Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS YURIDIS CERAI GUGAT PEGAWAI NEGERI SIPIL PERSPEKTIF HUKUM PERDATA

ISLAM (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA PAREPARE)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
ISMAIL ASFA
2003092

PRODI S1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS
ANDI SAPADA
PAREPARE

2024
ANALISIS YURIDIS CERAI GUGAT PEGAWAI NEGERI SIPIL PERSPEKTIF HUKUM PERDATA
ISLAM (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA PAREPARE)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
ISMAIL ASFA
2003092

PRODI S1 ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS
ANDI SAPADA
PAREPARE

2024
ANALISIS YURIDIS CERAI GUGAT PEGAWAI NEGERI SIPIL PERSPEKTIF HUKUM
PERDATA ISLAM (STUDI KASUS PENGADILAN AGAMA PAREPARE)

PROPOSAL PENELITIAN

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)


Di Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada

Diajukan Oleh:
ISMAIL ASFA
2003092

Telah Disetujui Oleh :

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Kairuddin Karim,S.H.,M.H Dr. Auliah Ambarwati, S.H.,M.H


NIDN : 0906046201 NIDN : 0920119402

iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv

BAB I................................................................................................................1

PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................4

C. Tujuan Panelitian...................................................................................5

D. Kegunaan Penelitian..............................................................................6

BAB II...............................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................7

A. Tinjauan Umum Cerai Gugat.................................................................7

B. Tinjauan Umum Tentang Cerai Gugat Pegawai Negeri Sipil................12

BAB III............................................................................................................17

METODE PENELITIAN..................................................................................17

A. Jenis Penelitian....................................................................................17

B. Pendekatan Penelitian.........................................................................17

C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum........................................................18

D. Teknik Pengumpulan Data...................................................................19

E. Metode Analisis Data...........................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................21

4
5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Esensi Dalam menjalankan sebuah bahtera rumah tangga memiliki

keluarga harmonis menjadi dambaan setiap keluarga, karena esesnsi dari

sebuah pernikahan adalah tercpitanya ketenteraman baik lahir maupun

batin.namun realitanya setiap keluarga memiliki problem yang

berbedabeda,ketika terjadi percekcokan dan pertengkaran dalam jangka

waktu yang lama dapat menimbulkan kehancuran dalam rumah tangga

yaitu perceraian.perceraian terjadi karena kedua pihak baik suami atau

isteri memutuskan untuk berpisah.

Ketika seseorang memutuskan untuk menikah,menurut kedua

pasangan tersebut penikahan adalah perintah Allah yang merupakan

salah satu ibadah.sebuah pernikahan dapat mencegah kemaksiatan baik

dalam indera penglihatan manusia atau dalam bentuk perzinaan.1

Perceraian bisa terjadi dari kedua belah pihak baik suami yang

mengajukan atau isteri yang mengajukannya. ketika suami yang

mengajukannya disebut cerai talak,tetapi apabila isteri yang

1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika,2006),h.7
6

mengajukannya disebut cerai gugat,sebagaimana yang tertera dalam

Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam.2

Dalam hak bercerai dari pihak suami maupun isteri memiliki porsi yang

sama tidak hanya suami saja yang dapat menuntut cerai,isteri juga dapat

menuntut cerai ketika hubungan rumah tanggannya sudah tidak terkendali

yang disebut Khulu’ dalam perceraian ini terjadi pada pihak isteri yang

memberikan tebusan atau iwad.

Cerai gugat di kalangan Pegawai Negeri Sipil bukan suatu hal yang

mudah,berbeda dengan warga sipil biasa.sebagai seorang Pegawai

Negeri Sipil yang notabene abdi negara yang tugasnya mengabdi untuk

negara dan tingkah lakunya menjadi contoh untuk masyarakat dan

bekerja untuk pemerintah.

Meski seperti itu Pegawai Negeri Sipil merupakan manusia biasa yang

berarti tidak luput juga dari kesalahan dan bukan juga manusia yang

sempurna. Mereka memiliki naluri psikis dan biologis yang sama dengan

manusia pada umumnya.menikah ataupun bercerai itu merupakan

menjadi hak mereka.

