Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

PENUGASAN BLOK 3.5 MASALAH PADA DEWASA II

Disusun oleh:

TUTORIAL 1

Berlyan Sekar Winahyu (18711034)


Divana Nur Fariha (18711117)
Tutor : dr. Ana Fauziyati, M.Sc., Sp.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2021
KASUS PENUGASAN

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberculosis (TB) menempati peringkat 10 dalam penyebab kematian


tertinggi di dunia. Prevalnesi TB paru Indonesia berdasarkan Riskesdas 2018 adalah
sekitar 0,4% dimana insidensi nya 321 kasus per 100.000 penduduk. Angka tersebut
tidak mengalami perubahan antara tahun 2013 dan 2018. Provinsi dengan pravalensi
tertinggi terdapat pada Provinsi Banten. Berdasarkan survei pravelensi kasus TB
banyak menyerang pada laki-laki di banding permepuan, yaitu sekitar 3 kali
lipat(Kemenkes, 2018).

TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium juga dikenal sebgai bakteri tahan asam
(BTA)(Kemenkes, 2018). Transmisi TB melalui inhalasi dari M.tuberculosis
sehingga kasus TB banyak menyerang pada paru daripada ekstra paru(Sudoyo, 2010).
Factor resiko dari TB salah satunya berupa rokok hal tersebut dikaitkan dengan tinggi
nya insidensi TB pada laki-laki dibanding pada perempuan. Gejala yang dapat
dialami pasien TB berupa demam tinggi mencapai 40-41 0C, batuk yang diawali
dengan batuk non-produktif kemudian menjadi batuk produktif setelah terjadi
peradangan yang dapat berlanjut menjadi batuk berdarah, malaise, nafsu makan dan
berat badan menurun drastis, dan berkeringat pada malam hari(Kemenkes,
2018;Sudoyo, 2010).

1
BAB II

BERKAS KESEHATAN PASIEN

IDENTITAS
Nama Tn. MU
Umur 24 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Agama -
Suku bangsa -
Pendidikan -
Pekerjaan Mahasiswa
Status perkawinan -
Pasien datang sendiri/rujukan -
Waktu kunjungan awal -
Alamat -
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan utama Sesak yang memberat beberapa hari
terakhir
Riwayat penyakit sekarang - Sesak sejak 3 minggu yang lalu
- Awalnya sesak tidak mengganggu
aktivitas namun beberapa hari
belakangan mengganggu aktivitas,sesak
memberat saat pasien batuk dan
melakukan aktivitas
- Batuk sejak 1 bulan yang lalu dan
memberat 3 minggu ini dan terdapat
lendir kuning kehijauan dan tidak
terdapat darah
- Nyeri dada hanya saat batuk dengan kuat
- Demam 2 minggu terakhir, membaik
dengan pemberian antipiretik
(paracetamol)
- Menggigil dan berkeringat banyak saat

2
malam hari
- Tidak terdapat nyeri kepala, pusing, dan
nyeri menelan
- Tidak terdapat mual, muntah, nyeri ulu
hati, dan nyeri perut
- Terdapat penurunan nafsu makan dan
berat badan 15kg selama 2 bulan terakhir
tanpa penyebab yang jelas
- Tidak terdapat gangguan BAB dan BAK
Riwayat penyakit dahulu - Riwayat kontak dengan pasien batuk
lama tidak jelas
- Riwayat kontak dengan perokok
Riwayat penyakit keluarga Tidak ada yang mengalami keluhan serupa
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital - TD : 110/80mmHg
- HR : 88x/menit
- RR : 28x/menit,
tipe: thorachoabdominal
- Suhu : 380C
Keadaan umum Sakit sedang, kesadaran : Compos mentis
Status gizi - BB : 45 kg
- TB : 165cm
Pemeriksaan Generalis & Lokalis
Kepala Konjungtiva anemis (+), sklera ikterik(-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Paru-paru - Inspeksi : simetris kiri dan kanan
- Palpasi : fremitus raba menurun
- Perkusi : : redup pada ICS III kiri dan
kanan dan pekak pada ICS IX paru kiri
dan kanan
- Auskultasi : Vesikuler, rhonkhi basah

