Anda di halaman 1dari 58

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH

DENGAN MASALAH KEPERAWATAN POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF

PROPOSAL TUGAS AKHIR

SELVANY

Nomor Induk Mahasiswa : 18.01.0046

AKADEMI KEPERAWATAN PANGKALPINANG

PANGKALPINANG

MARET 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BBLR merupakan salah satu masalah kesehatan yang memerlukan perhatian di

berbagai negara terutama pada negara berkembang atau negara dengan sosio-ekonomi

rendah. WHO (World Health Organization) mendefinisikan BBLR sebagai bayi yang

lahir dengan berat ≤ 2500 gr.). WHO (2018) juga mengatakan bahwa sebesar 60–80%

dari Angka Kematian Bayi (AKB) yang terjadi disebabkan karena BBLR. BBLR

memiliki risiko lebih besar untuk mengalami morbiditas dan mortalitas dari pada bayi

lahir yang memiliki berat badan normal. BBLR dapat menyebabkan terjadinya

komplikasi pada bayi karena pertumbuhan organ-organ yang berada dalam tubuhnya

belum sempurna. Kemungkinan yang terjadi akan lebih buruk bila berat bayi semakin

rendah. Semakin rendah berat badan bayi, maka semakin penting untuk memantau

perkembangannya pada minggu-minggu setelah kelahiran (Hartiningrum & Fitriyah,

2016).

BBLR dapat disebabkan oleh 2 hal yaitu kelahiran prematur atau kelahiran saat usia

kehamilan ≤ 37 minggu dan IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) yang biasa

disebut terganggunya pertumbuhan janin. BBLR dapat menyebabkan kesakitan bahkan

kematian. Menetapkan penyebab BBLR antara prematur atau IUGR merupakan hal

yang penting karena tingkat kematian antara kedua kondisi tersebut berbeda secara
signifikan (Astria, 2016). Sutan, (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor

penyebab lain BBLR adalah faktor ibu (status gizi, umur, paritas, status ekonomi),

riwayat kehamilan buruk (pernah melahirkan BBLR, aborsi), asuhan antenatal care

yang buruk, keadaan janin. Sementara itu, bayi yang lahir prematur dengan IUGR

memiliki kondisi fisik yang lemah dan biasanya mengalami gangguan pertumbuhan

(Mendri & Prayogi, 2017).

Data WHO (2019) Berat badan lahir rendah terus menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang signifikan secara global, dan dikaitkan dengan serangkaian

konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Secara keseluhan diperkirakan bahwa

15%-20% dari semua kelahiran di seluruh dunia adalah berat badan lahir rendah,

mewakili lebih dari 20 juta kelahiran pertahun. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama, diperkirakan

15-20% dari semua kelahiran di seluruh dunia adalah BBLR yang mewakili lebih dari

20 juta kelahiran per tahun. Meskipun ada variasi dalam prevalensi BBLR di setiap

negara, namun hampir 95,6% dari mereka berada di negara berkembang atau negara

dengan sosial ekonomi rendah. World Health Assembly telah menargetkan

pengurangan angka kejadian BBLR sebesar 30% pada tahun 2025. Hal ini berarti ada

penurunan relatif 3,9% per tahun antara tahun 2012-2025. Data Riset Kesehatan Dasar

tahun 2018, proporsi berat badan lahir < 2500 gram (BBLR) pada bayi dari seluruh

provinsi yang ada di Indonesia sebesar 6,2% (Persentase ini merupakan hasil rata-rata

dari seluruh kassus BBLR yang terjadi diseluruh penjuru Indonesia (Kemenkes, 2018).
Data Profil Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kematian bayi (0–12

bulan) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2019 berjumlah 188 kasus

meningkat dari tahun 2018 sejumlah 166 kasus Jumlah kematian bayi pada tahun 2019

terbanyak terdapat di Kabupaten Belitung (27,65% dari total kematian bayi) dan paling

sedikit terdapat di Kabupaten Bangka Tengah (5,85% dari total kematian bayi).

Kematian tertinggi terjadi pada usia neonatal (0-28 hari) sebanyak 143 kasus 76,06%

( Dinkes, 2019).

Masalah yang sering terjadi pada BBLR adalah ketidakstabilan suhu tubuh, masalah

pencernaan dan imunitas, dan masalah pernafasan (Hockenberry & Wilson, 2009).

Ketidakstabilan suhu tubuh terjadi karena peningkatan hilangnya panas, kurangnya

lemak subkutan, rasio luas permukaan terhadap berat badan yang besar, produksi panas

berkurang akibat lemak coklat yang tidak memadai dan ketidakmampuan untuk

menggigil (Wong, Hockenberry, Wilson & Schwartz, 2008). Masalah gastrointestinal

dan nutrisi akibat reflek hisap dan menelan yang buruk sebelum 34 minggu, motalitas

usus yang menurun, pengosongan lambung yang tertunda, serta pencernaan dan

absorbsi vitamin yang larut dalam lemak kurang. BBLR juga mengalami imanuritas

imonologis atau resiko tinggi infeksi. Masalah imunitas akibat tidak banyak transfer

IgG maternal melalui plasenta selama trimester ke tiga, fagositosis terganggu dan

penuruna faktor komplemen (Kosim, Yunanto, Dewi, Saroso & Usma, 2014;

Hockenberry & Wilson, 2009). Masalah pernafasan akibat defisiensi surfaktan paru,

resiko aspirasi karena belum terkoordinasinya refleks batuk, reflek menghisap dan
reflek menelan, otot pembantu respirasi yang lemah, serta pernafasan yang periodik

dan apnea. Gangguan nafas merupakan masalah yang sering dijumpai pada hari

pertama kehidupan bayi baru lahir, ditandai dengan takipnea, nafas cuping hidung,

retraksi intercostal, sianosis dan henti nafas ( Julianti & Oktiawati, 2019).

Adapun masalah keperawatan yang sering muncul pada BBLR adalah Pola Nafas tidak

Efektif. Menurut Herdman dan Kamitsuru (2018) menyatakan pola nafas tidak efektif

adalah inspirasi dan/ ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat. Adapun penyebab

pola nafas tidak efektif yaitu: pola nafas abnormal, Perubahan ekskursi dada,

Bradipnea, Penurunan tekanan ekspirasi, Penurunan tekanan inspirasi, Penggunaan otot

bantu pernafasan, Pernafasan cuping hidung (Herdman & Kamitsuru, 2018).

Tingginya angka kejadian dan banyaknya masalah yang terjadi pada BBLR, maka

peran perawat sebagai advokasi sangat penting. Upaya yang dilakukan dalam rangka

penurunan kematian bayi adalah advokasi ke stakeholder terkait; koordinasi lintas

program dan lintas sektor; meningkatkan kapasitas teknis SDM kesehatan,

mengembangkan sistem rujukan di semua fasyankes baik fasyankes pemerintah

maupun swasta; Audit Maternal Perinatal terintegrasi dalam SKI; optimalisasi

penerapan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada bayi muda dan

usia 2 bulan sampai dengan 5 tahun. Peran Perawat sebagai edukator yaitu sebagai

program perencanaan pulang untuk membantu ibu mengatasi kecemasan, stres,

ketidakpercayaan diri ibu serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu


merawat bayinya (Beheshtipaour, Baharlu, Montaseri, & Ardakani, 2014). Hasil

penelitian Shieh, et al. (2010) menyatakan bahwa edukasi terstruktur dalam

perencanaan pulang pada ibu secara signifikan meningkatkan kepercayaaan diri dan

pengetahuan ibu merawat bayinya sehari sebelum dipulangkan, selain itu juga

didapatkan berat badan bayi prematur meningkat secara signifikan. Hal ini sejalan

dengan penelitian Mianaei, et al. (2014) yang menyatakan bahwa intervensi pendidikan

yang diberikan pada orang tua dapat meningkatkan kesehatan mental dan interaksi

orang tua dengan bayi, menurunkan risiko rawat ulang dan mengurangi waktu lama

rawat. Program edukasi yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dapat

memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan orang tua sehingga dapat membantu

orang tua untuk memahami informasi yang disampaikan (Lantz, 2017). Selain itu,

perawat sebagai care giver yaitu dalam memberikan asuhan keperawatan dengan

pendekatan pemecahan masalah sesuai dengan metode dan proses keperawatan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan asuhan

keperawatan pada BBLR dengan masalah keperawatan pola nafas tidak efektif.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Bayi Berat Lahir Rendah dengan

Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif?

