A. PENGERTIAN NEUROSIS
Neurosis adalah suatu gangguan non-psikotik yang kronis atau rekuran yang ditandai
terutama oleh kecemasan, yang dialami atau yang diekspresikan secara langsung atau diubah
melalui mekanisme pertahanan. Kecemasan tampak sebagai gejala, seperti suatu obsesi,
suatu kompulsi, suatu fobia, atau suatu difungsi seksual.
Neurosis kadang-kadang disebut psikoneurosis atau gangguan jiwa (untuk
membedakannya dengan psikosis atau penyakit jiwa). Menurut Singgih Dirgagunarsa (1978 :
143), neurosis adalah gangguan yang terjadi hanya pada sebagian dari kepribadian, sehingga
orang yang mengalaminya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau
masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit. Dali Gulo
(1982 : 179), berpendapat bahwa neurosis adalah suatu kelainan mental, hanya memberi
pengaruh pada sebagian kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai
dengan : keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik,
hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik,
dst.
Neurosis, menurut W.F. Maramis (1980 : 97), adalah suatu kesalahan penyesuaian diri
secara emosional karena tidak diselesaikan suatu konflik tidak sadar.
Berdasarkan pendapat mengenai neurosis dari para ahli tersebut dapat diidentifikasi
pokok-pokok pengertian mengenai neurosis sebagai berikut.
1. Neurosis merupakan gangguan jiwa pada taraf ringan.
2. Neurosis terjadi pada sebagian aspek kepribadian.
3. Neurosis dapat dikenali gejala-gejala yang menyertainya dengan ciri khas kecemasan.
4. Penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan melakukan
aktivitas sehari-hari.
B. JENIS-JENIS NEUROSIS
Kelainan jiwa yang disebut neurosis ditandai dengan bermacam-macam gejala. Dan
berdasarkan gejala yang paling menonjol, sebutan atau nama untuk jenis neurosis diberikan.
Dengan demikian pada setiap jenis neurosis terdapat ciri-ciri dari jenis neurosis yang lain,
bahkan kadang-kadang ada pasien yang menunjukkan begitu banyak gejala sehingga
gangguan jiwa yang dideritanya sukar untuk dimasukkan pada jenis neurosis tertentu (W.F.
Maramis, 1980 : 258).
FOBIA
Definisi Fobia
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap, dan berlebihan terhadap suatu
objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari bahasa Yunani yaitu Fobos yang berarti
ketakutan.
Fobia merupakan suatu gangguan jiwa yang merupakan salah satu tipe dari gangguan
anxietas dan dibedakan dalam tiga jenis menurut jenis objek atau situasi ketakutan yaitu
agorafobia, fobia spesifik, dan fobia sosial.
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta adanya
kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Fobia spesifik adalah suatu rasa takut yang
kuat dan persisten pada suatu objek atau situasi. Fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan
persisten dimana dapat timbul rasa malu.
Tanda dan Gejala Fobia
Agorafobia
Pasien dengan agorafobia menghindari situasi disaat sulit untuk mendapatkan bantuan.
Lebih suka ditemani kawan atau anggota keluarga ditempat tertentu, seperti jalan yang ramai,
toko yang padat, ruang tertutup, kendaraan tertutup. Mereka menghendaki ditemani setiap kali
harus keluar rumah. Sebagian dari penderita gangguan fobik menjadi terpaku dirumah, ketakutan
dengan bayangan akan pingsan dan ditinggalkan tak berdaya ditengah orang banyak.
Kebanyakan penderita adalah wanita dan onset biasanya pada dewasa muda. Gejala depresif,
obsesi, dan fobia sosial mungkin juga menyertai keadaan tersebut. Tanpa pengobatan yang
efektif agorafobia seringkali menjadi kronis, meskipun biasanya berfluktuasi.