3
kasar pada apeks dan medial paru dextra,
ronkhi basah pada apeks dan basal paru
sinistra
Jantung - Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : pekak dan batas jantung normal
- Auskultasi : bunyi jantung I/II murni
regular, bising(-)
Abdomen - Inspeksi : datar, ikut gerak napas
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-)
- Hati : tidak teraba
- Lien : tidak teraba
- Perkusi : tympani, ascites (-)
- Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
Ekstremitas Akral hangan, edema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Labolatorium - WBC : 15,7 x 103 u/L
- RBC : 4.30 x 106 u/L
- HGB : 10,2 g/dl
- HCT : 31,9%
- PLT : 376 x 103 u/L
- Limfosit : 17%
- Neutrofil : 75%
- Monosit : 8%
- Eosinofil : 0%
- Basofil : 0%
Rotgen thorax - Bercak berawan pada lapangan paru kiri
dan paru kanan atas
- Cavitas pada paru kiri atas
- Sinus costophrenicus kiri dan kanan

4
tumpul
Sputum BTA - BTA 1 (2+)
- BTA 2 (+)
- BTA 3 (+)

DAFTAR MASALAH PASIEN


MASALAH SAAT TIMBUL RENCANA TINDAKAN
Sesak napas disertai Batuk mulai 1 bulan - Pemebrian OAT sesuai dengan
batuk dan demam yang lalu, sesak 3 tatalaksana pasien baru TB paru
minggu yang lalu dan terkonfirmasi bakteriologis.
memberat beberapa - Edukasi berupa diagnosis penyakit
hari terakhir, demam yang diderita pasien, cara
2 minggu terakhir penularan penyakit, efek samping
obat, cara konsumsi obat, dan
tatalaksana non farmakologi yang
dapat menunjang pengobatan.

DIAGNOSIS KERJA : TB Paru dengan komplikasi efusi pleura

PENATALAKSANAAN pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis

MASALAH  NON   FARMAKOLOGI  EDUKASI


FARMAKOLOGI

Sesak nafas, 1) Analisis cairan Fase intesif 2RHZE 1). Memberikan informasi
batuk, nyeri pleura ; prosedur Fase lanjutan kepada pasien dan
dada dan thorakosintesis 4H3R3 keluarga tentang penyakit
demam 2) Evakuasi cairan TB
seoptimal 2) Pengawasan ketaatan

5
mungkin minum obat dan kontrol
3) Disarankan secara teratur ( utamanya
untuk Bed rest pada 2 bulan pertama
4) Kurangi pengobatan)
melakukan 3). Edukasi efek samping
aktivitas berat obat.
5) Makan makanan 4) Memperbaiki pola
bernutrisi hidup dan sanitasi
seimbang lingkungan yang
berkaitan dengan faktor
resiko
RENCANA TINDAK LANJUT/FOLOW UP
Pemantauan Respon pengobatan dipantau dengan sputum BTA pada akhir fase
intensif di akhir bulan ke-2 atau ke-3. Tujuan pemantauan respon pengobatan anatara
lain 1). mengidentifikasi dan tatalaksana reaksi obat yang tidak dinginkan, 2).
Pasien, keluarga pasien diminta untuk melaporkan gejala TB menetap atau muncul
kembali dan, 3) Berat badan dipantau setiap bulan untuk penyesuaian dosis OAT.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Data Pribadi/Identitas
Seorang pria berusia 24 tahun tanpa riwayat merokok namun memiliki
riwayat kontak dengan perokok, riwayat merokok secara pasif maupun aktif
dapat menjadi faktor resiko inflamasi dengan memperburuk sistem pertahanan
respirasi menyebabkan gangguan respirasi kronis, kanker paru dan tuberculosis .
Berdasarkan usia infeksi kronis pernafasan akan meningkat resiko pada usia 60
tahun keatas hal ini diakibatkan proses penuaan yang berhubungan dengan kronis
yang melumpuhkan (World Health Organization, 2000). Pada tuberkulois

6
sebagian besar menyerang usia produktif dan masyarakat dengan sosoekonomi
kurang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Anamnesis faktor resiko mendukung lainnya dimana pasien tinggal
bersama orang tua namun keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa, dan
lingkungan cukup padat. Lingkungan kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk
bidup bersih dan sehat selalu dikaitkan dengan kerentanan tuberculosis, selain itu
tuberkulosis sangat berkaitan dengan DM, penyakit akibat merokok ,alkohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi dan sebagian besar menyerang usia produktif
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

