Nur Wasiah Adiwiyono FSH 1
Nur Wasiah Adiwiyono FSH 1
SKRIPSI
Oleh:
NUR WASIAH ADIWIYONO
1114048000042
K O N S E N T E R A S I K E L E M B A G A AN N E G A R A
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
KEDUDUKAN KELEMBAGAAN BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
INDONESIA
(Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 dan
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018)
Skripsi
Oleh:
KONSENTERASI K E L E M B A G A AN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
ii
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di
Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif hidayatullah Jakarta.
iii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahiim,
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya,
penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak
yang membantu kelancaran penuisan skripsi ini, baik berupa dorongan moril
maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit
rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyapaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas syariah dan Hukum Asep Saefuddin Jahar, serta para
pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Ilmu Hukum Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan
Sekertaris Jurusan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
3. Pembimbing I dan II: Abdul Qadir, S.H., M.Hum. dan Ahmad Bahtiar,
M.Hum. yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu selalu dalam rahmat dan
lindungan Allah SWT. Sehingga, ilmu yang telah diajarkan dapat beranfaat
dikemudian hari.
5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan
kepada kedua orang tua penuis yang tercinta, ayahanda Alm. Suparyono dan
ibunda Wagiyem serta kakak dan adik penulis, Sandra Prihatin, Larasanti,
Fuad Hamdani Adiwiyono dengan segala pengorbanannya tak akan pernah
penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. Do’a restu, nasihat dan petunjuk dari
mereka kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi
kelanjutan studi penulis hingga saat ini.
v
6. Kedua keponakan penulis Bilal alkahfi dan Azzam Abdillah Pratama, yang
menjadi penghibur dan penyemangat penulis dikala penat dan padat jadwal
dalam menyelesaikan studi.
7. Teman-teman Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Jurusan Ilmu Hukum dan teman terdekat penulis, Mae, Rahmi,
Syifa, Farah, Aulia, Amri, Furba, Ksatria, Syanel, Jambi, dan Fikroy yang
ikut mengukir perjalanan panjang penulis selama studi dan membuat pribadi
penulis menjadi lebih baik.
8. Sahabat-sahabat penulis sejak SMA Nadiyah, Yngwie, Laika, dan Ayu yang
menemani penulis selama bertahun-tahun untuk kita saling belajar hal-hal
baru dan berbagi suka dan duka.
9. Kanda dan yunda Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas dan
Hukum (Komfaksy) Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan
pembelajaran menarik selama penulis studi hingga saat ini.
10. Semua yang penulis sayang yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu
namanya, yang mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini semoga amal
baik dari semua pihak mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT.
Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Amiin ya Rabbal a’lamiin.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
vii
BAB III : LEMBAGA NON STRUKTURAL BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 72
B. Rekomendasi ..................................................................... 73
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sekertariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), h. 259.
1
2
segala sesuatu dalam negara tersebut”, Abu Daud Busoh.2 Dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan bahwa negara Indonesia dianggap negara kesatuan
menurut teori dengan praktiknya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
pemerintahan pusat di Indonesia. Pemerintah pusat tidak boleh sewenang-
wenang atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk menentukan kebijakan
yang dikeluarkan.
Indonesia juga katanya menganut Trias Politika yang diciptakan oleh
Montesquieu sebagai bentuk pencegahannya. Montesquieu membagi
kekuasaan negara enjadi tiga cabang, yaitu: a) Kekuasaan Legislatif sebagai
pembuat undang undang; b) Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan c)
Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan untuk menghakimi.3 Pembagian cabang
kekuasaan eksekutif juga dibantu dengan adanya kementerian yang dibentuk
oleh kepala pemerintahan yaitu, Presiden. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara, menyebutkan berbagai Kementerian
dibawah kekuasaan eksekutif untuk membantu Pemerintah. Namun
terkadang dalam menjalankan tugas dan fungsinya lembaga-lembaga tersebut
baik legislatif, eksekutif dan yudikatif akan menemukan kendala yang
menghambat jalannya tugas dan fungsi tersebut. Sehingga pada zaman
modern ini, dan sudah bermunculan lembaga-lembaga baru untuk dijadikan
solusi masalah tersebut.
Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah lembaga independen atau
lembaga negara baru di luar UUD 1945 NRI. Di Indonesia sendiri sudah
dibentuk beberapa lembaga independen untuk menjawab kerisauan
masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga negara yang ada tetapi
dianggap belum mampu untuk menjalankan tugas dan fungsi kekuasaan
sebagaimana seharusnya. Pada Agustus Tahun 2017 dikeluarkanlah
2
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 64-65.
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, 2006), h. 13.
3
4
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negar Pasca Reformasi,
(jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. Vi.
4
5
Firmansyah Arifin, et all, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, (Jakarta: Konsorsium Freformasi Hukum Nasional Bekerjasama dengan Mahkamah
Konstitusi RI, 2005), h. 53.
5
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah tentang kelembagaan pemerintah yang
ada di Indonesia, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada
6
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan peneliti,
untuk itu pokok rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan ilmiah adalah
1. Bagaimana kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2018 dan Undang
Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara?
