Anda di halaman 1dari 40

BOOK READING

INKONTINENSIA URIN

Oleh :

B. Zanuar Ichsan

G0005068

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2010

INKONTINENSIA URIN

Definisi Inkontinensia urin didefinisikan sebagai kebocoran urin involunter. Sumber kebocoran urin bukan hanya dari uretra, namun juga bisa dari ekstra-uretra seperti fistula atau malformasi kongenital traktus urinarius bagian bawah. Di sini hanya akan dibahas evaluasi dan manajemen stress incontinence dan urge incontinence. Berdasarkan International Continence Society guidelines, inkontinensia urin merupakan simptom, sign, dan juga merupakan suatu kondisi. Misal, seseorang dengan stress urinary incontinence (SUI), akan mengeluhkan kebocoran urin involunter karena suatu upaya keras seperti batuk atau bersin. Bersamaan dengan itu, kebocoran urin dari uretra yang sinkron dengan kejadian tersebut mungkin perlu diperhatikan. Sebagai suatu kondisi, inkontinensia secara obyektif terlihat selama evaluasi urodinamik jika kebocoran urin involunter muncul dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan ketiadaan kontraksi detrusor. Suatu keadaan dengan simptom maupun sign SUI disertai dengan tes obyektif, dikenal dengan istilah urodynamic stress incontinence (USI), sebelumnya disebut dengan istilah genuine stress incontinence. Wanita dengan urge urinary incontinence (UUI) akan mengalami kesulitan dalam menunda urinasi yang mendesak (urgent), dan umumnya harus tepat mengosongkan kandung kemihnya pada saat itu juga, tanpa ditunda. Jika UUI secara obyektif nampak dengan evaluasi sistometrik, kondisi ini disebut overaktivitas detrusor, sebelumnya dikenal sebagai instabilitas detrusor. Keadaan dimana urinary incontinence (MUI). Inkontinensia fungsional merupakan keadaan dimana seorang wanita tak dapat mencapai toilet pada waktunya karena keterbatasan fisik, psikologis atau mentasi. Sebagian besar contoh yang ada menunjukkan bahwa kelompok penderita inkontinensia fungsional akan memiliki kontinensia yang baik, jika permasalahan tersebut di atas diatasi. SUI dan UUI muncul bersamaan disebut mixed

Epidemiologi Di masyarakat barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi sebesar 25-55%. Kisaran yang luas ini diatribusikan ke varietas luas yang sama dengan metodologi investigasinya, karakteristik populasinya, dan definisi inkontinensia sendiri. Terlebih lagi data yang ada sekarang jauh lebih terbatasi oleh fakta bahwa sebagian besar wanita tidak memperhatikan kondisi tersebut (Hunskaar, 2000). Diperkirakan hanya 1 dari 4

wanita yang mencari bantuan medis mengenai inkontinensia yang mereka alami karena : malu, akses yang terbatas ke pelayanan kesehatan, atau skrining yang kurang oleh penyedia layanan kesehatan (Hagstad, 1985). Kondisi yang paling sering ditemukan adalah SUI, yaitu sekitar 29-75% kasus. Overaktivitas detrusor mencapai 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya berupa bentuk campuran (MUI) (Hunskaar, 2000). Inkontinensia urin signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya, yang mengarah pada terganggunya hubungan sosial, distres psikologis karena malu dan frustasi, rawat inap karena gangguan kulit dan infeksi traktus urinarius, serta perawatan di rumah (nursing home admission). Wanita tua penderita inkontinensia 2,5 kali lebih mungkin menjalani nursing home daripada yang kontinensia (Langa, 2002).

Faktor Resiko Inkontinensia Urin 1. Usia Prevalensi inkontinensia meningkat bertahap selama masa dewasa muda. Puncak yang lebar tampak pada usia pertengahan dan kemudian menetap setelah usia 65 tahun (Hannestad, 2000).

Prevalence of any (n = 6,170) and significant (n = 1,832) incontinence by age group (From

Hannestad, 2000, with permission.) 2. Ras Dulunya wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensisa urin daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita Afrika-Amerika dipercaya berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan perkiraan yang terbaik. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia urin dilaksanakan dalam populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan ras sangat didasarkan pada ukuran sampel yang kecil (Bump, 1993). Dari catatan terkini, belum jelas apakah perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi simptom. Dengan demikian, masih diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi non-Kaukasian.

3. Obesitas Beberapa studi epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan body mass index (BMI) merupakan faktor resiko independen dan signiffikan untuk semua jenis inkontinensia urin (Table 23-1). Bukti menunjukkan bahwa prevalensi urge incontinence dan stress incontinence meningkat berbanding lurus dengan

meningkatnya BMI (Hannestad, 2003). Secara teoritis peningkatan tekanan intraabdominal yang bersamaan dengan pemingkatan BMI menghasilkan tekanan intravesikal yang secara proporsional lebih tinggi. Tekanan yang lebih tinggi ini menimbulkan urethral closing pressure dan menjurus pada inkontinensia (Bai, 2002). Deitel and co-workers (1988) melaporkan adanya penurunan yang signifikan pada prevalensi stress urinary incontinence, dari 61 menjadi 11%, pada wanita obese seiring dengan penurunan berat bdan setelah pembedahan bariatrik. Sesuai dengan itu, jika proporsi populasi yang overweight dan obese lebih besar, diharapkan kita dapat melihat peningkatan prevalensi inkontinensia urin di Amerika Serikat (Flegal, 2002). Table 23-1 Faktor Resiko Inkontinensia Urin Usia Kehamilan Kelahiran

Menopause Histerektomi Obesitas Simptom urinari Gangguan fungsional Gangguan kognitif Tekanan abdominal tinggi yang kronis Batuk kronis Konstipasi Resiko okupasional Merokok

4. Menopause Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya peningkatan disfungsi urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal (Bump, 1998). Sukar untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan. Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder (Iosif, 1981). Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan reduksi vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada gangguan fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure (Carlile, 1988). Lebih jauh lagi, defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan berperan dalam simptom sensoris urinari yang menyertai menopause (Raz, 1993). Estrogen memang berperan penting dalam fungsi urinari normal, namun masih kurang jelas apakah estrogen berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen Replacement) (Fantl, 1994, 1996). 5. Kelahiran dan kehamilan Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi

inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot pelvis (Snooks, 1986). Secara spesifik, level yang lebih tinggi dari latensi motorik

nervus pudendal yang lama setelah melahirkan nampak pada wanita dengan inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis. 6. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko

inkontinensia urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan penyakit pulmoner obstruktif kronis (Brown, 1996; Diokno, 1990). Sama pula pada kebiasaan merokok yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia urin pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat dibanding dengan yang bukan perokok (Bump, 1992). Secara teoritis, kenaikan persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antiestrogenik merokok. 7. Histerektomi Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi merupakan faktor resiko berkembangnya inkontnensia urin. Studi yang menunjukkan hubungan tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan sering semata-mata berdasarkan data subyektif (Bump, 1998). Sebaliknya, Studi yang meliputi tes pre dan post operatif urodinamik mengungkapkan perubahan fungsi bladder yang secara klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung bahwa menghindari histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun menghindari pelaksanaan histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah inkontinensia urin (Vervest, 1998; Wake, 1980).

Patofisiologi 1. Kontinensia Vesika urinaria merupakan organ penyimpan urin dengan kapasitasnya mengakomodasi penambahan volume urin dengan tekanan intravesikal minimal maupun tidak. Kemampuan menjaga penyimpanan urin dan pengosongan volunter tetap baik disebut kontinensia. Kontinensia memerlukan koordinasi komplek banyak komponen yang meliputi kontraksi dan relaksasi otot, dukungan jaringan pengikat yang baik, inervasi terintegrasi serta komunikasi antar struktur tersebut. Ringkasnya, selama pengisian, kontraksi uretra dikoordinasikan dengan relaksasi vesika urinaria sehingga urin tersimpan. Kemudian selama miksi, uretra relaksasi dan vesika urinaria berkontraksi. Mekanisme ini dapat dilawan oleh kontraksi detrusor yang tak

terinhibisi, sehingga tekanan intraabdominal meningkat, dan mengubah berbagai komponen anatomis dari mekanisme kontinensia tersebut di atas. 2. Pengisian vesika urinaria/bladder a) Anatomi Vesika Urinaria Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : lapisan mukosa, submukosa, muskuler dan adventisial. Lapisan mukosa terdiri dari sel epitel transisional, yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume vesika urinaria yang kecil, mukosa berubah bentuk menjadi lipatan convoluted. Mukosa akan terbentang dan menipis saat pengisian. Epitel VU yang disebut dengan uroepithelium, tersusun atas 3 lapisan sel yang berbeda. Yang paling superfisial adalah lapisan sel payung. Lapisan ini impermiabel sehingga berfungsi sebagai barrier primer urin-plasma.