B. Analisis RPS, RPD, RPK 


American College of Chest Physicians membagi bentuk klinis batuk
menjadi ; akut apabila durasi batuk < 3 minggu, batuk subakut antara 3-8
minggu dan kronis > 8 minggu. Batuk kronis dapat disebabkan akibat adanya
bronkitis kronis, PPOK, asma dan gangguan pernapasan eosinofilik lainnya,
tumor paru, batuk akibat gangguan saluran nafas atas, disfungsi vocal cord,
GERD, batuk terinduksi obat, infeksi (pertusis, tuberkulosis), dan batuk kronis
akibat penyakit jantung (Kardos, 2010). Pada kasus ini disebutkan onset batuk
selama 1 bulan disertai lendir berwarna kuning kehijauan tanpa darah dan nyeri
dada apabila pasien batuk keras. Pendekatan diagnosis pada pasien dengan
kelainan sistem pernapasan sering dijumpai dengan empat keluhan utama antara
lain dispnea, batuk, batuk darah, dan nyeri dada. Nyeri dada oleh akibat
gangguan paru-paru dibagi menjadi pleuritik dan trakeobronkial, nyeri pleuritik
adalah nyeri yang memburuk saat bernafas dalam atau batuk (Ginanjar and
Rachman, 2014).

Pasien mengeluhkan sejak dua minggu terakhir demam terus menerus dan
berkurang bila minum obat penurun demam (paracetamol), menggigil dan

7
berkeringat banyak terutama pada malam hari. Gejala konstitusional lainnya
seperti nyeri kepala dan pusing tidak ada.

Demam, menggigil dan berkeringat pada malam hari merupakan gejala


klinis khas lainnya. Manifestasi klinis sistemik ini salah satunya merupakan
respon inflamasi sitokin TNF-α , toksin kuman dan inflamasi sekunder yang
dihasilkan. Proses terjadinya demam diawali dengan fase produksi panas yang
meretensi panas kemudian menstimulasi vasokontriksi pembuluh kutaneus dan
mengawali respon menggigil untuk menghasilkan panas, kondisi ini akan
merangsang set point di hipotalamus untuk meningkatkan temperatur tubuh
sehingga keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas tercapai.
Pada saat ini respon menggigil akan berhenti. Kembalinya set point ke titik
normal dan vasodilatasi untuk menghilangkan panas dapat dinilai dengan
terbentuknya keringat. Demam pada malam hari pada kasus TB dikenal dengan
berkeringat di malam hari, hal ini dikaitan dengan siklus irama sikardian tubuh
dimana suhu tubuh lebih rendah saat menjelang fajar (36.1°C) dan meningkat di
sore hari (37.4°C), Selain itu sekresi hormon kortisol yang memodulasi sistem
imun dalam merespon dan menekan demam akan menurun di malam hari, hal ini
kemungkinan akan menimbulkan keringat dimalam hari (Luies and Preez, 2020).

Manifestasi klinis Demam juga berkaitan dengan gejala klasik trias malaria
yaitu periode mengigil kemudian demam dan berkeringat, gejala utama demam
selalalu dikaitkan dengan semua infeksi virus sistem respiratorius, influenza,
demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial seperti pneumonia,
tuberkulosis dan infeksi saluran kemih (Ginanjar and Rachman, 2014). Demam
juga perlu ditanyakan pada TB dewasa dan anak, dimana gejala ini dapat terjadi
60 -85% dari seluruh kasus TB (Luies and Preez, 2020).

Pasien datang dengan keluhan utama sesak yang dialami sejak 3 minggu,
awalnya sesak dirasakan kadang-kadang dan tidak mengganggu aktifitas.

8
Beberapa hari terakhir sesak memberat saat pasien batuk dan menggagu aktivitas
sehari- hari, namun pasien masih masih bisa tidur dengan menggunakan satu
bantal.

