Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok traumatologi dan kegawatdaruratan medik adalah blok dua puluh pada
semester VI dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan
studi kasus skenario Boni, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 16
kg dibawa ibunya ke IGD RSMP karena tampak lesu sejak 12 jam yang lalu. Keluhan
juga disertai tangan dan kaki dingin. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus
namun tidak disertai kejang dan tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah
mulai turu. BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu. Kondisi Boni
memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas 10x/menit, nadi tidak teraba.
Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetap Boni tidak dapat tertolong.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr. Abdul Basith
Moderator : Puja Arga Marandika
Sekretaris : Anisia Ayunda Putri
Notulen : Drif Falency
Waktu : 1. Selasa, 19 Juni 2017
2. Kamis, 20 Juni 2017
Pukul. 13.00 – 14.30 WIB.
Peraturan : 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.
2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat / aktif.
3. Mengacungkan tangan saat akan mengutarakan pendapat.
4. Izin terlebih dahulu saat akan keluar ruangan.
5. Tidak boleh membawa makanan dan minuman pada saat
proses tutorial berlangsung.
6. Dilarang memotong pembicaraan ketika ada yang sedang
memberikan pendapat.
7. Dilarang berbisik-bisik dengan teman.

2.2 Skenario Kasus


Boni, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 16 kg dibawa
ibunya ke IGD RSMP karena tampak lesu sejak 12 jam yang lalu. Keluhan juga disertai
tangan dan kaki dingin. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak
disertai kejang dan tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turun.
BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu.
Pemeriksaan fisik:
Primary survey:
Airway : bisa berbicara jika di panggil namanya dengan suara keras
Breathing : pernafasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan vesikuler, ronki
tidak ada, wheezing tidak ada
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit diraba, ekstremitas terlihat

2
pucat dan teraba dingin, capillary refilled time > 3 detik, sumber
pendarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan tindakan
pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam posisi hirup
kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi, akses vena sulit
didapat.
Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan
rangsangan nyeri, mengerang pupil anisokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
a. Suhu 360 C
b. Rumpled Leed (+)
c. Kutis marmorata

Secondary survey:
Kepala:
a. Mata : conjungtiva tidak pucat
b. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
a. Inspeksi : gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
b. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
c. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
d. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin, capillary refilled time > 3 menit

3
Kondisi Boni memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas 10x/menit,
nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetap Boni tidak dapat
tertolong.

2.3 Klarifikasi Istilah


1. Kejang : Suatu keadaan yang kaku dan tegang
2. Rumpled Leed : Pemeriksaan hematologi dengan melakukan pembendungan
dibagian lengan atas selama 10 menit, untuk uji diagnostik
kerapuhan vaskuler dan trombosit
3. Resusitasi : Tindakan mengganti kehilangan cairan tubuh yang hilang
intraosseus yang dilakukan di antara tulang
4. Kutis marmarata : Bintik seperti jaring bewarna merah- biru pada kulit sesaat
yang terjadi sebagai respon normal terhadap dingin
5. Capilllary : Tes yang dilakukan pada daerah dasar kuku untuk
refilled time memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan

2.4 Identifikasi Masalah


1. Boni, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 16 kg dibawa
ibunya ke IGD RSMP karena tampak lesu sejak 12 jam yang lalu. Keluhan juga
disertai tangan dan kaki dingin.
2. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak disertai kejang dan
tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turu.
3. BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu.
4. Pemeriksaan fisik:
Primary survey:
Airway : bisa berbicara jika di panggil namanya dengan suara keras
Breathing : pernafasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan vesikuler,
ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit diraba, ekstremitas
terlihatpucat dan teraba dingin, capillary refilled time > 3 detik,
sumber pendarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan
tindakan pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam
posisi hirup kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi,
akses vena sulit didapat.
Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan

4
rangsangan nyeri, mengerang pupil isokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
a. Suhu 360 C
b. Rumpled Leed (+)
c. Kutis marmorata
5. Secondary survey:
Kepala:
a. Mata : conjungtiva tidak pucat
b. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
a. Inspeksi :gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
b. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
c. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
d. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin capillary refilled time > 3 menit

5. Kondisi Boni memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas 10x/menit,


nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetapi Boni tidak
dapat tertolong.

2.5 Analisis Masalah

5
1. Boni, seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dengan berat badan 16 kg dibawa
ibunya ke IGD RSMP karena tampak lesu sejak 12 jam yang lalu. Keluhan juga
disertai tangan dan kaki dingin.
a. Apa makna Boni tampak lesu disertai tangan dan kaki dingin ?
Jawab:
Makna Boni tampak lesu, tangan dan kaki dingin (akral dingin)
merupakan tanda dari penurunan perfusi ke jaringan yang merupakan salah
satu tanda dari tanda syok (Leksana, Ery. 2015).

b. Apa hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus ?


Jawab:
Kejadian DBD terbanyak terjadi pada kelompok umur 5 - 14 tahun.
Berdasarkan distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan. Dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)
2005 yang mengindikasikan tinggi-nya angka perawatan rumah sakit dan
kematian akibat DBD, khusus nya pada anak (Widoyono, 2011).

c. Apa penyebab kaki tangan dingin disertai lesu ?


Jawab:
Akral dingin pada anak dapat terjadi karena renjatan hipovolemik yang
disebabkan oleh:
1) Kehilangan cairan dan elektrolit : diare, muntah, diabetes insipidus,
heat stroke renal loss.
2) Perdarahan : Perdarahan internal (ruptura hepar/lien trauma jaringan
lunak fraktura tulang panjang, perdarahan saluran cerna, dan
perdarahan eksternal misalnya akibat trauma.
3) Kehilangan plasma : sindroma nefrotik, obstruksi ileus, demam
berdarah dengue peritonitis
4) Penyebab lain dari renjatan hipovolemi adalah kebocoran kapiler
(capillary leak syndrome), cairan intravaskular keluar ke jaringan
seperti luka bakar, sepsis, penyakit-penyakit keradangan lain, pada

6
keadaan ini anak tampak sembab meski sebenarnya anak ini
kekurangan cairan intravaskular.
(Azis, 2011)

d. Bagaimana patofisiologi lesu disertai tangan dan kaki dingin pada kasus ?
Jawab:
Infeksi virus dengue  kompleks antigen antibody (Ag-Ab)  sekresi
mediator inflamasi dan aktivasi komplemen (C3a dan C5a)  pengeluaran
histamine oleh sel mast  permeabilitas kapiler meningkat  kebocoran
plasma  syok hipovolemik  menurunnya perfusi ke jaringan perifer 
tampak lesu serta tangan dan kaki dingin

e. Bagaimana penanganan pasien gawat darurat di IGD secara umum ?


Jawab:
Menurut Advanced Trauma Life Support for Doctors (2008),
Melakukan penilaian cepat dan tindakan tepat untuk menghindari kematian,
dengan melakukan initial assessment (penilaian awal) yang meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary Survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan untuk primary Survey & Resusitasi
6. Pertimbangan kemungkinan rujukan
7. Secondary Survey (pemeriksaan head-to-toe anamnesa)
8. Tambahan untuk secondary Survey
9. Pemantauan dan reevluasi berkesinambungan
10. Terapi definitif
Primary dan secondary survey harus dilakukan berulangkali untuk
mengetahui perubahan kondisi pasien yang mungkin memerlukan intervensi
tambahan.

7
2. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak disertai kejang dan
tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turun.
a. Apa makna sejak 3 hari yang lalu panas tinggi terus menerus namun tidak
disertai kejang dan batuk pilek ?
Jawab:
Makna 3 hari yang lalu panas tinggi terus menerus merupakan
manifestasi klinis dari Dengue Haemorrhagic Fever (DHF), makna tidak
disertai kejang adalah tidak ada gangguan neorologis, dan makna tidak disertai
batuk pilek adalah tidak ada gangguan pada traktus respiratorius bagian atas.

b. Apa makna sejak tadi pagi panas sudah mulai turun ?


Jawab:
Makna sejak tadi pagi panas turun  telah memasuki fase kritis selama
2-3 hari dimana apabila pada fase ini tidak ditangani dapat terjadi renjatan.
Menurut WHO (2009), terdapat 3 gambaran klinis penderita Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) yaitu:
a. Fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal.
b. Fase kritis
Fase kritis terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan
suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam.
Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase pemulihan

8
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian
cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72
jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih
kembali , hemodinamik stabil dan diuresis membaik.

c. Apa jenis-jenis demam ?


Jawab:
Pengelompokkan demam dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
berdasarkan lamanya demam dan kenaikan suhu. Jenis demam bila di
kelompokkan berdasarkan lama demam yaitu: a) demam kurang dari 7 hari
dan b) demam lebih dari 7 hari. Jenis demam bila di kelompokkan
berdasarkan kenaikan suhu yaitu:
1. Demam septik
2. Demam remiten
3. Demam intermiten
4. Demam kontinyu
5. Demam siklik
Sintesis:
1) Demam septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali ada malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan juga demam hektik.

Gambar : Siklus Demam Septik

2) Demam Remitten

9
Pada tipe demam remitten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu badan normal. Contoh : thypoid fever,
infeksi virus & mycoplasma. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat
dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang
dicatat pada demam septik.

Gambar : Siklus Demam Remitten

3) Demam Intermitten
Pada demam intermitten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam diantara dua serangan demam disebut kuartana, contohnya
Malaria.

Gambar : Siklus Demam Intermitten

4) Demam Kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda
lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia, contohnya Pneumonia.

10
Gambar : Siklus Demam Kontinyu

5) Demam Siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa
hari yang diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu tubuh seperti semula.

Gambar : Siklus Demam Siklik

Jadi, jenis demam yang terdapat pada kasus adalah demam siklik yang
mengalami kenaikan suhu selama beberapa hari diikuti periode bebas
demam untuk beberapa hari dan kemudian suhu tubuh akan naik seperti
semula. Siklus demam ini merupakan siklus khas bagi penyakit Demam
Dengue, dan Demam Berdarah Dengue.

(Sudoyo, 2016)

11
d. Bagaimana patofisiologi demam pada kasus ?
Jawab:
Infeksi (eksotoksin)  peningkatatan endotoksin, sitokin, dan
proinflamasi  peningkatan prostaglandin  prostaglandin dilepaskan ke
jaringan sekitar hipotalamus anterior  peningkatan set point  sel diteruskan
ke neuron otonom di nukleus paraventrikular lalu diproyeksikan ke batang otak,
medulla spinalis (sistem otonom)  demam (Guyton, 2010).

3. BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu.


a. Apa makna BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu ?
Jawab:
Makna BAB biasa artinya tidk ada gangguan pada gastroinstestinal dan tidak
BAK sejak 12 jam yang lalu artinya ada penurunan perfusi ke ginjal yang
menyebabkan peningkatan retensi Na dan air sehingga terjadilah oliguria
(Darwis, Darlan. 2003).

b. Bagaimana patofisiologi tidak BAK pada kasus ?


Jawab:
Infeksi virus dengue  kompleks antigen antibody (Ag-Ab)  sekresi
mediator inflamasi dan aktivasi komplemen (C3a dan C5a)  pengeluaran
histamine oleh sel mast  permeabilitas kapiler meningkat  kebocoran
plasma  syok hipovolemik  menurunnya perfusi jaringan ke ginjal 
aktivasi RAAS  tidak BAK (oliguria)

c. Berapa volume urin pada anak usia 4 tahun?


Jawab:
Volume urin normal
Umur (Tahun) Volume Urin (ml/24 jam)
Neonatus
- 1-2 hari - 15-60
- 4-12 hari - 100-300
- 15-60 hari - 250-450
Anak

12
- 1 - 500
- 3 - 600
- 5 - 700
- 7-8 - 1000
- 15 - 1500
Volume urin normal pada anak yaitu 1-2 ml/kgBB/jam.
(IDAI, 2010)

d. Apa saja jenis-jenis syok ?


Jawab:
Menurut Behrman (2014), mengklasifikasikan syok sebagai berikut:
1) Hipovolemia : terjadi karenan kehilangan cairan dari ruang intravaskular
yang terjadi sekunder karena asupan yang kurang atau kehilangan cairan
yang banyak. Berkurangnya volume darah akan menurunkan preload, isi
sekuncup dan curah jantung.
2) Distributif : distribusi aliran darah abnormal dpat mengakibatkan
gangguan perfusi jaringan yang berat. Maldistribusi aliran darah tersebut
biasnya karena ada kelainan tonus vaskular.
3) Kardiogenis : akibat gangguan fungsi miokardium yang tercermin
dengan depresi kontraktilitas miokardium dan curah jantung dengan
perfusi jaringan buruk.
4) Obstruktif : obstruksi mekanis aliran ventrikel
5) Disosiatif : kondisi perfusi jaringan normal, tetap sel tidak dapat
menggunakan oksigen hemoglobin mengalami gangguan daya ikat
terhadap oksigen sehingga menghambat proses pelepasan oksigen ke
jarinngan.

e. Apa tanda-tanda syok ?


Jawab:
Stadium syok berdasarkan volueme plasma yang hilang
Stadium Plasma yang hilang Gejala
1.Presyok 10-15% Pusing, takikardi ringan, sistolik

13
(compensated) ±750 ml 90-100 mmHg
2.Ringan 20-25 % Gelisah, keringat dingin, haus,
(compensated) 1000-1200 ml diuresis berkurang, takikardi >
100/menit, sistolik 80-90 mmHg
3.Sedang 30-35 % Gelisah, pucat, dingin, oliguri,
(reversible) 1500-1750 ml takikardi >100/menit, sistolik 70-
80 mmHg
4.Berat 35-50 % Pucat, sianotik, dingin, takipnea,
(irreversible) 1750-2250 ml anuri, kolaps pembuluh darah,
takikardi/tak teraba lagi, sistolik 0-
40 mmHg.
(Purwadianto, 2013)

f. Bagaimana tatalaksana syok pada kasus ?


Jawab:
Dalam menghadapi kasus demam dengue, tentukan terlebih dahulu
apakah pasien dalam kondisi syok atau non-syok; kedua, tentukan saat
pasien datang adalah demam hari ke berapa. Tata laksana suportif yang
direkomendasi oleh WHO 2011 adalah mempertahankan oksigenasi saluran
napas yang adekuat dengan pemberian oksigen. Tata laksana utama adalah
mengganti cairan intravaskular dan elektrolit yang hilang. Pada DBD, cairan
awal diperlukan secara oral atau parenteral untuk menghindari terjadinya
syok. Jika sindrom syok dengue (SSD) terjadi, resusitasi volume plasma
diperlukan segera. Kristaloid harus diberikan 10-20 mg/kgBB IV dengan
bolus secepatnya. Jika tidak responsif, koloid dan transfusi darah dapat
digunakan. Produk darah kadang diperlukan untuk memperbaiki koagulasi
intravaskular diseminata (WHO, 2011)

4. Pemeriksaan fisik:
Primary survey:
Airway : bisa berbicara jika di panggil namanya dengan suara keras
Breathing : pernafasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan vesikuler,

14
ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit diraba, ekstremitas
terlihatpucat dan teraba dingin, capillary refilled time > 3 detik,
sumber pendarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan
tindakan pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam
posisi hirup kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi,
akses vena sulit didapat.
Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan
rangsangan nyeri, mengerang pupil isokor, refleks cahaya (+)
Exposure :
 Suhu 360 C
 Rumpled Leed (+)
 Kutis marmorata
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik primary survey ?
Jawab:

Pemeriksaan Primary Survey Normal Interpretasi


Airway bisa berbicara jika di bisa berbicara jika di Normal
panggil namanya dengan panggil namanya dengan
suara keras suara keras
Breathing pernafasan 30x/menit, RR 20-30 x/menit untuk Normal
suara napas kiri dan kanan usia 2-5 tahun, menurut
vesikuler, ronki tidak ada, kriteria WHO untuk anak
wheezing tidak ada >12 bulan RR >30 x/menit
didiagnosis sebagai
takipnue, suara napas kiri
dan kanan vesikuler, ronki
tidak ada, wheezing tidak
ada
Circulation tekanan darah tidak tekanan darah dapat Tanda-
terukur, nadi sulit diraba, terukur, nadi dapat diraba, tanda syok
ekstremitas terlihat pucat ekstremitas tidak terlihat
dan teraba dingin, pucat dan teraba dingin,
capillary refilled time > 3 capillary refilled time <2

15
detik, sumber pendarahan detik, tidak ada
tidak tampak. perdarahan.
Disability membuka mata dengan Eye: Spontan membuka Eye: 4
panggilan, gerakan mata Motorik:5
ekstremitas dengan Motorik: mengikuti Verbal:2
rangsangan nyeri, perintah GCS: 10
mengerang, pupil isokor, Verbal: berorientasi baik penurunan
refleks cahaya (+) pupil isokor, refleks kesadaran
cahaya (+) sedang
Exposure Suhu 360 C Suhu 36,5-37,50 C Hipotermia,
Rumpled Leed (+) Rumpled Leed (-) Pteckie
Kutis marmorata Tidak ada kutis marmorata Hipotermia

b. Bagaimana patofisiologi pemeriksaan fisik primary survey ?


Jawab:
Tekanan darah tidak teratur:
Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel
endotel  kebocoran plasma  berkurangnya stroke volume  tekanan
darah tidak teratur (Silbernagl, 2014).

Penurunan kesadaran:
Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel
endotel  kebocoran plasma  berkurangnya perfusi oksigen ke jaringan
otak  penurunan kesadaran (Silbernagl, 2014).

Vena tidak distensi


Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel

16
endotel  kebocoran plasma  berkurangnya aliran balik vena  vena
tidak distensi (Silbernagl, 2014).

Rumpled (+)
Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel
endotel  kebocoran plasma  agregrasi trombosit  trombositopenia 
Rumpled (+)(Silbernagl, 2014).

c. Apa saja macam-macam cairan resusitasi ?


Jawab:
Ada dua jenis cairan pengganti cairan tubuh :
A. Cairan kristaloid : merupakan cairan yang mengandung partikel
dengan berat molekul (BM) rendah (<8000 Dalton), dengan atau
tanpa glukosa.
Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh
ruang ekstraseluler.
Contoh cairan kristaloid:
Larutan ionic
1) Ringer Lactat (RL)
Merupakan cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar
+ + - ++ -
diperlukan. Komposisi : Na 130, K 4, Cl 109, Ca 3, Lactate 28
Indikasi : sebagai replacement therapy, seperti syok hipovolemik, diare,
trauma, luka bakar.
Catatan :
a. Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh
hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki keadaan seperti
asidosis metabolik
b. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk
maintenance sehari-hari, apalagi untuk defisit kalium

17
c. Tidak mengandung gukosa sehingga bila dipakai sebagai
cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk
mencegah terjadinya ketosis
2) Ringer Acetate
+ - ++ –
Komposisi : Na 130, K+ 4, Cl 109, Ca 3, Acetate 28
Indikasi : digunakan sebagai terapi pengganti cairan pada pasien
dengan gangguan hepar, karena metabolisme asetat terjadi di otot,
berbeda dengan laktat yang dimetabolisme di hati (hepar).
3) NaCl physiologic (0,9% saline
+ -
Komposisi : Na 154 Cl 154
Digunakan sebagai cairan resusitasi (Replacement Therapy) terutama

+
untuk kasus kadar Na rendah, keadaan dimana RL tidak cocok
digunakan, misalnya pada alkalosis, retensi kalium, cairan pilihan untuk
trauma kapitis, dipakai untuk mengencerkan darah merah sebelum
transfusi.
Kekurangan cairan ini:
-
a. Tidak mengandung HCO3
+
b. Tidak mengandung K
+ -
c. Kadar Na dan Cl relatif tinggi sehingga dapat terjadi
acidosis hyperchloremia, acidosis dilutional dan
hypernatremia.
4) Hartmann’s solution

Non-ionik
1) Dextrose 5% dan 10%
Indikasi : digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan
pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada pure water
deficit, dan penggunaan perioperatif.
Kekurangan :
a. Tidak mengandung elektrolit

18
b. Cairan hipotonik sehingga menambah volume intrasel sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya edema anasarka (edema seluruh
tubuh).
c. Menyebabkan hiponatremia dan hipokloremia (gangguan
keseimbangan elektrolit).

2. Cairan Koloid : merupakan cairan yang mengandung zat dengan


BM tinggi (>8000 Dalton), misalnya protein. Tekanan onkotik tinggi
sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler.
Contohnya plasma protein fraction (plasmanat), albumin, blood product
(fresh frozen plasma, red blood cells concentration, cryoprecipitate),
koloid sintetik (dextran, hetastarch, gelatin). (ACSCT, 2014)

d. Bagaimana cara pemberian cairan resusitasi ?


Jawab:
Penggantian cairan berdasarkan kelasnya.

Pemberian resusitasi cariran bila ada gangguan sirkulasi, harus dipasang


sedikitnya 2 IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Besar
arus (tetesan infus) yang didapat tidak tergantung dari ukuran vena
melainkan tergantung dari besar kateter IV dan berbandiung terbalik dengan
oanjang kateter IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Jenis alur IV line lain seperti vena seksi atau vena sentralis

19
tergantung dari kemampuan petugas yang melayani (ATLS, 2008). Bolus
kristaloid isotonik 10-30 ml/kgbb diberikan dalam 6-10 menit, melalui akses
intravaskular atau intraoseal. Setiap selesai pemberian bolus dilakukan
penilaian keadaan anak. Bila masih terdapat tanda syok diberikan bolus
kristaloid kedua 10-30 ml/kgbb/6-10 menit. Bolus selanjutnya baik kristaloid
maupun koloid diberikan sampai perfusi sistemik membaik dan syok
teratasi. Anak yang mengalami syok hipovolemik sering memerlukan cairan
resusitasi 60-80 ml/kgbb dalam satu jam pertama (Darwis, 2003).

e. Apa penyebab akses vena sulit di dapat ?


Jawab:
Hal-hal yang dapat menyebabkan akses vena sulit didapat yaitu
penurunan volume darah akibat syok hipovolemik sehingga vena menjadi kolaps
vena, selain itu tebalnya lapisan kutis juga dapat menyebabkan akses vena sulit
didapat.

f. Bagaimana cara pemeriksaan primary survey ?


Jawab:
Primary Survey (ABCDE)
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis
perlukaan, tanda- tanda vital dan mekanisme trauma. Tanda vital penderita
harus dinilai secara cepat dan efisien. Tujuannya untuk mengetahui kondisi
pasien yang mengancam jiwa dan kemudian dilakukan tindakan life saving
Airway (jalan nafas)

1. Pemeriksaan Jalan Napas


L = Look / Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi
sela iga, warna mukosa / kulit dan kesadaran
L = Listen / Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel / Rasakan adanya aliran udara pernafasan
2. Pengelolaan Jalan Nafas

20
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas
dengan tetap memperhatikan kontrol servikal. Tujuannya adalah
membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi tubuh
(Bouillon, 2009).
a. Pengelolaan jalan nafas tanpa alat :
i. Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal
Chin Lift
Head Tilt
Jaw thrust
ii. Membersihkan jalan nafas
iii. Mengatasi sumbatan nafas parsial
b. Pengelolaan dengan alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan jalan nafas tanpa alat tidak
berhasil dengan sempurna dan fasilitas tersedia. Peralatan dapat
berupa:
- Pemasangan Pipa (tube)
- Pengisapan benda cair (suctioning)
- Membersihkan benda asing padat dalam jalan nafas
- Membuka jalan nafas
- Proteksi servikal
-
A. Breathing (Pernafasan)
Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan
bantuan untuk menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas karbon
dioksida.

B. Circulation (Perdarahan)
Tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh
yang tadinya terhenti atau terganggu. Tujuannya adalah agar sirkulasi darah
kembali berfungsi normal. Gangguan sirkulasi ditandai dengan:
a. Tingkat kesadaran

21
Bila volume darah menurun, perfusi otak berkurang yang akan
menyebabkan penurunan kesadaran, tetapi penderita yang sadar belum
tentu normovolemik.
b. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemi. Pasien tampak
pucat, ekstremitas dingin, berkeringat dingin dan capillary refill time
lebih dari 2 detik.
c. Nadi
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda dari hipovolemi.

C. Disability (Status neurologis)


1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
Metode Penilaian Derajat Skala Koma Glasgow GCS (Glasgow Coma
Scale- Score:
A. Eye-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses)
 Nilai 4 : membuka mata spontan (normal).
 Nilai 3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta.
 Nilai 2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri.
 Nilai 1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri.
B. Verbal-SCORE (memberikan respon jawaban secara verbal/verbal
responses)
 Nilai 5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban
dengan baik dan benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
(nama, umur, dll).
 Nilai 4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
seperti bingung (confused conservation).
 Nilai 3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
hanya berupa kata-kata yang tidak jelas (inappropriate words).
 Nilai 2 : memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas
bukan merupakan kata (incomprehensible sounds).
 Nilai 1 : tidak memberikan jawaban berupa suara apapun.

22
C. Motor-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor
responses)
 Nilai 6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan
permintaan.
 Nilai 5 : dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena
nyeri (localized pain).
 Nilai 4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
 Nilai 3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
 Nilai 2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi.
 Nilai 1 : tidak ada respons berupa gerak.
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-
tanda lateralisasi.
3. Evaluasi dan Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

D. Exposure
Pasien harus benar-benar buka pakaian, biasanya dengan memotong
pakaian. Kita harus menutupi pasien dengan selimut hangat untuk mencegah
hipotermia. Cairan infuse harus dihangatkan dan lingkungan yang hangat
dipertahankan.

Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi


1. Monitor EKG
2. Kateter urindan lambung
3. Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis
seperti laju napas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG ( Arterial
Blood Gases), suhu tubuh dan keluaran urin.
(American Collage of Surgeons, 2014).

g. Bagaimana cara penilaian GCS ?


Jawab:
Metode Penilaian Derajat Skala Koma Glasgow GCS (Glasgow Coma Scale-
Score:

23
Eye-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses)
 Nilai 4 : membuka mata spontan (normal).
 Nilai 3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta.
 Nilai 2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri.
 Nilai 1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri.
Verbal-SCORE (memberikan respon jawaban secara verbal/verbal
responses)
 Nilai 5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban
dengan baik dan benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
(nama, umur, dll).
 Nilai 4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
seperti bingung (confused conservation).
 Nilai 3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya
hanya berupa kata-kata yang tidak jelas (inappropriate words).
 Nilai 2 : memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas
bukan merupakan kata (incomprehensible sounds).
 Nilai 1 : tidak memberikan jawaban berupa suara apapun.
Motor-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor responses)
 Nilai 6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan
permintaan.
 Nilai 5 : dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena
nyeri (localized pain).
 Nilai 4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
 Nilai 3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
 Nilai 2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi.
 Nilai 1 : tidak ada respons berupa gerak.
 Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :
 Nilai GCS (15-14) : Composmentis
 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Stopor
 Nilai GCS (0-3) : Coma

24
5. Secondary survey:
Kepala:
e. Mata : conjungtiva tidak pucat
f. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
g. Telinga : tidak ada kelainan
h. Mulut : bibir kering
Leher: dalam batas normal, vena jugularais datar (tidak distansi)
Thoraks :
e. Inspeksi :gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
f. Palpasi : iktus kordis teraba pasa ICS 5 midclavicula sinstra, stem
frermitus kanan kiri sama
g. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
h. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler, ronki tidak
ada, wheezing tidak ada
Abdomen:
e. Inspeksi : datar
f. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar, lien dalam batas normal
g. Perkusi : timpani
h. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Ekstemitas inferior dan superior : akral dingin capillary refilled time > 3 menit
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik secondary survey ?
Jawab:
Kepala : bibir kering  kekurangan cairan

Extremitas : Akral dingin  penurunan perfusi jaringan

CRT >3 detik  memanjang

b. Bagaimana patofisiologi pemeriksaan fisik secondary survey ?


Jawab:
Akral pucat dan teraba dingin:

25
Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel
endotel  kebocoran plasma  plasma darah keluar dari intravascular ke
ekstravaskular  volume darah ↓  CO ↓  aliran darah ke perifer ↓ 
akral pucat dan teraba dingin (Silbernagl, 2014).

Capillary Refilled Time > 3 detik:


Infeksi Virus  Makrofag  Virus bereplikasi di makrofag  aktivasi T-
helper dan T-Sitotoksik  limfokin dan INF-gamma  monosit  sekresi
mediatoe inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF), IL-6 dan Histamin  disfungsi sel
endotel  kebocoran plasma  syok Hipovolemik  penurunan curah
jantung  penurunan CO  aktivasi simpatis  vasokontriksi perifer 
penurunan aliran darah perifer  perfusi ke jaringan tidak adekuat  TD
tidak terukur  nadi filiformis  Capillary Refilled Time > 3 detik
(Silbernagl, 2014).

c. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan secondary survey ?


Jawab:
Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap,
termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam survai primer.
Pada survey sekunder ini juga dikerjakan foto rontgen, dan pemeriksaan lab.
Evaluasi lengkap dari pasien memerlukan pemeriksaan fisik berulang-ulang.
a. Anamnesis
Riwayat “AMPLE” patut diingat:
A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P : Past-illness (penyakit penyerta)/pregnancy
L : Last meal
E : Event/environment (lingkungan) yang behubungan dengan
kejadian perlukaan

26
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan pasien. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis
perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Trauma biasanya dibagi menjadi 2 jenis: tumpul dan tajam.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik survai sekunder dilakukan perurutan mulai dari
kepala, maksilo-fasial, cervical dan leher, dada, abdomen,
perenium/rectum/vagina, musculoskeletal sampai pemeriksaan
neurologis.

Tambahan pada Secondary Survey


Dalam melakukan survai sekunder, mungkin akan dilakukan
pemeriksaan diagnostic yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan
dari tulang belakang serta ekstremitas, CT scan kepala, dada, abdomen dan
spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkhoskopi,
esofagoskopi, dan prosedur diagnostic lain. Seringkali ini membutuhkan
transportasi pasien ke ruangan yang lain yang tidak tersedia perlengkapan
untuk resusitasi. Dengan demikian semua prosedur di atas jangan dilakukan
sebelum hemodinamik pasien stabil dan telah diperiksa secara teliti.

6. Kondisi Boni memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas 10x/menit,


nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetapi Boni tidak dapat
tertolong.
a. Apa makna kondisi Boni memburuk, kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas
10x/menit, dan nadi tidak teraba ?
Jawab:
Maknanya tubuh tidak mampu berkompensasi lagi. Karena Mekanisme
kompensasi syok menjadi tidak berguna ketika terjadi syok berkepanjangan. Syok
telah memasuki fase dekompensasi pada kondisi ini. Tubuh akhirnya ikut
berkontribusi dalam menangani syok misalnya dengan mengalirkan darah dari
kulit, otot dan saluran cerna ke organ vital seperti jantung, otak dan ginjal
(Guyton, 2010).

27
b. Bagaimana cara melakukan resusitasi intraosseus ?
Jawab:
Persiapan alat dan bahan:
Larutan Povidone Iodine, Anesthesia lokal, Lidocaine 1%, Jarum
intraosseous, Syringe 5-10 ml, Infus set dan normal saline, Plester,
Imobilisasi. Jarum intraosseous dari kiri ke kanan; Cook intraosseous
infution needle dan dua model dari jarum Illinois sternal/iliaca.

Gambar 1. Jarum untuk resusitasi intraosseus


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A

1) Tempatkan penderita dengan posisi terlentang. Pilih extremitas


inferior yang tidak cedera, taruh lapisan (padding) secukupnya di
bawah lutut untuk mendapatkan bengkokan lutus sekitar 30˚ dan
biarkan tumit penderita terletak dengan santai di atas usungan.
2) Cuci tangan dan pasang sarung tangan.
3) Tentukan tempat pungsi (permukaan anteromedial dan proksimal tulang
betis), sekitar 1-3 cm dibawah tuberositas tibia.

Gambar 2. Lokasi untuk resusitasi intraosseus


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A
4) Bersihkan kulit di sekeliling daerah pungsi dengan baik dan pasang
kain steril di sekelilingnya.

28
Gambar 3. Aseptik lokasi resusitasi intraosseus
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A

5) Bila penderitanya sadar, gunakan anestesi lokal di tempat punksi.


6) Pada permulaan dengan posisi jarum 90˚, masukkan jarum aspirasi
sumsum tulang kaliber besar ke dalam kulit dan periosteum dengan
sudut jarum diarahkan ke kaki dan menjauh lapisan epiphysis.

Gambar 4. Proses memasukkan jarum untuk resusitasi intraosseus


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A

7) Setelah memperoleh tempat masuk di tulang, arahkan jarum 45˚ sampai


60˚ menjauh dari lapisan epiphysis.
8) Keluarkan stilet dan sambungkan dengan spuit 10ml yang berisi cairan
saline 5-6 ml. Aspirasi sumsum tulang ke dalam semprit berarti telah
masuk ke dalam rongga medulla.

Gambar 5. Pengeluaran stilet


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A
9) Suntikkan cairan saline ke dalam jarum untuk mengeluarkan bekuan
yang mungkin menyumbat jarum. Bila cairan saline disuntikkan

29
dengan mudah dan tidak ada bukti pembengkakan, berarti jarumnya
berada di tempat yang benar. Bila sumsum tulang tidak diaspirasi
seperti diuraikan pada poin 7, tetapi cairan saline yang diinjeksi
mengalir dengan mudah tanpa bukti pembengkakan, jarumnya berada di
tempat yang benar. Sebagai tambahan, penempatan jarum yang benar
tertanda bila jarum tetap tegak lurus tanpa bantuan dan larutan intravena
mengalir bebas tanpa bukti inftiltrasi di bawah kulit.

Gambar 6. Aspirasi resusitasi intraosseus


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A

10) Hubungkan jarum dengan selang infus dan mulailah infus cairan.
Jarumnya kemudian diputar masuk lebih jauh ke dalam cavum medulla
sampai pusat jarum berada di kulit penderita. Bila digunakan jarum
licin, jarum itu harus distabilkan dengan sudut 45˚ sampai 60˚ dengan
permukaan anteromedial dari kaki anak.

Gambar 7. Jarum di hubungkan dengan selang infus


Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=mpnroZi8t0A

11) Berikanlah salep antibiotik dan perban steril ukuran 3x3. Fiksasi IV
kateter dan selang infus dengan plester.
12) Secara rutin lakukan evaluasi ulang mengenai tempat jarum
intraosseous, dengan memastikan bahwa jarumnya tetap di dalam
korteks tulang dan di saluran medulla. Ingat, infus intraosseous harus

30
dibatasi pada resusitasi darurat anak dan dihentikan segera begitu
terdapat akses vena lain

(Purwadianto, 2013).

7. Bagaimana cara mendiagnosis kasus ?


Jawab:
Diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma yaitu:
• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD, yaitu:
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdaran lain.
3. Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

8. Bagaimana working diagnosis pada kasus ?

31
Jawab:
Syok hipovolemik e.c Dengue Shock Syndrome

9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ?


Jawab:
1. Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. Pada DBD yang disertai
manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat
dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
2. Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.
3. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus.

10. Bagaimana tatalaksana pada kasus ?


Jawab:

32
(Depkes RI, 2005)

1. Penimbangan berat badan. Berat badan perlu ditimbang saat pasien datang
sebagai dasar perhitungan pengobatan dan untuk menilai perjalanan
penyakit. Pada tahap awal, penimbangan berat badan dilakukan 2–3 kali
sehari (dengan timbangan gantung), selanjutnya paling kurang satu kali
sehari. Perkiraan berat badan dapat dihitung berdasarkan rumus: BB (kg) =
2 x umur (tahun) + 4.
2. Pemberian tunjangan hidup dasar. Obat pertama yang harus diberikan pada
kegawatan DBD adalah oksigen. Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi.
Dimulai dengan resusitasi jantung paru yang memastikan jalan napas

33
terbuka dan pernafasan adekuat. Saturasi oksigen dipertahankan antara 95–
100% dan kadar hemoglobin cukup.
3. Pemasangan akses vena. Buat akses vena dan ambil contoh darah untuk
analisis gas darah, kadar hemoglobin, hemotokrit, jumlah trombosit,
golongan darah dan crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca,
Mg, P dan asam laktat.
4. Pemasangan kateter urin.Pasang kateter urin dan lakukan penampungan
urin, pemeriksaan urinalisis, dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah
diuresis dihitung setiap jam (normal: 2-3 ml/kgbb/jam). Bila diuresis kurang
dari 1 ml/kgbb/jam berarti terdapat hipoperfusi ginjal. Oliguria lebih dahulu
muncul dari pada penurunan tekanan darah dan takikardia.
5. Pemasangan pipa oro / nasogastrik. Pemasangan pipa oro / nasogastrik pada
anak sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran
cerna (stres gastritis) dan melakukan bilasan lambung dengan garam
fisiologik. Stres Gastritis biasanya memberi respons baik terhadap
pembilasan lambung dan koreksi hemodinamik.
6. Resusitasi cairan. Resusitasi cairan adalah pemberian bolus cairan resusitasi
secara cepat melalui akses intravaskular atau intraoseal pada keadaan
hipovolemia. Tujuan resusitasi cairan adalah menyelamatkan otak dari
gangguan hipoksik- iskemik, melalui peningkatan preload dan curah
jantung, mengembalikan volume sirkulasi efektif, mengembalikan oxygen-
carrying capacity dan mengoreksi gangguan metabolik dan elektrolit.
(Darwis, 2003)

11. Bagaimana komplikasi pada kasus ?


Jawab:
1. Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemahan yang berhubungan dengan nekrosis
karena perdarahan, yang terjadi pada lobulus hati dan sel-sel kapiler. Terkadang
tampak sel netrofil dan limposit yang lebih besar dan lebih banyak dikarenakan
adanya reaksi atau kompleks virus antibodi.
2. Efusi pleura

34
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yang mengakibatkan ekstravasasi
aliran intravaskuler sel hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya cairan dalam
rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi dispnea, sesak napas.
3. Hemorrhagic encephalopathy
4. Kegagalan organ dan kematian
DSS juga disertai dengan kegagalan hemostasis mengakibatkan perfusi miokard
dan curah jantung menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi iskemia
jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan irreversibel, terjadi
kerusakan sel dan organ sehingga pasien akan meninggal.
(WHO, 2011)

12. Bagaimana prognosis pada kasus ?


Jawab:
Kematian telah terjadi pada 40-50 % penderita dengan syok, tetapi dengan
perawatan intensif yang cukup, kematian akan kurang dari 2 %. Ketahanan hidup
secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif (Behrman, Kliegman,
dan Arvin, 2014).

13. Bagaimana Kompetensi Dokter Umum pada kasus ?


Jawab:
3B. Gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan
nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2012).

13. Bagaimana pandangan Islam pada kasus ?


Jawab:
Kematian adalah suatu kepastian, seperti halnya pergantian siang dan
malam. Yang mana ada dalam firman Allah yang berbunyi:

35
” Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke
dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup . Dan Engkau beri rezki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).”(QS.Ali Imran:27).
Sehingga kematian tidaklah pantas untuk ditakuti. Adanya kematian
bukanlah akhir dari kehidupan, namun menjadi pintu untuk kehidupan
selanjutnya bagi yang meninggal dan nasihat bagi kita yang masih hidup.
Nasihat agar  lebih menghargai kehidupan.

2.6 Kesimpulan
Boni, anak laki-laki 4 tahun tidak tertolong karena mengalami syok hipovolemik
e.c DSS (Dengue Shock Syndrome)

2.7 Kerangka Konsep

Infeksi Virus Dengue

Kebocoran plasma

Syok hipovolemik
(Dengue Shock Syndrome)

Tidak tertolong

36
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma. 2014. Advanced Trauma Life


Support for Doctors. USA : American College of Surgeons.

Behrman, R., Marcdante, K., Kliegman, R., Jenson, H. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Essensial Edisi Ke 6. Jakarta : IDAI.

Darwis, Darlan. 2003. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 4, No. 4, hal: 156 – 162.
Guyton, A.C dan Hall J. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
IDAI. 2010. Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.

Leksana, Ery. 2015. Dehidrasi dan Syok Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr.
Kariadi/Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
CDK-228/ vol. 42 no. 5.

Purwadianto, Agus. 2013. Kedaruratan Medik. Ed. Revisi. Tangerang : Binarupa Aksa.

Silbernagl, Stefan.2014. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Widoyono, 2011, Penyakit Tropis, Ed 2. Jakarta: EMS.

World Health Organization. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and


control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Geneva: WHO.

37

Anda mungkin juga menyukai