PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
pucat dan teraba dingin, capillary refilled time > 3 detik, sumber
pendarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan tindakan
pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam posisi hirup
kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi, akses vena sulit
didapat.
Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan
rangsangan nyeri, mengerang pupil anisokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
a. Suhu 360 C
b. Rumpled Leed (+)
c. Kutis marmorata
Secondary survey:
Kepala:
a. Mata : conjungtiva tidak pucat
b. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
a. Inspeksi : gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
b. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
c. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
d. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin, capillary refilled time > 3 menit
3
Kondisi Boni memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas 10x/menit,
nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetap Boni tidak dapat
tertolong.
4
rangsangan nyeri, mengerang pupil isokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
a. Suhu 360 C
b. Rumpled Leed (+)
c. Kutis marmorata
5. Secondary survey:
Kepala:
a. Mata : conjungtiva tidak pucat
b. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
a. Inspeksi :gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
b. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
c. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
d. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin capillary refilled time > 3 menit
5
1. Boni, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 16 kg dibawa
ibunya ke IGD RSMP karena tampak lesu sejak 12 jam yang lalu. Keluhan juga
disertai tangan dan kaki dingin.
a. Apa makna Boni tampak lesu disertai tangan dan kaki dingin ?
Jawab:
Makna Boni tampak lesu, tangan dan kaki dingin (akral dingin)
merupakan tanda dari penurunan perfusi ke jaringan yang merupakan salah
satu tanda dari tanda syok (Leksana, Ery. 2015).
6
keadaan ini anak tampak sembab meski sebenarnya anak ini
kekurangan cairan intravaskular.
(Azis, 2011)
d. Bagaimana patofisiologi lesu disertai tangan dan kaki dingin pada kasus ?
Jawab:
Infeksi virus dengue kompleks antigen antibody (Ag-Ab) sekresi
mediator inflamasi dan aktivasi komplemen (C3a dan C5a) pengeluaran
histamine oleh sel mast permeabilitas kapiler meningkat kebocoran
plasma syok hipovolemik menurunnya perfusi ke jaringan perifer
tampak lesu serta tangan dan kaki dingin
7
2. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak disertai kejang dan
tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turun.
a. Apa makna sejak 3 hari yang lalu panas tinggi terus menerus namun tidak
disertai kejang dan batuk pilek ?
Jawab:
Makna 3 hari yang lalu panas tinggi terus menerus merupakan
manifestasi klinis dari Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), makna tidak
disertai kejang adalah tidak ada gangguan neorologis, dan makna tidak disertai
batuk pilek adalah tidak ada gangguan pada traktus respiratorius bagian atas.
8
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian
cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72
jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali , hemodinamik stabil dan diuresis membaik.
2) Demam Remitten
9
Pada tipe demam remitten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu badan normal. Contoh : thypoid fever,
infeksi virus & mycoplasma. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat
dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang
dicatat pada demam septik.
3) Demam Intermitten
Pada demam intermitten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam diantara dua serangan demam disebut kuartana, contohnya
Malaria.
4) Demam Kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda
lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia, contohnya Pneumonia.
10
Gambar : Siklus Demam Kontinyu
5) Demam Siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa
hari yang diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu tubuh seperti semula.
Jadi, jenis demam yang terdapat pada kasus adalah demam siklik yang
mengalami kenaikan suhu selama beberapa hari diikuti periode bebas
demam untuk beberapa hari dan kemudian suhu tubuh akan naik seperti
semula. Siklus demam ini merupakan siklus khas bagi penyakit Demam
Dengue, dan Demam Berdarah Dengue.
(Sudoyo, 2016)
11
d. Bagaimana patofisiologi demam pada kasus ?
Jawab:
Infeksi (eksotoksin) peningkatatan endotoksin, sitokin, dan
proinflamasi peningkatan prostaglandin prostaglandin dilepaskan ke
jaringan sekitar hipotalamus anterior peningkatan set point sel diteruskan
ke neuron otonom di nukleus paraventrikular lalu diproyeksikan ke batang otak,
medulla spinalis (sistem otonom) demam (Guyton, 2010).
