A. Hernia Inguinalis
1. Definisi
Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia
abdomen isi perut menonjol melalui defek atau bagian-bagian lemah dari
lapisan muscular aponeurotik dinding perut. Hernia terdiri dari cincin,
kantong dan isi hernia (Wim Dejong, 2010).
Hernia inguinalis dimana merupakan suatu keadaan keluarnya
struktur organ dari tempatnya yang normal melalui suatu area pada defek
inguinal yang secara manual tidak bisa kembali ke tempat semula dan akan
memberikan implikasi tindakan invasif bedah dengan secara pembedahan
mengembalikan struktur organ terebut dengan menutup defek di inguinal.
(Arif, 2009).
Hernia inguinalis merupakan penonjolan isi suatu rongga melalui
defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
dinding perut (Nurarif, 2015).
2. Etiologi
Hal yang mengakibatkan hernia menurut Haryono (2012) adalah:
a. Kelainan kongenital atau kelainan bawaan.
b. Kelainan didapat, meliputi:
1) Kelemahan Jaringan.
2) Luasnya daerah di dalam ligamen inguinal
3) Trauma.
4) Kegemukan.
5) Melakukan pekerjaan berat.
6) Terlalu mengejan saat buang air kecil atau besar.
1
3. Klasifikasi hernia
a. Klasifikasi hernia berdasarkan terjadinya
1) Hernia bawaan atau kongenital.
Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal . penonjolan peritoneum
yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah
lahir mengalami ,Penurunan testis tersebut akan menarik peritonium ke
daerah skrotum dapat mengalami prosesus ini telah mengalami obliterasi
sehingga isi rongga perut belum dapat melalui kanalis tersebut.tetapi
dalam beberapa hal, kanalis ini belum merekat. Karena testis kiri turun
terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka. Bila
kanalis kiri terbuka maka biasanya sebelah kanan bisa terbuka. Dalam
keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2
bulan. Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi)
akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Pada orang tua kanalis
tersebut telah menutup. Namun karena merupakan lokus minoris
resistensie, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan intra-
abdominal meningkat, kanal tersebut dapat terbuka kembali dan timbul
hernia inguinalis lateralis akuisita (Erfandi, 2011).
2) Hernia dapatan atau akuisita (acquisitus = didapat)
Hernia kongenital / didapat dan ditemukan pada bayi sedangkan hernia
akuisita / didapat, pertama terjadi ketahanan dinding otot perut ditemukan
saat sudah dewasa. Proses ini mengakibatkan hernia eksternal pada bayi
umumnya dikarenakan penyakit kongenital, yakni penyakit yang terjadi
disaat bayi masih dikandungan dan umumnya tidak dipastikan
penyebabnya (Erfandi, 2011)
b. Klasifikasi hernia berdasarkan sifatnya
1) Hernia reponibel apabila isi hernia dapat keluar-masuk. Usus keluar
ketika berdiri atau mengejan, dan masuk lagi ketika berbaring atau bila
didorong masuk ke dalam perut. Selama hernia masih reponibel, tidak ada
keluhan nyeri atau obstruksi usus.
2) Hernia irreponibel apabila isi hernia tidak dapat direposisi kembali ke
dalam rongga perut. Biasanya disebabkan oleh pelekatan isi kantong
kepada peritoneum kantong hernia (Erfandi, 2011).
3) Hernia strangulate atau inkarserata (incarceration = terperangkap) Yaitu
tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibatnya yang berupa
gangguan pasase atau vaskularisasi bila isi hernia terjepit oleh cincin
hernia. berarti isi kantong terperangkap,. Secara klinis “hernia inkarserata”
lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase,
sedangkan pada gangguan vaskularisasi disebut sebagai “hernia
strangulata”.Hernia strangulata terjadinya nekrosis dari isi abdomen di
dalamnya tidak menghasilkan darah akibat pembuluh terjadi penyempitan
atau terjepit. Hernia seperti ini bisa dikatakan keadaan yang gawat darurat
diketahui harus memerlukan pertolongan secepat mungkin (Erfandi,
2011).
