Anda di halaman 1dari 31

Nama : Fardan Muhammad Rizqin Januar Fadhilah

NIM : 11520026
Kelompok : A1

PRAKTIKUM BIOMETRI HUTAN BW-2204

STRUKTUR UMPAN BALIK POSITIF, NEGATIF, DAN MODEL-MODEL


PERTUMBUHAN

1. Struktur Umpan Balik Positif


a. Diagram

Gambar 1.a.1 Model Struktur Umpan Balik Positif per Kondisi


b. Grafik

Gambar 1.b.1 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 1.b.2 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10
Ekor dengan Fraksi 7%
Gambar 1.b.3 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 5 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 1.b.4 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 5 Ekor
dengan Fraksi 7%
Gambar 1.b.5 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 3,5%

Gambar 1.b.5 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 3,5%
Gambar 1.b.5 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 14%

Gambar 1.b.5 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 14%

c. Tabel
Gambar 2.c.1 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 2.c.2 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 5 Ekor dengan
Fraksi 7%
Gambar 1.c.3 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 3,5%

Gambar 1.c.4 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 10 Ekor
dengan Fraksi 14%

d. Analisis
Menurut pendapat Darmono (2005), variabel-variabel yang ada pada suatu
sistem dan berinteraksi sehingga terjadi umpan balik dan berkesinambungan
membentuk pola yang kuat untuk saling bertumbuh atau berkembang, dimana
pola pertumbuhan ini didasari oleh pola eksponensial. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar 1.b.1-1.b.5 dimana nilai dari populasi badak memberikan umpan
balik positif sehingga meningkatkan nilai variabel parameter lainnya.
Berdasarkan gambar yang sama, seiring bertambahnya laju kelahiran badak,
populasi badak pun terus bertambah selama rentang waktu 50 tahun. Kondisi
meningkatnya laju kelahiran dan populasi badak tidak hanya terjadi pada satu
kondisi, melainkan pada seluruh kondisi baik pada jumlah awal 10 ekor badak
atau 5 ekor badak serta dengan fraksi 3,5%; 7%; dan 14%. Semuanya
menunjukkan umpan balik positif. Hal ini didukung oleh pernyataan Shirley
(2019) bahwa peningkatan suatu variabel yang diikuti dengan peningkatan
variabel lainnya atau sebaliknya menandakan korelasi yang positif (berbanding
lurus). Tingginya nilai fraksi dan jumlah awal badak mempengaruhi hasil akhir
populasi dimana semakin tinggi fraksi dan jumlah awal populasi maka hasil
akhir populasi akan semakin besar.
Berdasarkan Gambar 1.c.1 dengan kondisi awal 10 ekor badak dan fraksi
kelahiran 7% menghasilkan populasi pada tahun ke-50 sebanyak 331 ekor.
Berdasarkan Gambar 1.c.2 dengan kondisi awal 5 ekor badak dan fraksi
kelahiran 7% menghasilkan populasi pada tahun ke-50 sebanyak 165 ekor.
Berdasarkan Gambar 1.c.3 dengan kondisi awal 10 ekor badak dan fraksi
kelahiran 3,5% menghasilkan populasi pada tahun ke-50 sebanyak 57 ekor.
Berdasarkan Gambar 1.c.4 dengan kondisi awal 10 ekor badak dan fraksi
kelahiran 14% menghasilkan populasi pada tahun ke-50 sebanyak 10.966 ekor.
Dapat diperhatikan bahwa fraksi laju kelahiran memberikan pengaruh yang
signifikan. Menurut Akhmaddhian (2013), hal ini menandakan bahwa fungsi
konservasi sebagai wadah untuk meningkatkan keanekaragaman spesies dan
penjaga kualitas hidup berjalan dengan optimal.
2. Struktur Umpan Balik Negatif
a. Diagram

Gambar 2.a.1 Model Struktur Umpan Balik Negatif per Kondisi

b. Grafik
Gambar 2.b.1 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 2.b.2 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 7%
Gambar 2.b.3 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 100 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 2.b.4 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 100 Ekor
dengan Fraksi 7%
Gambar 2.b.5 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 3,5%

Gambar 2.b.6 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 3,5%
Gambar 2.b.7 Grafik Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 14%

Gambar 2.b.8 Grafik XY Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 14%

c. Tabel
Gambar 2.c.1 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 7%

Gambar 2.c.2 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 160 Ekor
dengan Fraksi 7%
Gambar 2.c.3 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 3,5%