2. Bagaimana pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dalam sistem pemerintahan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui kedudukan Badan Pembinan Ideologi Pancasila dalam
sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang terkait.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoris
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pandangan baru terhadap lembaga non struktural di Indonesia. Memperkaya
pemikiran ilmu pengethuan baik dibidang hukum umum maupun hukum
kelembagaan negara khususnya.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:
a. Bagi Akademis
Sebagai referensi lanjutan penelitian yang berkaitan dengan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila dan menambah pengalaman dan
pengetahuan yang dapat diterapkan dalam bentuk nyata sebagai
pertisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
7
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Univrsitas Indonesia, 2008),
h. 51.
8
2. Bahan Hukum
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer,
sekunder dan tersier.
a. Data Primer
Pada umumnya data primer mengandung data aktual yang didapat
dari penelitian ini adalah Undnag Undnag Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
b. Data Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer.8 Data sekunder antara lain mencakup dokumen
resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,
buku harian, dan seterusnya.9 Data sekunder dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara yang peneliti lakukan bersama Sekretaris
Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yaitu DR.Drs. Kajono,
S.H., M.Hum.
c. Data Tersier
Bahan hukum tersier merupakan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, esiklopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal
politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.
7
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Badung: Alfabeta, 2005),
h.46.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Univrsitas Indonesia, 2005),
h. 52.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum ... h. 12.
9
4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penelitian skripsi pada “Buku
Pedoman Penelitian Skripsi UIN Jakarta Tahun 2017”.
1
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), h. 60.
2
Suhardi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Indonesia, 2008), h. 517.
3
Sutrisno, Peran Ideologi Pancasila dalam Perkembngan Konsstitusi dan Sistem Hukum di
Indonesia, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 1, Juli 2016 ISSN 2527-
7057, h. 42.
11
12
4
Backy Krisnayuda, Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. v.
5
Backy Krisnayuda, Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya
dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia ... h. 12.
6
Riyanto, Pancasila Dasar Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-
37 No.3, (Juli-September, 2007), h. 468.
13
7
Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, (Jakarta: Rineka Cipta), 1996, h. 25.
8
Iwan Nugroho, Jurnal Konstitusi: Nilai-Nilai Pancasila sebagai Falsafah Pandangan
Hidup Bangsa Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Lingkingan
Hidup Vol. III, No. 2, (November, 2010), h. 111-112.
9
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 56.
14
Leon Duguit adalah seorang sarjana Perancis yang terkenal luas karya-
karyanya di bidang sosiologi hukum. Dalam bukunya Traite de Droit
Constitutionnel, Duguit memandang negara dari fungsi sosialnya (der leer
van de sociale funtie). Pemikiran yang dikembangkannya dapat dikatakan
sangat dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang diprakasai oleh Auguste Comte
sehingga perspektif yang dibangunnya dalam memahami hukum tata negara
sangat sosiologis sifatnya (rechts-sociologisch beschowing). Baginya, hukum
merupakan penjelmaan de facto dari ikatan solidaritas sosial yang nyata.
Seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bagi Leon Duguit dan
pengikutnya, “the true, i.e the ‘objective’ law (drot objectif) is implied by the
social solidarity”. Pengertian: (i) onderling hulpbetoon atau solidarismus
yang merupakan gejala kegotong royongan dalam bekerja untuk kepentingan
10
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi ... h.
56.
11
Bagir Manan dan Susi Dwi Harjanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, ... h.
57-58.
15
umum tanpa mengharapkan imbal jasa; dan (ii) wederkerige hulpbetoon atau
mustualismus yang merupakan gejala kegotong royongan dalam bekerja
saling tolong-menolong antar orang per orang dengan harapan di masa yang
akan datang akan mendapatkan balasan yang setimpal. Leon Duguit dikenal
pula dengan pendapatnya bahwa yang sesungguhnya berdaulat itu bukanlah
hukum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang
terjelma dalam sociale solidariteiteit (solidarite sociale).12
Konstitusi memiliki arti penting dalam kehidupan bernegara. K.C.
Wheare menjelaskan istilah konstitusi, secara garis besarnya dapat dibedakan
kedalam dua pengertian, yakni: Pertama, istilah konstitusi dipergunakan
untuk menunjukan kepada seluruh aturan mengenai sistem ketatanegaraan.
Kedua, istilah konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen yang memuat
aturan mengenai ketatanegaraan.13 E.C.S Wade mengatakan bahwa Undang
Undang Dasar adalah naskah yang menunjukan rangka dan tugas pokok dari
badan-badan pemerintahan suatu negara dan menyatakan pokok-pokok cara
kerja badan-badan tersebut.14
Sementara itu konstitusi terkadang dapat disebut juga sebagai State
Fundamental Norms, yaitu popok akidah yang mendasar dari suatu negara.
Suatu ketentuan dapat disebut sebagai State Fundamental Norms apabila
memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, dibuat oleh para pembentuk atau
pendiri negara. Kedua, isinya memuat asas kefilsafatan, asas politik negara,
tujuan yang hendak dicapai negara, dan pernyataan masih akan dibentuk
sebuah konstitusi. Ketiga, posisinya terpisah dari batang tubuh, walaupun
secara utuh dapat menjadi pasangan.15
12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 97.
13
Montisa Mariana, Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem Politik
Indonesia, LOGIKA, Vol. XXI No. 1 Desember, 2017, h. 23.