c. Patofisiologi
Ansietas Pembedahan
Kantung hernia
Heatus hernia
memasuki rongga thorak
B. Konsep Nyeri
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan dan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana
anak dan lansia berreaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam
respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang
merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri
sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan
wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeridi pengaruhi oleh faktor-faktor
biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa
memperhatikan jenis kelamin.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
di terima oleh kebudayaan mereka. Menurut Perry & Potter, (2011),
menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis
seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran
fisiologis opiat endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri.
d. Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda
apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan,
hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang melahirkan akan
mempersepsikan nyeri, akibat cedera karna pukulan pasangannya. Derajat
dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan
makna nyeri.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien
dapat stimulus yang lain, maka perawat menempatkan nyeri pada
kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri
individu meningkat, khususnya terhadap nyeri terhadap nyeri yang
berlangsung hanya selama waktu pengalihan.
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu persaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama
dalam nyeri dan ansietas. Perry & Potter, (2011), melaporkan suatu bukti
bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik dapat
memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik
dapat memproses reksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memburuk
atau menghilangkan nyeri.
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan
koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang
menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai
kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika mengalami
suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak terlalu berarti bahwa individu
akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lamasering mengalami serangkaian episode nyeri
tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya.
Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan –tindakan yang
perlu dilakukan untuk menghilangkan nyeri.
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang yang bermakna
bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada
keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin
tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan
sangatlah berguna akan membuat seseorang merasa lebih nyaman.
Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang mengalami nyeri.
4. Mekanisme Nyeri
Proses nyeri mulai stimulasi nociseptor oleh stimulus noxiuos sampai
terjadinya pegnalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan
kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses yaitu : transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi. Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulus
nociseptor oleh stimulus noxiuos dimana disini stimulus noxious akan dirubah
menjadi potensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor.
Selanjutnya potensial aksi tersebut akan ditransmisikan pada neuron menuju
susunan syaraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama
transmisi adalah knduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis
medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan
neuron susunan saraf pusat. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik ke
atas medula spinalis menuju batang otak dan talamus. Selanjutnya terjadi
hubungan timbal balik antara talamus dan pusat – pusat yang lebih tinggi di
otak yang mengurusi respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan
nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri
dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptif. Terdapat
proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut,
tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adaah pada kornu dorsalis
medula spinalis. Proses terkahir adalah persepsi, dimana pesan nyeri direlai
menuju otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan
(Sudoyo, 2009).
5. Pengukuran Nyeri
Pengukuran nyeri dapat menggunakan beberapa skala menurut Quin
(2013) sebagai berikut :
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Verbal
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Pada pasien hernia adalah riwayat pekerjaan biasanya mengangkat
benda berat, nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk
dengan adanya batuk dan bersin Discharge Planing pasien adalah hindari
mengejan, mengangkat benda berat, menjaga balutan luka operasi tetap
kering dan bersih, biasanya penderita hernia yang sering terkena adalah
laki-laki pada hernia inguinalis dan pada heria femoralis yang sering
terkena adalah perempuan untuk usia antara 45-75 tahun (Baradero,
2010).
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus hernia adalah terasa
nyeri. Nyeri tersebut adalah akut karena disebabkan oleh diskontinuitas
jaringan akibat tindakan pembedahan (insisi pembedahan). Dalam
mengkaji adanya nyeri, maka digunakan teknik PQRST.
1) P= Provoking: Merupakan hal - hal yang menjadi faktor presipitasi
timbulnya nyeri, biasanya berupa trauma pada bagian tubuh yang
menjalani prosedur pembedahan dan biasanya nyeri akan bertambah
apabila bersin, mengejan, batuk kronik dll.
2) Q= Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, ditekan, ditusuk-tusuk,
diremas
3) R= Region: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
4) S= Scale of pain: Biasanya klien hernia akan menilai sakit yang
dialaminya dengan skala 5 - 7 dari skala pengukuran 1 - 10.
