Anda di halaman 1dari 27

KONSEP DASAR LEUKIMIA

DOSEN PEMBIMBING:

Ernawati, S.Kep., Ners.,M.Kep.

DISUSUN OLEH KELOMPOK III:


1. Binar Aura Fatmawati (007 STYC20)
2. Eka Nuraini Muslimah (014 STYC20)
3. I Putu Yogi Adhipramana (021 STYC20)
4. Lalu Mohamad Naufal Rifqi (024 STYC20)

5. Lilis Sopiana (026 STYC20)


6. Meyga Yunika Indahsari (029 STYC20)
7. Nispi Mauzatul Muspita (033 STYC20)
8. Niswatun Hasanah (034 STYC20)
9. Popi Purnamasari (039 STYC20)
10. Pica Intia Dewi (056 STYC20)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
MATARAM 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala yang maha pemurah


dan lagi maha penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat allah
subhanahu wa ta’ala, yang telah melimpahkan hidayah, inayah dan rahmat-nya
sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul
“KONSEP LIFOMA MALIGNA” tepat pada waktunya.

Penyusunan Makalah ini sudah kami lakukan semaksimal mungkin


dengan dukungan dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam
penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa mengucapkan terima kasih dari
berbagai pihak yang sudah membantu kami dalam rangka menyelesaikan
makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan
bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami
membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan
kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana


ini bisa bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih
berhubungan pada makalah- makalah berikutnya.

Mataram, 14 Novemver 2021


BAB 1
1.1 Latar Belakang
Limfoma Maligna didefinisikan sebagai sebuah penyakit keganasan yang
menyerang limfosit yang berada pada jaringan-jaringan limfoid contohnya seperti
nodus limfe. Penyakit ini pertama kali di deskripsikan oleh Thomas Hodgkin pada
tahun 1832 di London Inggris, Pada umumnya limfoma maligna diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma Non-Hodgkin
(LNH). Dimana LH adalah suatu keganasan sel B yang ditandai dengan adanya
sel Reed Sternberg, dan LNH dapat berasal dari sel B atau sel T.
Limfoma Maligna terhitung sebesar 3,37% dari seluruh keganasan di
dunia. Limfoma maligna meningkat rata-rata 3-4% selama dekade terakhir. LNH
pada laki-laki 6% dan pada wanita 4,1% sedangkan LH 1,1% pada laki-laki dan
0,7% pada wanita.
Mengenai prevalensi limfoma di Amerika Serikat diketahui bahwa
limfoma Hodgkin memiliki prevalensi sebesar 8,2% sedangkan untuk prevalensi
limfoma non-Hodgkin jauh lebih tinggi yaitu sebesar 62,4 % (Longo, 2012).
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 di Indonesia
estimasi insidensi limfoma terhadap anak pada tahun 2005-2007 adalah 0,75 per
100.000 penduduk. Apabila dibandingkan

dengan penyakit kanker lainnya di Indonesia, limfoma maligna berada


pada urutan keenam kanker tersering. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis
limfoma ditemukan dalam stadium lanjut sehingga banyak mengalami komplikasi
dan sulit disembuhkan.
Data lembaga kanker global (GLOBACAN) tahun 2012, menunjukkan
limfoma merupakan salah satu dari sepuluh jenis kanker terbanyak di dunia.
Kematian akibat limfoma masih sangat tinggi, mencapai setengah dari kasus baru.
Limfoma maligna menempati 3,37% dari seluruh keganasan di seluruh dunia.
Insiden Limfoma maligna di dunia mengalami peningkatan dengan rata-rata 3 4%
dalam 4 dekade terakhir. Kenaikan insiden Limfoma Non Hodgkin pada pria 6%
dan wanita 4,1%. Limfoma Hodgkin 1,1% pada pria dan 0,7% pada wanita. Data
dari Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, angka kejadian Limfoma
di Indonesia sebesar 0,06% dengan estimasi 14.905 pasien. VEB memiliki peran
pada perkembangan Neoplasma Limforetikuler sel B. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa ekspresi gen-gen laten VEB menyumbangkan perubahan
fenotipe ganas, terutama LMP-1. Gen laten VEB ditemukan dapat merubah
perkembangan sel, merubah fenotip dari sel, menginduksi proliferasi dan
mencegah apoptosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya ekspresi
gen laten LMP-1 dari VEB pada Limfoma Maligna (Kemenkes, 2013).

