Anda di halaman 1dari 52

i

ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS PESERTA

DIDIK DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER PADA KELAS X SMAN

1 AROSBAYA

PROPOSAL

DENA ARIMBY HARIANANDA

NPM. 1846611003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

STKIP PGRI BANGKALAN

TAHUN 2022
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................6
C. Batasan Masalah.................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..............................................................................7
BAB II KAJIAN TEORI........................................................................................11
A. Berpikir Kritis...................................................................................11
B. Berpikir Kritis Matematis.................................................................21
C. Peserta Didik.....................................................................................26
D. Gender...............................................................................................29
E. Penelitian yang Relevan....................................................................33
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................36
A. Jenis Penelitian..................................................................................36
B. Waktu Penelitian...............................................................................37
C. Subjek Penelitian...............................................................................37
D. Instrumen Penelitian.........................................................................39
E. Teknik Pengumpulan Data................................................................42
F. Teknik Analisis Data.........................................................................43
G. Langkah-Langkah Penelitian............................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kritis Menurut Normaya..........................................20

Tabel 2.2 Indikator Berpikir Kritis........................................................................21

Tabel 2.3 Indikator Berpikir Kritis Matematis.......................................................25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dan

banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan

Suyitno dalam Dewi (2015) matematika merupakan mata pelajaran

matematika yang sangat penting dalam kehidupan. Kemahiran matematika

dipandang sangat bermanfaat bagi peserta didik untuk mengikuti

pembelajaran pada jenjang lebih lanjut atau untuk mengatasi masalah dalam

kehidupan sehari-hari (Dewi, 2015).

Mempelajari matematika dibutuhkan untuk mengatasi masalah

dalam kehidupan sehari-hari dengan membekali peserta didik melalui

berbagai kemampuan. Hal ini sesuai tujuan umum diberikannya mata

pelajaran matematika pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah

adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar sanggup menghadapi

perubahan keadaan di dalam kehidupan yang selalu berkembang melalui

latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat,

jujur, efisien dan efektif (Rasiman, 2013).

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam Jumaisyaroh,

dkk (2014) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan

kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali

peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis

1
2

memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Terlalu sering para

guru meminta peserta didik untuk menceritakan kembali, mendefinisikan,

mendeskripsikan, menguraikan, dan mendaftar daripada menganalisis,

menarik kesimpulan, menghubungkan, mensintesakan, mengkritik,

menciptakan, mengevalusi, memikirkan dan memikirkan ulang. Akibatnya

banyak sekolah meluluskan peserta didik yang berpikir secara dangkal, hanya

berdiri di permukaan persoalan, bukannya peserta didik yang mampu berpikir

secara mendalam. Realita di sekolah pun memperkuat pernyataan Jacqueline

dan Brook di atas.

Suatu cara yang dapat dilakukan untuk dapat membuat kemampuan

berpikir kritis peserta didik meningkat adalah memberikan latihan yang dapat

meningkatkan pada pemecahan masalah. Sejalan dengan pendapat Kholid

(2018) yang mengatakan bahwa penekanan pada pemecahan masalah

membuat peserta didik mampu menginterpretasi dan menganalisis

permasalahan yang dihadapi dan terdorong menggunakan pengetahuan yang

dimiliki untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga adanya pemecahan

masalah tersebut dapat melatih peserta didik memiliki berbagai kemampuan

meliputi memahami masalah, merencanakan, dan melaksanakan penyelesaian

masalah. Gagne dalam Agustina (2014) menegaskan bahwa pemecahan

masalah sebagai proses berpikir yang dilakukan peserta didik dalam

mengkombinasikan hasil belajar sebelumnya dan menerapkannya untuk

memecahkan masalah yang sedang dihadapi.


3

Pemecahan masalah merupakan tujuan utama dari pembelajaran

matematika yang tidak dapat lepas dari permasalahan. Hal ini sejalan dengan

Yuwono (2010) yang mengatakan bahwa pemecahan masalah menjadi

penting dalam tujuan pendidikan matematika disebabkan karena dalam

kehidupan sehari-hari manusia memang tidak pernah lepas dari masalah.

Selain itu, Ambarawati, dkk (2014) juga menyatakan bahwa pada

pembelajaran matematika masalah merupakan bagian yang sangat penting

sehingga peserta didik dapat semakin maju masalah dan berkembang dalam

proses berpikirnya. Sehingga aktivitas memecahkan masalah dapat dianggap

sebagai aktivitas dasar manusia dimana harus dicari jalan keluarnya.

Kemampuan berpikir kritis setiap siswa berbeda-beda. Hal ini

dikarenakan pengalaman belajar yang mereka dapatkan juga berbeda. Peserta

didik terdiri atas dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari

perbedaan gender tersebut, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan

mempunyai pengalaman belajar yang berbeda sehingga kemampuan berpikir

kritis peserta didik dalam memecahkan masalah matematika akan berbeda.

Seorang peneliti yang bernama John Gray pada bukunya yang

berjudul Menfrom Mars, Womenfrom Venus, banyak orang berpendapat

bahwa perempuan berpikir dengan perasaan atau emosi, sedangkan laki-laki

mengedepankan logika. Adanya perbedaan sikap baik perempuan maupun

laki-laki menjadikan keduanya sering mengalami salah paham, termasuk

dalam berpikir Kritis.


4

Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan di SMAN 1

Arosbaya ditemukan bahwa kemampuan berpikir kritis antara siswa laki-laki

dan siswa perempuan terlihat sangat besar perbedaannya. Siswa perempuan

cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik daripada

siswa laki-laki. Tidak banyak ditemukan siswa laki-laki yang memiliki

kemampuan berpikir kritis yang baik. Apalagi pada pembelajaran matematika

yang dominan mengandalkan kemampuan daya pikir, perlu membina

kemampuan berpikir peserta didik (khususnya berpikir kritis) agar mampu

mengatasi permasalahan pembelajaran matematika cenderung bersifat

abstrak.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wardani,

dkk (2018) yang menyatakan bahwa gender memiliki pengaruh cukup tinggi

terhadap kemampuan berpikir kritis dengan nilai koefisien korelasi sebesar

0,421. Peserta didik perempuan memiliki kemampuan berpikir kritis yang

lebih baik dari peserta didik laki-laki.

Berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wardani,

dkk, pada penelitian lain yang dilakukan Sulistiyawati & Andriani (2017)

menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis serta

perbedaan hasil belajar biologi yang signifikan antara peserta didik kelompok

yang dicampur dengan peserta didik kelompok dipisah berdasarkan gender.

Penelitian yang dilakukan Beaton, dkk dalam Apriyono (2015) juga

menunjukkan bahwa anak laki-laki cenderung memperoleh skor yang lebih

tinggi dari perempuan pada masalah yang meliputi representasi bangun ruang,
5

pengukuran, masalah dan yang kompleks. Perempuan cenderung lebih

memperoleh skor tinggi dari laki-laki dalam hal komputasi, masalah yang

sederhana, dan membaca grafik.

