Anda di halaman 1dari 11

THAHARAH DAN PERMASALAHANNYA

Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Ilmu Fiqh

Dosen Pengampu :
Dr. Hariman Surya Siregar, M.Ag
Hamdan Hambali, M.Ag

Oleh Kelompok 7:

Arifa Jihan N (1182050015)


Euis Sinta A (1182050029)
4A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Thaharah dan Permasalahannya ini.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita yaitu Nabi
Muhamad SAW, yang telah membawa kita pada alam yang penuh dengan cahaya ilmu
pengetahuan ini.

Walaupun banyak kekurangan, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini


dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqh dan juga untuk menambah
wawasan kami tentang materi pembelajaran.

Tugas ini dapat diselesaikan karena ada dukungan yang sangat besar dari beberapa
pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
memberikan dukungan kepada kami.

Dan kami sebagai penyusun juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila pada
makalah yang kami susun terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Maka dari itu, kami
mengaharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik inovatif yang dapat menjadi
pelajaran bagi kami kedepan. Harapan kami, semoga makalah ini bermanfa’at bagi kami dan
juga bagi para pembaca.

Bandung, Mei 2020

Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................ii
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. Pengertian Thaharah....................................................................................................2
B. Hukum Thaharah..........................................................................................................2
C. Alat Bersuci....................................................................................................................3
D. Barang-Barang yang Najis...........................................................................................4
E. Klasifikasi Najis dan Cara Mensucikannya................................................................5
F. Macam-Macam Thaharah............................................................................................5
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.
Dengan adanya hukum, perilaku kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan dapat diatur
denan terstruktur. Oleh karena itu, kaum muslimin dalam menjalani kehidupan sehari-hari
tidak akan pernah lepas dari hukum Islam. Salah satunya yaitu dalam konteks bersuci
(tahaharah). Thaharah atau mensucikan badan dari najis hukumnya menjadi wajib karena
menjadi suatu keharusan. Misalnya dalam melakukan sebuah ibadah kepada Allah, kaum
muslimin harus bersih dari segala najis, sedangkan manusia itu sendiri tidak pernah lepas dari
yang namanya najis (kotoran).
Apabila kaum muslimin tidak bersuci terlebih dahulu ketika akan melakuakan suatu
ibadah, maka segala ibadah yang dilakukan akan sia-sia bahkan mendapat dosa dari Allah
SWT. Meskipun bersuci terlihat sederhana dalam praktiknya, namun menjadi keliru atau
menimbulkan madharat apabila dalam bersuci tidak memakai tata cara bersuci denan baik
dan benar yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Maka dari itu, dalam makalah kali ini akan membahas tentang bagaimana cara bersuci
dengan baik dan benar yang sesuai dengan syariat agama Islam yan telah disyariatkan
sebelumnya. Serta menjelaskan beberapa hal yang menjadikan kaum muslimin diharuskan
untuk melakukan bersuci (thaharah).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari Thaharah?
2. Bagaimana hukum Thaharah?
3. Apa saja alat-alat bersuci?
4. Apa saja barang-barang yang termasuk kategori najis?
5. Bagaimana cara membersihkan najis?
6. Apa saja macam-macam thaharah?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.  Menjelaskan pengertian thaharah
2. Menjelaskan hukum thaharah
3. Menerankan secara rinci alat-alat yang digunakan untuk thaharah
4. Menyebutkan dan menjelaskan barang-barang yang dikategorikan najis
5. Menjelaskan tata cara membersihkan najis
6. Menyebutkan dan menjelaskan macam-macam thaharah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah
Kata thaharah bersal dari bahasa Arab ُ‫اَلطَهَار‬  yang secara bahasa artinya  kebersihan
atau bersuci. Menurut syara’ ialah suci dari hadats atau najis, dengan cara yang telah
ditentukan oleh syara’ atau menghilangkan najasah, mandi, dan tayamum. Hakikat thaharah
ialah memakai air atau tanah atau salah satunya menurut sifat yang disyariatkan, untuk
menghilangkan najasah dan hadats.
Bersuci itu dibagi dua : lahir dan batin. Bersuci batin ialah mensucikan diri dari dosa
dan maksiat dari kotoran kemusyrikan, keraguan dan kebencian, dengki, curang, tipuan,
takabur, riya’. Caranya dengan bertindak ikhlas, yakin, cinta kebajikan, benar, tawadhu,
hanya menghendaki kerelaan Allah, bagi setiap perbuatan.
Kebersihan lahir ialah bersih dari kotoran dan hadats. Kebersiha kotoran cara
menghilangkan dengan menghilangkan kotoran itu pada tempat ibadah, pakaian yag dipakai,
dan pada badan seseorang. Sedang kebersihan dari hadats dilakukan dengan mengambil air
wudhu atau mandi.
    
