan kontribusi yang maksimal dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
2.1.4.3 Menyeleksi buku-buku ajar.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, salah satu langkah yang dapat
diambil adalah dengan mengembalikan perhatian pada buku-buku yang kaya dengan
pengetahuan dan mengupdate materi tersebut dengan bahasa yang lebih mudah dipahami
serta pembahasan yang lebih mendetail. Selain itu, penting juga untuk membentuk
sebuah komisi yang terdiri dari para ahli yang memiliki tugas untuk menyusun, memilih,
11

dan menyediakan buku-buku yang dapat memperluas pengetahuan dan kompetensi para
siswa, sehingga pendidikan menjadi lebih bermutu dan relevan dengan kebutuhan zaman
(Danie, 2012).
2.1.5 Materi Pendidikan
Dalam pemikiran Hasan al-Banna yang tercermin dalam karyanya yang
monumental, Hadis Tsutatsa, materi pendidikan mencakup beragam aspek mulai dari
azas bangunan Islam, keimanan, ilmu pengetahuan, harta benda, kesehatan, jihad,
pengorbanan, hingga keadilan yang merata (al-Banna, 1949). Ia menekankan pentingnya
mengajarkan dan memahami prinsip Tauhid sebagai inti pendidikan akidah. Kesucian
pengabdian kepada Allah, menjauhi syirik dan praktik-praktik khurafat menjadi fokus
utama dalam pendidikan akidah Banna. Konsep ini sejalan dengan pemikiran al-Ghazali
yang menyatakan bahwa inti dari pendidikan adalah Tauhid. Selain itu, Ikhwanul
Muslimin mendasarkan pembaruan mereka pada lima doktrin pokok: Allah sebagai
tujuan, Rasulullah sebagai teladan, Al-Qur'an sebagai undang-undang dasar, Jihad
sebagai metode perjuangan, dan syahid di jalan Allah sebagai cita-cita tinggi (Al-Banna,
1992). Kelima doktrin ini menjadi landasan bagi berbagai bidang perjuangan, termasuk
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan.
Hasan al-Banna juga memberikan perhatian khusus pada materi akidah dengan
konsep ibadah yang tidak hanya terbatas pada ritual agama, tetapi juga melibatkan
seluruh aspek kehidupan dan aktivitas manusia. Ibadah dalam pandangan Banna
mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah
serta menjauhi kemurkaan-Nya. Untuk membentuk akhlak yang baik dan
menginternalisasi nilai-nilai moral, Banna mendorong praktik rutin, seperti shalat
tahajjud, khatam Quran bulanan, doa, istighfar, menjauhi rokok, serta kedisiplinan dalam
menjalani hidup sehari-hari, seperti menunaikan janji dan berani membela kebenaran (al-
Banna, 1949).
Selain itu, Banna sangat memperhatikan aspek jasmani dalam pendidikan dengan
mengadopsi kegiatan olahraga seperti lari, senam, tinju, bela diri, basket, sepak bola, dan
kemah wisata. Aktivitas ini bertujuan untuk melatih kebugaran fisik, kedisiplinan, dan
sportivitas. Selain itu, pendidikan Jihad juga ditekankan untuk menumbuhkan semangat
patriotisme di kalangan pengikutnya. Untuk mewujudkannya, Banna mendirikan
Madrasah al-Tahdzib sebagai pusat pendidikan Ikhwanul Muslimin dan Madrasah
Ummahat al-Mukminin, sebuah lembaga pendidikan khusus untuk muslimah dengan
kurikulum yang difokuskan pada peran dan fungsi perempuan. Pada perkembangannya,
madrasah ini diserahkan kepada Departemen Pendidikan (Syalba, tt).

2.1.6 Model dan Metode Pendidikan Islam Hasan al-Banna


Hasan al-Banna dalam pemikirannya menekankan bahwa istilah "tarbiyah"
memiliki makna lebih kepada pembinaan dan kaderisasi daripada definisi pendidikan
konvensional. Pembinaan dan kaderisasi ini mencakup pembentukan para dâ’i dan
dâ’iyah yang memiliki misi menyampaikan ajaran Islam yang benar kepada seluruh umat.
Oleh karena itu, pendidikan dalam konsep Hasan al-Banna sangat berorientasi pada
12