Berpikir kritis merupakan suatu proses sistematis dan terorganisasi

yang memungkinkan seseorang untuk merumuskan dan mengevaluasi

keyakinan, bukti, asumsi, logika dan pendapatnya sendiri yang mendasari

pernyataan yang diterimanya (Hendriana, Rohaeti, & Sumarmo, 2017:96).

Maka dapat dikatakan bahwa kompetensi penting yang harus dimiliki setiap

individu pada era globalisasi adalah berpikir kritis. Tuntutan berpikir kritis

dalam dunia pendidikan tertuang dalam tujuan kurikulum 2013. Oleh karena

itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Peserta Didik Ditinjau dari Perbedaan Gender Pada Kelas X

SMAN 1 Arosbaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran masalah pada latar belakang, masalah dalam

penelitian ini dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian berikut:

a. Bagaimanakah analisis tingkat kemampuan berpikir kritis matematis

pada peserta didik laki-laki?

b. Bagaimanakah analisis tingkat kemampuan berpikir kritis matematis

pada peserta didik perempuan?


6

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, dalam

penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan lebih

terarah. Maka dari itu, peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada

Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik Ditinjau dari

Perbedaan Gender Pada Kelas X SMAN 1 Arosbaya.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan dan dapat

dijadikan sebagai dasar informasi tentang tingkat kemampuan berpikir

kritis peserta didik.

b. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

secara praktis, diantaranya:

1. Bagi Peserta didik

a. Membantu peserta didik untuk berpikir kritis dalam

menyelesaikan soal matematika dan dapat mengubah cara

belajar sesuai dengan kemampuan dan kelemahan mereka.

b. Menambah dorongan bagi peserta didik untuk semangat belajar

dan tidak perlu takut ada perbedaan.

c. Menghilangkan rasa minder kepada teman sebaya.


7

2. Bagi Guru

Memberikan dorongan dan memacu kreativitas guru untuk

menyusun strategi pembelajaran baru.

3. Bagi Sekolah

Menjadi alternatif untuk memperbaiki proses pembelajaran

peserta didik sehingga kualitas sekolah semakin baik.

4. Bagi Peneliti

a. Mengetahui langsung perbedaan cara berpikir kritis antar

gender.

b. Memberi bekal supaya menciptakan strategi baru dalam

pembelajaran .

E. Definisi Operasional

Pada penelitian ini, definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:

a. Analisis

Analisis adalah suatu kegiatan atau cara berpikir untuk mencari

suatu pola yang berkaitan dengan pengujian secara sistematis terhadap

sesuatu untuk menentukan keterkaitan antara bagian yang satu dengan

yang lain. Langkah-langkah analisis, diantaranya (a) reduksi data, yaitu

merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan penting, dicari tema dan

polanya; (b) penyajian data, yaitu merubah data yang telah direduksi ke

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart,

dan sejenisnya; dan (c) penarikan kesimpulan atau verifikasi, yaitu


8

temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek.

b. Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis adalah suatu kemampuan yang

dimiliki oleh seseorang dengan menggunakan logika untuk membuat,

menganalisis, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa

yang diyakini sehingga berhasil memecahkan masalah yang dihadapi.

c. Matematis

Matematis adalah kemampuan memahami konsep-konsep

matematika. Indikator kemampuan pemahaman matematis dalam

penelitian ini adalah mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan;

membuat contoh dan bukan contoh; menggunakan simbol-simbol untuk

mempresentasikan suatu konsep; mengubah suatu bentuk representasi ke

bentuk lainnya; mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep;

mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang

menentukan suatu konsep; serta membandingkan dan membedakan

konsep-konsep.

d. Peserta Didik

Peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur

pendidikan baik pendidikan informal, pendidikan formal maupun

pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan

tertentu.
9

e. Gender

Gender merupakan jenis kelamin bawaan lahir yang dipengaruhi

oleh faktor sosial dan budaya serta karakteristik yang membedakan

antara individu-individu. Perbedaan gender merupakan perbedaan peran

dan tanggung jawab antara laki-laki maupun perempuan sebagai hasil

konstruksi sosial dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.

Perbedaan gender dalam penelitian ini dibedakan menjadi laki-laki dan

perempuan.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Berpikir Kritis

1. Berpikir

Berpikir merupakan salah satu hal yang membedakan antara

manusia yang satu dan yang lain. Menurut Irdayanti (2018:19), berpikir

merupakan proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui

transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara komplek

meliputi aktivitas penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Menurut

Ahmadi dan Supriyono dalam Najla (2016), berpikir itu merupakan

proses yang “diakletis” artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam

keadaan tanya jawab, untuk dapat meletakkan hubungan pengetahuan

kita. Dalam berpikir kita memerlukan alat, yaitu akal (ratio).

Menurut Santrock dalam Rahmawati (2014), berpikir adalah

memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam

memori. Ini sering dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar dan

berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan

memecahkan masalah (Rahmawati, 2014:15). Menurut Najla (2016:16),

dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan,

merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan,

menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan,

menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat

11
12

analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis

yang ada, menimbang, dan memutuskan. Nur dalam Febriani (2015),

dimana seseorang dalam berpikir dapat mengolah, mengorganisasikan

bagian dari pengetahuanya, sehingga pengalaman dan pengetahuan yang

tidak teratur menjadi tersusun serta dapat dipahami. Dengan demikian,

dalam berpikir seseorang menghubungkan pengertian satu dengan

pengertian lainya dalam rangkuman yang dapat memecahkan masalah

yang dihadapi. Dari berbagai definisi-definisi di atas maka dapat

disimpulkan bahwa pengertian berpikir adalah aktivitas mental secara

yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau

situasi yang harus dipecahkan.

2. Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan suatu proses yang bertujuan untuk

membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, sehingga apa yang kita

anggap terbaik tentang suatu kebenaran dapat kita lakukan dengan benar.

Berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk

melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan

menggunakan strategi kognitif dalam menggeneralisasi, membuktikan,

atau mengevaluasi situasi matematis yang kurang dikenal dengan cara

reflektif. Guru dalam melakukan pembelajaran matematika di kelas

hendaknya memfasilitasi peserta didik dalam mengembangkan proses

berpikir kritis, guru harus melakukan tindakan yang mendorong peserta

didik merefleksikan kemampuannya.


13

Sehubungan dengan pembelajaran matematika pada peserta

didik di sekolah, maka sangat diperlukan kemampuan berpikir kritis

peserta didik dari aspek mengidentifikasi, menghubungkan,

mengevaluasi, menganalisis, dan memecahkan masalah berbagai

persoalan matematika dan aplikasinya.

Menurut Adinda dalam Azizah, dkk (2018), orang yang mampu

berpikir kritis adalah orang yang mampu menyimpulkan apa yang

diketahuinya, mengetahui cara menggunakan informasi untuk

memecahkan permasalahan dan mampu mencari sumber-sumber

informasi yang relevan sebagai pendukung pemecahan masalah. Orang

yang mampu berpikir kritis adalah orang yang mampu menyimpulkan

apa yang diketahuinya, mengetahui cara menggunakan informasi untuk

memecahkan suatu permasalahan, dan mampu mencari sumber-sumber

informasi yang relevan sebagai pendukung pemecahan masalah (Rahma,

2017:17).

