Anda di halaman 1dari 90

KEDUDUKAN KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI

PANCASILA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

(Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 dan Peraturan


Presiden Nomor 7 Tahun 2018)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar


Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
NUR WASIAH ADIWIYONO
1114048000042

K O N S E N T E R A S I K E L E M B A G A AN N E G A R A
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
KEDUDUKAN KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
INDONESIA
(Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 dan
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Nur Wasiah Adiwiyono


11140480000042

Pembimbing I: Pembimbing II:

Abdul Qadir, S.H., M.Hum. Ahmad Bahtiar, M.Hum.

NIP. 195506141978031002 NIP. 197601182009121002

KONSENTERASI K E L E M B A G A AN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul KEDUDUKAN KELEMBAGAAN BADAN


PEMBINAAN IDEOOGI PANCASILA DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2008 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018) telah diajukan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Imu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Desember
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Desember 1439 H/ 2018 M


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A


NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH


1. Ketua : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. ( )
NIP. 196912161996031001
2. Sekretaris : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. ( )
NIDN. 2021088601
3. Pembimbing I : Abdul Qadir, S.H., M.Hum. ( )
NIP. 195506141978031002
4. Pembimbing II : Ahmd Bahtiar, M.Hum. ( )
NIP. 197601182009121002
5. Penguji I : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. ( )
NIP. 195403031976111001
6. Penguji II : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. ( )
NIDN. 2110068503

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di
Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 November 2018

Nur Wasiah Adiwiyono

iii
ABSTRAK

Nur Wasiah Adiwiyono. NIM 11140480000042. KEDUDUKAN


KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN IDEOOGI PANCASILA
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA (Analisis Yuridis
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 dan Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2018). Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. vii + 74
halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan kelembagaan negara


yang dibentuk melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila dibawah kekuasaan eksekutif. Sebagai lembaga pencegahan
pelanggaran atau masalah yang berkaitan dengan ideologi Pancasila. Suatu
lembaga yang memiliki kewenangan luas dan cukup besar dalam sistem tata
negara di Indonesia, oleh karena itu pembentukan lembaga tersebut harus sesuai
dengan dasar hukum dan latar belakang pembentukan serta pertanggungjawaban
lembaga negara ini sesuai dengan tugas dan fungs yang diembannya terhadap
negara dan masyarakat.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif-yuridis dan library


reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-
buku, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini
serta penanganan terhadap masalah-masalah tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara status Badan Pembinaan


Ideologi Pancasila merupakan lembaga independen atau lebih disebut sebagai
state auxiliaries atau derivative organ dengan tugas dan wewenang secara khusus
dibentuk oleh Presiden untuk membantu Pemerintah mencapai tujuan Negara
yaitu menanamkan nilai-niai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggungjawab terhadap Presiden secara administratif dan kepada masyarakat
secara luas.

Kata Kunci: Pancasila, Presiden, Kelembagaan Negara.

Pembimbing : Abdul Qadir, S.H., M.Hum. dan Ahmad Bahtiar M.Hum.


Daftar Pustaka : 1990 s.d. 2016

iv
KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahiim,
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya,
penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak
yang membantu kelancaran penuisan skripsi ini, baik berupa dorongan moril
maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit
rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyapaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas syariah dan Hukum Asep Saefuddin Jahar, serta para
pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Ilmu Hukum Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan
Sekertaris Jurusan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
3. Pembimbing I dan II: Abdul Qadir, S.H., M.Hum. dan Ahmad Bahtiar,
M.Hum. yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu selalu dalam rahmat dan
lindungan Allah SWT. Sehingga, ilmu yang telah diajarkan dapat beranfaat
dikemudian hari.
5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan
kepada kedua orang tua penuis yang tercinta, ayahanda Alm. Suparyono dan
ibunda Wagiyem serta kakak dan adik penulis, Sandra Prihatin, Larasanti,
Fuad Hamdani Adiwiyono dengan segala pengorbanannya tak akan pernah
penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. Do’a restu, nasihat dan petunjuk dari
mereka kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi
kelanjutan studi penulis hingga saat ini.

v
6. Kedua keponakan penulis Bilal alkahfi dan Azzam Abdillah Pratama, yang
menjadi penghibur dan penyemangat penulis dikala penat dan padat jadwal
dalam menyelesaikan studi.
7. Teman-teman Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Jurusan Ilmu Hukum dan teman terdekat penulis, Mae, Rahmi,
Syifa, Farah, Aulia, Amri, Furba, Ksatria, Syanel, Jambi, dan Fikroy yang
ikut mengukir perjalanan panjang penulis selama studi dan membuat pribadi
penulis menjadi lebih baik.
8. Sahabat-sahabat penulis sejak SMA Nadiyah, Yngwie, Laika, dan Ayu yang
menemani penulis selama bertahun-tahun untuk kita saling belajar hal-hal
baru dan berbagi suka dan duka.
9. Kanda dan yunda Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas dan
Hukum (Komfaksy) Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan
pembelajaran menarik selama penulis studi hingga saat ini.
10. Semua yang penulis sayang yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
namanya, yang mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini semoga amal
baik dari semua pihak mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT.
Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Amiin ya Rabbal a’lamiin.

Jakarta, 15 November 2018

Nur Wasiah Adiwiyono

vi
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................. ii

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Identifikasi, Pebatasan dan Rumusan Masalah ................. 5


C. Tujuan Penelitian .............................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 6
E. Metode Penelitian ............................................................. 7
F. Rancangan Sistematika Penelitian .................................... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM IDEOLOGI BANGSA DAN


LEMBAGA-LEMBAGA DI INDONESIA
A. Pancasila dan UUD 1945 .................................................. 11

B. Lembaga-lembaga negara di Indonesia ............................ 16


1. Lembaga Eksekutif .................................................... 19
2. Lembaga Legislatif .................................................... 26
3. Lembaga Yudikatif .................................................... 27
C. Sistem Check and Balances .............................................. 28
D. Tinjauan Kajian (review) Terdahulu ................................. 31

vii
BAB III : LEMBAGA NON STRUKTURAL BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA

A. Sejarah BPIP ...................................................................... 33


1. Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila .................... 33

2. Unit Kerja Pembinan Ideologi Pancasila .................... 35

3. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ......................... 38

B. Tugas dan fungsi BPIP dalam PERPRES Nomor 7 Tahun


2018 ................................................................................... 39

1. Tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila .............. 39


2. Fungsi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ............. 42

BAB IV : KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BADAN


PEMBINAAN IDEOLOGI PACASILA

A. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pasca Peraturan


Presiden Nomor 7 Tahun 2018 dengan Sistem Pemerintahan
Indonsia ........................................................................ 45
B. Pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila.............................................................................. 63

C. Pandangan Islam terhadap Pancasila ................................. 67

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 72
B. Rekomendasi ..................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 75

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara hukum. Dengan kata lain, segala sesuatu yang
berlangsung di Indonesia didasarkan atas hukum atau konstitusi. Lahirnya
negara hukum banyak dipengaruhi oleh berbagai ideologi, falsafah bangsa,
maupun keadaan suatu negara. Terlihat juga dari faktor sejarah yang
memperngaruhi Indonesia sehingga terciptanya negara hukum.
Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik,
disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar NRI 1945.
Sehubungan dengan adanya bentuk negara (staats vormen) yang ada di
berbagai dunia pembicaraan mengenai bentuk negara dikenal ada beberapa
jenis, antara lain:1 1) Bentuk negara kesatuan (unitary state, eenheidstaat), 2)
Bentuk negara serikat (federal, bonds-staat), dan 3) Bentuk konfederasi
(confederation, staten-bond).
Penegasan adanya bentuk negara kesatuan ini melekat kepada republik
Indonesia sampai kapanpun sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Ayat (5)
Undang Undang Dasar NRI 1945 yang menyebutkan bahwa, “Khusus
mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat diakukan
perubahan”. Salah satu ahli hukum berpendapat:

“...negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daaripada beberapa


negara, seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya
tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara didalam negara. Jadi
dengan demikian, didalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu
pemerintahan,yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau
wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintahan
pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sekertariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), h. 259.

1
2

segala sesuatu dalam negara tersebut”, Abu Daud Busoh.2 Dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan bahwa negara Indonesia dianggap negara kesatuan
menurut teori dengan praktiknya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
pemerintahan pusat di Indonesia. Pemerintah pusat tidak boleh sewenang-
wenang atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk menentukan kebijakan
yang dikeluarkan.
Indonesia juga katanya menganut Trias Politika yang diciptakan oleh
Montesquieu sebagai bentuk pencegahannya. Montesquieu membagi
kekuasaan negara enjadi tiga cabang, yaitu: a) Kekuasaan Legislatif sebagai
pembuat undang undang; b) Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan c)
Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan untuk menghakimi.3 Pembagian cabang
kekuasaan eksekutif juga dibantu dengan adanya kementerian yang dibentuk
oleh kepala pemerintahan yaitu, Presiden. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, menyebutkan berbagai Kementerian
dibawah kekuasaan eksekutif untuk membantu Pemerintah. Namun
terkadang dalam menjalankan tugas dan fungsinya lembaga-lembaga tersebut
baik legislatif, eksekutif dan yudikatif akan menemukan kendala yang
menghambat jalannya tugas dan fungsi tersebut. Sehingga pada zaman
modern ini, dan sudah bermunculan lembaga-lembaga baru untuk dijadikan
solusi masalah tersebut.
Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah lembaga independen atau
lembaga negara baru di luar UUD 1945 NRI. Di Indonesia sendiri sudah
dibentuk beberapa lembaga independen untuk menjawab kerisauan
masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga negara yang ada tetapi
dianggap belum mampu untuk menjalankan tugas dan fungsi kekuasaan
sebagaimana seharusnya. Pada Agustus Tahun 2017 dikeluarkanlah

2
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 64-65.
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, 2006), h. 13.
3

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Unit Kerja


Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UK-PIP).
Pembentukan UKP-PIP sesuai isi konsideran pertama, dalam rangka
aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh
penyelenggara negara. Sesuai Pasal 3 Perpres Nomor 57 Tahun 2017 tentang
Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila menyatakan, “UKP-PIP
mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan
umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi,
sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara
menyeluruh dan berkelanjutan”.
Pembentukan UKP-PIP mengacu kepada nilai-nilai dasar ideologi
Pancasila di era reformasi tentu bukan menjadi hal yang mudah untuk
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu hal ini dapat dipengaruhi
dari beberapa faktor baik itu dari internal pribadi yang memuat kondisi
lingkungan sosial kemasyarakatan, maupun lingkungan eksternal berupa
sistem ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Sistem ketatanegaraan
berkembang seiring dengan perkembangan negara dari tahun ke tahun yang
juga berdampak pada tingkat kemampuan warga negara untuk berpartisipasi
dalam menjalankan hak dan kewajibannya.
Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa lembaga-lembaga baru tersebut
bisa disebut state auxiliary organs atau auxiliary institutions sebagai
lembaga negara yang bersifat penunjang. Diantara lembaga-lembaga itu,
kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatori agencies,
independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi campuran (mix function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif
dan fungsi penghukuman yang biasa dipisahkan tetapi justru dilakukan
secara bersamaan oleh lembaga-lembga baru tersebut. Bahkan ada lembaga-
lembaga yang disebut sebagai quasi non-governmental organization.4

4
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negar Pasca Reformasi,
(jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. Vi.
4

Namun UKP-PIP mengalami perubahan nama untuk memperkuat tugas,


fungsi serta kedudukannya menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) sesuai Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila. Dikarenakan banyaknya perdebatan mengenai
pembentukan lembaga baru ini.
Secara teoritis, perkembagan lembaga baru selain lembaga negara yang
telah eksis sebelumnya menjadi fenomena menarik yang penting untuk
dicermati. Dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia menjadi
kelaziman, bahkan suatu keharusan, berdasarkan semakin tingginya demand
dari masyarakat sipil (baik nasional maupun global) terhadap struktur
ketatanegaraan yang “diharuskan” memperhatikan konsep-konsep atau ide-
ide mengenai hak asasi manusia dan demokrasi. Hal yang paling signifikan
dalam perkembangan dan pembentukan institusi demokratis tersebut tidak
lain adalah pembentukan komisi-komisi negara yang sering kali disebut
sebagai lembaga-lembaga negara (independen).5
Dalam perjalanannya, lembaga-lembaga independen di Indonesia ini
harus terus melakukan tugas dan fungsi kelembagaannya secara baik dan
berbeda dari tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara yang sudah ada
sebelumnya. Apabila lembaga independen tidak mampu mempertahankan
tugas dan fungsi yang dimiliki dan mempertanggungjawabkannya tentu akan
ada tindakan dari pemerintah bahkan sampai pada kebijakan untuk
membubarkan lembaga independen yang pembentukannya diperuntukan
untuk menopang tujuan nasional.
Dari era reformasi hingga sekarang sudah banyak lembaga independen
yang dibentuk dan di bubarkan oleh pemerintah. Tentu ini menjadi catatan
besar dan evaluasi penting bagi pengadaan atau pembentukan kelembagaan
baru. Alasan yang mendasar dari pembubaran tersebutpun beragam dari
tupang tindih tugas dan fungsi antar lembaga, keefektifitasan dan efesiensian

5
Firmansyah Arifin, et all, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, (Jakarta: Konsorsium Freformasi Hukum Nasional Bekerjasama dengan Mahkamah
Konstitusi RI, 2005), h. 53.
5

kelembagaan, hingga pertanggungjawaban lembaga. Oleh karena itu, perlu


adanya pendalaman baru atau pemikiran yang matang untuk pembentukan
suatu lembaga independen yang kedudukannya berhubungan dengan sistem
tata negara di Indonesia.
Berkenaan dengan latar belakang di atas, maka penelti mengangkat judul
dalam penelitian ini adalah “KEDUDUKAN KELEMBAGAAN BADAN
PEMBINAAN IDEOOGI PANCASILA DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN INDONESIA (Analisis Yuridis Undang Undang
Nomor 39 Tahun 2008 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan tentang kelembagaan di Indonesia yang sedang
marak diperbincangkan masyarakat. Peneliti mengidentifikasi masalah
peneitian ini kedalam beberapa poin, yaitu sebagai berikut:
a. Kedudukan kelembagaan BPIP di indonesia yang tidak sesuai
dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
b. Mekanisme Pertanggungjawaban Lembaga Non Struktural BPIP
yang masih belum jelas.
c. Kualifikasi perbedaan tugas dan kewenangan BPIP dengan
lembaga negara lainnya.
d. Belum adanya check and balances antar lembaga baik eksekutif,
legislatif, yudikatif dan Lembaga-lembaga pemerintahan yang
lainnya.
e. Urgensi keberadaan BPIP yang masih menjadi pro kontra
dikalangan masyarakat.

2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah tentang kelembagaan pemerintah yang
ada di Indonesia, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada
6

kedudukan dan pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi


Pancasila dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan peneliti,
untuk itu pokok rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan ilmiah adalah
1. Bagaimana kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2018 dan Undang
Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara?
2. Bagaimana pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dalam sistem pemerintahan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui kedudukan Badan Pembinan Ideologi Pancasila dalam
sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang terkait.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoris
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pandangan baru terhadap lembaga non struktural di Indonesia. Memperkaya
pemikiran ilmu pengethuan baik dibidang hukum umum maupun hukum
kelembagaan negara khususnya.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:
a. Bagi Akademis
Sebagai referensi lanjutan penelitian yang berkaitan dengan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila dan menambah pengalaman dan
pengetahuan yang dapat diterapkan dalam bentuk nyata sebagai
pertisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
7

berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar NRI 1945 serta


kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat internasional.
b. Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat
mengenai kelembagaan di Indonesia karena masyarakatlah yang akan
merasakan dampak dengan keberadaan lembaga-lembaga negara di
Indonesia.
c. Bagi Pemerintah
Dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang mendukung atau meniadakan keberadaan
suatau lembaga pemerintahan di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam penyusunan skripsi tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian normatif-yuridis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum
yang diambil dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di
masyarakat.
Penelitian hukum normatif sendiri mencakup:6
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum
d. Penelitian sejarah hukum
e. Penelitian perbandingan hukum
Penelitian menggunakan metode penelitian yuridis yang tidak
membutuhkan populasi dan sempel karena jenis penelitian ini
menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat
di dalam perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat.penelitian kualitatif menggunakan lingkungan

6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Univrsitas Indonesia, 2008),
h. 51.
8

yang menjadi penelitiannya sebagai sumber data.7 Peneliti menggunakan


analisa deskriptif tanpa menggunakan angka karena lebih mengutamakan
proses terjadinya suatu peristiwa dalam situasi yang dialami.