12
- 1 - 500
- 3 - 600
- 5 - 700
- 7-8 - 1000
- 15 - 1500
Volume urin normal pada anak yaitu 1-2 ml/kgBB/jam.
(IDAI, 2010)
13
(compensated) ±750 ml 90-100 mmHg
2.Ringan 20-25 % Gelisah, keringat dingin, haus,
(compensated) 1000-1200 ml diuresis berkurang, takikardi >
100/menit, sistolik 80-90 mmHg
3.Sedang 30-35 % Gelisah, pucat, dingin, oliguri,
(reversible) 1500-1750 ml takikardi >100/menit, sistolik 70-
80 mmHg
4.Berat 35-50 % Pucat, sianotik, dingin, takipnea,
(irreversible) 1750-2250 ml anuri, kolaps pembuluh darah,
takikardi/tak teraba lagi, sistolik 0-
40 mmHg.
(Purwadianto, 2013)
4. Pemeriksaan fisik:
Primary survey:
Airway : bisa berbicara jika di panggil namanya dengan suara keras
Breathing : pernafasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan vesikuler,
14
ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit diraba, ekstremitas
terlihatpucat dan teraba dingin, capillary refilled time > 3 detik,
sumber pendarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan
tindakan pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam
posisi hirup kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi,
akses vena sulit didapat.
Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan
rangsangan nyeri, mengerang pupil isokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
Suhu 360 C
Rumpled Leed (+)
Kutis marmorata
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik primary survey ?
Jawab:
15
detik, sumber pendarahan detik, tidak ada
tidak tampak. perdarahan.
Disability membuka mata dengan Eye: Spontan membuka Eye: 4
panggilan, gerakan mata Motorik:5
ekstremitas dengan Motorik: mengikuti Verbal:2
rangsangan nyeri, perintah GCS: 10
mengerang, pupil isokor, Verbal: berorientasi baik penurunan
refleks cahaya (+) pupil isokor, refleks kesadaran
cahaya (+) sedang
Exposure Suhu 360 C Suhu 36,5-37,50 C Hipotermia,
Rumpled Leed (+) Rumpled Leed (-) Pteckie
Kutis marmorata Tidak ada kutis marmorata Hipotermia
Penurunan kesadaran:
Infeksi Virus Makrofag Virus bereplikasi di makrofag aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik limfokin dan INF-gamma monosit sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin disfungsi sel
endotel kebocoran plasma berkurangnya perfusi oksigen ke jaringan
otak penurunan kesadaran (Silbernagl, 2014).
16
endotel kebocoran plasma berkurangnya aliran balik vena vena
tidak distensi (Silbernagl, 2014).
Rumpled (+)
Infeksi Virus Makrofag Virus bereplikasi di makrofag aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik limfokin dan INF-gamma monosit sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin disfungsi sel
endotel kebocoran plasma agregrasi trombosit trombositopenia
Rumpled (+)(Silbernagl, 2014).
17
c. Tidak mengandung gukosa sehingga bila dipakai sebagai
cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk
mencegah terjadinya ketosis
2) Ringer Acetate
+ - ++ –
Komposisi : Na 130, K+ 4, Cl 109, Ca 3, Acetate 28
Indikasi : digunakan sebagai terapi pengganti cairan pada pasien
dengan gangguan hepar, karena metabolisme asetat terjadi di otot,
berbeda dengan laktat yang dimetabolisme di hati (hepar).
3) NaCl physiologic (0,9% saline
+ -
Komposisi : Na 154 Cl 154
Digunakan sebagai cairan resusitasi (Replacement Therapy) terutama
+
untuk kasus kadar Na rendah, keadaan dimana RL tidak cocok
digunakan, misalnya pada alkalosis, retensi kalium, cairan pilihan untuk
trauma kapitis, dipakai untuk mengencerkan darah merah sebelum
transfusi.