Anatomi VU. A. Sisi Anteroposterior anatomi VU. Inset: Dinding VU terdiri dari mukosa, submukosa, muskuler, dan lapisan adventisial. B. Fotomikrograf dinding VU. Mukosa VU kosong terlempar membentuk lipatan convoluted atau rugae. Susunan pleksiform serabut otot detrusor menyulitkan untuk membedakan ketiga lapisan. C. Bentuk dan posisi VU saat kosong dan saat terisi penuh. (From McKinley, 2006, with permission.) Permukaan kavitas uroepitelium ditutupi oleh lapisan

glikosaminoglikan (GAG). Lapisan ini mencegah perlekatan bakteri dan

kerusakan urotelial dengan bertindak sebagai barrier protektif. Dalam teori digambarkan bahwa lapisan yang terdiri dari polimer karbohidrat ini dapat mengalami defek pada pasien sistitis interstisial. Lapisan muskuler yang disebut juga muskulus detrusor tersusun atas 3 lapisan otot halus yang tersusun dalam bentuk pleksiform. Susunan pleksiform yang unik ini memungkinkan ekspansi multidimensional yang cepat selama pengisian VU dan merupakan komponen kunci dari kemampuan VU ntuk mengakomodasi volume urin yang besar. b) Sfingter Urogenital Saat VU terisi, kontraksi sinkron sfingter urogenital bergabung untuk membentuk suatu kontinensia. Komponen sfingter ini meliputi : (1) sfingter uretra (SU), (2) sfingter uretrovaginal (UVS), and (3) kompressor uretra

(CU). Sfingter uretra merupakan otot lurik dan membungkus melingkari uretra. Sedangkan UVS dan CU merupakan otot lurik yang melengkung ventral diluar uretra dan menyisip ke jaringan fibromuskuler dinding anterior vagina.

Fungsi ketiga otot ini sebagai unit tunggal dan berkontraksi efektif mendekati uretra. Kontraksi ketiga otot ini mengkonstriksikan 2/3 bagian atas uretra secara melingkar dan menekan 1/3 bagian bawah secara lateral. Sfingter

uretra terutama tersusun atas serabut-serabut yang berkedut lambat dan tetap berkontraksi tonis, berperan dalam sisa-sisa proses kontinensia akhir. Sebaliknya, sfingter uretrovaginal dan kompressor uretra tersusun atas serabut-serabut otot yang berkedut cepat, dimana hal ini memungkinkan untuk kontraksi dan penutupan lumen uretra yang cepat dan kuat saat kontinensia dilawan oleh peningkatan tekanan intraabdominal yang mendadak. c) Inervasi yang penting untuk penyimpanan urin Otot lurik sfingter urogenital menerima inervasi motorik melalui nervus pudendus. Serabut saraf somatik ini mengendalikan otot lurik sfingter ini. Dengan demikian, neuropati pudendal yang mungkin menyertai proses kelahiran lama, dapat mempengaruhi fungsi normal muskulus ini. Sebagai tambahan, riwayat pembedahan pelvis atau radioterapi pelvis dapat merusa nervus, vaskularisasi dan jaringan lunak. Hal ini dapat menjurus pada aksi fingter urogenital yang tidak efektif dan menimbulkan inkontinensia.

Saat VU terisi, sinyal aferen sensoris dibwa melalui nervus hipogastrikus dan pelvis ke medulla spinalis, dimana mereka akan relay ke pusat mikturisi pontin via traktus spinotalamikus lateralis dan kolumna dorsalis. Stimulasi simpatis yang dibawa melalui nervus hipogastrikus menjaga aktivitas sfingter uretra yang didasarkan pada otot polos dan membantu relaksasi detrusor yang mendukung penyimpanan urin. Bersamaan dengan itu, sinyal eferen somatik ke otot lurik dasar pelvis ditransfer melalui nervus pudendus, selanjutnya akan menimbulkan aktivitas sfingter uretra volunter dan augmentasi resistensi uretra yang cepat sebagai respon terhadap peningkatan VU yang mendadak. Saat sinyal aferen meningkatkan intensitas pengisian VU, ambang kesadaran tercapai pada poin yangmana dicari peluang pengosongan yang sesuai secara. Pada poin tersebut, sinyal dari pusat

mikturisi pontin ke medulla sakral lewat melalui traktur retikulospinal dan kortikospinal. Rangsangan kolinergik parasimpatik detrusor dan refleks relaksasi oto lurik dasar pelvis menyertainya dan timbullah urinasi. Segi aksi agen farakologis ditunjukkan dengan lingkaran.(From Sourander, 1990, with permission.) Serabut simpatik dibawa melalui pleksus nervus hipogastrik dan berhubungan dengan reseptor dan didalam VU dan uretra. Rangsangan reseptor -adrenergik di fundus VU menghasilkan relaksasi otot polos dan membantu penyimpanan urin. Sebaliknya, reseptor 1 terutama terletak di dasar VU dan uretra. Reseptor adrenergik dirangsang oleh norepinefrin, yang menimbulkan cascade peristiwa yang khusus mengarah pada kontraksi uretra dan membantu penyimpanan urin serta kontinensia. Pengaruh stimulasi alfa ini mendasari penatalaksanaan SUI dengan menggunakan imipramine, yaitu sebuah antidepresan trisiklik dengan sifat agonis adrenergiknya (medikasi). d) Koaptasio Uretra Satu kebutuhan kunci dalam menjaga kontinensia adalah koaptasio mukosa uretra yang adekuat. Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, uroepitelium didukung oleh lapisan jaringan ikat yang membentuk plika atau lipatan yang dalam. Jaringan yang kaya kapilarisasi berjalan didalam lapisan subepitelial ini. Jaringan vaskuler ini membantu aproksimasi mukosa uretra yang disebut sebagai koaptasio (coaptation), dengan bertindak seperti inflatable cushion. Pada wanita yang hipoestrogenik, pleksus vaskulatur submukosa ini kurang prominen. Sehingga pada hormone replacement

menargetkan pengurangan vaskularisasi dan memperkuat koaptasi untuk memperbaiki kontinensia.

Gambar anatomi uretra. Sebagian koaptasi uretra dhasilkan oleh pengisian pleksus subepitelial yang kaya vaskularisasi. Uretra tersusun atas lapisan otot halus yang berbeda dengan sfngter lurik urogenital (tidak diilustrasikan). (diambil dari Craig, 1995.) 3. Pengosongan VU a) Inervasi yang berkaitan dengan pengosongan Saat tiba waktu pengosongan VU yang tepat, rangsangan simpatis berkurang dan rangsangan parasimpatis terpicu. Secara spesifik, impuls neural yang dibawa saraf-saraf pelvis, merangsang pelepasan asetilkolin dan menimbulkan kontraksi muskulus detrusor. Bersamaan dengan stimulasi detrusor, asetilkolin merangsang reseptor di uretra dan mengakibatkan relaksasi outlet untuk pengosongan.

Di dalam sistem parasimpatis, reseptor asetilkolin secara luas didefinisikan sebagai muskarinik dan nikotinik. VU dipadati oleh reseptor muskarinik. Dari reseptor-reseptor muskarinik, 5 glikoprotein yang menyusun M1 sampai M5 telah teridentifikasi. Subtipe reseptor M2 dan M3 diketahui sangat berperan dalam kontraksi otot polos detrusor. Sehingga terapi dengan medikasi antagonis muskarinik dapat melemahkan kontraksi detrusor

sehingga dapat memperbaiki kontinensia. Lebih spesifik lagi, obat-obat kontinensia yang hanya menargetkan reseptor M3, dapat memaksimalkan efikasi obat namun meminimalkan aktivasi reseptor muskarinik yang lain dan efek samping obat. b) Aktivitas Muskuler dengan Pengosongan Sel-sel otot polos di dalam detrusor bergabung satu dengan yang lainnya sehingga terdapat jalur elektris beresistensi rendah dari satu sel otot ke otot selanjutnya. Dengan demikian potensial aksi dapat menyebar cepat melalui muskulus detrusor dan selanjutnya menimbulkan kontraksi cepat keseluruh VU. Sebagai tambahan, susunan pleksiform serabut-serabut detrusor VU memungkinkan kontraksi multidireksional dan sangat ideal untuk kontraksi konsentris yang cepat selama pengosongan VU. Selama pengosongan, seluruh komponen sfingter lurik urogenital berelaksasi. Penting diketahui bahwa kontraksi VU dan relaksasi sfingter harus terkoordinasi baik supaya pengosongan efektif. Terkadang kontraksi tonis VU dan relaksasi sfingter tidak sinkron (disinkronisasi) dengan relaksasi uretra. Dengan adanya disinergia sfingter, uretra gagal berelaksasi selama kontraksi detrusor dan terjadilah retensi. Wanita dengan keadaan seperti ini kadang diterapi dengan agen farmakologis seperti muscle relaxants. Obat ini konon merelaksasi sfingter uretra dan muskulus levator ani sehingga pengosongan dapat terkoordinasi lebih baik. 4. Teori kontinensia Ada banyak teori kontinensia dan melibatkan konsep yang berhubungan dengan transmisi tekanan, support anatomis, dan integritas uretra. Tiap teori memiliki bukti ilmiah pendukung yang berbeda-beda. Namun saat ini teori-teori tersebut mendasari terapi uroginekologis saat ini. Sulit untuk mengurai mekanisme yang ada di balik inkontinensia, sehingga separasi etiologi artifisial bisa sedikit berguna untuk