2. Bahan Hukum
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,
sekunder dan tersier.
a. Data Primer
Pada umumnya data primer mengandung data aktual yang didapat
dari penelitian ini adalah Undnag Undnag Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
b. Data Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer.8 Data sekunder antara lain mencakup dokumen
resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,
buku harian, dan seterusnya.9 Data sekunder dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara yang peneliti lakukan bersama Sekretaris
Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yaitu DR.Drs. Kajono,
S.H., M.Hum.
c. Data Tersier
Bahan hukum tersier merupakan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, esiklopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal
politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.

7
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Badung: Alfabeta, 2005),
h.46.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Univrsitas Indonesia, 2005),
h. 52.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum ... h. 12.
9

3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


Teknik pengolahan data dalam penelitian kualitatif ini, data
disusun alam bentuk tabel untuk kemudahan penyusunan dan
penghitungan disalam penelitian.
Teknik analisa data dalam penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan dan
bahan hukum lainya yang berhubungan dengan penelitian ini. Kemudian
peneliti akan mengkaji isi baik dari segi kata, makna, ide, simbol dan
pesan lainnya yag dimaksud dalam peraturan undang-undang tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang peneliti lakukan antara lain,
pertama, semua bahan dikumpulkan dan diklasifikasikan menurut objek
bahasannya. Kedua, kemudian dilakukan ekplikasi yag diuraikan dan
dijelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, dilakukan
evaluasi pada bahan, yakni dinilai menggunakan ukuran ketenuan hukum
maupun teori hukum yang berlaku.

4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penelitian skripsi pada “Buku
Pedoman Penelitian Skripsi UIN Jakarta Tahun 2017”.

F. Rancangan Sistematika Penelitian


Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi menjadi lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari subbab sesuai yang dibahas dan diteliti. Adapun
pernyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, memuat: latar belakang masalah, identifikasi,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, rancangan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM IDEOLOGI NEGARA DAN LEMBAGA-
LEMBAGA DI INDONESIA, didahului kerangka konsep
pembahasan dari teori-teori hukum tentang lembaga negara;
Pancasila dan UUD 1945, Lembaga Negara; 1. Lembaga eksekutif
10

(a. Kementerian, b. Lembaga non struktural, c. Lembaga Non


Kementerian), 2. Lembaga legislatif, 3. Lembaga yudikatif, dan
diakhiri tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI
PANCASILA berisi tentang; Sejarah Pembentukan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (a. Badan Pembina Pendidikan
Palaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pencasila, b.
Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila, c. Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila) dan Tugas dan Wewenang Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila.
BAB IV KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BADAN
PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA; Analisis kedudukan
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pasca Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2018 dalam sistem pemerintahan Indonsia dan
Pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
BAB V PENUTUP; Kesimpulan dan Rekomendasi.
BAB II
TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEMBAGA DI INDONESIA
DAN IDEOLOGI NEGARA

A. Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 NRI


Istilah ideologi berasal dari kata idea, yang artinya gagasan, konsep,
pengertian, dasar, cita-cita; dan logos yang berarti ilmu. Ideologi secara
etimologis, artinya ilmu tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran
tentang pengertian dasar. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi
didefinisikan sebagai kumppulan konsep bersisitem yang dijadikan atas
pendapat yang diberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi
juga diartikan sebagai cara berpikir sesorang atau suatu golongan. Ideologi
dapat diartikan paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial
politik.2
Secara umum arti utama dari ideologi terdiri dari tiga pemahaman yaitu,
pertama ideologi sebagai kesadaran palsu, kedua ideologi dalam arti netral
dan ketiga ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiyah, menurut Franz
Magnius-Suseno. 3 Arti pertama, menjelaskan bahwa ideologi digunakan
sebagai kesadaran palsu agar para masyarakat mengakui dan meyakini
tentang keyakinan yang dimilik oleh seseorang. Kedua, menjelaskan bahwa
ideologi memiliki arti netral. Disebut netral karena baik buruknya tergantung
kepada isi ideologi tersebut. Sedangkan yang ketiga, menjelaskan bahwa
ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiyah, bisanya digunakan dalam
filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik yakni segala macam pemikiran
yang tidak dapat dibuktikan secara logis, metemtis atau empiris.

1
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), h. 60.
2
Suhardi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Indonesia, 2008), h. 517.
3
Sutrisno, Peran Ideologi Pancasila dalam Perkembngan Konsstitusi dan Sistem Hukum di
Indonesia, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 1, Juli 2016 ISSN 2527-
7057, h. 42.

11
12

Pancasila merupakan akar budaya bangsa, oleh karena Pancasila ialah


cita-cita luhur bangsa Indonesia yang digali dari akar budaya bangsa (the
4
nation’s culture). Notonagoro menyatakan Pancasila merupakan dasar
filsafat Negara Republik Indonesi, Pancasila bukannya suatu kompensasi
politik, akan tetapi buah hasil perenungan jiwa yang dalam, buah hasil
penyelidikan cipta yang teratur dan saksama diatas basis pengetahuan dan
pengalaman yang luas yang tidak begitu saja diciptai oleh setiap orang. 5
Pancasila sebagai ideologi nasional mengatasi faham perseorangan, golongan,
suku bangsa dan agama. Sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
diterapkan bagi segala masyarakat Indonesia dalam kesatuan utuh. Pancasila
sebagai ideologi nasional berupaya meletakkan kepentingan bangsa dan
negara Indonesia ditempatkan dalam kedudukan utama diatas kepentingan
yang lainnya.
Ditinjau dari stufenbau des rechts theorie (teori pertingkatan hukum)
menurut Prof. Hans Kelsen, maka Pancasila itu berkedudukan sebagai
Grundnorm (Norma Dasar/Kaidah Dasar). Grundnorm merupakan kaidah
tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) dari setiap tatan kaidah hukum
dalam masyarakat yang teratur, termaksud di dalamnya negara, pada dasarnya
tidak berubah-ubah malainkan relatif “abadi”. Grundnorm atau dapat juga
disebut Staatsgrundnorm ini berada diatas Undang Undang Dasar atau
Konstitusi. Sementara itu, Undang Undang Dasar atau Konstitusi itu
merupakan hukum tertinggi dalam tatanan hukum nasional suatu negara. Oleh
karena itu, Grundnorm itu bersifat metayuridis.6
Filsafat pancasila adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia yang dianggap,

4
Backy Krisnayuda, Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. v.
5
Backy Krisnayuda, Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia ... h. 12.
6
Riyanto, Pancasila Dasar Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-
37 No.3, (Juli-September, 2007), h. 468.
13

dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai)


yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai
bagi bangsa Indonesia.7
Menurut Noorsyam, filsafat Pancasila memberi tempat yang tinggi dan
mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sebagai implementasi sila
pertama dan kedua Pancasila). Karenanya setiap manusia seyogyanya
mengutamakan asas normatif religius dalam menjalankan kehidupanya,
sebagai berikut:8
1. Perlunya keseimbangan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dengan
Kewajiban Asasi Manusia (KAM). HAM akan tegak bila manusia
menunaikan KAM sebagai amanah dari Tuhan.
2. Menunaikan KAM mencakup (i) pengakuan sumber HAM (life, lierty,
prosperity)adalah Tuhan, (ii) mengakui dan menerima penciptaan alam
semesta dan (iii) bersyukur kepada Tuhan atas anugerah dan amanah
yang diberikan kepada manusia.

Pancasila sebagai pandangan hidup negara Indonesia, sehingga wawasan


kebangsaan Indonesia harus sejalan dengan kandungan dari kelima sila dalam
Pancasila. Landasan UUD 1945 NRI juga memberikan batasan bahwa HAM
harus ditegakkan setegak-tegaknya dan bertentangan dengan segala bentuk
tindak penindasan oleh seorang manusia dengan manusia lain, kelompok
dengan kelompok lain ataupun satu negara dengan negara lain.
Secara konseptual, ada berbagai negara yang bertolak dari dasar-dasar
yang sama. Persamaan ini dapat terjadi atas dasar ideologi, keagamaan, dan
lain-lain. Dalam kenyataan, tidak pernah ada dua negara yang sama meskipun
bertolak dari ideologi yang sama. 9 Seperti dikatan pengikut Von Savigny

7
Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, (Jakarta: Rineka Cipta), 1996, h. 25.
8
Iwan Nugroho, Jurnal Konstitusi: Nilai-Nilai Pancasila sebagai Falsafah Pandangan
Hidup Bangsa Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Lingkingan
Hidup Vol. III, No. 2, (November, 2010), h. 111-112.
9
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 56.
14

(Madzab Sejarah) bahwa hukum tertulis – termaksud UUD – memnag


merupakan perwujudan pemikiran dan kehendak pembuatnya. Tetapi sejak
saat berjalan atau dijalankan, hukum tertulis mempunyai kehidupan tersendiri
bebas dan lepas dari pikiran dan kehendak pembentuknya. Sejalan dengan
prinsip negara berdasarkan atas hukum, maka hukum – termaksud konstitusi
– menjadi sumber yang menentukan tingkah laku, termaksuk konsep dan
tingkah laku bernegara.10
Memperhatikan tulisan-tulisan, pembicaraan-pembicaraan para
pemimpin pergerakan kemerdekaan (pergerakan nasional) termaksud yang
diutarakan pada saat menyusun UUD 1945, paling tidak ada tiga konsep besar
kenegaraan yang mempengaruhi asas dan norma UUD 1945.11
a. Konsep kenegaraan yang berasal dari pemikiran barat,
b. Konsep negara yang berasal dari pemikiran asli rakyat (bangsa Indonesia,
c. Konsep kenegaraan yang bersumber pada pemikiran keagamaan.

Leon Duguit adalah seorang sarjana Perancis yang terkenal luas karya-
karyanya di bidang sosiologi hukum. Dalam bukunya Traite de Droit
Constitutionnel, Duguit memandang negara dari fungsi sosialnya (der leer
van de sociale funtie). Pemikiran yang dikembangkannya dapat dikatakan
sangat dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang diprakasai oleh Auguste Comte
sehingga perspektif yang dibangunnya dalam memahami hukum tata negara
sangat sosiologis sifatnya (rechts-sociologisch beschowing). Baginya, hukum
merupakan penjelmaan de facto dari ikatan solidaritas sosial yang nyata.
Seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bagi Leon Duguit dan
pengikutnya, “the true, i.e the ‘objective’ law (drot objectif) is implied by the
social solidarity”. Pengertian: (i) onderling hulpbetoon atau solidarismus
yang merupakan gejala kegotong royongan dalam bekerja untuk kepentingan

10
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi ... h.
56.
11
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, ... h.
57-58.
15

umum tanpa mengharapkan imbal jasa; dan (ii) wederkerige hulpbetoon atau
mustualismus yang merupakan gejala kegotong royongan dalam bekerja
saling tolong-menolong antar orang per orang dengan harapan di masa yang
akan datang akan mendapatkan balasan yang setimpal. Leon Duguit dikenal
pula dengan pendapatnya bahwa yang sesungguhnya berdaulat itu bukanlah
hukum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang
terjelma dalam sociale solidariteiteit (solidarite sociale).12
Konstitusi memiliki arti penting dalam kehidupan bernegara. K.C.
Wheare menjelaskan istilah konstitusi, secara garis besarnya dapat dibedakan
kedalam dua pengertian, yakni: Pertama, istilah konstitusi dipergunakan
untuk menunjukan kepada seluruh aturan mengenai sistem ketatanegaraan.
Kedua, istilah konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen yang memuat
aturan mengenai ketatanegaraan.13 E.C.S Wade mengatakan bahwa Undang
Undang Dasar adalah naskah yang menunjukan rangka dan tugas pokok dari
badan-badan pemerintahan suatu negara dan menyatakan pokok-pokok cara
kerja badan-badan tersebut.14
Sementara itu konstitusi terkadang dapat disebut juga sebagai State
Fundamental Norms, yaitu popok akidah yang mendasar dari suatu negara.
Suatu ketentuan dapat disebut sebagai State Fundamental Norms apabila
memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, dibuat oleh para pembentuk atau
pendiri negara. Kedua, isinya memuat asas kefilsafatan, asas politik negara,
tujuan yang hendak dicapai negara, dan pernyataan masih akan dibentuk
sebuah konstitusi. Ketiga, posisinya terpisah dari batang tubuh, walaupun
secara utuh dapat menjadi pasangan.15

12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 97.
13
Montisa Mariana, Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem Politik
Indonesia, LOGIKA, Vol. XXI No. 1 Desember, 2017, h. 23.
14
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5; melengkapi
kajian komprehensif komisi konstitusi & DPD-RI, (Jakarta: DPD RI, 2009), h. 2.
15
Montisa Mariana, Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem Politik
Indonesia ... h. 23-24.
16

Konstitusi Indonesia adalah UUD 1945, hukum yang dianggap paling


tinggi tingktannya dibawah ideologi Pancasila. Seperti yang dikatakan Jimly
Asshiddiqie rumusan dari tujuan konstitusi bangsa Indoneisia sesuai pendiri
negara (the founding fathers and mothers) adalah: (i) keadilan, (ii) ketertiban,
dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan
kesejahteraan atau kemakmuran bersama. Pelaksanaan kedaulatan tersebut
tersebut disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional
yang diatur dalam UUD 1945, sebagai peraturan dasar atau konstitusi yang
merumuskan dan mengatur sistem ketatanegaraan dan tata cara pelaksanaan
pemerintahan Indonesia.

B. Lembaga-lembaga di Indonesia
Kelembagaan sebagai suatu sistem organisasi formal dimunculkan
pertama sekali oleh Max Weber pada tahun 1947, menurutnya kelembagaan
merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Max Weber
mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai
oleh hierarki, spesialisasi peranan dan tingkat kompetensi yang tinggi
ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran
tersebut. Ciri organisasi yang mengikuti sistem kelembagaan ini adalah
pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hierarkis,
peraturan-peraturan, karir yang panjang dan efisiensi. Cita-cita utama dari
sistem kelembagaan adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin.
Menurut Weber organisasi kelembagaan dapat digunakan sebagai pendekatan
efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada
sasarannya, karena organisasi kelembagaan punya struktur yang jelas tentang
kekuasaan dan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga
dapat memberi perintah untuk men-destribusikan tugas kepada orang lain.16
Kelembagaan berasal dari kata bureaucracy, diartikan sebagai suatu
organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana
lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada di tingkat atas, biasanya

16
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
17

ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Kemudian,


selain pengertian tentang kelembagaan ada pula pemahaman tentang negara.
Menurut Soemantri, negara adalah suatu organisasi kekuasaan, oleh
karenanya dalam setiap organisasi yang bernama negara, selalu kita jumpai
adanya organ atau alat kelengkapan yang mempunyai kemampuan untuk
memaksakan kehendak kepada siapapun juga yang bertempat tinggal di
dalam wilayah kekuasaannya. 17 Menurut LJ Apeldoorn pengertian negara
menunjuk pada berbagai gejala yang sebagian termaksud pada kenyataan, dan
sebagian lagi menunjukan gejala-gejala hukum. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa negara mempunyai berbagai arti, yaitu:18
a. Perkataan negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan
orang atau orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas
persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah;
b. Perkataan negara juga dapat diartikan sebagai persekutuan rakyat, yakni:
untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di
bawah kekuasaan tertinggi,menurut kaidah-kaidah hukum yang sama;
c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, perkataan negara
dipakai untuk menyatakan suatu daerah, dimana diam suatu bangsa di
bawah kekuasaan yang tertinggi;
d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang dimaksud ialah
harta yang dipegang oleh penguasa gunakepentingan umum.

Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and
State menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata hukum adalah suatu organ (whoever fulfills a function
determined by the legal order is an organ). 19 Istilah organ negara atau

17
H Inun Kencana Syarif, Pengantar Ilmu Pemerintahan (edisi revisi), (Bandung: PT
Rafika Aditama, 2004), h. 17.
18
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2009), h. 9.
19
Hans Kelsen, General Theory of law and State (translate by Andres Wedberg),
(Cambridge: Harvard University Press, 1945), h. 192.
18

lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta,
lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi
Nonpemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government
Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s). Lembaga
negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun
yang bersifat campuran. 20 Menurut Hanafie, Lembaga adalah suatu badan,
organisasi, kaidah, dan norma-norma baik formal maupun informal sebagai
pedoman untuk mengatur perilaku segenap anggota masyarakat baik dalam
kegiatan sehari-sehari atau dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut
staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara,
badan negara,atau disebut dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “lembaga” diartikan sebagai: (i) asal mula atau bakal (yang
akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv)
badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau
melakukansuatu usaha;dan (v) pola perilaku yang mapanyang terdiri atas
interaksi sosialyang berstruktur.21
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang Undang Dasar
merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarka Undang-
Undang meruakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat
perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula
jika lembaga yang dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Kedudukan lembaga

20
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 27.
21
Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 60-61.
19

yang berbeda-beda inilah yang ikut mempengaruhi keududukan peraturan


yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tersebut.22
Secara umum, konstitusi dapat dikatakan demokratis mengandung
prinsip dalam kehidupan bernegara yaitu salah satunya adanya pembagian
kekuasaan berdasarkan trias politica dan adanya kontrol serta
23
keseimbangan lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga-lembaga
bentukan pemerintah lebih sering disempurnakan agar mampu berfungsi
sebagai tumpuan untuk menunjang terciptanya pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan negara. Lembaga-lembaga di Indonesia antara lain:

1. Lembaga Eksekutif
Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang
memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi.
Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem pemerintahan
negara, yaitu: (i) sistem pemerintahan presidentil; (ii) sistem
pemerintahan parlementer atau sistem kabinet; dan (iii) sistem
campuran.24 Dalam konstitusi kita pemilihihan eksekutif atau yang sering
kita sebut Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung pada
sistem Pemilihan Umum (Pemilu). Kemudian, untuk membantu ranah
eksekutif hadirlah Kementerian Negara untuk membantu Presiden dan
Wakil Presiden menjalankan amanatnya dan mengatur arah kebijakan
Negara.
Secara horizontal, yang dapat dimasukan kedalam katagori lembaga
pemerintahan ditingkat pusat setidakya adalah kantor lembaga
kepresidenan, kantor departemen pemerintahan, kantor kementerian
tanpa portofolio, dan kantor badan-badan pemerintahan

22
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. 37.
23
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education),
demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyaraka ... h. 73.
24
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 323.
20

25
nondepartemen. Adapun secara vertikal, organisasi pemerintahan
tersusun mulai dari pusat sampai ke tingkat desa atau kelurahan.
Komisi Konstitusi berpandangan Presiden memang membutuhkan
suatu badan yang dapat memberikan nasehat dan pertimbangan,
khususnya yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah yang bersih
dan berwibawa untuk mengatasi berbagai permasalahan negara yang
sedang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini dan yang akan datang.26
Di Indonesia sebagai pelaksana eksekutif tentunya Presiden dan Wakil
Presdien yang sedang menjabat sesuai masa jabatannya. Sehingga
kekuasaan eksekutif dipegang dan dijalankan oleh Presiden dan Wakil
Presiden secara bersama.
Kelembagaan eksekutif membentuk beberapa badan lembaga
dibawahnya untuk membantu kinerja dan mewujudkan tujuan negara.
Lembaga-lembaga tersebut adalah:
a. Kementerian
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, dalam
menjalankan tugasnya di bantu oleh menteri-menteri negara yang
memebidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan. Setiap menteri
memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu
dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana
dimanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bahwa sesuai
ketentuan Pasal 17 ayat (4).
Keberadaan Kementerian Negara Republik Indonesia diatur secara
tegas dalam Pasal 17 UUD NRI 1945, yang menyatakan:
1. Peresiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

25
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafka, 2012), h. 167.
26
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5; melengkapi
kajian komprehensif komisi konstitusi & DPD-RI ... h. 122.
21

4. Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara


diatur dalam undang-undang.
Selain diatur dalam UUD kementerian negara juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Undang-Undang ini mengatur semua hal tentang Kementerian Negara
seperti kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan organisasi,
pembentukan, pengubahan, penggabungan, memisahkan dan/atau
mengganti, pembubaran/penghapusan kementerian, hubungan fungsional
kementerian dengan lembaga non kementerian dan pemenrintah daerah
serta pengangkatan dan pemberhentian menteri.
Adapun urusan pemerintahan yang menjaid tanggungjawab
kementerian negara terdiri atas: 27
1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara
tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945, meliputi urusan luar negeri,
dalam negeri, dan pertahanan.
2. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD
NRI 1945, meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak
asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial,
ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi,
pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi,
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan dan
perikanan.
3. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan
sinkronisasi program pemerintah, meliputi urusan perencanaan
pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan negara,
badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan
hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil
dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olah
raga, perumahan dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.

27
Pasal 5 Undnag Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
22

Dalam menjalankan tugas dan fungsinyakementerian negara


memiliki susunan organisasi untuk menjalankan urusan menteri,
sekretariat jenderal, direktorat jenderal, inspektorat jenderal dan
pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai
dengan peraturan prundang-undangan. Dalam hal tersebut beban kerja
yang membutuhkan penanganan khusus Presiden dapat mengangkat
wakil menteri pada kementerian tertentu, hal tersebut diatur lebih lanjut
dengan peraturan presiden.
Selanjutnya, Kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 menyebutkan Kementerian mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Di Indonesia salah satu contohnya seperti Kementerian Badan Usaha
Milik Negara atau biasa yang disebut Kementerian BUMN yang
membidangi urusan pembinaan BUMN. Kementerian BUMN dipimpin
oleh seorang Mentri, sejak 27 Oktober 2014 bernama Rini Soemarno.
Kementerian BUMN dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010,
memiliki tugas menyelenggarakan urusan dibidang pembinaan badan
usaha milik negara dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas,
Kementerian BUMN memiiki fungsi: (a) Perumusan dan penetapan
kebijakan dibidang pembinaan badan usaha milik negara, (b) Koordinasi
dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan dibidang pembinaan badan usaha
milik negara, (c) Pengelolaan barang/kekayaan yang menjadi
tanggungjawab Kementerian BUMN, (d) Pengawasan atas pelaksanaan
tugas di lingkungan Kementerian BUMN.

b. Lembaga Non Struktural


Selain tiga poros kekuasaan tersebut diatas ternyata di Indonesia
masih dikenal berbagai macam organ/lembaga negara dalam
23

perkembangannya yang domain kekuasaannya cenderung masuk dalam


domain kekuasaan eksekutif yag lazim penyebutannya diawali dengan
kata depan komisi.28 Di berbagai negara dibentuklah berbagai organisasi
atau lembaga yang disebut dengan rupa-rupa istilah seperti dewan,
komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, dan sebagaiya selain dari
lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Lembaga negara yang terkadang juga disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan nodeprtemen, atau lembaga negara saja, ada yang dibentuk
bedasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang Undang Dasar,
ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaan dari undang-undang,
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden.29
Menurut R. Rhodes, lembaga-lembaga seperti ini mempunyai tiga
peran utama. Pertama, lembaga-lembaga tersebut mengelola tugas yang
diberikan pemerintah pusat dengan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
berbagai lembaga lain (coordinate the activities of the various other
agencies). Misalnya, Regional Department of the Environment Offices
melaksanakan program Housing Investment dan mengkoordinasikan
berbagai usaha real-state di wilayahnya. Kedua, melakukan pemantauan
(monitoring) dan memfasilitasi pelaksanaan berbagai kebijakan atau
policies pemerintah pusat. Ketiga, mewakili kepentingan daerah dalam
berhadapan dengan pusat.30
Zoelva kemudian mendefinisikan lembaga non struktural sebagai
institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertentu
yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah
(konvensional) dengan keunikan tertentu dan meniliki karakterstik tugas

28
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011), h. 153.
29
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen
... h. 37.
30
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 338.
24

yang urgen, unik, dan terintegrasi secara efektif. 31 Muladi kemudian


mendefinisikan Lembaga Non Struktural (LNS) sebagai suatu lembaga
negara independen (national commission) yang bertujuan untuk
mengakomodasi kepentingan negara melalui pengaturan dan pelayanan
kepada masyarakat untuk mewujudkan tujuan nasional.32

Lembaga non struktural independen memiliki ciri sebagai berikut:33


1. Independen dalam hal ini memiliki makna bahwa pemberhentian
anggota hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur
dalam undang-undang pembentukannya, tidak seperti lembaga biasa
yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden.
2. Memiliki kepemimpinan yang kolektif.
3. Kepemimpinan tidak sikuasai mayoritas partai tertentu.
4. Masa jabatan komisi tidak habis bersamaan tetapi bergantian
(staggered terms)
5. LNS tersebut juga diidentifiksi sebagai lembaga yang berfungsi
diluar fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif atau mungkin juga
campur sari daintara ketiganya.

Di Indonsia pembentukan LNS dapat diamanatkan dengan beberapa


dasar hukum atau peraturan perundang undangan, dibentuk berdasarkan
Undang-Undang, berdasarkan Peraturan Pemerintah, berdasarkan
Peraturan Presiden, atau berdasarkan Keputusan Presiden. Salah satu
contohnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI adalah sebuah
lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaran

31
Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di
Indonesia, (Sekretariat Negara RI, November, 2010), h. 68.
32
Muladi, Penatan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi
serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara, (Sekretariat Negara: November
2010), h. 24.
33
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah (Arsitektur
Kelembagaan Tahun 2014-2019), , (Jakarta: Deputi Bidang Kelembagaan & Suber Daya Aparatur
Negara, LAN, 2013) h. 79.
25

penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan


Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Dalam Undang Undang tersebut terdapat dua prinsip yaitu
Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity og
Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Kedua prinsip tersebut menjadi lanasan bagi setiap kebijakan yang
dirimuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan
prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang beragam bagi
publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan
prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan
media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh
segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim
persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia
penyiaran di Indonesia.

c. Lembaga Pemerintah Non Kementerian


Selain memiliki kementerian Indonesia juga memiliki Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang sebelumnya bernama
lembaga pemerintah non departemen. Lembaga pemerintah non
kementerian merupakan lembaga negara yang dibentuk untuk membantu
Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan tertentu. LPNK
didirikan dengan tujuan untuk melaksanakan tugas khusus yang
didelegasikan kepadanya oleh Presiden. Oleh karena itu, LPNK berada
dalam lingkup kekuasaan eksekutif. LPNK berada dibawah Presiden dan
bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Selain itu, pembentukan
dan pembubaran lembaga tergantung kepada keinginan dan kewenangan
Presiden.34
LPNK diatur lebih jelas dalam BAB IV Undnag-Undang Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerin Negara yaitu Hubungan Fungsional
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian:

34
https://kumpulanmakalahdotblog.wordpress.com/2017/07/29/makalah-lembaga-
pemerintah-non-kementerian/
26

Pasal 25 Ayat (1) Hubungan fungsional antara Kementerian dan lembaga


pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara sinergis sebagai satu
sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25 Ayat (2) Lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di
bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri
yang mengoordinasikan.
Pasal 25 Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan fungsional
antara Menteri dan lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Contoh LPNK yang saat ini ada dan terjaga eksistensinya misalnya
adalan Badan Narkotika Nasional atau biasa yang disebut BNN. Tugas
lembaga ini adalah melaksanakan tugas pemerintah di bidang narkotika
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian,
fungsi BNN meliputi: a. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional
di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya
kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya
disingkat dengan P4GN; b. Penyusunan, perumusan dan penetapan
norma, standar, kriteria dan prosedur P4GN; c. Penyusunan perencanaan
program dan anggaran BNN; d. Penyusunana dan perumusan kebijakan
teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan,
rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN.

2. Lembaga Legislatif
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-
tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-
tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu,
kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga
legislatif.35

35
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 299.
27

Selain dari menetapkan peraturan, lembaga legislatif juga


mempunyai funsi pengawasan (controling). Lembaga perwakilan
diberikan kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap tiga hal, yaitu:
(a) kontrol atas pemerintahan (control of executive); (b) kontrol atas
pengeluaran (control of expenditure); dan (c) kontrol atas pemungutan
pajak (control of taxation). Sebagai lembaga perwakilan fungsi parlemen
yang paling pokok adalah representasi atau fungsi perwakilan itu sendiri.
Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama
sekali karena itulah yang menjadi tugas pokok dari suatu badan legislatif.
Yang pokok dalam tugas parlemen itu adalah mengadakan
perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
penting-penting, mewadahi perdebatan mengenai pemilihan-pemilihan
kebijaksanaan, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) 36 . Inilah yang kemudian kita kenal dengan nama demokrasi
perwakilan, yaitu suatu pemerintahan yang dilaksanakan oleh pewakilan
yang dipilih secara bebas oleh rakyat.37
Pelaksanaan bentuk kedaulatan rakyat di Indonesia diwakilkan oleh
lembaga perwkilan Dewan Perwakilan Rakyat yang ada saat ini lembaga
perwakilan biasa disebut dengan nama parlemen. Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) adalah implementasi dari maksud lembaga legislatif di
Indonesia suatau negara dinyatakan demokratis harus mempunyai
lembaga ini dalam struktur ketatanegaraannya. DPR adalah salah satu
lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai
politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum
(Pemilu). DPR juga memilik tiga fungsi yaitu legislasi, anggaran dan
pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

36
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi ... h. 33.
37
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 137.
28

3. Lembaga Yudikatif
Kekuasaan kehakiman merupkan pilar ketiga dalam sistem
kekuasaan negara modern. Dalam bahasa indonesia, fungsi kekuasaan
yang ketiga ini sering kali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari
istilah Belanda judicatief.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau
judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh
karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The principle of separation of
powers is particulary important for the judiciary”. Bahkan, boleh jadi,
karna Montesque sendiri adalah seorang hakim (Perancis), dalam
bukunya, „L’Esprit des Lois’, ia mengimpikan pentingnya pemisahan
kekuasaan yang ekstrem antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif
dan terutama kekuasaan yudisial.38
Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan oleh Djokosoetono, ada
empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam
sejarah, yaitu: (1) Rechtsprak naar ongeschreven recht (hukum adat),
yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak
tertulis, seperti pengadilan adat, (2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu
pengadilan yang didasarkan prinsip presedent atau putusan-putusan
hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikan di Inggris, (3) Rechtspaak
naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab
hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (islam) yang
menggunakan kompedium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-
jama’ah atau kitab-kitab ulama syi‟ah, (4) Rechtspraak naar wetboeken,
yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun
kitab undang-undang.
Salah satu contoh dari lembaga yudikatif di Indonesia adalah
Mahkamah Konstitusi. Pada mulaya sejarah berdirinya lembaga
Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah

38
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 310.
29

Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang


dilakukan oleh Majelis Permusywaratan Rkyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24c,
dan Pasal 7b Undang Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga yang
disahkan pada November 2001.39
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaiman dimaksud dalam UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi atau MK berwenang megadili pada tingka pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) Menguji undang
undang terhadap UUD NRI 1945, (b) Memutuskan sengketa lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI, (c) Memutus
pembubaran partai politik, (d) Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
C. Sistem Check and Balances
Suatu pendapat menyatakan bahwa salah satu tujuan perubahan UUD
NRI Tahun 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui
pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan
mengimbangi (check and balances) yang lebih ketat dan transparan dan
pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan zaman dan tantangan zaman. 40
Proses perubahan UUD NRI telah mengubah struktur ketatanegaraan
baru, bahkan merubah paradigma atau pandangan pelaksanaan kekuasaan.
Penegasan sistem check and balances dalam pelaksanaan kekuasaan
semakin membuka ruang bagi timbulnya sengketa. Pada sisi lainnya
menguatkan konstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan atas hak

39
Profil Mahkamah Konstitusi dalam website resmi Mahkamah Konstitusi:
www.mahkamahkonstitusi.go.id.
40
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 264.
30

asasi manusia, dibentuk kelembagaan negara baru baik melalui UUD NRI
ataupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam
konstitusi. Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi
dimaksudkan agar tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu
dengan lainnya (check and balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan
bahwa konstitusi adalah pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus
41
tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Selain itu,
adanya mekanisme check and baances mengakibatkan terjadinya
perimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, hal tersebut
berarti tidak ada lagi lembaga negara yang memiliki kekuasaan lebih
(superior) dibandingakan lembaga yang lainnya.
Lembaga-lembaga negara juga harus membentuk suatu kesatuan
proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka
penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri
Soemantri adalah “actual governmental processes”. Jadi, meskipun dalam
prakteknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa
berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan
memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan
untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis
mewujudkan negara dalam jangka panjang. 42
Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam
membangun sistem ketatanegaraan. Distribusi kekuasaan yang baim
diharapkan terwujud keseimbangan kekuasaan antara satu lembaga
dengan lembaga lainnyadan terdapatnya saling kontrol untuk menghindari
terjadinya penyimpangan. Pengalaman sejarah pemerintahan

41
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education),
demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 72.
42
Arifin, Firmansyah dkk, Lemabga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara cet. 1, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 32.
31

menunjukkan bahwa ketika kekuasaan terpusat pada satu tangan atau satu
lembaga tertentu, yang muncul adalah penyimpangan dan berujung pada
gerakan rakyat menuntut terjadinya perubahan. 43
Prinsip check and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang
menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sama-
sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. kekuasaan negara
dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga
penyalagunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga
negara dapat dicegah dan ditanggulangi. 44 Mekanisme check and balances
dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar bahkan sangat
diperlukan. Hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh
seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk menghindari
terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah institusi, karena
dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain
akan saling mengontrol atau mengawasi bahkan bisa saling mengisi. 45

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu


1. Buku “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
46
Reformasi” yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie Tahun 2010.
Menjelaskan mengenai uraian penting mengenai format kelembagaan
negara yang sekurang-kurangnya membahas mengenai perkembangan
organisasi negara dan pemerintahan yang termasuk didalamnya adalah
lembaga-lembaga yudikatif, legislatif dan lembaga negara
independen/non struktural serta yang lainnya.