14
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5; melengkapi
kajian komprehensif komisi konstitusi & DPD-RI, (Jakarta: DPD RI, 2009), h. 2.
15
Montisa Mariana, Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem Politik
Indonesia ... h. 23-24.
16
B. Lembaga-lembaga di Indonesia
Kelembagaan sebagai suatu sistem organisasi formal dimunculkan
pertama sekali oleh Max Weber pada tahun 1947, menurutnya kelembagaan
merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Max Weber
mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu bentuk organisasi yang ditandai
oleh hierarki, spesialisasi peranan dan tingkat kompetensi yang tinggi
ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran
tersebut. Ciri organisasi yang mengikuti sistem kelembagaan ini adalah
pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hierarkis,
peraturan-peraturan, karir yang panjang dan efisiensi. Cita-cita utama dari
sistem kelembagaan adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin.
Menurut Weber organisasi kelembagaan dapat digunakan sebagai pendekatan
efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada
sasarannya, karena organisasi kelembagaan punya struktur yang jelas tentang
kekuasaan dan orang yang punya kekuasaan mempunyai pengaruh sehingga
dapat memberi perintah untuk men-destribusikan tugas kepada orang lain.16
Kelembagaan berasal dari kata bureaucracy, diartikan sebagai suatu
organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana
lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada di tingkat atas, biasanya
16
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
17
Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and
State menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata hukum adalah suatu organ (whoever fulfills a function
determined by the legal order is an organ). 19 Istilah organ negara atau
17
H Inun Kencana Syarif, Pengantar Ilmu Pemerintahan (edisi revisi), (Bandung: PT
Rafika Aditama, 2004), h. 17.
18
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2009), h. 9.
19
Hans Kelsen, General Theory of law and State (translate by Andres Wedberg),
(Cambridge: Harvard University Press, 1945), h. 192.
18
lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta,
lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi
Nonpemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government
Organization atau Non-Governmental Organization (NGO’s). Lembaga
negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun
yang bersifat campuran. 20 Menurut Hanafie, Lembaga adalah suatu badan,
organisasi, kaidah, dan norma-norma baik formal maupun informal sebagai
pedoman untuk mengatur perilaku segenap anggota masyarakat baik dalam
kegiatan sehari-sehari atau dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut
staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara,
badan negara,atau disebut dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “lembaga” diartikan sebagai: (i) asal mula atau bakal (yang
akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv)
badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau
melakukansuatu usaha;dan (v) pola perilaku yang mapanyang terdiri atas
interaksi sosialyang berstruktur.21
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh Undang Undang Dasar
merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarka Undang-
Undang meruakan organ Undang-Undang, sementara yang hanya dibentuk
karena keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat
perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula
jika lembaga yang dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Kedudukan lembaga
20
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 27.
21
Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), hlm. 60-61.
19
1. Lembaga Eksekutif
Cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang
memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi.
Dalam hubungan ini, di dunia dikenal adanya tiga sistem pemerintahan
negara, yaitu: (i) sistem pemerintahan presidentil; (ii) sistem
pemerintahan parlementer atau sistem kabinet; dan (iii) sistem
campuran.24 Dalam konstitusi kita pemilihihan eksekutif atau yang sering
kita sebut Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung pada
sistem Pemilihan Umum (Pemilu). Kemudian, untuk membantu ranah
eksekutif hadirlah Kementerian Negara untuk membantu Presiden dan
Wakil Presiden menjalankan amanatnya dan mengatur arah kebijakan
Negara.
Secara horizontal, yang dapat dimasukan kedalam katagori lembaga
pemerintahan ditingkat pusat setidakya adalah kantor lembaga
kepresidenan, kantor departemen pemerintahan, kantor kementerian
tanpa portofolio, dan kantor badan-badan pemerintahan
22
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. 37.
23
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education),
demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyaraka ... h. 73.
24
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 323.
20
25
nondepartemen. Adapun secara vertikal, organisasi pemerintahan
tersusun mulai dari pusat sampai ke tingkat desa atau kelurahan.
Komisi Konstitusi berpandangan Presiden memang membutuhkan
suatu badan yang dapat memberikan nasehat dan pertimbangan,
khususnya yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah yang bersih
dan berwibawa untuk mengatasi berbagai permasalahan negara yang
sedang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini dan yang akan datang.26
Di Indonesia sebagai pelaksana eksekutif tentunya Presiden dan Wakil
Presdien yang sedang menjabat sesuai masa jabatannya. Sehingga
kekuasaan eksekutif dipegang dan dijalankan oleh Presiden dan Wakil
Presiden secara bersama.
Kelembagaan eksekutif membentuk beberapa badan lembaga
dibawahnya untuk membantu kinerja dan mewujudkan tujuan negara.
Lembaga-lembaga tersebut adalah:
a. Kementerian
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, dalam
menjalankan tugasnya di bantu oleh menteri-menteri negara yang
memebidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan. Setiap menteri
memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu
dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana
dimanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 bahwa sesuai
ketentuan Pasal 17 ayat (4).
Keberadaan Kementerian Negara Republik Indonesia diatur secara
tegas dalam Pasal 17 UUD NRI 1945, yang menyatakan:
1. Peresiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
25
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafka, 2012), h. 167.
