Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1

SINOPSIS KASUS

1.1. Profil Perusahaan – Daimler-Benz AG

Daimler-Benz adalah perusahaan yang didirikan pada tahun 1926 oleh


Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach. Perusahaan ini merupakan penggabungan
antara perusahaan Benz & Cie., dan Daimler Motor Gesselschaft. Keduanya bergerak
di bidang produksi kendaraan bermotor dan menjadi salah satu pemimpin pasar
otomotif di Jerman. Produk unggulan dari perusahaan ini adalah seri Mercedes-Benz,
yang diawali dari di produksinya produk kendaraan balap yang bernama Mercedes.

Pada saat perang dunia ke dua, seperti umumnya perusahaan-perusahaan yang


bergerak di bidang industri peranti keras, perusahaan ini memberikan kontribusi yang
cukup signifikan untuk mendukung usaha negara Jerman yang saat itu dikuasai oleh
Nazi. Dari memasok kebutuhan untuk laras senapan tentara angkatan darat
(Wehrmacht) Jerman, Kar.98, hingga pada pembuatan mobil kebesaran Adolf Hitler
serta tank dan pesawat tempur.

Setelah perang dunia ke dua, perusahaan ini kembali bergerak dalam produksi
produk otomotif. Dengan produk Mercedes-Benz yang mengutamakan kenyamanan
untuk para penggunanya ditambah dengan kinerja mesin kendaraan yang
memungkinkan pengendara untuk memacu hingga kecepatan yang cukup tinggi,
membuat Mercedes menjadi produk yang diandalkan oleh para pengguna kendaraan
bermotor di Jerman, Eropa hingga seluruh dunia. Selain itu, teknologi yang
digunakan juga cukup mutakhir sehingga produk-produk Mercedes dapat mengikuti
perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Dari teknologi tersebut, produk
Mercedes pun memberikan keamanan untuk para penggunanya.
2

1.2. Profil Perusahaan – Chrysler Corporation

Chrysler adalah perusahaan otomotif yang berbasis di Amerika Serikat. Pada


awalnya perusahaan ini bernama Maxwell Motor Company sebelum akhirnya di
restrukturisasi kembali oleh Walter Chrysler pada tahun 1925 dan perusahaan pun
berubah nama menjadi Chrysler Corporation. Perusahaan ini kemudian menjelma
menjadi salah satu dari perusahaan otomotif terkemuka di Amerika Serikat
bersamaan dengan GM dan Ford yang lebih dikenal dengan “big three” dari industri
otomotif di Amerika Serikat.

Meskipun begitu, perusahaan ini sempat mengalami hambatan pada tahun


1979. Perusahaan menghadapi ancaman kebangkrutan yang dikarenakan perusahaan
tidak bisa bertumbuh kembali. Lee Iacoca yang memegang tampuk kepemimpinan
perusahaan pada saat itu akhirnya melakukan usaha penyelamatan dengan melakukan
lobi yang cukup intensif dengan senat Amerika Serikat. Dari hasil lobi ini perusahaan
akhirnya dapat melakukan pinjaman untuk menunjang pertumbuhannya. Senat
Amerika Serikat memberikan jaminan untuk pinjaman yang dibutuhkan perusahaan,
pinjaman tersebut berkisar pada jumlah US$ 2 miliar dengan argumen yang
dikemukakan adalah bahaya pengangguran yang dapat muncul jika perusahaan
bangkrut.

Setelah itu, kondisi perusahaan mulai membaik dengan indikatornya adalah


berhasilnya perusahaan dalam mengakuisisi Jeep yang cukup menguntungkan. Lini
produk dari perusahaan pun semakin meluas dengan Chrysler, Jeep, Plymouth, Dodge
dan Ram menjadi unggulan perusahaan untuk menjaga pangsa pasarnya.

1.3. Merger Daimler-Chrysler

Bergabungnya dua perusahaan ini berawal dari diskusi kedua CEO


perusahaan, Jurgen Schremp dari sisi Daimler dan Robert Eaton dari sisi Chrysler
pada 18 Januari 1998. Penggabungan tersebut akhirnya di finalisasi pada 12
November 1998 dengan total biaya US$ 37 miliar, secara efektif Daimler
3

mendapatkan 57% saham dari Chrysler dan akhirnya menjadi pemegang saham
mayoritas.

Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan oleh perusahaan untuk melakukan


penggabungan adalah sebagai berikut:

a. Memperluas pangsa pasar, dari sisi Daimler, mereka ingin merambah pasar
Amerika Serikat karena telah menjadi salah satu pemimpin pasar di Eropa.
Dari sisi Chrysler, mereka juga ingin merambah pasar Eropa setelah menjadi
salah satu pelaku bisnis otomotif yang cukup besar di Amerika Serikat.
b. Penghematan biaya, dari sisi Daimler mereka ingin melakukan penghematan
biaya produksi terutama pada saat memperluas pangsa pasarnya ke Amerika.
Karena pemahaman pasar yang cukup baik telah dimiliki oleh Chrysler.
Sedangkan dari sisi Chrysler, mereka ingin melakukan penghematan dari sisi
Litbang dikarenakan pengembangan teknologi yang menjadi keunggulan dari
Daimler dapat memberikan nilai tambah bagi Chrysler untuk pertumbuhan ke
depannya.
c. Rasa khawatir akan risiko yang belum dapat dimitigasi, dari sisi Daimler
mereka khawatir bahwa mereka dapat kehilangan daya saing mereka karena
pasar yang mereka geluti sudah cukup saturated. Sedangkan dari sisi Chrysler,
mereka khawatir bahwa jika pertumbuhan mereka terhambat karena tidak
adanya inovasi, hal ini dapat mendorong terjadinya krisis kembali seperti yang
dialami perusahaan pada tahun 1979.
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Global Strategy: Merger Daimler dan Chrysler

Global Strategies (Gamble, 2008)

Merger Daimler dan Chrysler, yang mana bertujuan untuk “menikahkan”


competitive advantage dari masing-masing perusahaan, di mana Daimler
memutuskan untuk menjangkau pasar Amerika Serikat dengan bergabung bersama
Chrysler, yang memiliki competitive advantage berupa saturisasi pasar yang tinggi di
pasar Amerika Serikat.

Merger Daimler yang menggabungkan diri dengan Chrysler, dapat


dikategorikan sebagai upaya Daimler untuk mencapai globalisasi dalam
penjualannya, yang membutuhkan strategi global untuk mampu meningkatkan
competitive advantage-nya. Gamble (2008), mengelompokkan strategi-strategi
globalisasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ke dalam beberapa kelompok
5

strategi sesuai dengan global mindset yang dilakukan oleh perusahaan multinational
tersebut mengenai bagaimana beradaptasi terhadap pasar yang akan dimasuki.

Strategi Daimler, menurut global strategy Gamble, dapat dikelompokkan ke


dalam strategi “Thing Glocal, Act Local”, yang mana dalam strategi ini, perusahaan
multinasional yang ingin memasuki pasar negara baru, menggabungkan dirinya
dengan perusahaan lokal di dalam negara yang dimasuki, lalu kemudian membuat
satu joint product yang dapat menggabungkan expertise perusahaan multinasional,
dengan kemampuan perusahaan lokal untuk mendapatkan taste yang diinginkan
masyarakat lokal. Eksekusi strategi ini dalam kasus Daimler-Chrysler, terjadi ketika
Daimler-Chrysler meluncurkan produk Crossfire, yang mana dipersepsikan sebagai
gabungan kemampuan teknik Daimler dan taste Amerika Chrysler, menunjukkan
kolaborasi kedua perusahaan.

Dalam eksekusi formulasi produk, strategi ini dijalankan dengan baik oleh
Daimler-Chrysler. Namun dalam pelaksanaan manajemen dan juga proses kegiatan
value chain, Daimler mulai memasukkan gaya manajemennya ke dalam Chrysler,
yang kemudian menjadikan global strategy Daimler menjadi “Think Local, Act
Global”, di mana Chrysler mulai menerapkan gaya manajemen yang sama dengan
yang dipakainya di negara asalnya ke dalam perusahaan partner di negara lain.

Hal ini, cukup sulit dilakukan mengingat adanya perbedaan kultur di antara
kedua negara yang juga membedakan gaya bekerja dari tiap-tiap pekerja, sehingga
akan memerlukan adjustment untuk mampu menjalankan perusahaan dengan baik
mengingat dua perusahaan akan memiliki strategi dan pelaksanaan value chain yang
berbeda masing-masingnya, seperti yang akan dibahas di pembahasan berikut.

2.2. Perbedaan Strategi Bisnis dan Value Chain Daimler-Chrysler

Perusahaan-perusahaan di dunia, memiliki strategi dasarnya sendiri yang


diformulasikan untuk mampu mendapatkan competitive advantage sesuai dengan
kapabilitas dan juga pasar yang dihadapi di negaranya masing-masing. Strategi dasar
u
e
c
s s
e
B
lu
a
V
t
o
C
ini, yang diformulasikan Michael Porter ke dalam Porter’s generic strategy, yang

Strategi Daimler, dapat dikategorikan sebagai differentiation, di mana

a n
ti ti
o
6

mana terbagi menjadi lima strategi sesuai dengan situasi industri di masing-masing
pasar yang dihadapi.

o s
C
d
t
D r
iff n
e
fokusnya untuk membuat produk yang terdiferensiasi dengan kualitas yang terbaik di
pasar, dengan harga tinggi yang menunjukkan premium yang didapat konsumen dari
biaya tinggi yang dibayarkan konsumen dengan kualitas yang didapat. Strategi
Chrysler, yang dapat dikategorikan sebagai cost leadership, di mana fokus Chrysler
membuat produk-produk dengan harga yang terjangkau untuk memberi premium dari
harga yang murah dibanding kualitas standar yang didapat.

Perbedaan strategi ini, akan sulit bila satu perusahaan berusaha memasukkan
unsur strateginya ke dalam perusahaan partner. Hal ini yang terjadi dengan Daimler-
Chrysler, di mana adanya beberapa unsur manajemen Daimler yang dicoba
dimasukkan ke dalam Chrysler, yang mana kedua perusahaan dengan strategi yang
berbeda akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan hasil yang baik, karena akan
ada kecenderungan stuck in the middle di mana tidak ada gaya strategi yang jelas
akibat penggabungan dua strategi yang bertolak belakang.
7

Perbedaan strategi ini, menyebabkan adanya dua value chain implementation


yang berbeda, seperti diformulasikan sebagai berikut:

Seperti dapat dilihat dari gambar di atas, terjadi dua value chain berbeda yang
sebelumnya dilakukan oleh Daimler dan Chrysler. Perbedaan gaya implementasi
strategi ini, kemudian menyebabkan adanya konflik dan resistensi penerimaan gaya
implementasi baru yang dibawakan Daimler ke Chrysler, sehingga menyebabkan
turunnya moral karyawan dan sulitnya implementasi kegiatan value chain, menjadi
salah satu penyebab tidak berhasilnya merger Daimler-Chrysler.
8

BAB 3

ANALISIS

2.1. Kondisi Pra-Merger

Sebelum Chrysler dan Daimler melakukan merger, mereka memiliki


keunggulan dan kelemahan dalam proses bisnis yang mereka kerjakan masing-
masing. Berikut ini adalah analisa dari keunggulan dan kelemahan dari masing-
masing perusahaan:

Chrysler Daimler Benz


Keunggulan Keunggulan
- Low Cost Leader - Leader in Quality
- US Market - Europer Market
- Fast and Cheap R&D - Luxury Brand
- Lean Structure - High Quality Engineering Skill
   
Kelemahan Kelemahan
- Inadequate Europe Dealer Network - Inadequate US Dealer Network
- Financial Distress in 1980's - High Production Cost
- No Corporate Brand Indentity  

Dengan keunggulan dan kelemahan dari masing-masing perusahaan,


diharapkan kedua perusahaan dapat saling mengisi kekurangan masing-masing dan
meningkatkan Competitive Advantage mereka.

Sebelum melakukan merger, kedua perusahaan harus mengetahui bagaimana


performa dari masing-masing perusahaan. Dalam analisa laporan keuangan, penulis
menggunakan Revenues, COGS, Operating Income, dan Current Liabilities sebagai
indikator dalam melakukan analisa. Berikut ini adalah performa keuangan dari
Chrysler dan Daimler:
9

Performa keuangan Chrysler


160,000
140,000
120,000
Revenues
100,000 COGS
80,000 Current Liabilities
Operating Income
60,000
40,000
20,000
-
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Dari perfoma keuangan Chrysler diatas dapat dilihat bahwa ada peningkatan
revenues dari tahun 1991 sampai 1997. Akan tetapi, peningkatan revenues juga
diikuti dengan peningkatan dari COGS dan Current Liabilities. Akibatnya adalah
turunnya operating income dari tahun 1996 ke 1997 sebesar 22%.

Sedangkan performa keuangan Daimler adalah sebagai berikut:

Performa Keuangan Daimler


140,000
120,000
100,000 Operating Income
80,000 Current Liablilities
COGS
60,000
Revenues
40,000
20,000
-
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
-20,000

Pada tahun 1994 ke 1995, Daimler mengalami penurunan Operating Income


sebesar 540%. Hal tersebut dikarenakan peningkatan hutang jangka panjang, tetapi
tidak diimbangi dengan peningkatan pada revenues perusahaan. Kemudian, pada
10

tahun 1995 ke 1997 Daimler berhasil meningkatkan operating income sebesar 157%
dan menurunkan hutang jangka panjang sebesar 29.6%.

Jika dilihat dari produk yang dikeluarkan oleh kedua perusahaan, masing-
masing perusahaan mendapatkan revenues terbesar dari penjualan kendaraan dengan
jenis Passanger Car. Volume penjualan dan product line masing-masing perusahaan
pada tahun 1997 dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Selain dari Performa keuangan, penulis juga melihat performa perusahaan dari
nilai Earning per-Shares (EPS) mereka. Berikut ini adalah pergerakan EPS dari
Chrysler dan Daimler dari tahun 1992 sampai dengan 1997:

EPS Chrysler VS Daimler


35
30
25
20 Chrysler
15 Daimler
10
5
0
1992
-5 1993 1994 1995 1996 1997
-10
-15
11

Kedua perusahaan mengalami penurunan EPS pada tahun 1995. Akan tetapi,
Daimler berhasil meningkatkan kembali performa perusahaan, sedangkan Chrysler
mengalami penurunan lagi dari tahun 1996-1997.

Berikut ini adalah posisi Chrysler dan Daimler dalam industry car
manufacturer pada tahun 1997:

2.2. Proses Merger

Terdapat beberapa alasan yang mendasari Daimler-Benz melakukan merger


dengan Chrysler. Daimler sebagai perusahaan dari Jerman menginginkan penetrasi ke
pasar Amerika, sedangkan Chrysler menginginkan penetrasi ke pasar Eropa. Daimler
memiliki kelemahan yang diharapkan bisa tertutup oleh kelebihan Chrysler demikian
juga sebaliknya sehingga diharapkan dengan melakukan merger kedua perusahaan
memiliki kekuatan di semua area. Mereka juga mengharapkan terjadi penghematan
biaya akibat kombinasi operasional dan total biaya penelitian dan pengembangan.

Proses merger diawali dengan pertemuan antara Jurgen Schrempp dari


Daimler dengan Bob Eaton dari Chrysler pada Januari 1998. Mereka sepakat untuk
melakukan merger dengan konsep ‘merger of equals’, dan menyadari budaya
12

Amerika dan Jerman sangatlah berbeda. Jalan tengah yang diambil adalah persetujuan
untuk tetap mempertahankan budaya masing-masing perusahaan setelah merger
dilakukan. Para pemegang saham kedua perusahaan juga setuju akan terjadinya
merger dan para analis optimis merger kedua perusahaan ini akan menghasilkan
keuntungan yang besar. Proses merger selesai pada November 1998. Dengan
dilakukan merger, Daimler-Chrysler meraih posisi ketiga terbesar pada peringkat
perusahaan penghasil automotif dunia.

2.3. Kegagalan Daimler-Chrysler Pasca-Merger

Ekspektasi berbagai pihak mengenai kesuksesan yang akan diraih oleh


Daimler-Chrysler pasca proses merger berbuah kekecewaan. Pada realisasinya,
perusahaan mengalami penurunan kinerja setelah merger dilakukan. Kegagalan
perusahaan untuk meraih positive synergy dapat diindikasikan dari pergerakan nilai
Return-on-Equity (ROE) dan EBIT/Share, yang disajikan sebagai berikut:

Return-on-Equity

Berdasarkan performa berdasarkan ROE diatas, terlihat bahwa performa


daripada Daimler-Chrysler mengalami penurunan dari tahun 1997 sampai dengan
tahun 2001. Meskipun kinerja perusahaan sudah mulai membaik setelah tahun 2001,
13

akan tetapi nilai ROE masih tetap dibawah performa sebelum merger dilakukan.
Keadaan ini menjadi indikasi bahwa nilai sinergi yang diharapkan dari merger tidak
terealisasi.

DaimlerChrysler EBIT/Share

Grafik selanjutnya menjelaskan bahwa nilai EBIT/Share dari DaimlerChrysler


terbukti cukup statis. Keadaan ini dikarenakan performa dari divisi Daimler.
Sedangkan, mulai tahun 2001 sampai pada 2006 divisi Chrysler mengalami
penurunan kinerja yang signifikan.

Kegagalan yang dialami oleh DaimlerChrysler disebabkan oleh berbagai


aspek, baik aspek internal maupun aspek eksternal. Minimnya analisis mengenai
Chrysler yang dilakukan oleh DiamlerBenz sebelum proses merger dilakukan,
mendorong penurunan tingkat performa dari Chrysler. Diantara berbagai aspek yang
menyebabkan kegagalan perusahaan, terdapat tiga aspek penting yakni:

a. Legacy Cost dan United Auto Workers

United Auto Workers merupakan serikat pekerja untuk buruh yang menjadi
pegawai dari perusahaan manufaktur otomotif yang berbasis di Amerika
Serikat, termasuk Chrysler. Serikat pekerja ini memiliki bargaining power
yang relatif besar di Amerika Serikat. Salah satu implikasinya adalah ada
legacy cost yang wajib diberikan oleh perusahaan kepada pekerja. Legacy
14

cost merupakan salah satu jenis compensation and benefit, yang termasuk
diantaranya adalah asuransi kesehatan dan pensiun. Biaya ini menjadi salah
satu komponen biaya besar dalam laporan keungan Chrysler, yang gagal
dianalisis dan diantisipasi oleh DaimlerBenz.

b. Krisis Minyak Dunia dan Keterbatasan Portofolio Lini Produk

Komposisi portofolio lini produk dari Chrysler pra-merger mayoritas terdiri


dari low-cost compact cars. Hal ini didukung dengan prioritas riset dan
pengembangan yang dilakukan, yakni memiliki kecondongan untuk
mengembangkan low-cost compact cars. Akan tetapi, prioritas pengembangan
produk dan penjualan beralih kepada high-end premium cars setelah proses
merger dilakukan. Sehingga, komposisi portofolio lini produk berubah. Hal
ini disebabkan oleh keputusan dari DaimlerBenz untuk merubah prioritas.

Perubahan portofolio produk yang dilakukan memberikan dampak negatif


pada saat terjadi krisis minyak dunia. Dengan adanya kelangkaan bahan
bakar, yang merupakan produk komplementer dari produk otomotif,
preferensi konsumen beralih pada mobil yang (i) relatif murah; dan (ii) efisien
dalam pengguanaan bahan bakar. Dengan adanya keterbatasan protofolio lini
produk untuk low-cost compact cars, penjualan yang mampu dilakukan oleh
Daimler-Chrysler mengalami penurunan yang signifikan.

c. Cultural Mismatch

Terdapat hambatan budaya yang terjadi saat merger dilakukan, yang


perbedaan kultur yang sangat bertolak belakang. Pemaparan dan analisis lebih
lanjut mengenai aspek ini akan dibahas pada Sub-Bab 2.4.

2.4. Cultural Mismatch

Alasan terkuat dalam kegagalan merger antara Daimler–Chrysler adalah


adanya perbedaan budaya yang signifikan dan gagal untuk diakomodir. Budaya yang
15

kuat dan hambatan bahasa pada praktek bisnis AS dan Jerman adalah hambatan yang
seharusnya tidak diabaikan pada awal mereka memutuskan untuk merger. Sebagai
contoh, perusahaan Amerika biasanya menjalankan organisasi dengan cara yang
informal. Di lain sisi, perusahaan Jerman biasa bekerja dengan struktur perusahaan
hirarkis yang kaku. Sehingga, tujuan awal yang dikehendaki hampir tidak bisa
dilakukan karena kurangnya koordinasi dan ketidakmampuan untuk mengelola dua
budaya. Beberapa perbedaan budaya yang mempengaruhi perkembangan organisasi
antara Jerman dan Amerika diantaranya adalah (i) sedikitnya perempuan yang bisa
mendapatkan jabatan tinggi pada perusahaan di Jerman; (ii) karakter individualis
tinggi yang dimiliki pekerja amerika yang membuat indeks ketidak percayaan antar
pekerja amerika dan jerman cukup besar; dan (iii) pekerja Amerika yang lebih fokus
pada orientasi jangka panjang.

Lebih lanjut lagi JuergenSchrempp, CEO DaimlerChrysler, mengatakan


bahwa penggabungan diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari pekerja Chrysler
dan publik Amerika. Namun, pada praktiknya hal ini tidak pernah terjadi dikarenakan
Juergen Schrempp dan Bob Eaton, CEO Chrysler, tidak ikut serta dalam proses yang
terjadi selama fase transisi. Oleh karena rendahnya tingkat komunikasi antara mereka
dengan pegawai dibawah manajemennya, maka tingkat dinamisasi pekerja yang
berasal dari Amerika memudar di bawah tekanan pegawai asal Jerman selama kurang
lebih satu tahun.

Daimler-Benz sendiri melihat perusahaannya sebagai inovator terkemuka di


industri otomotif dengan teknik yang kaya dan produk-produk yang berkualitas. Di
sisi lain, Chrysler memiliki orientasi untuk mengeluarkan produk-produk yang
menjadi pionir untuk desain yang baru dengan waktu pengembangan produk yang
relatif lebih cepat karena adanya organisasi yang lebih fleksibel dan sensitifitas akan
pasar penjualan yang lebih tinggi
16

Benturan budaya pada kedua perusahaan disajikan pada tabel berikut:

Differentiator Chrysler Daimler-Benz

1 Corporate Hierarchical structure Team-oriented structure


structure
2 Corporate Management processes of Setting goals, directing and
culture planning, organizing and monitoring implementation.
controlling. More Known as the risk taking
conservative, efficient and underdog
safe
3 Customer The driving image and Attractive, eyecatching
proposition experience associated with design at a very competitive
the highest quality available price
in the market
4 Value chain Emphasis on engineering, High volume, low cost
design, quality and after manufacturing and
sales service distribution
5 leadership Jurgen schremp-with Robert eaton-broke the
independent personality and Chrysler tradition of
south African overlay commandersvalue chain
6 Creativity vs Methodical decision- Encouraged creativity
Methodical making
7 Bureaucracy Respect for authority, Egalitarian relations among
bureaucratic precision, and staff
centralized decision-
making
8 Pay Disparity Disliked huge pay
American CEOs were
disparities rewarded handsomely
9 Reports and Used to lengthy reports andPerformed little paperwork
Paperwork extended discussions and liked to keep their
meetings short
10 Planning Detailed plans and precise Favoured fast-paced trial-
implementation and-error experimentation
11 Structure Top-down management Flat structure
approach

Daimler Chrysler akhirnya tidak mampu untuk melaksanakan pengelolaan


lintas budaya. Sehingga, manajer dari kedua belah pihak memutuskan bahwa jika
terdapat perbedaan yang signifikan, maka mereka akan memilih tempat di tengah.
Tony Cervone CEO Daimler Chrysler saat ini, menyatakan:
17

“In other words, they didn’t decide what to do with the culture; they just decided to
compromise it….It was a sure way for disaster, and it has worked out that way. If you
don’t manage your culture, it just evolves to the dominant culture and I think that’s
what we’re seeing.”

Pada awalnya manajemen yang berasal dari Jerman diberikan kebebasan


untuk melakukan apa yang selalu mereka lakukan, mengingat Daimler-Benz hanya
ingin mengambil keuntungan dari efisiensi Chrysler. Namun, adanya perbedaan-
perbedaan yang tidak diakomodir dengan baik mendorong sejumlah karywan penting
Chrysler untuk memutuskan meninggalkan perusahaan. Hal ini kemudian
menyebabka karyawan yang tersisa mengalami demoralisasi dan kehilangan motivasi.
Dalam 19 bulan, dua CEO Amerika dipecat dan manajemen Jerman mengambil alih.
Daimler-Benz mencoba untuk mengelola divisi Chrysler seolah-olah merupakan
sebuah perusahaan Jerman. Pada Akhirnya, bukannya mendapatkan keunggulan
kompetitif atas pesaing, merger antara Daimler-Benz dengan Chrysler akhirnya
menjadi sebuah kekacauan. Bahkan pada bulan September 2001, Business Week
menulis:

“…Daimler-Chrysler have combined nothing beyond some administrative


departments, such as finance and public relations.”

2.5. Demerger

Pada tahun 2007 akhirnya terjadi pecah “kongsi” antara Daimler dan Chrysler.
Daimler menjual 80% saham Chrysler kepada Cerberus Capital Management LLC
seharga $7,4 Milyar. Setelah itu Fiat membeli Chrysler LLC pada tahun 2011.
Keadaan kedua perusahaan setelah demerger dapat dilihat pada dua tabel berikut:
18

Berdasarkan bukti diatas, terlihat jelas bahwa performa dari kedua perusahaan
menjadi lebih baik ketimbang saat mereka masih bersama dalam satu grup. Meskipun
aspek revenue, operating income, dan EPS Chrysler masih jauh dibawah Daimler,
akan tetapi tren indikator antara 2011 sampai 2013 menunjukkan peningkatan.
Terdapat indikasi bahwa kedua perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang
positif setelah demerger.
19

BAB 4

PENUTUP

2.1. Kesimpulan

Berdasarkan dua analisis awal yang dilakukan dalam menilai nilai ekspektasi
sinergi antara Daimler-Benz dan Chrysler, terdapat peluang bahwa merger yang
diajukan pada tahun 1998 akan mendatangkan keberhasilan. Analisa pertama adalah
analisa keuangan, dimana keadaan kedua perusahaan memiliki pertumbuhan yang
positif dan dapat saling memperkuat kondisi finansial perusahaan lainnya. Analisa
kedua adalah analisa strengths dan weaknessess, dimana kedua perusahaan disinyalir
mampu menutupi kekurangan perusahaan partner dan mendorong kelebihan partner
yang sudah ada.
Akan tetapi, pada kenyataannya sinergi yang diekspektasikan tidak terealisasi.
Bahkan, merger kedua perusahaan menimbulkan negative synergy. Hal ini
diindikasikan oleh penurunan nilai ROE setelah proses merger dilakukan. Terdapat
tiga aspek utama yang mendorong kegagalan dari merger, yakni (i) United Auto
Workers dan legacy cost; (ii) Krisis minyak dunia dan keterbatasan portofolio lini
produk, dan (iii) cultural mismatch. Diantara ketiga aspek tersebut, cultural mismatch
merupakan aspek utama yang menyebabkan kegagalan.
Ketika suatu perusahaan hasil merger berhadapan dengan masalah lintas
budaya, maka perusahaan jangan sampai mengabaikan perbedaan budaya yang telah
melekat sebelumnya pada masing-masing perusahaan. Perusahaan baru hasil merger
tidak bisa hanya menekan dan mengganti budaya dengan budaya yang lain. Karena
sebuah konsensus yang telah dicapai dan landasan untuk budaya baru harusnya terjadi
berdasarkan unsur-unsur dari kedua budaya yang terlibat. Dalam kasus Daimler-
Chrysler, kedua belah pihak tidak pernah benar-benar bersedia untuk bekerja sama
dengan sepenuh hati dan menerima perubahan atas kompromi untuk membuat
penggabungan ini sehingga akan sulit untuk membuat merger dari kedua perusahaan
otomotif besar ini akan berjalan lancar
20

2.2. Lesson Learned

a. Indikator finansial merupakan informasi yang penting dalam menyusun


strategi perusahaan, namun tidak mencukupi. Ada faktor-faktor lain yang
perlu dipertimbangkan, misalkan budaya dan hukum yang berlaku.
b. Perbedaan kultur merupakan kasus yang sering terjadi terjadi pada saat dua
perusahaan melakukan merger. Pada saat perbedaan kultur terjadi, maka
proses transisi kultur dan atau pembentukan kultur baru perlu direncanakan
dan dimonitor dengan ketat.

Anda mungkin juga menyukai