B. Hukum Thaharah
Bersuci hukumnya wajib, berdasar firman dan sunnah Nabi Saw. Adapun firman Allah
ialah surat al-Baqarah ayat 222:
َ‫إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬
Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.”

Dan surat al-Maidah ayat 6:


‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا‬
Artinya: “Dan jika kamu junub maka mandilah.”
Dan surat al-Muddatstsir ayat 4:
ْ‫َوثِيَابَكَ فَطَهِّر‬
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.”       
)‫النظافة من االيمان (رواه مسلم‬
Artinya : “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Muslim)

C. Alat bersuci
Alat bersuci ialah air, berdasar firman Allah, QS. al-Anfal ayat 11:
‫َويُن َِّز ُل َعلَ ْي ُك ْم ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء لِيُطَه َِّر ُك ْم بِ ِه‬
Artinya: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit  untuk menyucikan
kamu dengan hujan itu.”
Dan QS. al-Furqan ayat 48:
‫َوأَ ْن َز ْلنَا ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء طَهُورًا‬
Artinya: “Dan kami turunkan air dari langit yang sangat bersih.”
Air pada umumnya dibagi menjadi empat:
1. Air mutlaq
Hukumnya suci dan dapat untuk bersuci, artinya airnya sendiri bersetatus suci, dan dapat
untuk bersuci, seperti untuk wudhu, mandi, dan membersihkan najis. Yang termasuk air
mutlaq ialah :
a. Air hujan
Sesuai firman Allah dalam QS. al-Furqan ayat 48, yang artinya:
“Dan kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.”
b. Air salju dan air es
Hadits Nabi Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang artinya:
“Rasulullah dahulu, apabila telah membaca takbir, diam sebentar, sebelum membaca
fatihah, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, demi ayah, engkau dan ibuku, adakah
engkau mengetahui apakah yang engkau baca dikala diammu, di antara takbiratul ihram
dan membaca fatihah?” Sabda Nabi: Aku berkata: “Ya Allah, jauhkanlah jarak antaraku
dengan kesalahanku sebagaimana engkau menjauhkan antara barat dan timur, ya Allah
bersihkanlah kami dari kesalahan seperti membersihkan pakaian dari kotoran, ya Allah
cucilah kami dari kesalahan kami dengan air salju dan air es.” (HR. Jama’ah kecuali At-
Tirmidzi).
c. Air laut
Sabda Nabi Saw oleh Abu Hurairah, yang artinya:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah dengan katanya: “Wahai Rasulullah, kami
berkendaraan di laut dan kami hanya membawa sedikit air apabila kami wudhu dengan air
itu, kami akan kehausan, apakah boleh berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah
menjawab: “Laut itu airnya suci bangkainyapun halal”. (HR. Khomsah).
d. Air Zamzam
Hadits yang diriwayatkan oleh Sayidina Ali r.a, yang artinya:
“Bahwasanya Rasulullah Saw minta diambilkan air satu ember penuh dari air zamzam
lantas Nabi minum dan berwudhu dengan air tersebut.” (HR. Ahmad).

2. Air Musta’mal
Air sisa yang mengena badan manusia karena telah digunakan untuk wudhu dan mandi,
disebut air musta’mal. Hukum air musta’mal sama dengan air mutlaq, yaitu suci dan
mensucikan. Sesuai sabda Nabi Saw oleh imam Ahmad Tirmidzi dalam lafadz Abu Daud,
yang artinya:“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu
yang ada dalam kedua tangannya.”

3. Air yang bercampur dengan barang yang suci


Air yang bercampur dengan barang yang suci, seperti air sabun, atau air seperma.
Hukumnya suci selama air itu terjaga kemutlakannya, sehingga tidak merubah nama itu
bukan air mutlaq lagi. Air yang sedikit bercampur dengan barang yang suci seperti sabun tadi
dan tidak berubah statusnya, hukumnya suci dan mensucikan, tetapi kalau campurannya
banyak sehingga bukan air mutlaq lagi bahkan air sabun umpamanya, maka hukumya suci
tapi tidak mensucikan. 
4. Air sisa yang diminum oleh hewan
Binatang yang tidak haus seperti himar dan kucing, maka airnya tidak najis. Seperti
sabda Nabi Saw, yang artinya: “Apakah engkau berwudhu dengan air sisa himar?” dijawab:
“ya, dan dengan air sisa semua binatang buas.”