aktivitas dakwah (Al-Qardhawi 2005). Al-Banna juga memberikan penekanan pada peran
penting generasi muda sebagai tulang punggung dalam perkembangan umat Islam. Ia
percaya bahwa generasi muda akan menjadi pendidik umat di masa depan dan oleh
karena itu, dakwah menjadi tugas penting yang harus dipikul oleh pemuda. Untuk
mempersiapkan pemuda untuk misi dakwah ini, pembinaan dan kaderisasi merupakan
langkah kunci (Al-Banna 1992).
Dalam rangka pendidikan bagi masyarakat secara luas, Ikhwanul Muslimin
menyelenggarakan pendidikan dengan sistem halaqah, di mana pembelajaran
berlangsung dalam kelompok dan dibimbing oleh seorang guru yang disebut naqib (Willi
2020). Model pendidikan ini erat kaitannya dengan sistem dakwah Usrah. Keterlibatan
anggota Ikhwanul Muslimin dalam halaqah usrah menjadi suatu kewajiban karena
menjadi komponen utama dalam pergerakan dan menjadi fondasi pergerakan itu sendiri.
Selain halaqah, Ikhwanul Muslimin juga melaksanakan beragam program pendidikan
lainnya seperti katibah (tarbiyah ruhani), rihlah (studi wisata), mukhayyam
(perkemahan), mu’askar (outbond semi-militer), daurah (pelatihan), nadwah (kajian
ilmiah dari para pakar atau spesialis), dan muktamar (Mahmud 2001).
Menurut Hasan al-Banna, dalam memberikan pemahaman dan pelajaran kepada
siswa, penting untuk menyentuh hati dan perasaan mereka, karena dengan cara ini
seluruh aspek individu, termasuk tubuh dan jiwa, akan tergerak dan termotivasi untuk
berbuat. Hasan al-Banna memandang metode pendidikan sebagai alat untuk
mengendalikan jiwa siswa agar patuh terhadap pendidiknya. Ia menekankan bahwa
pendidikan harus diselaraskan dengan metode pengajaran yang tepat. Hasan al-Banna
mengatakan: "Tata cara pembelajaran harus diatur dengan bijaksana, karena setiap umat
dan bangsa Islam memiliki pendekatan tersendiri dalam mengajar dan membentuk
generasi penerus serta membina pemimpin masa depan. Oleh karena itu, cara yang
ditegakkan harus didasarkan pada kebijaksanaan dan mampu menjamin keluarnya mata
air keagamaan, pemeliharaan akhlak generasi, pemahaman terhadap hukum agama, serta
persiapan untuk kebesaran dan kemajuan yang komprehensif dan merata."
Hasan al-Banna meyakini bahwa metode pendidikan harus bersifat komprehensif,
mengintegrasikan aspek-aspek tubuh, akal, dan jiwa manusia, serta mendorong individu
untuk berintegrasi dengan kehidupan dunia dan akhirat. Ia mengakui pentingnya
menghormati kekuatan rohani, intelektual, dan fisik dalam diri manusia dan siap untuk
memenuhi kebutuhan semua aspek tersebut. Ia juga menekankan bahwa metode
pendidikan harus bersifat praktis dan dapat diaplikasikan, mudah diakses, serta realistis.
Pendekatan ini mendorong praktik nyata daripada teori semata. Metode pendidikan
Hasan al-Banna juga harus memperhatikan perkembangan dan emosi manusia dan harus
dapat diakses dengan kemampuan individu.
Hasan al-Banna menerapkan suatu metode pengajaran yang berprinsip humanis,
demokratis, dan egaliter, yang berbeda dari pendekatan doktriner. Dalam metodenya, ia
menekankan pentingnya qudwah hasanah, yaitu menjinakkan hati individu sebelum
memasuki fase pembelajaran lebih lanjut. Ia percaya bahwa mengenal siswa secara
mendalam adalah langkah awal yang penting sebelum memberikan tugas-tugas kepada
mereka, dan penting untuk menyesuaikan tugas tersebut dengan kemampuan siswa.
13

Hasan al-Banna juga mengutamakan memberikan motivasi dan penghargaan sebelum


mengenakan hukuman, serta menekankan prioritas memahami prinsip-prinsip pokok
syariat Islam daripada cabang-cabangnya. Dengan demikian, pendekatan ini
menunjukkan bahwa Hasan al-Banna berkeinginan agar pendidik memiliki beragam
strategi untuk berinteraksi dengan siswa, mempertimbangkan tingkat kesiapan dan
kemampuan individu, serta menguasai baik aspek pedagogis maupun andragogis dalam
pendidikan.
Metode pengajaran yang ditawarkan oleh Hasan al-Banna mencakup enam
pendekatan:
2.1.6.1 Metode diakronis, yaitu metode pengajaran yang menonjolkan aspek sejarah. Metode ini
memberi kemungkinan ilmu pengetahuan sehingga anak didik memiliki pengetahuan
yang relevan, memiliki hubungan sebab akibat atau kesatuan integral.Oleh karena itu,
metode ini disebut juga dengan metode sosio-historis.
2.1.6.2 Metode sinkronik-analitik, yaitu metode pendidikan yang memberi kemampuan analisis
teoritis yang sangat berguan bagi perkembangan keimanan dan mental-intelektual.
Metode ini banyak menggunakan teknik pengajaran seperti diskusi, lokakarya, seminar,
resensi buku dan lain-lain.
2.1.6.3 Metode hallul musykilat (problem solving), yaitu metode yang digunakan untuk melatih
anak didik berhadapan dengan berbagai masalah dari berbagai cabang ilmu pengetahuan
sehingga metode ini sesuai untuk mengembangkan potensi akal, jasamani, dan qalb.
2.1.6.4 Metode tajribiyyat (empiris), yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh
kemampuan anak didik dalam mempelajari ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum melalui realisasi, aktualisasi, serta internalisasi sehingga
menimbulkan interaksi sosial. Metode ini juga sangat cocok untuk pengembangan potensi
akal, hati, dan jasmani.
2.1.6.5 Metode al-istiqraiyyat (induktif), yaitu metode yang digunakan agar anak didik memiliki
kemampuan riset terhadap ilmu pengetahuan agama dan umum dengan cara berpikir dari
hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang umum, sehingga metode ini sesuai untuk
mengembangkan potensi akal dan jasmani.
2.1.6.6 Metode al-istinbathiyyat (deduktif), yaitu metode yang digunakan untuk menjelaskan hal-
hal yang umum kepada hal-hal yang khusus, kebalikan dari metode induktif (Maunah,
2011).

2.1.7 Hubungan Pendidik dan Peserta Didik


Hasan al-Banna, dalam berbagai dialog lisan dan tulisannya, kerap menggunakan
kata "kita" dan "kami" untuk membina hubungan dekat, tanpa jarak, antara pendidik dan
peserta didik. Pemikiran yang dituangkan dalam tulisan-tulisan Banna menciptakan kesan
bahwa ia bukan sekadar seorang teoretikus yang terperangkap dalam pemikiran tanpa
aplikasi praktis dalam kehidupan nyata. Lebih tepatnya, Banna adalah seorang praktisi
lapangan yang mengimplementasikan setiap gagasan dan ide yang ia peroleh dari
Alquran dan Hadis. Dia menjelma sebagai seorang pemimpin dan pendidik yang berbagai
keahliannya. Perannya mirip dengan figur seorang ayah yang memberi perhatian dan
peduli terhadap pengikutnya, khususnya dalam ranah pendidikan.
14