43
Sunarto, Masalah - Masalah Hukum: Prinsip Check and Balances dalm sistem
ketatanegaraan di Indonesia Jilid 45 No. 2, (April, 2016), h. 157.
44
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 61.
45
Afan Gaffar, Politik Indinesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 89.
46
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2010).
32

2. Jurnal dengan judul “Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen


(State Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata
Negara” 47 oleh Hendra Nurtjahyo. Dalam jurnalnya, ia menjelaskan
tentang organ-organ kelembagaan di Indonesia dan pembagian fungsi
serta peran kelembagaannya. Serta keberadaan dan eksistensi dari
lembaga-lembaga tersebut. Penjelasan tentang lembaga negara yang ada
di Indonesia dan perkembangannya dalam proses pembentukan dan
pembubarannya.

3. Skripsi yang berjudul “Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam


Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Analisis Sengketa Lembaga
KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia)” oleh Supandri mahasiswa
Ilmu Hukum. Skripsi ini mengenai kedudukan lembaga negara bantu
dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia.
Hal ini terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara bantu
khususnya KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kehadiran
lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI 1945.
Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar
hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat
konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan
undang-undang.

4. Skripsi yang berjudul, “Peran Komisi Perlindungan Anak (KPAI) dalam


Mengatasi Kekerasan Seksual terhadap Anak” yang disusun oleh Hilman
Reza mahasiswa Ilmu Hukum Skripsi Tahun 2014, dalam penelitian ini
perbedaan mendasar terdapat pada objek lembaga yang peneliti kaji.
Dalam penelitian ini KPAI secara normatif, mempunyai kewenangan
untuk berperan sebagai pelidung anak dalam mengatasi kasus kekerasan
seksual terhadap anak. Hal tersebut bisa dilihat dari pasal 76 UU No. 23
tahun 2002 Tentang Perlidungan Anak, bahwa KPAI berfungsi dan
47
Nurtjahyo, Hendra. Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary
Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara, Tahun ke-35, No.3 Juli September 2005.
33

bertugas untuk: menerima pengaduan masyarakat, melakukan


penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelanggaran
perlindungan anak.
Namun, dalam beberapa hal penanganan kasus kekerasan yang terjadi
pada anak sering kali KPAI hanya bersikap pasif dan yang paling sangat
terlihat KPAI sering tertinggal langkahnya oleh lembaga swadaya
masyarakat lainnya dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
BAB III
KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA

A. Sejarah Lembaga Pembinaan Ideologi Pancasila


1. Badan Pembina Pendidikan Palaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pencasila (BP-7)
Kegiatan pendidikan di tanah air pada awal-awal kemerdekaan
diarahkan kepada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa
dan pembangunan pondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Upaya menggelorakan semangat nasionalisme saat itu sangat tinggi,
sehingga oleh Azyumardi Azra dipandang sebagai fase kedua tumbuhnya
nasionalisme pada bangsa Indonesia.1 Pembangunan karakter bangsa
telah menjadi agenda paling penting sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Pembangunan karakter bangsa dicanangkan sebagai tujuan utama
pendidikan saat itu. Terlihat dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (UUPP)
Pasal 3 menegaskan, tujuan pendiidkan dan pengajaran adalah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air.
Pembangunan karakter bangsa secara eksplisit dimuat dalam
produk politik tertinggi lembaga negara, MPR, beruba Garis Besar
Haluan Negara atau GBHN. Pendidikan karakter bangsa pada masa orde
baru ini diwujudkan dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Ekraprasetia
Pancakarsa) disingkat P4. Untuk melaksanakan dan menindak lanjuti
TAP MPR No. II/MPR/1978 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 10
Tahun 1978 tentang Penataran Pegawai republik Indonesia mengenai
hasil sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
1
Bunyamin Maftuh, Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme melalui
Pendidikan Kewarganegaraan, Educationist Vol. 2 No. 2 Juli 2008, h. 135.

33
34

Tahun 1978. Langkah selanjutnya adalah penataran penyelenggaraan P4


bagi masyarakat pada umumnya, serta pegawai negeri di instansi masing-
masing. Untuk keperluan ini dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendiidkan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan
surat Keputusan Presiden No. 10 tahun 1979.2 Proses indroktrinasi terjadi
dalam penerapan penataran P4 yang di lakukan di sekolah-sekolah sejak
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang berisi tentang butir-butir
pancasila. Penataran P4 menjadi unsur yang sangat penting dan
menentukan bagi masa depan siswa pada masa Orde Baru.
Indoktrinasi melahirkan keberhasilan semu dalam waktu yang
singkat, sekaligus dipastikan menumpuk antipati, kegersangan,
kebohongan, ketidakpedulian, kebencian, dan terutama perlawanan
terhaapnya.3 Pendekatan di indoktrinasi seperti itulah yang sempat
melumpuhkan pancasila hampir sepanjang usianya. Tetapi dari sejarah
itu pula kita menemukan sebuah hikmah bahwa ambisi politik penguasa
di masa lalu telah menjadi blessing in disguise: ambisi kekuasaan di masa
lalu, ternyata bukan saja tidak berhasil mengubah hakikat pancasila,
tetapi juga melahirkan kekuatan penghancuran diri.
Kemudian, munculnya era Reformasi ditandai dengan lahirnya
TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1978 tentag Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Pancasila Sebagai Dasar
Negara. Selanjutnya, ditetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor

2
Yudi Hartono, Model Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter Bangsa di Indonesia dari
Masa ke Masa, Jurnal Agastya Vol. 7 No. 1 Janiari, 2017, h. 41.
3
Winarno Surakhmad, Pendiidkan Pancasila (Pendekatan yang mengIndonesiakan),
Pelangi Ilmu Vol. 2, No. 1 Tahun 2008, h. 2.
35

10 Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan


Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Pasca pencabutan TAP tentan P4 dn BP-7 menjelaskan belum
jelasnya strategi pelembagaan pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan
lainnya. Hal ini diakibatkan karna tidak terdapat aturan pengganti yang
menjelaskan mengenai pola pendiidkan karakter bangsa yang akan
dilakukan. Meskipun era reformasi tetap mengakui komitmen terhadap
pancasila sebagai dasar negara, tetapi tidak ada pedoman. Dengan
demikian, segenap komponen bangsa dapat memaknai pancasila sesuai
dengan instuisi dan seleranya masing-masing.4
Belajar dari era sebelumnya, pengenalan dan pendidikan tentang
penghayatan pancasila tidak lagi dijadikan satu mata pelajaran atau
kurikulum khusus. Melainkan pendidikan karakter terjadi lebih alamiah
ketika dilaksanakan secara informal dan natural. Sehinnga terjadi
perubahan sistem pembelajaran tentang penanaman nilai-nilai pancasila
yang semula lebih rigid menjadi lebih fleksible. Namun, metode ini juga
memiliki kelemahan, misalnya pendekatan ini memerlukan waktu yang
lama. Selain itu, jika tidak dibimbing dengan baik dapat memilih nilai
yang tidak sesuai dengan standar nilai masyarakat. Setelah pembubaran
BP7 upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan ideologi pancasila
kepada seluruh masyarakat adalah dengan mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2005 tentang Dukungan Kelancaran
Pelaksanaan Sosialisasi Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang dilakukan
oleh MPR.

2. Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)


Ancaman yang muncul dari pengaruh negatif globalisasi terhadap
ideologi suatu bangsa atau bangsa merupakan suatu ancaman yang besar
dan tidak dianggap kecil. Dengan begitu mudahnya pengaruh negatif dari

4
Bayu Dwi Anggono, Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, (September 2014), h. 507.
36

luar yang masuk ke Indonesia, perlahan-lahan akan berdampak secara


tidak disadari terhadap karakter masyarakat yang tidak sesuai dengan
karakter bangsa daan ini lah yang saat itu terjadi di Indonesia. Oleh
kerenanya, setelah berakhirnya masa Orde Baru dan pasca B-7
dibubarkan, dibentuklah lembaga baru yang sejenis dengan BP-7, yaitu
Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
UKP-PIP merupakan lembaga non struktural yang berada di bawah
dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dasar hukum pembentukan
lembaga ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2017
tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. UKP-PIP
adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk pembinaan ideologi
pancasila pasca BP-7 dibubarkan. UKP-PIP dilantik oleh Presiden Joko
Widodo pada Rabu, 7 Juni 2017, dalam UKP-PIP terdiri dari paling
banyak 11 (sebelas) Dewan Pengarah yang terdiri atas unsur tokoh-tokoh
kenegaraan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, tokoh-tokoh
purnawirawan TNI, POLRI, PNS, dan akademisi yaitu, dengan susunan
sebagai berikut:
1. Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pembina UKP-PIP
2. Try Sutrisno sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
3. K.H. Ma’ruf Amin sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
4. Mahfud MD sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
5. Prof Dr Syafii Maarif sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
6. KH Said Aqil Siroj sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
7. Prof Dr Andreas Anangguru Yewangoe sebagai Anggota Dewan
Pengarah UKP-PIP
8. Wisnu Bawa Tenay sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
9. Sudhamek sebagai Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP
10. Yudi Latif sebagai Ketua UKP-PIP
Ketua dewan pengarah dipilih oleh anggota dewan pengarah
melalui mekanisme internal dewan pengarah. Dalam melaksanakan
tugasnya, dibantu paling banyak 3 (tiga) staf khusus yang bertanggung
37

jawab kepada ketua dewan pengarah. Dalam hal tertentu ketua dewan
pengarah dapat membentuk satuan tugas khusus untuk membantu
mengefektifkan pelaksanaan tugas. Ketua dewan pengarah juga dapat
membentuk dewan pakar untuk memberikan dukungan teknis dan
administratif kepada dewan pengarah, dibentuk sekretariat dewan
pengarah yang dipimpin oleh sekertaris yang bertanggungjawab kepada
ketua dewan pengarah dan secara administratif bertanggungjawab kepda
sekertaris umum.5
Dalam Pasal 3 Perpres Nomor 54 Tahun 2017 fungsi UKP-PIP
adalah membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum
pembinaan ideologi Pancasila dan malakukan koordinasi, sinkronisasi,
dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan
berkelanjutan. Kemudian untuk melaksanakan tugas sesuai Pasal 3
Perpres Nomor 54 Tahun 2017, UKP-PIP memiliki fungsi: (a)
perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pencasila; (b)
penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan road map
pembinaan ideologi Pancasila; (c) koordinasi, sinkronisasi dan
pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; (d) pelaksaan
advokasi pembinaan ideologi Pancasila; (e) pemantauan, evaluasi, dan
pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan
pembinaan ideologi Pancasila; dan (f) pelaksanaan kerja sama dan
hubungan antar lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi
Pancasila.
Terlepas dari pro dan kontra pembentukan UKP-PIP ini, sebagai
warga negara, patut kita kawal bagaimana proses dan kinerja dari UKP-
PIP ini yang memiliki tujuan untuk mempertahankan keutuhan bangsa
melalui proses penegasan akan nilai pancasila. Sadar atau tidak sadar
bangsa ini lupa akan sejarahnya, bahwa bangsa ini di bangun atas
keberagaman etnik, budaya, tradisi, dan agama. Pancasila yang

5
http://jurnalsumatra.com/ukp-pip-jadi-badan-pembinaan-ideologi-pancasila/
38

merupakan manifestasi dari keragaman tersebut perlu kita telaah lagi.


Bukan sekedar tataran kognitif belaka, malainkan seharusnya sudah
meresap sehingga kita live in dalam nilai yang dirumuskan oleh leluhur
bangsa kita.6
Setelah pembentukannya dengan Perpres Nomor 57 Tahun 2017
tentan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila keberadaan
lembaga ini hanya sekitar 9 (Sembilan) bulan sebelum digantikan dengen
Perpres dan bentuk lembaga yang baru. Sehingga dari awal
pembentukannya sebagai Unit Kerja yang bertempat di Kesretariatan
Negara belum banyak hal atau kegiatan yang dilakukan oleh Unit Kerja
Pembinaan Idologi Pancasia. Beberapa kegiatan diantaranya hanya
berupa penyuluhan-penyuluhan, beberapa penanganan kasus dan
melakukan koordinasi antar kelembagaan pemerintah yang lain guna
menopang tugas dan tujuan UK-PIP.

3. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Dikarenakan pembentukan UKP-PIP yang banyak menemui pro
dan kontra dari segala elemen masyarakat, maka lembaga ini diperkuat
keberadaannya dengan pencabutan Peraturan Presiden sebelumnya
digantikan dengan Peraturan Presiden yang baru. Perubahan ini tidak
serta merubah keseluruhan konsep dari yang sudah dicanangkan
sebelumnya oleh pemerintah. Konsep yang ada sebelumnya, tetap
berjalan dan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan badan tanpa
ada perubahan.
Kemudian, Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)
yang dipimpin oleh Yudi Latif, berubah nama menjadi Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila yang disingkat menjadi BPIP sesuai dengan Perpres
Nomor 7 Tahun 2018. Perpres tersebut ditanda tangani oleh Presiden
pada tanggal 28 Febuari 2018. Pelaksana BPIP terdiri atas kepala, wakil

6
Muhammad Arief Virgy, Upaya Pengembalian Flsafah Hidup Bagsa oleh UKP-PIP,
(Majalah Media Mahasiswa Indonesia, Juni 2017), h. 6.
39

kepala, sekertaris utama, deputi hubungan antarlembaga, sosialisasi,


komunikasi dan jaringan, deputi bidang hukum, advokasi dan
pengawasan regulasi, deputi bidang pengkajian dan materi, deputi bidang
pendidikan dan pelatihan, dan deputi bidang pengendalian dan evaluasi.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pada prinsipnya menjadi
lembaga non struktural di Indonesia. Namun, dalam implementasi
penerapannya BPIP berbeda dengan lembaga non struktural yang ada.
BPIP memiliki tatanan struktural yang berbeda dari lembaga non
struktural pada umumnya dan jalur koordinasi kelembagaan baik internal
atau eksternal yang juga berbeda dengan lembaga non struktural pada
umumnya. Sehingga, BPIP dapat dikatakan bukan merupakan
kelembagaan non struktural dalam sistem pemerintahan di Indonesia.7
Seperti yang dikatakan oleh Sekertaris Utama BPIP, Drs. Karjono,
S.H., M. Hum, bahwa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila adalah
kelembagaan pemerintah yang dibentuk dengan dan dasar hukum
Peraturan Presiden dan merupakan bangunan baru dari yang sudah
pernah ada. Sangat berbeda dan lebih kuat kedudukannya serta tugasnya
daripada UK-PIP yang sebelumnya ada dan dibentuk oleh Presiden juga.8
Pembentukan BPIP bahkan menurut Karjono bukan hanya merefitalisasi
melainkan membuat yang baru dari yang pernah ada sebagai lembaga
pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila.

B. Tugas dan Fungsi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Perpres


Nomor 7 Tahun 2018
1. Tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Kelembagaan di Indonesia dibentuk dan dibuat untuk membantu
pemerintah dalam menjalankan urusan kenegaraan. Tugas pembantuan
untuk pemerintah tak hanya dalam bidang ekonomi, sosial politik dan
pendidikan tapi bisa juga dalam hal lainnya yang dapat menopang sasaran
7
Drs. Karjono, SH. M.Hum, Sekertaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
dalam wawancara langsung pada tanggal 28 September 2018.
8
Drs. Karjono, SH. M.Hum, Sekertaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
40

tujuan dari suatu pemerintahan. kemudian, BPIP memilik tugas khusus


yang di berikan Presiden untuk membantu pemerintah yaitu untuk
pembinaan ideologi Pancasila pada masyarakat.
Sesuai Pasal 3 Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila, BPIP mempunyai tugas untuk membantu
Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi
Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian
pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan
melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan,
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan
rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi
yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara,
kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik dan
komponen masyarakat lainnya.9
Pertama, merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi
pancasila maksudnya adalah BPIP membantu pemerintah untuk
menentukan arah kebijakan pembinaan ideologi pancasila sesuai alur
pembinaan yang terstruktur dan jelas. Kedua, melakukan koordinasi,
sinkronisasi dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara
menyeluruh dan berkala. Koordinasi kepada setiap lembaga bersangkutan
dalam pelaksanaan tugas pembinaan ideologi. Sinkronisasi dalam hal
penyamaan atau penyelarasan tujuan pembinaan pancasila. Koordinasi
dan sinkronisasi ini dilakukan secara menyeluruh agar penanaman
ideologi pancasila dapat dilaksanakan secara merata. Kemudian, berkala
agar setiap pengembangan atau perubahan konsep dan data penunjang
pelaksanaan kegiatan dapat berkembang sesuai keadaan dan kondisi
lapangan.
Ketiga, penyusunan kurikulum pendidikan dan pelatihan,
merupakan standar kompetensi pembelajaran, pengayaan dan kegiatan
9
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila.
41

setiap penanaman ideologi pancasila. Baik berupa formal maupun


informal dalam sistem pembelajaran kegiatan pembinaan ideologi.
Namun ada juga yang berpendapat, Perlu adanya penguatan Pancasila
melalui hukum tidak tertulis. Salah satu caranya dengan internalisasi
dalam pendidikan masyarakat. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo berpendapat bahwa nilai-
nilai Pancasila seharusnya juga dibina lewat instrumen hukum tidak
tertulis yang dihidupkan dimasyarakat. Dalam Simposium Nasional
“Institusionalisasi Pancasila dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan
Perundang-undangan”.10
Keempat, memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian
terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila
kepada lembaga tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintah daerah,
organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. Dalam hal
ini salah stu deputi atau bidang BPIP adalah kajian terhadap kebijakan
dan rekomendasi kepada lembaga tinggi negara yang berkaitan dengan
pembinaan ideologi pancasila. Kajian yang dilakukan dapat berupa
rekomendasi dan saran yang dapat dilakukan secara terbuka ataupun
tertutup untuk publik.
Mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar
Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi
pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan
warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan
resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir. Substansi dari adanya
dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis
adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam
mentransformasikan nilai.
10
http://www.bpip.go.id/informasi/gubernur-lemnasham-lemah-karena-terlalu-bergantug-
pada-hukum-tertulis/
42

Pancasila harus di implementasikan ke dalam norma dan praktik


kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjaga konsistensi,
relevansi, kontekstualisasi dan eksisitensinya. Sedangkan perubahan dan
pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada dinamika
internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang
relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara
dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan
nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila
oleh warganegara dan warga masyarakat Indonesia.