praktisi umum. Dengan demikian, secara sederhana kontinensia dapat dikonsepkan dalam segi support dan integritas uretra. 5. Transmisi Tekanan Dalam traktus urogenital yang tersupport ideal, peningkatan tekanan intraabdominal ditransmisikan sama ke VU, dasar VU, dan uretra. Pada wanita yang kontinensia, peningkatan tekanan yang mengarah ke bawah seperti misalnya dari batuk, tertawa, bersin dan manuver valsava ditahan oleh tonus jaringan pendukung dari muskulus levator ani dan jaringan ikat vagina. Pada orang yang memiliki backboard suportif yang lemah, kekuatan yang menekan ke bawah tersebut tidak tertahan. Hal ini akan menjurus pada peristiwa patent urethra, penyaluran ke urethrovesical junction, dan selanjutnya kebocoran urin (urine leakage). Teori mekanistik ini merupakan dasar untuk surgical re-establishment. Prosedur seperti Burch colposuspension digunakan untuk menciptakan kembali tahanan tersebut.

Gambar di atas mendeskripsikan teori transmisi tekanan. Pada wanita normal, peningkatan tekanan intraabdominal didistribusikan merata ke sisi kontralateral VU dan uretra. Namun pada wanita yang jaringan penahannya lemah, peningkatan tekanan intraabdominal ini mengubah sudut uretrovesikal, dan selanjutnya kontinensia terganggu. 6. Urethral Support Urethral support terintergrasi dalam kontinensia. Support ini berasal dari : (1) ligamentum sepanjang sisi lateral uretra; (2) vagina dan kondensasi fasial lateralnya; (3) arcus tendinous fascia pelvis; and (4) muskulus levator ani. Dengan hilangnya

uretral support, maka kemampuan uretra untuk menutup melawan a firm supportive backboard suportif yang kuat akan menurun. Ini akan mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan dalam menahan tekanan bladder yang meningkat, sehingga kontinensia terganggu. a) Restorasi Urethral Support Terapi untuk memperbaiki urethral support meliputi latihan otot dasar panggul (Kegel exercises) dan penggunaan pesarium vaginal (latihan penguatan dasar panggul). Prosedur urethropexy seperti Burch and MarshallMarchetti-Kranz (MMK) colposuspensions berperan dalam membangun kembali support anatomis urethrovesical junction dan tersebut. b) Integritas Uretra 1. Faktor yang mempengaruhi integritas Uretra memelihara kontinensia melalui kombinasi koaptasio mukosa uretra, kaakter viskoelastis epitel uretra, pleksus vaskuler uretra yang mendasar, serta kontraksi yang baik dari muskulus sekitarnya. Defek salah satu komponen ini akan mengarah pada kebocoran urin. Sebagai contoh, riwayat tindakan surgikal regio suprapubis dapat menyebabkan denervasi dan pembentukan jaringan parut pada uretra dan jaringan pendukungnya. Pengaruh ini selanjutnya akan menghambat penutupan uretra dan menjurus ke arah inkontinensia. Keadaan uretra yang seperti ini disebut sebagai defek sfingter intrinsik (DSI). DSI biasa diistilahkan sebagai "lead pipe" urethra. Pada DSI sering ditemukan denervasi dan atau devaskularisasi. Ada banyak macam kausa spesifik, meliputi : pembedahan rekonstruktif pelvis sebelumnya, radioterapi pelvis, hipoestrogenisme, neuropati diabetik dan penyakit degeneratif neuronal. Pada wanita dengan atrofi traktus genital bawah, perubahan vaskuler di dalam pleksus yang mengelilingi uretra, memiliki koaptasio yang jelek dan resiko inkontinensia yang lebih besar. Karena itu terapi replacement estrogen ditujukan pada sistem vaskuler ini dan sering berhasil dalam meningkatkan koaptasio mukosa dan memperbaiki inkontinensia. urethra proksimal

Trauma yang berhubungan dengan proses kelahiran dapat mengubah inervasi traktus urinarius bagian bawah hingga dapat mengakibatkan inkontinensia yang potensial persisten dan segera. Pada situasi ini, disfungsi syaraf yang menyertai trauma lahir menjurus pada fungsi sfingter defektif. Sebagai tambahan, proses melahirkan biasanya juga melukai fascial support ke uretra. Contoh klinis ini menunjukkan hubungan yang mendalam antara urethral support dengan integritas uretra. 2. Restorasi integritas uretra Terapi yang diarahkan pada restorasi integritas uretra meliputi injeksi bulking agent transuretral, prosedur surgical sling, dan penguatan otot dasar pelvis. Bulking agent seperti misalnya kolagen, diberikan di bawah muskularis uretra urethrovesical junction untuk meningkatkan epitel dan mendukung koaptasio. Alternatifnya bisa dilaksanakan prosedur pubovaginal sling pada keadaan obstruktif parsial untuk memperkuat integritas uretra. Yang terakhir, karena uretra keluar melalui hiatus urogenital, melatih muskulus levator ani dengan latihan otot dasar panggul dapat menyokong integritas uretra. Otot otot ini dapat berkontraksi di sekitar uretra saat kontinensia dilawan oleh peningkatan tekanan intra abdominal yang mendadak.

Simptom Urinaria 1. Frekuensi urinasi Sebagian besar wanita buang air kecil kurang lebih 8 kali sehari. Tanpa adanya riwayat peningkatan intake cairan, peningkatan frekuensi buang air kecil dapat mengindikasikan adanya inkontinensia, infeksi traktus urinarius, patologis uretram kalkulus, dan sebaiknya dilakukan evaluasi tambahan. Peningkatan frekuensi Bak juga berkaitan dengan sistitis interstisial. Pada sistitis interstisial, frekuensi Bak dapat meningkat hingga 20 x per hari. Pada wanita dengan urge incontinence ataupun gangguan manajemen cairan sistemik, seperti gagal jantung kongestif, dapat

ditemukan nokturia. Pada kasus yang terakhir ini, terapi keadaan yang mendasarinya dapat mengarah pada perbaikan gejala atau penyembuhan. 2. Retensi Urin

Penting mengetahui bahwa pasien mengosongkn kandung kemihnya dengan adekuat. Pengosongan inkomplit sering mengakibatkan inkontinensia yang berhubungan baik dengan stress maupun urgensi. Istilah overflow incontinence telah lama tak digunakan. 3. Simptom urinari lainnya Volume urin yang hilang tiap episodenya juga memberikan petunjuk diagnostik penting. Hilangnya volume urin yang besar khas menyertai kontraksi detrusor spontan yang berhubungan dengan UUI dan sering terkait dengan hilangnya seluruh volume bladder/VU. Sebaliknya pada SUI, volume urin yang hilang berjumlah sedikit. Terlebih lagi pada wanita yang dapat mengontraksikan muskulus levator aninya dapat menghentikan aliran urinnya untuk sementara waktu. Penetesan urin setelah pengosongan, khas berhubungan dengan divertikulum uretra yang sering dimisdiagnosiskan dengan inkontinensia. Hematuria yang merupakan tanda yang biasa muncul pada infeksi saluran kemih (ISK), juga dapat mengindikasikan adanya malignansi dan dapat menyebabkan simptom pengosongan iritatif. Onset simptom juga memberikan informasi mengenao etiologi dan penatalaksanaannya. Misalnya, onset simptom dengan menopause dapat mengarahkan pada keadaaan hipoestrogenik yang mendasari inkontinensia. Pasien ini dapat diterapi dengan estrogen replacement. Sebaliknya, simptom post histerektomi atau post partum mungkin dapat mencerminkan adanya perubahan jaringan pendukung atau inervasinya.

Riwayat Penyakit Dahulu Untuk deskripsi simptom urinaria yang lebih spesifik dan mendetail, faktor medis lain dapat berhubungan dengan inkontinensia. Trauma obstetrik dapat berhubungan dengan

kerusakan dasar panggul, yang mengarah pada SUI. Karenanya sangat diperlukan informasi penting mengenai proses kelahiran yang lama, makrosomia, kelahiran operatif per vaginam, kateterisasi postpartum untuk retensi urin, dan paritas yang tinggi. Radioterapi malignansi sebelumnya juga dapat menyebabkan gejala pengosongan iritatif atau defisiensi sfingter inttrinsik, yang merupakan faktor predisposisi SUI. Jadi, interferensi medis yang mendetail harus diketahui. Tabel di bawah menunjukkan obat-obatan yang dapat menyebabkan inkontinensia, di antaranya : estrogen, agonis -adrenergik, dan diuretik.