Seorang pendidik, menurut Hasan al-Banna, harus memiliki kompetensi


kepribadian yang mencakup kekuatan batin dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuan
serta ketahanan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam proses pembelajaran.
Keutuhan, kejujuran, ketekunan, dan ketahanan dari sikap munafik merupakan
karakteristik yang harus dimiliki. Seorang pendidik juga perlu rela berkorban, tidak
tergoda oleh dorongan materi, dan menjauhi sifat serakah. Dalam melaksanakan
tugasnya, pendidik harus mengajar dengan penuh hati dan selalu mendoakan kesuksesan
para siswa (Hawa, 2005).
Pendekatan pendidikan Hasan al-Banna juga memperkenalkan konsep Usrah
melalui gerakan Ikhwanul Muslimin. Konsep ini menekankan pentingnya dasar
persaudaraan yang kuat, hubungan yang erat, dan kepedulian sesama anggota, bahkan
hingga siap menghadapi penderitaan bersama. Usrah, menurut Banna, terdiri dari tiga
pilar utama. Pertama, saling mengenal (ta'aruf), yang mengamankan persatuan. Kedua,
saling memahami (tafahum) sesama anggota dan memberikan nasihat. Ketiga, saling
membantu (takaful) dalam menunjukkan solidaritas dan dukungan antaranggota.
Al-Banna mengatakan, "Islam sangat menganjurkan agar pemeluknya membentuk
kelompok-kelompok seperti keluarga dengan tujuan untuk memberikan keteladanan,
memperkuat persatuan, dan membangun persaudaraan dari hanya kata-kata dan teori
menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu, saudara-saudara harus sungguh-sungguh
menjadi bagian yang kuat dalam bangunan Islam" (Al-Banna, 1992).
Untuk mengokohkan nilai-nilai ini, anggota Ikhwanul Muslimin mengadakan
pertemuan mingguan di mana mereka berbagi masalah sehari-hari dan bekerja bersama
untuk menemukan solusi. Pertemuan ini juga menjadi wadah untuk membahas isu-isu
keagamaan dan studi buku-buku. Pendekatan semacam ini kemudian diadaptasi dalam
pendidikan sekolah Islam terpadu melalui program mentoring (David, 1995).
2.1.8 Evaluasi Pendidikan
Menurut Hasan al-Banna, prinsip evaluasi pendidikan Islam adalah bahwa materi
evaluasi harus sejalan dengan materi pengajaran yang telah diberikan. Artinya, tidak
boleh menguji hal-hal yang tidak pernah diajarkan atau mengajar konsep-konsep yang
tidak akan diujikan. Dalam pelaksanaan evaluasi, unsur terpenting adalah kejujuran.
Banna menerapkan metode evaluasi yang disebut "Muhasabah" untuk membentuk sikap
percaya diri dan introspeksi diri. Dalam metode ini, individu membuat pertanyaan kepada
diri sendiri yang kemudian dijawab dengan jujur. Pendekatan ini lebih menekankan pada
pengawasan diri sendiri daripada pengawasan oleh pihak lain (Saidan, 2013).
Tujuan dari proses evaluasi adalah sebagai sarana untuk meningkatkan diri. Oleh
karena itu, Banna memandang bahwa setiap ujian atau cobaan yang dihadapi dalam hidup
memiliki dampak positif. Banna selalu memandang bencana atau kesulitan yang
menimpa umat manusia sebagai peluang untuk melakukan evaluasi diri. Hasan al-Banna
juga menekankan keyakinan bahwa Allah selalu hadir, memantau, dan memperhatikan
tindakan manusia. Ia percaya bahwa hati orang yang beriman akan terhindar dari perilaku
curang jika selalu melakukan introspeksi dan merasa selalu diawasi oleh Allah.
15

2.2 Pengaruh Pemikiran Pendidikan Hasan Al-Banna di Indonesia


Pemikiran Hasan Al-Banna dalam bidang pendidikan tak lepas dari pengaruh
situasi sosial-politik Mesir yang tampak di depan matanya ketika itu. Pasca
kepemimpinan Sa’d Zaghlul (perdana Menteri Mesir tahun 1924), terjadi disintegrasi
politik dalam negeri dan Mesir menjadi ajang pertarungan antar partai politik. Akibat
pertarungan yang tidak sehat ini, memudarlah semangat nasionalisme yang berakibat
kepada melemahnya bangsa Mesir. Selain itu, partai politik yang berkuasa ketika itu tidak
lagi mengacu kepada nilai-nilai Islam dalam menentukan kebijaksanaan politiknya, tetapi
sepenuhnya berkiblat kepada Barat. Seluruh aturan, kebiasaan, nilai-nilai moral, dan
konsepsi politiknya berorientasi ke Barat.
Dalam bidang agama dan moral, Mesir seakan sudah mengalami Westernisasi.
Dominasi budaya Barat ini memicu kecenderungan orang-orang Mesir bergaya hidup
Barat dan memungut gagasan-gagasan Barat (David 1995). Di bidang ekonomi, sumber
daya alam, modal, serta pengawasan perekonomian berada di tangan Inggris yang
mengakibatkan rakyat lemah dan jatuh miskin (David 1995). Di bidang politik, tampak
adanya pengelompokan dan pemisahan yang tajam antara ahli politik dan ahli agama.
Ahli agama dipandang hanya berwenang berbicara mengenai agama, dan ahli politik
berwenang berbicara soal politik. Berbicara tentang politik dianggap tabu oleh ahli
agama. Sebaliknya, lahir pula banyak partai yang mengaku tidak memiliki hubungan
dengan soal agama (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam 1994).
Secara garis besar pembaharuan Mesir mempengaruhi gerakan pembaharuan di
Indonesia. Sebut saja tokoh-tokoh pembaharu Mesir seperti Jamluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, kemudian Hasan al-Banna mengalirkan arus
pembaharuan di Indonesia. Sengaja atau tidak, Sumpah Pemuda di Indonesia terjadi di
tahun yang sama dengan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin yang juga sama- sama
menghembuskan semangat persatuan bangsa untuk melawan dan mengusir penjajahan
Eropa di Asia. Jika majalah Al-Manar di Mesir menjadi wadah untuk menyuarakan
pembaharuan Islam, maka di Indonesia, majalah al-Munir menjadi alat menyuarakan
kebangkitan Islam Indonesia yang di usung oleh Muhammadiyah. Beberapa organisasi
massa dan partai politik di Indonesia disinyalir terinspirasi dari gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir. Antara lain Partai Masyumi Baru (1998), Partai Bulan Bintang
(PBB), Ikhwanul Muslimin Indonesia (2001), dan Partai Keadilan Sejahtera (2002).
Untuk PKS khususnya, pengaruh Ikhwanul Muslimin dalam pembentukan
ideologi PKS sangat besar. Pemikiran Ikhwanul Muslimun telah disemai sejak masa
embrio partai ini. Lembaga Dakwah Kampus dan gerakan Tarbiyah adalah transmisi pola
dakwah Ikhwanul Muslimin.LDK sendiri muncul dan dikembangkan di Mesjid Salman
ITB.Buku Panduan Usroh (sistem dakwah Ikhwanul Muslimin) yang terbit di Malaysia
menjadi buku panduan di LDK Mesjid Salma ITB dan LDK lainnya di Indonesia (Siddiq,
2003).
Hasil penelitian Ramadhani (2021) terkait Refleksi Pemikiran Hasan Al-Banna di
sebuah Sekolah Islam Terpadu di Banjarmasin, menyebutkan bahwa terdapat relevansi
ideologis dan relevansi aplikatif. Secara ideologis ia menyebutkan bahwa sekolah Islam
terpadu mengambil rujukan konsepsi dan semangat pendidikan pemikiran Hasan Al-
16