D. Barang-barang yang najis


Barang-barang yang ada disekitar kita, tidak semuanya suci. Namun, ada beberapa di
antaranya yang dihukumi najis dalam syari’at. Barang ini perlu diketahui kenajisannya agar
tidak salah dalam menggunakannya, dan bisa mengenal cara membersihkannya. Najis bisa
mempengaruhi sahnya shalat seseorang. Jika ia bernajis, maka harus dihilangkan najis yang
melekat di baju atau badan. Jika najis keluar dari dubur harus beristinja’ darinya.
Para ahli ilmu atau ulama’ telah mengadakan tahqiq (pemeriksaan) terhadap barang-
barang yang ada disekitar kita, ternyata barang-barang najis lebih dari satu, di antaranya :
1. Tinja  Manusia (kotoran manusia)
Kotoran yang keluar dari tubuh seorang manusia melalui duburnya. Kotoran ini harus
dibersihkan dengan cara istinja’ (cebok). Jika mengenai sandal atau sepatu, maka
dibersihkan.
2. Kencing Manusia
Kencing manusia atau hewan yang termasuk barang-barang najis yang harus dibersihkan
oleh seseorang.
Anas r.a berkata,
‫ َدع ُْوهُ َوالَ ت ُْز ِر ُم ْوهُ قَا َل فَلَ َّما فَ َر َغ‬ ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ض ا ْلقَ ْو ِم فَقَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫س ِج ِد فَقَا َم إِلَ ْي ِه بَ ْع‬ ْ ‫أنَّ أَ ْع َرابِيًّا بَا َل فِي ا ْل َم‬
َ َ‫َدعَا بِ َد ْل ٍو ِمنْ َما ٍء ف‬
‫صبَّهُ َعلَ ْي ِه‬
“Ada seorang Arab Badui pernah kencing di masjid, maka sebagian orangpun    bangkit dan
menuju kepadanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Biarkan (ia
kencing), janganlah kalian memotongnya”.
Anas berkata, “Tatkala orang itu selesai kencing, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
meminta seember air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut. {HR. Al-Bukhariy
dalam Shahih-nya (6025) dan Muslim dalam Shahih-nya (284)}.
3. Madzi, dan Wadi
Madzi adalah cairan yang keluar dari manusia ketika syahwatnya memuncak.
Sedangkan wadi  adalah cairan najis yang keluar dari kemaluan seseorang ketika ia buang air,
karena mengalami sakit, atau lelah, tanpa disertai oleh syahwat.
Adapun keluarnya madzi ini menyebabkan seseorang harus bersuci,
karena madzi adalah najis seperti halnya dengan kencing yang keluar dari kemaluan manusia.
4. Darah Haid
Darah haid merupakan barang najis yang harus dibersihkan dari badan atau pakaian kita
yang terkena, utamanya ketika hendak melakukan ibadah di saat darah haidh terputus, atau
saat ingin berhubungan dengan suami.
5. Kotoran Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya
Binatang yang tidak dimakan dagingnya, seperti; anjing, kucing, babi, monyet, dan
lain-lain, maka kotoran (tahi) dan kencingnya merupakan najis.
Abdullah berkata, “Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ingin buang air, lalu berkata,
“Berikan aku tiga buah batu”. Kemudian aku dapatkan dua buah batu dan kotoran (tahi)
himar, maka beliau mengambil dua buah batu tersebut dan membuang kotoran (tahi) seraya
bersabda,
‫س‬ٌ ‫ِه َي ِر ْج‬
“Dia (kotoran) ini najis”. {HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya(155)}
6. Anjing, Liurnya, dan Sisa Minumannya.
Di antara barang-barang najis adalah anjing, liurnyan dan sisa minumannya.
Kenajisannya telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya:
ِ ‫ت أُ ْواَل هُنَّ بِالتُّ َرا‬
‫ب‬ ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬َ ُ‫سلَه‬ ِ ‫ب أَنْ يَ ْغ‬
ُ ‫طُ ُه ْو ُر إِنَا ِء أَ َح ِد ُك ْم إِ َذا َولَ َغ فِ ْي ِه ا ْل َك ْل‬
“Cara menyucikan bejana salah seorang di antara kalian yang dijilat anjing, dicuci
sebanyak tujuh kali, awalnya dengan tanah”.{[HR. Muslim dalam Shahih-nya (279)}.[1]
7. Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa melalui penyembelihan yang
syar’i, seperti dicekik, dipukul, disetrum, dijepit, atau ditabrak. Bangkai merupakan najis,
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
ُ ‫إِ َذا ُد ْب َغ ْا ِإله‬
‫َاب فَقَ ْد طَ ُه َر‬
“Apabila kulit bangkai disamak, maka ia sungguh telah suci”. {HR. Muslim
dalam Shahih-nya (366) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4105)}

