Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

IJTIHAD
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing : Waway Qodratulloh S

Disusun oleh :

Azhar Sani Adhan 155134008

Binti Zulaikah 155134010

Maya Khairunisa 155134019

Mirna Rahmawanti 155134021

JURUSAN AKUNTANSI

PRODI AKUNTANSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

2015
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat kehadirat Allah SWT, berkat
rahmat dan inayah-Nya , sehingga kami dapat menyelesai kan makalah ini
dengan sebaik-baik nya .
Selain itu kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besar
nya kepada dosen Pendidikan Agama kami yang telah membimbing kami
dengan baik dan sabar,tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada rekan-
rekan yang juga mensupport kami dalam membuat makalah ini .
Di dalam makalah ini terdapat pembahasan mengenai Ijtihad, yang isi
nya telah kami susun semenarik mungkin dan selengkap mungkin agar bisa di
pergunakan oleh pembaca dengan sebaik-baik nya dan kami berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Kami menyadari bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang
sempurna.Begitu pula dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan yang kami lakukan. Makadari itu, kami menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak dengan lapang
dada demi kemajuan makalah ini. Atas perhatiannya kami ucakan banyak
terimakasih.

Bandung ,06 Oktober 2015

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................1
Daftar Isi .......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Batasan Masalah........................................................................................3
1.4 Tujuan Masalah.........................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................4
2.1 Pengertian Ijtihad......................................................................................4
2.2 Dasar Hukum Ijtihad ................................................................................6
2.2.1 Dari Al-Qur’an.................................................................................6
2.2.2 Dari Hadist ......................................................................................7
2.3 Bentuk dan Metodologi Ijtihad
2.3.1 Ijma ............................................................................................8
2.3.2 Qiyas..........................................................................................9
2.3.3 Ihtisan.........................................................................................9
2.3.4 Mashalihul Mursalah .................................................................10
2.3.5 ‘Urf ............................................................................................10
2.4 Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat .........................10
BAB III PENUTUP ......................................................................................12
3.1 Kesimpulan ...............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................13

2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waku dan berkembangnya jaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut
belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia
berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya.

Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic
Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum
(Islam) diambil. Sumber-sumber hukum diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah nabi, dan
berasal dari metode-metode ijtihad dan interprestasi atau pencapaian sebuah konssensus
( Ijma’= kesepakatan). Oleh karena itu, penulisan membuat makalah bertemakan ijtihad
sebagai solusi dari pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam AL-
Quran dan As-Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah


1.      Pengertian ijtihad
2.      Dasar hukum ijtihad
3.    Macam-macam ijtihad
4.    Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat

1.3 Batasan Masalah


Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihat tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan


1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Menambah wawasan mengenai ijtihad.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga atau bekerja
secara optimal. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam
mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat atau hadist.
Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum. Ijtihad adalah penggunaan pikiran
untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-Quran
dan Hadist Nabawi.

Memperhatikan defini ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad sebagai berikut:

a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada peranan
nalar,

b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat manjalankan
fungsi formulasi , dan

c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan yang tidak
pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.

Secara bahasa, Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala


perbuatan. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan
hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Sedangkan secara harfiah ijtihad berarti usaha keras. Dalam terminologi hukum Islam,
ijtihad berarti berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud
Syaltut berpendapat bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencangkup dua
pengertian :

a. Penggunakan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh Al- Quran dan As-Sunnah.

b. Penggunakan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari


sesuatu ayat atau hadist.

4
Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda.

A. Menurut Asj Syafi’i

Mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara’ dari kitabullah dan hadist
rasul.

B. Menurut al-Amidy
Mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanny.
      C. Menurut Tajuddin Ibnu Subky
Mengerahkan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
D. Menurut Abd. Wahhab Khallaaf
Mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalili-dalil syara’
secara terperinci.
E. Menurut Akhmad Dahlan
Ijtihad adalah usaha yang sungguh - sungguh untuk menentukan hukum untuk
memungkinkan Islam menghadapi berbagai masalah dunia yang mengalami perubahan itu.
F. Menurut A. Haamid Hakim
Mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’ dengan cara istinbat
(mengeluarkan/melahirkan hukum) dari Al-qur’an dan Hadist.
G. Menurut Thommas Patrick Hughes
Penalaran dari yang umum kepada yang khusus mengenai persoalan menyangkut bidang
hukum Islam dan aqidah oleh seorang mujtahid atau cendikiawan yang bergelar doktor.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis
besar seperti berikut :
a) Pekerjaan : pengarahan daya pikir sekuat-kusatnya.
b) Pelaku : ahli fiqih, ahli hukum agama islam yang memenuhi persyaratan yang disebut
mujtahid.
c) Lapangan : suatu masalah yang tidak terdapat nash sorihnya dalam Al-Qur’an.
d) Tujuan : mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah.
e) Sifat hukum : dzanny, bukan qot’ie (dugaan kuat, bukan kepastian).
f) Dasar/sumber : Al-Qur’an dan hadist