1.3 Tujuan Studi Kasus

1.3.1 Tujuan umum

Untuk Menggambarkan Asuhan keperawatan Pada Bayi Berat Lahir Rendah Rendah

dengan Masalah Keperawatan pola Nafas Tidak Efektif


1.3.2 Tujuan khusus

1. Melakukan pengkajian pada bayi berat lahir rendah

2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada bayi berat lahir rendah

3. Merencanakan tindakan keperawatan pada bayi berat lahir rendah dengan

masalah pola nafas tidak efektif

4. Melakukan tindakan keperawatan pada bayi berat lahir rendah dengan masalah

pola nafas tidak efektif

5. Melakukan evaluasi keperawatan pada bayi berat lahir rendah dengan masalah pola

nafas tidak efektif

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Bagi Peneliti

Sebagai saran dan masukan untuk menambahkan pengetahuan dan memperoleh

pengalaman khususnya pada asuhan keperawatan bayi berat lahir rendah

1.4.2 Bagi Lahan Penelitian Rumah Sakit

Sebagai masukan yang diperlukan dalam melaksanakan praktik pelayanan

keperawatan khususnya pada asuhan keperawatan pada bayi berat lahir rendah

1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Sebagai contoh pembalajaran dalam penanganan kasus asuhan keperawatan bayi

berat lahir rendah

1.4.4 Bagi Keluarga

Memberi pengetahuan dalam meningkatkan kemandirian keluarga dalam melakukan

perawatan bayi berat lahir rendah


1.4.5 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

tentang asuhan keperawatan pada bayi berat lahir rendah


BAB II

KONSEP DASAR

2.1 Konsep Dasar Teori BBLR

2.1.1 Definisi

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang

dari 2500 gram (Maryuni, 2009).

Bayi Berat Lahur Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat

lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram) (Saiffudin, 2009).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang berat badan kurang dari 2500

gram tanpa memandang masa kehamilan (Proverawati & Ismawati, 2010).

Berat Badan Lahir Rendah merupakan bayi yang dilahirkan dengan berat badan

kurang dari 2500 gram (Royyan, 2012).

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan badan kurang dari

2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (Kosim et al, 2014).

2.1.2 Etiologi

Penyebab BBLR sangat kompleks. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang

bulan. Bayi kecil untuk masa kehamilan atau kombinasi keduanya (Kemenkes, 2010).

Penyebab terjadinya bayi BBLR secara umum bersifat multifaktoral, sehingga kadang

mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan pencegahan. Namun penyebab

terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran premature (Proverawati & Ismawati,


2010). Menurut (Proverawati, 2010 dalam Haryani., dkk) mengatakan faktor-faktor

yang berhubungan dengan BBLR adalah:

1) Penyakit

Mengalami komplikasi kehamilan seperti: anemia berat, perdarahan

antepartum, hipertensi, preeklamsia berat, eklampsia, infeksi selama hamil

(infeksi kandung kemih dan ginjal). Menderita penyakit seperti: malaria

infeksi menular seksual, HIV/ AIDS

2) Ibu

1. Kehamilan pada usia < 20 tahun atau lebih dari usia 35 tahun

2. Jarak kelahiran terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun)

3. Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya

4. Ibu perokok

5. Keadaan gizi kurang yang baik

3) Faktor Janin

1. Kelainan kromosom

2. Infeksi janin kronik

3. Radiasi

4. Kehamilan ganda/kembar (gameli)

4) Faktor Plasenta

1. Plasenta yang terlepas sebelum waktunya

2. Sindrom tranfusi bayi kembar

3. Tumor (korioangioma, mola hidatidosa)


Menurut Ridha, (2014) mengatakan adapun penyebab lain terjadinya bayi

dengan BBLR antara lain:

1. Sosial ekonomi rendah

2. Narkotik

3. Ibu pendek

4. Radiasi

5. Bahan bahan teratogen

6. Gangguan metabolisme pada janin

2.1.3 Patofisiologi

Berat badan lahir rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor ibu,

faktor janin, dan faktor lingkungan. Faktor ibu meliputi penyakit yang diderita

ibu, usia ibu saat hamil kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun, keadaan

sosial ekonomi. Faktor janin meliputi hidramnion, kehamilan ganda, kelainan

kromosom. Faktor lingkungan meliputi tempat tinggal, radiasi, dan zat-zat

beracun. Dimana faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam rahim sehingga mengalami gangguan dan suplai

makanan ke bayi jadi berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan bayi lahir

prematur atau dismatur dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Jika

hal tersebut terjadi, maka bayi dituntut beradaptasi pada kehidupan ekstrauterin

sebelum organ dalam tubuhnya berkembang secara optimal. Proverawati,

Lismawati, 2010 & Pantiwati, 2011, Haryani (2019)


2.1.4 Klasifikasi BBLR menurut Proverawati (2010) Haryani, 2019) mengatakan

antara lain:

1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berat lahir 1500-2500 gram

2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) berat lahir 1000-1500 gram

3. Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) berat lahir kurang dari1000 gram

2.1.5 Manifestasi Klinis BBLR menurut Proverawati & Ismawati, Haryani (2019)

adalah:

1. Berat kurang dari 2500 gram

2. Panjang kurang dari 45 cm

3. Lingkar dada kurang dari 30 cm

4. Lingkar kepala kurang dari 33 cm

5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu

6. Kepala lebih besar

7. Kulit tipis, transparan, rambut rontok lanugo banyak, lemak kurang

8. Otot hipotonik lemah

9. Ekstremitas: paha abduksi. Sendi lutut/kaki fleksi lurus

10. Pernafasan 40-50 kali per menit

11. Nadi 100-140 kali per menit


BBLR menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh dengan

keadaannya lemah yaitu:

Tanda-tanda bayi kurang bulan (Haryani, 2019)

1. Kulit tipis dan mengkilap

2. Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum terbentuk dengan

sempurna

3. Lanugo ( rambut halus atau lembut) masih banyak ditemukan terutama

pada punggung

4. Jaringan payudara belum terlihat, putting masih berupa titik

5. Pada bayi perempuan, labiya mayor belum menutupi labiya minor

6. Pada bayi laki-laki , skrotum belum banyak lipatan, testis kadang belum

turun

7. Kadang disertai dengan pernafasan yang tidak teratur

8. Aktivitas dan tangisannya lemah

9. Reflek menghisap dan menelan tidak efektif atau lemah

Tanda-tanda bayi kecil untuk masa kehamilan [KMK) menurut Haryani.,

Hardiani & Thoyibah (2019)