Dampak dari limfoma dapat menyebabkan melemahnya system kekebalan


tubuh ketika sel limfosit ini diserang kanker. Jika tidak segera ditangani, limfoma
berpotensi menyebabkan komplikasi juga muncul akibat prosedur perawatan
limfoma seperti kemoterapi dan radioterapi.

1.2 Tujuan
Untuk menambah pengetahuan dan menambah wawasan terhadap Kasus
Leukimia, dan mahasiswa mampu mengaplikasikannya dalam Asuhan
Keperawatan, dapat bermanfaat sebagai referensi, informasi, masukan, acuan,
serta perbandingan untuk.
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
LIFOMA MALIGNA

A. PENGERTIAN
Pengertian Limfoma
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan
dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit
sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya, pada
orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan
tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD) dan
Limfoma non-Hodgkin (LNH) (Vinjamaran, 2017).

Anatomi dan sistem limfatik tubuh


Sistem limfatik adalah sistem saluran limfe yang meliputi seluruh tubuh yang
dapat mengalirkan isinya ke jaringan dan kembali sebagai transudat ke sirkulasi
darah. Sistem limfatik terdiri dari pembuluh limfe, organ dan jaringan limfoid
(Scanlon dalam Setiawati, 2013).
Gambar 2.1 Sistem vassa limfatika dan kelompok nodus limfoid utama
Dikutip dari : Scanlon VC, Sanders T. The lymphatic system and Immunity. In:
Scanlon VC, Sanders T. Essential of Anatomy and Physiology. 5thed.
Philadelphia: FA Davis Company,2007

Sistem limfatik adalah bagian dari sistem imun. Sistem limfatik terdiri dari
(Scanlon dalam Setiawati,2013):
1) Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh pembuluh limfe. pembuluh-
pembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-cabang ke semua
jaringan tubuh.
2) Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe. Limfe
terdiri dari sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B dan sel T.

3) Nodus Limfatikus
Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar dari
jaringan yang disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus limfatikus
ditemukan di leher, bawah ketiak, dada, perut, dan lipat paha. Nodus limfatikus
dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus limfatikus menangkap dan membuang bakteri
atau zat-zat berbahaya yang berada di dalam limfe.

4) Bagian sistem limfe lainnya


Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan limpa. Sistem limfatik
juga ditemukan di bagian lain dari tubuh yaitu pada lambung, kulit, dan usus
halus.

Nodus dan nodulus limfoid adalah massa dari jaringan limfatik; mempunyai
ukuran dan lokasi bervariasi. Nodus biasanya lebih besar, panjangnya nodus
berkisar 10 - 20 mm dan mempunyai kapsul; sedangkan nodulus
panjangnya antara sepersekian milimeter sampai beberapa milimeter dan tidak
mempunyai kapsul.
Nodus limfoid ditemukan berkelompok sepanjang jalur vassa limfatika, dan
limf mengalir melewati nodus-nodus ini dalam perjalanannya menuju vena
subklavia. Limf memasuki suatu nodus melalui beberapa vasa limfatika aferen
dan meninggalkannya lewat satu atau dua pembuluh eferen.
Gambar 2.2 Sistem vassa limfatika dan kelompok nodus limfoid utama
Dikutip dari : Scanlon VC, Sanders T. The lymphatic system and Immunity. In:
Scanlon VC, Sanders T. Essential of Anatomy and Physiology. 5thed.
Philadelphia: FA Davis Company,2007