2. Fungsi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara
atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi
negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatan
proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka
penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. sri
Soemantri adalah actual govenmental process. Jadi, meskipun dalam
praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa
berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan
memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan
untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis
mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Penanaman ideologi Pancasila secara langsung maupun tidak
langsung harus terjalin dalam masyarakat tanpa adanya suatu aturan
tertentu yang mengaturnya. Namun, dalam menjalankan tugasnya BPIP
memiliki fungsi sesuai Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018
tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yaitu:
a. Perumusan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila;
b. Penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan peta
jalan pembinaan ideologi Pancasila;
43

c. Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan program


pembinaan ideologi Pancasila;
d. Koordinasi, sinkornisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan
ideologi Pancasila;
e. Pengaturan pembinaan ideologi Pancasila;
f. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pengusulan langkah dan
strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi
Pancasila;
g. Pelaksaan sosialisasi dan kerjasama serta hubungan dengan
lembaga tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintahan daerah,
organisai sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya dalam
pelaksanaan pembiaan ideologi Pancasila;
h. Pengkajian materi dan metodologi pembelajaran Pancasila;
i. Advokasi penerapan pembinaan ideologi Pancasila dalam
pembentukan dan pelaksanaan regulasi;
j. Penyusunan standrisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; dan
k. Perumusan dan penyampaian rekomendasi kebijakan atau regulasi
yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam menjalankan fungsi pemerintahan, kelembagaan yang
terstruktur dalam suatu wadah organisasi, melakukan proses (kegiatan)
dan perilaku (nilai), kelembagaan pemerintah harus memiliki
kemampuan profesional, kualifikasi administrasi atau manajerial, dan
hierarki yang jelas untuk melaksanakan kekuasaan dan tanggungjawab
sebagai abdi masyarakat.
Pentingnya sebuah fungsi dalam kelembagaan pemerintahan adalah
sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Fungsi
sebuah kelembagaan dapat juga menjadi skema kinerja atau arah
membuat kegiatan-kegiatan lembaga negara menjalankan tugas
kelembagaannya. Selanjutnya, penerapan teknis yang dilakukan BPIP
44

dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dari fungsi lembaga negara


ini.
Pelaksanaan fungsi sebagai pelayanan terhadap masyarakat tidak
dapat dipisahkan dari kemampuan profesional, serta manajemen dan
organisasi (capacity and capability institutional) yang berorientasi pada
pelaksanaan pembangunan secara terpadu, lancar dan integral dengan
pendekatan administratif, karena itu, kelembagaan sebagai public service
harus mampu menyeimbangkan antara kekuasaan dan tanggung jawab
(power and responsibility), sehingga fungsi-fungsi yang dijalankan
memperoleh kedudukannya.
BAB IV
KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BADAN
PEMBINAAN IDEOLOGI PACASILA

A. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila pasca Peraturan Presiden Nomor 7


Tahun 2018 dalam Sistem Pemerintahan Indonsia
Penetapan hari kelahiran Pancasila awal mulanya dilatar belakangi dari
peristiwa sejarah pembentukan konsep Pancasila. Dimulai dari sidang
BPUPKI pada tangga 29 – 1 juni 1945, beberapa founding fathers kita
merumuskan tentang konsep dan gagasan ideologi bangsa dengan sebutan
Pancasila1. Lalu, Surat Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Hari Pancasila merupakan ketetapan tertulis tentang penetapan Hari Lahir
Pancasila. Sehingga, setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Nomor 24
Tahun 2006 tentang penetapan tanggal 26 Juni menjadi Hari Lahirnya
Pancasila maka pada hari tersebut dinyatakan sebagai hari perayaan Pancasila
secara nasional. Pancasila menjadi topik yang penting untuk diperingati dan
dirayakan setiap tahunnya sesuai dengan SK Presiden Nomor 24 Tahun 2016.
Selain perayaan Pancasila sebagai ideologi bangsa, fenomena yang
terjadi akhir-akhir ini menjadi bukti perlu adanya pembangunan nilai-nilai
Pancasila bagi masyarakat. Banyaknya kasus mengenai pencemaran
(pelecehan) nilai-nilai dan marwah Pancasila yang terjadi beberapa tahun
belakangan ini membuat alasan untuk pembentukan kelembagaan baru
menurut pemerintah (yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Peneliti
akan menjabarkan beberapa kasus terkait Pancasila. Pencemaran yang
dilakukan oleh salah public figure (Zaskia Gotik) tahun 2016 baik tanpa
sengaja atau dengan disengaja telah mencoret nilai Pancasila. Selain itu,
komentar dan kritik Presiden Jokowi pada salah satu pidatonya tentang “anti-
Pancasila” kepada Ormas (organisasi Masyarakat) atau organisasi lainnya.
Serta masih banyak lagi kasus-kasus atau masalah terkait pencemaran atau

1
http://setkab.go.id/pancasila-sebuah-kesepakatan-sebagai-bangsa/

45
46

penghinaan ideologi Pancasila yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia


ataupun bukan.
Pertama, Zaskia, kata Kepala Unit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda
Metro Jaya Komisaris Nico Setiawan, dituding menyebut lambang sila kelima
Pancasila bergambar pagi dan kapas dengan istilah „bebek nungging‟. Zaskia
diduga melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pedangdut itu juga
terancam dijerat pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait
Penghinaan. Latar belakang pendidikan Zaskia yang hanya sekolah dasar,
menurut Firdaus (sebagai Ketua Umum Komunitas Pengawas Korupsi), tidak
bisa dijadikan alasan untuk menghina lambang negara. Baginya, sebagai
warga negara Indonesia, Zaskia wajib menghargai segala perjuangan para
pahlawan.2
Namun setelahnya, Zaskia justru diangkat menjadi Duta Pancasila yang
diusulkan oleh salah satu anggota DPR dari perwakilan Fraksi PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa) yaitu Abdul Kadir Karding, setelah menghadiri acara
talkshow Pancasila di gedung DPR. Menurut Karding Zaskia dapat lebih
memahami Pancasila dan dengan profesinya sekarang mampu membantu
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat luas. Dan menurut
PKB, penyelesaian kasus itu diselesaikan dengan persuasif dan ditutup
dengan dimaafkannya Zaskia.3
Kedua, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-enam RI Tri Sutrisno
mengatakan, disahkannya Perpu Nomor 22 Tahun 2017 tentang Ormas
menjadi UU, menegaskan bahwa tak boleh ada ormas yang bertentangan
dengan Pancasila. “organisasi anti-Pancasila kok hidup di Indonesia, kalau
kamu anti-Pancasila jangan hidup disini”, ujar Try saat ditemui usai diskusi,
di kantor para syndicate. Try mengatakan ideologi selain Pancasila yang

2
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160317123858-12-118032/zaskia-gotik-
dilaporkan-ke-polisi-dituding-hina-pancasila
3
https://www.idntimes.com/news/indonesia/agustin/setelah-hina-lambang-negara-zaskia-
gotik-jadi-duta-pancasila-apa-alasannya/full
47

tumbuh di Indonesia akan membahayakan sendi-sendi negara. Ideologi


tersebut secara perlahan menggerogoti Pancasila yang merupakan warisan
founding fathers.4
Namun, kebhinekaan kita, selalu diuji. Ada pandangan dan tindakan
yang selalu mengancamnya. Ia menyebutkan, ada sikap tidak toleran yang
mengusung ideologi lain selain Pancasila. Semua itu diperparah oleh
penyalahgunaan media sosial, oleh berita bohong, oleh ujaran kebencian yang
tidak sesuai dengan budaya bangsa. Presiden Jokowi mengingatkan, kita
harus belajar dari pengalaman buruk negara lain yang dihantui oleh
radikalisme dan konflik sosial, yang dihantui oleh terorismedan perang
saudara. Namun dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, dalam bidang NKRI
dan Bhineka Tunggal Ika, tegas Presiden, kita bisa terhindar dari masalah-
masalah tersebut.5
Selanjutnya, jajaran Polres Malang menangani kasus pelecehan
Pancasila yang dilakukan oleh VAM (singkatan nama pelaku), gadis yang
berusia 14 tahun. Melalui akun Facebook yang bernama Khenyott Dhellown,
gadis asal Desa Tegalsari, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, itu
memelesetkan butir Pancasila. Mendapat laporan tentang hal itu, jajaran
Polres Malang memanggil VAM untuk dilakukan pemeriksaan. Polres lalu
mengambil langkah pembinaan atas kasus itu. Meskipun VAM bebas dari
jeratan hukum tapi pihak kepolisian meminta kepada pelaku pelecehan
Pancasila itu untuk membuat surat terbuka dan mintaan maaf atas
perbuatannya. 6 Kasus yang terjadi awal tahun 2018 itu, membuat Kepala
Deputi Advokasi UK-PIP saat itu datang ke Polres Malang untuk
mengapresiasi atas penanganan kasus tersebut seperti yang telah dipaparkan
pada pembahasan sebelumnya.

4
http://nasional.kompas.com/read/2017/10/26/20234201/try-sutrisno-kalau-anti-pancasila-
jangan-di-indonesia
5
http://setkab.go.id/presiden-jokowi-pemerintah-pasti-tegas-terhadap-organisasi-dan-
gerakan-anti-pancasila/
6
https://regional.kompas.com/read/2018/01/26/18004191/gadis-yang-lecehkan-pancasila-
dibina-polres-malang-ukp-pip-beri-apresiasi
48

Tak hanya dilakukan oleh masyarakat Indonesia, bahkan penghinaan


terhadap Pancasila juga dilakukan oleh WNA (warga negara asing), yaitu
salah satu Anggota Australian Defence Force (ADF), yang menyebabkan
Marise Paine, yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan
Australia tahun 2017 bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Dikarenakan
dampak dari masalah ini tak hanya akan mengganggu hubungan pribadi tapi
juga hubungan antar negara secara diplomatis termasuk hubungan kerjasama
antar kedua negara.
Marise Paine selain mengirimkan surat permohonan permintaan maaf
secara resmi juga melakukan komunikasi secara tidak resmi dan langsung
melalui telephone kepada Ryamizard Ryacudu selaku Menteri Pertahanan
Indonesia. Meskipun surat permohonan maaf itu diterima dan dihormati
namun, panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah mennagguhkan
sementara kerjasama militer dengan Australian Defence Force (ADF) sejak
pertengahan Desember 2016. Kapuspen TNI, Mayjen TNI Wuryanto,
menuturkan kerjasama ditangguhkan karena ada beberapa masalah teknis
yang perlu dibahas terkait hal tersebut. Namun, beliau tidak merinci
pembahasan teknis yang dimaksud. Menurutnya dengan adanya penangguhan
ini latihan militer bersama dan pertukaran perwira antara Indonesia dan
Australia saat itu dihentikan.7
Beberapa sudah peneliti sebutkan tentang kasus-kasus dan masalah
yang ada beberapa tahun terakhir terkait Pancasila. Dari penanganan dan
macamnya masalah tersebut dapat ditanggulangi cukup baik dan selesai
dengan berbagai kelembagaan di Indonesia mulai dari kepolisian,
kementerian dan UK-PIP yang sebelumnya dibentuk untuk penanganan nilai
ideologi Pancasila. Hal ini memunculkan urgensi dari keberadaan
kelembagaan pemerintah untuk mengatur dan diamanatkan tugas dan
kewenangannya terkait penanaman niali-nilai ideologi Pancasila kepada
masyarakat.

7
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/05/ojaq89354-ryamizard-
australia-minta-maaf-atas-kasus-pelecehan-pancasila
49

Keinginan dan tututan (demand) yang terjadi di tengah masyarakat


perlu mendapat perhatian yang cukup dan mendapat penyelesaian
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, pembentukan kebijaksanaan (policy
formation) harus terus mendapat perhatian. Kehadiran BPIP implementasi
dari kelembagaan bentukan pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai
ideologi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari merupakan satu langkah
pembuktian adanya interest dari pemerintah tentang nilai Pancasila saat ini.
Munculnya BPIP dirasa cukup penting untuk menjalankan tugasnya sehingga
tidak terjadi lunturnya nilai historis bangsa yang saat ini mulai nampak.
Sehingga, pembentukan BPIP dibutuhkan keberadaannya seperti yang sudah
dilakukan Presiden.
Sedikit berlainan dengan C. F. Strong, Ismail Suny mengelompokkan
kekuasaan Presiden menjadi enam bidang yaitu, kekuasaan administratif,
kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer, kekuasaan
diplomatik, dan kekuasaan darurat.8 Dari keenam bidang kekuasaan tersebut,
yang mungkin isinya dapat berpengaruh dengan sisitem tata negara adalah
kekuasaan legislatif (pembuat peraturan). Presiden dapat memebentuk
peraturan baik itu Peraturan Presiden, Keputusan Presiden atau yang lainnya
selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya,
yaitu Peraturan Pemerintah, Undang-Undang, Ketetapan MPR dan UUD
1945 sesuai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Jimly asshiddiqie menafsirkan, di dalam rumusan Pasal 4 Ayat (1)
UUD 1945 ada kekuasaan pemerintahan negara yang menurut Undang-
Undang Dasar dan ada pula kekuasaan pemerintahan negara yang tidak
menurut Undang-Undang Dasar. Frasa „menurut Undang-Undang Dasar‟ itu
masih dapat dibedakan antara secara eksplisit ditentukan dalam Undang-
Undang Dasar dan tidak secara eksplisit ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar. 9 Namun meskipun demikian, Maria Farida Indrati S. Menjelaskan

8
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Askara Batu, 1977), h. 44.
9
Jimly asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: Bhuana Populer Ilmu, 2007) h. 333.
50

bahwa makna Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 masih sama seperti sebelum
perubahan, yakni Presiden tetap memiliki jabatan sebagai Kepala
Pemerintahan Negara Republik Indonesia.10
Kemudian, sebagai negara yang menganut sistem presidensial
pendekatan yang menyatakan bahwa hak prerogatif merupakan constitutional
power Presiden untuk mengisi ruang yang tidak diatur secara detail dalam
konstitusi, nampaknya cocok untuk diterapkan di Indonesia karena pendapat
ini didukung dari pengalaman sejarah (historical practices) maupun teori
konstitusi. Meski demikian, pendapat John Locke yang menyampaikan bahwa
constitutional power ini perlu dibatasi penggunaannya pada keadaan yang
bersifat luar biasa sampai dengan lembaga legislatif dapat mengatur kondisi
tersebut patut untuk menjadi perhatian. Hal ini penting dikarenakan
penggunaan hak prerogatif yang tidak terbatas, secara nyata akan
bertentangan dengan prinsip kepastian yang menjadi fondasi penting dalam
negara hukum. Indonesia dapat dikatakan masih belum memiliki bangunan
konseptual yang jelas mengenai hak prerogatif Presiden sebagai bagaian dari
kekuasaan eksekutif Presiden. Hal ini juga nampaknya luput dari bahasan
para perumus perubahan UUD 1945.
Mengenai hak prerogatif Presiden terdapat perbedaan pandangan. Saldi
Isra mengutip pendapat Bagir Manan menyatakan bahwa hak prerogatif
merupakan hak Presiden yang diberikan langsung oleh konstitusi. Sebagai
contoh yang paling eksplisit adalah hak untuk mengangkat menteri sebagai
pembantu Presiden sebagaimana diatur dengan tegas dalam Pasal 17 UUD
1945. Namun, berbeda pada saat Presiden akan mengubah lembaga atau
institusi kementerian negara, hal ini harus dilaksanakan dengan persetujuan
DPR. Sehingga yang demikian bukanlah merupakan bagian hak prerogatif
Presiden.11