5
g) Sistem/kaedah : menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur
dalam ilmu ushul fiqih, dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah
(kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).

2.2 Dasar Hukum Ijtihad


Ada dua dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu:

2.2.1 Dari Al-Qur’an


Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an, antara lain:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa’ : 59)

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada
Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadist
supaya meneliti hukum-hukum yang ada alasannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-
peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang
yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini
berati mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada
ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”
(Q.S. An-Nisa’ : 105)

“dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al -‘Ankabut : 69 )

6
ٍ ‫اِنَّ فِى َذلِ َك اِل َ َيا‬
َ‫ت لِقَ ْو ٍم يَتَفَ َّك ُر ْون‬

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”

“ Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad)
dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu,
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa’: 59)

2.2.1 Dari Hadis ( As-Sunnah)


Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:

 Hadits yang diriwayatkan oleh umar,

ِ ‫ان َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َو‬


)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫احد‬ ِ ‫اب فَلَهُ اَ ْج َر‬
َ ‫ص‬ ْ ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬

“Hakim apabila  berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua
pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu
pahala”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

 Rasulullah juga pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut:

“Berhukumlah engkau dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu
engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada
dua sumber itu, maka ijtihadlah”

 Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:

ِ ‫ َكيْفَ تَ ْق‬:‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَنْ يَ ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل‬
‫ض‬ ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنَّ َر‬ِ ‫ص َحا‬ ْ َ‫س ِّمنْ اَه ِْل َح َمص ِمنْ أ‬ ٍ َ ‫عَنْ أُنا‬
‫ فَإِنْ لَ ْم ت َِج ْد ِفي‬:‫ قَا َل‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ِ‫ فَب‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬ ِ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد ِفي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫إِ َذاع ََر‬
‫س ْو َل‬
ُ ‫ق َر‬ َّ
َ ‫ي َوف‬ َّ ‫هَّلِل‬ ْ َ
ْ ‫ اَل َح ْم ُد ِ ال ِذ‬:‫ص ْد َرهُ َوقا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ض َر َب َر‬ َ ُ َ
َ ‫ ف‬.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َواَل آل ْو‬:‫ب هللاِ؟ قا َل‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َواَل فِي ِكتَا‬ ُ ‫سنَّ ِة َر‬
ُ
.)‫ (رواه ابوداود‬ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ضي َر‬ َ ‫س ْو ِل هللاِ لَ َّما يَ ْر‬
ُ ‫َر‬

 Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz bin Jabal,

“ Bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya? Muadz menjawab: Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi
bertanya lagi: Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an? Muadz menjawab:
Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:
Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an? Muadz menjawab: Saya
akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz

7
dengan tangan beliau, seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.” (HR.Abu Dawud)

Hadist tersebut berkenaan dengan riwayat ketika Muadz bin Jabal akan diutus
menjadi qodhidi negeri Yaman. Tetapi sahabat nabi itu tidak pernah bersikap fanatik terhadap
pendapatnya, ia selalu mengatakan: ”inilah pendapat saya……….. dan kalau ada yang lain
membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapat itulah yang lebih benar”.

 Dari Amr bin ‘Ash ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda,


“Apabila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata
ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu
perkara, lalu ia herijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah,
maka ia mendapat satu pahala”. (H.R. Muslim dan Ahmad)

Dari hadist di atas, sangatlah jelas bahwasanya ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW
untuk dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, apabila tidak ditemukan didalam Al-
qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk hukum masalah yang aktual,
walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Hadist-
hadist di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu beriktihad untuk
melakukan ijtihad.

2.3 Bentuk dan Metodologi Ijtihad

2.3.1 Ijma
Ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya
keputusan yang di ambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
di ikuti oleh seluruh umat.
Ijma adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara, melipuyi:
- Ijma Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-sendiri tentang suatu
masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
- Ijma ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak di ucapkan namun tercermin dalam kesamaan
sikap dan pengalaman.
- Ijma Sukuti,yakni ”menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama tertentu menetapkan
hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak membantahnya.