Kekurangan cairan ini:
-
a. Tidak mengandung HCO3
+
b. Tidak mengandung K
+ -
c. Kadar Na dan Cl relatif tinggi sehingga dapat terjadi
acidosis hyperchloremia, acidosis dilutional dan
hypernatremia.
4) Hartmann’s solution
Non-ionik
1) Dextrose 5% dan 10%
Indikasi : digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan
pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada pure water
deficit, dan penggunaan perioperatif.
Kekurangan :
a. Tidak mengandung elektrolit
18
b. Cairan hipotonik sehingga menambah volume intrasel sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya edema anasarka (edema seluruh
tubuh).
c. Menyebabkan hiponatremia dan hipokloremia (gangguan
keseimbangan elektrolit).
19
tergantung dari kemampuan petugas yang melayani (ATLS, 2008). Bolus
kristaloid isotonik 10-30 ml/kgbb diberikan dalam 6-10 menit, melalui akses
intravaskular atau intraoseal. Setiap selesai pemberian bolus dilakukan
penilaian keadaan anak. Bila masih terdapat tanda syok diberikan bolus
kristaloid kedua 10-30 ml/kgbb/6-10 menit. Bolus selanjutnya baik kristaloid
maupun koloid diberikan sampai perfusi sistemik membaik dan syok
teratasi. Anak yang mengalami syok hipovolemik sering memerlukan cairan
resusitasi 60-80 ml/kgbb dalam satu jam pertama (Darwis, 2003).
20
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas
dengan tetap memperhatikan kontrol servikal. Tujuannya adalah
membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi tubuh
(Bouillon, 2009).
a. Pengelolaan jalan nafas tanpa alat :
i. Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal
Chin Lift
Head Tilt
Jaw thrust
ii. Membersihkan jalan nafas
iii. Mengatasi sumbatan nafas parsial
b. Pengelolaan dengan alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak
berhasil dengan sempurna dan fasilitas tersedia. Peralatan dapat
berupa:
- Pemasangan Pipa (tube)
- Pengisapan benda cair (suctioning)
- Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas
- Membuka jalan nafas
- Proteksi servikal
-
A. Breathing (Pernafasan)
Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan
bantuan untuk menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas karbon
dioksida.
B. Circulation (Perdarahan)
Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh
yang tadinya terhenti atau terganggu. Tujuannya adalah agar sirkulasi darah
kembali berfungsi normal. Gangguan sirkulasi ditandai dengan:
a. Tingkat kesadaran
21
Bila volume darah menurun, perfusi otak berkurang yang akan
menyebabkan penurunan kesadaran, tetapi penderita yang sadar belum
tentu normovolemik.
b. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemi. Pasien tampak
pucat, ekstremitas dingin, berkeringat dingin dan capillary refill time
lebih dari 2 detik.
c. Nadi
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda dari hipovolemi.
22
C. Motor-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor
responses)
Nilai 6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan
permintaan.
Nilai 5 : dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena
nyeri (localized pain).
Nilai 4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
Nilai 3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
Nilai 2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi.
Nilai 1 : tidak ada respons berupa gerak.
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-
tanda lateralisasi.
3. Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
D. Exposure
Pasien harus benar-benar buka pakaian, biasanya dengan memotong
pakaian. Kita harus menutupi pasien dengan selimut hangat untuk mencegah
hipotermia. Cairan infuse harus dihangatkan dan lingkungan yang hangat
dipertahankan.
23
Eye-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses)
Nilai 4 : membuka mata spontan (normal).
Nilai 3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta.
Nilai 2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri.
Nilai 1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri.
Verbal-SCORE (memberikan respon jawaban secara verbal/verbal
responses)
Nilai 5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban
dengan baik dan benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
(nama, umur, dll).
Nilai 4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
seperti bingung (confused conservation).
Nilai 3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
hanya berupa kata-kata yang tidak jelas (inappropriate words).
Nilai 2 : memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas
bukan merupakan kata (incomprehensible sounds).
Nilai 1 : tidak memberikan jawaban berupa suara apapun.
Motor-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor responses)
Nilai 6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan
permintaan.
Nilai 5 : dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena
nyeri (localized pain).
Nilai 4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
Nilai 3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
Nilai 2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi.
Nilai 1 : tidak ada respons berupa gerak.
Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :
Nilai GCS (15-14) : Composmentis
Nilai GCS (13-12) : Apatis
Nilai GCS (11-10) : Delirium
Nilai GCS (9-7) : Somnolen
Nilai GCS (6-5) : Stopor
Nilai GCS (0-3) : Coma
24
5. Secondary survey:
Kepala:
e. Mata : conjungtiva tidak pucat
f. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
g. Telinga : tidak ada kelainan
h. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
e. Inspeksi :gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
f. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
g. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
h. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
e. Inspeksi : datar
f. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
g. Perkusi : timpani
h. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin capillary refilled time > 3 menit
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik secondary survey ?
Jawab:
Kepala : bibir kering kekurangan cairan
25
Infeksi Virus Makrofag Virus bereplikasi di makrofag aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik limfokin dan INF-gamma monosit sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin disfungsi sel
endotel kebocoran plasma plasma darah keluar dari intravascular ke
ekstravaskular volume darah ↓ CO ↓ aliran darah ke perifer ↓
akral pucat dan teraba dingin (Silbernagl, 2014).
26
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan pasien. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis
perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Trauma biasanya dibagi menjadi 2 jenis: tumpul dan tajam.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik survai sekunder dilakukan perurutan mulai dari
kepala, maksilo-fasial, cervical dan leher, dada, abdomen,
perenium/rectum/vagina, musculoskeletal sampai pemeriksaan
neurologis.
27
b. Bagaimana cara melakukan resusitasi intraosseus ?
Jawab:
Persiapan alat dan bahan:
Larutan Povidone Iodine, Anesthesia lokal, Lidocaine 1%, Jarum
intraosseous, Syringe 5-10 ml, Infus set dan normal saline, Plester,
Imobilisasi. Jarum intraosseous dari kiri ke kanan; Cook intraosseous
infution needle dan dua model dari jarum Illinois sternal/iliaca.
28
Gambar 3. Aseptik lokasi resusitasi intraosseus
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A
29
dengan mudah dan tidak ada bukti pembengkakan, berarti jarumnya
berada di tempat yang benar. Bila sumsum tulang tidak diaspirasi
seperti diuraikan pada poin 7, tetapi cairan saline yang diinjeksi
mengalir dengan mudah tanpa bukti pembengkakan, jarumnya berada di
tempat yang benar. Sebagai tambahan, penempatan jarum yang benar
tertanda bila jarum tetap tegak lurus tanpa bantuan dan larutan intravena
mengalir bebas tanpa bukti inftiltrasi di bawah kulit.
10) Hubungkan jarum dengan selang infus dan mulailah infus cairan.
Jarumnya kemudian diputar masuk lebih jauh ke dalam cavum medulla
sampai pusat jarum berada di kulit penderita. Bila digunakan jarum
licin, jarum itu harus distabilkan dengan sudut 45˚ sampai 60˚ dengan
permukaan anteromedial dari kaki anak.
11) Berikanlah salep antibiotik dan perban steril ukuran 3x3. Fiksasi IV
kateter dan selang infus dengan plester.
12) Secara rutin lakukan evaluasi ulang mengenai tempat jarum
intraosseous, dengan memastikan bahwa jarumnya tetap di dalam
korteks tulang dan di saluran medulla. Ingat, infus intraosseous harus
30
dibatasi pada resusitasi darurat anak dan dihentikan segera begitu
terdapat akses vena lain
(Purwadianto, 2013).
31
Jawab:
Syok hipovolemik e.c Dengue Shock Syndrome
32
(Depkes RI, 2005)
1. Penimbangan berat badan. Berat badan perlu ditimbang saat pasien datang
sebagai dasar perhitungan pengobatan dan untuk menilai perjalanan
penyakit. Pada tahap awal, penimbangan berat badan dilakukan 2–3 kali
sehari (dengan timbangan gantung), selanjutnya paling kurang satu kali
sehari. Perkiraan berat badan dapat dihitung berdasarkan rumus: BB (kg) =
2 x umur (tahun) + 4.
2. Pemberian tunjangan hidup dasar. Obat pertama yang harus diberikan pada
kegawatan DBD adalah oksigen. Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi.
Dimulai dengan resusitasi jantung paru yang memastikan jalan napas
33
terbuka dan pernafasan adekuat. Saturasi oksigen dipertahankan antara 95–
100% dan kadar hemoglobin cukup.
3. Pemasangan akses vena. Buat akses vena dan ambil contoh darah untuk
analisis gas darah, kadar hemoglobin, hemotokrit, jumlah trombosit,
golongan darah dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca,
Mg, P dan asam laktat.
4. Pemasangan kateter urin.Pasang kateter urin dan lakukan penampungan
urin, pemeriksaan urinalisis, dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah
diuresis dihitung setiap jam (normal: 2-3 ml/kgbb/jam). Bila diuresis kurang
dari 1 ml/kgbb/jam berarti terdapat hipoperfusi ginjal. Oliguria lebih dahulu
muncul dari pada penurunan tekanan darah dan takikardia.
5. Pemasangan pipa oro / nasogastrik. Pemasangan pipa oro / nasogastrik pada
anak sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran
cerna (stres gastritis) dan melakukan bilasan lambung dengan garam
fisiologik. Stres Gastritis biasanya memberi respons baik terhadap
pembilasan lambung dan koreksi hemodinamik.
6. Resusitasi cairan. Resusitasi cairan adalah pemberian bolus cairan resusitasi
secara cepat melalui akses intravaskular atau intraoseal pada keadaan
hipovolemia. Tujuan resusitasi cairan adalah menyelamatkan otak dari
gangguan hipoksik- iskemik, melalui peningkatan preload dan curah
jantung, mengembalikan volume sirkulasi efektif, mengembalikan oxygen-
carrying capacity dan mengoreksi gangguan metabolik dan elektrolit.
(Darwis, 2003)
34
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yang mengakibatkan ekstravasasi
aliran intravaskuler sel hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya cairan dalam
rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi dispnea, sesak napas.
3. Hemorrhagic encephalopathy
4. Kegagalan organ dan kematian
DSS juga disertai dengan kegagalan hemostasis mengakibatkan perfusi miokard
dan curah jantung menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi iskemia
jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan irreversibel, terjadi
kerusakan sel dan organ sehingga pasien akan meninggal.
(WHO, 2011)
35
” Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke
dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup . Dan Engkau beri rezki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).”(QS.Ali Imran:27).
Sehingga kematian tidaklah pantas untuk ditakuti. Adanya kematian
bukanlah akhir dari kehidupan, namun menjadi pintu untuk kehidupan
selanjutnya bagi yang meninggal dan nasihat bagi kita yang masih hidup.
Nasihat agar lebih menghargai kehidupan.
2.6 Kesimpulan
Boni, anak laki-laki 4 tahun tidak tertolong karena mengalami syok hipovolemik
e.c DSS (Dengue Shock Syndrome)
Kebocoran plasma
Syok hipovolemik
(Dengue Shock Syndrome)
Tidak tertolong
36
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R., Marcdante, K., Kliegman, R., Jenson, H. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Essensial Edisi Ke 6. Jakarta : IDAI.
Darwis, Darlan. 2003. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 4, No. 4, hal: 156 – 162.
Guyton, A.C dan Hall J. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
IDAI. 2010. Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.
Leksana, Ery. 2015. Dehidrasi dan Syok Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr.
Kariadi/Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
CDK-228/ vol. 42 no. 5.
Purwadianto, Agus. 2013. Kedaruratan Medik. Ed. Revisi. Tangerang : Binarupa Aksa.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
37