1. Umur bayi dapat cukup, kurang atau lebih bulan, tetapi berat badan

kurang dari 2500 gram

2. Gerakannya cukup aktif, tangisan cukup kuat

3. Kulit keriput, lemak dari kulit tipis


4. Bila kurang bulan jaringan payudara kecil, putting susu kecil, sedangkan

bila cukup bulan payudara sesuai masa kehamilan

5. Bayi perempuan bila cukup bulan labiya mayora menutupi labiya minora

6. Bayi laki-laki testis mungkin lebih turun

7. Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian

8. Menghisap cukup kuat

2.1.5 Komplikasi menurut Haryani., Hardiani & Thoyibah (2019) antara lain:

1. Hipotermia

Hipotermia dapat terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas

dan dari kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena

pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkutan yang

sedikit, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, luas permukaan

tubuh relatif lebih besar dibanding dengan berat badan sehingga mudah

kehilangan panas (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

2. Sindroma gangguan pernafasan idiopatik

Disebut juga penyakit membran hialin. Kesukaran pernafasan pada bayi berat

lahir rendah dapat disebabkan belum sempurnanya pembentukan membran

hialain surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat menurunkan

tegangan dindimg alveoli paru. Pertumbuhan surfaktan paru mencapai

maksimum pada minggu ke-35 kehamilan (Haryani., Hardiani & Thoyibah,

2019).
3. Aspirasi pneumonia

Keadaan ini disebabkan karena flek menelan dan batuk pada bayi lahir

rendah belum sempurna (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

4. Perdarahan intraventrikuler

Hal ini disebabkan oleh karena bayi berat lahir rendah sering menderita

apnea, asfiksia berat dan sindroma gangguan pernafasan. Akibatnya bayi

menjadi hipoksia, hipertensi dan hiperkapnia. Keadaan ini menyebankan

aliran darah ke otak bertambah. Penambahan aliran darah ke otak akan lebih

banyak lagi karena tidak adanya otoregulasi serebral pada bayi premature,

sehingga mudah terjadi perdarahan dari pembuluh darah kapiler yang rapuh

dan iskemia di lapisan germinal yang terletak didasar ventrikel lateralis

antara nucleus kaudatus dan ependim. Luasnya perdarahan intraventrikel ini

dapat di diagnosis dengan ultrasonografi atau CT scan (Haryani., Hardiani &

Thoyibah, 2019).

5. Fibropasia retrorental

Penyakit ini disebabkan oleh gangguan oksigen yang berlebihan, dengan

menggunakan oksigen dalam konsentrasi tinggi, akan menyebabkan

vasokontraksi pembuluh darah retina. Kemudian setelah bayi bernafas

dengan udara biasa lagi, pembuluh darah ini mengalami vasodilitasi yang

selanjutnya akan disusul dengan proloferasi pembuluh darah baru secara

tidak teratur. Kelainan ini dapat dilihat pada bayi yang berat badanya

kuranag dari 2000 gram. Stadium akut penyakit ini dapat terlihat pada umur
3-6 minggu dalam bentuk dilatasi arteri dan vena retina. Pengobatan pada

stadium dini dapat dicoba dengan memberikan ACTH atau kortikosteroid.

Dalam hal ini yang paling penting adalah pemasukan oksigen yang diberikan

tidak melebihi 40% hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen

dengan kecepatan dua liter per menit (Haryani., Hardiani & Thoyibah,

2019).

6. Hiperbilirubinemia

Hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim

glukorinil transferase sehingga konjugasi bilirubin inderek menjadi bilirubin

direk belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam

transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang. Kadar bilirubin normal

pada bayi premature 10 mg% (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

7. Sindroma aspirasi mekonium

Hipoksia intrauteri akan mengakibatkan janin mengalami gaspin dalam

uterus. Selain itu mekonium akan dilepaskan dan bercampur dengan cairan

amnion. Cairan amnion yang mengandung mekonium akan masuk ke dalam

paru janin karena inhalasi. Ketika bayi lahir akan menderita gangguan

pernafasan karena melekatnya mekonium dalam saluran pernafasan

(Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

8. Hipoglikemia

Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa janin. Kecepatan

glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena
terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya

pemberian glukosa. Bayi aterm dapat mempertahankan kadar darah 50-60

mg/dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat badan lahir rendah

dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum

mencukupi. Hipoglikemia bila kadar gula darah sama dengan atau kurang

dari 20 mg/dL (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

9. Gangguan imonologik

Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya kadal igG

gamma glubolin. Bayi relatif belum sanggup membentuk antibody dan daya

fagositosis serta reaksi terhadap peradangan masih belum baik ( Ridha nabil,

2014).

2.1.6 Penatalaksanaan pada BBLR

Menurut Pantiwat (2010) (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

penatalaksaan BBLR antara lain:

1. Pemberian ASI

Mengutamakan pemberian ASI adalah hal yang penting karena:

1) ASI mempunyai keuntungan yaitu kadar protein tinggi laktal albumin, zat

kekebalan tubuh, lipase dan asam lemak esensial, laktosa dan

oligosakarida.

2) ASI mempunyai faktor pertumbuhan usus ologosakarida untuk memacu

motilitas usus dan perlindungan terhadap penyakit.


3) Dari psikologis, pemberian ASI dapat meningkatkan ikatan dari ibu dan

bayi.

4) Bayi kecil/berat rendah rentan terhadap kekurangan- kekurangan nutrisi

fungsi organnya belum matang, kebutuhan nutrisinya besar dan mudah

sakit sehingga pemberian ASI atau nutrisi yang tepat penting untuk tumbuh

kembang yang optimal bagi bayi.

2. Pengaturan suhu badan/thermogulasi

Bayi Dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) terutama yang kurang bulan

membutuhkan suatu thermogulasi yaitu suatu pengontrolan suhu badan

secara:

1. Fisiologis mengatur pembentukan atau pendistribusian panas

2. Pengaturan terhadap suhu keliling dengan mengontrol kehilangan dan

pertumbuhan panas

Terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

kehilangan panas pada bayi secara umum yang penting diketahui bagi

bidan/perawat seperti beberapa cara kehilangan panas, stress dingin pada

bayi, efek klinis hipotermi, faktor penghambat non-shivering thermologis,

pencegahan kehilangan panas, pencegahan hipotermi


1. Kehilangan panas

Kehilangan panas pada bayi dengan berat rendah ada 4 cara yaitu:

1) Konduksi yaitu panas tubuh akan hilang bila bayi ditidurkan diatas

permukaan yang dingin. Seperti menidurkan bayi ditimbangan yang dingin

tangan perawat yang dingin atau stetoskop yang dingin

2) Konveksi yaitu panas tubuh akan hilang bila ada udara dingin bertiup sekitar

bayi. Perhatian agar bayi tidak kehilangan suhunya, bayi tidak berikan

oksigen yang dingin

3) Evavorasi yaitu panas tubuh akan hilang dengan adanya penguapan cairan

yang ada dipermukaan tubuh bayi

4) Radiasi yaitu panas tubuh akan hilang bila dekat dengan benda-benda yang

dingin, sehingga panas tubuh akan memancar ke benda-benda dingin

disekitarnya

2. Faktor predisposisi

Beberapa hal berikut ini merupakan faktor predisposisi kehilangan panas pada

bayi, yaitu:

1) Luas permukaan tubuh yang besar dibanding dengan berat badan.

Kehilangan suhu tubuh 4 kali lebih besar pada bayi neonatus cukup bulan

dan 5 kali lebih besar pada bayi prematur/BBLR dibanding dengan orang

dewasa

2) Lemak subkutan yang lebih tipis terutama pada bayi premature/BBLR

dibanding. Suhu inti tubuh lebih cepat ditransfer kepermukaan


3) Postur bayi mempengaruhi kehilangan panas tubuh. Fleksi ekstremitas

mengurangi area ekspose/paparan terhadap lingkungan. Kemampuan untuk

fleksi akan meningkatkan sesuai dengan pertambahan masa kehamilan

4) Bayi terutama bayi premature/BBLR tidak biasa memproduksi panas dengan

mekanisme menggigil orang dewasa

5) Hipotalamus bayu premature/BBLR sudah berkembang baik tetapi baru lahir

mempunyai (range rentan) yang lebih sempit dibanding dengan manusia

biasa

3. Bayi yang beresiko

Berikut ini adalah bayi yang berisiko kehilangan panas (termasuk bayi

dengan berat lahir rendah) yaitu:

1. Bayi yang disedasi, bayi yang ibunya diberikan anestesi atau mendapat

analgesik, karena:

1) Gangguan pada konservasi panas oleh vasokontriksi dan respon postural

dari bayi

2) Gangguan produksi panas sebagai respon terhadap dingin, metabolisme

yang lambat, terjadi penundaan ekskresi obat-obatan

2. Bayi asfiksia, lebih cepat timbul dingin karena tidak terjadi vasokontriksi

segera setelah lahir

3. Bayi IUGR ( intra uterine growth retardation/pertumbuhan janin terhambat),

yaitu bayi:
1) Cenderung asfiksia

2) Tidak mempunyai cadangan glikogen untuk metabolisme dan dapat timbul

hipoglikemia segera

3) Insulasi jaringan yang sedikit, lemak subkutan berkurang

4) Luas permukaan tubuh lebih besar dibanding berat badan

4. Bayi premature BBLR biasanya:

1) Luas permukaan tubuhnya luas dibanding berat badan

2) Predisposisi asfiksia

3) Metabolisme dan pernafasan yang tidak baik

4) Hipotermi dan gangguan aktivitas surfaktan meningkatkan bahaya dari

sindrom gawat nafas (RDS) yang berat

5) Brown fat belum ada sampai usia kehamilan 26-30 minggu

5. Brown fat, penyimpanannya:

1) Terdapat di skapula, sekitar leher, di belakang sternum, sekitar ginjal,

kelenjar adrenal, kartorid dan aorta

2) Terdiri 2-6% dari berat badan lahir

3) Primitif brown fat muncul pada kehamilan 26-30 minggu

4) Semakin banyak pada minggu ke 3- ke 5 setelah lahir kecuali terjadi stres

dingin

5) Mengandung trigliserida yang dapat dipecah menjadi gliserol dan non ester

fatty acid yang berlomba dengan albumin untuk meningkat bilirubin


6. Stress dingin

Bayi BBLR yang kurang bulan yang tiba-tiba dihadapkan pada suhu dingin

akan mengalami hipotermi. Sebagai respon terhadap udara atau suhu dingin

akan terjadi vasokontriksi yang akan menyebabkan timbulnya metabolisme

anaerob dan asidosis metabolic. Hal ini akan menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah paru yang akan makin menyebabkan bertambahnya hypoxia

anaerob metabolisme dan asidosis metabolic. Keadaan ini akan

memperburuk respon bayi yang lahir rendah terhadap dingin. Oleh sebab itu

bayi berat lahir rendah yang kurang bulan mempunyai resiko tinggi terhadap

hipotermi dan gejalanya sisanya (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

7. Efek klinis hipotermi

Bayi baru lahir dengan berat lahir rendah yang telah mengalami hipotermi

dapat mempunyai efek klinis sebagai berikut: penurunan kadar pH,

penurunan tekanan oksigen, terjadi hopiglisemia, peningkatan konsumsi

oksigen, peningkatan cadangan kalori, kenaikan berat badan lambat,

peningkatan kematian bayi dapat terjadi gangguan faktor pembekuan darah

(Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

8. Faktor penghambat non shivering thermogenesis

Berikut ini adalah beberapa faktor yang menghambat nonshivering

thermogenesis pada bayi BBLR menurut (Haryani., Hardiani & Thoyibah,

2019). Antara lain:


1. Stres dingin yang terjadi pada BBLR secara terus menerus (berlarut-larut)

dapat menghabiskan cadangan brown fat dan membuat suhu tubuh bayi

turun

2. Bayi mengalami hipoksia yang menyebabkan dalam tubuhnya terjadi

metabolisme anaerob, sehingga suplai oksigen digunakan secara cepat.

Glikogen dimetabolisme sehingga tebentuk asam piruvic dan asam laktat

yang pada akhirnya menyebabkan asidosis metabolik

3. Bayi bisa mengalami apnea berulang

4. Bayi bisa mengalami gangguan fungsi serebral karena adanya perdarahan

intrakranial

5. Bayi mengalami hipoglikemia karena cadangan glikogen berkurang

6. Bayi bisa mengalami gagal jantung

7. Bayi bisa mengalami masalah pernafasan (RDS)

9. Pencegahan kehilangan panas menurut (Haryani., Hardiani & Thoyibah,

2019).

Beberapa pencegahan panas pada bayi berat lahir rendah yang sehat, antara

lain:

1. Segera setelah lahir, bayi dikeringkan dan dibedong dengan popok hangat

2. Pemeriksaan dikamar bersalin dilakukan di bawah radiant warmer (box

bayi hangat)

3. Topi dipakaikan untuk mencegah kehilangan panas melalui kulit kepala

4. Bila suhu bayi stabil, bayi dapat dirawat di box terbuka dan diselimuti
Sedangkan pada bayi berat lahir rendah yang sakit, cara untuk mencegah

kehilangan panas, antara lain:

1. bayi harus segera dikeringkan

2. Untuk menstranportasi bayi, digunakan transpot inkubator yang sudah

hangat

3. Tindakan terhadap bayi dilakukan di bawah radiant warmer

4. Suhu lingkungan netral dipertahankan

10. Pencegahan hipotermi menurut (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

Untuk mencegah pada bayi hipotermi pada bayi berat lahir rendah maka

perlu pengaturan suhu tubuh badan pada neonatus, yang biasanya

dilakukan diruang perawatan bayi atau ruang perawatan intensif bayi,

dengan melaksanakan pemberian lingkungan di area thermal zona netral

pada bayi dalam posisi suhu keliling yang sempit, sehingga kehilangan

panas pada suhu 37º C. Sedangkan kelebihan energinya yang didapat dari

makanan dapat dimanfaatkan untuk petumbuhan/peningkatan berat badan

bayi dan penyembuhan bayi apabila bayi sakit. Ada dua alat yang dapat

melakukan thermogulasi atau membuat zona netral thermal ini yaitu:

radiant warmer dan inkubator. Untuk menentukan apakah bayi berat lahir

rendah digunakann warmer atau inkubator adalah berdasarkan situasi dan

kondisi bayi. Ada dokter bayi yang lebih suka menggunakan warmer

karena warmer memberikan peluang lebih dekat dengan bayi sementara

dokter bayi lebih suka menggunakan inkubator karena inkubator:


1. Dapat mempertahankan suhu udara

2. Dapat mengatur kelembapan udara

3. Dapat memberikan lingkungan dengan oksigen yang cukup

Pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki radiant warmer

atau inkubator untuk mencegah terjadinya hipotermi, maka tindakan-

tindakan umum yang dapat dilakukan untuk mencegah hipotermi antara

lain:

1. Mengeringkan tubuh bayi, segera setelah lahir dengan menggunakan

handuk atau kain yang hangat

2. Menyelimuti bayi terutama bagian kepala dengan kain yang kering ( bayi

dibungkus kain hangat dan kepalanya diberi topi)

3. Meletakkan bayi dilingkungan/ ruang yang hangat (suhu ruangan tidak

kurang dari 25ºC)

4. Memastikan tangan selalu hangat pada saat memegang bayi

5. Mengganti handuk, selimut, kain, popok, bedong, yang basah dengan

yang bersih, kering dan hangat

11. Metode kanguru

Metode ini merupakan salah satu metode perawatan bayi berat lahir rendah

untuk mencegah hipotermi pada bayi baru lahir. Prinsip dasar dari metode

kangguru ini adalah mengganti perawatan bayi berat lahir rendah (BBLR)

dalam inkubator dengan metode kangguru. Hal ini disebabkan karena

kurangnya fasilitas terutama inkubator dan tenaga kesehatan dalam


perawatan bayi BBLR, penggunaan inkubator memiliki beberapa

keterbatasan antara lain memerlukan tenaga listrik dan memudahkan infeksi

nosokomial, rujukan ke rumah sakit untuk bayi BBLR samgat tinggi

sebelum dilakukan metode kanguru (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

12. Nutrisi bayi

Pada bayi BBLR reflek hisap, menelan dan reflek batuk belum sempurna,

kapasitas lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan terutama lipase

masih kurang. Pada umumnya bayi dengan berat badan 2000 gram atau lebih

dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat kurang dari 1500 gram,

kurang mampu menghisap pada susu ibu maupun susu melalui botol

terutama pada hari-hari pertama. Dalam hal ini bayi diberi minum melalui

sonde lambung. Setelah hari kelima bayi dicoba menyusu pada ibunya bila

daya hisap cukup dapat diteruskan, bila tidak lebih baik melalui dot

dibandingkan dengan susu ibu. Pada keadaan ini air susu ibu dapat dipompa

dan dimasukkan dalam botol steril. Cara pemberian oral melalui botol adalah

dengan frekuensi yang lebih sering dalam jumlah susu yang sedikit. Jumlah

cairan yang diberikan pertama kali adalah 1-5 mililiter per jam dan jumlah

dapat ditambahkan sedikit demi sedikit setiap 12 jam. Bila air susu tidak ada

maka dapat diberikan susu buatan mengandung lemak yang mudah dicerna

oleh bayi dan rendah lactose serta mengandung 20 kalori tiap 30 mililiter air

(Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).