Dalam Undang-Undang di Indonesia Khususnya dalam bidang

keluarga sifatnya adalah umum maksudnya diperuntukkan untuk seluruh

masyarakat Indonesia. Namun realita yang terjadi,ada kekhususan


2
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Rajawali Pers 2013),h.233
7

Undang-Undang seperti PP No.10 Tahun 1983 yang mengalami

perubahan menjadi PP No.45 Tahun 1990 yang membahas tentang izin

pernikahan dan perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil,pengkhusan

ini terjadi karena mereka merupakan aparatur negara.

Dalam melangsungkan perceraian untuk masyarakat biasa dan

Pegawai Negeri Sipil tentu memiliki perbedaan.untuk masyarakat pada

umumnya hanya menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta

nikah,sedangkan untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil harus memiliki

syarat admnistratif yang lain.Pegawai Negeri Sipil harus melampirkan

surat izin atasan tempatnya bekerja.3

Sebagai aparatur negara yang perilakunya menjadi acuan bagi

masyarakat ketidakhamonisan dalam keluaraga akan menggangu

pekerjaannya. Maka jalan yang ditempuh biasanya dengan cara

bercerai,berdasarkan PP Nomor.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang

Izin perkawinan dan Perceraian dikalangan Pegawai Negeri Sipil akan

terasa sulit untuk melaksanakan perceraian.

Ketidakharmonisan kehidupan keluarga yang terus menerus bagi

seorang Pegawai Negeri Sipil akan sangat menganggu tugas-tugas

kedinasannya, oleh karena itu perceraian adalah hal yang mungkin

dilakukan untuk mengatasi ketidakharmonisan tersebut. Namun disisi lain


3
Rachmaldi Usman,Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta:Sinar Grafika,2006),h.416
8

Pegawai Negeri Sipil juga terikat oleh Peraturan pemerintah Nomor 45

Tahun 1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10

tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri

Sipil yang tentunya tidak mudah bagi seorang Pegawai Negeri Sipil untuk

melaksanakan perceraian.

Tingginya kasus cerai gugat PNS di Pengadilan Agama Parepare

cukup meningkat dari tahun ke tahun seperti pada tahun 2019 – 2021

kasus cerai gugat PNS lebih banyak dari pada kasus cerai talak PNS

kasus cerai gugat PNS berjumlah 262 perkara sedangkan kasus cerai

talak berjumlah 143 perkara.

Berdasarkan latar belakang di atas maka menarik oleh penulis teliti

untuk mengkaji penelitian tersebut dalam bentuk Skripsi skripsi dengan

judul “Analisis Cerai Gugat Pegawai Negeri Sipil Perspektif Hukum

Perdata Islam (Studi Kasus Pengadilan Agama Parepare).

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian yang tegas dapat

menghindari pengumpulan bahan hukum yang tidak diperlukan, sehingga

penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai dan

mempermudah penulis dalam mencapai sasaran. Perumusan masalah

digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa

yang hendak diteliti, yang dapat memudahkan penulis dalam


9

mengumpulkan, menyusun,dan menganalisa data. Untuk mempermudah

dalam pembahasan penelitian yang akan dikaji maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan hakim

terkait cerai gugat Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama

Parepare?

2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat bagi

pasangan Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Parepare ?

3. Bagaimanakah perspektif hukum perdata Islam terhadap faktor

cerai gugat bagi pasangan Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan

Agama Parepare ?

C. Tujuan Panelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan

hakim terkait cerai gugat Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan

Agama Parepare.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat

bagi pasangan Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama

Parepare.
10

3. Untuk menganalisis perspektif hukum perdata Islam terhadap

faktor cerai gugat bagi pasangan Pegawai Negeri Sipil di

Pengadilan Agama Parepare.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis,penelitian ini mampu memberi kontibusi yang positif

bagi khazanah ilmu pengetahuan,khususnya dibidang hukum

keluarga islam,dengan cara menyajikan data yang

akurat,berlandaskan norma agama islam dan aturan yuridis

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang analisis

cerai gugat Pegawai Negeri Sipil ditinjau dari Hukum Perdata

Islam.