Banna sambil memadukannya dengan pemikiran pendidikan Barat yang dianggap tidak
mengganggu nilai-nilai Islam. Adapun relevansi aplikatif dapat dimaknai dengan upaya
sekolah Islam terpadu menterjemahkan pemikiran Hasan Al-Banna dalam praktik dan
pola pendidikan. Relevansi aplikatif yang paling kontras dalam praktik pendidikan
sekolah Islam terpadu adalah integralisasi ilmu agama dan non-agama.
Integralisasi ilmu merupakan tema penting yang memenuhi atmosfer revivalisme
Hasan Al-Banna pada awal abad ke-20, seiring dengan munculnya kesadaran akan
pentingnya ilmu-ilmu non- keagamaan bagi peradaban Islam. Namun ilmu-ilmu yang
disadari sebagai warisan peradaban Islam dinilai telah kehilangan aspek spiritualnya
sehingga digunakan untuk tujuan yang tidak berlandaskan pada nilai-nilai keluhuran.
Oleh karena itu dalam pandangan revivalis, ilmu-ilmu dari Barat yang sekuler itu harus
disucikan terlebih dahulu dan memberinya nilai-nilai ketuhanan (Bakir 2018; Fahrudin,
Mulyadi, dan Ichsan 2020). Berbagai upaya dilakukan oleh para cendekiawan Islam
untuk tujuan tersebut, termasuk upaya yang dilaksanakan Hasan Al- Banna dalam rangka
dakwah tarbiyah Ikhwanul Muslimin.
Sebagai tokoh yang hidup di masa revivalisme Islam dan dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran pembaharu, Al-Banna memperkenalkan pendidikan berdasarkan
integralisme ilmu. Integralisme ilmu dan pendidikan dalam perspektif Al-Banna
didasarkan pada kesadaran akan potensi manusia yang integral. Oleh sebab itu, definisi
pendidikan bagi Hasan Al-Banna adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah
manusia. Proses interaksi tersebut dilaksanakan dalam metode yang integral pula, baik
metode yang dilaksanakan di dalam kelas maupun metode yang dilaksanakan di luar
sekolah (Jannah 2017). Prinsip integralisme ilmu ini kemudian diaplikasikan dalam
pendidikan sekolah Islam terpadu. Dengan prinsip integralisme ilmu Hasan Al-Banna,
sekolah Islam terpadu berupaya memadukan seluruh aspek manusia sebagai objek
pendidikan dan seluruh jenis ilmu sebagai subjek pendidikannya. Aspek ruhaniyah dalam
pemikiran pendidikan Hasan Al-Banna diimplementasikan dalam bentuk kurikulum
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pendidikan Al-Qur’an. Aspek intelektual
dilaksanakan dalam bentuk kurikulum Nasional yang memuat segala ilmu umum.
Adapun aspek jasmani dilaksanakan dalam bentuk seperti kurikulum kepanduan dan
kurikulum keterampilan.
Pendidikan ruhaniyyah kemudian menjadi pokok orientasi dalam bentuk
pendidikan akhlak, pendidikan sosial, dan bahkan politik. Pendidikan akhlak
diaktualisasikan dalam bentuk pemberlakuan tata tertib sekolah yang beorientasi adab
dan sopan santun, pelaksanaan program-program pembinaan kesiswaan berupa mentoring
(halaqah), pengisian lembar muhasabah, dan malam bina iman dan taqwa (mabit).
Pembinaan akhlak juga disajikan bagi murid dalam bentuk keteladanan para guru dan
karyawan sekolah. Adapun pendidikan sosial dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Diantara kegiatan tersebut seperti Pandu SIT untuk membina jiwa kepemimpinan anak
didik, kegiatan bulan sabit merah remaja dalam membina jiwa kepedulian terhadap
sesama, rihlah, kunjungan ke panti-panti asuhan.
Diantara kegiatan pembinaan kesiswaan yang menjadi ciri khas sekolah Islam
terpadu Ukhuwah adalah mentoring atau halaqah. Aktivitas halaqah ini adalah aktualisasi
17