26
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan ke-5; melengkapi
kajian komprehensif komisi konstitusi & DPD-RI ... h. 122.
21
27
Pasal 5 Undnag Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
22
28
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011), h. 153.
29
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen
... h. 37.
30
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 338.
24
31
Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di
Indonesia, (Sekretariat Negara RI, November, 2010), h. 68.
32
Muladi, Penatan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi Birokrasi
serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara, (Sekretariat Negara: November
2010), h. 24.
33
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah (Arsitektur
Kelembagaan Tahun 2014-2019), , (Jakarta: Deputi Bidang Kelembagaan & Suber Daya Aparatur
Negara, LAN, 2013) h. 79.
25
34
https://kumpulanmakalahdotblog.wordpress.com/2017/07/29/makalah-lembaga-
pemerintah-non-kementerian/
26
2. Lembaga Legislatif
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-
tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-
tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu,
kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga
legislatif.35
35
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 299.
27
36
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi ... h. 33.
37
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 137.
28
3. Lembaga Yudikatif
Kekuasaan kehakiman merupkan pilar ketiga dalam sistem
kekuasaan negara modern. Dalam bahasa indonesia, fungsi kekuasaan
yang ketiga ini sering kali disebut cabang kekuasaan “yudikatif”, dari
istilah Belanda judicatief.
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau
judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri. Oleh
karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The principle of separation of
powers is particulary important for the judiciary”. Bahkan, boleh jadi,
karna Montesque sendiri adalah seorang hakim (Perancis), dalam
bukunya, „L’Esprit des Lois’, ia mengimpikan pentingnya pemisahan
kekuasaan yang ekstrem antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif
dan terutama kekuasaan yudisial.38
Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan oleh Djokosoetono, ada
empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam
sejarah, yaitu: (1) Rechtsprak naar ongeschreven recht (hukum adat),
yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak
tertulis, seperti pengadilan adat, (2) Rechtspraak naar precedenten, yaitu
pengadilan yang didasarkan prinsip presedent atau putusan-putusan
hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikan di Inggris, (3) Rechtspaak
naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab
hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (islam) yang
menggunakan kompedium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-
jama’ah atau kitab-kitab ulama syi‟ah, (4) Rechtspraak naar wetboeken,
yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun
kitab undang-undang.
Salah satu contoh dari lembaga yudikatif di Indonesia adalah
Mahkamah Konstitusi. Pada mulaya sejarah berdirinya lembaga
Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah
38
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ... h. 310.
29
39
Profil Mahkamah Konstitusi dalam website resmi Mahkamah Konstitusi:
www.mahkamahkonstitusi.go.id.
40
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 264.
30
asasi manusia, dibentuk kelembagaan negara baru baik melalui UUD NRI
ataupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Setiap negara dijalankan oleh organ negara yang diatur dalam
konstitusi. Pengaturan kewenangan organ negara dalam konstitusi
dimaksudkan agar tercipta keseimbangan antara organ negara yang satu
dengan lainnya (check and balances). A. Hamid Attamimi menyebutkan
bahwa konstitusi adalah pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus
41
tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Selain itu,
adanya mekanisme check and baances mengakibatkan terjadinya
perimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, hal tersebut
berarti tidak ada lagi lembaga negara yang memiliki kekuasaan lebih
(superior) dibandingakan lembaga yang lainnya.
Lembaga-lembaga negara juga harus membentuk suatu kesatuan
proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka
penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri
Soemantri adalah “actual governmental processes”. Jadi, meskipun dalam
prakteknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa
berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan
memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan
untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis
mewujudkan negara dalam jangka panjang. 42
Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam
membangun sistem ketatanegaraan. Distribusi kekuasaan yang baim
diharapkan terwujud keseimbangan kekuasaan antara satu lembaga
dengan lembaga lainnyadan terdapatnya saling kontrol untuk menghindari
terjadinya penyimpangan. Pengalaman sejarah pemerintahan
41
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education),
demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 72.
42
Arifin, Firmansyah dkk, Lemabga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara cet. 1, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), h. 32.
31
menunjukkan bahwa ketika kekuasaan terpusat pada satu tangan atau satu
lembaga tertentu, yang muncul adalah penyimpangan dan berujung pada
gerakan rakyat menuntut terjadinya perubahan. 43
Prinsip check and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang
menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sama-
sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. kekuasaan negara
dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga
penyalagunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga
negara dapat dicegah dan ditanggulangi. 44 Mekanisme check and balances
dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar bahkan sangat
diperlukan. Hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh
seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk menghindari
terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah institusi, karena
dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain
akan saling mengontrol atau mengawasi bahkan bisa saling mengisi. 45
43
Sunarto, Masalah - Masalah Hukum: Prinsip Check and Balances dalm sistem
ketatanegaraan di Indonesia Jilid 45 No. 2, (April, 2016), h. 157.
44
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 61.
45
Afan Gaffar, Politik Indinesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 89.
46
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2010).
32
33
34
2
Yudi Hartono, Model Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter Bangsa di Indonesia dari
Masa ke Masa, Jurnal Agastya Vol. 7 No. 1 Janiari, 2017, h. 41.