Table 23-4 Medications that May Contribute to Incontinence Medication Alcohol Examples Beer, wine, hard liquor Mechanism Diuretic effect, sedation, immobility IUS contraction Effect Polyuria, frequency Urinary retention

Decongestants, diet pills -adrenergic agonists -adrenergic blockers Anticholinergic agents Prazosin, terazosin, doxazosin

IUS relaxation

Urinary leakage

Inhibit bladder contraction, sedation, fecal impaction Diphenhydramine, scopolamine, dimenhydrinate Thioridazine, chlorpromazine, haloperidol Trihexyphenidyl, benztropine mesylate Dicyclomine, disopyramide Orphenadrine, cyclobenzaprine Amitriptyline, imipramine, nortriptyline, doxepin Chronic cough

Urinary retention and/or functional incontinence

Antihistamines

Antipsychotics

Antiparkinsonians Miscellaneous Skeletal muscle relaxants Tricyclic antidepressants

Angiotensin-converting Enalapril, captopril, lisinopril, losartan enzyme (ACE) inhibitors Calcium-channel blockers Cyclooxygenase-2 selective NSAIDs Diuretics Nifedipine, nicardipine, isradipine, felodipine Celecoxib Caffeine, HCTZ, furosemide, bumetanide, acetazolamide, spironolactone Opiates

Urinary leakage

Relaxes bladder, fluid retention Fluid retention Increases urinary frequency, urgency Relaxes bladder, fecal impaction, sedation

Urinary retention, nocturnal diuresis Nocturnal diuresis Polyuria

Narcotic analgesics

Urinary retention, and/or functional incontinence

Thiazolidinediones

Rosiglitazone, pioglitazone, troglitazone

Fluid retention

Nocturnal diuresis

HCTZ = hydrochlorothiazide; IUS = internal urethral sphincter; NSAID = nonsteroidal antiinflammatory drug. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Umum dan Evaluasi Neurologis Awalnya, perineum diinspeksi ada tidaknya atrofi, yang dapat diperhatikan dari traktus genital bagian bawah. Sebagai tambahan, penggelembungan sub-uretra (suburethral bulging) mungkinmengindikasikan adanya divertikulum dan sebaiknya dieksklusikan selama inspeksi. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh pada wanita inkontinensia juga harus meliputi evaluasi neurologi perineum yang menyeluruh. Karena respon neurologis bisa berubah pada pasien dengan gangguan kecemasan saat keadaan tertentu, tanda-tanda klinis yang menghilang selama pemeriksaan tidak menunjukkan patologi sebenarnya, jadi sebaiknya diintepretasikan dengan hati-hati. Evaluasi neurologis dimulai denan upaya menghilangkan refleks bulbokavernosus. Selama tes ini, salah satu labium mayor digores cotton swab. Normalnya, kedua labia akan sama-sama berkontraksi bilateral. Komponen aferen refleks ini adalah nervus pudendus cabang klitoris, dimana komponen eferennya dibungkan melalui nervus pudendus cabang hemoroidal. Refleks ini diintegrasikan pada medulla spinalis setinggi S2 sampai S4 (Wester, 2003). Sehingga ketiadaan refleks ini dapat merefleksikan adanya defisit neurologis sentral maupun perifer. Yang kedua, kontraksi sfingter anal yang normal melingkar, biasa disebut sebagai "anal wink", harus mengikuti penggoresan cotton swab pada kulit perianal. brushing of the perianal skin. Aktivitas sfingter uretra eksternal membutuhkan paling sedikit inervasi setinggi S2 sampai S4 yang intak, dan refleks anokutaneus ini dimediasi oleh tingkat neurologis spinal yang sama. Dengan demikian, tidak adanya anal wink dapat mengindikasikan adanya defisit neurologis pada distribusi neurologis ini. 2. Penilaian Support Pelvis a) Evaluasi Prolaps Organ Pelvis Urethral support yang melemah biasanya disertai dengan prolaps organ pelvis (POP). Contohnya, wanita dengan prolaps yang signifikan biasanya tidak mampu

mengosongkan bladderya dengan sempurna karena obstruksi maupun lipatan (kinking) uretra. Mereka harus menaikkan atau mengurangi prolapsnya dengan jari untuk mengosongkan bladdernya. Sehingga evaluasi eksternal POP diindikasikan untuk wanita dengan inkontinensia. Selain mengevaluasi defek kompartemen vaginal, evaluasi kekuatan otot pelvis juga harus dilaksanakan. Wanita dengan inkontinensia ringan sampai moderat sering merespon dterapi dasar panggul dengan baik dan dalam keadaan ini, trial terapi ini dijamin baik dan sering kuratif. b) Q-Tip Test Jika uretra tersupport lemah, maka selama peningkatan tekanan intraabdominal, uretra akan mengalami hipermobilitas. Untuk menilai

mobilitasnya, letakkan ujung lembut cotton swab masuk ke uretra sampai pada urethrovesical junction. Kegagalan memasukkan ujung cotton swab ke dalam urethrovesical junction menandakan adanya permasalahan pada jaringan

pendukung. Ketidaknyamanan dari Q-tip test ini dapat dikurangi dengan analgesia intrauretra. Biasanya, 1% jeli lidokain ditambahkan pada cotton swab sebelum disisipkan ke dalam uretra. Berikutnya, dilakukan manuver valsava. Penyimpangan sudut swab sebelum dan sesudah manuver valsava diukur dengan goniometer atau standard protractor. Penyimpangan sudut swab sebelum dan sesudah manuver valsava lebih besar daripada 30 di atas horisontal, mengindikasikan adanya hipermobilitas uretra dan hal ini dapat membantu mengarahkan perencanaan terapi surgikal untuk menangani stress incontinence. FIGURE 23-8

Drawing depicting Q-tip test in a patient with urethral hypermobility. A. Angle of the Q-tip at rest. B. Angle of the Q-tip with Valsalva maneuver or other increases in intra-abdominal pressure. The urethrovesical junction descends, causing upward deflection of the Q-tip. (From Tarnay, 2007, with permission.)

c) Pemeriksaan Rektovaginal dan Bimanual Pada umumnya, pmeriksaan pelvis memberikan sedikit petunjuk diagnostik mengenai penyebab yang mendasari trerjadi inkontinensia. Pemeriksaan bimanual dapat mengungkapkan massa pelvis atau uterus yang membesar karena leiomioma atau adenomiosis. Hal ini mengakibatkan inkontinensia melalui peningkatan tekanan eksternal yang ditransmisikan ke VU. Sebagai tambahan, impaksi faeces yang biasa terjadi pada pasien yang dirawat di rumah (nursing home) dapat mengarah pada urgensi bladder dan akhirnya terjadi inkontinensia urin. Uji Diagnostik 1. Urinalisis dan Kultur Semua wanita inkontinensia sebaiknya diteliti apakah ada infeksi maupun patologi traktus urinariusnya pada kunjungan awal. Atasi infeksi dengan pengobatan

yang sesuai jika ada, dan jika terdapat simptom yang persisten, perlu evaluasi tambahan lebih lanjut. 2. Residual Post Pengosongan (PVR) Volume ini rutin diukur selama evaluasi inkontinensia. Setelah miksi, residu post pengosongan atau biasa disebut PVR (postvoid residual) diukur dengan handheld sonographic scanner atau dengan kateterisasi transuretral. Jika menggunakan hand-held scanner, perhatikan wanita dengan uterus leiomiomatous yang membesar karena ini akan salah merekam PVR yang besar. Pada contoh kasus ini, atau pada kasus tidak adanya scanner, maka gunakan kateterisasi transuretral untuk mengonfirmasi volume residual bladder. PVR yang besar bisa menunjukkan salah satu dari beberapa masalah berikut ini : infeksi rekuren, obstruksi uretra oleh massa pelvis, atau defisit neurologis. Sebaliknya, PVR yang normalnya sedikit sering ditemukan pada SUI. PVR Postoperatif Setelah tindakan pembedahan anti-inkontinensia, pengukuran PVR merupakan indikator yang membantu menilai kemampuan pasien dalam mengosongkan blaaddernya dengan sempurna. Evaluasi ini dapat dilengkapi dengan trial pengosongan aktif maupun pasif. Dengan trial pengosongan pasif, kateter urin dilepas, dan PVR diukur dengan scanner atau dengan kateterisasi transurethral tiap setelah pengosongan volunter dalam 2 kesempatan. Volume pengosongan minimal 300 mL dan yang ditargetkan adalah PVR kurang dari 100 mL. Namun pengosongan bladder dianggap normal jika PVR kurang dari 1/3 volume pengosongan. Jika pasien tdak memenuhi kriteria tersebut, atau ia tak mampu memngosongkan bladder dalam waktu 4-6 jam semenjak pelepasan kateter, selanjutnya pasang kateter lagi dan tes dilakukan sehari kemudian atau lebih. Selama trial pengosongan aktif, bladder secara aktif diisi dengan set volume, dan diikuti pengosongan bladder oleh pasien, volume residual urin bladder kemudian dihitung. Awalnya bladder dikosongkan seluruhnya dengan kateterisasi. Berdiri tegak lurus selama kateterisasi dapat membantu membersihkan sebagian besar porsi dependen bladder. Air steril diinfuskan di bawah gravitas ke bladder

