Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “”.sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan, Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan dan
keterbatasan dalam makalah ini, maka dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati
penulis mengharap kritik dan saran yang membangun sehingga dapat melengkapi
kesempurnaan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan dan
melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya atas segala yang telah kita lakukan. Akhir
kata penulis berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya
maupun pembaca pada umumnya.

Palangkaraya, 9 Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencegahan primer : terjadi sebelum sistem bereaksi terhadap stressor, meliputi : promosi
kesehatan dan mempertahankan kesehatan. Pencegahan primer mengutamakan pada
penguatan flexible lines of defense dengan cara mencegah stress dan mengurangi faktor-
faktor resiko. Intervensi dilakukan jika resiko atau masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum
reaksi terjadi. Strateginya mencakup : immunisasi, pendidikan kesehatan, olah raga dan
perubahan gaya hidup.
Pencegahan sekunder : Meliputi berbagai tindakan yang dimulai setelah ada gejala dari
stressor. Pencegahan sekunder mengutamakan pada penguatan internal lines of resistance,
mengurangi reaksi dan meningkatkan faktor-faktor resisten sehingga melindungi struktur
dasar melalui tindakan-tindakan yang tepat sesuai gejala. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kestabilan sistem secara optimal dan memelihara energi. Jika pencegahan
sekunder tidak berhasil dan rekonstitusi tidak terjadi maka struktur dasar tidak dapat
mendukung sistem dan intervensi-intervensinya sehingga bisa menyebabkan kematian.
Pencegahan Tersier : dilakukan setelah sistem ditangani dengan strategi-strategi
pencegahan sekunder. Pencegahan tersier difokuskan pada perbaikan kembali ke arah
stabilitas sistem klien secara optimal. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat resistansi
terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul kembali atau regresi, sehingga dapat
mempertahankan energi. Pencegahan tersier cenderung untuk kembali pada pencegahan
primer.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penegertian tentang Upaya Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier pada Sistem
Reproduksi?
2. Apa itu Observasi Pemeriksaan Kolposkopi?
3. Apa itu Observasi Hasil USG?
4. Apa itu Interprestasi hasil laboratorium?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk Mengetahui tentang Upaya Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier pada
Sistem Reproduksi
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk Mengetahui tentang Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier pada Sistem
Reproduksi
1.3.2.2 Untuk Mengetahui tentang Observasi Pemeriksaan Kolposkopi
1.3.2.3 Untuk Mengetahui tentang Observasi Pemeriksaan Hasil USG
1.3.2.4 Untuk Mengetahui tentang Interpretasi Hasil Laboratorium.
1.4 Manfaat
Memberikan informasi tentang pentingnya Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier
pada sistem reproduksi dengan cara Observasi Pemeriksaan Kolposkopi, Observasi
Pemeriksaan Hasil USG, dan Interpretasi Hasil Laboratorium.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier Pada Sistem Reproduksi
2.1.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan kejadian
suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer juga diartikan
sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada seseorang dengan faktor
risiko. Tahap pencegahan primer diterapkan dalam fase pre pathogenesis yaitu pada keadaan
dimana proses penyakit belum terjadi atau belum mulai.
Dalam fase ini meskipun proses penyakit belum mulai tapi ketiga faktor utama untuk
terjadinya penyakit, yaitu agent, host, dan environment yang membentuk konsep segitiga
epidemiologi selalu akan berinteraksi yang satu dengan lainya dan selalu merupakan ancaman
potensial untuk sewaktu-waktu mencetuskan terjadinya stimulus yang memicu untuk
mulainya terjadinya proses penyakit dan masuk kedalam fase pathogenesis. Untuk
pencegahan primer masalah sistem reproduksi pada dewasa, antara lain :
1. Pada Pria
a. Promosi Kesehatan
Tingkat pencegahan yang pertama, yaitu promosi kesehatan oleh para ahli kesehatan di
terjemahkan menjadi peningkatan kesehatan, bukan promosi kesehatan, hal ini dikarenakan
makna yang terkandung dalam istilah promotion of health disini adalah meningkatkan
kesehatan seseorang, yaitu melalui asupan gizi seimbang, olahraga teratur, dan lain
sebagainya agar orang tersebut tetap sehat, tidak terserang penyakit. Namun demikian, bukan
berarti bahwa peningkatan kesehatan tidak ada hubungannya dengan promosi kesehatan.