Fobia ditandai dengan timbulnya anxietas berat jika pasien terpapar dengan situasi atau
objek spesifik atau jika mengantisipasi akan terpapar dengan situasi atau objek. Pemaparan atau
mengantisipasi dengan stimulus fobik sering menimbulkan serangan panik pada orang yang
rentan terhadap serangan panik. Orang dengan fobia berusaha untuk menghindari stimulus fobik.
Fobia Spesifik
Pada fobia spesifik, ketakutan yang jelas dan menetap dan tak beralasan terbatas pada
objek atau situasi yang spesifik dan terbagi dalam tipe hewan, lingkungan alam, darah, injeksi,
luka, dan situasional. Fobia yang terbatas pada situasi yang sangat spesifik seperti bila
berdekatan dengan binatang tertentu, tempat tinggi, kegelapan, naik pesawat, buang hajat di
tempat umum, takut melihat darah atau luka, dan takut berhubungan dengan penyakit tertentu.
Fobia sosial
Pada fobia sosial, adanya ketakutan terhadap situasi sosial atau tampil didepan orang
orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau
menjadi pusat perhatian, merasa takut bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan
gejala anxietas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.
Sering kali mulai pada usia remaja dan terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang
lain, yang menjurus kepada penghindaran terhadap situasi sosial. Fobia sosial frekuensinya sama
pada laki-laki dan wanita.
Gambarannya dapat sangat jelas (misalnya, hanya terbatas pada makan di tempat umum,
atau berbicara di depan umum, atau menghadapi jenis kelamin lain), atau dapat pula kabur, yang
mencakup hampir semua situasi sosial di luar lingkungan keluarga. Fobia sosial biasanya disertai
dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritikan. Dapat juga tercetus sebagai keluhan malu
(muka merah), tangan gemetar, mual, ingin buang air kecil, dan kadang-kadang individu
bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala fobia sosial ini merupakan
masalah utamanya (dalam hal ini, gejalanya dapat berkembang menjadi serangan panik).
Kecenderungan menghindar sering kali tampak jelas dan dalam keadaaan ekstrim dapat
menjurus ke isolasi sosial yang total.
Fobia Sosial
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti:
Gejala-gejala psikologis, perilaku/otonomik harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas dan bukan sekundari gejala lain seperti waham / pikiran obsesif
Anxietas harus hanya terbatas / menonjol pada situasi sosial tertentu saja
Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol
Penatalaksanaan Fobia
Secara umum terapi Fobia meliputi:
A. Terapi Psikologik.
a. Terapi perilaku: merupakan terapi yang paling efektif dan sering diteliti. Seperti
desensitisasi sistematik yang sering dilakukan; terapi pemaparan (exposure),
imaginal exposure, participent modelling, guided mastery, imaginal flooding.
b. Psikoterapi berorientasi tilikan.
c. Terapi lain: hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi keluarga bila diperlukan.
B. Farmakoterapi
Terapi agorafobia sama seperti gangguan panik, terdiri dari obat anti anxietas,
antidepresan, dan psikoterapi khususnya terapi kognitif perilaku.
Terapi terhadap fobia spesifik yang terutama adalah terapi perilaku yaitu terapi
pemaparan (Exposure therapy). Juga diajarkan menghadapi kecemasan dengan teknik
relaksasi, mengontrol pernapasan, dan pendekatan kognitif. Penggunaan anti anxietas
yaitu untuk terapi jangka pendek.
Terapi terhadap fobia sosial terbatas, dapat menggunakan obat -bloker ,anti
anxietas, anti depresan serta terapi kognitif perilaku secara individual dan kelompok.
GANGGUAN PANIK
Definisi Gangguan Panik
Panik adalah adanya serangan anxietas berat (panik) yang berulang, yang tidak terbatas
pada adanya situasi tertentu atau pun suatu rangkaian kejadian, dan karena itu tidak terduga.
Gejala yang dominan bervariasi pada masing-masing orang, tetapi onset mendadak dalam bentuk
palpitasi, nyeri dada, perasaan tercekik, pusing kepala, dan perasaan yang tidak riil
(depersonalisasi atau derealisasi), merupakan gejala yang lazim. Secara sekunder timbul rasa
takut mati, kehilangan kendali atau menjadi gila.