Organ limfoid berupa kumpulan nodulus kecil yang mengandung banyak


limfosit merupakan tempat awal terjadinya respon imun spesifik terhadap antigen
protein yang dibawa melalui sistem limfatik. Organ limfoid terdiri atas:

a) Organ limfoid primer


Organ limfoid primer atau sentral yaitu kelenjar timus dan bursa fabricius atau
sejenisnya seperti sumsum tulang, diperlukan untuk pematangan diferensiasi dan
proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal
antigen.

b) Organ limfoid sekunder


Organ limfoid sekunder utama adalah sistem imun kulit (Skin Associated
Lymphoid Tissue/ SALT), Mucosal Associated Lymphoid Tissue/ MALT), Gut
Associated Lymphoid Tissue/ GALT), kelenjar limfe dan lien. Organ limfoid
sekunder mempunyai fungsi untuk menangkap dan mengumpulkan antigen yang
efektif, proliferasi dan diferensiasi limfosit yang disensitisasi oleh antigen spesifik
dan merupakan tempat utama produksi antibodi.
Sistim Limfatik Kepala dan Leher

Terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah nodus limfoid pada


kepala dan leher menurut beberapa ahli. Bailey dan Love melaporkan terdapat
sekitar 800 nodus limfoid pada manusia, 300 diantaranya terdapat di leher.
Drinker dan Yoffey menulis bahwa semua jaringan limfoid dari tubuh manusia
termasuk limfosit pada sumsum tulang kemungkinan berkisar 1 % dari berat
badan total.
Hal ini setara dengan setengah massa berat hepar. Carlson dan Skandalakis
mengemukakan bahwa terdapat banyak nodus limfoid dengan drainase ke cavum
oris dan orofaring yang tidak pernah diangkat saat pembedahan, sehingga diduga
jumlah total dari nodus limfoid berkisar 150-300 (Scanlon dalam Setiawati, 2013).
Skandalakis dkk dalam (Zahra Abu, 2014) mengemukakan pembagian nodus
limfoid kepala dan leher dalam 5 kelompok atau level, yang dikenal sebagai
sistem Healey (gambar 3), sebagai berikut:

a) Rantai horisontal superior, terdiri dari: nodus submental, sub mandibular,


preaurikular (parotis), post aurikular (mastoid), occipital.
b) Rantai vertikal posterior atau posterior triangle, terdiri dari: nodus
superfisial pada sepanjang vena jugularis eksterna dan nodus profunda
pada sepanjang saraf spinalis assesorius
c) . Rantai vertikal intermediet atau jugularis. Terdiri dari: nodus
juguloparotis (subparotis), jugulodigastrik (subdigastrik), jugulokarotis
(bifurkasio), juguloomohioid (omohioid).
d) Rantai vertikal anterior (viseral), terdiri dari: nodus parafaringeal,
paralaringeal, prelaryngeal (Delphian), pretracheal.
e) Rantai horisontal inferior, terdiri atas: nodus supraklavikular dan scalenus
Gambar 2.3 Level nodus limfoid menurut klasifikasi Healey Dikutip dari:
Skandalakis JE.Neck: Lymphatic System. In: Skandalakis JE, Colborn GL,
Weidman TA, Foster KS, Kingsworth AN, Skandalakis LJ,et al eds. Skandalakis
Surgical Anatomy. New York: McGraw-Hill Companies,2004

Fisiologi Sistem Limfatik Tubuh

Fungsi sistim limfatik antara lain membantu mempertahankan keseimbangan


cairan pada jaringan; menyerap lemak dari saluran cerna; sebagai bagian dari
sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit, dimana mengandung limfosit, sel
epitel dan stroma yang tersusun dalam organ dengan kapsul atau berupa kumpulan
jaringan limfoid yang difus.
Sistim vassa limfatika berawal di kapiler limfe yang terdapat pada sebagian
besar ruang jaringan. Kapiler limf sangat permeabel dan mengumpulkan cairan
jaringan dan protein. Kapiler limf menyatu membentuk vassa limfatika yang lebih
besar dengan susunan menyerupai vena. Pada vassa limfatika tidak terdapat
pompa (sebagaimana pompa untuk darah adalah jantung), namun limf tetap
mengalir dalam vassa limfatika dengan mekanisme yang sama, yang mempercepat
aliran balik vena. Limf mengalir kembali dalam darah untuk kembali menjadi
plasma.