Gambar 2.c.3 Tabel Hubungan Populasi dan Laju dengan Kondisi Awal 320 Ekor
dengan Fraksi 14%

d. Analisis
Menurut pendapat Darmono (2005), variabel-variabel yang ada
pada suatu sistem dan berinteraksi sehingga terjadi umpan balik dan
berkesinambungan membentuk pola peningkatan mencapai maksimum
atau penurunan mendekati nol. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.b.1-
2.b.6 dimana nilai dari populasi macan tutul memberikan umpan balik
negatif seiring peningkatan nilai variabel parameter lainnya, dalam hal ini
laju kematian. Berdasarkan gambar yang sama, seiring bertambahnya laju
kematian macan tutul, populasi macan tutul terus berkurang selama
rentang waktu 50 tahun. Kondisi meningkatnya laju kelahiran dengan
berkurangnya populasi macan tutul tidak hanya terjadi pada satu kondisi,
melainkan pada seluruh kondisi baik pada jumlah awal 320 ekor badak
atau 160 ekor badak serta dengan fraksi 3,5%; 7%; dan 14%. Semuanya
menunjukkan umpan balik negatif. Hal ini didukung oleh pernyataan
Shirley (2019) bahwa peningkatan suatu variabel akan mempengaruhi
peningkatan atau penurunan nilai variabel lainnya. Tingginya nilai fraksi
dan jumlah awal macan tutul mempengaruhi hasil akhir populasi dimana
semakin tinggi fraksi kematian dan semakin sedikit jumlah awal populasi
maka hasil akhir populasi akan semakin kecil.
Berdasarkan Gambar 2.c.1 dengan kondisi awal 320 ekor macan
tutul dan fraksi kematian 7% menghasilkan populasi pada tahun ke-50
sebanyak 8 ekor. Berdasarkan Gambar 2.c.2 dengan kondisi awal 160
ekor macan tutul dan fraksi kelahiran 7% menghasilkan populasi pada
tahun ke-50 sebanyak 4 ekor. Berdasarkan Gambar 2.c.3 dengan kondisi
awal 320 ekor macan tutul dan fraksi kelahiran 3,5% menghasilkan
populasi pada tahun ke-50 sebanyak 53 ekor. Berdasarkan Gambar 2.c.4
dengan kondisi awal 320 ekor badak dan fraksi kelahiran 14%
menghasilkan populasi pada tahun ke-50 sebanyak 0 ekor. Dapat
diperhatikan bahwa fraksi laju kelahiran memberikan pengaruh yang
signifikan. Menurut Akhmaddhian (2013), hal ini menandakan bahwa
fungsi konservasi sebagai wadah untuk meningkatkan keanekaragaman
spesies dan penjaga kualitas hidup dapat berjalan optimal apabila angka
laju kematian dapat ditekan.
3. Linear Growth and Decline
a. Equation

Gambar 3.a.1 Equation dari Model Linear Growth and Decline

b. Diagram

Gambar 3.b.1 Model Linear Growth and Decline

c. Grafik

Gambar 3.c.1 Grafik dari Model Linear Growth and Decline


4. Model Pertumbuhan Eksponensial
a. Equation

Gambar 4.a.1 Equation Model Pertumbuhan Eksponensial

b. Diagram

Gambar 4.b.1 Model Pertumbuhan Eksponensial

c. Grafik

Gambar 4.c.1 Grafik Model Pertumbuhan Eksponensial


5. Sigmoid Growth
a. Diagram

Gambar 5.a.1 Model Sigmoid Growth

b. Equation

Gambar 5.b.1 Equation dari Model Sigmoid Growth


6. Model Overgrowth and Collapse
a. Equation

Gambar 6.a.1 Equation dari Model Overgrowth and Collapse


Diagram

b. Diagram

Gambar 6.b.1 Model Overgrowth and Collapse

c. Grafik

Gambar 6.c.1 Grafik dari Model Overgrowth and Collapse


7. Model Struktur Osilasi: Kelinci dan Serigala
a. Diagram

Gambar 7.a.1 Model Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap


1000 tahun)
Gambar 7.a.2 Model Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap
10 tahun)

b. Grafik

Gambar 7.b.1 Grafik Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap 1000
tahun)
Gambar 7.b.2 Grafik Hubungan Kelahiran dan Populasi Kelinci (Kebijakan
Perburuan Serigala setiap 1000 tahun)
Gambar 7.b.3 Grafik Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap 10 tahun)