Menurut Rasiman dan Kartinah dalam Irdayanti (2018), berpikir

kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir peserta didik untuk

membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang

diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Menurut Wulandari

(2017:39), berpikir kritis adalah aktivitas mental individu untuk membuat

keputusan dalam memecahkan masalah yang dihadapi dengan berbagai

informasi yang sudah diperoleh melalui beberapa kategori. Menurut

Ratnaningtyas (2016:87), “seseorang yang berpikir kritis dapat dilihat


14

dari bagaimana seseorang itu menghadapi suatu masalah.” Begitu juga

dengan pendapat Lestari (2016:14), berpikir kritis adalah kegiatan

berpikir secara sistematis yang memungkinkan seseorang untuk

merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri.

Jadi, seseorang dalam berpikir kritis itu menggunakan pemikiran yang

masuk akal untuk memutuskan apa yang harus dilakukan sesuai dengan

kemampuan intelektualnya (Febriani, 2015:26). Menurut Rifqiyana

(2015:27), ketika peserta didik berpikir kritis dalam matematika, mereka

membuat keputusan-keputusan yang beralasan atau pertimbangan tentang

apa yang dialakukan dan dipikirkan.

Ennis (2011:1) menyatakan definisi berpikir kritis adalah

“critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on

deciding what to believe or do”. Menurut definisi ini, berpikir kritis

menekankan pada berpikir yang masuk akal dan reflektif. Berpikir yang

masuk akal dan reflektif ini digunakan untuk mengambil keputusan.

Jonhson dalam Rahmawati (2014) juga menjelaskan berpikir kritis adalah

pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk

memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan.

Inch dalam Irdayanti (2015) menyebutkan bahwa berpikir kritis

mempunyai delapan komponen yang saling terkait, yaitu (1) adanya

masalah, (2) mempunyai tujuan, (3) adanya data dan fakta, (4) teori,

definisi, aksioma, dalil, (5) awal penyelesaian, (6) kerangka

penyelesaian, (7) penyelesaian dan kesimpulan, dan (8) implikasi.


15

Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal

intelektual yang sangat penting bagi setiap orang dan merupakan bagian

yang fundamental dari kematangan manusia. Salah satu tujuan berpikir

kritis menurut Najla (2016:20) adalah “dapat membantu peserta didik

membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan data dan fakta yang

terjadi di lapangan.” Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas,

dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah menyimpulkan apa yang

diketahui, mengetahui cara menggunakan informasi untuk memecahkan

suatu permasalahan dan mampu mencari sumber informasi yang relevan

sebagai pendukung pemecahan masalah. Berpikir kritis juga dianggap

sebagai kemampuan yang perlu untuk dikembangkan agar meningkatnya

kualitas apa yang ada pada diri seseorang.

3. Indikator Berpikir Kritis

Indikator berpikir kritis dapat dilihat dari karakteristiknya,

sehingga dengan memiliki karakteristik tersebut seseorang dapat

dikatakan telah memiliki kemampuan berpikir kritis. Indikator berpikir

kritis menurut Wowo dalam Hadi (2016) sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi fokus masalah, pertanyaan, dan kesimpulan.

2. Menganalisis argumen.

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi atau tantangan.

4. Mengidentifikasi istilah keputusan dan menangani sesuai alasan.

5. Mengamati dan menilai laporan observasi.

6. Menyimpulkan dan menilai keputusan.


16

7. Mempertimbangkan alasan tanpa membiarkan ketidaksepakatan atau

keraguan yang menganggu pikiran.

Menurut Ennis (2011:2) terdapat 12 indikator kemampuan

berpikir kritis yang dirangkum dalam 5 tahapan, diantaranya:

1. Klarifikasi dasar (basic clarification)

Tahapan ini terbagi menjadi tiga indikator, yaitu:

a. merumuskan pertanyaan;

b. menganalisis argumen; dan

c. menanyakan dan menjawab pertanyaan.

2. Memberikan alasan untuk suatu keputusan (the bases for the

decision)

Tahapan ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

a. menilai kredibilitas sumber informasi; dan

b. melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi.

3. Menyimpulkan (inference)

Tahapan ini terdiri atas tiga indikator, yaitu:

a. membuat deduksi dan menilai deduksi;

b. membuat induksi dan menilai induksi; dan

c. mengevaluasi.

4. Klarifikasi lebih lanjut (advanced clarification)

Tahapan ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

a. mendefinisikan dan menilai definisi; dan

b. mengidentifikasi asumsi.
17

5. Dugaan dan keterpaduan (supposition and integration)

Tahapan ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

a. menduga; dan

b. memadukan.

Indikator berpikir kritis menurut Jacob & Sam (2008), yaitu:

1. Merumuskan pokok-pokok permasalahan (klarifikasi).

2. Kemampuan memberikan alasan untuk menghasilkan argumen yang

benar (assesment).

3. Menarik kesimpulan dengan jelas dan logis dari hasil penyelidikan

(inferensi).

4. Menyelesaikan masalah dengan beragam alternatif penyelesaian

berdasarkan konsep (strategi).

Indikator berpikir kritis menurut Facione (2013:5), yaitu:

1. Interpretation is to comprehend and express the meaning or

significance of a wide variety of experiences, situations, data, events,

judgments, conventions, beliefs, rules, procedures, or criteria.

2. Analysis is to identify the intended and actual inferential

relationships among statements, questions, concepts, descriptions, or

other forms of representation intended to express belief, judgment,

experiences, reasons, information, or opinions, and to assess the

logical strength of the actual or intended inferential relationships

among statements, descriptions, questions or other forms of

representation.
18

3. Evaluation as meaning to assess the credibility of statements or

other representations which are accounts or descriptions of a

person’s perception, experience, situation, judgment, belief, or

opinios.

4. Inference means to identify and secure elements needed to draw

reasonable conclusions; to form conjectures and hypotheses; to

consider relevant information and to educe the consequences

flowing from data, statements, principles, evidence, judgments,

beliefs, opinions, concepts, descriptions, questions, or other forms of

representation.

5. Explanation as being able to present in a cogent and coherent way

the results of one’s reasoning.

6. self-regulation to mean self-consciously to monitor one’s cognitive

activities, the elements used in those activities, and the results

educed, particularly by applying skills in analysis, and evaluation to

one’s own inferential judgments with a view toward questioning,

confirming, validating, or correcting either one’s reasoning or one’s

results.

Arti dari indikator berpikir kritis menurut Facione (2013:5),

yaitu:

1. Interpretation, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami dan

mengekspresikan maksud dari suatu situasi, data, penilaian, aturan,

prosedur, atau kriteria yang bervariasi.


19

2. Analysis, yaitu kemampuan seseorang untuk mengklarifikasi

kesimpulan berdasarkan hubungan antara informasi dan konsep,

dengan pertanyaan yang ada dalam masalah.