dakwah gerakan tarbiyah yang terinspirasi dari metode dakwah Usrah Ikhwanul
Muslimin kemudian disesuaikan dengan konteks pendidikan dasar dan menengah.
Kegiatan usrah merupakan program kaderisasi paling esensial dalam Ikhwanul Muslimin.
Hal ini karena di dalamnya berisi unsur pokok dalam pergerakan serta sebagai fondasi
awal dalam struktur bangunan jamaah ke dalam jiwa setiap anggota.
Pilar usrah adalah harus saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan
saling bersolidaritas (takaful) dengan saling membantu. Dalam konteks sekolah Islam
terpadu Ukhuwah Banjarmasin, usrah dapat ditemukan pada setiap unsur sekolah, mulai
dari kepala sekolah, guru, hingga orang tua siswa yang dilibatkan dalam proses
pendidikan. Kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah dipertemukan dalam berbagai
forum dan perkumpulan keakraban, seperti liqa, siswa diberikan kegiatan-kegiatan yang
menanamkan sifat persaudaraan, seperti lomba-lomba, perkemahan.
Hubungan antara pemikiran Hasan Al-Banna dengan sekolah Islam terpadu tidak
hanya pada tataran praktik pendidikan kurikuler dan ekstrakulikuler. Pada tataran ini
guru, karyawan, dan siswa sekolah Islam terpadu diajarkan dan dianjurkan untuk
mempraktekkan wirid, doa dan zikir Hasan Al-Banna dalam karyanya yaitu Al-Ma’tsurat.
Realitas ini menunjukkan hubungan aplikatif antara pemikiran Hasan Al- Banna dengan
sekolah Islam terpadu juga dalam ritualitas personal setiap orang yang memiliki
keterkaitan dengan sekolah Islam terpadu.
2.3 Biografi Jamaluddin Al-Afghani
Nama lengkapnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani, lahir di Asadabad pada tahun
1255 H/ 1838 M, wafat pada tahun1315 H/ tanggal 9 Maret 1897 di Istanbul. Gelas Sayid
menunjukkan bahwa ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Di samping
nama Al-Afghani, ia juga dikenal dengan nama Asabadi. Nama al-Afghani dinisbahkan
kepada negeri kelahirannya, ia lahir dari keluarga penganut Madzhab Hanafi
Tentang tempat kelahirannya terdapat dua persi. Menurut pengakuannya bahwa ia
dilahirkan di As’adabad dekat kanar wilayah kabul Afghanistan. Menurut pendapat yang
lain bahwa ia lahir di As’adabad dekat hamadan wilayah persia. Al- Afghani mengaku
orang Afghanistan untuk menyelamatkan diri dari kesewenang- wenangan penguasa
Persia.6 Menurut Majid Fakhry, bahwa Al-Afghani dilahirkan di Asadabad Persia,
kemudian hijrah dengan keluargannya ke Qazwin dan kemudian ke Teheran, di situ ia
belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, Teologi Syi’ah yang sangat terkemuka saat itu
Teheran.7 Ayahnya bernama Sayid Shaftar, satu di antara keturunan itu yang amat
dihormati di negeri Afganistan. Silsilah keturunan itu ditengahnya bertemu dengan
perawi hadis yang masyhur, yaitu Sayid Ali At-Turmuzi dan di antaranya sampailah
kepada Husain Bin Abi Thalib.8
Ali Rahnema mengemukakan bahwa tak ada sumber primer yang mendukung
bahwa tempat lahir atau besarnya Al-Afghan, tetapi banyak sumber yang mengatakan ia
lahir dan mendapat pendidikan syi’ah di Iran. Hal ini didukung dengan banyak tulisan
tentang Al-Afgani yang memperlihatkan bahwa Al-Afghani mendapat pendidikan di Iran
dan hampir pasti di kota-kota suci Syi’ah di Irak, dia piawi dalam filsafat islam dan
dalam syi’ah dalam madzhab Syaikhi yang merupakam ragam Syi’ah yang sangat
18

filosofis pada abad kedelapan belas dan kesembbilan belas.9 Al-Afghani dikenal dengan
seorang banyak melakukan pengembaraan. Dari
Teheran ia pindah ke al-Najd di Irak, pusat studi keagamaan Syi’ah , disitulah ia
menghabiskan waktunya selama empat puluh tahun sebagai murid Murtadha al- Anshari,
seorang teologi dan sarjana yang terkenal. Pada tahun 1853 ia melawat ke India, dimana
ia diperkenalkan dengan studi-studi ilmu-ilmu Eropa. Ada waktu selanjutnya ia
melakukan perlawatan ke berbagai negara di dunia, seperti Hijaz, Mesir, Yaman, Turki,
Russia, Inggris, dan Perancis. Salah satu yang paling berkesan dari perjalanannya ini
adalah kunjungan ke Mesir pada tahun 1869 dan di negeri ini ia memulai memunculkan
pemikiran pembaruan.10
Al-Afghani seorang refornis dan modernis, dikenal pula sebagai seorang yang
pernah aktif dalam dunia politik. Hal ini dibuktikan pada tahun 1876 ia bergabung
dengan para politikus di Mesir pada tahun 1879 membentuk suatu partai politik dengan
nama Hizb al-Wathani (partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan
kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang mesir. Al- Afgani juga diakui sebagai
seorang filosof, jurnalis dan sufi, namun yang lebih banyak dipublikasikan adalah sebagai
seorang politikus.
Karena berbagai ide pembaruan yang dimunculkannya, maka ia sering mendapat
tekanan bahkan dipenjara oleh para pengusaha yang tidak setuju terhadap ide yang
diperjuangkannya. Hal itu menimbulkan adanya mitos di seputar kematiannya, bahwa ia
meninggal akbat diracuni oleh Sultan. Namun bukti yang terdokumentasi dengan baik
menyatakan bahwa Al-fghani meninggal akibat penyakit kanker di dagunya . dan pernah
dioperasi (Noorthaibah, 2015).
2.4 Ide Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani
2.4.1 Pelestarian Kegiatan Ijtihad
Walaupun tidak ada keputusan resmi bahwa ijtihad telah tertutup, namun sebagia
besar ulama Islam menyatakan bahwa “Ijtihad tidak terlalu diizinkan” (Watt, 1988: 106).
Fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak ada mazhab baru yang resmi membukanya
sesudah abad ke 9 M, kecuali hanya sebagian dari penganut mazhab Hambali. Kemudian
baru pada pertengahan abad ke 9 M, ruh ijtihad itu ditembuskan kembali, setelah umat
Islam terkejut dari lamunan tentang masa lalunya. Mereka segera menyadari akan
kelemahannya. Faktor pendukung lahirnya kesadaran umat Islam ini adalah tersebarnya
pikiran-pikiran Jamaludin Al-Afghani ke tengah masyarakat muslim.
Jamaludin Al-Afghani sebagai tokoh reformis, tidak hanya vokal menyuarakan
agar kembali membuka pintu ijtihad tetapi ia secara sistematis membuat satu rencana
untuk merelisasikan program ijtihadnya, yaitu menyesuaikan pemahaman akan syari’at
Islam dengan kondisi modern, semua ini akibat pertemuan antara masyarakat muslim
dengan Barat (Madkur, 1984: 98). Ia menanggapi secara serius pernyataan Hakim Iyadl
bahwa pintu ijtihad telah tertutup (Madkur, 1984: 98). Menurut Jamaludin Al-Afghani,
dengan tertutupnya pintu ijtihad, menyebabkan munculnya kelemahan dan kemunduran
serta ketertinggalan umat Islam. Thesis semacam ini telah mendorongnya untuk selalu
memperjuangkan agar semua muslim yang memiliki kemampuan untuk melakukan
19