Gambar 7.b.4 Grafik Hubungan Kelahiran dan Populasi Kelinci (Kebijakan


Perburuan Serigala setiap 10 tahun)

c. Tabel
Gambar 7.c.1 Tabel Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap 1000 tahun)

Gambar 7.c.2 Tabel Struktur Osilasi (Kebijakan Perburuan Serigala setiap 10 tahun)

d. Analisis
Berdasarkan Gambar 7.b.1 dan 7.b.3 dapat diperhatikan hubungan antara
variabel jumlah individu kelinci dan jumlah individu serigala pada lahan seluas
1000 km2 selama rentang waktu 22 tahun. Menurut Sutjahjo (2018), terdapat
hubungan antara pemangsa dan mangsa dimana ketika jumlah mangsa
menurun akan berdampak pada penurunan jumlah pemangsa karena dalam hal
ini mangsa menjadi sumber makanan bagi pemangsa untuk bertahan hidup. Hal
ini ditunjukkan pada gambar yang sama dimana ketika jumlah individu kelinci
meningkat maka berdampak pada peningkatan jumlah individu serigala dan
begitupun sebaliknya.
Berdasarkan Gambar 7.c.1 dan 7.c.2 dapat dibandingkan dampakk
metode perburuan serigala 1000 tahun dengan perburuan serigala 10 tahun
sekali, mempengaruhi hasil akhir populasi serigala dan kelinci pada tahun ke
22. Dengan menggunakan metode perburuan serigala 1000 tahun sekali
menghasilkan populasi akhir serigala pada tahun ke-22 sebanyak 1.232 ekor
dan dengan menggunakan metode perburuan serigala 10 tahun sekali
menghasilkan populasi akhir serigala pada tahun ke-22 sebanyak 1.152. Dapat
diperhatikan bahwa semakin pendek jarak perburuan maka hasil akhir populasi
serigala semakin sedikit. Disisi lain, dapat diperhatikan melalui gambar yang
sama, dengan meningkatnya jumlah individu kelinci akan berdampak pada
peningkatan jumlah individu serigala. Hal ini didukung oleh pernyataan
Shirley (2019) bahwa peningkatan suatu variabel yang diikuti dengan
peningkatan variabel lainnya atau sebaliknya menandakan korelasi yang positif
(berbanding lurus).
8. Model Batas Pertumbuhan/Batas Keberhasilan: Tikus Norwegia
a. Diagram

Gambar 8.a.1 Model Batas Pertumbuhan/Keberhasilan Tikus Norwegia

b. Equation

Gambar 8.b.1 Equation dari Model Batas Pertumbuhan/Keberhasilan Tikus Norwegia

c. Grafik
Gambar 8.c.1 Hubungan Populasi Tikus dengan Laju Kelahiran dan Kematian

Gambar 8.c.2 Laju Kematian Tikus per Bulan


Gambar 8.c.3 Laju Kelahiran Tikus per Bulan

d. Tabel

Gambar 8.d.1 Tabel Populasi, Laju Kelahiran dan Kematian Tikus

e. Analisis
Berdasarkan Gambar 8.c.1 dapat diperhatikan hubungan populasi tikus
dengan laju kelahiran dan kematian selama 100 bulan. Pada gambar yang sama
dapat diketahui bahwa laju kelahiran mencapai nilai tertinggi sekitar bulan ke-
26 hingga bulan ke-30. Tidak hanya laju kelahiran namun juga laju kemarian
meningkat pada rentang waktu yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Lestari (2018) dimana pada suatu populasi dapat
terjadi kondisi dimana laju kelahiran dan kematian yang sama akibat kondisi
dan syarat lingkungan ideal sudah mencapai batasnya. Walaupun peningkatan
terjadi pada waktu yang bersamaan namun angka laju kelahiran lebih tinggi
dibanding kematian disebabkan karena rasio masa hidup dan fertilitas tikus
yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmaddhian, S. (2013). Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Hutan Koservasi


Berdasrkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan (Studi di
Kabupaten Kuningan). Jurnal Dinamika Hukum, 13(3), 446–456.
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/250
Darmono, R. (2005). Pemodelan System Dynamics Pada Perencanaan Penataan Ruang
Kota. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2005 (SNATI 2005),
2005(Snati), B5–B10.
Lestari, P. (2018). Perbedaan Angka Kuman Udara Sebelum Dan Sesudah Penyinaran
Lampu Ultraviolet 90 Watt Di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Yogyakarta, 6(19), 387–387.
Shirley, M. (2019). Analisis korelasi 1. Vol 3, 1–26.

Anda mungkin juga menyukai