2. Secara praktis, untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana S1 Fakultas Hukum dan memberikan informasi serta

penjelasan kepada masyarakat luas tentang cerai gugat sebagai

referensi atau acuan untuk penelitian selanjutnya.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan informasi

bagi pihak-pihak lain yang mengadakan penelitian terhadap

permasalahan yang berkaitan di masa yang akan datang.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Cerai Gugat

Cerai gugat merupakan perceraian yang terjadi karena salah satu

tuntutan (Isteri) kepada pengadilan dan pereceraian itu terjadi dengan

suatu putusan pengadilan. tu putusan pengadilan. Aturan pasal 73 (1) UU

No. 7 Tahun 1989, pasal 132 (1) Kompilasi Hukum Islam dan pasal 20 (1)

PP. RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 7

Tahun 1974 tentang perkawinan.4

1) UU No. 7 Tahun 1989 pasal 73 (1) “Bahwa gugatan perceraian

diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila

penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin tergugat”.

2) Kompilasi Hukum Islam pasal 132 (1) Bahwa gugatan perceraian

diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang

daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali

isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

4
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjianti, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju,
1997, h. 33.
12

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Pasal

20 (1) Bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri

atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman tergugat. Artinya gugatan perceraian dapat

dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan

menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri

yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan

kepercayaannya itu selain agama Islam.

Dengan adanya penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

cerai gugat atau gugatan perceraian merupkan suatu istilah yang

digunakan dalam Pengadilan Agama.

Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan isteri atau

kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi

tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin suami. Jika isteri meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin suami, gugatan harus ditunjukkan kepada pengadilan

daerah hukumnya mewilayahi tempat kediaman suaminya. Hak untuk

memohon memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum Islam disebut

Khulu’ perceraian atas keinginan pihak isteri, sedangkan suami tidak

menghendaki.5

5
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, h. 142.
13

Khulu’ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi

jumlah talak dan tidak dapat dirujuk lagi, hal ini didasarkan pada pasal

161 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “perceraian dengan jalan

khulu’ mengurangi dan tak dapat dirujuk”.6

Khulu’ berarti pula bahwa isteri melepaskan akad pernikahan dengan

membayar ganti rugi berupa pengembalian mahar kepada suami. Di

dalam KHI pasal 148 dinyatakan bahwa:

1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan

khulu menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama

yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-

alasannya.

2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil

isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan

penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-

nasehatnya.

4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwad atau

tebusan maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang

izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang

6
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta: Era
Intermedia, 2005), hal. 408-409
14

Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan

upaya banding dan kasasi.

5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur

dalam pasal 131 ayat (5)

6) Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan tentang besarannya

tebusan atau iwad, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus

sebagai perkara biasa.7

Khulu’ hanya dibolehkan kalau ada alasan yang tepat seperti suami

meninggalkan isteri selama 2 tahun berturutturut tanpa izin isterinya serta

alasan yang sah, atau suaminya murtad dan tidak memenuhi kewajiban

terhadap isterinya sedangkan isteri khawatir akan melanggar hukum Allah

dalam kondisi seperti ini isteri tidak wajib untuk menggauli suami dengan

baik dan ia berhak untuk khulu’.8Dan juga apabila isteri merasa tidak

bahagia hidup bersama dengan suaminya atau dapat pula terjadi karena

isteri sangat membenci suaminya, keadaan seperti ini sering terjadi pada

masyarakat yang masih mengenal perkawinan yang ditentukan oleh pihak

orang tua atau ditentukan oleh pihak lain yang dapat memaksa salah satu

pihak terutama (calon isteri) untuk menikah dengan orang yang tidak

dicintainya.9
7
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Cet 4), Bandung: Nuansa Aulia, h.143-
144.
8
Ainur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006, h. 233.
9
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, h. 143.
15

Rukun Khulu’ ada lima yaitu rukun pertama keharusan penerima iwadh

(pengganti), akad pernikahan, iwadh (pengganti), sighat, dan suami, disini

dimulai dari rukun terakhir yaitu suami, syarat suami sah talaknya yaitu

baligh, berakal, dan berdasarkan pilihan sendiri sebagaimana keterangan

dalam talaq, demikian itu karena khulu’ juga talak, suami menjadi rukun

bukan syarat. Suami yang sah talaqnya merupakan syarat dalam diri

suami, khulu tidak sah dari suami yang masih anak kecil suami gila, dan

terpaksa, seperti talaq mereka. Rukun kedua keharusan penerima iwadh

agar khulu’ sah dari seorang isteri syarat penerima khulu’ haruslah orang

yang sah mentasarufkan harta secara mutlak karena menerima khulu’

berarti keharusan menerima harta. Rukun ketiga adalah pengganti khulu’

(iwadh), khulu’ menghilangkan kepemilikan nikah dengan pengganti/

imbalan, imbalan ini adalah bagian-bagian yang pokok dari makna khulu’.