Leavell dan Clark dalam penjelasannya tentang promotion of health menyatakan bahwa
selain melalui peningktan gizi dan sebagainya peningkatan kesehatan juga dapat di lakukan
dengan memberikan pendidikan kesehatan (health education) kepada individu dan
masyarakat. Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada
umumnya.
Sebagian besar strategi promosi kesehatan termasuk ke dalam pencegahan primer. Seperti
peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan kesehatan reproduksi tentang
HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas dan sebagainya. Perlindungan
khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi; atau pemakaian kondom.
b. Spesific Protection
Di bawah ini merupakan pencegahan primer (specific protection) secara umum yang
dapat dilakukan pria, untuk mencegah terjadinya masalah dalam sistem reproduksi.
1. Melakukan pemeriksaan organ reproduksi secara rutin agar kelainan dapat segera
ditangani lebih awal.
2. Melindungi testis selama beraktifitas, misalnya dengan tidak menggunakan pakaian teralu
ketat sehingga testis tidak kepanasan.
3. Mengurangi kebiasaan mandi dengan air panas. Temperatur yang sejuk diperlukan untuk
perkembangan sperma.
4. Menjalankan pola hidup sehat, seperti mengkonsumsi makanan bergizi, cukup olahraga,
menghindari penyakit menular seksual, dan menciptakan ketenangan psikis.
5. Menghindari minuman berakohol dan rokok.
2. Pada Wanita
Pada wanita, pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah dengan promosi kesehatan
dan spesific protection. Pada promosi kesehatan seperti peningkatan kesehatan, misalnya
dengan pendidikan kesehatan reproduksi tentang menghindari seks bebas kanker serviks; dan
sebagainya. Untuk spesific protection, berikut ada penjelasannya
a. Pencegahan HIV
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan
seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari
ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV
dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat
catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian resiko infeksinya
secara umum dapat diabaikan. Pencegahan untuk mengurangi terjadi HIV/AIDS adalah A-B-
C-.
A(abstinensia) = tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.
B(befaithful) = jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya
C(condom ) = jika cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka gunakanlah condom.
b. Pencegahan Kanker Payudara
Merupakan promosi kesehatan yang sehat. Yaitu melalui upaya menghindarkan diri dari
faktor risiko serta melakukan pola hidup sehat. Termasuk juga dengan pemeriksaan payudara
sendiri alias SADARI.
c. Pencegahan Vulvavaginitis.
1. Gunakan celana dalam bersih, tidak ketat dan kering.
2. Membersihkan diri setelah buang air kecil atau buang air besar dengan air bersih
(gunakan air mengalir kalau sedang di toilet umum), cara pembersihan dengan gerakan
dari depan ke belakang.
3. Hindari penggunaan bahan kima atau parfum yang biasanya terdapat pada sabun
pembersih kewanitaan atau sabun mandi.
4. Jangan menggunakan pembalut yang mengandung perfume.
5. Jangan mengusap area vagina terlalu keras saat membersihkannya

d. Pencegahan Gonorrhea
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual
2. Hindari kontak seksual dengan beberapa orang yang memiliki resiko penyakit seksual
menular ( seperti pekerja seks komersil)
3. Obati sedini mungkin patner yang sudah terkena infeksi atau pastikan patner seksual
bebas dari penyakit sebelum berhubungan seksual
e. Pencegahan Sifilis
Sama seperti penyakit menular seksual lainnya, sifilis dapat dicegah dengan cara
melakukan hubungan seksual secara aman , misalnya menggunakan kondom.