Resirkulasi Limfosit

Vasa limfatika dari tubuh bagian bawah menyatu di depan vertebra lumbalis
untuk membentuk saluran yang disebut sisterna cili, yang berlanjut ke atas di
depan tulang punggung sebagai duktus torasikus. Vassa limfatika dari kuadran
kiri atas tubuh bergabung ke dalam duktus torasikus,
yang mengosongkan limfnya ke dalam vena subklavia sinistra. Vassa limfatika
dari kuadran kanan atas tubuh menyatu untuk membentuk duktus limfatikus
dekstra, yang mengosongkan limfnya ke dalam vena subklavia dekstra (gambar
4).
Hal ini menyebabkan aliran limf kembali ke darah secara konstan dan terjadi
pembentukan terus-menerus limf oleh gerakan cairan dari darah ke dalam
jaringan. Demikian pula, limfosit secara terus-menerus mengalami resirkulasi.

Gambar 2.4 Komponen sistem limfoid dan sirkulasi sel limfosit


di dalam pembuluh darah dan limfatik. Dikutip dari: Chandrasoma P, Taylor CR.
Sistim Limfoid: Limfoma maligna. Alih bahasa. Dalam: Chandrasoma P, Taylor
CR. Patologi Anatomi. Edisi ke-2.Jakarta: EGC,1995:397.
a) Peran Penting dari Sel T dan Sel B

Ada dua jenis utama sel limfosit:

(1) Sel T

(2) Sel B
Seperti jenis sel darah lainnya, limfosit dibentuk dalam sumsum tulang.
Kehidupannya dimulai dari sel imatur yang disebut sel induk. Pada awal masa
kanak-kanak, sebagian limfosit bermigrasi ke timus, suatu organ di puncak dada,
dimana mereka menjadi matur menjadi sel T. Sisanya tetap tinggal di sumsum
tulang dan menjadi matur disana sebagai sel B. Sel T dan sel B keduanya berperan
penting dalam mengenali dan menghancurkan organisme penyebab infeksi seperti
bakteri dan virus. Dalam keadaan normal, kebanyakan limfosit yang bersirkulasi
dalam tubuh adalah sel T. Mereka berperan untuk mengenali dan menghancurkan
sel tubuh yang abnormal (sebagai contoh sel yang telah diinfeksi oleh virus).

Sel B mengenali sel dan materi ‘asing’ (sebagai contoh, bakteri yang telah
menginvasi tubuh). Jika sel ini bertemu dengan protein asing (sebagai contoh, di
permukaan bakteri), mereka memproduksi antibodi, yang kemudian ‘melekat’
pada permukaan sel asing dan menyebabkan perusakannya.
Limfoma adalah suatu penyakit limfosit. Ia seperti kanker, dimana limfosit yang
terserang berhenti beregulasi secara normal. Dengan kata lain, limfosit dapat
membelah secara abnormal atau terlalu cepat, dan atau tidak mati dengan cara
sebagaimana biasanya. Limfosit abnormal sering terkumpul di kelenjar getah
bening, sebagai akibatnya kelenjar getah bening ini akan membengkak.
Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, limfoma (kumpulan limfosit
abnormal) juga dapat terbentuk di bagian tubuh lainnya selain di kelenjar getah
bening. Limpa dan sumsum tulang adalah tempat pembentukan limfoma di luar
kelenjar getah bening yang sering, tetapi pada beberapa orang limfoma terbentuk
di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Bahkan, suatu limfoma dapat
terbentuk di mana saja. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh terserang oleh
penyakit ini.
B. PENYEBAB
Hingga saat ini, penyebab pasti lymphoma (limfoma) belum diketahui secara
pasti. Namun, ada faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang
terkena limfoma, antara lain:

1. Berusia 60 tahun ke atas, lebih berisiko terkena limfoma non-Hodgkin.


2. Berusia antara 15-40 tahun atau lebih dari 55 tahun, lebih berisiko terkena
limfoma Hodgkin.
3. Berjenis kelamin pria.
4. Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat HIV/AIDS
atau mengonsumsi obat imunosupresan untuk jangka panjang.
5. Menderita penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis, sindrom
Sjögren, lupus, atau penyakit celiac.
6. Menderita infeksi akibat Epstein-Barr, pylori, atau hepatitis C.
7. Terpapar benzene atau pestisida.
8. Pernah menjalani radioterapi.
9. Memiliki anggota keluarga yang menderita limfoma

C. PATOFISIOLOGI
Proliferasi abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau
penyumbatan organ tubuh yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah
bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Gejala pada
Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan (pada
leher, ketiak atau pangkal paha) (Anonymous, 2012). Pembesaran kelenjar tadi
dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal
ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang
terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil
perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi
selama beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan
lokasi pertumbuhan sel-sel limfoma.

Klasifikasi

a). Klasifikasi Penyakit

Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit
Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang
mirip. Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi
dimana pada PH ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.

b). Klasifikasi Patologi

Klasifikasi limfoma maligna telah mengalami perubahan selama bertahun-tahun.


Pada tahun 1956 klasifikasi Rappaport mulai diperkenalkan. Rappaport membagi
limfoma maligna menjadi tipe nodular dan difus kemudian subtipe berdasarkan
pemeriksaan sitologi. Modifikasi klasifikasi ini terus berlanjut hingga pada tahun
1982 muncul klasifikasi Working Formulation yang membagi limfoma maligna
menjadi keganasan rendah, menengah dan tinggi berdasarkan klinis dan patologis.
Seiring dengan kemajuan imunologi dan genetika maka muncul klasifikasi terbaru
pada tahun 1982 yang dikenal dengan Revised European-American classification
of Lymphoid Neoplasms (REAL classification) (Hoffbrand dalam Nurhuda
Hendra S, 2016).
Stadium Limfoma Maligna

Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I


dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara
stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
a) Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu
kelenjar getah bening.
b) Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada
seluruh dada atau perut.
c) Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok
kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
d) Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening
setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-
paru, atau otak
D. PATOFISIOLOGI NURSING PATHWAY
E. TANDA DAN GEJALA
Gejala utama limfoma adalah muncul benjolan di beberapa bagian tubuh,
seperti leher, ketiak, atau selangkangan. Benjolan tersebut muncul akibat
pembengkakan kelenjar getah bening.
Selain pembengkakan kelenjar getah bening, limfoma dapat menimbulkan gejala
berupa:
1. Demam
2. Gatal-gatal
3. Cepat lelah
4. Batuk
5. Berkeringat di malam hari
6. Berat badan turun drastis
7. Sesak napas

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan untuk kanker limfoma dapat diperiksa secara tunggal maupun
panel. Laboratorium Klinik Prodia menyediakan layanan pemeriksaan
mendeteksi limfoma, yaitu Panel CD20, CD3; Panel CD20, CD3, CD79a;
Panel CD20, CD79a; Panel CD15, CD30; Panel Hodgkin (CD15, CD30,
CD45); dan Panel non-Hodgkin (CD20, CD3, CD79a, Ki67).

2. Untuk mendeteksi keberadaan kanker limfoma, pemeriksaan yang dapat


dilakukan adalah pemeriksaan antibodi CD3, CD20, CD79a, CD15, CD30,
CD45, dan Ki67. Limfoma Hodgkin dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
imunohistokimia CD15, CD30, dan CD45. Pada diagnosis HRS, biasanya
CD15 positif, CD30 positif, dan CD45 negatif. CD15 terdeteksi sekitar
80% pada pasien limfoma Hodgkin dan CD30 terdeteksi pada lebih dari
98% pasien limfoma Hodgkin. Limfoma non-Hodgkin dapat didiagnosis
menggunakan pemeriksaan imunohistokimia CD19, CD79a, dan CD20.

