Anda di halaman 1dari 24

MEKANISME INFEKSI DALAM PSIKONEUROIMUNOLOGI

Dosen Pengampu : Anik Supriani, S.Kep.,Ns.,M.Kes

Disusun Oleh

Kelompok 2

- Alif Mahfudzoh 0120004


- Dwi Ari Herdiansyah 0120011
- Elsa Dwi Cahyaningrum 0120016
- Ika Ernawati 0120017
- Moh.Throikul Anwar 0120022
- Nur Halimatus Sya’diah 0120028
- Ulfatun Nisa 0120035
- Velsya Venotya 0120036
- Wahyuningsih Putri Erna 0120037

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA

MOJOKERTO

2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt serta shalawat dan salam kami sampaikan
hanya bagi tokoh dan teladan kita Nabi Muhammad SAW. Diantara sekain banyak nikamt Allah SWT. Yang
membawa kita dari kegelapan ke dimensi terang yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia,sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu. Adapun
maksud dari pembuatan makalah ini kami membahas mengenai mekanisme infeksi dalam
osikoneuroimunologi

Segala sesuatu yang salah datangnya hanya dari manusia dan seluruh hal yang benar datangnya dari
Tuhan, meski begitu tentu tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harap
kami semoga tugas ini bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi pembaca lain pada umumnya.

Mojokerto, 21 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................4
LATAR BELAKANG...................................................................................................................................4
RUMUSAN MASALAH...............................................................................................................................4
TUJUAN.........................................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
KONSEP INFEKSI.......................................................................................................................................6
DEFINISI........................................................................................................................................................6
1.1.1. Tanda dan Gejala...............................................................................................................................7
1.1.2. Pohon Masalah....................................................................................................................................8
1.1.4. Penatalaksanaan Medis......................................................................................................................8
PROSES INFLAMASI..................................................................................................................................9
1.1.5. Mekanisme Inflamasi.........................................................................................................................9
UPAYA MIKROORGANISME UNTUK MENGHINDARI RESPON IMUN.....................................10
RESPON IMUN PADA INFEKSI MIKROORGANISME.....................................................................14
PENGARUH PSIKIS DALAM PROSES INFEKSI................................................................................21
BAB III PENUTUP......................................................................................................................................23
KESIMPULAN............................................................................................................................................23
SARAN..........................................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................24
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut dengan sistem imun dan reaksi yang
dikoordinasi sel-sel dan molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imun. Sistem
imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung
gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel inang dan berkembang biak intraseluler dengan
menggunakan sumber energi sel inangnya. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat
menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak pula yang tidak berbahaya
bahkan berguna untuk sel inang.

Pertahanan imun terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik (native/innate) dan didapat atau
spesifik (acquired/adaptive). Mekanisme fisiologik imunitas nonspesifik berupa komponen normal tubuh
yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ke tubuh dan dengan cepat
menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih
meningkat selama fase akut pada banyak macam penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan
terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan
terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung.

Sistem imun nonspesifik terdiri atas pertahan fisik / mekanik yaitu kulit, selaput lendir, silia saluran
nafas, batuk dan bersin. Selain pertahanan fisik juga terdapat pertahanan biokimia termasuk lisozim, sekresi
sebaseus, asam lambung, laktoferin, asam neuraminik. Kemudian pertahanan humoral
(komplemen,interferon dan CRP) serta pertahan seluler (fagositosis, sel NK, sel mast dan basofil).Sistem
imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing
yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi
sel-sel imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian
dihancurkan olehnya. Oleh karena itu sistem ini hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal
sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik.

Sistem imun spesifik dibagi dua kelompok yaitu sistem imun humoral, sel B melepas antibodi untuk
menyingkirkan mikroba ekstraseluler dan sistem imun seluler dimana sel T akan mengaktifkan mikroba atau
mengaktifkan sel Tc (Tcytotoxic) untuk membunuh sel yang terinfeksi.

1.2. RUMUSAN MASALAH


a) Bagaimana konsep infeksi dalam psikoneuroimunologi
b) Bagaimana proses Inflamasi dalam psikoneuroimunologi
c) Bagaiman upaya mikroorganisme untuk menghindari respon imun
d) Bagaimana respon imun pada infeksi mikroorganisme
e) Bagaimana pengaruh psikis dalam proses infeksi
1.3. TUJUAN
a) Untuk mengetahui konsep infeksi dalam psikoneuroimunologi
b) Untuk mengetahui proses Inflamasi dalam psikoneuroimunologi
c) Untuk mengetahui upaya mikroorganisme untuk menghindari respon imu
d) Untuk mengetahui respon imun pada infeksi mikroorganisme
e) Untuk mengetahui pengaruh psikis dalam proses infeksi
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. KONSEP INFEKSI
2.1.1. DEFINISI

