Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS

“PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN TERAPI DIET PADA KASUS


KRITIS DENGAN GANGGUAN PADA SISTEM PENCERNAAN DAN
PERKEMIHAN”

OLEH :

KELOMPOK IV

NAMA NIM

1. Ahmad Rifai P07120421002A


2. Aulia Hamiyatul Fitri P07120421005A
3. Ni Nyoman Mariani P07120421019A
4. Wiwin Apriani P07120421035A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI AHLI JENJANG SARJANA TERAPAN
KEPERAWATAN MATARAM
2021 KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Taufik

dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang

berjudul “Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan

Gangguan Pada Sistem Pencernaan Dan Perkemihan” dalam rangka

menyelasaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari

bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik

sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahua yang saya miliki.

Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan

kritikan yang membangun dari berbagai pihak. Saya berharap semoga makalah ini

dapa memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Mataram, September 2021

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3
A. Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan
Gangguan Pada Sistem Pencernaan (Gastroentritis /GE).............................3
1. Pengertian..................................................................................................3
2. Patofisiologi...............................................................................................4
3. Farmakologi...............................................................................................6
4. Terapi diet................................................................................................10
B. Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan
Gangguan Pada Sistem Pencernaan (Gagal Ginjal Kronik/GGK)..............11
1. Pengertian................................................................................................11
2. Patofisiologi.............................................................................................12
3. Farmakologi.............................................................................................15
4. Terapi Diet...............................................................................................18
BAB III PENUTUP..............................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah

pentingnyadalam tubuh manusia. Siste perkemihan terdiri dari ginjal,

ureter, vesicha urinaria dan urethrayang menyelenggarakan serangkaian

prorses untuk tujuan memepertahankan keseimbangan cairan dan

elektrolit, memepertahankan asam basa tubuh, menegeluarkan sisa-sisa

metabolismeseperti urea, kreatinin, asam urat dan urine. Apabila terjadi

gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan

kesehatan yang sangat serius dan kompleks.

Penyakit diare atau gastroenteritis merupakan suatu penyakit

penting disekitar masyarakat yang masih merupakan sebab utama

kesakitan dan kematian seseorang terutama pada anak. Hal ini tercemin

banyak orang yang menderita penyakit diare atau gastroenteritis yang

masuk keluar dari Rumah Sakit. Akibat dari penyakit diare banyak

faktor diantaranya kesehatan lingkungan, higene perorangan, keadaan

gizi, faktor sosial ekonomi,menentukan serangan penyakit diare,

walaupun banyak kasus diare yang mengalami dehidrasi namun banyak

yang meninggal bila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang tepat.

Masyarakat pada umumnya selalu menganggap suatu hal penyakit diare

adalah sepele, sedangkan jika mengetahui yang terjadi sebenarnya banyak

penderita diare yang mengalami kematian. Penyakit gastrointeritis

1
merupakan penyakit yang harus segera ditangani karena dapat

mengalami dehidrasi berat yang mengakibatkan syok hipovolemik dan

mengalami kematian.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis


dengan gangguan pada sistem pencernaan?
2. Bagaimana patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis
dengan gangguan pada sistem perkemihan

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada


kasus kritis dengan gangguan pada sistem pencernaan?
2. Untuk mengetahui patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada
kasus kritis dengan gangguan pada sistem perkemihan

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan

Gangguan Pada Sistem Pencernaan (Gastroentritis /GE)

B. Pengertian
GE (gastroenteritis) atau di masyarakat umum lebih dikenal dengan

diare adalah pengeluaran feces yang tidak normal dan berbentuk cair /

encer dengan frekwensi lebih banyak dari biasanya dalam sehari > 3x

(Dewi, 2010). Sedangkan menurut Suryadi (2001) GE adalah kehilangan

cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu

kali atau lebih Bab dengan bentuk tinja yang encer atau cair. Dan menurut

Ngastiyah (2005) GE adalah Bab dengan jumlah tinja yang banyak dari

biasanya, dengan tinja yang berbentuk cairan atau setengah cair dapat pula

disertai frekuwensi defekasi yang meningkat.

GE adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair

atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari

biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml / 24 jam. Definisi lain memakai

kriteria frekuwensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari.