f. Pencegahan Herpes Genitalis
Cara untuk mencegah herpes genital adalah sama dengan yang untuk mencegah penyakit
menular seksual lainnya. Kuncinya adalah untuk menghindari terinfeksi dengan HIV, yang
sangat menular, pada waktu lesi ada. Cara terbaik untuk mencegah infeksi adalah
menjauhkan diri dari aktivitas seksual atau membatasi hubungan seksual denagn hanya satu
orang yang bebas infeksi. Cara yang dapat dilakukan antara lain :
1. Gunakan, atau pasangan Anda gunakan, sebuah kondom lateks selama setiap kontak
seksual
2. Batasi jumlah pasangan seks
3. Hindari hubungan seksual jika pasangan terkena herpes di daerah genital atau di mana
pun
g. Pencegahan Kanker Serviks
1. Bila mungkin, hindari faktor resiko yaitu bergati pasangan seksual lebih dari satu dan
berhubungan seks dibawah usia 20 karena secara fisik seluruh organ intim dan yang
terkait pada wanita baru matang pada usia 21 tahun.
2. Bagi wanita yang aktif secara seksual, atau sudah pernah berhubungan seksual,
dianjurkan untuk melakukan tes HPV, Pap Smear, atau tes IVA, untuk mendeteksi
keberadaanHuman Papilloma Virus (HPV), yang merupakan biang keladi dari tercetusnya
penyakit kanker serviks.
3. Bagi wanita yang belum pernah berhubungan seks, atau anak-anak perempuan dan laki-
laki yang ingin terbentengi dari serangan virus HPV, bisa menjalani vaksinasi HPV.
Vaksin HPV dapat mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18. Dan dapat diberikan mulaidari
usia 9-26 tahun, dalam bentuk suntikan sebanyak 3 kali (0-2-6 bulan). Dan biayanya pun
terbilang murah.
4. Menjaga pola makan seimbang dan bergizi, serta menjalani gaya hidup sehat
(berolahraga).
2.1.2 Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang mana sasaran utamanya adalah
pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit
tertentu. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang
tepat. Adapun beberapa pengobatan terhadap penyakit masalah sistem reproduksi dapat
melalui obat dan operasi. Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakaukan pada
fase awal patogenik yang bertujuan untuk :
1. Mendeteksi dan melakukan interfensi segera guna menghentikan penyakit pada tahap ini
2. Mencegah penyebaran penyakit menurunkan intensitas penyakit bila penyakit ini
merupakan penyakit menular
3. Untuk mengobati dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit serta
untuk mencegah penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya cacat
yang lebih buruk lagi. Karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi di
masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak.
Pencegahan sekunder terdiri dari :
a. Diagnosis dini dan pengobatan segera
Contohnya adalah pap smear, merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi gejala kanker
serviks  secara dini. Dengan melakukan pemeriksaan pap smear setiap tahun,  jika ditemukan
adanya kanker serviks baru pada tahap awal sehingga kesempatan untuk sembuh lebih besar.
Artinya semakin dini penyakit kanker serviks diketahui maka semakin mudah menanganinya.
Pemeriksaan pap smear, pemeriksaan IVA, sadari sebagai cara mendeteksi dini penyakit
kanker. Bila dengan deteksi ini ditemui kelainan maka segera dilakukan pemeriksaan
diagnostik untuk memastikan diagnosa seperti pemeriksaan biopsy, USG atau mamografi
atau kolposkopi. 
b. Pembatasan ketidakmampuan (disability limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan
penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan
kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap
penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang
bersangkutan cacat atau mengalami ketidak mampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan
juga diperlukan pada tahap ini. Penanganan secara tuntas pada kasus-kasus infeksi organ
reproduksi mencegah terjadinya infertilitas.
2.1.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berfokus pada proses adaptasi kembali. Tujuan utama dari
pencegahan tersier adalah mencegah cacat, kematian, serta usaha rehabilitasi. Menurut
Kodim dkk (2004), tujuan dari pencegahan tersier adalah untuk mencegah komplikasi
penyakit dan pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan.
Pencegahan tersier terhadap penyakit masalah sistem reproduksi dapat dengan melakukan
perawatan pasien hingga sembuh serta melakukan terapi-terapi untuk meminimalisir
kecacatan akibat masalah tersebut. Pencegahan tersier adalah Rehabilitasi. contoh:
rehabilitasi pada penderita-penderita kanker ovarium, kanker payudara dan lain
sebagaiannya.