Infeksi adalah invasi tubuh oleh pathogen atau mikroorganisme yang mampu
menyebabkan sakit (Potter&Perry,2005). Infeksi nosocomial adalah infeksi yang
diakibatkan oleh pemberian
layanan kesehatan dalam fasilitas perawatan kesehatan.
Infeksi iatrogenic adalah infeksi nosocomial yang diakibatkan oleh prosedur
diagnostic atau tereapeutik. Infeksi nosocomial dapat terjadi secara eksogen atau
endogen. Infeksi secara eksogen didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap
individu yang bukan merupakan flora normal, contohnya organisme Salmonella. Infeksi
endogen terjadi bila sebagian dari flora normal dari pasien berubah dan terjadi
pertumbuhan berlebihan.contohnya infeksi yang disebabkan
enterokokus, ragi dan streptokokus.
Beberapa faktor yang mencetuskan risiko infeksi pada pasien menurut Potter & Perry (2005)
adalah:
1) Agen
Agen itu penyebab infeksinya, yaitu mikroorganisme yang masuk bisa karena agennya
sendiri atau karena toksin yang dilepas.
2) Host
Host itu yang terinfeksi, jadi biarpun ada agen, kalau tidak ada yang bisa dikenai,
tidak ada infeksi..Host biasanya orang atau hewan yang sesuai dengan
kebutuhan agen untuk bisa
bertahan hidup atau berkembang biak.
3) Environment (lingkungan)
Environment itu lingkungan di sekitar agen dan host, seperti suhu, kelembaban,
sinar matahari, oksige dan sebagainya. Ada agen tertentu yang hanya bisa bertahan
atau menginfeksi pada keadaan lingkungan yang tertentu juga.
2.1.2. Tanda dan Gejala

Tanda dan Gejala yang lazim terjadi, pada infeksi (Smeltzer, 2002) sebagai berikut :
1. Rubor
Rubor atau kemerahan merupakan hal yang pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke
daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi local dan kapiler
meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah local karena peradangan akut.
2. Kalor
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula
oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37 derajat celcius
disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal.
3. Dolor
Perubahan pH local atau konsentrasi local ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamine atau bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
disebabkan pula oleh tekanan meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
4. Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.
5. Functio Laesa
Merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara
mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang.
2.1.3. Pohon Masalah

2.1.4.Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang langsung berhubungan dengan infeksi antara lain pemeriksaan
darah lengkap yang meliputi: hemoglobin, leukosit, hematokrit, eritrosit, trombosit, MCH,
MCHV, hitung jenis: basofil, eosinofil, batang segmen, limfosit, dan monosit, kimia klinik: LED,
GDS, dan albumin.

2.1.5. Penatalaksanaan Medis

a. Aseptic
Tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan
semua usaha yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang
kemungkinan besar akan mengakibatkan infeksi. Tujuan akhirnya adalah mengurangi atau
menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati
agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan.

b. Antiseptic
Upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainnya.
c. Dekontaminasi
Tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis
sebelum pencucian dilakukan. Contohnya adalah meja pemeriksaan,
alat-alat kesehatan dan sarung tangan yang terkontaminasi oleh
darah atau cairan
tubuh disaat tindakan dilakukan.
d. Pencucian
Tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh, atau setiap benda asing
seperti debu dan
kotoran
e. Sterilisasi
Tindakan menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, jamur, parasite dan
virus) termasuk
bakteri endospore dari benda mati
f. Desinfeksi
Tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dari benda mati. Desinfeksi
tingkat tinggi dilakukan dengan merebus atau menggunakan larutan
kimia. Tindakan ini dapat menghilangkan semua mikroorganisme,
kecuali beberapa bakteri
endospore.

2.2. PROSES INFLAMASI

2.2.1. Mekanisme Inflamasi


Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran
darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah karena
terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah
(hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian
tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang
dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi
longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui
dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk
menghadapi serangan benda-benda asing.
2. Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah
yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan
terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit
(Mansjoer, 1999).
Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi
(histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi),
Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit).

2.3. UPAYA MIKROORGANISME UNTUK MENGHINDARI RESPON IMUN


1) Mekanisme virus mengindari respon imun :
 Virus mengubah antigen (mutasi)

Antigen merupakan sasaran antibodi atau sel T yang memiliki jumlah yang sangat
besar terdiri dari strain yang berbeda genetiknya. Hal ini menyebabkan virus dapat menjadi
resisten terhadap respon imun yang ditimbulkan oleh infeksi terdahulu, misalnya pandemi
influenza. HIV-1 yang menjadi penyebab AIDS juga menunjukkan sejumlah variasi antigen.

 Virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang berhubungan


dengan molekul MHC-I

Akibatnya sel yang terinfeksi tidak dapat dikenali oleh sel CD8+/CTL. Untuk keadaan
seperti ini, sel NK dapat membunuh sel terinfeksi dengan virus teradaptasi tersebut, karena
sel NK dapat diaktifkan tanpa bantuan molekul MHC-I.

 Virus memproduksi yang mencegah imunitas nonspesifik dan spesifik

Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa sitokin seperti IFN-γ,
TNF, IL-1, IL-18 dan kemokin dan molekul-molekul tersebut dapat dilepas oleh sel terinfeksi
dan dapat berfungsi sebagai antagonis sitokin. Virus sitomegalo memproduksi molekul yang
homolog dengan protein MHC-I dan dapat berfungsi kompetitif untuk mengikat dan
mempresentasikan antigen peptida. Virus Epstein-Barr memproduksi protein homolog
dengan sitokin IL-10 (supresif untuk makrofag) sehingga virus dapat mencegah fungsi
makrofag.

 Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imunokompeten


 HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4+B
yang merupakan kunci regulator respon imun terhadap antigen protein.