Buang air besar encer tersebut dapat/ tanpa disertai lendir dan darah.

GE akut sering dengan tanda dan gejala klinis lainnya seperti

gelisah, suhu tubuh meningkat, dehidrasi, nafsu makan menurun, BB

menurun, mata dan ubun – ubun cekung (terutama pada balita) keadaan ini

merupakan gejala GE infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan

parasit perut (corwin, 2009). GE juga dapat terjadi bersamaan dengan

3
penyakit infeksi lainnya seperti malaria dan campak, begitu juga dengan

keracunan kimia. Perubahan gut flora (bacteri usus) yang dipicu antibiotic,

dapat menyebabkan GE akut karena pertumbuhan kelebihan dan toksin

dari clostridium difficile (bakteri gram positif anaerob dalam usus besar).

1. Patofisiologi
Menurut Suriadi (2011), patofisiologi dari Gastro enteritis adalah

meningkatnya motalitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal

merupakan akibat dari gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan

elektrolit yang berlebihan, cairan sodium, potasium dan bikarbonat

berpindah dari rongga ekstra seluler kedala tinja, sehingga mengakibatkan

dehidrasi kekurangan elektrolit dan dapat terjadi asidosis metabolik.

GE yang terjadi merupakan proses dari transpor aktif akibat

rangsangan toksin bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus, sel

dalam mukosa intestinal mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi

cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel

mukosa intestinal sehingga mengurangi fungsi permukaan intestinal.

Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbs cairan dan

elektrolit. Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk

mengabsorbsi cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan. Ini terjadi

pada sindrom malabsorbsi. Peningkatan motalitas intestinal dapat

mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal sehingga akan terjadi

dehidrasi dan hilangnya nutrisi dan elektrolit.

Menurut Muttaqin (2011), mekanisme dasar yang menyebabkan

timbulnya GE meliputi hal – hal berikut yaitu:

4
1. Gangguan Osmotik.

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh

mukosa usus akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotic

dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan

merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul GE.

2. Gangguan sekresi akibat respon inflamasi mukosa (misalnya

toksin)

Pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan

elektrolit kedalam rongga usus sebagai reaksi dari enterotoxic dari

infeksi dalam usus dan selanjutnya timbul GE karena terdapat

peningkatan isi rongga usus.

3. Gangguan motalitas usus

Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan

usus untuk menyerap makanan sehingga timbul GE. Sebaliknya

bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh

berlebihan, selanjutnya bisa timbul GE juga.

Dari ketiga mekanisme diatas GE dapat menyebabkan :

 Kehilangan air dan eletrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan

gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik

hipokalemia)

 Gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran

berlebihan)

 Hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah

5
2. Farmakologi
Pengobatan utama yang dibutuhkan adalah minum cairan yang

cukup. Pada penderita yang muntah harus minum sedikit demi sedikit

untuk mengatasi dehidrasi, yang selanjutnya bisa membantu

menghentikan muntahnya. Muntah yang berlangsung terus dan terjadi

dehidrasi berat diperlukan infus cairan dan elektrolit. Anak-anak lebih

cepat jatuh dalam keadaan dehidrasi, mereka harus diberi larutan

garam dan gula, cairan yang biasa digunakan seperti minuman

bersoda, teh, minuman olahraga dan sari buah, tidak tepat diberikan

pada anak-anak penderita diare. Muntah yang berat dapat diberikan

suntikan atau supositoria.

Jika gejalanya membaik, penderita secara bertahap

mendapatkan makanan lunak seperti gandum, pisang, bubur nasi, selai

apel dan roti panggang. Jika makanan tersebut tidak menghentikan

diare setelah 12-24 jam dan bila tidak terdapat darah pada tinja, berarti

ada infeksi bakteri yang serius (Andrianto, 1995).

Dalam garis besarnya pengobatan diare dapat dibagi dalam:

1. Pengobatan kausatif

Pengobatan yang tepat terhadap kausatif diare diberikan setelah

kita mengetahui penyebabnya yang pasti. Jika kausal diare ini

penyakit parenteral, diberikan antibiotik sistemik. Jika tidak

terdapat infeksi parenteral, sebenarnya antibiotik baru boleh

diberikan kalau pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan

6
bakteri patogen. Karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri

ini kadang-kadang sulit atau hasil pemeriksaan datang terlambat,

antibiotika dapat diberikan dengan memperhatikan umur

penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja dan sebagainya

(Suharyono dkk., 1994).