ijtihad. Bahkan perubahan dan kemajuan zaman itu adalah merupakan inspirasi dan lahan
yang luas untuk berijtihad.
Pelestarian ijtihad menurut Jamaludin Al-Afghani adalah perenungan kembali
secara mendalam nilai-nilai Islam, dengan cara mengadakan ijtihad terhadap al-Qur’an,
menghilangkan fanatisme mazhab, menghilangkan taqlid golongan, menyesuaikan
prinsip al-Qur’an dengan kondisi kehidupan umat, melenyapkan khurafat dan bid’ah-
bid’ah dan menjadikan Islam sebagai satu kekuatan positif untuk mengarahkan
kehidupan.
2.4.2 Salafiyah
Jamaluddin Al-Afghani juga mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah,
yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya,
umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu
diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang
saleh yaitu Muhammad SAW yang membawa ajaran Islam yang murni. Sebenarnya
Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah
(revivalis).
Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh
Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari Afghani terdiri
dari tiga komponen utama, yaitu : 1) Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan
kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam
yang masih murni dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa
al-Rasyidin; 2) Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik,
ekonomi maupun kebudayaan; dan 3) Pengakuan terhadap keunggulan barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua
bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu
disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis
memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun
alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.
Pada intinya pemikiran dan gerakan salafiyah merupakan ajakan kembali kepada
ajaran Islam terdahulu yang masih murni.
2.4.3 Pemurnian Ajaran Islam
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam serta pengembalian
keutuhan umat Islam, Jamaluddin Al-Afghani berusaha untuk mencapai pembaharuan
tersebut, antara lain dengan cara : 1) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan
ketakhayulan; 2) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi
luhur; 3) Rukun iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup; dan 4) Setiap generasi
umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan kepada
manusia bodoh, memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.
Memurnikan ajaran Islam dari segala unsur tahayul, bid’ah dan khurafat. Gerakan
ini berusaha mengembalikan Islam kepada sumber aslinya membersihkan tauhid dari
syirik, membersihkan ibadah dari bid’ah, mengajarkan hidup sederhana sebagai
pengganti kemewahan hidup yang melanda kaum muslimin saat itu. Adapun cara-cara
20

dakwah untuk mencapai tujuan dari pembaharuan pemikiran yang dimunculkan


Jamaluddin al-Afghani adalah : 1) Dengan banyak mengunjungi negara-negara Islam; 2)
Menerapkannya di dalam kurikulum sekolah atau universitas Islam; 3) Melalui
penerjemahan buku-buku asing; 4) Melalui penerbitan berbagai media cetak dan
organisasi Islam; dan 5) Melalui berbagai penelitian yang ditulisnya.
2.4.4 Bidang Politik
Menurut Jamaludin Al-Afghani, ada dua faktor politis yang menyebabkan
kemunduran Islam, yaitu faktor internal, meliputi: Pemerintahan otokrat-absolut,
kurangnya peralatan dan kekuatan militer, termasuk kekurangan profesionalisme dalam
bidang administrasi. Kemunduran faktor ekesternal, yaitu dominasi kekuatan imprialisme
Barat modern. Misalnya di Afganistan telah terjadi konflik antara keluarga kerajaan
dengan penguasa, karena politik Inggris dan karena tipu daya Inggris itulah ia pindah ke
India.
Dalam kata pengantar majalah al-Urwat al-Wusqa nomor I, Jamaludin Al-Afghani
mengatakan bahwa pendudukan Inggris adalah sebuah malapetaka besar bagi dunia
Islam. Ia mengajak umat Islam untuk bersatu menghadapi malapetaka ini. Untuk itu umat
Islam dituntut untuk menggalang persatuan yang lebih kokoh. Lebih lanjut ia mengatakan
“Sungguh, bahaya yang melanda Mesir telah menyakitkan hati umat Islam.
Bahaya itu bukan barang rahasia lagi bagi mereka, sebab persatuan mereka melebihi
persatuan ras dan bahasa. Selama al-Qur’an masih dibaca dan ayat-ayatnya dimengerti
orang, maka tak ada yang dapat menghinakan mereka. Mala petaka yang ada di Mesir
telah membawa kesedihan dan luka yang mendalam dihati umat Islam, sesuatu yang tidak
disangka-sangka, mereka harus menekan dada menghadapi kenyataan yang lalu maupun
yang akan datang”.
“Hai bangsa Mesir, ini adalah negaramu, kehormatanmu, aqidahmu, moral dan
undang-undangmu. Musuh berusaha merampas itu semua dengan tipu daya mereka.
Mereka yang merusak keadaan dan menghantuimu dengan ketakutan. Mereka yang
memberikan sebagian negaramu kepada penjajah mereka mengambil sumber-sumber
alam dan bahkan ingin mencampuri urusan pribadimu, seperti masalah wakaf” (Hawi,
2017).
2.5 Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani terhadap Pendidikan
2.5.1 Menekankan pentingnya pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan modern
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang tokoh reformasi pendidikan Islam yang
penting dalam sejarah pemikiran Islam modern. Ia berpendapat bahwa pembaharuan
pendidikan sangat penting untuk memajukan umat Islam dan mengatasi ketertinggalan
dalam bidang sains dan teknologi. Beberapa aspek reformasi pendidikan mrnurut
Jamaluddin al-Afghani adalah sebagai berikut (Miswanto, Dkk. 2023)
2.5.1.1 Pentingnya pendidikan untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis dan
rasional. Ia menekankan bahwa pendidikan harus membantu orang untuk
memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dengan benar, sehingga
mereka dapat mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.
21