8
2.3.2 Qiyas
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan, artinya menetapkan suatu hukum atau
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya. Namun memiliki
kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga di hukumi sama. Dalam islam Qiyas sifat nya darurat, bila memang terdapat hal-hal
yang ternyata belum di tetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Bila masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci
maupun hadits, maka para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber
agama tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan
satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di sinilah
sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad diperlukan memiliki
keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-masalah lain yang terkait dengannya.
Misalnya, arak(khamr) diharamkan karena memabukan(Q.S. 2:219) dan riba diharamkan
karena mengandung unsur penganiayaan(Q.S. 2:275). Maka secara Qiyas, benda dan hal lain
pun jika ternyata memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
Kaidah Ushul Fiqih menyatakan,”Hukum itu berputar menurut ‘illah-nya”.

Beberapa definisi qiyâs (analogi):

1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk definitif lainya, melalui suatu persamaan di antara
nya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam (Al-Quran) atau
(Hadis) dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh)
4. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh al-
qur’an dan hadits.

2.3.3 Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari hukum umum kepada hukum khusus
untuk mencapai kemanfaatan. Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian
masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan disediakan untuk biaya
pembangunan masjid.

Beberapa definisi Istihsan:

1. Fatwa yang di keluarkan oleh seorang faqih(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu
adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan oleh nya.
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat di terima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan sutu perkara di masyarkat terhadap perkara yang ada
sebelumnya.

9
Misalnya, menanami tanah wakaf yang di wakafkanuntuk pendirian masjid sambil
menunggu biaya pembangunan. Hasil nya dijual dan disediakan untuk biaya pembangunan
masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits menyebutkan, orang
yang demikian di anjurkan meneruskan puasa nya, tanpa penjelasan batal atau tidak nya
puasa orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau sengaja mengeluarkan angin, ditetapkan batal
wudhunya.

2.3.4 Mashalihul Mursalah


Salah satu dari macam ijtihad yang jga dilakukan untuk kepentingan umat adalah mashalihul
mursalah. Jenis ijtihad ini di lakukan dengan cara memutuskan permasalahan melalui
berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan umat. Hal yang paling penting adalah
menghindari hal negatif dan berbuat baik penuh manfaat.

Maslahul mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum, tidak di anjurkan
Quran dan Sunnah, tetapi sangat di perlukan untuk memeliara kelestarian dan
keselamamtan agma,akal, harta, diri, dan keturunan. Misal nya, membukuakan dn
mencetak Al-Quran dan Al-Hadits; mengaji muadzin, imam khotib, dan guru agama, serta
mengadakan pperayaann peringatan.

2.3.5 ‘Urf
Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan
kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan
prinsipal Al-Quran dan Hadist.

‘urf ini di lakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan adat
isyiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat, memang tak bisa di lepaskan dan
sudah melekat dengan masyarakat kita

2.4 Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat


Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua
hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain
itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di
suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran atau Al-Hadist. Sekiranya
sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana

10
disebutkan dalam Al-Quran atau Al-Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadist, pada
saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al-Hadist.

Tujuan Ijtihad adalah memenuhi keperluan umat manusia dalam beribadah kepada Allah di
tempat dan waktu tertentu.

FUNGSI IJTIHAD

1. Terciptanya suatu keputusan bersama antara para ulama dan ahli agama (yang
berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang
tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an dan Hadist.

2. Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil ijtihad yang tidak bertentangan dengan All
Qur’an dan Hadist.

3. Dapat ditetapkannya hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas


pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at
berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran Islam. 

Manfaat Ijtihad

 Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui hukumnya
sehingga hukum islam selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan.

 Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman, waktu dan


keadaan.

 Menetapkan fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak terkait dengan halal atau
haram.

 Dapat membantu umat islam dalam menghapi setiap masalah yang belum ada
hukumnya secara Islam.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa ijtihad berarti
pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu, yaitu penggunaan akal sekuat
mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam
ialah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan AL-Hadist. Hasil ijtihad antara lain
adalah qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf, istihab, dan sududz dzariah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.

Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.

Rarnulya, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

Nasution, Lahrnuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja


Rosdakakarya.

Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.

13

Anda mungkin juga menyukai