2) Mekanisme jamur menghindari respon imun

Sistem imun yang sempurna akan mampu mengeliminasi seluruh patogen (bakteri,
parasit maupun jamur) yang masuk dalam tubuh host. Namun, pada kenyataannya tiap
patogen mempunyai mekanisme tertentu untuk dapat menghindar dari sistem imun host.
Secara umum terdapat enam mekanisme yang memungkinkan bagi jamur untuk menghindar
dari sistem imun host.

Mekanisme tersebut antara lain :

1. Menghindari pengenalan struktur PAMPs yang menginduksi respon inflamasi.


Jamur mampu beradaptasi terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan
bagi perkembangannya melalui perubahan bentuk morfologi (switching fenotip).
a. fumigatus menghindari sistem imun proinflamasi (respon imun seluler) melalui
pembentukan hifa. Bentuk morfologi hifa akan dikenali oleh sel imun humoral
melalui struktur TLR4.6,7
b. Albicans menghindari sistem imun seluler melalui bentuk nas (budding). Bentuk
morfologi ini akan sulit dikenali oleh dektin-1 oleh karena terjadinya penutupan
pada struktur β-glukan
c. Histoplasma capsulatum menghindari sistem imun seluler melalui penutupan
struktur β-glukan oleh glukan. Struktur glukan ini tidak mampu dikenali oleh
PRRs
d. Cryptococcus neoformans menghindari sistem imun seluler melalui penutupan
struktur glukoronoksilomanan (GXM) dengan kapsul ekstraseluler. Hal ini akan
mengakibatkan penekanan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-1β
e. Coccidiodes Posadasii menghindari sistem imun seluler melalui sekresi
metalloproteinase (Mep1) yang mampu mendestruksi struktur PAMPs
Coccidiodes Posadasii di fase endospora yang berupa SOWgp

2. Modulasi sinyal inflamasi


a. Albicans dan Fumigatus menghindari sistem imun seluler melalui induksi
pengenalan PAMPs melalui TLR2. Aktivasi sistem imun humoral akan
menghambat aktivitas antihifa dan proses respiratory bust oleh monosit
b. neoformans memiliki kapsul yang mengandung polisakarida
glukoronoksilomanan yang merupakan aktivator antiinflamasi IL-10 oleh monosit
dan aktivator sitokin proinflamasi Th2.7
c. neoformans memiliki pigmen melanin yang akan menginduksi sekresi sitokin IL-4
dari Th2.7
d. Blastomyces dermatitidis (penyebab mikosis pulmoner dan sistemik yang
progresif) menghindari sistem imun dengan cara membatasi produksi sitokin pro-
inflamasi TNF-α. Hal ini diperantarai oleh perlekatan antara molekul adhesi dan
faktor virulensi yang berada dipermukaan jamur dengan reseptor komplemen 3
pada permukaan makrofag

3. Pembentukan molekul pengumpan pada permukaan sel jamur (Shedding of decoy


conents).
Pada dasarnya pembentukan molekul pengumpan yang mirip dengan struktur
PAMPS pada permukaan sel jamur akan menggantikan fungsi pengenalan antara
PAMPS dengan PRRs yang sesuai. Dengan terjadinya pengenalan pada struktur ini,
maka akan terjadi bloking pada reseptor PRRs. Pneumocystis jiroveci (sebelumnya
dikenal dengan Pneumocystis carinii) membentuk strukur kompleks antigen
permukaan yang imatur sebagai molekul pengumpan. Antigen permukaan
Pneumocystis jiroveci pada keadaan matur tersusun atas komplek glikoprotein A
(GpA) yang terglikolisasi dengan mannose, glukosa, dan galaktosa.
Antigen ini akan dikenali oleh reseptor mannose pada permukaan makrofag
alveolar (AMs). Pembentukan kompleks antigen yang imatur akan mengakibatkan
terjadinya blok secara kompetitif terhadap fungsi reseptor mannose. Peristiwa ini akan
mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi fagositosis pada sel makrofag. Selain itu,
Pneumocystis juga mampu menghindari pengenalan reseptor manose yang terdapat
dalam bentuk sekresi

4. Menghindar dari respon fagositosis

Salah satu cara yang dilakukan oleh jamur untuk dapat menghindari immune
surveillance dan fagositosis, adalah dengan cara bersembunyi pada sel yang bersifat
nonfagositik

a. Konidia fumigatus dapat diinternalisasi di dalam sel lini epithelial manusia dan
mampu hidup dalam jangka waktu yang lama. Konidia yang diinternalisasi oleh sel
epitel saluran nafas akan menghambat produksi sitokin pro-inflamasi IL-6 dan IL-8,
sedangkan konidia yang diinternalisasi oleh sel pneumosit tipe II akan bersembunyi
didalam late endosom.
b. albicans mampu menginduksi internalisasi oleh sel endothelial host melalui N-
cadherin.2
c. neoformans mampu menginduksi internalisasi pada sel endothelial mikrovaskuler
sehingga mampu melewati sawar darah otak dan menyebabkan meningitis

5. Kemampuan bertahan dengan cara membentuk morfologi yang baru (persistence


despite adversity).
Pada dasarnya melalui mekanisme ini, jamur yang telah diinternalisasi akan
bertahan dari mekanisme destruksi sel fagositik dengan cara membentuk morfologi yang
baru.