2. Pengobatan simptomatik

a. Obat-obat anti diare: Obat-obat yang berkhasiat

menghentikan diare secara cepat seperti

antispasmodik/spasmolitik atau opium (papaveri, extraktum

belladona, loperamid, kodein, dan sebagainya) justru akan

memperburuk keadaan karena akan menyebabkan

terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan

terjadinya perlipat gandaan (overgrowth) bakteri, gangguan

digesti dan absorbsi. Obat-obat ini berkhasiat untuk

menghentikan peristaltik, tetapi akibatnya sangat berbahaya

karena penderita akan terkelabui. Diarenya terlihat tidak ada lagi

tetapi perut akan bertambah kembung dan dehidrasi

bertambah berat yang berakibat fatal untuk penderita

(Noerasid dkk., 1988).

b. Adsorben: Obat-obat adsorben seperti kaolin, pektin, charcoal

(norit, tabonal), bismut sub bikarbonat dan sebagainya, telah

dibuktikan tidak ada manfaatnya.

c. Stimulans: Obat-obat stimulans seperti adrenalin,

nikotinamide dan sebagainya tidak akan memperbaiki

7
renjatan atau dehidrasi karena penyebab dehidrasi ini adalah

kehilangan cairan sehingga pengobatan yang paling tepat

adalah pemberian cairan secepatnya.

d. Antiemetik: Obat antiemetik seperti chlorpromazine (largactil)

terbukti selain mencegah muntah juga dapat mengurangi

sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam

dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kg BB/hari) sekiranya

cukup bermanfaat. Tetapi pada anak obat antiemetik seperti

chlorpromazine dan prochlorperazine mempunyai efek

sedatif, menyebabkan anak tidak mau mengkonsumsi cairan.

Oleh karena itu antiemetik tidak digunakan pada anak yang

diare (Soebagyo, 2008).

e. Antipiretik: Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal

dan aspirin) dalam dosis (2mg/th/kali) ternyata selain berguna

untuk menurunkan panas yang terjadi sebagai akibat dehidrasi

atau panas karena infeksi penyerta juga mengurangi sekresi

cairan yang keluar bersama tinja (Suharyono et al., 1994).

3. Pengobatan cairan

Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan

derajat dehidrasi dan keadaan umum:

a. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)

Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter

mengandung osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori

85 cal/L. Elektrolit yang dikandung meliputi sodium 90

8
mEq/L, kalium 20 mEq/L, klorida 80 mEq/L, bikarbonat 30

mEq/L (Dipiro et al., 2005).

Ada beberapa cairan rehidrasi oral:


1) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL,
NaHCO3 dan glukosa, yang dikenal dengan nama
oralit.
Kebutuhan cairan yang spesifik pada tiap kelompok
umur dapat dilihat sebagaimana tercantum di dalam
tabel 3 berikut:
Umur Jumlah kebutuhan cairan
Bayi baru lahir 80-100 mL/kg/hari
Bayi 120-130 mL/kg/hari
2 tahun 115-125 mL/kg/hari
6 tahun 90-100 mL/kg/hari
15 tahun 70-85 mL/kg/hari
18 tahun 40-50 mL/kg/hari

2) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung

komponen-komponen di atas misalnya: larutan gula,

air tajin, cairan-cairan yang tersedia di rumah dan lain-

lain, disebut CRO tidak lengkap.

3) Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP), pada umumnya

digunakan cairan Ringer laktat, formula tetesan yang

saat ini dianjurkan adalah berdasarkan penatalaksanaan

diare menurut WHO. Selama pemberian cairan

parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan evaluasi

jumlah cairan yang keluar bersama tinja dan muntah,

perubahan tanda-tanda rehidrasi. Evaluasi sangat perlu

karena jika tidak ada perbaikan sama sekali maka

9
tatalaksana pemberian cairan harus diubah (kecepatan

tetesan harus ditingkatkan). Sebaliknya kalau terdapat

gejala overhidrasi, kecepatan tetesan harus dikurangi.