10
Marifa Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, fungsi dan Materi Muatan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 130.
11
Hendra Wahanu Prabandani, Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden
(Constitutional Limits of The Presidential Executive Power), jurnal legislasi indonesia vol. 12 no.
3, Oktober 2015. h. 270.
51

Presiden dalam hal ini sebagai pemangku kekuasaan eksekutif,


membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dengan dasar
pembentukannya adalah Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018. Hal itu sah
dan legal adanya dengan kekuasaan legislatif yang dimilik seorang Presiden.
Sehingga pembentukan dari BPIP adalah kewenangan dan keputusan dari
Presiden untuk mendirikan dan memebentuk kelembagaan tersebut sesuai
arah kebijakan serta tujuan pemerintah. Tetapi, perlu peneliti paparkan bahwa
kewenangan untuk menjalankan penanaman pada ideologi Pancasila
merupakan tugas dan fungsi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sesuai
dengan isi 4 (empat) pilar demokrasi dalam berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Menurut sosialisasi MPR RI tentang empat pilar Kehidupan Bangsa dan
Bernegara, Pancasila merupakan dasar negara yang mempersatukan bangsa
sekalipun bintang penuntun yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam
mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti itu, Pancasila merupakan sumber
jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Menurut
sosialisasi MPR RI tentang empat pilar Kehidupan Bangsa dan Bernegara,
empat pilar dipandang sebagai suatu yang harus dipahami oleh para
penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi panduan
dalam kehidupan berpoitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum,
mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan dan berbagai
dimensi kehisupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengalaman
prinsip empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, diyakini bangsa
Indonesia akan mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil, makmur,
sejahtera dan bermanfaat. 12 Lantas lembaga manakah yang berwenang
memangku fungsi pengamalan ideologi pancasila di Indonesia?
Kemudian, sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945, terdapat
beberapa perubahan signifikan terhadap kewenangan lembaga-lembaga
negara dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan ini tidak

12
Nina Angelia, Pemahaman Penanaman Empat Pilar Kebangsaan terhadap Siswa SMA
Negeri 4 Medan, JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA, 5 (1) (2017), h. 18.
52

hanya membutuhkan penyesuaian terhadap kewenangan setiap lembaga


negara yang ditentukan dalam UUD 1945, akan tetapi juga kewenangan
lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh peraturan lain
seperti Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden atau Peraturan
Presiden. Harus disesuaikan karena hal ini merupakan suatu keharusan
sebagai konsekuensi hukum hierarki peraturan perundang-undangan.
Amandemen konstitusi telah mengubah skema dan format kelembagaan
negara, mulai dari lembaga yang memiliki tingkatan paling tinggi sampai
kepada lembaga yang memiliki tingkatan paling rendah. Di tingkat paling
tinggi, perubahan terjadi pada struktur lembaga tinggi negara, seperti
perubahan keduudkan MPR yang menjadi sejajar dengan lembgaa negara
lain, seperti Presiden, Dewam Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan, di tingkat paling rendah, perubahan struktur lembaga pemerintah
terjadi mulai dari struktur lembaga pemerintah pusat sampai struktur
pemerintah desa.13
Perubahan UUD 1945 yang terjadi „sekali dalam empat tahapan dalam
kurun waktu empat tahun‟ pada masa transisi demokrasi telah memaksa
Pemerintah untuk melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional
experimentetion). Akibatnya, banyak lembaga negara yang dihapus dan
dibentuk dalam rangka memformulasikan struktur kelembagaan negara yang
sesuai dengan tuntutan konstitusi yang telah direformasi. 14 Reformulasi
struktur kelembagaan negara itu juga berimbas pada struktur organisasi
Sekretariat negara dan lembaga-lembaga non-kementerian atau lembaga non
struktural.
Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara utuh
mekanisme kerja lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk

13
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. 350.
14
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. x.
53

mencapai tujuan negara. Penyelenggaraan pemerintahan suatu negara akan


berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara yang
saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam
mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan
kedudukan, peran, kewenangan dan tanggungjawabnya masing-masing.
Dengan perubahan zaman menjadi semakin maju tentu berdampak bagi
format pemerintahan juga. Perubahan yang diharapkan dalam hal ini
perombakan terhadap format-format kelembagaan birokrasi pemerintahan
yang tujuannya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum
(public service) dapat benar-benar efektif.
Kemudian, harus ada penjelasan terkait lembaga mana yang berhak
menjalankan tugas tersebut atau dapatkah kedua lembaga tersebut membatasi
kekuasaan diantaranya. Dalam hal permasalahan yang lebih relevan misalnya
adalah sejauh mana Presiden dapat menjalankan kekuasaan ekekutifnya dan
seberapa kuat lembaga lain diperbolehkan untuk membatasi penggunaan
kekuasan tersebut. Hal ini tidak menjadi persoalan misalnya pada saat
Presiden mengangkat menteri yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945
sebagai kewenangan Presiden, atau pada saat mengangkat duta dan konsul
yang harus dilakukan dengan persetujuan DPR.
Lowell Barrington menyatakan, badan legislatif dan badan eksekutif
adalah komponen kunci dari struktur politik suatu negara, dan salah satu
karakter penting dari sistem politik adalah pembagian kekuasaan antara badan
legislatif dan badan eksekutif.15 Doktrin separation of powers atau pembagian
kekuasaan antar cabang pemerintahan merupakan bahasan yang penting bila
dikaitkan dengan batas-batas kekuasaan eksekutif Presiden. Ide besar dibalik
separation of powers adalah perlunya pembagian kekuasaan diantara cabang
pemerintahan untuk menghindari terjadinya satu kekuasaan yang absolut
dalam suatu negara.

15
Lowell Barrington, Comparative Politics, Structures and Choices, (Wadsworth: 2013), h.
194.
54

Timbulnya permasalahan mengenai batas kekuasaan eksekutif Presiden


tersebut secara konsepsi ketatanegaraan tidak dapat dipandang sebagai hal
yang sederhana. Pembatasan kekuasaan Presiden dapat dimaknai sebagai
saling intervensi cabang kekuasaan negara. Hal ini dianggap menyalahi
prinsip separation of powers karena MPR yang merupakan lembaga legislatif
tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk membatasi kewenangan
eksekutif presiden. Doktrin separation of powers atau pemisahan kekuasaan
memang tidak dapat ditemukan secara tekstual dalam konstitusi, namun telah
disepakati secara luas bahwa kedudukannya sangat mendasar dalam negara
demokrasi. Separation of powers merupakan fondasi yang membentuk
struktur konstitusi itu sendiri. Sehingga pelanggaran terhadap doktrin tersebut
dianggap dapat merusak sendi fundamental negara demokrasi.
Terkait dengan hal tersebut, terdapat dua pandangan mengenai derajat
deviasi dalam implementasi doktrin separation of powers yaitu pendekatan
formalist dan pendekatan functionalist. Functionalism menekankan pada
standar, sedangkan formalism mengutamakan aturan. Funsionalisme
mengutamakan pada pencapaian tujuan dari konstitusi, sedangkan formalisme
fokus pada teks konstitusi dan maksud para pendiri bangsa saat menyusun
konstitusi (original understanding). Penganut paham formalis memandang
bahwa doktrin separation of powers membagi dengan tegas fungsi eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Dalam hal ini tidak memungkinkan adanya saling
mempengaruhi antar cabang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan
fungsionalis beranggapan bahwa setiap cabang kekuasaan memiliki fungsi-
fungsi pokok yang tidak dapat dikurangi, namun diluar hal tersebut
kemungkinan adanya pengaruh dari cabang kekuasaan lain tidak dianggap
bertentangan dengan separation of powers. Pengaruh antar cabang kekuasaan
harus diukur mengguankan standar yang merupakan karakteristik doktrin
separation of powers yaitu:
(i) mempertahankan sistem check and balances;
(ii) mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu cabang pemerintahan;
(iii) melindungi hak-hak individu warga negara; dan
55

(iv) memungkinkan pelaksanaan check and balances serta kerjasama antara


cabang kekuasaan untuk mencapai pemerintahan yang efektif.

Kedua pendekatan tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan


kekurangan. Formalis seringkali mengkritik fungsionalis sebagai pihak yang
tidak konsisten dengan struktur teks maupun dengan maksud dari para
perumus konstitusi. Selain hal tersebut, formalis menganggap pendekatan
fungtionalis bersifat terlalu ad hoc dan tidak konsisten dengan prinsip negara
hukum. Sebaliknya, para penganut paham fungsionalis beranggapan bahwa
pendekatan formalis bersifat anti-historis, kaku dan sudah cocoklagi
diterapkan di era negara modern.
Konsep separation of powers dapat dilakukan beriringan dengan
konsep check and balances berasal dari teori klasik tentang mixed atau
balanced government yang dipraktekan di Inggris. Mixed government tidak
mendasarkan pada pembagian kekuasaan namun lebih menekankan pada
partisipai dari kelompok/kelas sosial yang ada dalam masyarakat saat itu.
Pada praktek ketatanegaraan modern, saat ini pengalaman menunjukan bahwa
berbagai negara melaksanakan percampuran antara doktrin separation of
powers dan check and balances dalam satu paket penerapan termasuk
Indonesia.
UUD 1945 nampaknya juga mengakui pencampuran antara doktrin
separation of powers dan check and balances. Sebagaimana diketahui, UUD
1945 secara jelas membedakan antara kekuasaan pemerintahan (eksekutif)
kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif), serta kekuasaan
kehakiman (yudikatif) serta mengalokasikan kekuasaan tersebut masing-
masing dalam suatu lembaga khusus. Selain itu dikenal juga doktrin check
and balansces diantara cabang kekuasaan misalnya melalui mekanisme
pembahasan bersama undang-undang, persetujuan DPR dalam pemilihan duta
dan konsul, mekanisme judicial review oleh mahkamah agung dan mahkamah
konstitusi. Pro dan kontra pembentukan BPIP dengan tugas dan fungsi yang
seharusnya sudah diemban oleh MPR dapat terjawab dengan pembagian
kekuasaan antara keduanya dan penerapan sistem check and balances.
Dalam konsep pemisahan kekuasan diantara dua lembaga tersebut tidak
dapat di persalahkan pembentukan BPIP di bawah kekuasaan eksekutif.
56

Dikarenakan pasca perubahan UUD NRI 1945 penghapusan lembaga


tertinggi negara menyebabkan derajat lembaga-lembaga tersebut menjadi
sejajar secara horizontal tidak vertikal. Sistem ketatanegaraan Indonesia
sesudah Amandemen UUD 1945, dapat dijelaskan sebagai beribut: Undang-
Undang Dasar 1945 NRI merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD
1945 NRI, memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada
6 (enam) lembaga dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu: Presiden,
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkamah agung dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur
pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk
atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status
bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud
pembentukannya. Dalam naskah UUD 1945 NRI, dan ada pula yang
disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang
disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya lembaga-
lembaga negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional
organs) dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs).
Tak hanya separation of powers dan check and balances, pada sebuah
organisasi pemerintahan kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas
dan penyelenggaraan kelembagaan pemerintahan, dipengaruhi oleh
kepemimpinan. Melalui kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas
organisasi pemerintahan yang memadai, maka penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik (good governance) akan terwujud, sebaliknya
kelemahan kepemimpinan merupakan salah satu sebab keruntuhan kinerja
kelembagaan di Indonesia. Kepemimpinan yang ada di Indonesia
membutuhkan kepemimpinan yang baik sehingga dapat menciptakan
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai
57

dalam pembangunan di Indonesia salah satunya adalah pengaturan sistem


pemerintahan yang baik (good governance). Pengaturan ini dapat dilakukan
dengan penataan kelembagaan yang ada di Indonesia.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Bertolak dari semua prinsip ini akan
didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik dan buruknya
pemerintahan bisa dinilai apabila pemerintahan telah bersinggungan dengan
semua unsur-unsur good governance, maka aturan hukum senantiasa
dipandang sebagai pemberi arah bagi setiap proses pembaharuan, karena
perspektif reformasi harus berjalan secara gradual, konseptual dan
konstitusional.
Aplikasi dari prinsip-prinsip good governance dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dituangkan dalam 7 (tujuh) asas-asas umum
penyelenggaraan negara (UU Pasal 3 Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan
Nepotisme) yang meliputi:16
1. Asas kepastian hukum adalah dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan setiap
kebijkan Penyelenggara Negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarkat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia
negara.

16
https://www.academia.edu/28382748
58

5. Asas porposionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan


antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggugjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BPIP dalam sistem ketatanegaraan, sebelum pembahasan melanjut, kita


harus memahami istilah dari sistem ketatanegaraan terlebih dahulu. Istilah
atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan
ketatanegaraan. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-
sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebuh kecil. Pendekatan
sistem tidak memutuskan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar
melainkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip organisasi dasar.17 Apabila
pengertian sistem dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan maka sistem
ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu
yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang
susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang masing-masing maupun hubungan satu sama
lain. 18 Selanjutnya, apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia maka dapat diartikan sebagai susunan
ketatanegaraan Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan
susunan organisasi Negara Republik Indonesia, baik yang menyangkut
susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang
maupun hubungannya satu sama lain menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

17
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,
(Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 371.
18
I Gde Panjta Astawa, Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Perwakilan menurut
UUD 1945, Seminar Penguatan Lembaga Demokrasi DPD-RI Provinsi Jawa Barat oleh Univ.
Pasundan, 19 November 2005, Bandung, h. 1.
59

Terhadap hal tersebut, Sri Soemantri membagi dua sistem


ketatanegaraan di Indonesia. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam arti
sempit, yakni hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang
terdapat dalam UUD. Kedua, sistem ketatanegaraan dalam arti luas, yakni
meliputi lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam dan diluar UUD.
Menurut Sri Soemantri, lembaga neagara yang bersumber pada UUD 1945
hasil perubahan adalah BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden (termasuk Wakil
Presiden), MA, MK, KY. Jika dilihat tugas dan wewenangnya, kedelapan
lembaga itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni lembaga negara yang
mandiri yang disebut lembaga negara utama (Main State’s Organ) dan
lembaga negara yang mempunyai fungsi melayani yang disebut (Auxiliary
State’s Organ). BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden (termasuk Wakil Presiden),
MA, MK merupakan Main State‟s Organ sedangkan KY adalah Auxiliary
State’s Organ.19
Namun, BPIP pasca Perspres Nomor 54 Tahun 2017 yang telah diubah
menjadi Perpres Nomor 7 Tahun 2018 telah menempatkan kedudukannya
pada sistem tata negara sesuai peraturan pembentuknya. Meskipun tidak ada
permasalahan dalam pembentukan BPIP berdasarkan landasan hukumnya
sesuai pembahasan diatas. Karena, pada faktanya BPIP justru memiliki
struktur dan birokrasi yang tidak sama dengan Lembaga Non Struktural.
Seperti yang di katakan oleh Drs. Karjono sebagai Sekertaris Utama BPIP20,
“di bawah Presiden ada kementerian, Lembaga Pemerintah non kementerian
dan lembaga non struktural. BPIP ini berdiri sendiri sebagai lembaga
langsung di bawah Presiden. BPIP berbeda dalam sistem pemerintahan
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini berbeda. Tidak
lazim karena ada kepala sebagai ketua dan ada wakil kepala. BPIP bukan