3. Evaluation, yaitu kemampuan seseorang untuk menilai kredibilitas

dari suatu pernyataan atau representasi lain dari pendapat seseorang

atau menilai suatu kesimpulan berdasarkan hubungan antara

informasi dan konsep, dengan pertanyaan yang ada dalam suatu

masalah.

4. Inference, yaitu kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi

elemen-elemen yang dibutuhkan dalam membuat kesimpulan yang

rasional, dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang

relevan dengan suatu masalah dan konsekuensinya berdasarkan data

yang ada.

5. Explanation, yaitu kemampuan seseorang untuk menyatakan

penalaran seseorang ketika memeberikan alasan atas pembenaran

dari suatu bukti, konsep, metedologi, dan kriteria logis berdasarkan

informasi atau data yang ada, dimana penalaran ini disajikan dalam

bentuk argumen.

6. Self-regulation, yaitu kemampuan seseorang untuk memiliki

kesadaran untuk memeriksa kegiatan kognitif diri, unsur-unsur yang

digunakan dalam kegiatan tersebut, serta hasilnya, dengan

menggunakan kemampuan analisis dan evaluasi, dalam rangka


20

mengkonfirmasi, memvalidasi, dan mengoreksi kembali hasil

penalaran yang telah dilakukan sebelumnya.

Berikut indikator berpikir kritis menurut Normaya (2015:95)

yang akan diadaptasi oleh peneliti, antara lain:

Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kritis Menurut Normaya

Indikator
Sub Indikator
Umum
Memahami masalah yang ditunjukkan dengan menulis
Interpretasi
diketahui maupun yang ditanyakan soal dengan tepat.
Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara
pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, dan
Analisis konsep-konsep yang diberikan dalam soal yang
ditunjukkan dengan membuat model matematika
dengan tepat dan memberi penjelasan dengan tepat.
Menggunakan strategi yang tepat dalam
Evaluasi menyelesaikan soal, lengkap, dan benar dalam
melakukan perhitungan.
Infrensi Membuat kesimpulan dengan tepat.

Dalam penelitian ini kemampuan berpikir kritis mengacu pada

indikator berpikir kritis menurut Facione yang diadaptasi oleh Normaya,

yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi. Untuk dua indikator

lainnya, yaitu eksplanasi dan regulasi tidak digunakan dalam penelitian

ini karena menurut Facione (2013:6) empat indikator tersebut sudah

memenuhi kemampuan berpikir kritis sedangkan untuk indikator

eksplanasi dan regulasi diri hanya dimiliki oleh pemikir kritis yang kuat.
21

Tabel 2.2 Indikator Berpikir Kritis

Indikator
Sub Indikator
Umum
Interpretasi - Mampu mengelompokkan informasi yang diterima
sehingga mempunyai arti dan bermakna jelas.
- Mampu mengklarifikasikan makna sehingga dapat
menjelaskan lebih detail tentang pernyataan yang
terdapat pada soal.
Analisis - Memeriksa ide-ide berupa informasi atau fakta
yang terdapat dalam soal dan menguraikannya
sehingga dapat menentukan ide (strategi
penyelesaian) untuk menyelesaikan soal.
- Mengidentifikasi hubungan antara ide atau konsep
dan argumen sehingga dapat memberikan
pernyataaan atau alasan pendukung ide (strategi
penyelesaian) untuk menentukan penyelesaian soal
yang tepat.
Evaluasi Memeriksa kebenaran suatu pernyataan
yang telah disampaikan dengan menggunakan
strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal.
Infrensi - Menjawab lebih dari satu jawaban atau solusi yang
benar dan tepat.
- Memberikan bukti logis melalui langkah-langkah
penyelesaian dalam menarik kesimpulan.
Sumber: Normaya (2015:95)

B. Berpikir Kritis Matematis

Berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan

dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan (Kuswana,

2013:1). Berpikir kritis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas kognitif yang

berkaitan dengan penggunaan nalar. Menurut Ennis dalam Fisher (2009:4),

berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus

untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan. Kemampuan

berpikir kritis matematis sangat diperlukan dalam pemecahan masalah dalam


22

matematika. Pengembangan kemampuan berpikir kritis bagian dari

pengembangan kemampuan, meliputi pengamatan, analisis, penalaran,

penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi.

Hampir setiap orang yang bergelut dalam bidang berpikir kritis

matematis telah menghasilkan daftar keterampilan-keterampilan berpikir

yang dipandang sebagai landasan untuk berpikir kritis matematis. Menurut

Ennis dalam Maftukhin (2013:24), terdapat lima kelompok indikator

kemampuan berpikir kritis, antara lain:

a. Klarifikasi dasar (elementary clarification)

Klarifikasi dasar terbagi menjadi tiga indikator yaitu :

1. mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan,

2. menganalisis argumen, dan

3. bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan atau pertanyaan

yang menantang.

b. Memberikan alasan untuk suatu keputusan (the basis for the decision)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

1. mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, dan

2. mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.

c. Menyimpulkan (inference)

Tahap menyimpulkan terdiri dari tiga indikator, yaitu:

1. membuat deduksidan mempertimbangkan hasil deduksi,

2. membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi,

3. membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.


23

d. Klarifikasi lebih lanjut (advanced clarification)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

1. mengidentifikasikan istilah dan mempertimbangkan definisi, dan

2. mengacu pada asumsi yang tidak dinyatakan.

e. Dugaan dan keterpaduan (supposition and integration)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator, yaitu:

1. mempertimbangkan dan memikirkan secara logis premis, alasan,

asumsi, posisi, dan usulan lain yang tidak disetujui oleh mereka atau

yang membuat mereka merasa ragu-ragu tanpa membuat

ketidaksepakatan atau keraguan itu mengganggu pikiran mereka, dan

2. menggabungkan kemampuan kemampuan lain dan disposisi-

disposisi dalam membuat dan mempertahankan sebuah keputusan.

Presseisen dalam Rochaminah (2008) memberi pengertian berpikir

sebagai suatu aktivitas mental dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan.

Oleh karena itu, berpikir merupakan proses kognitif yang tidak dapat dilihat

secara fisik. Hasil dari berpikir dapat berupa ide, pengetahuan, prosedur,

argumen, dan keputusan. Pengertian berpikir menurut Presseisen ini masih

bersifat umum, sementara pengertian berpikir dalam bidang matematika

dikemukakan oleh Sumarmo (2008:3) sebagai melaksanakan kegiatan atau

proses matematika (doing math) atau tugas matematika (mathematical task).

Berdasarkan kedua pengertian tersebut maka berpikir matematik dapat


24

diartikan sebagai aktivitas mental dalam melaksanakan proses matematika

(doing math) atau tugas matematika (mathematical task).

Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematika

yang terlibat, berpikir matematika dapat digolongkan dalam berpikir

matematik tingkat rendah (low order mathematical tinking) dan berpikir

matematik tingkat tinggi (high order mathematical thinking) (Sumarmo,

2008: 3).