Keluhan sesak nafas dapat didiagnosis banding dengan asma bronkial, TB,,
PPOK, gagal jantung kongestif. Sesak nafas perlu dipastikan apakah pasien
memiliki riwayat atopi, riwayat terapapar polusi dalam atau luar ruangan seperti
penggunaan kayu bakar untuk memasak, apakah saat sesak perlu menggunakan
bantal tambahan saat tidur. Pada kasus pasien sesak awalnya kadang kadang,
tidak mengganggu aktivitas dan pasien masih bisa tidur dengan menggunakan
satu bantal, kemudian keluhan sesak memberat hingga mengganggu aktivitas.
Sesak nafas dengan gejala penyerta berupa nyeri dada, batuk purulen dan demam
menggigil mendukung adanya infeksi kronis saluran nafas, emboli paru atau
penyakit pleura (Ginanjar and Rachman, 2014).

Infeksi sistemik berat lainnya berupa gejala khas batuk, nyeri dada dan
demam salah satunya berhubungan dengan tuberkuloasis pleura dengan bentuk
efusi pleura unilateral dan ukurannya kecil hingga sedang. Efusi pleura dimulai
dari granuloma yang pecah kemudian merangsang respon inflamasi dengan
meningkatkan permeabilitas kapiler pleura dan mendorong cairan keluar vasa.
Pemeriksaan pasien TB efusi pleura didapati adanya perubahan nilai metabolit
antara lain; penurunan asam sitrat, asam laktat, kreatin dan asam asetat dan
peningkatan kadar lipid yang keduanya dikaitkan dengan pemanfaatan karbon
oleh kuman dalam membentuk energi dan dinding sel bakteri yang dilepaskan
untuk kebutuhan glukoneogenesis. Penekanan jaringan paru akibat efusi pleura
bermanifestasikan dispnea, pleuritik, batuk, sesak nafas dan bronkhitis kronis
(Luies and Preez, 2020).

Pasien mengeluhkan nafsu makannya menurun dan berat badannya


menurun sekitar 15 kg dalam 2 bulan terakhir tanpa penyebab yang jelas. Pasien

9
tidak mengeluhkan adanya gangguan pencernaan seperti; mual, muntah, nyeri ulu
hati , nyeri perut dan nyeri menelan. Keluarga pasien tidak memiliki keluhan
serupa.

Respon sistem imun juga merangsang perkembangan kaheksia atau dikenal


dengan ‘wasting syndrome’. Kaheksia dikarakteristikkan dengan tidak
proporsionalnya masa otot akibat malabsorbsi atau anorekasia dalam jangka
lama. Mekanisme patologis kaheksia pada tuberkulosis dikaitkan dengan respon
akut host yang mengakibatkan aktivasi sitokin IL-1, IL2, TNF-α, IFN-γ . TNF-α
yang dapat merangsang hilangnya protein otot melalui faktor transkripsi κB (NF-
κB) meningkatkan proteasome. Proses inflamasi juga mempengaruhi konsentrasi
leptin dalam meregulasi berat badan dan imunitas seluler, suatu studi
menunjukkan penurunan konsentrasi leptin pada pasien tuberkulosis
dibandingkan kontrol (Luies and Preez, 2020).

C. Analisis Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Penilaian dimulai dengan keadaan umum pasien sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Pemeriksaan antropometri 45 kg dan TB ; 65 cm didapatkan
IMT 16,8 underweight . Tanda vital suhu demam dan takipneu dengan tipe
pernafasan thorakoabdominal dimana pegembangan maksimal otot tambahan
pernafasan saat menarik nafas. Infeksi kronis oleh kuman terinhalasi dari aerosol
yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis dan menyebabkan 4
kemungkinan bentuk klinis. Gambaran klinis disebabkan oleh kegagalan sistem
imun pada infeksi primer paru yang bermanifestasi klinis lokal berupa batuk ≥ 2
minggu tidak spesifik dan berprogresif, batuk dapat disertai dahak dan terkadang
bercampur darah. Selain itu bermanifestasi klinis sistemik berupa demam,
menggigil, berkeringat malam hari, malaise, penurunan nafsu makan dan berat
badan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

10
Pemeriksaan fisik paru didapatkan abnormalitas palpasi fremitus taktil
menurun pada hemithorax sinistra dan dextra setinggi ICS IX , hal ini
berhubugan dengan gangguan penghantaran udara ke dinding dada yang
diindikasikan dengan efusi pleura, penebalan pleura, tumor,
pneumothoraks.Temuan lain adanya abnormalitas perkusi paru, redup pada ICS
III kanan dan kiri indikasi adanya infiltrat apeks paru bilateral dan pekak pada
ICS IX paru kiri dan kanan yang dapat disebabkan oleh penebalan pleura dan
efusi pleura. Auskultasi pernafasan vesikuler dengan adanya bunyi tambahan Rh
+/+ (rhonki basah kasar pada apeks dan medial paru kanan, rhonki basah pada
apeks dan basal paru sinistra) Pemeriksaan abdomen dalam batas normal namun
inspeksi ditemukan pergerakannya mengikuti gerak napas (Unisoed, 2015).