3
Winarno Surakhmad, Pendiidkan Pancasila (Pendekatan yang mengIndonesiakan),
Pelangi Ilmu Vol. 2, No. 1 Tahun 2008, h. 2.
35
4
Bayu Dwi Anggono, Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, (September 2014), h. 507.
36
jawab kepada ketua dewan pengarah. Dalam hal tertentu ketua dewan
pengarah dapat membentuk satuan tugas khusus untuk membantu
mengefektifkan pelaksanaan tugas. Ketua dewan pengarah juga dapat
membentuk dewan pakar untuk memberikan dukungan teknis dan
administratif kepada dewan pengarah, dibentuk sekretariat dewan
pengarah yang dipimpin oleh sekertaris yang bertanggungjawab kepada
ketua dewan pengarah dan secara administratif bertanggungjawab kepda
sekertaris umum.5
Dalam Pasal 3 Perpres Nomor 54 Tahun 2017 fungsi UKP-PIP
adalah membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum
pembinaan ideologi Pancasila dan malakukan koordinasi, sinkronisasi,
dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan
berkelanjutan. Kemudian untuk melaksanakan tugas sesuai Pasal 3
Perpres Nomor 54 Tahun 2017, UKP-PIP memiliki fungsi: (a)
perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pencasila; (b)
penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan road map
pembinaan ideologi Pancasila; (c) koordinasi, sinkronisasi dan
pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; (d) pelaksaan
advokasi pembinaan ideologi Pancasila; (e) pemantauan, evaluasi, dan
pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan
pembinaan ideologi Pancasila; dan (f) pelaksanaan kerja sama dan
hubungan antar lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi
Pancasila.
Terlepas dari pro dan kontra pembentukan UKP-PIP ini, sebagai
warga negara, patut kita kawal bagaimana proses dan kinerja dari UKP-
PIP ini yang memiliki tujuan untuk mempertahankan keutuhan bangsa
melalui proses penegasan akan nilai pancasila. Sadar atau tidak sadar
bangsa ini lupa akan sejarahnya, bahwa bangsa ini di bangun atas
keberagaman etnik, budaya, tradisi, dan agama. Pancasila yang
5
http://jurnalsumatra.com/ukp-pip-jadi-badan-pembinaan-ideologi-pancasila/
38
6
Muhammad Arief Virgy, Upaya Pengembalian Flsafah Hidup Bagsa oleh UKP-PIP,
(Majalah Media Mahasiswa Indonesia, Juni 2017), h. 6.
39
1
http://setkab.go.id/pancasila-sebuah-kesepakatan-sebagai-bangsa/
45
46
2
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160317123858-12-118032/zaskia-gotik-
dilaporkan-ke-polisi-dituding-hina-pancasila
3
https://www.idntimes.com/news/indonesia/agustin/setelah-hina-lambang-negara-zaskia-
gotik-jadi-duta-pancasila-apa-alasannya/full
47
4
http://nasional.kompas.com/read/2017/10/26/20234201/try-sutrisno-kalau-anti-pancasila-
jangan-di-indonesia
5
http://setkab.go.id/presiden-jokowi-pemerintah-pasti-tegas-terhadap-organisasi-dan-
gerakan-anti-pancasila/
6
https://regional.kompas.com/read/2018/01/26/18004191/gadis-yang-lecehkan-pancasila-
dibina-polres-malang-ukp-pip-beri-apresiasi
48
7
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/05/ojaq89354-ryamizard-
australia-minta-maaf-atas-kasus-pelecehan-pancasila
49
8
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Askara Batu, 1977), h. 44.
9
Jimly asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: Bhuana Populer Ilmu, 2007) h. 333.
50
bahwa makna Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 masih sama seperti sebelum
perubahan, yakni Presiden tetap memiliki jabatan sebagai Kepala
Pemerintahan Negara Republik Indonesia.10
Kemudian, sebagai negara yang menganut sistem presidensial
pendekatan yang menyatakan bahwa hak prerogatif merupakan constitutional
power Presiden untuk mengisi ruang yang tidak diatur secara detail dalam
konstitusi, nampaknya cocok untuk diterapkan di Indonesia karena pendapat
ini didukung dari pengalaman sejarah (historical practices) maupun teori
konstitusi. Meski demikian, pendapat John Locke yang menyampaikan bahwa
constitutional power ini perlu dibatasi penggunaannya pada keadaan yang
bersifat luar biasa sampai dengan lembaga legislatif dapat mengatur kondisi
tersebut patut untuk menjadi perhatian. Hal ini penting dikarenakan
penggunaan hak prerogatif yang tidak terbatas, secara nyata akan
bertentangan dengan prinsip kepastian yang menjadi fondasi penting dalam
negara hukum. Indonesia dapat dikatakan masih belum memiliki bangunan
konseptual yang jelas mengenai hak prerogatif Presiden sebagai bagaian dari
kekuasaan eksekutif Presiden. Hal ini juga nampaknya luput dari bahasan
para perumus perubahan UUD 1945.