5) T=Time: Merupakan lamanya nyeri berlangsung, kapan muncul dan
dalam kondisi seperti apa nyeri bertambah buruk. (Muttaqin, 2011).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
hernia, yang nantinya membantu dalam rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa di tentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. merasa ada benjolan di skrotum bagian kanan atau kiri dan
kadang-kadang mengecil/menghilang. Bila menangis, batuk, mengangkat
beban berat akan timbul benjolan lagi, timbul rasa nyeri pada benjolan
dan timbul rasa kemeng disertai mual-muntah. Akibat komplikasi
terdapat shock, demam, asidosis metabolik, abses, fistel, peritonitis. Pada
pasien post operasi hernia juga akan merasakan nyeri dimana nyeri
tersebut adalah akut karena disebabkan oleh diskontinuitas jaringan
akibat tindakan pembedahan ( insisi pembedahan ).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Latar belakang kehidupan klien sebelum masuk rumah sakit yang
menjadi faktor predisposisi seperti riwayat bekerja mengangkat benda-
benda berat, riwayat penyakit menular atau penyakit keturunan serta
riwayat operasi sebelumnya pada daerah abdomen atau operasi hernia
yang pernah dialami klien sebelumnya.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama sepert klien, dikaji pula mengenai adanya
penyakit keturunan atau menular dalam keluarga.
f. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Empat faktor yang mempengaruhi kesehatan yakni keturunan,
pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Faktor pelayanan
kesehatan meliputi ketersediaan klinik kesehatan dan fasilitas kesehatan
lainya, faktor perilaku meliputi antara lain perilaku mencari pengobatan
dan perilaku hidup bersih dan sehat, sedangkan faktor lingkungan antara
lain kondisi lingkungan yang sehat dan memenuhi persyaratan
( Notoatmodjo, 2003 ). Kerja otot yang terlalu kuat, mengangkat beban
yang berat, batuk kronik, mengejan sewaktu miksi dan defekasi,
peregangan otot abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen
(TIA). Seperti obesitas dan kehamilan, kelemahan abdomen bisa
disebabkan kerena cacat bawaan atau keadaan yang didapat sesudah lahir
dan usia dapat mempengaruhi kelemahan dinding abdomen (semakin
bertambah usia dinding abdomen semakin melemah). Peningkatan
tekanan intra abdomen diantaranya mengangkat beban berat, batuk
kronis, kehamilan, kegemukan dan gerak badan yang berlebih. (Nuari,
2015)
g. Status Nutrisi dan Cairan.
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien
makan dan minum klien dalam sehari. Kaji apakah klien mengalami
anoreksia,mual atau muntah dan haus terus menerus. Kaji selera makan
berlebihan atau berkurang, ataupun adanya terapi intravena, penggunaan
selang NGT, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan, lingkaran
lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk memperoleh
gambaran status nutrisi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Keadaan klien dengan hernia biasanya mengalami kelemahan serta tingkat
kesadaran composmentis. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali akan
mengalami ketidakstabilan pada klien yang mengalami perforasi
appendiks.
b. B1 Sistem Pernafasan (Breathing)
Bentuk hidung simetris keadaan bersih tidak ada sekret, pergerakan dada
simetris, Irama nafas regular tetapi ketika nyeri timbul ada kemungkinan
terjadi nafas yang pendek dan cepat. Tidak ada nyeri tekan pada dada,
tidak ada retraksi otot bantu nafas, gerakan fokal fremitus antara kanan
dan kiri sama, pada hernia inkarcerata dan strangulata di jumpai adanya
peningkatan RR (> 24 x /mnt) pada perkusi terdapat bunyi paru resonan,
suara nafas vesikuler tidak ada suara tambahan seperti ronkhi dan
whezzing
c. B2 Sistem Kardiovaskuler (Blood)
Konjungtiva normal tidak terdapat sianosis, tidak ada peningkatan JVP,
tidak ada clubbing finger, CRT < 3 detik, tidak terdapat sianosis,
peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi karena nyeri, terdapat bunyi
jantung pekak/redup, bunyi jantung tidak disertai suara tambahan, bunyi
jantung normal S1 S2 tunggal lup dup.
d. B3 Sistem Persyarafan (Brain)
Umumnya pada pasien hernia tidak mengalami gangguan pada
persyarafannya, namun gangguan bisa terjadi dengan adanya nyeri pada
post operasi sehingga perlu dikaji nilai GCS.