3. Ki67 merupakan antigen protein nukleus yang ada di semua sel yang aktif
berproliferasi atau menggandakan diri dengan sangat cepat. Ekspresi Ki67
sangat terkait dengan proliferasi dan pertumbuhan sel tumor dan banyak
digunakan sebagai penanda proliferasi. Ekspresi imunohistokimia dari
antigen Ki67 pada sampel parafin, disebut indeks proliferasi Ki67 dan
mewakili fraksi pertumbuhan aktif dari tumor.

4. Pemeriksaan tersebut dapat dideteksi dengan metode pemeriksaan


imunohistokimia (IHK). IHK merupakan metode pemeriksaan yang
memvisualisasikan interaksi antara antigen pada jaringan sampel dengan
antibodi primer serta reaksi antara enzim dengan substrat yang ditandai
dengan inti atau membran atau sitoplasma sel yang berwarna. Penilaian
hasil proses imunohistokimia dilakukan oleh dokter spesialis patologi
anatomik. Jenis sampel yang digunakan adalah blok FFPE. Setelah
dilakukan pengerjaan blok FFPE akan dikembalikan kepada dokter atau RS
pengirim.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN

1. Hitung darah lengkap :


- SDP : Bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara
nyata.
- Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia
mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).

- SDM dan Hb/Ht : Menurun.


2. Eritrosit :
-Pemeriksaan SDM : Dapat menunjukkan normositik ringan samapai
sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
-LED : Meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan onflamasi atau
penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi pasien pada perbaikan
dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya
penyakit.
-Kerapuhan eritrosit osmotic : Meningkat.
-Trombosit : Menurun (mungkin menurun berat; sumsum tulang
digantikan oleh limfoma dan oleh hiperplenisme).
3. Test Coomb : Reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil
negative terjadi pada penyakit lanjut.
4. Besi serum dan TIBC : Menurun.
5. Alkalin fosfatase serum : Meningkat terlihat pada eksaserbasi.
6. Kalsium serum : Mungkin meningkat bila tulang terkena.
7. Asam urat serum : Meningkat sehubungan dengan destruksi
nucleoprotein, dan keterlibatan hati dan ginjal.
8. BUN : Mungkin meningkat bila ginjal terlihat. Kreatinin serum, bilirubin,
ASL (SGOT), klirens kreatinin, dan sebagainya mungkin dilakukan untuk
mendeteksi keterlibatan organ.
9. Hipergamaglobulinemia umum : Hipogamaglobulinemia dapat terjadi
pada penyakit lanjut.
10. Foto dada : Dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrate
nodulus, atau efusi pleural.
11. Foto thorak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area
tulang nyeri tekan : Menentukan area yang terkena dan membantu dalam
pertahapan.
12. Tomografi paru keseluruhan atau skan CT dada : Dilakukan bila adenopati
hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa
mediastinum.
13. Skan CT abdomenial : Mungkin dilakukan untuk mengesampingkan
penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat
pada pemeriksaan fisik.
14. Ultrasound abdomenial : Mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa
retroperitoneal.
15. Skan tulang : Dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.
16. Skintigrafi Gallium-67 : Berguna untuk membuktikan deteksi
berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diafragma.