a. neoformans membentuk varian koloni mukoid yang mampu memproduksi kapsul


polisakarida GXM yang lebih besar. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi
makrofag alveolar untuk dapat melakukan fagositosis. Neoformans yang berhasil
difagositosis oleh makrofag juga akan bertahaan hidup dengan cara menghambat
trafficking lisosom untuk mencegah fusi dengan fagosom serta menginduksi
terjadinya vakuolisasi sitoplasmik pada sel makrofag.
b. albicans yang diinternalisasi dalam makrofag mampu menghindar dari proses
destruksi melalui berbagai proses. Upaya yang pertama untuk menghindari proses
destruksi intraseluler adalah dengan membentuk fase hibernasi. Pada tahap
selanjutnya mekanisme menghindar yang dilakukan adalah melalui induksi fusi
lisosom dengan fagosom pada fase dini (early endosom). Aktivasi terhadap gen
NOscavenging flavohemoglobin, mampu mengubah zat NO yang diproduksi oleh
makrofag menjadi senyawa lain dengan toksisitas yang lebih rendah. Semua proses
tersebut akan memfasilitasi jamur untuk menghindari proses destruksi intraseluler
sehingga mampu berkembang menjadi bentuk morfologi hifa.
c. Histoplasma capsulatum dapat hidup dalam jangka panjang didalam sel makrofag
dengan cara menghambat fusi fagolisosom, mengatur PH fagolisosom, serta
menghambat pelepasan toxic superoxide radicals

6. Evasi komplemen.

Jamur memiliki dinding sel yang tebal dan bersifat resisten terhadap pembentukan
Membrane Attack Complex (MAC) oleh sistem komplemen. Sekresi pigmen melanin pada
permukaan konidia Fumigates akan menghambat deposisi komplemen C3 dan menghambat
aktivasi netrofil. Konidia A. fumigates juga menekan (down regulate) kaskade komplemen
melalui pengikatan faktor H (protein regulator alternative pathways) serta faktor FHL-1 dan
C4BP (protein regulator classical pathways fagositik. Upaya penghindaran yang dilakukan
oleh sel jamur ini akan mencegah terjadinya respon imun yang bersifat proinflamasi yang
diperantarai oleh aktivasi sel Th1. Respon imun humoral yang terpacu pada infeksi jamur,
tidak poten untuk dapat mengeliminasi infeksi jamur secara sempurna. Hal inilah yang
menyebabkan infeksi jamur menjadi bersifat kronis dan progressif. Dengan mengetahui
karakteristik penghindaran jamur terhadap sistem imun host, diharapkan dapat dikembangkan
terapi spesifik berdasarkan respon imun tubuh yang ditekan pada infeksi jamur

3) Mekanisme parasit menghindari respon imun

Mekanisme parasit menghindari sistem imun :

1. Pengaruh lokasi
Banyak parasit terlindung dari sistem imun oleh karena letaknya yang secara anatomis
tidak terpajan dengan sistem imun, misalnya parasit intraseluler seperti T.cruzi, leishmania,
plasmodium, T.spiralis, E.histolitika atau cacing yang hdup dalam lumen saluran cerna.

2. Parasit mengubah antigen

Tripanosoma afrika dapat mengubah antigen mantel permukaannya melalui proses variasi
antigenik. Beberapa jenis malaria juga dapat melakukan hal ini. Ada dua bentuk variasi
antigenik. Pertama adalah perubahan yang stage spesific dalam ekspresi antigen. Daam fase
pematangan parasit memproduksi antigen yang berbeda dari fase infektif, misalnya fase
sporozoit parasit malaria antigeik berbeda dari merozoit yang berperan pada infeksi kronis.
Pada waktu respon imun berkembang terhadap infeksi sporozoit, parasit berdiferensiasi,
mengekspresikan antigen baru sehingga antigen lama bukan lagi merupakan sasaran untuk
eliminasi imun. Variasi antigenik yang terus menerus diduga ditimbulkan oleh adanya variasi
terprogram dalam ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan utama. Parasit lain
menutupi dirinya dengan antibodi sehingga sistem imun pejamu tidak megenalnya.

3. Supresi sistem imun pejamu

Parasit seperti larva T.spiralis, skistosoma dapat merusak sel limfoid atau jaringan secara
langsung. Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar mengurangi reflekrespon imun
pejamu. Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati dan limpa dan
pada infestasi filaria. Mekanismenya belum jelas. Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar
getah bening merusak arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun. Defisiensi imun
juga terjadi pada malaria dan tripanosomiasis afrika yang disebabkan karena produksi sitokin
immunosupresif oleh makrofag dan sel T yang diaktifkan dan defek dalam aktivasi sel T.

4. Resistensi

Parasit menjadi resisten terhadap respon imun selama menginvasi pejamu. Larva
skistosoma bergerak dari paru dan selama migrasi tersebut mengembangkan tegumen yang
resisten terhadap kerusakan oleh komplemen dan CTL.

5. Hidup dalam sel pejamu

Protozoa menghindari respon imun dengan memilih hidup dalam sel pejamu atau dengan
mengembangkan kista yang resisten terhadap efektor imun. Beberapa cacing hidup di lumen
saluran cerna dan terlindung dari efektor CMI.