2.1.7 Pemeriksaan Penunjang menurut Lestari, (2016)

1. Radiologi

1) Foto thoraks/baby gram pada bayi baru lahir dengan usia kehamilan kurang

bulah, dapat dimulai pada umur 8 jam. Gambaran foto thorkas pada bayi

dengan penyakit membran hyalin karena kekurangan surfaktan berupa

terdapatnya retikulogranular pada parenkim dan bronkogram udara. Pada

kondisi berat hanya tampak gambaran white lung.

2) USG kepala terutama pada bayi dengan usia kehamilan 35 minggu dimulai

pada umut 2 hari untuk mengetahui adanya hidrosefalus atau perdarahan

intraknial dengan memvisualisasi ventrikel dan struktur otak garis tengah

dengan fontanel anterior yang terbuka

3) Laboratorium meliputi Darah rutin yang terdiri dari:

1. Hematokrit (HCT), Hemoglobin (Hb), Hb A, Hb F, Jumlah leukosit.

2. Bilirubin

3. Analisa gas darah,

4. Elektrolit darah (k/p)

4) Tes kocok/shake test

Sebaliknya dilakukan pada bayi yang berusia < 1 jam dengan mengambil

cairan amnion yang tertelan di lambung dan bayi belum diberikan makanan.

Cairan amnion 0,5 cc ditambah garam faal 0,5 c, kemudian ditambah 1 cc

alkohol 95% dicampur dalam tabung kemudian di kocok 15 detik, setelah itu

didiamkan 15 menit dengan tabung tetap berdiri. Interpretasi hasil:


1. (+) : Bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin

artinya surfaktan terdapat dalam paru dengan jumlah cukup

2. (-) : Bila tidak ada gelembung atau gelembung sebanyak ½ permukaan

artinya paru-paru belum matang/tidak ada surfaktan

3. Ragu : Bila terdapat gelembung tapi tidak ada cincin, jika hasil

menunjukkan ragu maka tes harus diulang

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan

mengumpulkan data-data yang akurat dari pasien, sehingga akan diketahui

berbagai permasalahan yang ada. Untuk melakukan langkah pertama ini

diperlukan pengetahuan tentang kebutuhan atau sistem biopsikososial dan

spiritual bagi manusia yang memandang manusia dari aspek biologis,

psikologis, sosial dan spiriual, juga pengetahuan akan kebutuhan

perkembangan manusia (tumbuh kembang dari kebutuhan dasarnya)

pengetahuan tentang konsep sehat dan sakit, pengetahuan tentang

patofisiologi dari penyakit yang dialami pasien, pengetahuan tentang sistem

keluarga dan kultur budaya serta nilai-nilai keyakinan yang dimiliki pasien

( Hidayat, A. Aziz Alimul, 2011 (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

Langkah-langkah pengkajian keperawatan menurut (Hidayat, A. Aziz

Alimul,2011 (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019) meliputi:


1. Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan upaya untuk mendapatkan data yang

digunakan sebagai informasi tentang pasien.

2. Validasi data

Validasi data merupakan upaya untuk memberikan justifikasi pada data

yang dikumpulkan dengan melakukan perbandingan data subjektif dan data

objiektif yang didapatkan dari berbagai sumber dengan berdasarkan standar

nilai normal untuk diketahui kemungkinan tambahan atau pengkajian ulang

tentang data yang ada.

3. Identifikasi pola/masalah

Identifikasi pola/masalah merupakan kegiatan terakhir dari tahap

pengkajian setelah dilakukan validasi data dengan mengidentifikasi pola

atau masalah yang mengalami gangguan yang ada dimulai dari pengkajian

pola fungsi kesehatan

Adapun pengkajian keperawatan yang dilakukan pada pasien BBLR, antara

lain:

Data demografi, meliputi:

1. Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat

2. Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, alamat dan hubungan

dengan pasien
Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Berat badan bayi < 2500 gram

2) Riwayat penyakit sekarang

Kaji berapa berat badan bayi, biasanya bayi berat lahir rendah mempunyai

berat badan < 2500 gram, pasien juga biasanya mengalami hipotermi (suhu

tubuh di bawah normal). Selain itu, karena belum maturnya organ-organ

tubuh mengakibatkan berbagai masalah di antaranya masalah kekurangan

nutrisi, risiko kekurangan volume cairan, resiko infeksi (Haryani., Hardiani

& Thoyibah, 2019).

3) Riwayat penyakit keluarga

Tanyakan kepada keluarga ada tidak anggota keluraga yang mempunyai

riwayat hamil kembar, tanyakan juga kepada ibu apakah menderita

penyakit kronis selama kehamilan (Haryani., Hardiani & Thoyibah, 2019).

Kebutuhan Bio-Psiko-sosial-spiritual

1. Kebutuhan respirasi

Mungkin dangkal, tidak teratur dan pernafasan diafragmatik intermiten

atau periodik ( 40-60 kali/menit), pernafasan cuping hidung, retraksi

suprasternal atau substernal, juga derajat sianosis yang mungkin ada.

Adanya bunyi ampela pada auskuktasi, menandakan sindrom distres

pernafasan (RDS).
2. Nutrisi

Disproporsi berat badan dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala.

Kulit kering pecah-pecah dan terkelupas dan tidak adanya jaringan subkutan.

Penurunan massa otot, khususnya pada pipi, bokong dan paha.

Ketidakstabilan metabolik dan hipoglikemia/hipokalsemia (Haryani.,

Hardiani & Thoyibah, 2019).