e. B4 Sistem Perkemihan (Bladder)
Pada Post Operasi kaji apakah terdapat benjolan pada abdomen bagian
bawah / kandung kemih. Pada hernia inkarcerata dan strangulata di jumpai
penurunan produksi urine.
f. B5 Sistem Pencernaan (Bowel)
Dikaji mulai dari mulut sampai anus, tidak ada asites, pada pasien post-op
biasanya sudah tidak ada benjolan pada abdomen, pada pasien post-op
biasanya ada nyeri tekan, tidak ada distensi abdomen. Terdapat suara
tympani pada abdomen, Peristaltik usus 5-21x/menit.
g. B6 Sistem Muskuluskeletal (Bone)
Biasanya post operasi herniotomy secara umum tidak memiliki gangguan,
tetapi perlu dikaji kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah,dengan nilai
kekuatan otot (0-5), adanya kekuatan pergerakan atau keterbatasan gerak.
Terdapat lesi/ luka. Kaji keadaan luka apakah terdapat push atau tidak, ada
tidaknya infeksi, keadaan luka bersih atau lembab.
h. B7 Sistem Penginderaan
Pada post herniotomy pada sistem ini tidak mengalami gangguan baik
pengindraan, perasa, peraba, pendengaran dan penciuman semua dalam
keadaan normal.
i. B8 Sistem Endokrin
Pada sistem endokrin tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid
dan kelenjar parotis
3. Diagnosa Keperawatan.
a. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuinitas jaringan akibat tindakan
pembedahan ( insisi pembedahan ).
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut post operasi.
c. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mobilisasi dini post
operasi
d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan pentingnya mobilisasi dini
post operasi.
e. Risiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan masuknya
mikroorganisme melalui luka pembedahan.
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujaun dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawata
n
Nyeri akut Setelah diberikan asuhan 1. Pemberian Analgesik
keperawatan selama 2 x 24 Observasi
jam diharapkan nyeri a. Identifikasi riwayat
menurun dengan kriteria alergi obat
hasil : b. Monitor tanda-
Keluhan nyeri menurun tanda vital sebelum
Tampak meringis dan sesudah
menurun pemberian
Sikap protektif analgetik
menurun Terapeutik
Gelisah menurun Dokumentasikan
Kesulitan tidur respons terhadap efek
menurun analgetik dan efek
Frekuensi nadi yang tidak diinginkan
membaik
Tekanan darah membaik
Pola napas membaik Edukasi
Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgetik sesuai terapi
2. Manajemen Nyeri
Observasi
a. Identifikasi lokasi,
karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas
nyeri
b. Identifikasi skala
nyeri Identifikasi
respons nyeri non
verbal
c. Identifikasi faktor
yang memperberat
dan memperingan
nyeri
Terapeutik
• Berikan
teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
• Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
(misalnya, suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
• Fasilitasi istirahat
dan tidur
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur
Pola tidur keperawatan selama 3 x 24 jam Observasi:
dharapkan pola tidur membaik Identifikasi pola
aktivitas dan tidur
Kriteria Hasil : Identifikasi faktor
1. Keluhan sulit tidur pengganggu tidur
menurun (fisik dan/atau
2. Keluhan sering terjaga psikologis)
menurun Identifikasi makanan
3. Keluhan tidur tidak puas dan minuman yang
menurun mengganggu tidur
4. Keluhan pola tidur berubah (mis. kopi, teh,
menurun alkohol, makanan
5. Keluhan istirahat tidak mendekati waktu tidur,
cukup menurun minum banyak air
sebelum tidur)
Terapeutik:
Modifikasi
lingkungan (mis.
pencahayaan,
kebisingan, suhu,
matras, dan tempat
tidur)
Batasi waktu tidur
siang, jika perlu
Fasilitasi
menghilangkan stres
sebelum tidur
Tetapkan jadwal
tidur rutin
Lakukan prosedur
untuk meningkatkan
kenyamanan (mis.