Setelah tanda dehidrasi hilang, terapi pemeliharaan

harus dimulai dengan jalan pemberian CRO dan

makanan kembali diberikan (Suharyono et al., 1994).

4) Pengobatan antibiotik

Antibiotika yang digunakan pada kasus diare tertentu:

a) Doxycicline

b) Ciprofloxacin

c) Metronidazole

d) Metronidazole

e) Azithromycin

f) Azithromycin atau Ciprofloxacin

g) Pivmecillinam

h) Ceftriaxone

i) Terapi diet
1. Terapi non farmakologis

Pasien sebaiknya mengkonsumsi makanan-makanan yang tinggi

kalori, tinggi protein, diet lunak tidak merangsang, bila tidak tahan

laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan

rendah lemak. Bila penyakit chron dan kolitis ulserosa diberikan

rendah serat pada keadaan akut. Minum yang banyak dan bila

perlu infus untuk mencegah dehidrasi.

2. Terapi farmakologis

10
a. Bila sesak nafas dapat diberikan oksigen, infus untuk

memberikan cairan dan elektrolit.

b. Pemberian antibiotika apabila terdapat infeksi

c. Bila penyebab penyakit berupa amoeba/parasit/giardia dapat

diberikan metronidazol.

d. Apabila pasien alergi terhadap makanan/obat/susu, dapat

diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab alergi

tersebut.

e. Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip.

f. TB usus diobati dengan OAT

g. Diare karena kelainan endokrin, diobati dengn kelainan

endokrinnya.

h. Malabsorbsi di atasi dengan pemberian enzim.

i. Kolitis diatasi sesuai jenis kolitisnya.

C. Patofisiologi, Farmakologi Dan Terapi Diet Pada Kasus Kritis Dengan

Gangguan Pada Sistem Pencernaan (Gagal Ginjal Kronik/GGK)

1. Pengertian
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir End Stage

Renal Disease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif

dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner &

Suddarth, 2001) dalam (Nuari & Widayati, 2017).

GGK adalah penurunan faal ginjal yang menahun mengarah pada

kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible dan progresif. Adapun

11
GGT (gagal ginjal terminal) adalah fase terakhir dari GGK dengan faal

ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bias di bedakan dengan

tes klirens kreatinin (Irwan, 2016)

Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan

terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi

ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi

pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik

(Suwitra, 2014).

3. Patofisiologi
Menurut Nuari & Widayati (2017) :

1. Penurunan GFR (Glomelulaar Filtration Rate)

Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam

untuk pemeriksa klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka

klirens kreatinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan

nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.

2. Gangguan klirens renal

Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari

penurunan jumlah glumeri yang berfungsi, yang menyebabkan

penurunan klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh

ginjal )

3. Retensi cairan dan natrium

Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasi atau

mengencerkan urin secara normal. Terjadi penahanan cairan dan

natrium, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung

kongestif dan hipertensi.

12
4. Anemia

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi yang tidak adekuat,

memendeknya usia sel darah merah, difisiensi nutrisi, dan

kecenderungan untuk terjadi perdarahan akibat status uremik pasien,

terutama dari saluran.

5. Ketidakseimbangan kaliem dan fosfat

Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling

timbal balik, jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun,.

Dengan menurunya GFR (Glomelulaar Filtration Rate), maka terjadi

peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar

kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi

peratormon, namun dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon

terhadap peningkatan sekresi parathornom, akibatnya kalsium di

tulang menurun menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit

tulang.

6. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)

Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan

parathormone.

Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit

penyebab. Tanpa melihat penyebab awal, glomeruloskerosis dan inflamasi

interstisial dan fibrosis adalah cirri khas GGK dan menyebabkan

penurunan fungsi ginjal (Copsted & Banasik, 2010) dalam (Nuari

&Widayati, 2017). Seluruh unit nefron secara bertahap hancur. Pada tahap

awal, saat nefron hilang, nefron fungsional yang masih ada mengalami

13
hipertrofi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat dalam nefron

ini dan lebih banyak pertikel zat larut disaring untuk mengkompensasi

massa ginjal zat yang hilang. Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan

nefron yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut) glomerulus,

menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat

kerusakan glomelurus diduga menjadi penyebab cedera tubulus. Proses

hilangya fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus berlangsung meskipun

setelah proses penyakit awal teratasi (Faunci et al, 2008) dalam (Nuari

& Widayati, 2017).