Pengujian sputum dengan pewarnaan ditemukan BTA 1 (2+), BTA 2 (+),


BTA 3 (+) dengan interpretasi menurut skala international union against
tuberculosis lung disease (IUATLD) skor 2+ ditemukan 1-10 BTA per lapang
pandang (minimal 50 lapang pandang) dan skor 1+ ditemukan lebih dari 10 BTA
per lapang pandang (Sudarsono, 2021).

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Lekosit 15,7 x 103 u/L 4000-11000/mmk

Eritrosit 4.30 x 106 u/L 4-6 juta/mmk

Hemoglobin 10,2 g/dl 13-17 g/dl

Hematokrit 31,9% 36-48%

Trombosit/ platelet 376 x 103 u/L 150.000-450.000/mmk

11
Limfosit 17% 20-40%

Neutrofil 75% 40-60%

Eosinofil 0% 1-6%

Monosit 8% 2-10%

Basofil 0% 0-2%

Hasil pemeriksaan foto thorax PA didapatkan penampakan Tuberkulosis


berupa bercak berawan pada lapangan paru kiri dan paru kanan atas , cavitas
pada paru kiri atas dan penampakan efusi pleura berupa sinus costophrenicus kiri
dan kanan tumpul. Perjalanan klinis tuberculosis berhubungan dengan penemuan
pada pemeriksaan penunjang. Kuman M.tuberkulosis memiliki karakteristik
kuman berbentuk batang, tidak berspora, tidak memiliki kapsul dan
membutuhkan oksigen untuk berkembang. Kuman terinhalasi akan terdeposit di
apeks paru dan berkembang membentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
(focus gohn primer) , area inflamasi fokus primer kemudian akan digantikan
dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi. proses peradangan ini akan memberikan
gambaran lesi bercak berawan dengan batas tak tegas pada apeks paru yang khas.
Peradangan luas yang meningkatkan permeabilitas vaskular pleura akan
memberikan penampakan opak akibat penumpukan cairan berupa penumpulan
sinus costophrenicus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Pemeriksaan Laboratorium

Respon hematologis pada pasien TB dapat terjadi pada 10 kasus TB


diantaranya anemia normositik normokromik pada 94 % merupakan benruk
paling umum pada TB. Anemia pada tuberculosis dapat diklasifikasikan menjadi
anemia kronis, anemia akibat defisiensi metabolik dan anemia akibat autoimun.
Anemia kronis pada tb berhubungan proses peradangan yang mengaktifkan

12
sistem retikuloendotelial menghambat transfer besi ke nukleus saat eritropoesis,
mempercepat kerusakan eritrosit. Sehingga beberapa penemuan penunjang lab
darah akan ditemukan Hb menurun dan LED meningkat (Luies and Preez, 2020).
Pemeriksaan penunjang TB lainngya juga dapat ditemukan limfositosis/
monositosis (Panduan praktik klinis, 2014)