2.2.4. RESPON IMUN PADA INFEKSI MIKROORGANISME


1) Imunitas terhadap bakteri

Bakteri dari luar yang masuk ke dalam tubuh (ekstraseluler) akan diserang sistem
imun nonspesifik berupa fagosit, komplemen (aktivasi jalur alternatif), protein fase akut
(APP) atau antibodi spesifik yang sudah ada dalam darah akibat pajanan terdahulu dengan
bakteri yang sama akan menetralisasi bakteri. Beberapa bakteri intraseluler (dalam monosit,
makrofag) seperti mikobakteria, L.monositogenes, Salmonella tifi dan brusella dapat
menghindari pengawasan sistem imun antibodi. Dalam hal ini tubuh akan mengaktifkan
sistem imun seluler (CD4+, CD8+ dan sel NK).

Menurut sifat patologik dinding sel, mikroorganisme dapat dibagi menjadi gram -
negatif, gram-positif, mikobakterium dan spirochaeta. Permukaan bakeri yang dilapisi kapsul
yang mengandung protein dan polisakarida, dapat merangsang sistem imun humoral tubuh
untuk membentuk antibodi. Di luar membran plasma, bakteri memiliki dinding sel yang
terdiri dari peptidoglikan. Bagian ini merupakan sasaran lisozim. Pada bakteri gram-negatif
dimana dinding selnya mengandung lapisan lipopolisakarida (LPS atau endotoksin), lapsan
ini menjadi aktivator poten makrofag.

Antibodi yang dibentuk terhadap toksin dapat menetralisasi efek toksin tetanus dan
difteri, sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan. Mikroorganisme yang mengandung
lipid pada membran permukaan seperti N.meningitidis gram-negatif, dapat dihancurkan
immunoglobulin dengan aktivasi komplemen melalui jalur lisis. Pada akhir respon imun,
semua bakteri dihancurkan fagosit.

 Imunitas Terhadap Bakteri Ekstraseluler

Bakteri ekstraseluler dapat hidup diluar sel pejamu, misalnya dalam sirkulasi, jaringan
ikat dan rongga-rongga jaringan seperti lumen saluran nafas dan saluran cerna. Bakteri
ekstraseluler ini kebanyakan bersifat patogen. Penyakit yang ditimbulkan bakteri ini berupa
inflamasi yag menimbulkan destruksi jaringan tempat infeksi dengan membentuk nanah /
infeksi supuratif, seperti yang terjadi pada infeksi streptokokus.

1. Imunitas nonspesifik

Komponen utama imunitas nonspesifik terhadap bakteri ekstraseluler adalah


komplemen, fagositosis dan respon inflamasi. Bakteri yang mengekspresikan manosa pada
permukaannya, dapat mengikat lektin yang homolog dengan C1q, sehingga mengaktifkan
komplemen jalur lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Disamping itu membran
attack complex dapat menghancurkan membran bakteri. Produk sampingan aktivasi
komplemen berperan dalam mengerahkan dan mengaktifkan leukosit dalam inflamasi.
Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain seperti reseptor
bangkai (scavenger), Toll-like receptor yang semuanya meningkatkan aktivasi leukosit dan
fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit
ke tempat infeksi (inflamasi). Sitokin juga menginduksi panas dan sintesis protein fase akut.

2. Imunitas spesifik

Antibodi merupakan komponen imun protektif utama terhadap bakteri ekstraseluler


yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan menetralisasi toksinnya. Komplikasi
lambat respon imun humoral ini menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan antibodi.
Misalnya infeksi streptokokus di tenggorokan atau di kulit yang menimbulkan manifestasi
klinis. Demam reuma merupakan sekuela infeksi faring oleh beberapa streptokokus
hemolitik-β. Antibodi yang diproduksi terhadap protein dinding bakteri (M-protein) dapat
bereaksi silang dengan protein sarkolema dan miosin miokard yang dapat diendapkan di
jantung dan akhirnya menimbulkan inflamasi (karditis). Glomerulonefritis pasca infeksi
streptokokus merupakan sekuela infeksi streptokokus dikulit atau tenggorok oleh
streptokokus-β tipe lain. Antibodi terhadap bakteri tersebut membentuk kompleks dengan
antigen bakteri dan diendapkan di glomerulus ginjal menimbulkan nefritis.

Respon utama pejamu terhadap bakteri ekstraseluler adalah produksi sitokin oleh
makrofag yang diaktifkan menimbulkan inflamasi dan syok septik. Toksin berupa
superantigen mampu mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin
dalam jumlah besar.

 Imunitas terhadap Bakteri Intraseluler

Ciri utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup dan berkembang
biak dalam fagosit. Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat
ditemukan oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan
mekanisme imun seluler.

1. Imunitas nonspesifik

Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraseluler adalah fagosit dan sel
NK. Fagosit (mulanya monosit, kemudian makrofag) menelan dan mencoba menghancurkan
mikroba tersebut, namun mikroba resisten terhadap efek degradasi fagosit. Bakteri
intraseluler dapat mengaktifkan sel NK secara langsung atau melalui aktivasi makrofag yang
memproduksi IL-12, sitokin poten yang mengaktifkan sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ
yang kembali mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri yang
dimakan. Jadi sel NK memberikan respon dini, dan terjadi interaksi antara sel NK dan
makrofag.