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat, untuk
memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Disamping itu
orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke
masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota
masyarakat yang normal. Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja
untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada  masyarakat.
Pada pusat-pusat rehabilitasi misalnya rehabilitasi PSK, dan korban narkoba.
Rehabilitasi ini terdiri atas :
1. Rehabilitasi fisik
yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya.
2. Rehabilitasi mental
yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan
social secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul
pula kelainan-kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu
mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat.
3. Rehabilitasi sosial vokasional
yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan/jabatan dalam masyarakat dengan
kapasitas kerja yang semaksimal-maksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak
mampuannya.
4. Rehabilitasi aesthesis
usaha rehabilitasi aesthetis perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa
keindahan,walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat
dikembalikan.
2.2 Observasi Pemeriksaan Kolposkopi
1. Defenisi
Kolposkopi merupakan suatu prosedur pemeriksaan vagina dan serviks dengan
menggunakan instrumen kaca pembesar dengan pencahayaan. Pada awalnya digunakan
untuk mendeteksi kanker serviks invasif dini asimptomatik tetapi sekarang digunakan untuk
mendeteksi kelainan pre invasif dengan tujuan mencegah perkembangan kanker serviks
invasive (Jennifer, 2008).
Kolposkopi adalah mikroskop binokuler dengan pembesaran rendah (10-40 x) untuk
visualisasi langsung serviks. Meskipun kolposkopi tidak menggantikan metode lainnya
untuk mendiagnosis kelainan serviks, pemeriksaan ini merupakann alat tambahan yang
penting. Pasien yang paling mendapat manfaat dari kolposkopi adalah pasien dengan apusan
Pap abnormal. Kolposkopi juga digunakan untuk mengevaluasi wanita yang terpajan DES
intrauterine dan yang sedang berada pada pematauan lanjut terapi kanker ginekologi
(Jennifer, 2008).
Normalnya, epitel kolumner melapisi ektoserviks sampai dewasa, dan kemudian secara
bertahap berubah menjadi skuamosa. Zona transformasi mudah diamati dengan kolposkopi
dan perubahan permukaan displastik dapat dikenali. Perubahan ini meliputi epitel putih
(misalnya lembaran lapisan sel metaplastik), pola mosaik (misalnya sel yang berada sendri-
sendiri dan kelompok sel), pungtata (misalnya merupakan pembuluh darah di antara
kelompok-kelompok sel) dan leukoplakia (misalnya plak sel pucat abnormal) (Jennifer, 2008)
Kolposkopi memungkinkan mengenali adanya dysplasia seluler dan kelainan jaringan
atau vascular yang tidak terlihat. Kolposkopi memungkinkan pemilihan daerah yang
dicurigai kanker untuk biopsi. Filter hijau memperjelas perubahan vascular (yang sering
menyertai perubahan patologis). Larutan asam asetat encer (3%) digunakan untuk
mengangkat mukus dan mempermudah visualisasi. Bahan kimia dan pewarna juga dapat
digunakan untuk memperbaiki visualisasi. Kamera yang dilekatkan pada kolposkop
mempermudah pematauan lanjut. Biopsi yang diarahkan dengan kolposkopi akan
menurunkan jumlah laporan negatif palsu dan dapat mengurangi perlunya konisasi serviks,
salah satu penyebab morbidias (Jennifer, 2008)
2. Teknik pemeriksaan
Menurut Barbara (2008), ada beberapa teknik pemeriksaan kolposkopi adalah :
a. Bahan dan alat diperiksa sebelum pemeriksaan dimulai.
b. Dokumentasi yang baik.
c. Pasien dalam posisi litotomi dan dipasang duk steril.
d. Ahli kolposkopi duduk pada alat kolposkopi, jarak binokular di atur dan kolposkopi
dinyalakan.
e. Tergantung pada indikasi kolposkopi, vulva dapat dilihat dengan kolposkopi. Asam aseat
3-5 % dapat digunakan untuk mempermudah melihat epitel. Bila terlihat daerah
abnormal, maka segera dilakukan biopsi vulva. Beberapa ahli kolposkopi menunda
kolposkopi dan biopsi sampai semua pemeriksaan selesai.