Penatalaksanaan
Terdiri dari pemberian farmakaterapi dan psikoterapi.
A. Farmakoterapi:
Terdiri atas:
1. SSRI
Terdiri atas beberapa macam: sertralin, fluoksetin, fluvoksamin, escitalopram.
Diberikan 3-6 bulan atau lebih, tergantung kondisi individu, agar kadarnya stabil
dalam darah sehingga dapat mencegah kekambuhan.
2. Alprazolam
Awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6 minggu, setelah itu secara
perlahan diturunkan dosisnya sampai akhirnya dihentikan. Setelah itu pasien
diberikan golongan SSRI.
B. Psikoterapi:
1. Terapi relaksasi
Prinsipnya adalah melatih pernapasan (menarik nafas dalam dan lambat, lalu
mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan seluruh otot tubuh dan
mensugesti pikiran ke arah konstruksi atau yang diinginkan akan dicapai. Biasanya
dilakukan 20-30 menit atau lebih lama lagi.
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan
belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
Pola yang lain : obsesi bertema keagamaan, trichotilomania, dan menggigit-gigit jari.
Pedoman Diagnostik Gangguan Obsesif Kompulsif
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III)
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesional dan tindakan kompulsif, atau
kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut, dan
merupakan sumber distres dan gangguan aktivitas. Gejala-gejala obsesional harus memiliki ciri-
ciri berikut :
a) Harus dikenal/disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri individu sendiri;
b) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil dilawan, meskipun
ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita;
c) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekadar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas
tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas);
d) Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan.
Termasuk :
Neurosis anankastik
Neurosis obsesional
Neurosis obsesif-kompulsif
Pedoman diagnostik:
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya
dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan
diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan
onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat
alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya trauma,
harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara
berulang-ulang. Sering kali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan, dan
penghindaran terhadap stimulis yang mungkin mengingat kembali akan traumanya, akan tetapi
hal ini tidak esensial untuk didiagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan
kelainan prilaku semuanya mempengaruhi diagnosis tersebut tetapi bukan merupakan hal yang
terlalu penting.
Termasuk: neurosis traumatik
GANGGUAN PENYESUAIAN
Keadaan-keadaan stress yang subjektif dan gangguan emosional, yang biasanya
menggangu kinerja dan funsgsi sosial, dan yang timbul pada periode adaptasi terhadap suatu
perubahan dalam hidup yang bermakna atau terhadap akibat dari peristiwa kehidupan yang
penuh stress (termasuk adanya atau kemungkinan adanya suatu penyakit fisik berat). Stresor
tersebut mungkin sudah berpengaruh terhadap integritas dari hubungan sosial individu atau
terhadap sistem dukungan dan nilai-nilai sosial yang lebih luas (migrasi atau status sebagai
pengungsi). Stresor mungkin hanya berpengaruh terhadap individu atau pun juga terhadap
kelompok dalam masyarakat.
Manifestasi gangguan ini bervariasi dan mencakup afek depresif, anxietas, kecemasan
(atau campuran dari hal-hal tersebut), perasaan tidak mampu menghadapi dan menyesuaikan,
merencanakan masa depan, atau berlanjut dalam situasi sekarang, disertai adanya disabilitas
dalam kinerja kegiatan rutin sehari-hari. Pada remaja, gangguan prilaku (agresif atau disosial)
dapat merupakan ciri gangguan ini.
Pedoman diagnostik:
Diagnosis tergantung pada suatu evaluasi yang teliti terhadap hubungan antara :
1. Bentuk, isi, keparahan gejala;
2. Riwayat dan kepribadian sebelumnya;
3. Kejadian atau situasi yang penuh stress (stressful) atau krisis kehidupan
Adanya faktor ketiga diatas harus ditetapkan dengan jelas dan harus ada bukti yang kuat
dan mungkin dapat diperkirankan, bahwa gangguan tersebut mungkin tidak akan terjadi tanpa
adanya hal tersebut. Apabila stressornya relatif ringan, dan adanya hubungan waktu
(temporal/kurang dari 3 bulan) tidak dapat dibuktikan, maka gangguan tersebut hendaknya
diklasifikasikan ke tempat lain, sesuai ciri-ciri yang ada.