17. Biopsy sumsum tulang : Menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi


sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
18. Biopsy nodus limfa : Membuat diagnose penyakit Hodgkin berdasarkan
pada adanya Sel-Reed-Sternberg.
19. Mediastinoskopi : Mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan
nodus mediastinal.
20. Laparatomi pentahapan : Mungkin dilakukan untuk mengambil specimen
nodus retroperitoneal, kedua lobus hati, dan/atau pengangkatan limfa.
(Splenektomi adalah controversial karena ini dapat meningkatkan risiko
infeksi dan kadang-kadang tidak bisa dilakukan kecuali pasien mengalami
manifestssi klinis penyakit tahap IV. Laparoskopi kadang-kadang
dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil specimen).
2. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaa penyakit ini bertujuan untuk menetukan langkah upaya
pengobatan dengan terapi. Terapi penyakit ini tergantung beberapa faktor, seperti
stadium penyakit, jumlah dan daerah mana saja kelenjar getah bening yang
terlibat, usia, gejala yang dirasakan, hamil/tidak, dan status kesehatan secara
umum. Tujuan terapi adalah menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin dan
mencapai remisi. Terapi meliputi :
1. Radiasi (Penyinaran)
Terapi radiasi diberikan jika penyakit ini hanya melibatkan area tubuh
tertentu saja. Terapi radiasi dapat diberikan sebagai terapi tunggal, namun
umumnya diberikan bersamaan dengan kemoterapi. Jika setelah radiasi penyakit
kembali kambuh, maka diperlukan kemoterapi. Beberapa jenis terapi radiasi dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker yang lain, seperti kanker payudara atau
kanker paru, terutama jika pasien berusia < 30 tahun. Umumnya pasien anak
diterpai dengan kemoterapi kombinasi, tapi mungkin juga diperlukan terapi
radiasi dosis rendah.
2. Kemoterapi
Jika penyakit ini sudah meluas dan sudah melibatkan kelenjar getah bening
yang lebih banyak atau organ lainnya, maka kemoterapi menjadi pilihan utama.
Regimen kemoterapi yang umum diberikan adalah ABVD, BEACOPP, COPP,
Stanford V, dan MOPP. Regimen MOPP (terdiri dari mechlorethamine, Oncovin,
procarazine, dan prednisone) merupakan regimen standar, namun bersifat sangat
toksik, sedangkan regimen ABVD (terdiri dari doxorubicin/Adriamycin,
bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine) merupakan regimen yang lebih baru
dengan efek samping yang lebih sedikit dan merupakan regimen pilihan saat ini.
Kemoterapi diberikan dalam beberapa siklus, umumnya sela beberapa minggu.
Lamanya kemoterapi diberikan sekitar 6-10 bulan.