f. Dimasukkan spekulum ukuran paling besar.
g. Serviks harus dapat dilihat sempurna, kadang perlu dilakukan usapan mukus yang
menutupi serviks. Bila posisi serviks kurang pas maka dapat diselipkan kasa basah di
fornik dengan memakai forsep.
h. Diambil sampel untuk pemeriksaan sitologi, bila ada perdarahan cukup ditekan biasanya
akan berhenti.
i. Serviks disinari dengan cahaya putih dengan perbesaran 4-8 x. dicatat temuan
makroskopis.
j. Pola pembuluh darah dinilai dengan tabir/saringan berwarna hijau dengan perbesaran
rendah dan tinggi. Asam asetat sebaiknya baru digunakan setelah pembuluh darah
dilihat.
k. Kemudian digunakan asam asetat 3-5 % secara hati-hati sampai semua bagian serviks
basah, diikuti asam asetat terlarut untuk menjamin terjadinya reaksi memutih karena
asetat (acetowhite reaction).
l. Epitel serviks dinilai dengan perbesaran rendah, sedang dan tinggi. Acetowhite reaction
pelan-pelan akan hilang tergantung pada parahnya abnormalitas epitel. Dengan
menghilangnya reaksi ini maka gambaran mosaik pembuluh darah akan menjadi lebih
jelas karena kontras dengan jaringan sekitarnya. Bila terlihat pembuluh darah maka
harus dilihat dengan perbesaran tinggi.
m. Epitel normal dan abnormal serta pola pembuluh darah di ingat dengan baik karena akan
diperlukan saat mengisi data.
n. Bila memungkinkan di ambil sampel endoserviks dengan kuret endoserviks atau dengan
cytobrush. Kuret dipegang seperti memegang pensil dan di masukkan kedalam os
servikalis dan seluruh kanalis dikuret dengan tarikan definitif. Sampel difiksasi dan
ditempatkan dalam botol sampel serta diberi label.
o. Dilakukan biopsi yang dipandu kolposkopi. Tempat biopsi dipilih dan sampel di ambil
dengan tang biopsi. Perdarahan dirawat
p. Vagina dilihat kembali bersamaan dengan dikeluarkannya speculum.
q. Bila diperlukan dapat dilanjutkan dengan biopsi vulva.
r. Pasien diberi tahu tentang kesan hasil pemeriksaan awal kolposkopi.
s. Spesimen diperiksa kelengkapannya, dilakukan dokumentasi serta kolposkopi
dibersihkan dan alat-alat yang digunakan disterilkan kembali.
3. Kekurangan dan kelebihan kolposkopi
Kekurangan : mahal dan membutuhkan peralatan khusus, pelatihan dan evaluasi
patologis, wanita yang menjalani pemeriksaan kolposkopi sering mengalami kecemasan
yang sama bahkan lebih besar dari pembedahan mayor (Barbara, 2008)
Kelebihan : kolposkopi adalah satu-satunya cara yang ada untuk mengevaluasi serviks
terhadap penyakit berpotensi premaligna lanjut yang terlewatkan atau hanya tergolong
sebagai kanker stadium rendah pada papsmear, kolposkopi memungkinkan dokter
menindaklanjuti pap smear abnormal lebih baik (Barbara, 2008)
2.3 Observasi Hasil USG
Citra USG merupakan hasil citra dari foto yang dihasilkan oleh mesin USG. USG adalah
suatu alat dalam dunia kedokteran yang memanfaatkan gelombang ultrasonik, yaitu
gelombang suara yang memiliki frekuensi yang tinggi (250 kHz - 2000 kHz) yang kemudian
hasilnya ditampilkan dalam layar monitor. Gelombang yang diterima masih dalam bentuk
gelombang akusitik (gelombang pantulan) sehingga fungsi kristal disini adalah untuk
mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh
komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar. Alat pada USG yang
digunakan sebagai penerima gelombang akuistik dari pasien disebut dengan transduser.