Berpikir matematik tingkat rendah mencakup pemahaman tingkat

rendah, seperti mengenal dan menghafal rumus serta menggunakan dalam

perhitungan rutin/algoritmika (pemahaman: mekanikal, komputasional,

instrumental, knowing how to). Sementara itu berpikir matematik tingkat

tinggi meliputi: pemahaman tingkat tinggi (pemahaman: rasional, relasional,

fungsional, knowing), berpikir kritis matematis, kreatif matematis dan intuitif.

Berfikir matematik/matematis juga perlu diperhatikan kepada pesera didik

saat ini, sebab dengan befikir matematis para peserta didik bisa memecahkan

suatu hal yang mereka anggap sulit sebelumnya

Proses berpikir matematis dilaksanakan dengan memberikan berbagai

permasalahan kontekstual yang familiar dengan kehidupan peserta didik

untuk diselesaikan secara optimal oleh peserta didik dalam konteks

pembelajaran matematika yang menarik bagi peserta didik. Dalam proses

berpikir matematis, peserta didik mampu untuk menganalisis permasalahan

yang dihadapkan dengan baik dan tepat. Schoenfeld menyatakan bahwa

berpikir matematis merupakan proses mengembangkan sudut pandang


25

matematis-menghargai proses matematisasi serta memiliki keinginan kuat

untuk menerapkannya, mengembangkan kompetensi, dan melengkapi diri

dengan segenap perangkap, lalu pada saat yang sama menggunakan perangkat

tersebut untuk memahami struktur pemahaman matematika. Berdasarkan

asumsi tersebut, konsep matematis menjadi suatu hal yang bersifat praktis

dalam proses pembelajarannya melalui keinginan untuk menerapkannya.

Konsep-konsep matematis yang dipelajari divisualisasikan secara kontekstual

untuk dapat menjembatani pengetahuan peserta didik dalam memahami hal-

hal abstrak secara konkrit dalam pembelajarannya. Dengan demikian,

kompetensi matematis yang diharapkan untuk dapat dikuasai peserta didik

dalam dipelajari dengan mudah dan dengan cara yang familiar dengan

kehidupan peserta didik sehari-hari. Adapun indikator berpikir kritis

matematis sebagai berikut :

Tabel 2.3 Indikator Berpikir Kritis Matematis

Indikator Umum Sub Indikator


Focus (fokus) Mampu memusatkan perhatian terhadap
pengambilan keputusan dari permasalahan yang
ada.
Reason (alasan) Mampu memberikan alasan rasional terhadap
keputusan yang diambil.
Inference (simpulan) Mampu membuat simpulan yang berdasarkan bukti
yang meyakinkan dengan cara mengidentifikasi
berbagai argumen atau anggapan dan mencari
alternatif pemecahan serta tetap mempertimbangan
situasi dan bukti yang ada.
Situation (situasi) Memahami kunci dari permasalahan yang
menyebabkan suatu keadaan atau situasi.
Clarity (kejelasan) Memberikan penjelasan tentang makna dari istilah-
istilah yang digunakan.
Overview Melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh
(memeriksa kembali) untuk mengetahui ketepatan keputusan yang sudah
26

diambil.
Sumber: Ennis dalam Julita (2014)

C. Peserta Didik

Pengertian peserta didik atau peserta didik menurut ketentuan umum

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri

melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan tertentu. Dengan demikian, peserta didik adalah orang yang

mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai dengan cita-cita dan

harapan masa depan.

Oemar Hamalik mendefinisikan peserta didik sebagai suatu komponen

masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses

pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional. Menurut Abu Ahmadi peserta didik adalah sosok

manusia sebagai individu/pribadi (manusia seutuhnya). Individu diartikan

"seorang yang tidak tergantung dari orang lain, dalam arti benar-benar

seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar,

mempunyai sifat-sifat dan keinginan sendiri". Sementara itu, Hasbullah

berpendapat bahwa peserta didik sebagai salah satu input yang ikut

menentukan keberhasilan proses pendidikan. Tanpa adanya peserta didik,

sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran. Sebabnya ialah karena


27

peserta didiklah yang membutuhkan pengajaran dan bukan guru, guru hanya

berusaha memenuhi kebutuhan yang ada pada peserta didik.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa

peserta didik adalah orang/individu yang mendapatkan pelayanan pendidikan

sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya agar tumbuh dan

berkembang dengan baik serta mempunyai kepuasan dalam menerima

pelajaran yang diberikan oleh pendidiknya, tidak terkecuali peserta didik

yang sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA).

Masa SMA yang memiliki rentan usia 15-18 tahun dapat dikatakan

sebagai masa peralihan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa atau lebih sering kita kenal dengan istilah masa remaja. Masa Remaja

merupakan suatu tahap transisi menuju ke status yang lebih tinggi, yaitu

status sebagai orang dewasa. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja

adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk

perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian

(Fagan, 2006). Hurlock (2011), menjelaskan bahwa istilah remaja atau

adolescence berasal dari kata lain adolescere yang berarti “tumbuh” atau

“tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, mempunyai arti yang lebih

luas, mencakup kematangan mental, intelektual, emosional, sosial, dan fisik.

Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget bahwa secara psikologis, masa

remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat

dewasa, dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang

lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurannya


28

dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak

aspek afektif yang kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Perubahan

intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk

mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya

merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Partini

(1996: 121) mengartikan remaja pada usia 18 tahun (adolescence) merupakan

masa yang secara hukum dipandang sudah matang, yang merupakan masa

peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup perubahan

biologis, kognitif, dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari

perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada

kemandirian.

Menurut Deswita (2006:192), juga mengungkapkan bahwa masa

remaja menunjukkan sifat-sifat masa transisi atau peralihan dengan jelas,

karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi

memilih status kanak-kanak. Remaja berada dalam status interim (sementara)

sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan

sebagian lagi diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan

prestise tertentu padanya. Status interim berhubungan dengan masa peralihan

yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa peralihan tersebut

diperlukan untuk mempelajari bahwa remaja mampu memikul tanggung

jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju masyarakatnya makin sukar

tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab ini. Suatu pendidikan yang

emansipatoris akan berusaha untuk melepaskan remaja dari status interim-nya


29

agar dia dapat menjadi dewasa yang bertanggung jawab. Maka dari itu, saat

menjadi peserta didik harus benar-benar serius.

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah

anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses

pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Jenjang taman

kanak-kanak (TK), menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 1990 disebut dengan anak didik. Adapun pada pendidikan dasar

dan menengah, menurut ketentuan Pasal 1 Peratuan Pemerintah Nomor 28

dan Nomor 29 Tahun 1990 disebut dengan peserta didik. Sementara pada

perguruan tinggi, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun

1990 disebut maha peserta didik.

Peserta didik juga mempunyai sebutan-sebutan lain seperti murid,

subjek didik, anak didik, pembelajar, dan sebagainya. Sebutan-sebutan yang

berbeda ini mempunyai maksud sama. Apapun istilahnya, yang jelas peserta

didik adalah mereka yang sedang mengikuti program pendidikan pada suatu

sekolah atau jenjang pendidikan tertentu.