3. Transplantasi sumsum tulang


Jika penyakit kembali kambuh setelah remisi dicapai dengan kemoterapi
inisial, maka kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sumsum tulang atau sel
induk perifer autologus (dari diri sendiri) dapat membantu memperpanjang masa
remisi penyakit. Karena kemoterapi dosis tinggi akan merusak sumsum tulang,
maka sebelumnya dikumpulkan dulu sel induk darah perifer atau sumsum tulang.
Terapi penyinaran sendiri menyembuhkan sekitar 90% penderita stadium I atau II.
Pengobatan biasanya dilakukan selama 4-5 minggu, penderita tidak perlu dirawat.
Penyinaran ditujukan kepada daerah yang terkena dan kelenjar getah bening di
sekitarnya. Kelenjar getah bening di dada yang sangat membesar diobati dengan
terapi penyinaran yang biasanya mendahului atau mengikuti kemoterapi. Dengan
pendekatan ini, 85% penderita bisa disembuhkan. Pengobatan untuk stadium III
bervariasi, tergantung kepada keadaan. Jika tanpa gejala, kadang terapi
penyinaran saja sudah mencukupi. Tetapi hanya 65-75% penderita yang sembuh.
Penambahan kemoterapi akan meningkatkan kemungkinan untuk sembuh sampai
75-80%. Jika pembesaran kelenjar getah bening disertai dengan gejala lainnya,
maka digunakan kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran. Angka
kesembuhan berkisar diantara 70-80%. Pada stadium IV digunakan kombinasi
dari obat-obat kemoterapi.
2 kombinasi tradisional adalah:
MOPP (mekloretamin, vinkristin/onkovin, prokarbazin dan prednison)
ABVD (doksorubisin/adriamisin, bleomisin, vinblastin dan dakarbazin). Setiap
siklus kemoterapi berlangsung selama 1 bulan, dengan waktu
pengobatan total adalah 6 bulan atau lebih. Bisa juga digunakan kombinasi
obat lainnya. Pengobatan ini memberikan angka kesembuhan lebih dari
50%.
Kemoterapi memiliki efek samping yang serius, yaitu bisa menyebabkan:
- Kemandulan sementara atau menetap
- Meningkatnya kemungkinan menderita infeksi
- Kerontokan rambut yang bersifat sementara. Obat yang digunakan dalam
kemoterapi meliputi :
BAB III
KESIMPULAN
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk
keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan
Zpada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem
kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD)
dan Limfoma non-Hodgkin (LNH) (Vinjamaran, 2017).
Dari hasil pembahasan bahwa di dapatkan kesenjangan antara teori dan
kasus yang ditemukan penulis dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn
“E” menggunakan primary survey untuk memberikan penanganan meliputi
pengkajian Airway : terdapat kesenjangan kerena dari pengkajian tidak di
dapatkan hasil suara nafas tambahan yaitu Ronchi, Breathing : Tidak terdapat
kesenjangan karean dalam teori dan kasus sama-sama pasien mengalami sesak
nafas, Circulation : Terdapat kesenjangan karena dari hasil pengkajian di dapatkan
Tanda-tanda vital pasien dalam batas normal dan CRT < 2 detik, Disability :
Tidak terdapat kesenjangan karena dari hasil pengkajian tingkat kesadaran Tn.
“E” yaitu GCS 15 dan Exposure : tidak terdapat kesenjangan karena dari hasil
pengkajian tidak terdapat peningkatan suhu tubuh. Dan untuk pengangkatan
diagnosa terdapat kesenjangan yaitu diagnosa nyeri, hipertimia, dan
ketidakseimbangan nutrisi. Hal ini disebabkan oleh respon tubuh setiap orang
yang berbeda-beda sesuai dengan tanda dan gejala yang dialami oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Amori. 2017. Jurnal Nasional : Pengobatan tepat untuk
Limfoma. www.jurnalnasional/limfoma/44356.com.
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2013.

Anonymous. 2012. Limfoma Maligna. www.wordpress.com.


Diakses pada tanggal 15 Oktober 2013.

Asdie, Ahmad H. 2012. Horison Prinsip-prinsip Ilmu


Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC

Bakta IM. Limfoma Non Hodgkin. Hematologi Klinik


Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. h:
202-19.

Chandrasoma P, Taylor CR. Sistim Limfoid: Limfoma


maligna. Alih bahasa. Dalam: Chandrasoma P, Taylor
CR. Patologi Anatomi. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC,1995:406-21

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa


Keperawatan. Jakarta. : EGC

Doenges, Marilyn E, et all. 1993. Nursing Care Plans :


Guidelines for Planning and
Documenting Patient Care, Edition3, F.A. Davis
Company, Philadelphia.

Goljan EF. Rapid Review Pathology. Edisi 4.


Philadelphia.W. B. Saunders Company.2014.
Hoffbrand, A.V, et all. 2002. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta : EGC Karlina Isabella. 2018. Ki-67 sebagai
parameter prognosis pada limfoma
non Hodgkin.

Limfoma non-hogkin primer vertebra torakalis Dengan


kompresi progresif medula spinalis.
Potter & Perry AG. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep,Proses, dan Praktik. 4th ed. EGC:
Jakarta.2013.

Vinjamaran. 2017. Lymphoma, Non-Hodgkin.


www.emedicine.com.
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2013.

Inas Susanti, Agustina H, et all.2014. Korelasi antara


Imunoekspresi LMP-1 Virus Epstein-Barr dengan
Respon Kemoterapi CHOP pada Limfoma Maligna
Non-Hodgkin Tipe Diffuse Large B Cell

Anda mungkin juga menyukai