19
Ahmad Basrah, Kajian Teoritis terhadap Auxiliary State’s Organ dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014. h. 3-4.
20
Drs. Karjono, SH. M.Hum, Sekertaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam
wawancara langsung pada tanggal 28 September 2018.
60

lembaga non struktural tetapi bukan pula lembaga pemerintah non


kementerian.”
Melihat dari dasar hukum pembentukannya Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dalam hal ini bertindak sebagai lembaga pembantu di bawah
eksekutif. Sesuai dengan Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila, maka badan ini berada di bawah kekuasaan
eksekutif walaupun fungsinya sama dengan empat pilar MPR yang
menjadikan BPIP tentu bukan lembaga negara yang terpisah dari ketiga
kekuasaan besar yang eksis keberadaannya. Bahkan mungkin adanya lembaga
terpisah dan bukan termasuk kewenangannya dalam tiga poros kekuasaan
besar ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak murni menggunakan sistem 3
(tiga) kamar lagi seperti teori trias politica.
Eksistensi dari lembaga-lembaga pelaksana fungsi negara dan
penunjang tugas pemerintahan (state auxiliaries) ini tampaknya menimbulkan
kesemrawutan dalam tatanan pemerintahan maupun kerancuan dalam struktur
ketatanegaraan. Manakah yang disebut sebagai lembaga negara? yang
manakah yang disebut sebagai lembaga negara utama dan yang manakah
yang disebut lembaga negara penunjang (pembantu tugas negara)?
Pertanyaan yang lebih khusus muncul adalah apakah BPIP ini sama
dengan atau setara dengan Kementerian Negara? Melihat dari nama dan
statusnya sebagai lembaga non struktural. Namun, secara struktur BPIP
menggunakan struktur Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).
Kemudian, kelembagaan negara yang setara kedudukannya dengan komisi-
komisi yang ada di Indonesia, seperti komisi Kejaksaan, Kepolisian
sebagaimana komisi statusnya dalam sistem pemerintahan. Selanjutnya, yang
menjadi bahan acuan adalah ada lembaga negara diluar itu semua yang
kedudukannya sebagai lembaga negara yang terpisah dengan kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdiri sendiri yaitu seperti Otoritas Jasa
Keuangan dan Bank Indonesia yang memiliki fungsi khusus namun tetap
memiliki hubungan fungsional dengan lembaga lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa, pada lembaga atau organisasi tentara,
organisasi kepolisian, organisasi kejaksaan, dan organisasi Bank Sentral
61

adalah lembaga-Iembaga yang pertama kali harus didorong untuk menjadi


independen, lepas dari kendali dominasi (intervensi) kepala pemerintahan
(Presiden). Sedangkan, pada kelembagaan lain adalah mewujudkan lembaga-
Iembaga penunjang (state auxiliaries atau derivative organ) yang independen,
tidak terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Upaya
memberikan independensi kepada lembaga, badan, dan komisi negara ini
adalah sebagai langkah demokratisasi terhadap lembaga-Iembaga yang
menjalankan tugas pemerintahan dalam konteks negara. Maka, BPIP harus
menempatkan kelembagaan negaranya termasuk lembaga penunjang yang
bersifat independen.
Semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern, maka semakin banyak
lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas
atau fungsi negara. Alat perlengkapan atau lembaga yang di-create melalui
konstitusi seringkali tidak lagi mampu menampung tugas-tugas spesifik yang
umumnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam
pelaksanaannya. Sehingga, bentukan alat perlengkapan atau organ (Iembaga)
baru merupakan conditio sine qua non bagi pertumbuhan negara pada era
milenium ini.
Secara umum alat perlengkapan negara yang berupa state auxiliaries
atau independent bodies ini muncul karena:
1. Adanya tugas-tugas kenegaraan yang semakin kompleks yang
memerlukan independensi yang cukup untuk operasionalisasinya.
2. Adanya upaya empowerment terhadap tugas lembaga negara yang sudah
ada melalui cara membentuk lembaga baru yang lebih spesifik.
Badan Pambinaan Ideologi Pancasila muncul karena dua alasan diatas.
Tugas kenegaraan yang kompleks dari lunturnya nilai Pancasila pada
masyarakat mulai menjadi perhatian pemerintah. Lembaga baru yang lebih
spresifik yang dimaksud adalah bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila yang
sudah di jalankan oleh MPR sebelumnya perlu diperkuat atau di khususkan
kelembagaannya namun dengan peran dibawah eksekutif pembentukan
kelembagaannya yang nantinya memiliki kementerin teknis dibawah
Kementerian Hukum dan HAM dan bersinkronisasi dalam melaksanakan
tugas dengan fungsi empat pilar MPR.
62

Atas kemunculan lembaga-lembaga negara baru itu, Jimly Asshiddiqie


mengklasifikasikan ke dalam dua kriteria, yakni (1) kriteria hierarki bentuk
sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (2) kriteria
21
fungsinya yang bersifat utama atau penujang Sedangkan dari segi
hierarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3 (tiga) lapis, yaitu:22
a. Organ lapis pertama yang disebut dengan lembaga tinggi negara, yakni:
Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK). Seluruh lembaga tersebut mendapatkan
kewenangan dari Undang-Undang Dasar.
b. Organ lapis kedua disebut dengan lembaga negara, yakni Menteri
Negara, TNI, Kepolisian Negara, KY, KPU dan BI. Lembaga-lembaga
tersebut ada yang mendapatkan kewenangan dari UUD dan ada pula
yang mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang.
c. Organ lapis ketiga adalah organ negara yang sumber kewenangannya
berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah Undang-
Undang, misalnya Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman.

Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang


Kementerian Negara, menyebutkan dengan jelas hubungan fungsional antara
kementerian dengan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Sehingga,
kedudukan dan pertanggungjawaban lembaga non kementerian pula ada
dibawah Presiden secara langsung. Ditambah lagi dengan struktur BPIP yang
sama dengan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang diterapkan saat
ini, yang paling jelas adalah adanya Dewan Pengarah atau dalam Perpres
disebut dengan Dewan Pembina yang ada pada kelembagaan pemerintahan

21
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
106.
22
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
106-112.
63

BPIP. Menimbulkan kesimpulan bahwa BPIP berada di lapis ketiga dalam


sistem ketatanegaraan Indonesia.
Persoalan yang muncul bahwa BPIP setara dengan Kementerian Negara
dapat dijawab secara singkat. Lembaga-lembaga dibawah Presiden dengan
dasar pembentukan yang dibawah Undang-Undang secara hierarki, membuat
status kelembagaan pembantu pemerintahan termaksud BPIP lingkup
kedudukannya dibawah eksekutif secara langsung termasuk
pertanggungjawabannya dan tidak setara dengan Kementerian Negara yang
dibuat atas dasar Undnag-Undang. Tak ada kesetaraan hubungan antara BPIP
dengan Kementerian Negara, badan ini berdiri independent. Persoalan
mengenai batas kekuasaan eksekutif Presiden dalam hal pembentukan
lembaga pembantu pemerintah akhirnya berkaitan dengan implementasi dari
dua doktrin ketatanegaraan. Perdebatan ketatanengaraan kontemporer
misalnya mengarah pada sejauh mana masing-masing cabang kekuasaan
tersebut dapat melakukan check terhadap cabang cabang kekuasaan lainnya
dalam rangka menciptakan balancing kekuasaan.
Dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2018 Tentang BPIP Pasal 2 Ayat (1)
Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk BPIP yang merupakan revitalisasi
dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Revitalisasi
kelembaagan ini mengandung arti bahwa kedudukan BPIP dalam sistem
pemerintahan tidak ada perubahannya dengan UK-PIP yang sebelumnya ada.
Namun, dalam kewenangan dan bentuk kelembaagannya sesuai penjabaran
peneliti diatas lebih diperkuat untuk dapat menjalankan tugas dalam
memberikan penanaman terhadap nilai-nilai ideologi pancasila.

B. Pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Kelembagaan memainkan peran aktif di dalam proses politik
dikebanyakan negara dan kelembagaan menggunakan banyak aktifitas-
aktifitas, diantaranya usaha-usaha paling penting barupa implementasi
Undang-Undang, persiapan proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi
dalam perekonomian dan masalah-masalah profesional dan membagi
pelayanan kesejahteraan. Indonesia yang masih dalam proses membangun
64

fondasi negara hukum dan demokrasi masih terus mencari formulasi terbaik
pada saat menghadapi segala macam permasalahan ketatanegaraan
kontemporer.
Dalam negara hukum setiap perbuatan haruslah dipertanggung
jawabkan, termasuk didalamnya adalah Pertanggungjawaban Presiden.
Mekanisme pertanggungjawaban Presiden di Indonesia adalah sebagai bentuk
dari mekanisme pengawasan dan perimbangan kekuasaan dalam sistem
23
ketatanegaraan Indonesia. Setiap kelembagaan dibawah eksekutif/
pemerintah akan memiliki pertanggungjawab yang berbeda. Baik itu
kementerian, non-kementerian ataupun lembaga non struktural serta lembaga-
lembaga independen lainnya. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sesuai
dengan kedudukan kelembagaannya dalam sitem tata negara di Indonesia dan
dasar hukum pembentuknya, berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab
langsung kepada Presiden secara administratif.
Akan tetapi, sebagai kelembagaan dengan fungsi dan perannya yang
bersentuhan langsung dengan pola prilaku masyarakat maka
pertanggungjawaban BPIP tidak berhenti kepada Presiden yang memiliki
kekuasaan untuk membentuk dan membubarkan lembaga ini. Namun, BPIP
terhubung secara langsung dengan pola pertanggungjawaban Presdien karena
kedudukan kelembagaan negaranya. Sama halnya dengan lembaga
independen yang dikerahkah sebagai lembaga pembantu lainnya. Pasal 2
Ayat Perpres Nomor 7 Tahun 2018, yaitu (2) BPIP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden bahwa
pertanggungjawaban lembaga BPIP ditujukan kepada Presiden yang
selanjutnya diteruskan kepada masyarakat sebagai kesatuan laporan
pertanggungjawaban pemerintah secara keseluruhan.
Keberadaan BPIP yang belum menginjak satu tahun membuat lembaga
ini masih dalam proses penataan kelambaan secara internal. Pelaksanaan
tugas dan fungsinya tentu belum sampai tahap sempurna. Apalagi ditambah
dengan struktural BPIP yang walaupun sebagai lembaga baru memiliki
pergolakan dengan adanya beberapa posisi yang saat ini kosong. Namun, tak
23
Andy Wiyanto, jurnal wacana hukum dan konstitusi, “Pertanggungjawaban Presiden dan
Mahkamah Konstitusi”, H. 213
65

menjadikan semngat adanya lembaga BPIP menjadi pudar. Tak banyak yang
akan diulas mengenai pertanggungjawaban BPIP secara detail namun tetap
pada proses pertanggungjawabannya yang bersentuhan langsung dengan
kebijakan Presiden.
Presiden adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan sebagai
kepala pemerintahan . Oleh karena itu, tindakan Presiden adalah perbuatan
Presiden untuk mengatasi suatu keadaan dalam menyelenggarakan fungsinya
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden
merupakan kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat
menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam
hal mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan Undang-Undang. Tindakan
politis Presiden atau untuk kebijakannya, pertanggungjawabannya memang
tidak diatur secara eksplisit.24
Terhadap bentuk-bentuk tindakan hukum Presiden yang bersifat
pengaturan, pada level mana Presdien harus mempertanggungjawabkan
tidakannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya dilakukan, seperti
banyak yang dikatakan oleh pakar bahwa Presdien bertanggungjawab
langsung kepada rakyat. Namun seperti yag kita ketahui bersama, bahwa
pertanggungjawaban kepada rakyat ini belum dilembagakan oleh suatu
aturan. Namun hal tersebut terjawab dengan keberadaan MA dan MK,
lembaga dimana rakyat dapat secara langsung menggugat dan meminta
pertanggungjawaban hukum atas produk hukum Presiden dalam menjalankan
pemerintahan yang dianggap melanggar hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sistem pertanggungjawaban Presiden merupakan salah satu sub sistem
dari sistem ketatanegaraan yang ditujukan untuk mengontrol dan
mengendalikan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada Presiden
agar tetap konsiisten menegakkan nilai-nilai konstitusional sesuai dnegan
fungsi-fungsi kekuasaan yang diberikan kepadanya. Lord Acton menegaskan

24
Meri Yarni dan HJ. Netty, Jurnal Pertanggungjawaban, “Pertanggungjawaban Presiden
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Suatu Tinjauan Hukum Perundang-undangan)”, Presiden,
Sistem Ketatanegaraan, h. 72-73.
66

bahwa, “power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt


absolutely”. Oleh karena itu, berbicara tentang pertanggungjawaban terhadap
kekuasaan, secara khusus pertanggungjawaban Presiden merupakan mata
rantai yang tidak terpisahkan dari sistem pengawasan kekuasaan dalam
paham demikrasi dan konstitusi.25
Menurut pendapat peneliti sesungguhnya tanggungjawab dan
petanggungjawaban Presiden secara subtansi tidak sebatas pada lingkup
kekuasaan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD dan peraturan perundangan
lainnya, melainkan bertanggungjawab atas filosofi peruntukan kekuasaan
pemerintah dimana Presiden termaksuk di dalamnya. Dasar falsafah yaitu
Pancasila yang dalam pembukaan UUD 1945 dengan tujuan utama
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dst. Hal tersebut mnegandung
makna, Presiden bertanggungjawab untuk membebaskan setiap warga negara,
tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dana gama, serta membebaskan setiap
daerah dari jerat kemiskinan yang diderita akibat penjajahan,
menyelenggarakan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa
ungtuk mengangkat martabat agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Namun apabila kita berbicara secara umum, pertanggungjawaban itu
tidak hanya dibebankan di pundak Presiden semata, karena penyelenggaraan
pemerintahan bukanlah suatu hal yang mutlak di tangan Presiden sebeb
semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antar DPR
dan Presiden, seperti undang-undang yang pelaksanaannya senantiasa dalam
pengawasan DPR. pengawasan tersebut dapat melingkupi mulai perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi.
Sementara untuk tindakan politis Presiden atau untuk kebijakannya,
pertanggungjawaban memang tidak diatur secara eksplisit. Namun, fungsi
pengawasan yang dimiliki oleh DPR dengan beberapa hak, yaitu hak angket,
hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat dapat mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang dan menilai kebijakan Presiden. Sehingga sewaktu-waktu

25
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi, (Yrama
Widya: Bandung 2007), h. 141.
67

DPR dapat memanggil Presiden untuk memberikan laporannya, yang dapat


diartikan sebagai pertanggungjawaban.

C. Pandangan Islam tentang Pancasila


Islam dan Pancasila sebagai sebuah ideologi di indonesia menarik untuk
dikaji, untuk itu dalam bagian ini akan diulas serta dianalisis antara Pancasila
dalam kaitannya dengan Islam. Ideologi Islam selalu mengacu kepada hukum
tertingginya yaitu Al-qur‟an yang digunakan pula sebagai grundnorm dalam
konsep hukum Islam. Mengkaitkan keduanya dengan melihat titik taut selain
itu juga dikaji apakah terdapat benturan filosofis diantara keduanya.
Perbincangan tentang Pancasila sesungguhnya sudah sangat panjang, sejak
awal gagasan sampai sekarang ini. Pro dan kontra mengiringi dinamika
perjalanan sejarah Indonesia. Namun satu hal yang penting dicatat,
sebagaimana ditegaskan oleh Nurcholish Madjid, Pancasila telah
menunjukkan keefektifannya sebagai penopang bagi bangsa ini. Walaupun
demikian bukan berarti Pancasila sudah sepenuhnya operasional dan mengisi
semangat zaman. Justru aspek penting yang seharusnya dikembangkan adalah
bagaimana Pancasila menjadi berfungsi penuh sebagai sumber untuk memacu
masa depan. Untuk mewujudkannya adalah dengan menjadikan Pancasila
sebagai ideologi Pancasila.26 Pemikiran Nurcholish Majid tentang Pancasila
sebagai ideologi terbuka merupakan hal menarik di tengah upaya pmbakuan
tefsir tunggal Pancasila. Pembakuan ini berupaya agar Pancasila hanya
memiliki makna tunggal. Tidak terbuka ruang interpretasi yang berbeda.
Pemikiran tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka juga merupakan
counter dari upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup.
Karena itulah, Nurcholish Majid telah melakukan apa yang disebut Fachry
Ali sebagai “desakralisasi ideologi”.