Peserta didik merupakan subjek utama dalam pendidikan. Para

pendidik selalu berhubungan dengan peserta didik, tetapi setelah tugas

pendidik selesai, anak didik dituntut mengamalkan ilmu dalam kehidupan

bermasyarakat. Tugas utama peserta didik adalah belajar serta menuntut ilmu.

Peserta didik dituntut hidup mandiri, mampu menyelesaikan tugas-tugas

pendidikan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.


30

D. Gender

Pengertian gender menurut Muhtar (2002) diartikan sebagai jenis

kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial

berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih (2008: 8), mendefinisikan gender

sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan

yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Istilah gender dibedakan dari

istilah seks. Ann Oskley seorang ahli sosiologi asal Inggris merupakan orang

yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu (Saptari dan Halzner,

1997: 88).

Di dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender

adalah suatu konsep kultural yang serupa membuat perbedaan dalam hal

peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan

perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam

bukunya yang terkenal Sex and Gender: An Introduction mengartikan gender

sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (culture

expectation for women andmen). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

Mansour Fakih bahwa perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,

emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,

dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan,

misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional

dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu

dan dari tempat ke tempat lain. Demikian pula Ahmad Baidowi mengutip

pendapat Ann Oskley, yang berpendapat bahwa gender adalah sifat laki-laki
31

dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga tidak

identik dengan seks. Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum

feminis seperti Linda L. Linsey, yang menganggap semua ketetapan

masyarakat prihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan

adalah termasuk dalam bidang kajian gender.

H.T. Wilson dalam seks dan gender mengartikan gender sebagai suatu

dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada

kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi

laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari

sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-

budaya. Dia menekankannya sebagai konsep analisis (an analytic concept)

yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Sedangkan Nasaruddin

Umar, dkk mengartikan gender hanya semata-mata merujuk pada

karakteristik-karakteristik sosial, seperti perbedaan dalam gaya rambut, pola

pakaian, jenis pakaian, dan aktivitas lain yang secara kultural dipelajari.

Meskipun kata gender belum masuk dalam pembedaharaan Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah tersebut sudah lazim digunakan,

khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Wanita dengan ejaan “Jender”.

Jender diartikannya sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap

perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasanya

dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi

laki-laki dan perempuan.


32

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah

suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-

laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya yang dapat berubah sesuai

dengan perkembangan zaman. Hal ini mendefinisikan laki-laki dan

perempuan dari sudut non-biologis.

Amina Wadud Muhsin adalah seorang perempuan pemikir

kontemporer yang dilahirkan di Amerika pada tahun 1952. Dia seorang guru

besar pada Common Wealth University di Richmond, Virgina. Wadud

mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana

menafsirkan al-Qur’an agar dapat menghasilkan suatu yang sensitif gender

dan keadilan. Menurut Charlez Kurzman, penelitian Amina Wadud mengenai

perempuan dalam al-Qur’an yangtertuang dalam Qur’an and Woman muncul

dalam suatu konteks historis yang erat dengan pengalaman dan perkumpulan

perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender.

Selama ini sistem relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat sering

mencerminkan adanya bias patriarki sehingga mereka kurang mendapat

keadilan secara proporsional.

Julia C. Mosse menggambarkan bagaimana perbedaan gender dan

peran gender sesungguhnya telah mulai disosialisasikan melalui pendidikan,

kemasyarakatan, bahkan ke tingkat negara. Menurutnya gender adalah

seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater yang

menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.

Perangkat prilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian, sikap,


33

kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas,

tanggungjawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran

gender.

Mansour Fakih menjelaskan secara sederhana apa sebenarnya analisis

dan teori gender, sebagaimana layaknya teori sosial lainnya seperti analisis

kelas, analisis kultural dan analisis diskursus, adalah alat analisis untuk

memahami realitas sosial. Menurutnya untuk memahami konsep gender harus

dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis

kelamin sendiri merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin

manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin

tertentu. Sementara itu, Jaya Suprana menjelaskan bahwa genderisme adalah

suatu bentuk jenis mazhab keyakinan kultural tentang eksistensi biologi yang

seyogyanya hanya dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang ditentukan

secara ragawi pada setiap insan manusia sejak lahir.

E. Penelitian yang Relevan

Sebelum menentukan topik pembahasan tersebut, peneliti mencari

penelitian terdahulu yang relevan sebagai acuan dalam menentukan lokus dan

fokus yang akan menjadi bahan penelitian. Adapun beberapa penelitian

terdahulu yang relevan sebagai acuan tersebut akan dijelaskan sebagai

berikut.

1. Penelitian dari Wardani tahun 2018 yang mengulas tentang Pengaruh

Gender terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Program IPS


34

pada Mata Pelajaran Geografi. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa

gender memiliki pengaruh cukup tinggi terhadap kemampuan berpikir

kritis dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,421. Peserta didik

perempuan memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dari

peserta didik laki-laki. Melihat hasil penelitian tersebut, yang menjadi

perbedaan dengan topik pembahasan yang akan diteliti adalah tentang

berpikir kritis pada umumnya dan berpikir kritis matematis. Untuk itu

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang berikir kritis

matematis pada peserta didik di SMAN 1 Arosbaya, sebab peneliti

melihat adanya perbedaan prestasi yang cukup mencolok antara peserta

didik laki-laki dan peserta didik perempuan. Jadi yang cenderug lebih

berprestasi adalah peserta didik perempuan.

2. Penelitian dari Sulistiyawati & Andriani tahun 2017 yang mengulas

tentang Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Biologi

Berdasarkan Perbedaan Gender Siswa. Pada penelitian ini dijelaskan

bahwa bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis serta

perbedaan hasil belajar biologi yang signifikan antara peserta didik

kelompok yang dicampur dengan peserta didik kelompok dipisah

berdasarkan gender. Melihat hasil penelitian tersebut, yang menjadi

perbedaan dengan topik pembahasan yang akan diteliti adalah tentang

berpikir kritis pada pelajaran biologi dan berpikir kritis matematis pada

pelajarn matematika. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang berikir kritis matematis pada peserta didik di SMAN 1


35

Arosbaya, sebab peneliti melihat adanya rasa kurang berminat pada

pelajaran matematika. Misalkan pada pelajaran biologi dan matematika,

mereka cenderung lebih menyukai biologi daripada matematika. Maka

dari itu peneliti tertarik meneliti lebih dalam apakah ada kesulitan

tersendiri saat berpikir kritis pada pelajaran matematika.

3. Penelitian dari Beaton dalam Apriyono tahun 2015 yang mengulas

tentang Profil Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMP dalam

Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Gender. Pada penelitian

ini dijelaskan bahwa anak laki-laki cenderung memperoleh skor yang

lebih tinggi dari perempuan pada masalah yang meliputi representasi

bangun ruang, pengukuran, masalah dan yang kompleks. Perempuan

cenderung lebih memperoleh skor tinggi dari laki-laki dalam hal

komputasi, masalah yang sederhana, dan membaca grafik. Melihat hasil

penelitian tersebut, yang menjadi perbedaan dengan topik pembahasan

yang akan diteliti adalah tentang berpikir kritis antara pesserta didikk

smp dan peserta didik sma. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang berikir kritis matematis pada peserta didik di SMAN 1

Arosbaya, sebab peneliti ingin mengetahui apada saja perbedaan cara

berpikir kritis matematis antara peserta didik tingkat smp dan peserta

didik tingkat sma.