Transduser adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang akan diperiksa
dimana dalam transduser sendiri terdapat kristal yang digunakan untuk menangkap pantulan
gelombang yang disalurkan oleh transduse (Mose, 2011).
Kualitas suatu gambar hasil pada USG di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor individu dan faktor mesin USG. Faktor individu terbagi menjadi dua yaitu, pasien dan
operator (dokter), sedangkan untuk faktor mesin dapat dipengaruhi oleh kesesuaian setting
pada alat USG itu sendiri (Endjun, 2007.)
Semakin baik kualitas citra USG dapat dilihat dari banyak atau tidaknya noise berupa
speckle yang terdapat pada citra tersebut. Salah satu cara untuk dapat menghilangkan noises
pada citra adalah dengan cara melakukan segmentasi. Segmentasi adalah metode pemisahan
suatu objek yang menjadi bagian penting dari latar belakang objek atau membagi citra
kedalam beberapa objek atau daerah (Puspitasari, 2010)
Segmentasi kepala janin pada citra USG bertujuan untuk memperoleh skleton kepala
janin. Beberapa metode segmentasi pada citra USG telah dikembangkan, antara lain
segmentasi dengan metode adaptive tresholding dengan menghilangkan piksel-piksel
disekitar gambar skleton kepala yang diinginkan. Kemudian segmentasi berbasis klastering
dengan metode K-Means berupa klasterisasi piksel berdasarkan nilai keabuan. Dari kedua
penelitian diatas hasil segmentasi berdasarkan metode yang digunakan menghasilkan
segmentasi yang kurang baik, dimana noise pada gambar yang dihasilkan masih terlalu
banyak. Dari beberapa metode segmentasi yang telah dilakukan kenyataannya segmentasi
berbasis clustering dapat diterapkan pada citra USG, yaitu dengan melakukan perhitungan
kedekatan piksel ketetanggaan (Puspitasari, 2010)
2.4 Interpretasi Hasil Laboratorium
Menurut KKRI (2011), interpretasi yang dapat disimpulkan dari hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut adalah :
a. RBC ( Red Blood Cells)
Nilai normal dari pemeriksaan RBC adalah 3,5 – 5 x 10 12 sel/L untuk wanita dan pada
pemeriksaan RBC pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar RBC di dalam
tubuh pasien. Penurunan kadar RBC ini biasanya terjadi pada pasien anemia, penurunan
fungsi ginjal, thalassemia, hemolisis dan lupus eritematous. Penurunan ini juga dapat terjadi
karena pemakaian obat (drug induced anemia ) seperti sitostatika dan antiretroviral.
b. Hb (Hemoglobin)
Nilai normal dari pemeriksaan Hb adalah 12 – 16 gram/dL untuk wanita dan pada
pemeriksaan Hb pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar Hb di dalam tubuh
pasien. Penurunan kadar Hb dapat terjadi pada anemia ( terutama anemia defisiensi
besi),sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
c. Hct ( Hematokrit)
Nilai normal pada pemeriksaan Hct adalah 35% – 45% untuk wanita dan pada
pemeriksaan Hct pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar Hct di dalam
tubuh pasien. Penurunan kadar Hct dapat terjadi pada kasus anemia, reaksi hemolitik,
leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Pada pasien anemia defisiensi
besi, nilai Hct terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada volume yang lebih
kecil, walaupun jumlah sel darah terlihat normal.
d. MCV ( Mean Corpuscular Volume )
Nilai normal pada pemeriksaan MCV adalah 80 – 100 fl dan pada pemeriksaan MCV
pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar MCV di dalam tubuh pasien.