2.5.1.2 Perlunya pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan modern, seperti sains
dan teknologi. Menurutnya, umat Islam harus mempelajari ilmu pengetahuan
modern agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam perkembangan dunia
modern. Ia juga menekankan pentingnya mengintegrasikan ilmu pengetahuan
modern dengan nilai- nilai agama Islam.
2.5.1.3 Perlunya reformasi sistem pendidikan Islam yang ketinggalan zaman dan
kurang efektif dalam menghasilkan generasi muda yang terampil dan
berkualitas. Ia mengusulkan agar kurikulum pendidikan Islam harus
direformasi dan diperbaharui agar dapat mencakup ilmu pengetahuan modern
serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan rasional.
2.5.1.4 Menolak pendidikan yang hanya bersifat menghafal dan tidak membantu
perkembangan kemampuan berpikir dan keterampilan praktis. Menurutnya,
pendidikan harus dapat mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi
tantangan modern dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
2.5.1.5 Menekankan pentingnya kesetaraan dalam pendidikan, baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Ia berpendapat bahwa setiap orang, tanpa memandang
gender atau status sosial, berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas
dan relevan dengan zaman.
2.5.1.6 Memperjuangkan pendidikan yang terbuka dan bebas dari pengaruh politik
dan kekuasaan. Menurutnya, pendidikan harus menjadi alat untuk
memberdayakan masyarakat dan memajukan umat Islam secara keseluruhan,
bukan untuk kepentingan golongan tertentu atau Negara
Pandangan Jamaluddin al-Afghani tentang reformasi pendidikan menunjukkan
bahwa ia memahami pentingnya pendidikan dalam memajukan umat Islam dan mengatasi
ketertinggalan dalam bidang sains dan teknologi. Ia juga berusaha mengatasi beberapa
masalah dalam sistem pendidikan Islam yang ketinggalan zaman dan kurang efektif.
Pandangan Jamaluddin al-Afghani memberikan inspirasi bagi banyak tokoh reformis dan
intelektual Muslim dalam mengembangkan pendidikan Islam yang relevan dengan zaman
dan mempersiapkan generasi muda yang terampil dan berkualitas.
2.5.2 Menentang pendidikan tradisional yang terlalu fokus pada hafalan tanpa
pemahaman.
Menurut Jamaluddin al-Afghani, salah satu aspek penting dalam reformasi
pendidikan adalah menentang pendidikan tradisional yang terlalu fokus pada hafalan
tanpa pemahaman. Ia berpendapat bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus
pada menghafal kitab suci atau buku-buku teks, tetapi juga harus membantu siswa untuk
memahami dan menerapkan konsep-konsep yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Jamaluddin al-Afghani menekankan pentingnya pendidikan yang berorientasi
pada pemahaman dan keterampilan praktis, sehingga siswa tidak hanya menjadi
hafalannya tetapi juga memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan menghadapi
tantangan yang ada di masyarakat modern. Ia juga menekankan pentingnya pengajaran
ilmu pengetahuan modern, seperti sains dan teknologi, dalam mengembangkan
22

pendidikan Islam yang relevan dengan zaman. Pandangan Jamaluddin al-Afghani tentang
pendidikan yang berbasis
pemahaman dan keterampilan praktis sangat relevan dengan kondisi masyarakat
Islam pada zamannya, yang masih terbelakang dalam bidang pendidikan dan teknologi.
Dengan demikian, upaya reformasi pendidikan yang dilakukan oleh Jamaluddin al-
Afghani dapat menjadi inspirasi bagi banyak tokoh reformis dan intelektual Muslim
dalam mengembangkan pendidikan Islam yang berkualitas dan relevan dengan zaman.
2.5.3 Mengadvokasi pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan kreativitas.
Jamaluddin al- Afghani berpandangan bahwa pentingnya pendidikan yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas dalam menghadapi tantangan
zaman. Dalam konteks pendidikan Islam, hal ini juga sejalan dengan pandangan
Muhammad Abduh, seorang reformis Islam dari Mesir yang juga menekankan
pentingnya pendidikan yang berorientasi pada pemahaman dan keterampilan praktis.
2.5.4 Menekankan pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing untuk memperluas
wawasan.
Menurut Slamet Muljana, Jamaluddin al-Afghani merupakan salah satu tokoh
yang memperjuangkan pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing sebagai bagian dari
reformasi pendidikan. Menurutnya, mempelajari bahasa asing seperti Inggris dan Prancis
dapat membuka wawasan dan memberikan kesempatan untuk mengakses ilmu
pengetahuan modern yang dipublikasikan dalam bahasa tersebut. Hal ini sejalan dengan
pandangan M. Syafi'i Hadzami yang menyatakan bahwa Jamaluddin al-Afghani
berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memadukan antara
ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum termasuk bahasa-bahasa asing.
Jamaluddin al-Afghani juga menekankan pentingnya mempelajari bahasa- bahasa
asing sebagai bagian dari upaya memperkuat perjuangan politik dan sosial umat Islam.
Dalam pandangan Jamaluddin, bahasa merupakan salah satu kunci penting dalam
menghadapi penjajahan dan memperkuat kebangkitan umat Islam. Oleh karena itu, ia
mendorong umat Islam untuk mempelajari bahasa-bahasa asing sebagai langkah strategis
dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin kompleks.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hasan al-Banna adalah seorang tokoh yang memiliki pandangan yang
komprehensif dan beragam mengenai pendidikan. Dalam gagasannya, pendidikan tidak
hanya mencakup aspek pengetahuan akademis, tetapi juga aspek moral, spiritual, dan
keagamaan. Al-Banna sangat menekankan konsep pembinaan dan kaderisasi umat,
dengan fokus pada dakwah dan penyebaran ajaran Islam yang benar. Pendidikan dalam
konsepnya melibatkan pembinaan fisik, mental, dan spiritual individu. Selain itu, ia
memandang pentingnya membangun hubungan yang erat dan tanpa jarak antara pendidik
dan peserta didik. Al-Banna bukanlah semata seorang teoretikus, melainkan seorang
praktisi lapangan yang mengimplementasikan gagasannya dalam kehidupan nyata. Ia
mendorong adanya kesetiaan, kejujuran, dan keteladanan dalam pendidikan, sehingga
pendidik harus memiliki kompetensi kepribadian yang kuat dalam mencapai tujuan dan
mampu menghadapi berbagai kendala pembelajaran.
Konsep Usrah, yang dipopulerkan oleh Ikhwanul Muslimin, juga menjadi bagian
penting dalam pemikiran pendidikan Hasan al-Banna. Usrah menekankan persaudaraan,
keterpautan, dan kepedulian sesama anggota, dan Ikhwanul Muslimin mempraktikkan
konsep ini dalam pertemuan mingguan mereka. Pada pertemuan tersebut, mereka
membahas masalah sehari-hari dan memberikan dukungan satu sama lain. Selain itu,
pendekatan evaluasi pendidikan yang digagas oleh Al-Banna menonjolkan kejujuran
sebagai prinsip utama. Ia memanfaatkan metode "Muhasabah" yang melibatkan
pengawasan diri sendiri, sehingga evaluasi pendidikan adalah sarana kenaikan kedudukan
pribadi. Dalam pandangannya, setiap ujian dalam kehidupan merupakan peluang positif
dan harus digunakan untuk pertumbuhan pribadi. Hasan al-Banna sangat mempercayai
bahwa Allah senantiasa mengawasi perbuatan manusia, sehingga pengawasan diri dan
koreksi terus-menerus menjadi kunci penting dalam perjalanan pendidikan.
Sedangkan Jamaluddin Al Afghani memiliki pemikiran dan visi dalam
memperjuangkan reformasi pendidikan dan sosial dalam Islam. beliau juga berpendapat
bahwa pendidikan harus mencakup ilmu pengetahuan modern, seperti sains dan
teknologi, serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas. Selain itu,
juga menentang praktik-praktik sosial dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai
Islam dan menghambat kemajuan masyarakat
3.2 Saran
Sebagai saran penutup makalah ini, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Hasan
al-Banna tentang pendidikan memiliki makna yang mendalam dan relevan hingga saat
ini. Gagasan-gagasan beliau menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya tentang transfer
pengetahuan, tetapi juga pembinaan karakter, moral, dan spiritual individu. Pentingnya
konsep pembinaan dan kaderisasi dalam konteks dakwah menjadi fokus utama dalam
pemikiran pendidikan al-Banna. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan gagasan Hasan