3. Eliminasi

Tekstur feses bervariasi mulai dari bentuk padat, lunak atau berair

4. Aktivitas

Status sadar, bayi tampak semi koma saat tidur malam, meringis atau

tersenyum adalah bukti tidur dengan gerakan mata cepat (REM), tidur

sehari rata-rata 20 jam

5. Istirahat tidur

Umumnya bayi BBLR tidak mengalami gangguan dalam istirahat dan

tidurnya kecuali ketika saat bayi lapar

6. Kebutuhan aman dan nyaman

Biasanya bayi akan menangis bila lapar atau pokokmya basah/kotor karena

BAK dan BAB

7. Kebutuhan personal hygine

Biasanya bayi pola kebersihan dibantu sepenuhnya oleh perawat dan

keluarganya
8. Mempertahankan temperatur tubuh

Biasanya bayi BBLR mengalami gangguan dalam temperatur tubuh

sehingga di rawat di inkubator

9. Komunikasi

Bayi belum mampu berkomunikasi

10. Kebutuhan bekerja

Biasanya bayi belum mampu untuk bekerja

11. Kebutuhan bermain

Biasanya bayi belum mampu untuk bermain

12. Kebutuhan berpakaian

Biasanya bayi belum mampu di dalam berpakaian dan dibantu oleh perawat

dan keluarganya

13. Kebutuhan belajar

Bayi belum mampu untuk belajar

14. Kebutuhan spiritual

Bayi belum mampu melakukan kegiatan beribadah

Pemeriksaan fisik

1. Kepala

Inspeksi : kepala lebih besar dari pada badan, lanugo (bulu halus) banyak

terutama pada dahi, pelipis,ubun-ubun dan sutura melebar

Palpasi : Palpasi adanya edema pada area kepala,ada tidaknya nyeri tekan

pada kepala
2. Mata

Inspeksi : Keadaan sclera biasanya ikterus, konjungtiva anemis

Palpasi : Ada tidaknya edema disekitar mata, ada tidaknya nyeri tekan

3. Hidung

Inspeksi : Lubang dan septum hidung utuh, tidak ada polop pada hidung,

ada pernafasan cuping hidung

Palpasi : Tidak ada edema, tidak ada nyeri tekan

4. Telinga

Inspeksi : Biasanya bentuk telinga kanan dan telinga kiri simetris, terdapat

lanugo pada telinga

Palpasi : Tidak ada pembengkakan pada telinga

5. Leher

Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi vena

jugularis

Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan distensi vena jugularis

6. Dada

Inspeksi : Simetris, ada retraksi dinding dada payudara tampak belum

terlihat puting masih tampak titik

Palpasi : Tidak ada edema disekitar dada, simetris dikedua paru

Perkusi : Pekak pada area paru

Auskultasi : Tidak ada suara napas tambahan ronchi/whezing


7. Abdomen

Inspeksi : Tidak ada lesi atau luka disekitar abdomen

Auskultasi : Bising usus ,6x/menit

Perkusi : Bagaimana suara perkusi di semua kuadran abdomen

Palpasi : Tidak ada edema atau asites pada abdomen

8. Genetalia

Inspeksi : Labia minora wanita mungkin lebih besar dari labia mayora

dengan klitoris menonjol. Testis pria mungkin tidak turun, ruge

mungkin banyak atau tidak pada skrotum

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan disekitar alat genentalia

9. Kulit

Inspeksi : Kaji adanya perubahan warna, daerah yang memerah, tanda

iritasi, lepuh, abrasi, atau daerah terkelupas, terutama dimana

peralatan pemantau, infuse atau alat lain bersentuhan dengan

kulit; periks, dan tempat juga dan catat setiap preparat kulit

yang di pakai (misal; plester povidone-iodine). Observasi

adanya ruam, lesi kulit atau tanda lahir. Observasi apakah

kateter infuse IV atau jarum terpasang dengan benar, dan

periksa adanya tanda infiltrasi

Palpasi : Palpasi bagaimana tekstur dan turgor kulit apakah kering, lembut,

berisik, terkelupas
10. Pemeriksaan reflek

1. Reflek berkedip : Dijumpai namun belum sempurna

2. Ekstruksi : Lidah ekstensi kearah luar saat dengan spatel lidah

3. Morro : Dijumpai namum belum sempurna

4. Menggenggam : Bayi menunjukkan refleks menggenggam namun

belum sempurna

5. Rooting : Bayi memperlihatkan gerakan memutar ke arah pipi

yang diberikan sedikit goresan

6. Kaget ( stratle) : Bayi memberikan respon ekstensi dan fleksi lengan

yang belum sempurna

7. Menghisap : Bayi memperlihatkan respon menghisap yang belum

sempurna

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Analisa Data

Analisa data adalah kemampuan meningkatkan data dan menghubungkan data

tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat

kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien.

Data yang telah dikelompokkan selanjutnya dianalisa sehingga didapatkan

masalah yang dirumuskan kedalam bentuk diagnosa keperawatan

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah pernyataan yang menguaikan respon aktual atau

potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan
berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien

didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan,

catatan media klien masa lalu dan kosultasi dengan profesional lain, yang

semuanya dikumpulkan selama pengkajian ( Potter & Perry, 2009). Masalah

keperawatan yang sering terjadi pada bayi BBLR yaitu pola nafas tidak

efektif, ketidakefektifan pengaturan suhu tubuh, perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh, nyeri, risiko kekurangan volume cairan, risiko kerusakan

integritas kulit, gangguan pertumbuhna dan perkembangan, serta risiko infeksi

( dalam buku Oktiawati & Julianti, 2019). Adapun diagnosa yang muncul

pada kasus bayi berat lahir rendah ( Oktiawati & Julianti, 2019) antara lain:

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi

3. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan imaturitas fungsi

ginjal

4. Risiko ketidakeimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan imaturitas saluran gastrointestinal

5. Risiko ketidakefektifan termogulasi berhubungan dengan kurangnya lemak

coklat, peningkatan luas permukaan tubuh, immaturitas pusat pengaturan

suhu tubuh

6. Risiko kerusakan integritas kulit

7. Risiko infeksi berhubungan dengan immaturitas sistem imun

8. Risiko keterlambatan perkembangan


2.2.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah proses penyusunan berbagai intervensi

keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, mengurangi

masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam

membuat suatu proseskeperawatan. ( Oktiawati & Julianti, 2019)

Pada tahap perencanaan ada 4 hal yang harus diperhatikan antara lain:

1. Menentukan prioritas masalah

Berbagai cara dalam memprioritaskan masalah diantaranya:

1) berdasarkan Maslow yaitu fisiologis, keamanan/keselamatan, mencintai

dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri

2) Berdasarkan Griffth-Kenney Christensen dengan urutan: ancaman

kehidupan dan kesehatan, sumber daya yang tersedia, peran serta klien,

prinsip ilmiah dan praktik keperawatan

2. Menentukan tujuan

Dalam menentukan tujuan digambarkan kondisi yang diharapkan disertai

jangka waktu

3. Menentukan kriteria hasil


Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan ( Herdman & Kamitsuru, 2014; Wong et
al., 2008) (Oktiawati & Julianti, 2019)
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan

Keperawatan Hasil

1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan 1. Kaji status pernafasan: frekuensi

tidak efektif tindakan keperawatan pernafasan, bunyi nafas, irama dan retraksi

berhubungan dengan selama 3×24 jam dada

penumpukan sekret menunjukksn 2. Pantau saturasi oksigen

bersihan jalan nafas 3. Monitor TTV tiap jam

efekif kriteria hasil: 4. Monitor kemajuan pasien dalam

1. Pernafasan= 30- penggunaan CPAP yang digunakan

60×/menit 5. Lakukan penghisapan atau suction pada

2. SaO2 88-92% mulut untuk mempertahankan kepatenan

3. Kepatenan jalan jalan nafas

nafas tidak ada 6. Posisikan fleksi atau midline position dan

akumulasi secret sentuhan (facilitated tucking positioning) saat

4. Tidak ada dispnue bayi dilakukan penghisapan lendir guna

5. Pergerakan dada untuk memberikan kenyamanan, menurunkan


simetris nyeri dan stress (Peyropi et al, 2014)

6. Ekspansi dinding

dada simetris

2 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1.Kaji status pernafasan: frekuensi

beehubungan dengan tindakan keperawatan pernafasan, bunyi nafas, irama dan retraksi

hipoventilasi selama 3×24 jam dada

menunjukkan pola 2. Pantau saturasi oksigen

nafas efektif kriteria 3. Monitor TTV tiap jam

hasil: 4. Monitor kemajuan pasien dalam

1. Tidak ada sianosis, penggunaan NCPAP yang digunakan

retraksi dada, irama 5. Posisikan bayi untuk memaksimalkan

nafas teratur dan ventilasi dengan posisi pronasi untuk

suara nafas vesikuler meningkatkan oksigenasi, kapasitas fungsi

2. Pernafasan= 30- residual, sinkron torakabdominal,

60×/menit rasioventilasi perfusi, menurunkan apnue dan

3. Nadi= mendukung tidur dalam ( Yin et al, 2016).


120-160×/menit Posisi quarter prone untuk meningkatkan

4. SaO2 88-92% saturasi oksigen, mendukung gerakan sikron

5. Kesadaran kompos antara pernafasan dada dan pernafasan perut,

mentis menyeimbangkan fungsi paru ( Montgomery,

6. Kepatenan jalan Choy, Steele, & Hough, 2014)

nafas tidak ada 6. Kolaborasi dengan dokter pemberian

akumulasi sekret aminofilin

3 Risiko Setelah dilakukan 1. Monitor berat badan

ketidakesimbangan tindakan keperawatan 2. Monitor intake dan output

cairan berhubungan 3×24jam, 3. Monitor serum elektrolit

dengan imaturitas menunjukkan 4. Monitor serum albumin dan protein total

fungsi ginjal ketidakseimbangan 5. Monitor tekanan darah. Frekuensi nadi,

cairan dan elektrolit dan status respirasi

kriteria hasil: 6. Monitor membran mukosa, turgor kulit

1. Turgor kulit elatis 7. Catat dan hitung balance cairan

2. Membran mukosa
lembab 8. Monitor warna dan jumlah urin

3. Intakr cairan 9. Monitor ketat cairan dan elektrolit jika bayi

normal menjalani terapi yang meningkatkan IWL

4. Perfusi jaringan seperti fototerapi, pemakaian randiant

baik warmer

5. Urine tidak pekat 10. Lakukan upaya untuk meminimalkan

6. Kadar narium IWL seperti penutup plastik atau

dalam darah normal meingkatkan kelembapan

(135-145 mEg/L) 11. Monitor dan hitung kebutuhan cairan

7. Tekanan darah 12. Kolaborasi dengan dokter pemberian

dalam batas normal cairan parenteral

( 80/45 mmHg)