Penurunan kadar MCV dapat terjadi pada kasus anemia defisiensi besi, anemia pernisiosa dan
thalassemia yang biasanya disebut dengan anemia mikrositik.
e. MCH ( Mean Corpuscular Hemoglobin)
Nilai normal pada pemeriksaan MCH adalah 28 – 34 pg/sel dan pada pemeriksaan MCH
pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar MCH. Penurunan kadar MCH
mengindikasikan anemia mikrositik.
f. MCHC ( Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration )
Nilai normal pada pemeriksaan MCHC adalah 32 – 36 g/ dL dan pada pemeriksaan
MCHC pada kasus didapatkan hasil terjadinya penurunan kadar dari MCHC. Penurunan
kadar MCHC didapatkan pada pasien anemia defisiensi besi, anemia mikrositik, anemia
karena piridoksin, thalassemia dan anemia hipokromik.
g. Trombosit ( Platelet )
Nilai normal pada pemeriksaan platelet adalah 170 – 380 x 10 9/L dan pada pemeriksaan
platelet pada kasus didapatkan hasil terjadinya kenaikan kadar dari platelet. Kenaikan kadar
platelet didapatkan karena adanya infeksi, stress, trauma , defisiensi besi, penyakit keganasan
dan hipoksemia.
Menurut Gandasoebrata (2009), interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium adalah :
1. Hemoglobin
Defenisi : molekul yang terdiri dari kandungan heme (zat besi) dan rantai polipeptida
globin (alfa,beta,gama, dan delta), berada di dalam eritrosit dan bertugas untuk mengangkut
oksigen.
Nilai Normal : LAKI-LAKI : 15.7 (14.0–17.5) g/dl dan PEREMPUAN : 13.8 (12.3–15.3)
g/dl
Peningkatan : Dehidrasi, polisitemia, PPOK, gagal jantung kongesti, dan luka bakar hebat.
Obat yang dapat meningkatkan Hb adalah metildopa dan gentamicin.
Penurunan : Anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebih, dan
hodgkin. Dapat juga disebabkan oleh obat seperti: Antibiotik, aspirin, antineoplastic (obat
kanker), indometasin, sulfonamida, primaquin, rifampin, dan trimetadion.
2. Hematocrit
Defenisi : atau volume eritrosit yang dimampatkan (packed cell volume, PCV) adalah
persentase volume eritrosit dalam darah yang dimampatkan dengan cara diputar pada
kecepatan tertentu dan dalam waktu tertentu.
Nilai Normal : Anak : 33-38%, Laki-laki Dewasa : 40-50%, Perempuan Dewasa : 36-44%
Peningkatan : Terjadi pada hipovolemia, dehidrasi, polisitemia vera, diare berat, asidosis
diabetikum, emfisema paru, iskemik serebral, eklamsia, efek pembedahan, dan luka bakar.
Penurunan : Terjadi dengan pasien yang mengalami kehilangan darah akut, anemia,
leukemia, penyakit hodgkins, limfosarcoma, mieloma multiple, gagal ginjal kronik, sirosis
hepatitis, malnutrisi, defisiensi vit B dan C, kehamilan, SLE, athritis reumatoid, dan ulkus
peptikum.
3. Eritrosit
Defenisi : jumlah eritrosit per milimeterkubik atau mikroliter dalah. Seperti hitung
leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel eritrosit ada dua metode, yaitu manual dan
elektronik (automatik).
Nilai Normal : Dewasa laki-laki : 4.50 – 6.50 (x106/μL), Dewasa perempuan : 3.80 – 4.80
(x106/μL), Bayi baru lahir : 4.30 – 6.30 (x10 6/μL), Anak usia 1-3 tahun : 3.60 – 5.20
(x106/μL), Anak usia 4-5 tahun : 3.70 – 5.70 (x106/μL), Anak usia 6-10 tahun : 3.80 – 5.80
(x106/μL)
Peningkatan : polisitemia vera, hemokonsentrasi/dehidrasi, dataran tinggi, penyakit
kardiovaskuler
Penurunan : kehilangan darah (perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma
multipel, cairan per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi berlebihan
4. Trombosit
Defenisi : komponen sel darah yang dihasilkan oleh jaringan hemopoetik, dan berfungsi
utama dalam proses pembekuan darah. Penurunan sampai dibawah 100.000/ µL berpotensi
untuk terjadinya perdarahan dan hambatan pembekuan darah.
Nilai Normal : 150.000-400.000 /µL
Peningkatan : (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit keganasan, sirosis,
polisitemia, ibu hamil, habis berolahraga, penyakit imunologis, pemakaian kontrasepsi oral,
dan penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak berbahaya, kecuali jika >1.000.000
sel/mm3.