melalui kateter yang sama sampai kira-kira 300 mL atau sampai tercapai kapasitas maksimum subyektif. Pasien kemudian dinminta untuk mengosongkan spontan ke alat penampung urin. Perbedaan antara volume yang diinfuskan dengan volume yang dikeluarkan dicatat postvoid residual (PVR). Residu kurang dari 100 mL atau 1/3 volume yang dimasukkan, jika kurang dari 300 ml yang diinfuskan, mengindikasikan pengosongan bladder adekuat. 3. Sistometrik Koreksi surgikal bersifat invasif dan beresiko. Terlebih lagi bladder merupakan bukti yang kurang dapat diandalkan dan informasi riwayat penyakit tidak selalu tepat mengindikasiskan tipe inkontinensia yang mendasari (Blaivas, 1996). Sehingga jika terapi konservatif tidak berhasil atau tindakan surgikal diantisipasikan, maka harus didapatkan penilaian yang lebih obyektif. Sebagai tambahan, jika simptom dan penemuan fisik yang didapatkan ternyata kurang sesuai, maka dapat diindikasikan studi urodinamik obyektif (UDS) berupa evaluasi sistometrik. Contohnya, bila ada seorang wanita dengan inkontinensia urin campuran yang memiliki kedua gejalanya baik gejala SUI maupun UUI, UDS dapat menunjukkan bahwa hanya komponen UUI yang berperan dalam inkontinensia tersebut. Dalam hal ini, inkontinensia dapat diterapi dulu dengan terapi fisik, behavioral dan atau farmakologis. Jadi dengan UDS, tindakan surgikal dapat dihindari. Terapi surgikal dapat dirubah jika UDS menunjukkan parameter yang konsisten dengan defek sfingter intrinsik. Meskipun ada indikasi UDS tersebut di atas, namun UDS masih kontroversial. Kebocoran yang nampak pada saat tes tidak selalu relevan dengan klinisnya. Sebaliknya, tes tersebut bisa saja tidak informatif jika offending maneuver atau situasi yang menjurus pada keadaan inkontinensia sebenarnya tidak bisa dibuat saat evaluasi. Terlebih lagi, konfirmasi obyektif diagnosis tidak selalu diperlukan karena terapi empiris pada wanita dengan simtop predominan UUI bersifat reasonable. Sistometrik Sederhana (simple cystometric) Pengukuran obyektif fungsi bladder dalam serangkaian tes disebut sistometrik. Sistometrik ada yang sederhana maupun multichannel dan memiliki sensitivitas yang berbeda.

Sistometrik sederhana membedakan stress incontinence dengan overaktivitas detrusor, seperti halnya pada pengukuran sensasi pertama, keinginan untuk mengosongkan, dan kapasitas bladder. Prosedur ini mudah dilakukan dengan air steril, 60-mL catheter-tipped syringe, dan kateter urin, serta bladder dikosongkan terlebih dahulu. Syringe 60 ml dipasang pada kateter, kemudian isi dengan air steril. Air ditambahkan sampai seorang wanita: (1) sensasi pengisian bladder, (2) perasaan ingin segera mengosongkan, dan (3) kapasitas maksimum bladder tercapai. Volume air dicatat di tiap 3 point tersebut. Perubahan meniskus cairan di dalam syringe dimonitor. Elevasi meniskus apapun mengindikasikan kontraksi bladder dan menegakkan diagnosis overaktivitas detrusor. Ketika kapasitas bladder tercapai, kateter dilepas, dan wanita tersebut diminta melaksanakan manuver valsava atau batuk sambil berdiri. Adanya kebocoran urin mengindikasikan adanya SUI. Sistometrik sederhana memiliki beberapa keuntungan, diantaranya : mudah dilaksanakan, tidak memerlukan alat mahal, dan dapat dilaksanakan oleh sebagian besar ginekologis. Satu keterbatasan tes sistometrik sederhana adalah tidak bisa merefleksikan perubahan yang didapatkan pada pasien dengan defisisensi sfingter intrinsik (DSI). Sistometrik multichannel Seperti yang telah disebutkan, DSI tidak teridentifikasi dengan sistometrik sederhana. Determinasi ini penting, karena diagnosis ini potensial menghindarkan pilihan surgikal tertentu. Sistometrik

multichannel memberikan lebih banyak informasi mengenai parameter fisiologis bladder, yang tidak dapat diketahui melalui sistometrik sederhana. Sistometrik multichannel lebih banyak dilaksanakan oleh

uroginekologis atau urologis karena availabilitas alat terbatas dan biaya yang mahal. Tes dilaksanakan dengan meminta pasien berdiri atau duduk tegak lurus pada kursi evaluasi urodinamik khusus. Tes ini menggunakan 2 kateter. Satu kateter dipasang ke bladder dan yang satunya lagi ke vagina atau rektum (jika terdapat prolaps yang nyata karena faeces yang

mengobstruksi sensor kateter, maka lebih baik dipasang ke vagina untuk menghindari pembacaan yang tidak akurat). Selain itu, pemasangan di vagina dirasa lebih nyaman pada sebagian besar wanita. Di tiap kateter akan diperoleh atau dihitung : (1) tekanan intraabdominal, (2) tekanan vesikuler, (3) tekanan detrusor terhitung (calculated detrusor pressure), (4) volume bladder, dan (5) tingkat aliran infus salin. Dari pembacaan kateter ini, dapat diperoleh informasi mengenai bladder, intra-abdominal, dan tekanan detrusor. Tabel di bawah menunjukkan perbedaan bentuk inkontinensia. FIGURE 23-9

Interpretation of multichannel urodynamic evaluation: cystometrogram. A catheter is placed in the bladder to determine the pressure generated within it (Pves). The pressure in the bladder is produced from a combination of the pressure from the abdominal cavity and the

pressure generated by the detrusor muscle of the bladder.Bladder pressure (Pves) = Pressure in abdominal cavity (Pabd) + Detrusor pressure (Pdet). A second catheter is placed in the vagina (or rectum if advanced stage prolapse is present) to determine the pressure in the abdominal cavity (Pabd). As room temperature water is instilled into the bladder, the patient is asked to cough every 50 mL and the external urethral meatus is observed for leakage of urine around the catheter. The volume at first desire to void and the bladder capacity is recorded. Additionally, the detrusor pressure (Pdet) channel is observed for positive deflections to determine if there is detrusor activity during testing. The detrusor pressure (Pdet) cannot be measured directly by any of the catheters. However, from the first equation, we can calculate the detrusor pressure (Pdet) by subtracting the bladder pressure from the abdominal pressure (Pabd): Detrusor pressure (Pdet) = Bladder pressure (Pves) Pressure in abdominal cavity (Pabd) I. Urodynamic Stress Incontinence (USI) Urodynamic stress incontinence is diagnosed when urethral leakage is seen with increased abdominal pressure, in the ABSENCE of detrusor pressure. a. +USI (Column 1): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough. This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The calculated detrusor pressure is zero. Leakage is observed and diagnosis of USI is assigned. b. No USI (Column 2): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough. This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The calculated detrusor pressure is zero. Leakage is NOT observed. The patient is NOT diagnosed as having USI. II. Detrusor Overactivity (DO) Detrusor overactivity is diagnosed when the patient has involuntary detrusor contractions during testing with or without leakage. a. +DO (Column 3): Although no abdominal pressure is observed, a vesicular pressure is noted. A calculated detrusor pressure is recorded and noted to be present. A diagnosis of DO is made regardless of whether leakage is seen or not. b. +DO (Column 4): In this example, an abdominal pressure is observed as well as a vesicular pressure is noted. Using only the Pabd and the Pves channels, it is difficult to tell whether or not the detrusor muscle contributed to the pressure generated in the bladder. On subtraction, a calculated detrusor pressure is recorded. Thus, a diagnosis of DO is made, again regardless of whether leakage is seen or not. In addition to these channels, occasionally a channel to detect electromyographic activity is used. Flow rate = rate of fluid infusion (usually 100 mL/min); Pabd = pressure in abdominal cavity; Pdet = detrusor pressure (calculated); Pves = bladder pressure; Vol = volume of fluid instilled in the bladder. 4. Uroflowmetry