Mengenai hak prerogatif Presiden terdapat perbedaan pandangan. Saldi
Isra mengutip pendapat Bagir Manan menyatakan bahwa hak prerogatif
merupakan hak Presiden yang diberikan langsung oleh konstitusi. Sebagai
contoh yang paling eksplisit adalah hak untuk mengangkat menteri sebagai
pembantu Presiden sebagaimana diatur dengan tegas dalam Pasal 17 UUD
1945. Namun, berbeda pada saat Presiden akan mengubah lembaga atau
institusi kementerian negara, hal ini harus dilaksanakan dengan persetujuan
DPR. Sehingga yang demikian bukanlah merupakan bagian hak prerogatif
Presiden.11
10
Marifa Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, fungsi dan Materi Muatan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 130.
11
Hendra Wahanu Prabandani, Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden
(Constitutional Limits of The Presidential Executive Power), jurnal legislasi indonesia vol. 12 no.
3, Oktober 2015. h. 270.
51
12
Nina Angelia, Pemahaman Penanaman Empat Pilar Kebangsaan terhadap Siswa SMA
Negeri 4 Medan, JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA, 5 (1) (2017), h. 18.
52
13
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. 350.
14
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
h. x.
53
15
Lowell Barrington, Comparative Politics, Structures and Choices, (Wadsworth: 2013), h.
194.
54
16
https://www.academia.edu/28382748
58
17
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,
(Yogyakarta: Bentang, 2000), h. 371.
18
I Gde Panjta Astawa, Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Perwakilan menurut
UUD 1945, Seminar Penguatan Lembaga Demokrasi DPD-RI Provinsi Jawa Barat oleh Univ.
Pasundan, 19 November 2005, Bandung, h. 1.
59
19
Ahmad Basrah, Kajian Teoritis terhadap Auxiliary State’s Organ dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, MMH, Jilid 43 No. 1 Januari 2014. h. 3-4.
20
Drs. Karjono, SH. M.Hum, Sekertaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam
wawancara langsung pada tanggal 28 September 2018.
60
21
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
106.
22
Jimly asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi ...
106-112.
63
fondasi negara hukum dan demokrasi masih terus mencari formulasi terbaik
pada saat menghadapi segala macam permasalahan ketatanegaraan
kontemporer.
Dalam negara hukum setiap perbuatan haruslah dipertanggung
jawabkan, termasuk didalamnya adalah Pertanggungjawaban Presiden.
Mekanisme pertanggungjawaban Presiden di Indonesia adalah sebagai bentuk
dari mekanisme pengawasan dan perimbangan kekuasaan dalam sistem
23
ketatanegaraan Indonesia. Setiap kelembagaan dibawah eksekutif/
pemerintah akan memiliki pertanggungjawab yang berbeda. Baik itu
kementerian, non-kementerian ataupun lembaga non struktural serta lembaga-
lembaga independen lainnya. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sesuai
dengan kedudukan kelembagaannya dalam sitem tata negara di Indonesia dan
dasar hukum pembentuknya, berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab
langsung kepada Presiden secara administratif.
Akan tetapi, sebagai kelembagaan dengan fungsi dan perannya yang
bersentuhan langsung dengan pola prilaku masyarakat maka
pertanggungjawaban BPIP tidak berhenti kepada Presiden yang memiliki
kekuasaan untuk membentuk dan membubarkan lembaga ini. Namun, BPIP
terhubung secara langsung dengan pola pertanggungjawaban Presdien karena
kedudukan kelembagaan negaranya. Sama halnya dengan lembaga
independen yang dikerahkah sebagai lembaga pembantu lainnya. Pasal 2
Ayat Perpres Nomor 7 Tahun 2018, yaitu (2) BPIP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden bahwa
pertanggungjawaban lembaga BPIP ditujukan kepada Presiden yang
selanjutnya diteruskan kepada masyarakat sebagai kesatuan laporan
pertanggungjawaban pemerintah secara keseluruhan.
Keberadaan BPIP yang belum menginjak satu tahun membuat lembaga
ini masih dalam proses penataan kelambaan secara internal. Pelaksanaan
tugas dan fungsinya tentu belum sampai tahap sempurna. Apalagi ditambah
dengan struktural BPIP yang walaupun sebagai lembaga baru memiliki
pergolakan dengan adanya beberapa posisi yang saat ini kosong. Namun, tak
23
Andy Wiyanto, jurnal wacana hukum dan konstitusi, “Pertanggungjawaban Presiden dan
Mahkamah Konstitusi”, H. 213
65
menjadikan semngat adanya lembaga BPIP menjadi pudar. Tak banyak yang
akan diulas mengenai pertanggungjawaban BPIP secara detail namun tetap
pada proses pertanggungjawabannya yang bersentuhan langsung dengan
kebijakan Presiden.