2. Imunitas spesifik

Proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraseluler berupa imunitas
selular. Seperti telah diketahui sebelumnya, imunitas seluler terdiri dari dua tipe reaksi yaitu
aktivasi makrofag oleh CD4+Th1 yang memproduksi IFN-γ (DTH) yang memacu
pembunuhan mikroba dan lisis sel terinfeksi oleh CD8+ / CTL. Makrofag yang diaktifkan
sebagai respon terhadap mikroba intraseluler dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan
berupa granuloma yang terjadi pada DTH terhadap protein mikroba. CD4+ dan CD8+
bekerjasama dalam pertahanan terhadap mikroba.

Bakteri intraseluler seperti Listeria monocytogenes dimakan makrofag dan dapat


hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+memberikan respon terhadap
peptida antigen MHC kelas II asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN-γ yang
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD8+ memberikan
respon terhadap peptida MHC kelas I yang berasal dari antigen sitosol dan membunuh sel
yang terinfeksi.

Berbagai mikroba intraseluler seperti M.tuberkulosis mengembangkan berbagai


strategi untuk menghindari eliminasi oleh fagosit. Mikroorganisme yang resisten terhadap
fagosit seperti M.tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.lepra dikucilkan
makrofag dengan dibentuknya granuloma melalui bantuan sel Th1. Tuberkulosis masih
merupakan ancaman di banyak negara karena timbulnya resistensi terhadap obat-obatan.
Makrofag yang mengenal M.tuberkulosis melalui reseptor Toll-like mengikat lipoprotein
mikobakteri melepas mediator inflamasi seperti IL-12 dan nitrat oksida. Peptida mikobakteri
yang dipresentasikan makrofag memacu respon kuat Th1 yang melepas IFN-γ yang
selanjutnya merangsang makrofag membentuk granuloma selama infeksi primer.

Oleh karena mikobakteri sulit dihancurkan, makrofag mengucilkannya di dalam


fagosom. Pajanan awal dengan M.tuberkulosis menimbulkan infeksi primer. Kebanyakan
M.tuberkulosis ditemukan dalam granuloma. Makrofag matang membentuk sel raksasa dan
sel epiteloid atas pengaruh IFN-γ. Granulomata mengucilkan mikroba dengan baik sehingga
pusatnya menjadi hipoksik dan sel menjadi nekrotik yang menyerupai keju. Nekrosis dengan
perkejuan ini merupakan ciri khas tuberkulosis.

2) Imunitas terhadap virus

Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam sel, sering
menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu. Dengan reseptor permukaan
sel. Dengan reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan
kerusakan sel dan berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena replikasi virus yang
mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal, efek sitopatik virus akibat sel terinfeksi
dihancurkan dan mati.

Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam
sel pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel. Sistem
imun nonspesifik dan spesifik berperan sebagai efektor dalam usaha mencegah infeksi dan
mengeliminasi sel yang terinfeksi.

1. Imunitas nonspesifik

Prinsipnya adalah mencegah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel
NK yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang
merangsang sekresi IFN tipe I oleh sel yang terinfeksi, melalui ikatan dengan reseptor Toll-
like. IFN tipe I mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang tidak
terinfeksi dengan menginduksi milieu anti-viral.

Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan merupakan
efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon imun spesifik
berkembang. Sel NK juga dapat mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-I.

2. Imunitas spesifik
o Imunitas humoral

Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus.
Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus pada awal infeksi dimana virus masih
terdapat di ekstraseluler sebelum masuk ke sel atau khusus untuk virus sitopatik, bila virus
dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan. Antibodi dapat menetralisasi virus, mencegah
virus menempel pada sel dan masuk ke dalam sel pejamu.

Antibodi berikatan dengan envelope virus atau antigen kapsid. Untuk virus yang
masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna, IgA disekresi untuk
melawan virus tersebut. Imunisasi oral terhadap virus polio bekerja untuk menginduksi
imunitas mukosa tersebut. Antibodi juga dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan
eliminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut berperan dalam
meningkatkan fagositosis dan mungkin juga menghancurkan virus dengan envelop lipid
langsung.

o Imunitas seluler

Eliminasi virus yang menetap di sel dilakukan oleh sel CD8+/CTL. Fungsi fisiologik
utama CTL adalah memantau infeksi virus. CD8+ mengenal antigen virus yang sudah dicerna
di sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam setiap sel
yang bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang diproduksi sel
helper CD4+ atau kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi
adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC profesional seperi
sel dendritik yang selanjutnya memproses antigen virus dan mempresentasikannya ke sel
CD8+. Selanjutnya sel CD8+ berproliferasi secara masif selama infeksi virus dan kebanyakan
sel yang berproliferasi adalah spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel T yang diaktifkan
berdiferensiasi menjadi CTL yang membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek
antivirus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi, mekanisme lain melalui aktivasi
nuklease dalam sel terinfeksi yang menghancurkan genom virus dan sekresi IFN-γ yang
memiliki aktivitas antivirus.

3) Imunitas terhadap jamur

Respon imun terhadap jamur belum banyak diketahui, namun diduga melibatkan sel T
dan makrofag. Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja. Tetapi
beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit sistemik yang berbahaya, biasanya memasuki
paru dalam bentuk spora. Kelainan yang terjadi sangat bergantung dari derajat dan jenis
respon imun pejamu. Gangguan dapat berupa manifestasi di saluran nafas, reaksi
hipersensitivitas berat sampai kematian. Penyakit jamur (mikosis) sering terjadi namun
kebanyakan hanya menimbulkan kesulitan pada pejamu yang immunokompromais. Neutrofil
dan fagosit berperan dalam menyingkirkan infeksi jamur. Diduga mekanisme proteksi
melalui mekanisme selluler, hal ini ditunjang dengan seringnya penderita HIV menderita
infeksi jamur.