D. Analisis Diagnostik
Penegakan diagnosis dapat diketahui dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Data dari anamnesis diketahui
pasien datang dengan keluhan utama sesak. Sesak dimulai 3 minggu yang lalu
dan semakin memberat sehingga mengganggu aktivitas pasien. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak 2 minggu yang lalu, selain itu juga mengalami batuk
berdahak yang tidak disertai darah. Berat badan pasien mengalami penuran 15kg
dalam 2 bulan dengan penyebab yang tidak jelas. Pemeriksaan fisik ditemukan
adanya ronkhi dan pemeriksaan penunjang berupa foto thorax ditemukan adanya
infiltrasi pada apeks paru dan terdapat cavitas pada paru kiri atas disertai dengan
sinus costophrenicus yang tumpul pada kanan dan kiri selain itu pemeriksaan
sputum didapatkan BTA positif pada ketiga sampel. Data dari anamnesis
pemeriksaan fisik dan penunjang pasien di diagnosis tuberculosis paru dengan
efusi pleura.
Gejala klinis pada pasien TB dapat berupa gejala respiratorik dan
sistemik, dimana gejala respiratorik berupa batuk lebih dari sama dengan 3
minggu, batuk berdarah, sesak napas, dan nyeri dada, gejala respiratorik
memberat seiring dengan luas lesi. Gejala sistemik berupa demam, malaise,
keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan(Konsensus TB, 2006).
Pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya konjungtiva anemis, ronkhi, dan suara
vesikuler melemah jika terdapat kavitas yang besar pada auskultasi. Pemeriksaan
penunjang pada pemeriksaan sputum ditemukan BTA positif minimal dua kali
positif, pada radiologi yang dicurigai sebgai TB aktif biasanya ditemukan

13
gambaran bayangan berawan pada apeks paru, kavitas, bayangan bercak milier,
dan efusi pleura unilateral, sedangkan pada lesi inaktif ditemukan fibrotic pada
segmen apikal dan atau lobus posterior atas dan klasifikasi atau fibrotic. Selain
itu dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan darah yang
dapat ditemukan peningkatan LED dan leukositosis sebagai tanda adanya infeksi
selain itu juga dapat ditemukan penurunan Hb sebab penyakit kronis. Untuk
diagnosis pasti juga dapat dilakukan kultur dari bakteri(Idrus, 2019 ; Konsesnsus
TB, 2006).
E. Analisis Terapi
Terapi TB terbagi menjadi 2 fase, pertama fase intensif dilakukam 2-3
bulan awal dan dilanjutkan dengan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Obat anti
tuberculosis (OAT) terbagi mejadi obat utama dan obat tambahan. Obat utama
atau lini pertama dapat berupa rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z),
etambutol (E), dan streptomisin (S) dan obat tambahan lainnya atau lini dua
berupa kanamisin, kuinolon, dan obat-obatan golonga nmakrolide dan kombinasi
amoksilin dan asam klavulanant(Konsensus TB,2006). Pengobatan tuberculosis
deibedakan menjadi, kategori pertama yang merupakan pasien yang belum
pernah mendapatkan terapi OAT atau pernah mendapatkan OAT debelumnya
selama<1 bulan maka di berikan 2HRZE /4HR. Kategori kedua merupakan
pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT baik pasien gagal terapi
(sputum BTA atau kultur teteap positif pada bulan ke-5 pengobatan) maupun
pasien putus berobat (pasien yang putus berobat selama >2 bulan berturut-turt)
maka perlu dilakukan kultur resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST)
sehingga dapat diberikan pengobatan yang sesuai dengan antibiotic spesifik dan
sensitif terhadap patogen namun jika hasil DST belum tersedia dapat diberikan
2HRZES/1HRZE/5HRE(Idrus,2019).
Pengobatan TB perlu diperhatikan klinis pada pasien, bila keadaan klinis
pasien baik dan tidak ada indikasi rawat inap maka dapat dilakukan rawat jalan.
Perlu diberikan terapi suportif atau simptomatik untuk meningkatkan daya tahan

14
tubuh atau mengatasi gejala atau keluhan yang diderita pasien. Terapi suportif
yang dapat diberikan dapat berupa makanan yang bergizi dan dapat diberikan
vitamin tambahan, pemberian makanan pada penderita TB tidak terdapat
pantangan namun perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit komorbid
yang perlu menghindari beberpa jenis makanan. Bila terdapat demam dapat
diberikan obat penurun demam (antipiretik), jika terdapat gejala batuk dan sesak
napas dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala. Indikasi rawat inap pada
pasien TB adalahan pasien TB paru dengan komplikasi seperti batuk darah,
keadaan umum buruk, pneumothorax, empyema, efusi pleura masif atau bilateral,
sesak napas berat yang bukan karena efusi pleura atau pada pasien TB diluar paru
yang mengancam jiwa seprti pada TB paru milier dan meningitis TB (Konsensus
TB,2006)