36
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dengan mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian, jenis

penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode

penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan fenomena sosial yang ada.

Penelitian deskriptif bukan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi untuk

menggambarkan apa yang berkaitan dengan variabel, gejala, atau situasi.

Jenis penelitian deskriptif ini dipahami sebagai penelitian yang bertujuan

untuk mendeskripsikan fakta-fakta yang sebenarnya sehingga peneliti dapat

memahami fenomena tersebut sebagai suatu masalah penelitian.

Penelitian deskriptif dalam penelitian ini berusaha untuk menjelaskan

tentang Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik

Ditinjau dari Perbedaan Gender Pada Kelas X SMAN 1 Arosbaya. Dalam hal

ini, penelitian ini akan mendeskripsikan apakah berjalan dengan sesuai atau

tidak. Selain itu, tipe penelitian deskriptif dilakukan melalui pengumpulan

data berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian,

laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk menggambarkan

hasil penelitian.

36
37

B. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari tahun 2022.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa dari kelas X SMAN 1

Arosbaya yang dipilih secara acak. Subjek pada penelitian ini terdiri dari 1

peserta didik laki-laki dan 1 peserta didik perempuan. Adapun langkah-

langkah pengambilan subjek dijelaskan sebagai berikut.

1. Membagi peserta didik kelas X SMAN 1 Arosbaya menjadi dua

kelompok, yakni terdiri dari kelompok laki-laki dan kelompok

perempuan.

2. Dipilih masing-masing satu subjek, yakni satu subjek dari kelompok laki-

laki dan satu subjek dari kelompok perempuan dengan tujuan peneliti

bisa mendapatkan hasil yang valid dari perbedaan gender ketika berpikir

kritis matematis.

Gambaran lebih jelasnya, peneliti menggunakan diagram alur

(flowchart) yang dijelaskan sebagai berikut.


38

Diagram Alur (flowchart) 3.1. Alur Pengambilan Subjek

Mulai

Pengelompokan peserta didik laki-laki dan perempuan

Pengambilan 1 subjek laki-laki dan perempuan

1 peserta didik laki-laki 1 peserta didik perempuan

Selesai

Keterangan:

: Alur maju : Hasil

: Kegiatan :

Awal/akhir kegiatan
39

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur

fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dalam penelitian kualitatif, yang

menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti

kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian,

memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,

menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat

kesimpulan atas temuannya. Hal tersebut senada dengan pendapat Nasution

bahwa dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan

manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya adalah segala

sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Sebagai instrumen

penunjang penelitian, peneliti menggunakan instrumen antara lain:

1. Soal tes

Tes adalah alat ukur yang sangat berharga dalam penelitian. Tes

adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan

untuk mengukur keterampilan pengetahuan yang dimiliki oleh individu

atau kelompok. Ada dua persyaratan pokok dari tes yang digunakan,

yakni validitas dan reliabilitas. Soal tes yang digunakan dalam penelitian

ini adalah bentuk tes uraian, yang berisi pertanyaan-pertanyaan berkaitan

dengan materi bilangan yang telah dipelajari. Soal tes diberikan pada

akhir pertemuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta

didik dengan pembelajaran Socrates kontekstual. Sebagai acuan berikut

adalah tabel indikator yang digunakan peneliti.


40

Tabel 3.1 Kriteria Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis

Klarifikasi Jawaban Peserta Didik


Indikator Kemampuan
Jawaban Salah Menjawab
Berpikir Kritis yang Tidak
atau Kurang Dengan
Diukur Menjawab
Tepat Tepat
Memberikan penjelasan
sederhana (elementary
clarification)
Membangun
keterampilan dasar (basic
support)
Menyimpulkan
Skor = 0 0 <Skor <4 Skor = 4
(inference)
Membuat penjelasan
lebih lanjut (advanced
clarification)
Menyusun strategi dan
taktik (Strategies and
Tactics)

Berdasarkan tabel 3.1. di atas dan mengacu pada pedoman

penskoran kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik

berdasarkan respon peserta didik terhadap soal dalam Daza Ismaimuza

(2010), maka peneliti membuat dan mengolah rubrik penskoran

berdasarkan kriteria dengan skor ideal 0–4 sebagai berikut.

Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis

Respon Peserta Didik Terhadap Soal Skor


Tidak menjawab atau memberikan jawaban yang salah. 0
Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting dari
1
soal yang diberikan.
Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting, tetapi
2
membuat kesimpulan yang salah.
Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting serta
membuat kesimpulan yang benar, tetapi melakukan 3
kesalahan dalam perhitungan.
Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting serta
membuat kesimpulan yang benar, serta melakukan 4
perhitungan yang benar.
41

2. Angket

Angket adalah instrumen non tes yang berupa daftar pertanyaan

yang harus dijawab oleh orang yang menjadi subjek dalam penelitian

(responden). Dalam penelitian ini digunakan angket berbentuk

pertanyaan dengan sifat terbuka yang di dalamnya terdapat kolom

komentar responden untuk pertanyaan. Angket dalam penelitian ini

digunakan untuk melihat bagaimana pendapat peserta didik tentang

proses belajar dengan pembelajaran Socrates kontekstual.

3. Lembar wawancara

Lembar wawancara digunakan peneliti untuk memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab

atau responden). Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang

berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu

proses pengumpulan data untuk suatu penelitian.

4. Media observasi

Dalam melakukan observasi diperlukan ingatan terhadap

observasi yang telah dilakukan sebelumnya. Karena umumnya manusia

memiliki sifat pelupa, maka diperlukan catatan-catatan (check-list), alat-

alat elektronik seperti kamera, video dan sebagainya.


42

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data, yaitu

observasi, tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi.

1. Observasi

Observasi dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung

dengan melakukan pengamatan dan pencatatan mengenai pelaksanaan

pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode Socrates dan

pendekatan kontekstual, serta perilaku dan aktivitas yang ditunjukkan

selama proses pembelajaran berlangsung tanpa mengganggu proses

pembelajaran.

2. Tes tertulis

Tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman

peserta didik terhadap materi pelajaran yang diberikan dan dikerjakan

oleh peserta didik secara individual. Tes tertulis ini digunakan untuk

mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam

mengorganisasi pengetahuannya ketika memecahkan masalah dan

persoalan matematika. Penelitian ini menggunakan tes berbentuk esai

(uraian) yang mencakup materi bilangan bulat.

2. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih

dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan

dilakukannya wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dimana

sang pewawancara memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab


43

oleh yang diwawancarai. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu

wawancara tidak terstruktur yang digunakan pada studi pendahuluan (pra

penelitian) untuk menemukan pokok permasalahan.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data

berupa tulisan dan gambar. Dokumentasi berbentuk tulisan, yaitu tes

kemampuan berpikir kritis dan berbentuk gambar yaitu foto saat proses

belajar dengan pembelajaran Socrates kontekstual.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat

pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam

periode tertentu. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Analisis data

dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan. Analisis data pada penelitian ini melalui tahap-tahap

sebagai berikut:

1. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian,

penyederhanaan, dan transformasi data mentah di lapangan. Bila terdapat

data yang valid, maka data tersebut dikumpulkan tersendiri yang

mungkindapat digunakan sebagai pelengkap data atau temuan

sampingan.
44

2. Penyajian data

Penyajian data yaitu mengidentifikasi dan menjelaskan data

yang ditemukan sehingga dapat diketahui profil berpikir peserta didik

dalam memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian masalah,

melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan memeriksa kembali

hasil yang diperoleh. Data yang disajikan berupa kalimat sistematis, tabel

atau bagan.

3. Penarikan kesimpulan

Langkah yang teakhir adalah verifikasi data atau penarikan

kesimpulan. Setelah data disajikan sedemikian rupa sehingga

dikategorikan dengan baik, maka langkah selanjutnya menarik

kesimpulan atau menginterpretasikan makna dari paparan data tersebut

dengan landasan yang kuat.

G. Langkah-Langkah Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat tiga tahap penelitian, yaitu:

1. Tahap persiapan

a. Penyusunan instrumen dalam penelitian ini meliputi soal tes serta

pedoman wawancara.

b. Validasi instrumen oleh validator mengenai soal tes dan pedoman

wawancara.

c. Meminta izin kepada pihak sekolah SMAN 1 Arosbaya untuk

melakukan penelitian disekolah tersebut.


45

d. Membuat kesepakatan dengan guru mata pelajaran matematika

mengenai kelas dan waktu pelaksanaan penelitian.

2. Tahap pelaksanaan

Soal tes diberikan kepada seluruh peserta didik yang telah

ditentukan. Sebelum mengerjakan tes, peneliti terlebih dahulu

membacakan petunjuk pengerjaan tes. Dalam tes ini dipilih 1 peserta

didik laki-laki dan peserta didik perempuan. Instrumen ini berupa soal tes

yang menguji kemampuan berpikir kritis matematis.

3. Tahap akhir

Pada tahap akhir ini peneliti melakukan kegiatan sebagai

berikut.

a. Menganalisis data yang diperoleh dari hasil tes dan hasil wawancara

untuk memperoleh data yang akurat.

b. Menarik kesimpulan untuk menarik rumusan masalah.

c. Menyusun laporan akhir.


46

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qhomairi, A. (2014). Penerapan Metode Socrates pada Pembelajaran


Matematika dengan Pendekatan Kontekstual Ditinjau dari Proses Belajar
dan Kemampuan Berpikir Kritis (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada
Peserta didik Kelas X SMA Negeri 15 Bandar Lampung Semester
Genap T.P 2012/2013). Skripsi, Lampung: Unila.
http://digilib.unila.ac.id/1801/

Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Daryanto. (2012). Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Agama RI. (2011). Alhidayah Al-qur’an Tafsir per Kata Tajwid
Kode Angka. Banten: PT. Kalim.

Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis


Peserta Ddidik SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
Strategi Konflik Kognitif. Bandung: UPI.

Komalasari, K. (2014). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi.


Bandung: PT. Refika Aditama.

Muslich, M. (2008). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.


Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Peter, E. E. (2012). Critical Thinking: Essence for Teaching Mathematics and


Mathematics Problem Solving Skills. African Journal of Mathematics
and Computer Science Research. ISSN: 2006-9731.
47

Putra, N. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan. Jakarta: Rajawali


Pers.
Purwoto. (1996). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.

Sudijono, A. (2011). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo

Persada.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. (2013). Bandung: Alfabeta.

Suherman. (2015). Kreativitas Peserta didik dalam Memecahkan Masalah


Matematika Materi Pola Bilangan dengan Pendekatan Matematika
Realistik (PMR). Jurnal Al-Jabar Pendidikan Matematika IAIN Raden
Intan Lampung, 6(1).

Sundayana, R. (2014). Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Surya, M. (2015). Strategi Kognitif dalam Proses Pembelajaran. Bandung:


Alfabeta.

Syazali, M. & Novalia. (2014). Olah Data Penelitian Pendidikan. Bandar


Lampung: Anugrah Utama Raharja.

Wahid, A., & Mustaqim. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Yudhanegara, M. R., & Lestari, K. E. (2015). Penelitian Pendidikan Matematika.


Bandung: PT Refika Aditama.

Zain, A. & Djamarah, S. B. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka


Cipta.

Dewi, S. C. (2015). Implementasi Model PBL dengan Pendekatan Realistik


Berbantuan Edmodo untuk Meningkatkan Literasi Matematika Siswa
Kelas VII. Skripsi diterbitkan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rasiman. (2013). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Melalui
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Matematika Realistik.
AKSIOMA: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 4 (2).
48

Jumaisyaroh, T., Napitupulu, E.E., & Hasratuddin. (2014). Peningkatan


Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa
SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Kreano, 5 (2).
ISSN: 2086-2334.
Agustina, R. (2014). Proses Berpikir Siswa SMA dalam Penyelesaian Masalah
Aplikasi Turunan Fungsi Ditinjau dari Tipe Kepribadian Choleris.
Aksioma, 3 (1).
Yuwono, A. (2010). Profil Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Matematika
Ditinjau dari Tipe Kepribadian. Tesis diterbitkan. Surakarta: Program
Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret.
Ambarawati, Mika, Merdiyana, & Subandi, Sri. (2014). Profil Proses Berpikir
Kritis Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Surakarta dalam Memecahkan
Masalah Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
(SPLDV) Ditinjau dari Kecerdasan Majemuk dan Gender. Jurnal
Elektronik Pembelajaran Matematika, 2 (9): 984-994. ISSN: 2339-1685.
Kholid, I. (2018). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pemecahan
Masalah Matematika (Studi Multi Kasus pada Siswa Kelas V Madrasah
Ibtidaiyah Miftahul Ulum Batu dan Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim
03 Malang). Skripsi diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Wardani, Wahyu, Astina, I Komang & Susilo, Singgih. (2018). Pengaruh Gender
terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Program IPS pada
Mata Pelajaran Geografi. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan
Pengembangan, 3 (12).
Sulistiyawati & Andriani, C. (2017). Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil
Belajar Biologi Berdasarkan Perbedaan Gender Siswa. Wacana
Akademika, 1 (2).
Apriyono, F. (2015). Profil Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMP dalam
Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Gender. Tesis tidak
diterbitkan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Hendriana, H., Rohaeti Euis, E., & Sumarmo, U. (2017). Hard Skills dan Soft
Skills Matematik Siswa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Somakim, S. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendidikan Matematika
Realistik. Majalah Ilmiah Jurusan PMIPA FKIP UNSRI, 14(1): 42-48.
Santrock, J. W. (2007). Life-Span Development, (3rd ed.). New York: McGraw-
Hill.

Anda mungkin juga menyukai