8. Nadi dalam batas

normal (36,5- 37,5ºC)

9. Tidak ada

peningkatan Ht dan

BUN
10. Mata tidak cekung

4. Risiko Setelah dilakukan 1. Minimalkan kehilngan kalor melalui

ketidakseimbangan tindakan keperawatan proses konduksi, konveksi, evaporasi dan

nutrisi kurang dari 3×24 jam radiasi untuk mencegah kehilangan kalori

kebutuhan tubuh menunjukkan 2. Kolaborasi dengan dokter pemberian

berhubungan dengan pemenuhan nutrisi enteral berupa trofic feeding, lanjutkan

imaturitas saluran kebutuhan nutrisi priming feeding dan fullfeeding (leaf,2013)

gastrointestinal yang adekuat dengan 3. Pemberian trofic feeding ASI dapat

kriteria hasil: memfasilitasi adaptasi saluran cerna melalui

1.Pada minggu stimulasi peningkatan aktivitas enzim laktase,

pertama kehidupan pengeluaran hormon usus yang mendorong

bayi, berat badan efek trofik sel-sel proliferatif usus dan

menurun 10% dan peningkatan aliran darah sehingga atrofi usus

kembali ke berat dapat dicegah dan maturasi saluran cerna

badan saat lahir pada dapat tercapai ( Arnon et al,. 2013). Selain

minggu kedua. itu, nutrisi enteral lebih awal dapat


Peningkatan berat menurunkan kejadian sepsis, NEC,

badan bayi BBLR meningkatkan toleransi menyusui,

setaip hari 15 gram/kg pertumbuhan dan memperpendek hari rawat

BB/hari ( Hamilton, Massey, Ross & Taylor, 2014)

2. Bayi tidak 4. Pengaturan posisi prone, miring kanan dan

mengalami distensi supine dengan kepala 40º setelah pemberian

abdomen nutrisi enteral untuk menurunkan GER

3. Bayi tidak ( Vanderplas, 2014). Vanjwik et al (2007)

mengalami muntah menyatakan bahwa posisi miring kanan

4. Bayi tidak terjadi setelah menyusui selama 1 jam pertama

aspirasi saat kemudian merubah posisi miring kiri dapa

pemberian nutrisi per mempercepat pengosongan lambung dan

OGT menurunkan liquid GER. Selain itu,

5. Terbebas dari meminimalkan regurgitasi, aspirasi,

hipoglikemi dengan mempercepat pencernaan, mencegah

kadar gula bayi diatas regurgutasi dan distensi karena posisi miring

35 mg/dl kanan tidak adanya tekanan lambung dan


6. Bayi menunjukkan memungkinkan susu mengalir keujung bawah

rentang hemoglobin lambung naik ke atas cairan dan ke esofagus

normal ( 15,0-24,0 5. Kolaborasi dengan dokter pemberian

gr/dl) nutrisi parenteral, berikan edukasi kepada

7. Albumin normal orang tua untuk persiapan pemberian ASI:

cara memompa dan menyimpan ASI. Teknik

menyusui bayi atau memberikan asi melalui

cawan jika bayi sudah ada koordinasi reflek

hisap, menelan dan bernafas

5. Risiko ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Letakkan bayi dalam inkubator untuk

termogulasi tindakan keperawatan mempertahankan kestabilan suhu tubuh

berhubungan dengan selama 3×24 jam bayi 2. Pantau tanda dan gejala terjadinya

kurangnya lemak coklat, tidak mengalami hipotermia seperti akral dingit, peningkatan

peningkatan luas instabilitas suhu denyut jantung, penurunan saturasi oksigen,

permukaan tubuh, dengan pucat dan pengisian kapiler > 3 detik

imaturitas pusat
pengaturan suhu tubuh kriteria hasil: 3. Ukur suhu aksila bayi secara teratur

1. Suhu aksila 36,5- 4. Minimalkan kehilangan cairan melalui

37-,5ºC proses konduksi, konveksi, evaporasi dan

2. Frekuensi nafas 40- radiasi

60×/menit 5. Pantau suhu raidant warmer

3. Denyut jantung 6. Tutup kepala bayi dengan topi untuk

120-160×/menit menghindari kehilangan panas akibat radiasi

4. Warna kulit bayi 7. Lakukan menutup bayi dengan plastik

coklat kemerahan wrap

5. Akrar hangat 8. Mekanisme oleh lapisan kantong yang

6. Pengisian kapiler < dapat meningkatkan kelembapan dan tekanan

3 detik uap air di udara antara lapisan udara dan kulit

sehingga dapat menurunkan kehilangan panas

secara evaporasi ( Torres, Licona, Campos &

Mendoza, 2012)

9. Lakukan perawatan bayi dalam inkubator

bukan radiant warmer karena radiant warmer


terjadi kehilangan panas karena radiasi,

konveksi, peningkatan IWL pada bayi serta

menimbulkan dihidrasi

10. Berikan edukasi kepada ibu tentang cara

menghangatkan suhu tubuh bayi, tanda-tanda

penurunan suhu tubuh dan PMK. Libatkan

orang tua untuk melakukan perawatan

metode kanguru jika kondisi bayi stabil

11. Perawatan metode kanguru dapat

mentstabilkan suhu tubuh karena terjadi

pemindahan panas ibu ke tubuh bayi ( Santhi

& Kokilavani, 2013)

6 Risiko kerusakan Setelah dilakukan 1. Kaji daerah kulit akibat penggunaan plester

integritas kulit tindakan keperawatan dan kulit hidung pada ujung hidung, lubang

selama 3×24 jam bayi hidung. Philtrum dan septum penggunaan

menunjukkan
integritas kulit yang NCPAP

adekuat dengan 2. Pastikan pemempatan yang tepat nasal

Kriteria hasil: prong pada lubang hidung

1. Warna kulit bayi 3. Pastikan jarak sekitar 2 mm antara septum

coklat kemerahan hidung dengan cabang prong

2. Turgor kulit bayi 4. Lakukan perawatan kebersihan pada area

elastis mata, mulut dan daerah popol

3. Kulit bayi lembab 5. Lakukan gentle massage pada nasal untuk

4. Tidak terjadi nasal mencegah kerusakan kulit nasal

injury 6. Lakukan perubahan posisi bayi pronasi tiap

3 jam sehingga tidak ada tekanan nasal

septum dari tubbing bergelombang dan mulut

akan tertutup, tekanan akan adekuat sehingga

kurang mengubah nasal prong serta untuk

mencegah lesi kulit ( McCoskey, 2008;

Sahni, Schiaratura & Polin, 2016)

7. Berikan duoderem pada daerah hidung


7 Risiko infeksi Setelah dilakukan 1, Monitor tanda-tanda vital (kesadaran, suhu

berhubungan dengan tindakan selama 3×24 tubuh, frekuensi nafas, frekuensi nadi,

imaturitas sistem imun jam bayi diuresis, saturasi oksigen, nyeri)

menunjukkan status 2. Monitor hasil laboratorium leukosit, it

imunitas yang adekuat ratio, CRP dan kultur darah

terhadap infeksi 3. Terapkan standar universal cuci tangan

dengan kriteria hasil: pada lima waktu cuci tangan

1. Bayi bebas dari 4. Tingkatkan intake nutrisi (tinggi protein

tanda-tanda inflamasi dan tinggi kalori)