Perjalanan GGK beragam, berkembang selama periode bulanan

hingga tahunan. Pada tahap awal, seringkali disebut penurunan cadangan

ginjal, nefron yang tidak terkena mengkompensasi nefron yang hilang.

GFR sedikit turun dan pada pasien asimtomatik disertasi BUN dan kadar

kreatinin serum normal. Ketika penyakit berkembang dan GFR

(Glomelulaar Filtration Rate) turun lebih lanjut, hipertensi dan beberapa

manifestasi insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan berikutnya pada

ginjal ditahap ini (misalnya infeksi, dehidrasi, atau obstruksi saluran

kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu awitan gagal ginjal atau

uremia nyata lebih lanjut. Kadar serum kreatinin dan BUN naik secara

tajam, pasien menjadi oguria, dan manifestasi uremia muncul. Pada

(ESRD), tahap akhir GGK, GFR kurang dari 10% normal dan tetapi

penggantian ginjal diperlukan untuk mempertahankan hidup (LeMone,

Dkk, 2015).

14
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada

fase awal gangguan keseimbangan cairan, penanganan gram, serta

penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi yang bergantung pada bagian

ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,

manifestasi kinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-

nefron yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang

tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta

mengalami hipertrofi (Muttaqin & Sari, 2011).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron

yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nerfon

yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan

progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran

darah ginjal akan berkurang. Pelepasan rennin akan meningkat bersama

dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.

Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar

terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma. Kondisi akan

bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai

respon dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun

secara derastis dengan manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang

seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom

uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada setiap organ

tubuh (Muttaqin & Sari, 2011).

4. Farmakologi
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik (menurut NICE guidelines,

2014) adalah:

15
1. Kontrol tekanan darah

a. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, harus mengontrol

tekanan darah sistolik <140 mmHg (dengan target antara 120-139

mmHg) dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.

b. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan diabetes dan juga

pada

c. pasien dengan ACR (Albumin Creatinin Ratio) 70 mg/mmol atau

lebih, diharuskan untuk menjaga tekanan darah sistolik <130

mmHg (dengan target antara 120-129 mmHg) dan tekanan darah

diastolik <80 mmHg.

2. Pemilihan agen antihipertensi

a. Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs

diberikan kepada pasien penyakit ginjal kronik :

1) Diabetes dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 3

mg/mmol atau lebih.

2) Hipertensi dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 30

mg/mmol atau lebih.

3) Nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 70 mg/mmol atau lebih

(terlepas dari hipertensi atau penyakit kardiovaskular).

b. Jangan memberikan kombinasi ACE Inhibitor atau ARBs untuk

pasien penyakit ginjal kronik.

c. Untuk meningkatkan hasil pengobatan yang optimal, sebaiknya

informasikan kepada pasien tentang pentingnya:

1) mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi.

16
2) memantau GFR dan konsentrasi serum kalium (potassium)

dalam batas normal.

d. Pada pasien penyakit ginjal kronik, konsentrasi serum kalium

(potassium) dan perkiraan GFR sebelum memulai terapi ACE

inhibitor atau ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2

minggu setelah memulai penggunaan obat dan setelah

peningkatan dosis.

e. Jangan memberikan/memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs,

jika konsentrasi serum kalium (potassium) > 5.0 mmol/liter.

f. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut,

karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan

hiperkalemia.

g. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE inhibitor atau

ARBs yang dapat mencetuskan hiperkalemia (bukan

kontraindikasi), tapi konsentrasi serum kalium (potassium) harus

dijaga.

h. Hentikan terapi tersebut, jika konsentrasi serum kalium

(potassium) meningkat > 6,0 mmoL/liter atau lebih dan obat-

obatan lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia

sudah tidak digunakan lagi.

i. Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan, bila batas GFR saat

sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat

dari batas awal kurang dari 30%.