Awalnya, pasien diminta mengosongkan bladdernya ke sebuah commode yang dihubungkan ke flowmeter (uroflow-metry). Setelah tingkat aliran maksimal terekam, pasien dikateterisasi untuk diukur PVR-nya dan untuk meyakinkan pengosongan bladder sebelum dilakukan tes lebih lanjut. Tes ini memberikan informasi mengenai kemampuan seorang wanita mengosongkan bladdernya. Tes ini dapat

mengidentifikasi wanita dnegan retensi urin dan jenis disfungsi pengosongan lainnya. 5. Sistometrografi Mengikuti uroflowmetry, sistometrografi dilakukan untuk menentukan apakah seorang wanita memiliki bukti urodinamik SUI yang nyata atau overaktivitas detrusor (OD). Penatalaksanaan Stress Urinary Incontinence (SUI) Medikasi Terapi farmasi berpengaruh kecil terhadap Sui. Namun pada inkontinensia urin campuran (MUI), dapat digunakan imipramin karena dapat membantu kontraksi uretra. Obat ini memiliki efek anti depresan dan uretra mengandung banyak reseptor imipramin. Berikut adalah dosis tabelnya: Table 23-5 Pharmacologic Treatment of Overactive Bladder Drug Name Oxybutynin (short-acting) Oxybutynin (long-acting) Oxybutynin (transdermal) Tolterodine (short-acting) Tolterodine (long-acting) Trospium chloride Darifenacin Brand Name Drug Type Dosage 2.55 mg PO tid 530 mg PO once daily Available Doses 5-mg tablet, 5mg/mL syrup 5-, 10-, 15-mg tablet

Ditropan Antimuscarinic

Ditropan See above XL Oxytrol See above

3.9 mg/d; patch 36-mg patch changed twice weekly 12 mg PO bid 1-, 2-mg tablet 24 mg PO once daily 20 mg PO bid 7.515 mg PO daily 2-, 4-mg capsule 20-mg tablet 7.5-, 15-mg tablet

Detrol Detrol LA

M3-selective antimuscarinic See above

Sanctura Antimuscarinic quaternary amine Enablex M3-selective antimuscarinic

Solifenacin Imipramine hydrochloride

Vesicare M3-selective antimuscarinic Tofranil Tricyclic antidepressant, anticholinergic, adrenergic, antihistamine

510 mg PO once daily 1025 mg PO qdqid

5-, 10-mg tablets 10-, 25-, 50mg tablets

bid = twice daily; PO = orally; qd = daily; qid = four times daily; tid = three times daily.

Saat ini duloxetine (inhibitor reuptake norepinefrin dan serotonin selektif telah dievaluasi untuk terapi SUI. Pada binatang percobaan, agonis serotonergik menekan aktivitas simpatis dan memperkuat aktivitas somatik dan parasimpatis. Efek tambahannya mendukung penyimpanan urin dengan relaksasi VU dan memperkuat resistesi outlet. Meskipun masih dalam penyelidikan, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) ini dapat memperbaiki gejala SUI yang ada (Norton, 2002; Dmochowski, 2003a; Millard, 2004). Lebih jauh lagi Ghoneim an tim studinya menemukan bahwa kombinasi duloxetine dan PFMT lebih efektif daripada jika digunakan sendiri-sendiri. Dulu phenylpropanolamine (PPA) igunakan untuk terapi SUI. Namun pada tahun 2005, FDA menggolongkannya ke kategori II dan dianggap tidak aman dan efektif (U.S. Food and Drug Administration, 2005). Lebih tepatnya keputusan FDA bdibenarkan dengan adanya peningkatan kejadian stroke hemoragik pada wanita yang mengonsumsi obat ini. Pesarium dan Urethral Inserts FIGURE 23-10

A. Urethral insert used for continence. (Courtesy of Rochester Medical.) The device consists of a short silicone tube that is covered by a mineral oilcontaining sheath. The proximal end of the conformable sheath expands to a bulbous tip. At the device's distal end, a soft flange prevents migration of the entire tube into the bladder. B. For insertion, an applicator is used to aid placement. With insertion, mineral oil within the sheath is evenly distributed along its length, and the bulbous tip is collapsed. When properly placed, the tip enters the bladder and the mineral oil preferentially flows to the device's bulbous tip. The applicator is then removed. As a result, the bulbous tip occludes the urethra to improve continence. When voiding is desired, the flange is grasped and the entire single-use device is gently removed. (Redrawn from Sirls, 2002, with permission.)

FIGURE 23-11

Photograph of Monarc Subfascial Hammocktrocars. (Courtesy of American Medical Systems.) Dua jenis utama prosedur TOT dibedakan dengan apakah penempatan benang dimulai di dalam vagina dan mengarah keluar, diistilahkan dengan pendekatan in-to-out, atau alternatifnya mulai dari luar dan mengarah ke dalam, disebut pendekatan out-to-in. Awalnya, prosedur ini dikembangkan dari pendekatan out-to-in. Namun pendekatan ini memiliki potensial komplikasi berupa luka di uretra dan bladder. Contohnya,pada sebuah studi retrospektif, Abdel-Fattah et al(2006) membandingkan kedua pendekatan ini. Luka traktus urinarius bawah ke bladder atau ureter terkomplikasi 1% dari hampir 400 prosedur dan semuanya menyertai metode yang out to in. Akibatnya, pendekatan in to out dibuat dan dipasarkan dengan pernyataan adanya penurunan tingkat luka traktus urinarius bawah. Namun tehnik in-to-out, ujung trokar lebih dekat ke bundle neurovaskuler obturatorius daripada yang dengan metode out-to-in (Achtari, 2006; Zahn, 2007). Jadi meskipun masing-masing metode punya keuntungan secara teoretis, namun kemungkinan luka belum sepenuhnya dapat dihindari.

Meskipun pendekatan transobturator menawarkan tehnik pembedahan 1 hari efektif dengan tingkat injuri bladder yang rendah, namun beberapa studi retrospektif telah menunjukkan bahwa metode tersebut punya keefektifan yang terbatas untuk pasien yang memenuhi kriteria urodinamik untuk defisisensi sfingter intrinsik (Miller, 2006; O'Connor, 2006). Inovasi Baru Modifikasi prosedur TVT nampaknya dapat memberikan tingkat keamanan yang baik. Dengan tehnik baru ini, benang sintetik polipropilene 3-4 strip dipakai secara langsung di bawah mid-uretra melalui incisi kecil pada vagina. Benang tidak dijahitkan pada ruang retropubik sehingga luka vaskuler pada daerah ini dapat dihindari. Belum ada data mengenai keefektifan dan keamanan tehnik ini. Luka traktus urinarius bagian bawah juga belum sepenuhnya bisa dihindari dengan tehnik ini. Tehnik lain yang sudah pernah diperkenalkan yaitu ablasi microwave jaringan periuretra. Namun belum ada data mengenai keefektifan dan keamanannya pula. Terapi Urge Incontinence MEDIKASI ANTIKOLINERGIK Oxybutynin dan Tolterodine Obat-obatan yang secara kompetitif mengikat reseptor kolinergik dapat menurunkan simptom urge incontinence, meliputi tolterodine, oxybutynin, dan imiramine. Namun seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, reseptor muskarinik tidak terbatas pada kandng kemih. Dengan demikian efek samping obat ini bisa signifikan. Efek yang paling sering muncul berupa : mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Yang paling utama menyebabkan pasien putus obat biasanya keluhan mulut kering. Penting untuk dicatat, antikolinergik dikontraindikasikan untuk glaukoma sudut sempit. Karena efek-efek ini, obyek terapeutik blokade bladder M3 dengan agen antimuskarinik ini sering dibatasi oleh efek samping antikolinergiknya. Maka dari itu seleksi obat sebaiknya disesuaikan, dan efikasinya setara dengan tolerabilitasnya. Misalnya, Diokno et al (2003) menemukan oxybutynin (Ditropan XL, Ortho-McNeil Pharmaceuticals, Raritan, NJ) yang lebih baik daripada tolterodine (Detrol LA, Pfizer, New York, NY). Namun tolterodine memiliki level efek samping yang lebih rendah. Tabel 23-6 Efek samping potensial Antikolinergik Efek samping midriasis Konsekuensi klinis potensial fotofobia

Penurunan akomodasi visual Penurunan salivasi Penurunan sekresi bronkhial Penurunan keringat Peningkatan denyut jantung Penurunan fungsi detrusor

Penglihatan kabur Ulcerasi Gingival dan buccal Small airway mucus plugging Hipertermi Angina, infark miokardium Distensi kandung kemih dan retensi urin