Pedoman Diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguanyang tercantum pada F44;
b. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut;
c. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien)
Bukti yang meyakinkan adanya penyebab psikologis mungkin sulit diperoleh, meskipun
sangat dapat diperkirakan. Bila tidak ditemukan adanya bukti penyebab psikologis, maka
diagnosis yang dibuat harus bersifat sementara, sambil upaya pemeriksaan aspek fisik dan
psikologis tetap dilanjutkan.
Termasuk: histeria konversi, reaksi konversi, histeria, psikosis histeris.
AMNESIA DISOSIATIF
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang baru
terjadi, yang bukan disebabkan karena gangguan mental organik dan terlalu luas untuk dapat
dijelaskan sebagai kelupaan yang umum terjadi atau sebagai kelelahan. Amnesia tersebut
biasanya terpusat mengenai kejadian traumatik, seperti kecelakaan atau kesedihan tak terduga,
dan biasanya parsial dan selektif. Luasnya amnesia yang terjadi bervariasi dari hari ke hari, tetapi
ada hal utama yang lazim dan menetap yang tidak dapat diingat dalam kondisi terjaga.
Kondisi afektif yang menyertai amnesia juga sangat bervariasi, akan tetapi depresi berat
jarang terlihat. Kebingungan, distres, dan berbagai taraf perilaku mencari perhatian dapat
merupakan bagian dari gejala, di lain pihak juga dapat terjadi sikap yang menerima keadaannya
dengan tenang.
Dewasa muda paling lazim terkena. Keadaan yang paling ekstrem biasanya terjadi pada
pria yang sering mengalami stres karena pertempuran.
Pedoman Diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Amnesia, baik total maupun parsial, mengenai kejadian baru yang bersifat stres atau
traumatik (aspek ini mungkin tampil hanya apabila ada saksi lain yang memberikan
informasi);
b. Tidak ada gangguan otak organik, intoksikasi atau kelelahan yang berlebihan.
FUGUE DISOSIATIF
Fugue disosiatif memiliki semua ciri amnesia disosiatif ditambah gejala melakukan
perjalanan meninggalkan rumah atau tempat kerja yang tampaknya disengaja, dan selama itu
yang bersangkutan tetap dapat mengurus dirinya. Pada beberapa kasus, penderita mungkin
menggunakan identitas baru, biasanya hanya berlangsung beberapa hari, akan tetapi kadang-
kadang dapat juga berlangsung untuk jangka waktu lama. Perjalanan yang terorganisasi mungkin
ke tempat-tempat yang sudah dikenal oleh yang bersangkutan dan yang mempunyai makna
emosional. Meskipun terdapat amnesia, perilaku dari penderita selama kurun waktu ini mungkin
tampak sama sekali normal bagi pengamat lain.
Pedoman Diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0);
b. Dengan sengaja melakukan perjalanan tertentu melampaui jarak yang biasa dilakukannya
sehari-hari;
c. Tetap mempertahankan kemampuan mengurus diri yang mendasar (makan, mandi, dsb)
dan melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang yang belum dikenalnya (misalnya
membeli karcis atau bensin, menanyakan arah, memesan makanan).
STUPOR DISOSIATIF
Perilaku individu memenuhi kriteria untuk stupor, akan tetapi dari pemeriksaan tidak
didapatkan adanya tanda penyebab fisik. Didapatkan bukti adanya penyebab psikogenik dalam
bentuk kejadian-kejadian yang penuh stres atau pun problem sosial atau interpersonal yang
menonjol.
Stupor didiagnosis atas dasar sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan
volunter dan respon normal terhadap rangsangan dari luar seperti cahaya, suara dan perabaan.