Presiden adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan sebagai
kepala pemerintahan . Oleh karena itu, tindakan Presiden adalah perbuatan
Presiden untuk mengatasi suatu keadaan dalam menyelenggarakan fungsinya
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden
merupakan kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat
menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam
hal mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan Undang-Undang. Tindakan
politis Presiden atau untuk kebijakannya, pertanggungjawabannya memang
tidak diatur secara eksplisit.24
Terhadap bentuk-bentuk tindakan hukum Presiden yang bersifat
pengaturan, pada level mana Presdien harus mempertanggungjawabkan
tidakannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya dilakukan, seperti
banyak yang dikatakan oleh pakar bahwa Presdien bertanggungjawab
langsung kepada rakyat. Namun seperti yag kita ketahui bersama, bahwa
pertanggungjawaban kepada rakyat ini belum dilembagakan oleh suatu
aturan. Namun hal tersebut terjawab dengan keberadaan MA dan MK,
lembaga dimana rakyat dapat secara langsung menggugat dan meminta
pertanggungjawaban hukum atas produk hukum Presiden dalam menjalankan
pemerintahan yang dianggap melanggar hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sistem pertanggungjawaban Presiden merupakan salah satu sub sistem
dari sistem ketatanegaraan yang ditujukan untuk mengontrol dan
mengendalikan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada Presiden
agar tetap konsiisten menegakkan nilai-nilai konstitusional sesuai dnegan
fungsi-fungsi kekuasaan yang diberikan kepadanya. Lord Acton menegaskan
24
Meri Yarni dan HJ. Netty, Jurnal Pertanggungjawaban, “Pertanggungjawaban Presiden
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Suatu Tinjauan Hukum Perundang-undangan)”, Presiden,
Sistem Ketatanegaraan, h. 72-73.
66
25
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi, (Yrama
Widya: Bandung 2007), h. 141.
67
26
Nurcholish Majid, Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h.
15-17.
68
“Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang”
27
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 117.
69
Kemudian, pada sila ketiga ajaran-ajaran secara ini secara benar dipegang
oleh kaun muslimin bukan hanya sekedar ajaran yang diamalkan, akan tetapi
sudah merupakan behavior yang berwujud dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan. Hal ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari berupa pengalaman
shalat berjamaah shalat jum‟ah dan terutama pada saat kaum musimin
bersama berwukuf diarofah. Disinilah tampak sekali jaaran Islam tentang
persatuan. Persatuan saling berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan
mulia ini sungguh sejalan dengan firman Allah sebagai berikut:
70
28
M. Saifullah Rohman, Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila, Millah
Vol. XIII. No. 1. Agustus, 2013, h. 213.
71
Islam dan Pancasila bukanlah dua ideologi yang saling berbenturan. Islam
adalah sebuah ajaran yang utuh, yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan
sekaligus kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan
sebagai fondasi dalam ideologi Pancasila. Islam bukanlah Pancasila, akan
tetapi nilai-nilai Islam telah masuk ke dalam Pancasila yang hingga kini
digunakan sebagai ideologi bangsa Indonesia. Perdebatan antara golongan
Islam dan golongan Nasionalis harus menyadari bahwasanya Islam dan
Pancasila mampu menciptakan proses dialogis, sehingga tak perlu lagi
dibenturkan dalam dua ideologi yang saling bertolak belakang sekaligus
berhadap-hadapan. Kemampuan para Bapak Bangsa dalam meletakkan
fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila mulai dengan fondasi tauhid sebagai
sosok guru utama Pancasila yang mewarnai sila-sila dalam Pancasila
mengakhiri benturan tersebut.29 Sehingga, kesejalanan antara ideologi bangsa
dengan ideologi umat beragama Islam dapat mecapai pemenuhan kebutuhan
kepuasan tanpa adanya pertentangan. Hal tersebut membuat harmonisasi
keselarasaan sila dalam Pancasila dengan keyakinan prinsip bernegara dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
29
Fokky Fuad, Islam Dan Ideologi Pancasila Sebuah Dialektika, Lex Jurnalica Volume 9
Nomor 3, Desember 2012, h. 170.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila berada dalam
ranah kekuasaan eksekutif atau eksekutive power karena dasar hukum
pembentukannya. BPIP merupakan kelembagaan penunjang atau state
auxiliary organs atau auxiliary institutions dalam sistem tata negara di
Indonesia. Sebagaimana fungsi dan perannya lembaga ini sama dengan
lembaga negara yang sebelumnya telah ada seperti Ombudsman, dalam
ranah yudikatif. BPIP berdiri dan dibentuk sebagai lembaga pemberi
pengaruh karena kekuasaan yang dimiliki BPIP hanya sebatas usulan
rekomendasi baik kepada Presiden maupun lembaga negara lainnya.
Sehingga, pengaruh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila lewat
pendekatannya yang persuasif terhadap kejadian pada masyarakat dan
rekomendasi yang dikeluarkan menjadikannya lembaga negara yang
mempunyai pengaruh terhadap perbaikan dan terwujudnya pemerintahan
yang baik.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam menjalankan tugas
kelembagaan juga berhubungan dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Kepolisian, dan termasuk Kementerian
serta lembaga negara yang lain. Namun, pusat instruksi dan perijinan
lembaga ini tetap pada Kepala Pemerintahan yaitu, Presiden melalui
Dewan Pengarah BPIP.
72
73
dengan pola pengawasan baik itu dalam kinerja, keuangan dan lain halnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dikarenakan revitalisasi kelembagaan ini masih terhitung baru dan
masih dalam proses pembentukan struktural internal. Oleh karenanya,
belum banya yang dapat peneliti paparkan. Namun, rekomendasi-
rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPIP merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban lembaga pemberi pengaruh ini. Hanya saja
masyarakat masih harus memperhatikan dan mengikuti perkembagan
keberadaan BPIP dan fungsi apasaja yang dapat dilakukannya sebagai
bentuk pertanggungjawaban keberadaan kelembagaan.