26
Nurcholish Majid, Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h.
15-17.
68

Desakralisasi ideologi adalah upaya untuk menjadikan Pancasila bukan


sebagai ideologi yang sakral. Kerangka ini bermakna bahwa Pancasila
sebagai ideologi seharusnya ditempatkan dalam posisi kritis. Secara arif
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sikap kritis yang muncul dari sikap
terbuka kepada sesama manusia dalam kedalaman jiwa yang saling
menghargai merupakan indikasi adanya petunjuk dari Tuhan. Sikap semacam
ini dinilai Nurcholish Madjid sebagai sikap yang sejalan dengan rasa
ketuhanan atau takwa. 27 Cara pandang semacam ini justru membebaskan
Islam dari keterbatasan-keterbatasan sebuah ideologi yang sangat
memperhatikan konteks dan waktu. Pancasila sebagai ideologi terbuka
membuka peluang adanya tafsir yang kontekstual. Tafsir kontekstual
menjadikan Pancasila memiliki peluang besar untuk selalu aktual dan selaras
dengan dinamika kehidupan yang kompleks.
Penulis akan membahas tentang keselarasan antara sila dalam Pancasila
dengan dasar hukum utama dalam Islam, yaitu Al-qur‟an. Baik berupa
implementasi dalam kehidupan maupun cakupan makna yang sesuai dengan
ketentuan antara beragama dengan bernegara. Kesepamahaman ini
merupakan hal yang perlu diapresiasi sebagaimana mestinya karena hakikat
bernegara kita sebagai umat muslim tidak bertentangan dengan ideologi
negara. Sehingga, terciptanya paham yang sejalan dengan bingkai
keseragaman suku ras dan budaya yang berkembang. Keselarasan sila
pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat dalam Al-Qur‟an yang
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan, seperti dalam
Surat Al-Baqarah, ayat 163 yang memiliki arti:

“Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang”

Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan bernegara rakyat


Indonesia adalah ketuhanan. Di dalam Islam, konsep ini biasa disebut hablum

27
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 117.
69

minAllah yang merupakan esensi dari tauhid berupa hubungan manusia


dengan Allah SWT. Secara lebih privat karena kaitannya antara sang pencipta
dengan ciptaan-Nya.
Sila kedua dari Pancasila ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat dalam diri pribadi
manusia tanpa terkecuali. Jika hubungan manusia dengan Tuhannya
ditunjukkan pada sila pertama, maka hubungan sesama manusia ditunjukkan
pada sila kedua. Konsep hablum minan-naas (hubungan sesama manusia)
dalam bentuk saling menghargai sesama manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan yang beradab. Tidak ada perbedaan dalam hak dan kewajiban sebagai
sesama manusia ciptaan Tuhan, artinya tidak boleh ada diskriminasi antar
umat manusia. Berperilaku adil dalam segala hal merupakan prinsip
kemanusian yang terdapat dalam sila kedua Pancasila, prinsip ini terlihat
dalam ayat Al-Qur‟an surat Al-Maa‟idah, ayat 8 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang


selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi dengan adil
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kemudian, pada sila ketiga ajaran-ajaran secara ini secara benar dipegang
oleh kaun muslimin bukan hanya sekedar ajaran yang diamalkan, akan tetapi
sudah merupakan behavior yang berwujud dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan. Hal ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari berupa pengalaman
shalat berjamaah shalat jum‟ah dan terutama pada saat kaum musimin
bersama berwukuf diarofah. Disinilah tampak sekali jaaran Islam tentang
persatuan. Persatuan saling berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan
mulia ini sungguh sejalan dengan firman Allah sebagai berikut:
70

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, (dalam


konteks keindonesiaan cita-cita menegakkan keadilan sosial) secara
bersama-sama dan janganlah kamu bercerai-berai” (Q.S. Ali Imran : 103).

Perinsip musyawarah atau syura dalam Islam tidak berbentuk demokrasi


absolut melainkan demokrasi ketuhanan (teodemokrasi) seperti termuat dalam
Al-Qur‟an dan hadist serta praktik yang telah dilaksnakan oleh nabi
Muhammad serta sahabat-sahabatnya. Demokrasi ketuhanan dalam ajaran
Islam hanya berkisar mengenai urusan umat. Jadi, penerapannya hanya
urusan-urusan kesejaahteraan hidup bermasyarakat, bernegara dan lain-lain
yang bersangkutan dengan umat. Dalam menyelesaikan segala urusan umat
hendaklah bermusyawarah mufakat yang dijiwai oleh prinsip-prinsip yang
termuat dalam Al-Qur‟an dan sunnh. Dalam sila keempat Pancasila tentang
permusyawaratan dan/ perwakilan tentang pengembilan kebijaksanaan suatu
keputusan kelompok tertentu atau kebijakan negara dalam skala lebih besar.
Dalam setiap sila Pancasila ternyata mengandung nilai-nilai keislaman,
sebagaimana sila kelima yang mengisyaratkan adanya keadailan dalam proses
penyelenggaraan negara. Keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat
Indonesia tanpa terkecuali oleh adanya perbedaan agama, ras, dan
sebagainya. Ajaran Islam memuat berbagai konsep mengenai keadilan, baik
adil terhadap diri sendiri maupun orang lain. Sebagai agama yang rahmatan
lil ‘alamiin, misi besar Islam adalah implementasi keadilan dalam segala
sendi kehidupan. Oleh sebab itu, Islam memerintahkan umat muslim untuk
selalu berbuat adil dalam segala hal dan menghindari pertikaian serta
permusuhan agar tatanan sosial masyarakat dapat tercipta dengan baik. Sila
kelima yang menekankan pada keadilan sosial sejatinya merupakan cerminan
dari konsep Islam mengenai keadilan. Mengenai keadilan dalam ajaran Islam
dapat dilihat pada Al-Qur‟an:28

28
M. Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila, Millah
Vol. XIII. No. 1. Agustus, 2013, h. 213.
71

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl : 90).

Islam dan Pancasila bukanlah dua ideologi yang saling berbenturan. Islam
adalah sebuah ajaran yang utuh, yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan
sekaligus kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan
sebagai fondasi dalam ideologi Pancasila. Islam bukanlah Pancasila, akan
tetapi nilai-nilai Islam telah masuk ke dalam Pancasila yang hingga kini
digunakan sebagai ideologi bangsa Indonesia. Perdebatan antara golongan
Islam dan golongan Nasionalis harus menyadari bahwasanya Islam dan
Pancasila mampu menciptakan proses dialogis, sehingga tak perlu lagi
dibenturkan dalam dua ideologi yang saling bertolak belakang sekaligus
berhadap-hadapan. Kemampuan para Bapak Bangsa dalam meletakkan
fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila mulai dengan fondasi tauhid sebagai
sosok guru utama Pancasila yang mewarnai sila-sila dalam Pancasila
mengakhiri benturan tersebut.29 Sehingga, kesejalanan antara ideologi bangsa
dengan ideologi umat beragama Islam dapat mecapai pemenuhan kebutuhan
kepuasan tanpa adanya pertentangan. Hal tersebut membuat harmonisasi
keselarasaan sila dalam Pancasila dengan keyakinan prinsip bernegara dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

29
Fokky Fuad, Islam Dan Ideologi Pancasila Sebuah Dialektika, Lex Jurnalica Volume 9
Nomor 3, Desember 2012, h. 170.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila berada dalam
ranah kekuasaan eksekutif atau eksekutive power karena dasar hukum
pembentukannya. BPIP merupakan kelembagaan penunjang atau state
auxiliary organs atau auxiliary institutions dalam sistem tata negara di
Indonesia. Sebagaimana fungsi dan perannya lembaga ini sama dengan
lembaga negara yang sebelumnya telah ada seperti Ombudsman, dalam
ranah yudikatif. BPIP berdiri dan dibentuk sebagai lembaga pemberi
pengaruh karena kekuasaan yang dimiliki BPIP hanya sebatas usulan
rekomendasi baik kepada Presiden maupun lembaga negara lainnya.
Sehingga, pengaruh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila lewat
pendekatannya yang persuasif terhadap kejadian pada masyarakat dan
rekomendasi yang dikeluarkan menjadikannya lembaga negara yang
mempunyai pengaruh terhadap perbaikan dan terwujudnya pemerintahan
yang baik.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam menjalankan tugas
kelembagaan juga berhubungan dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Kepolisian, dan termasuk Kementerian
serta lembaga negara yang lain. Namun, pusat instruksi dan perijinan
lembaga ini tetap pada Kepala Pemerintahan yaitu, Presiden melalui
Dewan Pengarah BPIP.

2. Petanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
termaksud kedalam pertanggungjawaban Presiden secara khusus dan
langsung kepada masyarakat secara umum serta pengawasan dari DPR
dan lembaga tinggi lainnya dalam menjalankan kelembagaannya. Sesuai

72
73

dengan pola pengawasan baik itu dalam kinerja, keuangan dan lain halnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dikarenakan revitalisasi kelembagaan ini masih terhitung baru dan
masih dalam proses pembentukan struktural internal. Oleh karenanya,
belum banya yang dapat peneliti paparkan. Namun, rekomendasi-
rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPIP merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban lembaga pemberi pengaruh ini. Hanya saja
masyarakat masih harus memperhatikan dan mengikuti perkembagan
keberadaan BPIP dan fungsi apasaja yang dapat dilakukannya sebagai
bentuk pertanggungjawaban keberadaan kelembagaan.

B. Rekomendasi

1. Kepada Pemerintah
Setelah penyusunan penelitian terhadap kelembagaan di Indonesia
terkhusus berkenaan dengan kekuasaan bidang eksekutif dalam
membentuk lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
peneliti ingin menyampaikan bahwa pembentukan suatu lembaga harus
diperhitungkan kembali antara dasar hukum pembentukannya hingga
sejauh mana lembaga itu akan berwenang. BPIP seharusnya memliki
dasar hukum yang lebih kuat dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya pada sistem kenegaraan sehingga tidak ada benturan
tugas atau fungsi yang sama antar lembaga di Indonesia. Dikarenakan
urgensi keberadaan lembaga ini juga yang cukup penting maka
pemerintah harus lebih memperhatikan dan menguatkan kelembagaan
BPIP dalam sistem tata negara.

2. Kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila


Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sesungguhnya dibutuhkan
dalam sistem ketatanegaraannya melihat tugas dan tujuan dari keberadaan
lembaga penunjang yang bersifat independen tersebut. Sehingga,
diharapkan proses penataan internal lembaga dan mekanisme pelaksanaan
tugas dan kewenangan dapat berjalan seperti yang diinginkan serta
74

dampak keberadaan lembaga ini dapat dirasaan oleh masyarakat secara


nyata luas sesuai skala nasional kelembagaan BPIP.

3. Kepada Masyarakat
Semoga dengan adanya lembaga BPIP yang bertujuan positif
dalam menanamkan nilai-nilai ideologi Pancasila, masyarakat dapat
membuka pola pikir yang positif pula dan ikut serta dalam proses
perkembangan kebijakan pemerintah sehingga terwujudnya tujuan negara
dan tertanamnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTRA PUSTAKA

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum Cetakan


Pertama. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004.
Arifin, Firmansyah, et all. Lembaga Negara dan Sengkea Kewenangan Antar
Lembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Freformasi Hukum Nasional
Bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI. 2005.
Arifin, Firmansyah dkk.. Lemabga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN). 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2013.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafka. 2012.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2010.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Asshidiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sekretariat


Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press. 2004.
Azra, Azyumardi dan Komaruddin Hidayat. Pendidikan Kewargaan (Civic
Education), demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Barrington, Lowell. Comparative Politics, Structures and Choices. Wadsworth.
2013.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara. 1990.

Capra, Fritjof. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan


Kebudayaan. Yogyakarta: Bentang. 2000.
Dwi, Reni Purnomowati. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005.

75
76

Farida, Marifa Indrati S. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, fungsi dan Materi


Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Firdaus. Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi.
Bandung: Yrama Widya. 2007.
Gaffar, Afan. Politik Indinesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2006.
Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5;
melengkapi kajian komprehensif komisi konstitusi & DPD-RI. Jakarta: DPD
RI. 2009.
Hasibuan, Otto. Hak Cipta di Indonesia Cetakan Pertama. Bandung: P.T. Alumni.
2008.
Hestu, B. Cipto Handoyo. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2009.
Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama. 2011.
Inun, H. Kencana Syarif. Pengantar Ilmu Pemerintahan (edisi revisi). Bandung:
PT Rafika Aditama. 2004.
Kansil, Cst. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.
Kaelan. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma 2013.
Kelsen, Hans. General Theory of law and State (translate by Andres Wedberg).
Cambridge: Harvard University Press. 1945.

Krisnayuda, Backy. Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi


Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Prenamedia
Group. 2016.
Laica, Mohammad Marzuki. Berjalan-Jalan di Ranah Hukum. Jakarta: Sekretariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
Majid, Nurcholish. Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
2008.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
2005.
77

Manan, Bagir dan Susi Dwi Harjanti. Memahami Konstitusi: Makna dan
Aktualisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2014.

Salam, Burhanuddin. Filsafat Pancasilaisme. Jaarta: Rineka Cipta. 1996.

Siahaan, Pataniari. Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca


Amandemen UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press. 2012.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.


2005.
Suhardi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta. 2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Badung: Alfabeta.
2005.
Suny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta: Askara Batu. 1977.

Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta:


Kencana Prenada Media Group. 2011.
Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945.
Bandung: Fokus Media. 2007.

Jurnal:

Angelia, Nina. Pemahaman Penanaman Empat Pilar Kebangsaan terhadap Siswa


SMA Negeri 4 Medan, JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik
UMA. 5 (1). 2017.

Basrah, Ahmad. Kajian Teoritis terhadap Auxiliary State’s Organ dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. MMH, Jilid 43 No. 1. Januari. 2014.

Dwi, Bayu Anggono. Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Volume 11, Nomor
3. September 2014.
Fuad, Fokky. Islam Dan Ideologi Pancasila Sebuah Dialektika. Lex Jurnalica
Volume 9 Nomor 3. Desember. 2012.
Hartono, Yudi. Model Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter Bangsa di Indonesia
dari Masa ke Masa. Jurnal Agastya Vol. 7 No. 1 Janiari, 2017.
Maftuh, Bunyamin. Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme melalui
Pendidikan Kewarganegaraa. Educationist Vol. 2 No. 2 Juli 2008.
78

Mariana, Montisa. Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem
Politik Indonesia, LOGIKA, Vol. XXI No. 1. Desember, 2017.
Muladi. Penatan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi
Birokrasi serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara.
Sekretariat Negara: November, 2010.
Nugroho, Iwan. Jurnal Konstitusi: Nilai-Nilai Pancasila sebagai Falsafah
Pandangan Hidup Bangsa Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia dan Pembangunan Lingkingan Hidup Vol. III, No. 2. November,
2010.
Nurtjahyo, Hendra. Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State
Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara. Tahun ke-
35, No.3 Juli-September 2005.
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan. Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah
(Arsitektur Kelembagaan Tahun 2014-2019). Jakarta: Deputi Bidang
Kelembagaan & Suber Daya Aparatur Negara, LAN. 2013.
Riyanto. Pancasila Dasar Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke-37 No.3. Juli-September, 2007.
Saifullah, M. Rohman. Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila.
Millah Vol. XIII. No. 1. Agustus, 2013.
Sunarto. Prinsip Check and Balances dalm sistem ketatanegaraan di Indonesia,
Masalah - Masalah Hukum. Jilid 45 No. 2. Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang. April, 2016.
Surakhmad, Winarno. Pendiidkan Pancasila (Pendekatan yang
mengIndonesiakan). Pelangi Ilmu Vol. 2, No. 1, Tahun 2008.
Sutrisno. Peran Ideologi Pancasila dalam Perkembngan Konsstitusi dan Sistem
Hukum di Indonesia, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol. 1,
No. 1, Juli 2016.
Wahanu, Hendra Prabandani. Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden
(Constitutional Limits of The Presidential Executive Power), Jurnal legislasi
indonesia. vol. 12 no. 3. Oktober, 2015.

Wiyanto, Andy. Pertanggungjawaban Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Jurnal


wacana hukum dan konstitusi.

Yarni, Meri dan HJ. Netty. Pertanggungjawaban Presiden dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia. Suatu Tinjauan Hukum Perundang-undangan.
Pertanggungjawaban, Presiden, Sistem Ketatanegaraan.
79

Zoelva, Hamdan. Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di


Indonesia. Sekretariat Negara RI: November, 2010.

Peraturan perundang-undangan:

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi


Pancasila.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Pembinaan Ideologi
Pancasila.
Undang-Undang Dasar NRI 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Lain-lainnya:

Arief, Muhammad Virgy. Upaya Pengembalian Flsafah Hidup Bagsa oleh UKP-
PIP. Majalah Media Mahasiswa Indonesia, Juni 2017. h. 6.
http://jurnalsumatra.com/ukp-pip-jadi-badan-pembinaan-ideologi-pancasila/

http://www.bpip.go.id/informasi/gubernur-lemnasham-lemah-karena-terlalu-
bergantug-pada-hukum-tertulis/
http://setkab.go.id/pancasila-sebuah-kesepakatan-sebagai-bangsa/

https://www.idntimes.com/news/indonesia/agustin/setelah-hina-lambang-negara-
zaskia-gotik-jadi-duta-pancasila-apa-alasannya/full
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160317123858-12-118032/zaskia-gotik-
dilaporkan-ke-polisi-dituding-hina-pancasila
http://nasional.kompas.com/read/2017/10/26/20234201/try-sutrisno-kalau-anti-
pancasila-jangan-di-indonesia
http://setkab.go.id/presiden-jokowi-pemerintah-pasti-tegas-terhadap-organisasi-
dan-gerakan-anti-pancasila/
https://regional.kompas.com/read/2018/01/26/18004191/gadis-yang-lecehkan-
pancasila-dibina-polres-malang-ukp-pip-beri-apresiasi
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/05/ojaq89354-
ryamizard-australia-minta-maaf-atas-kasus-pelecehan-pancasila
https://www.academia.edu/28382748
80

https://www.academia.edu/5394546/Makalah_pancasila_revisi

Gde, I Panjta Astawa. Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Perwakilan


menurut UUD 1945. Seminar Penguatan Lembaga Demokrasi DPD-RI
Provinsi Jawa Barat oleh Univ. Pasundan. 19 November, 2005.

Website resmi Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id.

Anda mungkin juga menyukai