Individu berbaring atau duduk tanpa bergerak-gerak untuk jangka waktu yang lama. Hampir
tidak ada pembicaraan atau gerakan yang spontan atau disengaja. Meskipun dapat terjadi sedikit
gangguan kesadaran, gangguan tonus-tonus otot, gangguan postur tubuh, dan gangguan
pernapasan, kadang gerakan membuka mata atau gerakan mata terkoordinasi masih ada,
sehingga jelas menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak tidur dan tidak kehilangan
kesadaran.
Pedoman Diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Stupor;
b. Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan psikiatrik lain yang dapat
menjelaskan keadaan stupor tersebut; dan
c. Adanya masalah atau kejadian baru yang penuh stres.
KONVULSI DISOSIATIF
Dapat menyerupai kejang epileptik dalam hal gerakannya, akan tetapi jarang disertai
lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan, dan inkontinensia urin. Tidak dijumpai
kehilangan kesadaran tetapi diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans.
GANGGUAN SOMATISASI
Ciri utamanya adalah gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan
sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke
psikiater. Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat
kompleks, baik ke pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan
atau bahkan operasi yang negatif. Keluhannya dapat mengenai setiap sistem atau bagian tubuh
manapun, tetapi yang paling lazim adalah yang mengenai keluhan gastrointestinal (perasaan
sakit, kembung, berdahak, muntah, mual, dsb) dan keluhan-keluhan perasaan abnormal kulit
(gatal, rasa terbakar, kesemutan, baal, pedih, dsb) serta bercak-bercak pada kulit. Keluhan
mengenai seks dan haid juga lazim terjadi.
Perjalanan gangguan ini bersifat menahun dan berflutuasi, dan sering kali disertai
ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan. Gangguan
ini jeuh lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, dan biasanya mulai pada usia dewasa
muda.
Ketergantungan pada dan penyalahgunaan obat-obatan (biasanya sedativa dan analgetika)
sering kali akibat seringnya menjalani rangkaian pengobatan.
Pedoman diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya dasar kelainan
fisik yang memadai, yang sudah berlangsung sekurangnya 2 tahun
b. Selalu tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
c. Terdapat hendaya dalam taraf tertentu dalam berfungsinya di masyarakat dan keluarga
yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak pada perilakunya
GANGGUAN HIPOKONDRIK
Ciri utama dari gangguan ini adalah adanya upaya preokupasi yang menetap akan
kemungkinan menderita satu atau lebih gangguan fisik yang serius dan progresif. Pasien
menunjukkan keluhan-keluhan somatik yang menetap atau preokupasi yang menetap dengan
penampilan fisiknya. Pengindraan dan penampilan yang normal sebenarnya biasa dan oleh
pasien sering kali ditafsirkan sebagai abnormal dan tidak mengenakkan, dan perhatiannya
biasanya hanya terfokus pada satu atau dua organ atau sistem tubuhnya. Pasien dapat
menyebutkan penyakit atau perubahan apa yang ditakutkannya, akan tetapi intensitas keyakinan
terhadap kelainan yang ditakutkannya tersebut biasanya bervariasi dalam beberapa konsultasi.
Pasien biasanya masih juga mengajukan kemungkinan bahwa ada gangguan fisik lain atau
tambahan disamping apa yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Depresi dan anxietas sering kali menonjol. Sindrom ini terjadi pada pria maupun wanita
dan tidak ada karakteristik khusus mengenai keluarga (berbeda dengan gangguan somatisasi)
Pedoman diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang menlandasi leuhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi
yang menetap terhadap adanya deformitas atau perubaahn bentuk/penampakan.
b. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari
beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhannya.
DISFUNGSI OTONOMIK SOMATOFORM
Keluhan-keluhan fisik yang disampaikan oleh pasien seakan-akan merupakan gejala dari
sistem saraf otonom, misalnya sistem kardiovaskular, gastrointestinal atau pernafasan.