17
j. Apabila ada perubahan GFR 25% atau lebih dan perubahan

kreatinin plasma 30% atau lebih:

1) investigasi adanya penggunaan NSAIDs.

2) Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), hentikan terapi

tersebut atau dosis harus diturunkan dan alternatif obat

antihipertensi lain dapat digunakan

3. Pemilihan statins dan antiplatelet

a. Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit

kardiovaskular. Pada pasien penyakit ginjal kronik,

penggunaannya pun tidak berbeda.

b. Penggunaan statin pada pasien penyakit ginjal kronik merupakan

pencegahan sekunder dari penyakir kardiovaskular, terlepas dari

batas nilai lipidnya.

c. Penggunan antiplatelet pada pasien penyakit ginjal kronik

merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular.

Penyakit ginjal kronik bukan merupakan kontraindikasi dari

penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus

memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada

pasien penyakit ginjal kronik yang dieberikan antiplatelet

multiple.

5. Terapi Diet
Penalaksanaan Konservatif menurut Price and Wilson (2005). Prinsip-

prinsip dasar dalam penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan

didasarkan pada pemahaman mengenai batas-batas ekskresi yang dapat

18
dicapai oleh ginjal yang terganggu. Diet zat terlarut dan cairan dapat diatur

dan disesuaikan dengan batas-batas tersebut. Penatalaksanaan konservatif

meliputi:

1. Pengaturan diet protein

Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali

kelainan dan memperlambat terjadinya gagal ginjal kronik. The

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) Multicenter Study

memperlihatkan efek menguntungkan dari pembatasan protein dalam

memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik pada pasien

diabetes maupun non diabetes denan GGK moderate yaitu GFR 25-55

mL/menit dan berat yaitu GFR 13-24 mL/menit. Rekomendasi klinis

terbaru mengenai jumlah protein yang diperbolehkan adalah 0,6

g/kg/hari untuk pasien gagal ginjal kronik berat pradialisis yang stabil

dengan GFR 4 mL/menit. Status nutrisi pasien harus dipantau untuk

memastikan berat badan dan indikator lain seperti albumin serum

harus tetap stabil ≥3 g/dL.

2. Pengaturan diet kalium

Jumlah yang diperbolehkan dalam diet kalium adalah 40-80

mEq/hari.Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak

memberikan obat-obatan atau makanan yang tinggi kandungan

kalium.

3. Pengaturan diet natrium dan cairan

Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari

atau sekita 1-2 g natrium, tetapi asupan natrium yang optimal harus

19
ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk mepertahankan

hidrasi yang baik. Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati

dalam gagal ginjal kronik lanjut, karena rasa haus pada pasien

merupakan paduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan

hidrasi pasien. Berat badan harian merupakan parameter penting yang

harus dipantau mengenai asupan dan pengeluaran cairan. Aturan

umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin 24 jam yang lebih

dari 500 mL mencerminkan kehlangan cairan yang tidak disadari.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

GE adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair

atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari

biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml / 24 jam.

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir End Stage

Renal Disease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif

dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner &

Suddarth, 2001) dalam (Nuari & Widayati, 2017).

C. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini, kita dapat lebih mudah dalam

memahami patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada kasus kritis

dengan gangguan sistem pencernaan dan perkemihan dan dapat

mengaplikasinnya dalam praktek lapangan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Doenges., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien(M. Kariasa & N. M.
Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC. (Naskah asli dipublikasikan pada
tahun 1993)

Sudoyo, W. Aru, dkk., Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2 Edisi IV, Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006.

Irwan. (2016). Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: Deepublish.

LeMone, Priscilla dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 5 Vol
3. Jakarta: EGC

Muttaqin, A. and Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Edited by S. Carolina. Jakarta: Salemba Medika.

National Institute for Health and Care Excellence guideline 182. 2014. Early
Identification and Management of Chronic Kidney Disease In Adults In
Primary and Secondary Care

Nuari, N. A. and Widayati, D. (2017). Gangguan pada Sistem Perkemihan dan


Penatalaksanaan Kperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.

Price, S & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. EGC : Jakarta.

Suwitra, K. (2014). Penyakit Ginjal Kronik. In: S. Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing , pp. 2375-80

22

Anda mungkin juga menyukai