( Rubbor Kalor 5. Jaga personal hygiene pada bayi

Tumor dan Dolor 6. Melakukan oral hygiene 2-3×/ hari

fungsilaesa) 7. Ajarkan orang tua cuci tangan 6 langkah

2. Bayi menunjukkan 8. Batasi pengunjung hanya orang tua

tanda-tanda vital kandung

dalam batas normal

(suhu 36,5-37-5ºC)

frekuensi nadi 120-


160×/menit, frekuensi

nafas 40-60×/menit,

kesadaran

komposmetis, diuresis

2-3 ml/kg/BB/jam dan

tidak nyeri

3. Bayi menunjukkan

angka leukosit 9.10-

34.0 ribu/uL, CRP

<0,6, IT Ratio 0,00-

0,2

8 Risiko keterlambatan Setelah dilakukan 1. Lakukan pemberian posisi midine dalam

perkembangan tindakan keperawatan nesting

selama 3× 24 jam 2. Lakukan intervensi non farmakologis

keluarga dapat seperti bedong, atau facilitated tucking

meminimalkan risiko positioning selama prosedur invasive


keterlambatan 3. Lakukan untuk meminimalkan cahaya

perkembangan dengan menutup inkubator, mengecilkan

dengan kriteria hasil: suara untuk meminimalkan kebisingan dan

1. Bayi tidak minimal hadling

menimbulkan 4. Anjurkan oramg tua untuk berbicara

perilaku stress dari kepada bayi saat menjenguk bayinya

ketidaknyamanan 5. Ajarkan pada orang tua tentang isyarat

selama perawatan ketidaknyamanan pada bayi

2. Keluarga

mengetahui dampak

jarak panjang

gangguan

perkembangan pada

bayi

3. Keluarga dapat

melakukan stimulaasi

perkembangan pada
bayi

9 Risiko gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji pemahaman orang tua terhadap

perlekatan bayi tindakan keperawatan kondisi bayinya untuk memfasilitasi orang

berhubungan dengan selama 3× 24 jam tua untuk dapat berinteraksi dengan bayinya

dampak dari keluaga menunjukkan 2. Anjurkan orang tua untuk mengunjungi

hospitalisasi perlekatan orang tua bayinya untuk memfasilitasi interaksi orang

bayi dengan kriteria tua bayi

hasil: 3. Ajarkan dan anjurkan orang tua untuk

1. Pernyataan positif melakukan perawatan metode kanguru untuk

orang tua terhadap memfasilitasi kedekatan bayi dengan orang

paratisipasi perawatan tuanya

bayi 4. Berikan edukasi dan libatkan orang tua

2. Terjadi interkaksi dalam perawatan BBLR untuk memfasilitasi

antara orang tua bayi peningkatan kemampuan orang tua

memenuhi kebutuhan bayinya

5. Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi

bayinya dan alasan kenapa harus dirawat di


ruang khusus atau intensif

2.2.3 Implementasi Keperawatan

Tahap pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan

dengan melaksanakan berbagai strategi keperaatan (tindakan keperawatan)

yang telah direncanakan dalam tindakan keperawatan. Jenis tindakan

keperawatan yang tercantum dalam keperawatan mandiri atau independent

dan tindakan keperawatan kolaboratif atau interdependent (Hidayat, A. Alimul

Aziz, 2011)

2.2.4 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara

melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai

atau tidak, pada tahap evaluasi ini terdiri dari kedua kegiatan yaitu kegiatan

yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses keperawatan berlangsung

atau menilai dari respon pasien disebut evaluasi proses dan kegiatan

melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkana disebut evaluasi

hasil (Nursalam, 2009)


BAB 3

METEDOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Rancangan studi kasus yang dipakai untuk penelitian ini adalah deskriptif

untuk menggambarkan Asuhan Keperawatan Pada Bayi Berat Lahir

Rendah dengan Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif dengan

pendekatan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, daignosis

keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan

evaluasi keperawatan

3.2 Subyek Studi Kasus


Subyek yang digunakan dalam studi kasus ini adalah dua pasien dengan

kasus dan masalah keperawatan yang sama , yaitu Asuhan Keperawatan

Pada Bayi Berat Lahir Rendah dengan Masalah Keperawatan Pola Nafas

Tidak Efektif

3.3 Fokus Studi

Fokus studi pada kasus ini adalah Asuhan Keperawatan Pada Bayi Berat

Lahir Rendah dengan Masalah Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif

3.4 Definisi Operasional

BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa

memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang

dalam 1 (satu) jam setelah lahir. Menurut sumber lain BBLR adalah bayi

baru lahir yang berat badan saat lahir kurang dari 2500 gram (Naufal,

2015)

Menurut (Herdman & Kamitsuru, 2018) pola nafas tidak efektif adalah

inspirasi dan/ ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat

3.5 Lokasi dan Waktu

Studi kasus ini dilakukan di RS Depati Hamzah Pangkalpinang dan

waktu pengambilan bulan april

3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Wawancara

Peneliti akan melakukan wawancara secara verbal dan non verbal tentang

hasil anamnesis yang berisi tentang identitas pasien, keluhan utama,


riwayat penyakit, dahulu dan keluarga. Sumber data dari pasien, rekam

medik dan perawatan lainnya

3.6.2 Observasi dan Pemeriksaan Fisik

Peneliti akan melakukan observasi dengan cara pengumpulan data dengan

melakukan pengamatan secara langsung dan pemeriksaan fisik dengan

pendekatan IPPA: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, juga riwayat

kesehatan keluarga dan riwayat terdahulu ( Hidayat, 2007).

3.6.3 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data menggunakan format pengkajian Asuhan

Keperawatan Pada Bayi Berat Lahir Rendah yang berlaku di Akper di

Pangkalpinang

3.7 Penyajian Data

Teknik penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan data

sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca. Data disajikan secara

narasi dan deskriptif hingga dapat disertai dengan ungkapan verbal dari

keluarga pasien

3.8 Etika Studi Kasus

Masalah etika dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam studi kasus mengingat studi kasus keperawatan akan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika studi kasus harus

diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan studi

kasus. Masalah etika yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut


3.8.1 Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed

consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek mengerti maksud

dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,

maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika

responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati keputusan

tersebut ( Hidayat, 2007).

3.8.2 Tanpa Nama (Anonimity)

Anonomity berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar

pengumpulan dara (kuesioner). Peneliti hanya menuliskan kode pada

lembar pengumpulan data tersebut. Masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian

yang akan dijelaskan ( Hidayat, 2007).

3.8.3 Kerahasiaan (Convidentiality)

Sub bab ini menjelaskan masalah-masalah responden yang harus

dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasiaan informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian. Memberikan

jaminan kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah-


masalah lainnya. Semua informasi yang dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset ( Hidayat, 2007).

Daftar Pustaka

Ferinawati,; Sari, S. (2020). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Jeumpa Kabupaten Bireuen: Journal of
Healthcare Technology and Medicine, 6 (1)
Haryani., Hardiani, S., & Thoyibah, Z. (2020). Asuhan keperawatan pada
bayi dengan risiko tinggi. Jakarta: CV. Trans Info Media
Hartiningrum, I & Fitriyah, N. (2018). Bayi berat lahir rendah di Provinsi
Jawa Timur Tahun 2016-2018: Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 7 (2)
Hidayat, A, (2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika
Julianti, E; Rustina, Y & Efendi, D. (2019). Program perencanaan pulang
dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu yang melahirkan bayi
prematur merawat ibunya: Jurnal Keperawatan Indonesia, 0 (0)
Lestari, T. (2016). Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
Mendri, N, K., Prayogi, A, S. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit
Dan Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Oktiawati, A., Julianti, E. (2019). Konsep dan Aplikasi Keperawatan Anak.
Jakarta: CV. Trans Info Media
Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2019
Ridha, H, N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka
pelajar

Anda mungkin juga menyukai