Infeksi jamur sering disebut opportunistik, dimana dapat menimbulkan penyakit berat
pada orang-orang yang immunokompromais seperti penderita AIDS, orang yang mendapat
terapi kanker dan penolakan transplantasi yang menekan sumsum tulang dan respon imun.

1. Imunitas nonspesifik
Efektor utamanya adalah makrofag dan neutrofil. Pasien dengan neutropenia sangat
rentan terhadap infeksi jamur opprtunis. Neutrofil diduga melepas bahan fingisidal seperti
Reactive Oxygen Intermediate dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh
intraseluler. Kriptokokus neoformans dapat menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12
oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivitas makrofag.

2. Imunitas spesifik

Cellular Mediated Immunity (CMI) merupakan efektor imunitas spesifik utama pada
infeksi jamur. CD4+ dan CD8+ bekerjasama untuk menyingkirkan Kriptokokus neoformans
yang cenderung mengkolonisasi paru dan otak pada pejamu immunokompromais. Infeksi
Kandida sering mulai pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat mencegah
penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1 adalah protektif
sedangkan respon Th2 dapat merusak pejamu.

4) Imunitas terhadap parasit

Golongan parasit berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, leishmania


dan amuba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas yang bermakna terutama di negara-negara sedang berkembang. Kebanyakan
infeksi parasit bersifat kronis yang disebabkan oleh imunitas nonspesifik yang lemah dan
kemampuan parasit untuk bertahan hidup terhadap imunitas spesifik. Saat ini banyak
antibiotik dan antiparasit yang tidak efektif lagi untuk membunuh parasit, terutama untuk
masyarakat di daerah endemis yang berulangkali terpajan. Vaksin terhadap parasit juga
belum berkembang, hal ini disebabkan vaksinasi sulit memberi proteksi terhadap protozoa
karena memerlukan faktor humoral (IgG diduga berperan penting ) dan seluler. Pada malaria,
antibodi diduga protektif mencegah merozoit memasuki sel darah merah. Imunitas terhadap
jenis spesies yang satu tidak protektif terhadap spesies yang lain.

Tripanosoma terus menerus menguji sistem imun dengan memproduksi pirogen dan
mantel antigen yang berubah-rubah / mutasi sehingga sulit dikenali dan dieliminasi sistem
imun. Toksoplasma melepaskan diri dari efek sistem imun, dapat menutupi diri dengan
laminin dan matriks protein ekstraseluler yang mencegah fagositosis dan kerusakan oksidatif.
Respon seluler terhadap toksoplasma sangat efektif. Leishmania mempunyai kemampuan
menginfeksi makrofag dan memerlukan respon seluler untuk eradikasinya. IFN-γ yang
diperoduksi sel Th1 diduga merupakan sitokin terpenting untuk membunuh parasit. Sel T,
terutama Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya Tripanosoma cruzi.
Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih
banyak mengekspresikan resseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang
dapat meningkatkan sitotoksisitas.

1. Imunitas nonspesifik

Protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang


berbeda, mikroba tersebut dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam sel pejamu karena
mereka dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respon imun
nonspesifik terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten
terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan diantaranya dapat hidup dalam makrofag.
Banyak cacing memiliki lapisan permukaan yang tebal sehingga resisten terhadap mekanisme
sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga mengaktifkan komplemen jalur
alternatif. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.

2. Imunitas spesifik

Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam hal besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus
hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula.
Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri.
Infeksi kronik menimbulkan rangsangan antigen yang persisten yang meningkatkan kadar
immunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Pertahanan terhadap
banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang menghasilkan IgE dan aktivasi
eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil
diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Produksi IgE dan
eosinofilia sering ditemukan pada infeksi cacing. Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang
merangsang subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan Il-5. IL-4 merangsang produksi
IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif
dibanding leukosit lain olehkarena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding
enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag.
Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi
inflamasi yang ditimbulkan diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/ basofil
yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat
cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein
kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas
superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.

Pada filariasis limfatik, sumbatan oleh parasit di saluran limfe menimbulkan CMI kronis,
fibrosis dan akhirnya limfedema berat. Investasi persisten parasit kronis sering disertai
pembentukan kompleks antigen parasit dan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di
dinding pembuluh darah dan glomerulus ginjal sehingga menimbulkan vaskulitis dan nefritis.
Penyakit kompleks imun dapat terjadi pada skistosoma dan malaria.

Pada beberapa kasus, infeksi cacing tidak dapat dihancurkan dengan sistem imun yang
telah disebut diatas. Dalam hal ini badan berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk
kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respon seluler terhadap
pelepasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepas faktor fibrogenik
dan merangsang pembentukan granuloma dan fibrotik. Semua ini akibat pengaruh sel Th1
dan defisiensi sel T akan mengganggu kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan
kapsul. Pembentukan granuloma terlihat jelas di sekitar telur cacing skistosoma di hati.
2.2.5. PENGARUH PSIKIS DALAM PROSES INFEKSI
Psikologi Kesehatan memiliki pengertian yaitu ilmu yang mempelajari, memahami
bagaimana pengaruh faktor psikologis dalam menjaga kondisi sehat, ketika mengalami
kondisi sakit, dan baimana cara merespon ketika individu mengalami sakit.