pijat, pengaturan
posisi, terapi
akupresur)
Sesuaikan jadwal
pemberian obat
dan/atau tindakan
untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
Edukasi
Jelaskan pentingnya
tidur cukup selama
sakit
Anjurkan menepati
kebiasaan waktu
tidur
Anjurkan
menghindari
makanan/minuman
yang mengganggu
tidur
Anjurkan
penggunaan obat
tidur yang tidak
mengandung
supresor terhadap
tidur REM
Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
Ansietas Tujuan : a. Identivikasi saat tingkat
Setelah dilakukan ansietas berubah.
tindakan keperawatan b. Monitor tanda tanda
tingkat ansietas menurun ansietas verbal non
Kriteria Hasil : verbal.
a. Verbalisasi c. Temani klien untuk
kebingungan mengurangi kecemasan
menurun. jika perlu.
b. Verbalisasi khawatir d. Dengarkan dengan
akibat menurun. penuh perhatian.
c. Prilaku gelisah e. Gunakan pendekatan
menurun. yang tenang dan
d. Prilaku tegang meyakinkan.
menurun f. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami.
g. Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
klien, jika perlu.
h. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
i. Latih teknik relaksasi.
j. Kolaborasi pemberian
obat antiansietas jika
perlu
Resiko Tujuan : Pencegahan infeksi
infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Ob
keperawatan 3x24 jam derajat servasi :
infeksi menurun atau tidak Monitor tanda dan
terjadi infeksi. gejala infeksi loka l
dan sistemik
Kriteria Hasil :
2. Te
1. Tidak terjadinya tanda-
rapeutik
tanda infeksi seperti :
a. Berikan
a. Demam menurun
perawatan kulit
b. Kemerahan tidak ada
pada daerah
c. Nyeri menurun
luka atau
d. Bengkak menurun
edema
e. Kadar sel darah putih
membaik b. Cuci tangan
sebelum dan
sesudah kontak
dengan pasien
dan lingkungan
pasien
c. Pertahankan
teknik aseptic
pada pasien
berisiko tinggi
3. Ed
ukasi :
a. Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi
b. Ajarkan cara
memeriksa luka
c. Ajarkan cara
mencuci tangan
dengan benar
Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Defisit Tujuan: 1. Identivikasi kesiapan
Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan dan kemampuan
perawatan diharapkan menerima informasi.
tingkat pengetahuan klien 2. Sediakan materi dan
meningkat. media pendidikan
kriteria hasil : kesehatan.
1. Perilaku sesuai anjuran, 3. Berikan kesempatan
verbalisasi minat dan untuk bertanya.
belajar meningkat. 4. Ajarkan perilaku hidup
2. Kemampuan bersih dan sehat.
menggambarkan 5. Ajarkan strategi yang
pengalaman sebelumnya dapat digunakan untuk
yang sesuai dengan topik meningkatkan perilaku
meningkat hidup bersih dan sehat
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan (Potter, P., & Perry, 2011).
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas
yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan
intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien.
Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya,
pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila
perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons klien terhadap
setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia
perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat
mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses
keperawatan berikutnya (Wilkinson.M.J, 2012).
6. Evaluasi Keperawatan
Menurut (Setiadi, 2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan
keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang
sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Terdapa dua jenis evaluasi:
a. Evaluasi Formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna
menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal
dengan istilah SOAP :
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali
pada klien yang afasia.
2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh
perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
4) P (perencanaan) : Perencanaan kembali tentang pengembangan
tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang
dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b.Evaluasi Sumatif (Hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesi dilakukan. Evaluasi
sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang
terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan (Setiadi, 2012), yaitu:
1) Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan
perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
2) Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau klien
masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan
perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama
sekali
DAFTAR PUSTAKA
Ariska, D. W., & Ali, M. S. (2019). Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Junk Food
Terhadap Kejadiaan Obesitas Remaja. Jurnal Kesehatan Surya Mitra
Husada, 1–7.
Bickley Lynn S & Szilagyi Peter G. (2018). Buku Saku Pemeriksaan Fisik &
Riwayat Kesehatan (p. 49). p. 49.
Corwin. E.J, (2011), Patofisiologi, Alih Bahasa Brahm U, Pandit Jakarta : EGC.
Jong, S. & de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G, (2012), Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, Jakarta : EGC.
Sudoyo. (2011). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : FKUI IPD
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI