BAB 1
SINOPSIS KASUS
Setelah perang dunia ke dua, perusahaan ini kembali bergerak dalam produksi
produk otomotif. Dengan produk Mercedes-Benz yang mengutamakan kenyamanan
untuk para penggunanya ditambah dengan kinerja mesin kendaraan yang
memungkinkan pengendara untuk memacu hingga kecepatan yang cukup tinggi,
membuat Mercedes menjadi produk yang diandalkan oleh para pengguna kendaraan
bermotor di Jerman, Eropa hingga seluruh dunia. Selain itu, teknologi yang
digunakan juga cukup mutakhir sehingga produk-produk Mercedes dapat mengikuti
perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Dari teknologi tersebut, produk
Mercedes pun memberikan keamanan untuk para penggunanya.
2
mendapatkan 57% saham dari Chrysler dan akhirnya menjadi pemegang saham
mayoritas.
a. Memperluas pangsa pasar, dari sisi Daimler, mereka ingin merambah pasar
Amerika Serikat karena telah menjadi salah satu pemimpin pasar di Eropa.
Dari sisi Chrysler, mereka juga ingin merambah pasar Eropa setelah menjadi
salah satu pelaku bisnis otomotif yang cukup besar di Amerika Serikat.
b. Penghematan biaya, dari sisi Daimler mereka ingin melakukan penghematan
biaya produksi terutama pada saat memperluas pangsa pasarnya ke Amerika.
Karena pemahaman pasar yang cukup baik telah dimiliki oleh Chrysler.
Sedangkan dari sisi Chrysler, mereka ingin melakukan penghematan dari sisi
Litbang dikarenakan pengembangan teknologi yang menjadi keunggulan dari
Daimler dapat memberikan nilai tambah bagi Chrysler untuk pertumbuhan ke
depannya.
c. Rasa khawatir akan risiko yang belum dapat dimitigasi, dari sisi Daimler
mereka khawatir bahwa mereka dapat kehilangan daya saing mereka karena
pasar yang mereka geluti sudah cukup saturated. Sedangkan dari sisi Chrysler,
mereka khawatir bahwa jika pertumbuhan mereka terhambat karena tidak
adanya inovasi, hal ini dapat mendorong terjadinya krisis kembali seperti yang
dialami perusahaan pada tahun 1979.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
strategi sesuai dengan global mindset yang dilakukan oleh perusahaan multinational
tersebut mengenai bagaimana beradaptasi terhadap pasar yang akan dimasuki.
Dalam eksekusi formulasi produk, strategi ini dijalankan dengan baik oleh
Daimler-Chrysler. Namun dalam pelaksanaan manajemen dan juga proses kegiatan
value chain, Daimler mulai memasukkan gaya manajemennya ke dalam Chrysler,
yang kemudian menjadikan global strategy Daimler menjadi “Think Local, Act
Global”, di mana Chrysler mulai menerapkan gaya manajemen yang sama dengan
yang dipakainya di negara asalnya ke dalam perusahaan partner di negara lain.
Hal ini, cukup sulit dilakukan mengingat adanya perbedaan kultur di antara
kedua negara yang juga membedakan gaya bekerja dari tiap-tiap pekerja, sehingga
akan memerlukan adjustment untuk mampu menjalankan perusahaan dengan baik
mengingat dua perusahaan akan memiliki strategi dan pelaksanaan value chain yang
berbeda masing-masingnya, seperti yang akan dibahas di pembahasan berikut.
a n
ti ti
o
6
mana terbagi menjadi lima strategi sesuai dengan situasi industri di masing-masing
pasar yang dihadapi.
o s
C
d
t
D r
iff n
e
fokusnya untuk membuat produk yang terdiferensiasi dengan kualitas yang terbaik di
pasar, dengan harga tinggi yang menunjukkan premium yang didapat konsumen dari
biaya tinggi yang dibayarkan konsumen dengan kualitas yang didapat. Strategi
Chrysler, yang dapat dikategorikan sebagai cost leadership, di mana fokus Chrysler
membuat produk-produk dengan harga yang terjangkau untuk memberi premium dari
harga yang murah dibanding kualitas standar yang didapat.
Perbedaan strategi ini, akan sulit bila satu perusahaan berusaha memasukkan
unsur strateginya ke dalam perusahaan partner. Hal ini yang terjadi dengan Daimler-
Chrysler, di mana adanya beberapa unsur manajemen Daimler yang dicoba
dimasukkan ke dalam Chrysler, yang mana kedua perusahaan dengan strategi yang
berbeda akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan hasil yang baik, karena akan
ada kecenderungan stuck in the middle di mana tidak ada gaya strategi yang jelas
akibat penggabungan dua strategi yang bertolak belakang.
7
Seperti dapat dilihat dari gambar di atas, terjadi dua value chain berbeda yang
sebelumnya dilakukan oleh Daimler dan Chrysler. Perbedaan gaya implementasi
strategi ini, kemudian menyebabkan adanya konflik dan resistensi penerimaan gaya
implementasi baru yang dibawakan Daimler ke Chrysler, sehingga menyebabkan
turunnya moral karyawan dan sulitnya implementasi kegiatan value chain, menjadi
salah satu penyebab tidak berhasilnya merger Daimler-Chrysler.
8
BAB 3
ANALISIS
Dari perfoma keuangan Chrysler diatas dapat dilihat bahwa ada peningkatan
revenues dari tahun 1991 sampai 1997. Akan tetapi, peningkatan revenues juga
diikuti dengan peningkatan dari COGS dan Current Liabilities. Akibatnya adalah
turunnya operating income dari tahun 1996 ke 1997 sebesar 22%.
tahun 1995 ke 1997 Daimler berhasil meningkatkan operating income sebesar 157%
dan menurunkan hutang jangka panjang sebesar 29.6%.
Jika dilihat dari produk yang dikeluarkan oleh kedua perusahaan, masing-
masing perusahaan mendapatkan revenues terbesar dari penjualan kendaraan dengan
jenis Passanger Car. Volume penjualan dan product line masing-masing perusahaan
pada tahun 1997 dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Selain dari Performa keuangan, penulis juga melihat performa perusahaan dari
nilai Earning per-Shares (EPS) mereka. Berikut ini adalah pergerakan EPS dari
Chrysler dan Daimler dari tahun 1992 sampai dengan 1997:
Kedua perusahaan mengalami penurunan EPS pada tahun 1995. Akan tetapi,
Daimler berhasil meningkatkan kembali performa perusahaan, sedangkan Chrysler
mengalami penurunan lagi dari tahun 1996-1997.
Berikut ini adalah posisi Chrysler dan Daimler dalam industry car
manufacturer pada tahun 1997:
Amerika dan Jerman sangatlah berbeda. Jalan tengah yang diambil adalah persetujuan
untuk tetap mempertahankan budaya masing-masing perusahaan setelah merger
dilakukan. Para pemegang saham kedua perusahaan juga setuju akan terjadinya
merger dan para analis optimis merger kedua perusahaan ini akan menghasilkan
keuntungan yang besar. Proses merger selesai pada November 1998. Dengan
dilakukan merger, Daimler-Chrysler meraih posisi ketiga terbesar pada peringkat
perusahaan penghasil automotif dunia.
Return-on-Equity
akan tetapi nilai ROE masih tetap dibawah performa sebelum merger dilakukan.
Keadaan ini menjadi indikasi bahwa nilai sinergi yang diharapkan dari merger tidak
terealisasi.
DaimlerChrysler EBIT/Share
United Auto Workers merupakan serikat pekerja untuk buruh yang menjadi
pegawai dari perusahaan manufaktur otomotif yang berbasis di Amerika
Serikat, termasuk Chrysler. Serikat pekerja ini memiliki bargaining power
yang relatif besar di Amerika Serikat. Salah satu implikasinya adalah ada
legacy cost yang wajib diberikan oleh perusahaan kepada pekerja. Legacy
14
cost merupakan salah satu jenis compensation and benefit, yang termasuk
diantaranya adalah asuransi kesehatan dan pensiun. Biaya ini menjadi salah
satu komponen biaya besar dalam laporan keungan Chrysler, yang gagal
dianalisis dan diantisipasi oleh DaimlerBenz.
c. Cultural Mismatch
kuat dan hambatan bahasa pada praktek bisnis AS dan Jerman adalah hambatan yang
seharusnya tidak diabaikan pada awal mereka memutuskan untuk merger. Sebagai
contoh, perusahaan Amerika biasanya menjalankan organisasi dengan cara yang
informal. Di lain sisi, perusahaan Jerman biasa bekerja dengan struktur perusahaan
hirarkis yang kaku. Sehingga, tujuan awal yang dikehendaki hampir tidak bisa
dilakukan karena kurangnya koordinasi dan ketidakmampuan untuk mengelola dua
budaya. Beberapa perbedaan budaya yang mempengaruhi perkembangan organisasi
antara Jerman dan Amerika diantaranya adalah (i) sedikitnya perempuan yang bisa
mendapatkan jabatan tinggi pada perusahaan di Jerman; (ii) karakter individualis
tinggi yang dimiliki pekerja amerika yang membuat indeks ketidak percayaan antar
pekerja amerika dan jerman cukup besar; dan (iii) pekerja Amerika yang lebih fokus
pada orientasi jangka panjang.
“In other words, they didn’t decide what to do with the culture; they just decided to
compromise it….It was a sure way for disaster, and it has worked out that way. If you
don’t manage your culture, it just evolves to the dominant culture and I think that’s
what we’re seeing.”
2.5. Demerger
Pada tahun 2007 akhirnya terjadi pecah “kongsi” antara Daimler dan Chrysler.
Daimler menjual 80% saham Chrysler kepada Cerberus Capital Management LLC
seharga $7,4 Milyar. Setelah itu Fiat membeli Chrysler LLC pada tahun 2011.
Keadaan kedua perusahaan setelah demerger dapat dilihat pada dua tabel berikut:
18
Berdasarkan bukti diatas, terlihat jelas bahwa performa dari kedua perusahaan
menjadi lebih baik ketimbang saat mereka masih bersama dalam satu grup. Meskipun
aspek revenue, operating income, dan EPS Chrysler masih jauh dibawah Daimler,
akan tetapi tren indikator antara 2011 sampai 2013 menunjukkan peningkatan.
Terdapat indikasi bahwa kedua perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang
positif setelah demerger.
19
BAB 4
PENUTUP
2.1. Kesimpulan
Berdasarkan dua analisis awal yang dilakukan dalam menilai nilai ekspektasi
sinergi antara Daimler-Benz dan Chrysler, terdapat peluang bahwa merger yang
diajukan pada tahun 1998 akan mendatangkan keberhasilan. Analisa pertama adalah
analisa keuangan, dimana keadaan kedua perusahaan memiliki pertumbuhan yang
positif dan dapat saling memperkuat kondisi finansial perusahaan lainnya. Analisa
kedua adalah analisa strengths dan weaknessess, dimana kedua perusahaan disinyalir
mampu menutupi kekurangan perusahaan partner dan mendorong kelebihan partner
yang sudah ada.
Akan tetapi, pada kenyataannya sinergi yang diekspektasikan tidak terealisasi.
Bahkan, merger kedua perusahaan menimbulkan negative synergy. Hal ini
diindikasikan oleh penurunan nilai ROE setelah proses merger dilakukan. Terdapat
tiga aspek utama yang mendorong kegagalan dari merger, yakni (i) United Auto
Workers dan legacy cost; (ii) Krisis minyak dunia dan keterbatasan portofolio lini
produk, dan (iii) cultural mismatch. Diantara ketiga aspek tersebut, cultural mismatch
merupakan aspek utama yang menyebabkan kegagalan.
Ketika suatu perusahaan hasil merger berhadapan dengan masalah lintas
budaya, maka perusahaan jangan sampai mengabaikan perbedaan budaya yang telah
melekat sebelumnya pada masing-masing perusahaan. Perusahaan baru hasil merger
tidak bisa hanya menekan dan mengganti budaya dengan budaya yang lain. Karena
sebuah konsensus yang telah dicapai dan landasan untuk budaya baru harusnya terjadi
berdasarkan unsur-unsur dari kedua budaya yang terlibat. Dalam kasus Daimler-
Chrysler, kedua belah pihak tidak pernah benar-benar bersedia untuk bekerja sama
dengan sepenuh hati dan menerima perubahan atas kompromi untuk membuat
penggabungan ini sehingga akan sulit untuk membuat merger dari kedua perusahaan
otomotif besar ini akan berjalan lancar
20