Rukun keempat adalah sighat yaitu dengan lafal jelas dan sindiran.10

Syarat dari khulu’ anatara lain hendaknya khulu’ itu berlangsung

sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang

dilakukan oleh suami terhadap isterinya, jika ia menyakiti isterinya maka

ia tidak boleh mengambil sesuatupun darinya, kemudian khulu’ itu berasal

dari isteri bukan suami, dan jika suami merasa tidak senang hidup

10
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas Al-Usroti wa Ahkamuha
fi tasriil Islam (Terj. Abdul Majid Khon), Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talaq, Jakarta:
Amzah, 2009, h.300- 301.
16

bersama dengan isterinya, maka suami tidak berhak mengambil

sedikitpun harta dari isterinya.11

B. Tinjauan Umum Tentang Cerai Gugat Pegawai Negeri Sipil

Dalam PP No.10 Tahun 1983 yang dimaksud dengan Pegawai Negeri

Sipil adalah Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1974 yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri

Sipil yaitu pegawai bulanan disamping pensiun, pegawai Bank milik

Negara, pegawai Badan Usaha milik Negara, pegawai Bank milik Daerah,

pegawai Badan Usaha milik Daerah. Kepala Desa, Perangkat Desa, dan

petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa.

Sedangkan yang dimaksud pejabat dalam PP No.10 Tahun 1983 adalah

Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen,

Pimpinan kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank milik Negara, Pimpinan Badan

Usaha Milik Negara, Pimpinan Bank milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha

Milik Daerah.

Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama wajib

memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran

hierarki dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan

itu dilangsungkan ketentuan ini juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil
11
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah Al-Jami FiiFiqhi An-Nisa (Terj. M. Abdul Ghoffar), Fiqih
Wanita Edisi Lengkap, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 1998, h. 445.
17

yang telah menjadi duda/ janda. Pemberitahuan kepada pejabat ini juga

tidak hanya bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan

perkawinan namun juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan mengajukan

perceraian.

Mengenai gugat cerai Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah diatur dalam

PP No.10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990, gugat

cerai PNS adalah gugat cerai yang di ajukan oleh PNS perempuan

kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus perceraian yang

sedang dialaminya. Dalam PP tersebut dijelaskan pada pasal 3 :

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib

memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat.

(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat

atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai

tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan

permintaan secara tertulis.

(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan

perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus

dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.

Permintaan izin harus dilakukan secara tertulis oleh Pegawai Negeri

Sipil yang akan melakukan perceraian, izin untuk bercerai dapat diberikan
18

oleh pejabat apabila didasarkan pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh

peraturan perundang-undangan dengan ketentuan-ketentuan dalam

peraturan pemerintah.

Kemudian mengenai batas waktu permintaan izin perceraian

dijelaskan dalam pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “setiap

atasan yang menerima izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam

lingkungannya baik untuk melakukan perceraian atau beristeri lebih dari

seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada

pejabat melalui surat hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga

bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.

Izin bercerai karena alasan isteri mendapatkan cacat badan atau

penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

isteri, tidak diberikan oleh pejabat, izin untuk bercerai tidak diberikan oleh

pejabat apabila :

a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut

Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

b. Bertentangan dengan peraturan undang-undang yang berlaku

c. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Adapun akibat dari perceraian Pegawai Negeri Sipil ini apabila

perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib
19

menyerah sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-

anaknya sebanyak sepertiga gaji Pegawai Negeri Sipil pria tersebut,

namun jika perceraian tersebut dikehendaki atas dasar kemauan Pegawai

Negeri Sipil wanita maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari

bekas suaminya, Kemudian dalam pasal 8 terdapat perubahan diantara

ayat 3 dan 4 lama di sisipkan satu ayat yang di jadikan ayat 4 baru yang

berbunyi “pembagian gaji kepada bekas isteri tidak diberikan apabila

alasan perceraian disebabkan karena isteri berzina dan atau melakukan

kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap

suami, atau isteri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar

disembuhkan, dan atau isteri telah meninggalkan suami selama dua tahun

berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal

lain diluar kemampuannya”. dan jika bekas isteri kawin lagi maka ia tidak

berhak mendapatkan hak gaji bekas suaminya sejak ia kawin lagi.

Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan perceraiannya selambat-

lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian maka dijatuhi

salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 30 Tahun 1980 tentang peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil.12

12
Perceraian Pegawai Negeri Sipil Diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45
Tahun 1990.
20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif,yaitu

metode penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan

analisis.penelitian ini bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam

kontak sosial dalam proses komunikasi antara peneliti dengan fenomena

yang diteliti.13

Jenis penelitian ini adalah lapangan ( field research).penelitian ini

dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah objek penelitian guna

memperoleh data yang berhubungan dengan analisis cerai gugat PNS

perspektif hukum perdata Islam di Pengadilan Agama Parepare.

B. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini

adalah penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif).

Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data

sekunder belaka. Dengan menggunakan metode berpikir deduktif (cara

berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang

13
Haris Herdiansyah,Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial,
(Jakarta:Salemba Humanika,2012),h.9
21

sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan

itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). 14 Dengan demikian

objek yang dianalisis dengan pendekatan yang bersifat kualitatif adalah

metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum

Data adalah suatu pernyataan yang dapat diterima secara nyata, jelas,

dan apa adanya. Berdasarkan sumber penelitian hukum, peneliti telah

membagi menjadi 2 yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Berikut penjelasannya:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama atau

bersifat otoritas.Adapun bahan hukum primer dalam penelitian

ini,sebagai berikut:

a) Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980

b) Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983

c) Kompilasi Hukum Islam

d) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Bahan Hukum Sekunder

14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 27-28.
22

jelasan terhadap bahan hukum primer yang mencakup buku-buku,

penelitian-penelitian baik yang berbentuk skripsi maupun jurnal-

jurnal yang berkaitan dengan sampel penelitian. Adapun bahan

hukum sekunder dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1) Buku

2) Jurnal

3) Literatur

4) Artikel

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang valid maka dalam pengumpulannya

digunakan metode sebagai berikut:

1. Dokumentasi

Dalam metode pengumpulan data ini, penulis menggunakan

metode dokumentasi yaitu sebuah metode yang dilakukan dengan

cara mencari dan mengkaji data-data dari buku-buku, catatan-

catatan, dan sebagainya yang berkaitan dengan penulisan ini.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.


23

Wawancara yang dilakukan kepada hakim mengenai cerai gugat

Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Parepare.

E. Metode Analisis Data

Metode yang penulis gunakan untuk menganalisa data adalah metode

kualitatif, yaitu setelah penulis mengumpulkan data kemudian melakukan

analisa dengan cara menghubungkan dengan teori dan bahan bacaan,

selanjutnya diambil kesimpulan sehingga memperoleh gambaran yang

utuh terhadap masalah yang akan diteliti. Dan penguat dari penelitian ini

juga melakukan wawancara bersama hakim Pengadilan Agama Parepare.


24

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas Al-Usroti
wa Ahkamuha fi tasriil Islam (Terj. Abdul Majid Khon), Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah dan Talaq, Jakarta: Amzah, 2009.

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,


(Surakarta: Era Intermedia, 2005)

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Rajawali Pers


2013)

Ainur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2006.

Bahder Johan Nasution dan Sri Warjianti, Hukum Perdata Islam, Bandung:
Mandar Maju, 1997

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2003)

Haris Herdiansyah,Metodelogi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial,


(Jakarta:Salemba Humanika,2012)

Perceraian Pegawai Negeri Sipil Diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.
PP Nomor 45 Tahun 1990.

Rachmaldi Usman,Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di


Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika,2006)

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.


25

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah Al-Jami FiiFiqhi An-Nisa (Terj. M. Abdul


Ghoffar), Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Jakarta: Pustaka AlKautsar,
1998.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Cet 4), Bandung:
Nuansa Aulia.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika,2006)

Anda mungkin juga menyukai