Apabila mengacu pada pengertian sehat menurut WHO tahun 1948, menunjukkan adanya
keselarasan antara pengertian psikologi kesehatan dengan pengertian sehat menurut WHO,
yang tidak hanya menekankan pada ada atau tidak adanya penyakit.

Pengertian sehat menurut WHO (1948) yang dimaksud yaitu kondisi sehat atau sejahtera
pada aspek fisik, aspek mental maupun aspek sosial.Kondisi sehat maupun kondisi sakit
merupakan suatu kontinum, yaitu kondisi sehat yang dialami individu dapat mencapai kondisi
sehat secara optimal, maupun ketika mengalami kondisi sakit dapat menuju atau berasa pada
kondisi yang sangat buruk, hingga menuju kematian

Pengaruh psikis dalam proses infeksi yang pertamayaitu dapat menimbulkan stres. Stresor
merupakan suatu stimulus dari peristiwa tang berasal dari lingkungan, yang menantang secara
fisik dan psikologis. Strain merupakan reaksi individu terhadap stres, reaksi yang berupa
reaksi secara psikologis dan fisiologis. transaction merupakan proses yang mencakup
stressor, strain dan kaitan antara individu dan lingkungan, proses yang sfatnya berkenalnjutan
dan mengalami proses penyesuaian

Ketika individu menghadapi stressor, akan menimbulkan reaksi secara psikologis maupun
fisiologis pada, yang juga didasarkan pada bagaimana pandangan individu terhadap stressor
tersebut, penyesuaian individu terhadap lingkungan, yang melibatkan faktor-faktor dalam diri
individu seperti kepribadian, pengalaman, pendidikan dan sebagainya. Dengan demikian,
stressor yang sama pada individu yang berbeda, dapat menimbulkan tingkat stress yang
berbeda pula.

Kondisi stres dibagi atas dua jenis yaitu kondisi stres yang baik yaitu eustress, dan
kondisi stress yang cenderung berdampak pada performa atau kondisi buruk pada diri
individu yaitu distress. Stres dijelaskan sebagai kondisi terjadi karena stressor yaitu stimulus
(dapat berupa peristiwa, situasi) yang menekan atau penuh tekanan, yang menantang individu
secara fisik maupun psikologis atau psikis. Apakah stressor yang sama dapat dipastikan
menyebabkan kondisi/tingkat stress yang sama pula pada orang berbeda? Jawabannya adalah
tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pendekatan individu terhadap stressor, serta
faktor yang berkaitan dengan individu dan lingkungannya. Hal ini pulalah yang berperan
terhadap diri individu ketika menghadapi stressor yaitu fight (menghadapi stressor) atau
flight (menghindar dari stressor). Reaksi yang dapat ditimbulkan akibat stress berupa reaksi
fisik (detak jantung meningkat, otot menegang, sakit kepala) maupun reaksi psikologis (pola
pikir, kondisi emosi.

Stres adalah kondisi yang umum dialami individu dan suatu kondisi yang hampir sulit
untuk dihindari. Karena kondisi stress dapat dialami individu dalam kehidupan sehari-hari,
baik dari kondisi stres yang disebabkan hal yang sederhana hingga penyebab stres yang
cukup kompleks. Banyak hal di lingkungan sekitar atau peristiwa yang dialami dapat menjadi
stressor bagi individu, yang dapat menimbulkan tingkat stress yang berbeda pada tiap diri
individu. Beberapa situasi yang dapat menimbulkan stress adalah kondisi yang ambigu,
situasi yang tidak terkontrol, peristiwa-peristiwa negatif dalam hidup, dan beban yang
berlebihan. Sebelum individu menilai adanya sumber-sumbern untuk mengatasi stress, fase
awal adalah primary appraisal processes meliputi harm, threat, challenge. Agar individu tidak
berlanjut pada kondisi stress kronis yang berisiko menimbulkan berbagai penyakit secara
fisik, maka individu sesegera mungkin untuk dapat mengatasi kondisi stress yang dialami.
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Defisiensi imun adalah terganggunya respon imun baik nonspesifik maupun spesifik yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik, rekuren dan kronis
serta peningkatan kerentanan terhadap terjadinya kanker.

Imunitas terhadap infeksi dapat dibagi atas imunitas terhadap bakteri baik ekstraselular
dan intraselular, imunitas terhadap virus, imunitas terhadap jamur, dan imunitas terhadap
parasit. Kesemua imunitas diatas berlangsung secara nonspesifik dan spesifik baik humoral
maupun selular.

3.2. SARAN
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai mekanisme infeksi dalam
psikoneuroimunologi. Semoga makalah ini berguna bagi pembaca,khususnya bagi
mahasiswa.Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena
itu kritik atau saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.  
DAFTAR PUSTAKA
https://www.neliti.com/id/publications/104737/respon-imun-pada-infeksi-jamur

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/
305b3d834afe1217b78fbae725163108.pdf

http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/view/73

Anda mungkin juga menyukai