Penurunan : (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam berdarah dengue, anemia, luka
bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000 sel/mm3.
5. Leukosit
Definisi : menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit
merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing,
mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung julah leukosit merupakan indikator
yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Nilai Normal : Dewasa : 4000-10.000/ µL, Bayi /anak : 9000-12.000/ µL, Bayi baru lahir :
9000-30.000/ µL
Peningkatan : pneumonia, meningitis, apendisitis, tuberkolosis, tonsilitis, dll. Dapat juga
terjadi miokard infark, sirosis hepatis, luka bakar, kanker, leukemia, penyakit kolagen,
anemia hemolitik, anemia sel sabit , penyakit parasit, dan stress karena pembedahan ataupun
gangguan emosi.
Penurunan : terutama virus, malaria, alkoholik, SLE, reumaotid artritis, dan penyakit
hemopoetik(anemia aplastik, anemia perisiosa).
6. Laju Endap Darah ( LED)
Defenisi : kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan
satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama
proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan).
Nilai Normal : Metode Westergreen : Laki-laki : 0 – 15 mm/jam, Perempuan : 0 – 20
mm/jam dan Metode Wintrobe : Laki-laki : 0 – 9 mm/jam, Perempuan : 0 – 15 mm/jam
Peningkatan : LED yang meningkat menandakan adanya infeksi atau inflamasi, penyakit
imunologis, gangguan nyeri, anemia hemolitik, dan penyakit keganasan.
Penurunan : LED yang sangat rendah menandakan gagal jantung dan poikilositosis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan kejadian
suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer juga diartikan
sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada seseorang dengan faktor
risiko. Tahap pencegahan primer diterapkan dalam fase pre pathogenesis yaitu pada keadaan
dimana proses penyakit belum terjadi atau belum mulai. Pencegahan sekunder merupakan
pencegahan yang mana sasaran utamanya adalah pada mereka yang baru terkena penyakit
atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu. Adapun tujuan pada pencegahan
sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang tepat. Adapun beberapa pengobatan
terhadap penyakit masalah sistem reproduksi dapat melalui obat dan operasi. Kolposkopi
merupakan suatu prosedur pemeriksaan vagina dan serviks dengan menggunakan instrumen
kaca pembesar dengan pencahayaan. Pada awalnya digunakan untuk mendeteksi kanker
serviks invasif dini asimptomatik tetapi sekarang digunakan untuk mendeteksi kelainan pre
invasif dengan tujuan mencegah perkembangan kanker serviks invasive (Jennifer, 2008).
3.2 Saran
Dalam mempelajari tingkat pencegahan penyakit pada kesehatan reproduksi hendaknya
kita benar-benar memahami konsepnya terlebih dahulu. Begitu juga ketika mempelajari
tentang permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. Apa yang telah di jelaskan dalam
makalah ini hendaknya menjadi acuan tentang mengetahui bagaimana pencegahan penyakit
secara primer, sekunder, dan tersier.
DAFTAR PUSTAKA

(Mose, Pribadi A, Firman W, “Ultrasonografi Obsetri dan Ginekologi,” Jakarta: Sagung


Setyo. 2011.)

(Endjun J, “Ultrasonografi Dasar Obsestri dan Ginekologi,” Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007.)

(Puspitasari D, Handayani T, ”Deteksi Kepala Janin Pada Gambar USG Menggunakan Fuzzy
C-Means (FCM) Dengan Informasi Spasial Dan Iterative Randomized Hough Transform
(IRHT),” Surabaya. 2010: 2.)

(Pedoman interpretasi data klinik: kementerian kesehatan republik indonesia, 2011)

(Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat; 2009. hal. 11-42.)

Intrumen Akreditas Rumah Sakit 2012. Pedoman Pemberian obat resiko tinggi atau
kemoterapi RS Pratama Sangkulirang, 2017.Frank E. Jennifer, 2008. Apgar S. Barbara, 2008

Anda mungkin juga menyukai