Mobilitas gastrointestinal menurun

konstipasi

Antagonis Reseptor Muskarinik Selektif Medikasi antikolinergik terbaru memperkenalkan agen yang dapat mengurangi efek samping sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup. Kesemua agen tersebut adalah

antagonis selektif reseptor M3, meliputi solifenacin (VESIcare, Yamanouchi Pharma, Paramus, NJ), trospium chloride (Santura, Esprit Pharma, East Brunswick, NJ), dan darifenacin (Enablex, Novartis, East Hanover, NJ). Sebuah studi menunjukkan adanya keuntungan dari peningkatan waktu peringatan urgensi dan penurunan efek samping muskarinik (Cardozo, 2004; Chapple, 2005; Haab, 2006; Zinner, 2004). Meskipun profil efek samping obat-obat ini menarik, namun belum terbukti baik terhadap obat-obat reseptor muskarinik nonselektif pada randomized controlled trials. Imipramine Agen ini kurang efektif dibanding tolterodine and oxybutynin, namun bersifat adrenergik seperti halnya karakteristik antikolinergik. Sehingga kadang diresepkan untuk orang yang mengalami inkontinensia urin campuran. Penting diketahui bahwa dosis imipramin yang digunakan untuk inkontinensia secara signifikan lebih rendah daripada yang digunakan pada depresi dan nyeri kronis. Berdasarkan pengalaman, hal ini meminimalkan resiko teoritis obat yang berhubungan dengan efek sampingnya. Neuromodulasi Sakral

Alat yang diimplantasikan melalui pembedahan pada pasien rawat jalan ini terdiri dari pulse generator dan electrical lead yang diletakkan di foramen sakrum untuk memodulasi inervasi kandung kemih dan dasar pelvis. Neuromodulasi sakrum dilaksanakan pada wanita dengan urgensi refraktori, frekuensi, atau urge incontinence. Juga dapat dipertimbangkan untuk nyeri pelvis, sistitis interstisial, dan disfungsi defekatori, meskipun FDA belum menyetujui indikasi tersebut. Neuromodulasi sakral tidak dipertimbangkan sebaga terapi primer. Para wanita memiliki pilihan berupa terapi farmakologis dan konservatif. Implantasi merupakan proses 2 tahap yang khas. Awalnya lead dipasang dan dilekatkan pada externally worn generator. Setelah pemasangan tersebut, frekuensi dan amplitudo impuls listrik dapat dinilai dan diasesuaikan sampai keefektifan maksimum. Jika terdapat perbaikan sebesar 50% atau lebih dalam simptom yang ada, maka implantasi internal permanent pulse generator dapat direncanakan selanjutnya. Meskipun penggunaannya terbatas, modalitas ini menunjukkan keefektifan terapi. Hasil studi menemukan adanya tingkat perbaikan yang berkisar antara 60-75%, dan tingkat kesembuhan sebesar 45% (Janknegt, 2001; Schmidt, 1999; Siegel, 2000). Prosedur ini invasif minimal dan bisa selesai dalam waktu 1 hari pembedahan, sehingga penyembuhannya pun cepat. Komplikasi dari pembedahannya jarang terjadi namun bisa muncul sebagai nyeri atau infeksi di sisi tempat insersi generator.

Referensi Abdel-Fattah M, Ramsay I, Pringle S: Lower urinary tract injuries after transobturator tape insertion by different routes: a large retrospective study. BJOG 113:1377, 2006 [PMID: 17083654] Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardisation Sub-committee of the International Continence Society. Am J Obstet Gynecol 187:116, 2002 [PMID: 12114899] Achtari C, McKenzie BJ, Hiscock R, et al: Anatomical study of the obturator foramen and dorsal nerve of the clitoris and their relationship to minimally invasive slings. Int Urogynecol J 17:330, 2006 [PMID: 16211316] Albo ME, Richter HE, Brubaker L, et al: Urinary Incontinence Treatment Network. Burch colposuspension versus fascial sling to reduce urinary stress incontinence. N Engl J Med 356(21):2143, 2007 [PMID: 17517855] Bai SW, Kang JY, Rha KH, et al: Relationship of urodynamic parameters and obesity in women with stress urinary incontinence. J Reprod Med 47:559, 2002 [PMID: 12170533] Blaivas JG: The bladder is an unreliable witness. Neurourol Urodyn 15:443, 1996 [PMID: 8857612] Bologna RA, Gomelsky A, Lukban JC, et al: The efficacy of calcium glycerophosphate in the prevention of food-related flares in interstitial cystitis. Urology 57(6, Suppl 1):119, 2001 Brown JS, Seeley DG, Fong J, et al: Urinary incontinence in older women: who is at risk? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Obstet Gynecol 87(5 Pt 1):715, 1996 Bump RC, McClish DK: Cigarette smoking and urinary incontinence in women. Am J Obstet Gynecol 167:1213, 1992 [PMID: 1442969] Bump RC, Norton PA: Epidemiology and natural history of pelvic floor dysfunction. Obstet Gynecol Clin North Am 25:723, 1998 [PMID: 9921553] Bump RC: Racial comparisons and contrasts in urinary incontinence and pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol 81:421, 1993 [PMID: 8437798] Cardozo L, Lisec M, Millard R, et al: Randomized, double-blind placebo controlled trial of the once daily antimuscarinic agent solifenacin succinate in patients with overactive bladder. J Urol 172(5, Part 1):1919, 2004 Carlile A, Davies I, Rigby A, et al: Age changes in the human female urethra: a morphometric study. J Urol 139:532, 1988 [PMID: 3343739] Chapple CR, Martinez-Garcia R, Selvaggi L, et al: A comparison of the efficacy and tolerability of solifenacin succinate and extended release tolterodine at treating overactive bladder syndrome: Results of the STAR Trial. Eur Urol 48:464, 2005 [PMID: 15990220] Colombo M, Milani R, Vitobello D, et al: A randomized comparison of Burch colposuspension and abdominal paravaginal defect repair for female stress urinary

incontinence. Am J Obstet Gynecol 175:78, 1996 [PMID: 8694079] Dallosso HM, McGrother CW, Matthews RJ, et al: The association of diet and other lifestyle factors with overactive bladder and stress incontinence: a longitudinal study in women. BJU Int 92:69, 2003 [PMID: 12823386] Deitel M, Stone E, Kassam HA, et al: Gynecologic-obstetric changes after loss of massive excess weight following bariatric surgery. J Am Coll Nutr 7:147, 1988 [PMID: 3361039] DeLancey JOL: Anatomy of the Female Bladder and Urethra. In Bent AE, Ostergard DR, Cundiff GW, et al (eds) Ostergard's Urogynecology and Pelvic Floor Dysfunction, 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams&Wilkins, 2003, p 9 deTayrac R, Deffieux X, Droupy S, et al: A prospective randomized trial comparing tensionfree vaginal tape and transobturator suburethral tape for surgical treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 190:602, 2004 [PMID: 15041987] Diokno AC, Appell RA, Sand PK, et al: Prospective, randomized, double-blind study of the efficacy and tolerability of the extended-release formulations of oxybutynin and tolterodine for overactive bladder: results of the OPERA trial. Mayo Clin Proceed 78:687, 2003 [PMID: 12934777] Diokno AC, Brock BM, Herzog AR, et al: Medical correlates of urinary incontinence in the elderly. Urology 36:129, 1990 [PMID: 2385880] Dmochowski RR, Miklos JR, Norton PA, et al: Duloxetine versus placebo for the treatment of North American women with stress urinary incontinence. J Urol 170(4 Pt 1):1259, 2003a Dmochowski RR, Sand PK, Zinner NR, et al: Comparative efficacy and safety of transdermal oxybutynin and oral tolterodine versus placebo in previously treated patients with urge and mixed urinary incontinence. Urology 62:237, 2003b Fantl JA, Bump RC, Robinson D, et al: Efficacy of estrogen supplementation in the treatment of urinary incontinence. The Continence Program for Women Research Group. Obstet Gynecol 88:745, 1996 [PMID: 8885906] Fantl JA, Cardozo L, McClish DK: Estrogen therapy in the management of urinary incontinence in postmenopausal women: a meta-analysis. First report of the Hormones and Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 83:12, 1994 [PMID: 8272292] FitzGerald MP, Mollenhauer J, Bitterman P, et al: Functional failure of fascia lata allografts. Am J Obstet Gynecol 181:1339, 1999 [PMID: 10601910] Flegal KM, Carroll MD, Ogden CL, et al: Prevalence and trends in obesity among US adults, 19992000. JAMA 288:1723, 2002 [PMID: 12365955] Ghoniem GM, Van Leeuwen JS, Elser DM, et al: A randomized controlled trial of duloxetine alone, pelvic floor muscle training alone, combined treatment and no active treatment in women with stress urinary incontinence. J Urol 173:1647, 2005 [PMID: 15821528] Haab F, Corcos J, Siami P, et al: Long-term treatment with darifenacin for overactive bladder: results of a 2-year, open-label extension study. BJU Int 98:1025, 2006 [PMID:

16879437] Haanpaa M, Paavonen J: Transient urinary retention and chronic neuropathic pain associated with genital herpes simplex virus infection. Acta Obstet Gynecol Scand 83:946, 2004 [PMID: 15453891] Hagstad A, Janson PO, Lindstedt G: Gynaecological history, complaints and examinations in a middle-aged population. Maturitas 7:115, 1985 [PMID: 3929022] Hannestad YS, Rortveit G, Daltveit AK, et al: Are smoking and other lifestyle factors associated with female urinary incontinence? The Norwegian EPINCONT Study. BJOG 110:247, 2003 [PMID: 12628262] Hannestad YS, Rortveit G, Sandvik H, et al: A community-based epidemiological survey of female urinary incontinence: the Norwegian EPINCONT study. Epidemiology of Incontinence in the County of Nord-Trondelag. J Clin Epidemiol 53:1150, 2000 [PMID: 11106889] Hemrika DJ, Schutte MF, Bleker OP: Elsberg syndrome: a neurologic basis for acute urinary retention in patients with genital herpes. Obstet Gyncol 68(3 Suppl):37S, 1986 Hendrix SL, Cochrane BB, Nygaard IE, et al: Effects of estrogen with and without progestin on urinary incontinence. JAMA 293:935, 2005 [PMID: 15728164] Howden NS, Zyczynski HM, Moalli PA, et al: Comparison of autologous rectus fascia and cadaveric fascia in pubovaginal sling continence outcomes. Am J Obstet Gynecol 194:1444, 2006 [PMID: 16579930] Hunskaar S, Arnold EP, Burgio K, et al: Epidemiology and natural history of urinary incontinence. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 11:301, 2000 [PMID: 11052566] Indrekvam S, Sandvik H, Hunskaar S: A Norwegian national cohort of 3198 women treated with home-managed electrical stimulation for urinary incontinenceeffectiveness and treatment results. Scand J Urol Nephrol 35:32, 2001 [PMID: 11291684] Iosif CS, Batra S, Ek A, et al: Estrogen receptors in the human female lower urinary tract. Am J Obstet Gynecol 141:817, 1981 [PMID: 7198384] Jackson SL, Scholes D, Boyko EJ, et al: Predictors of urinary incontinence in a prospective cohort of postmenopausal women. Obstet Gynecol 108:855, 2006 [PMID: 17012446] Janknegt RA, Hassouna MM, Siegel SW, et al: Long-term effectiveness of sacral nerve stimulation for refractory urge incontinence. Eur Urol 39:101, 2001 [PMID: 11173947] Juma S, Brito CG: Transobturator tape (TOT): Two years follow-up. Neurourol Urodynam 26:37, 2007 [PMID: 17083100] Kalsi V, Fowler CJ: Therapy insight: bladder dysfunction associated with multiple sclerosis. Nature Clin Pract Urol 2:492, 2005 [PMID: 16474623] Kelleher CJ, Cardozo LD, Khullar V, et al: A new questionnaire to assess the quality of life

of urinary incontinent women. BJOG l104:1374, 1997 [PMID: 9422015] Langa KM, Fultz NH, Saint S, et al: Informal caregiving time and costs for urinary incontinence in older individuals in the United States. J Am Geriatr Soc 50:733, 2002 [PMID: 11982676] Laurikainen E, Valpas A, Kivela A, et al: Retropubic compared with transobturator tape placement in treatment of urinary incontinence: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 109:4, 2007 [PMID: 17197581] Lim JL, Cornish A, Carey MP: Clinical and quality-of-life outcomes in women treated by the TVT-O procedure. BJOG 113:1315, 2006 [PMID: 17059393] Mallipeddi PK, Steele AC, Kohli N, et al: Anatomic and functional outcome of vaginal paravaginal repair in the correction of anterior vaginal wall prolapse. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysf 12:83, 2001 [PMID: 11374518] McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York, McGrawHill, 2006, p 843 Millard RJ, Moore K, Rencken R, et al: Duloxetine vs placebo in the treatment of stress urinary incontinence: a four-continent randomized clinical trial. BJU Int 93:311, 2004 [PMID: 14764128] Miller JJ, Botros SM, Akl MN, et al: Is transobturator tape as effective as tension-free vaginal tape in patients with borderline maximum urethral closure pressure? Am J Obstet Gynecol 195:1799, 2006 [PMID: 17014810] Morey AF, Medendorp AR, Noller MW, et al: Transobturator versus transabdominal mid urethral slings: a multi-institutional comparison of obstructive voiding complications. J Urol 175(3 Pt 1):1014, 2006 Moser F, Bjelic-Radisic V, Tamussino K: Needle suspension of the bladder neck for stress urinary incontinence: objective results at 11 to 16 years. Int Urogynecol J 17:611, 2006 [PMID: 16575485] Nilsson CG, Falconer C, Rezapour M: Seven-year follow-up of the tension-free vaginal tape procedure for treatment of urinary incontinence. Obstet Gynecol 104:1259, 2004 [PMID: 15572486] Norton PA, Zinner NR, Yalcin I, et al: Duloxetine versus placebo in the treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 187:40, 2002 [PMID: 12114886] O'Connor RC, Nanigian DK, Lyon MB, et al: Early outcomes of mid-urethral slings for female stress urinary incontinence stratified by Valsalva leak point pressure. Neurourol Urodyn 25:685, 2006 Patrick DL, Martin ML, Bushnell DM, et al: Quality of life of women with urinary incontinence: further development of the incontinence quality of life instrument (I-QOL). Urology 53:71, 1999 [PMID: 9886591] Raz R, Stamm WE: A controlled trial of intravaginal estriol in postmenopausal women with

recurrent urinary tract infections. N Engl J Med 329:753, 1993 [PMID: 8350884] Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, et al: Urinary incontinence after vaginal delivery or cesarean section. N Engl J Med 348:900, 2003 [PMID: 12621134] Schmidt RA, Jonas UDO, Oleson KA, et al: Sacral nerve stimulation for treatment of refractory urinary urge incontinence. J Urol 162:352, 1999 [PMID: 10411037] Siegel SW, Catanzaro F, Dijkema HE, et al: Long-term results of a multicenter study on sacral nerve stimulation for treatment of urinary urge incontinence, urgency-frequency, and retention. Urology 56(6 Suppl 1):87, 2000 Sirls LT, Foote JE, Kaufman JM, et al: Long-term results of the FemSoft1 Urethral Insert for the management of female stress urinary incontinence. Int Urogynecol J 13:88, 2002 [PMID: 12054188] Snooks SJ, Swash M, Henry MM, et al: Risk factors in childbirth causing damage to the pelvic floor innervation. Int J Colorectal Dis 1:20, 1986 [PMID: 3598309] Sourander LB: Treatment of urinary incontinence. Gerontology 36(Suppl 2):19, 1990. Sung VW, Schleinitz MD, Rardin CR, et al: Comparison of retropubic vs transobturator approach to midurethral slings: a systematic review and meta-analysis. Am J Obstet Gynecol 197(1):3, 2007 [PMID: 17618742] Tarnay CM, Bhataia NN: Urinary incontinence. In DeCherney AH, Nathan L (eds): Current Obstetric&Gynecologic Diagnosis&Treatment, 10th ed. New York, McGraw-Hill, 2007. Available at: http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2390668. Accessed April 26, 2007 U.S. Food and Drug Administration: Phenylpropanolamine (PPA) Information Page, 2005. Available at: http://www.fda.gov/cder/drug/infopage/ppa/default.htm. Accessed March 30, 2007 Vervest HA, van Venrooij GE, Barents JW, et al: Non-radical hysterectomy and the function of the lower urinary tract. II: Urodynamic quantification of changes in evacuation function. Acta Obstet Gynecol Scand 68:231, 1989 [PMID: 2618606] Wagner TH, Patrick DL, Bavendam TG, et al: Quality of life of persons with urinary incontinence: Development of a new measure. Urology 47:67, 1996 [PMID: 8560665] Wake CR: The immediate effect of abdominal hysterectomy on intravesical pressure and detrusor activity. Br J Obstet Gynaecol 87:901, 1980 [PMID: 7426488] Wang AC, Wang YY, Chen MC: Single-blind, randomized trial of pelvic floor muscle training, biofeedback-assisted pelvic floor muscle training, and electrical stimulation in the management of overactive bladder. Urology 63:61, 2004 [PMID: 14751349] Wester C, Fitzgerald MP, Brubaker L et al: Validation of the clinical bulbocavernosus reflex. Neurourol Urodyn 22:589, 2003 [PMID: 12951668] Zahn CM, Siddique S, Hernandez S, et al: Anatomic comparison of two transobturator tape

procedures. Obstet Gynecol 109:701, 2007 [PMID: 17329523] Zinner N, Gittelman M, Harris R, et al: Trospium chloride improves overactive bladder symptoms: a multicenter phase III trial. J Urol 171(6 Pt 1):2311, 2004

Anda mungkin juga menyukai