23
24

al-Banna, pendidikan sebaiknya tidak hanya berorientasi pada aspek akademis semata,
melainkan juga pada pembentukan kepribadian yang kuat, kejujuran, kesetiaan, dan
keteladanan.
Pengembangan persaudaraan, sebagaimana dianut oleh Ikhwanul Muslimin dalam
konsep Usrah, juga memiliki nilai penting dalam membangun lingkungan pendidikan
yang harmonis dan saling mendukung. Selain itu, pendekatan evaluasi yang menekankan
kejujuran dan pengawasan diri sendiri menjadi alat penting dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Sejalan dengan gagasan Hasan al-Banna, setiap tantangan dan ujian dalam
hidup dianggap sebagai peluang positif untuk pertumbuhan individu. Dengan menghayati
bahwa Allah senantiasa mengawasi, mendidik, dan memberikan petunjuk, kita dapat
melihat pendidikan sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada nilai-nilai
spiritual dan moral yang luhur. Dalam konteks dunia pendidikan yang semakin kompleks,
gagasan Hasan al-Banna memberikan landasan yang kokoh untuk memahami esensi
pendidikan yang sejati dan mewujudkannya dalam praktek pendidikan kontemporer.
Sedangkan pada pemikiran Jamaluddin Al Afghani yang merupakan tokoh
reformis Islam, kita bisa menerapkan dan menggunakan konsep pemikirannya yang
memiliki visi dan gagasan yang sama dalam memperjuangkan pendidikan dan sosial yang
lebih inklusif dan modern. Dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman,
keduanya mengajak umat Islam untuk berpikir kritis dan membuka diri terhadap ilmu
pengetahuan modern serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas
REFERENSI

Abdussyukur. (2018). Konsep Dan Praktik Sekolah Islam Terpadu Dan Implikasinya Dalam
Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia. Surabaya: Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel.
Al-Aziz, J. A., & Wibowo, S. E. (2007). Binâ` Dâkhiliy 1928--1938: Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Jama’ah Al-Ikhwân al-Muslimûn. Solo: Era Intermedia.
Al-Banna, H. (1992). Majmû’ah Rasâ`il al-Imam al-Syahid Hasan al-Bannâ.
Al-Qardhawi, Y. (2005). Tarbiyah Hasan Al-Bannâ` dalam Jamâ’ah Al-Ikhwân al-Muslimûn.
(A. Sobari., Penerj.) Jakarta: Robbani Press.
Bubalo, A., Fealy, G., & Mason, W. (2008). Zealous Democrats: Islamism and Democracy in
Egypt, Indonesia and Turkey. New South Wales: Lowy Institute for International Policy.
Hadiz, V. R. (2016). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hefner, R. W. (2009). Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast
Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Muhtadi, B. (2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Suwito, d. F. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Tayeb, A. (2018). Islamic Education in Indonesia and Malaysia: Shaping Minds, Saving Souls.
London: Routledge.
Hawi, A. (2017). Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani (Jamal Ad-Din Al-Afghani) (1838 – 1897
M). Medina-Te : Jurnal Studi Islam, 13(1), 9–24.
https://doi.org/10.19109/medinate.v13i1.1536
Miswanto, Hitami, M., & Murhayati, S. (2023). Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani
Aspek – aspek Pembaruan dan Reformasi Pendidikan Article. Jurnal Arriyadhah, XX(I),
12–20.
Noorthaibah, N. (2015). Pemikiran Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani: Studi Pemikiran
Kalam tentang Takdir. Fenomena, 7(2), 267. https://doi.org/10.21093/fj.v7i2.305

25

Anda mungkin juga menyukai