Dosis berkala 3 kali


Dosis harian
seminggu
Nama obat Dosis dan Dosis dan
range Maksimum range maksimum
(mg/kg BB) (mg/Kg BB)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300mg 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600mg 10 (8-12) 600
Pirazinamid(Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Streptomisin (S) 15 (15-20) - 15 (12-18) 1000
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35)
Tabel 1 (Idrus, 2019)

15
Tabel 2 (Konsensus TB, 2006)

Tabel 3 (Konsesnsus TB, 2006)


Pada kasus ini pasien mengalami TB paru dengan efusi pleura sehingga
terapi yang dapat diberikan berupa 2HRZE/4RH diikuti dengan evakuasi cairan
dan berikan kortikosteroid prednisone 30-40mg/hari dan dapat diturunkan
menjadi 5-10 mg setiap 5-7 hari, pemberian dilakukan selama 3-4 minggu.
Perlu diperhatikan pemberian steroid pada pasien TB dengan lesi luas dan DM.
lakukan evakuasi cairan ulang jika diperlukan (Konsensus TB, 2006) .
F. Analisis Prognosis

16
Prognosis pada TB dapat menjadi buruk jika terdapat keterlibatan
ekstrapulmoner, keadaan imunokompremais, usia tua, dan terdapat riwqyat
pengobatan dengan OAT sebelumnya(Medscape). Sedangkan pada efusi
pleura prognosis bergantung pada penyebab utama terjadinya efusi, jika
penyebab utama dapat dieleminasi dengan baik maka prognosis efusi juga
menjadi baik(prognosis). Persentasi kesembuhan dengan terapi isoniazid dan
rifampisin selama 6 bulan dan pirazinamid selama 2 bulan mencapai 96-99%v
hal tersebut bagi pasien dengan HIV negative dan angka kekambuhan <5%
(Idrus,2019)

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Sesak nafas adalah keluhan berupa rasa tidak nyaman di dada dengan
gejala penyerta yang bervariasi antara lain sesak nafas dengan nyeri dada yang
diindikasikan dengan adanya emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura.
Keluhan nyeri dada yang disertai batuk purulent dan demam, menggigil
mendukung adanya infeksi atau peradangan kronis saluran nafas.
Keluhan sesak nafas dengan riwayat batuk disertai lendir selama 1
bulan dan nyeri dada apabila pasien batuk keras, keluhan disertai demam,
menggigil, berkeringat teruama di malam hari, penurunan berat badan dalam 2
bulan terakhir mengarah pada infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
telah bermanifestasi ekstraparu menimbulkan Tuberkulosis pleura.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ginanjar, E. and Rachman, A. M. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Edisi Keenam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Idrus, A. 2019. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktis Klinis. FKUI. Jakarta
Kardos, P. (2010) ‘Management of cough in adults: educational aims’,
Breathe, 7(2), pp. 123–133. Available at: 10.1183/20734735.019610.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014) ‘Buku Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkuolsis’.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020) ‘Buku Pedoman Nasional
Pelayanan kedokteran’.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Hasil Utama Riset
Kesehatan Dasar 2018.
Kemenkes RI, 2018. Tuberkulosis ( TB ), Tuberkulosis.
Konsensus TB: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. 2006 Dapat diakses di klikpdpi.com
Luies, L. and Preez, I. du (2020) ‘The echo of pulmonary tuberculosis:

18
Mechanisms of clinical symptoms and other disease-induced systemic
complications’, Clinical Microbiology Reviews, 33(4), pp. 1–19. doi:
10.1128/CMR.00036-20.
Medscape, 2021, Tuberculosis (TB). Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a7
Muhammadsyah, Puwadi, 2016. Karakteristik Penderita TB Paru dengan
Efusi Pleura Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Santa Elizabeth
Medan tahun 2011-2016. Jurnal Masepi 1, 559–567.
Sudarsono, T. A. (2021) ‘Buku Panduan Praktikum Hematologi’, 2(November
2020), pp. 40–50.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K., Setiati, S. 2010.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima,. Interna Publishing, Jakarta
Unisoed (2015) ‘Pemeriksaan paru’, Modul Keterampilan Medik (Lab Skill),
pp. 1–16.
World Health Organization (2000) ‘Causes and Consequences of Chronic’,
World Health Organization, (Figure 16), pp. 37–55.

19

Anda mungkin juga menyukai