Pedoman diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpasi, berkeringat, tremor, muka
merah, yang menetap dan mengganggu
b. Gejala subjektif tambahan yang mengacu kepada sistem atau organ tertentu
c. Preokupasi dengan distress mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius (sering
tidak begitu khas), dari sistem atau organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasik
pemeriksaan berulang, maupun penjelasan dan peneguhan oleh para dokter
d. Tidak terbukti adanya gangguan yang bermakna pada struktur atau fungsi dari sistem atau
organ yang dimaksud
2. Tipe Kedua: Keluhan utamanya ditekankan pada kelemahan fisik atau badaniah
dan kelelahan hanya karena kegiatan ringan saja, disertai perasaan nyeri dan sakit
otot-otot dan tidak mampu untuk bersantai (relax).
Pada kedua tipe tersebut, sering ditemukan juga berbagai keluhan fisik seperti
pusing kepala, sakit kepala karena ketegangan, dan perasaan tidak mantap. Juga sering
ditemukan kekhawatiran akan menurunnya kesehatan badan maupun mental, gampang
tersinggung, tidak ada semangat, dan berbagai keluhan depresi dan anxietas ringan. Tidur
biasanya terganggu pada fase awal dan fase pertengahan masa tidur.
Pedoman Diagnostik:
a. Adanya keluhan-keluhan yang menetap dan mengganggu berupa meningkatnya
rasa lelah setelah suatu kegiatan mental, atau keluhan yang juga menetap dan tak
enak mengenai kelemahan badaniah dan kehabisan tenaga hanya sesudah kegiatan
ringan saja.
b. Paling sedikit ada dua dari hal-hal tersebut di bawah ini:
Perasaan sakit dan nyeri otot-otot
Pusing kepala
Nyeri kepala (tension headache)
Gangguan tidur
Tidak bisa bersantai
Mudah tersinggung
Dispepsia
c. Setiap gejala otonomik atau pun depresif yang ada, tidak cukup berat untuk dapat
memenuhi kriteria salah satu dari gangguan yang lebih khas di dalam klasifikasi
ini.
Sindrom Depersonalisasi-derealisasi
Pada gangguan ini penderita mengeluh bahwa aktivitas mentalnya, tubuh,
dan/atau lingkungannya menjadi berubah kualitasnya, sehingga menjadi tidak nyata,
asing atau menjadi seperti robot. Penderita merasa bahwa mereka tidak lagi menguasai
pikirannya sendiri; bahwa gerakan dan perilaku mereka bukan dari dirinya sendiri; bahwa
tubuhnya sudah tak bernyawa, asing atau ada kelainan; dan bahwa lingkungannya
kehilangan warna dan tidak hidup lagi dan tampak semu, atau seperti panggung dimana
orang-orang hanya sebagai pemain sandiwara. Keluhan hilangnya perasaan/emosi adalah
yang paling sering dijumpai.
Pedoman Diagnostik Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III
(PPDGJ III):
a. Gejala depersonalisasi, yaitu individu merasa bahwa perasaannya dan/atau
pengalamannya terasa seperti terlepas dari dirinya, bukan dari dirinya;
b. Gejala derealisasi, yaitu objek, orang dan/atau lingkungannya menjadi seperti
tidak nyata, semu, tanpa warna, tidak hidup;
c. Memahami bahwa hal tersebut merupakan perubahan spontan dan subjektif, dan
bukan disebabkan oleh kekuatan dari luar atau orang lain;
d. Penginderaan tidak terganggu dan tidak ada keadaan kebingungan toksik atau
epilepsi.
Pembimbing :
dr. Rusdi Effendi, Sp. KJ
Disusun Oleh :
Faizah Afnita Kamrasyid
2012730039
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat ini tepat waktu. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman. Referat dibuat dengan tujuan memenuhi tugas di stase ilmu penyakit jiwa.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr.Rusdi Efendi,Sp.KJ yang telah
membantu serta membimbing penulis dalam kelancaran pembuatan laporan ini. Semoga referat
ini dapat bermanfaat kepada penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis harap kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan referat
ini. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan.
WassalamualaikumWr.Wb