B. Rekomendasi
1. Kepada Pemerintah
Setelah penyusunan penelitian terhadap kelembagaan di Indonesia
terkhusus berkenaan dengan kekuasaan bidang eksekutif dalam
membentuk lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
peneliti ingin menyampaikan bahwa pembentukan suatu lembaga harus
diperhitungkan kembali antara dasar hukum pembentukannya hingga
sejauh mana lembaga itu akan berwenang. BPIP seharusnya memliki
dasar hukum yang lebih kuat dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya pada sistem kenegaraan sehingga tidak ada benturan
tugas atau fungsi yang sama antar lembaga di Indonesia. Dikarenakan
urgensi keberadaan lembaga ini juga yang cukup penting maka
pemerintah harus lebih memperhatikan dan menguatkan kelembagaan
BPIP dalam sistem tata negara.
3. Kepada Masyarakat
Semoga dengan adanya lembaga BPIP yang bertujuan positif
dalam menanamkan nilai-nilai ideologi Pancasila, masyarakat dapat
membuka pola pikir yang positif pula dan ikut serta dalam proses
perkembangan kebijakan pemerintah sehingga terwujudnya tujuan negara
dan tertanamnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTRA PUSTAKA
Buku:
75
76
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
2005.
77
Manan, Bagir dan Susi Dwi Harjanti. Memahami Konstitusi: Makna dan
Aktualisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2014.
Jurnal:
Basrah, Ahmad. Kajian Teoritis terhadap Auxiliary State’s Organ dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. MMH, Jilid 43 No. 1. Januari. 2014.
Mariana, Montisa. Check and Balances antar Lembaga Negara didalam Sistem
Politik Indonesia, LOGIKA, Vol. XXI No. 1. Desember, 2017.
Muladi. Penatan Lembaga Non-Struktural (LNS) dalam Kerangka Reformasi
Birokrasi serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara.
Sekretariat Negara: November, 2010.
Nugroho, Iwan. Jurnal Konstitusi: Nilai-Nilai Pancasila sebagai Falsafah
Pandangan Hidup Bangsa Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia dan Pembangunan Lingkingan Hidup Vol. III, No. 2. November,
2010.
Nurtjahyo, Hendra. Lembaga, Badan dan Komisi Negara Independen (State
Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara. Tahun ke-
35, No.3 Juli-September 2005.
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan. Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah
(Arsitektur Kelembagaan Tahun 2014-2019). Jakarta: Deputi Bidang
Kelembagaan & Suber Daya Aparatur Negara, LAN. 2013.
Riyanto. Pancasila Dasar Negara Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke-37 No.3. Juli-September, 2007.
Saifullah, M. Rohman. Kandungan Nilai-Nilai Syariat Islam dalam Pancasila.
Millah Vol. XIII. No. 1. Agustus, 2013.
Sunarto. Prinsip Check and Balances dalm sistem ketatanegaraan di Indonesia,
Masalah - Masalah Hukum. Jilid 45 No. 2. Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Semarang. April, 2016.
Surakhmad, Winarno. Pendiidkan Pancasila (Pendekatan yang
mengIndonesiakan). Pelangi Ilmu Vol. 2, No. 1, Tahun 2008.
Sutrisno. Peran Ideologi Pancasila dalam Perkembngan Konsstitusi dan Sistem
Hukum di Indonesia, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol. 1,
No. 1, Juli 2016.
Wahanu, Hendra Prabandani. Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden
(Constitutional Limits of The Presidential Executive Power), Jurnal legislasi
indonesia. vol. 12 no. 3. Oktober, 2015.
Peraturan perundang-undangan:
Lain-lainnya:
Arief, Muhammad Virgy. Upaya Pengembalian Flsafah Hidup Bagsa oleh UKP-
PIP. Majalah Media Mahasiswa Indonesia, Juni 2017. h. 6.
http://jurnalsumatra.com/ukp-pip-jadi-badan-pembinaan-ideologi-pancasila/
http://www.bpip.go.id/informasi/gubernur-lemnasham-lemah-karena-terlalu-
bergantug-pada-hukum-tertulis/
http://setkab.go.id/pancasila-sebuah-kesepakatan-sebagai-bangsa/
https://www.idntimes.com/news/indonesia/agustin/setelah-hina-lambang-negara-
zaskia-gotik-jadi-duta-pancasila-apa-alasannya/full
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160317123858-12-118032/zaskia-gotik-
dilaporkan-ke-polisi-dituding-hina-pancasila
http://nasional.kompas.com/read/2017/10/26/20234201/try-sutrisno-kalau-anti-
pancasila-jangan-di-indonesia
http://setkab.go.id/presiden-jokowi-pemerintah-pasti-tegas-terhadap-organisasi-
dan-gerakan-anti-pancasila/
https://regional.kompas.com/read/2018/01/26/18004191/gadis-yang-lecehkan-
pancasila-dibina-polres-malang-ukp-pip-beri-apresiasi
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/01/05/ojaq89354-
ryamizard-australia-minta-maaf-atas-kasus-pelecehan-pancasila
https://www.academia.edu/28382748
80
https://www.academia.edu/5394546/Makalah_pancasila_revisi