E. Klasifikasi najis dan cara mensucikannya


Najis (Najasah) menurut bahasa artinya adalah kotoran. Dan menurut Syara’ artinya
adalah sesuatu yang bisa mempengaruhi Sahnya Sholat. Seperti air kencing dan najis - najis
lain sebagainya.
Najis itu dapat dibagi menjadi Tiga Bagian
1. Najis Mughollazoh
Yaitu Najis yang berat. Yakni Najis yang timbul dari Najis Anjing dan Babi. Babi
adalah binatang najis berdasarkan al-Qur`an dan Ijma’ para sahabat Nabi (Ijma’ush Shahabat)
(Prof Ali Raghib, Ahkamush Shalat, hal. 33).
Jika binatang itu termasuk jenis yang najis (babi dan juga anjing), maka semua bagian
tubuhnya adalah najis, tidak peduli apakah dalam keadaan hidup atau mati. Babi adalah najis
pada zatnya dan babi tidak dapat menjadi suci jika disamak.
Cara mensucikannya ialah harus terlebih dahulu dihilangkan wujud benda Najis
tersebut. Kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai 7 kali dan permulaan atau
penghabisannya diantara pencucian itu wajib dicuci dengan air yang bercampur dengan
Tanah (disamak).
2. Najis Mukhofafah.
Ialah najis yang ringan, seperti air kencing anak laki-laki yang usianya kurang dari dua
tahun dan belum makan apa-apa, selain air susu ibunya.
Cara membersihkannya, cukup dengan memercikkan air bersih pada benda yang
terkena Najis tersebut sampai bersih betul.
3. Najis Mutawassithah ( ‫ ُمـــتــــ َو سِّــطَــــ ْة‬ )
Ialah najis yang sedang, yaitu kotoran manusia atau hewan, seperti air kencing, nanah,
darah, bangkai, minuman keras ; arak, anggur, tuak dan sebagainya (selain dari bangkai ikan,
belalang, dan mayat manusia).

F. Macam-Macam Thaharah
1. Wudhu
Wudhu adalah cara untuk bersuci dari hadas kecil agar seseorang bisa melaksanakan
shalat. Rasulullah saw bersabda:
َ ‫َث َحتَى يَتَ َو‬
‫ضاء‬ َ ‫اَل يُ ْقبَ ُل هللاُ ال‬
َ ‫صاَل ةَ َم ْن اَحْ د‬
Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat orang yang masih berhadas sehingga ia
berwudhu.”(HR. Bukhari, muslim dan lainnya).
Cara berwudhu telah digambarkan oleh allah di dalam al-Quran, yaitu: “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basulah wajah dan
tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan basulah kaki kalian sampai kedua
mata kaki.” (QS. Al-Maidah:6).
2. Menyapu Sepatu Atas Dua Sepatu
Banyak keterangan menyatakan, bahwa Nabi menyapu atas dua sepatu, baik di
kampong ataupun dalam safar. Beliau menyapu belakang sepatunya. Tak ada keterangan
bahwa dia menyapu bawah sepatunya. Dalam menyapu kepala terkadang beliau mencukupi
dengan menyapu sorbannya saja.
Ringkasannya, jika beliau bersepau beliau menyapu saja atasnya, tidak membukanya.
Jika beliau tidak bersepatu, beliau membasuh kakinya.
3. Tayammum
Nabi Muhammad bertayamum dengan sekali tepuk untuk mukadan kedua telapak
tangan. Tak ada keterangan yang shahih mengatakan bahwa Nabi menepuk dua kali dan
menyapu hingga siku. Beliau bertayammum dengan tanah atau pasir yang di atasnya beliau
bersembahyang.
4. Mandi
Apabila seseorang sedang berhadas besar, maka yang wajib ia lakukan adalah mandi
wajib. Agar ia kembali suci seperti semula dan dapat melakukan ibadah yang ditntut harus
dalam keadaan suci, seperti shalat.
Cara mandi wajib yang paling sederhana, atau  hanya melakukan hal yang wajib saja,
maka ada dua hal yang dilakukan. Pertama, niat. Dan kemudian mengguyur sekujur tubuh
dengan air yang suci dan menyucikan secara merata.
BAB III
KESIMPULAN
Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, oleh karena itu bersuci
memperoleh tempat utama dalam ajaran agama Islam. Berbagai aturan dan hukum diterapkan
oleh syara’ dengan maksud agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir maupun bathin.\
Kesucian dan kebersihan lahir bathin merupakan pangkal keindahan dan kesehatan.
Oleh karena itu hubungan kesucian dan kebersihan dengan keindahan dan kesehatan
sangatlah erat. Pokok ajaran Islam tentang peraturan hidup bersih, suci dan sehat bertujuan
agar setiap muslim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka
bumi ini.
Kebersihan dan kesucian lahir bathin merupakan hal yang utama dan terpuji dalam
ajaran Islam, karena hal tersebut dapat meningkatkan derajat harkat dan martabat manusia di
hadapan Allah SWT.
Daftar Pustaka

Punyalembakblogspot.com

https://wahdah.or.id/penjelasan-ringkas-mengenai-thaharah/

Khairunnisa’, 2010, “Perilaku Thaharah (Bersuci) Masyarakat Bukit Kemuning Lampung


Utara”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai