Seorang Laki- Laki Usia 66 Tahun Dengan Vomitus Frequent, Azotemia Pre-Renal, CAP CURB-65 Skor 2, HIV Stage III, Anemia
Oleh:
Pembimbing Residen
KEPANITERAAN KLINIK
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Seorang Laki- Laki Usia 66 Tahun Dengan Vomitus Frequent, CAP CURB-65 Skor 2, HIV Stage III, Anemia Normositik
Oleh:
Pembimbing
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 66 tahun
Agama : Islam
No. RM : 014784**
Suku : Jawa
B. Data Dasar
Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di Flamboyan 8 Kamar 03A RSUD DR. Moewardi, Surakarta.
Keluhan Utama
Pasien dirawat di RSDM dengan keluhan muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 10 kali dalam sehari, dirasakan setiap kali pasien makan,
pasien muntah berupa sisa makanan, tidak diapatkan adanya darah/bercak kemerahan. Setiap kali muntah sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS, dirasakan hilang timbul, memberat saat pasien kelelahan. Batuk berdahak berwarna
putih kental. Batuk disertai demam yang dirasakan naik turun. Demam dirasakan terutama pada malam hari, berkurang dengan pemberian obat penurun
panas namun keluhan muncul kembali. Keluhan sesak napas disangkal oleh pasien.
Pasien BAK 3 kali sehari. Setiap BAK sebanyak ½ gelas belimbing, tidak didapatkan darah maupun nyeri saat BAK. Pasien BAB sebanyak 1 kali
sehari. Setiap BAB Berwarna cokelat, tidak didapatkan bercak darah/lender, tidak didaptakan nyeri saat BAB dan riwayat BAB hitam. Pasien menyangkal
Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dirasakan terus-menerus, tidak membaik dengan istirahat maupun pembe -
rian makanan. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun dan disertai dengan turunnya berat badan.
Pasien sebelumnya memeriksakan diri ke puskesmas dengan keluhan serupa dan dilakukan pemeriksaan didapatkan positif B20. Pasien belum
Penyakit Keterangan
Pola makan Pasien makan 2-3 kali sehari dengan porsi sedang. Minum 4-5 kali sebanyak
Merokok (+) selama 10 tahun dengan rata – rata 1/2 bungkus / hari : ( IB : 10 x 6 = 60 )
Alkohol Disangkal
Pasien saat ini merupakan tukang becak, pasien sudah menikah memiliki 3 orang anak, pasien tinggal hanya bersama anaknya, pasien berobat meng-
3. Auskultasi:
Status Pinggang
Gizi : SIC III linea parasternalis sinistra
Peranjakan Diafragma : diafragma terangkat simetris 5-6 cm saat inspirasi penuh
a. Kesan Kanan:
Berat Badan : Batas
: jantung
60 kg kesan tidak melebar
Suara dasar : vesikuler normal,
III. d.
b. Auskultasi
Tinggi Badan : Bunyi
: jantung
160 cm I-II murni, intensitas normal, reguler, gallop (-), murmur (-).
Pemerik-
Kiri: Suara tambahan2 : wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
13. Pulmo
c. IMT : : 23.4 kg/m
saan Penun-
Suara dasar : vesikuler normal,
d. A. Anterior
Kesan : Normoweight
Abdomen
Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) , ronkhi basah halus (-) jang
4. Kulit Inspeksi : Kulit berwarna putih langsat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (+),
a. Inspeksi : Dinding perut sama tinggi dengan dinding thorax, venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
1. Statis :
teleangiektasis Normochest,
(-), simetris
petechie (-), ikterik. (-),
lukaekimosis
(-), venetaksis (-) , benjolan
(-), sikatrik (-) (-) , sikatrik (-) , retraksi (-),
b. Auskultasi : Bising usus (+) 10 x / menit, bruit hepar (-)
5. Kepala 2. Dinamis
: : Pengembangan
Bentuk mesocephal, hemithorak
rambut mudah kanan
rontok (-), lukasama dengan
(-), atrofi hemitorak bagian
m. Temporalis (-) kiri , retraksi inter-
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
6. Mata : costal
Mata cekung (-/-), (-)
konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil
d. Palpasi : Supel, hepar (10cm/ 6cm) kesan tidak membesar permukaan rata , konsistensi kenyal pa-
Palpasi : diameter
isokor dengan Pengembangan
(3 mm/3hemithoraks
mm), reflek kanan
cahayasama
(+/+),dengan
edema hemitorak kiri,strabismus
palpebra (-/-), nyeri tekan (-),katarak
(-/-), massa
dat , tepi tajam , nyeri tekan pada hepar (-) dan lien tidak teraba , nyeri tekan epigastrium
(-),(-/-)
(-/-), eksoftalmus fremitus raba kanan sama dengan fremitus raba kiri
(-), nyeri ketok ginjal (-/-), nyeri tekan kandung kemih (-).
7. TelingaPerkusi : Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekan pada tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), Chvostek sign (-)
15. Ekstremitas
8. Hidung1. Kanan : Nafas cuping
: hidung
Sonor(-), sekret (-)
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pu-
9. Mulut 2. Kiri : Bibir pucat: (-), mukosa
Sonor kering (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), oral thrush (+)
cat (-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri (-/-), deformitas (-/-),
10. Leher Auskultasi : JVP R+2 cmH2O, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher sub-
CRT < 2”
1. Kanan mandibular
: dan
Suara
supralavikula
dasar : vesikuler,
bilateral (+), distensi vena-vena leher (-)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat
11. Thorax : Bentuk normochest,
Suarasimetris,
tambahan pengembangan
: wheezing (-),dada
ronkhi
kananbasah
samakasar
dengan (+)pengembangan
, ronkhi basahalus
dinding
(-) dada kiri,
(-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri (-/-), deformitas (-/-), CRT
2. Kiri retraksi intercostal
: Suara(-),dasar
pernafasan
: vesikuler,
thorako-abdominal, sela iga melebar (-), pembesaran limfonodi axilla
< 2”
(-/-) Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) , ronkhi basah halus (-)
A. Hasil Laboratorium Darah (30 September 2019) di Puskesmas Grogol Sukoharjo.
Hematologi Rutin
Hematologi Rutin
Hematokrit 30 % 33 – 45
Kimia Klinik
disertai airbronchogram
Glukosa Darah Sewaktu 121 mg/dl 60 – 140
di perihi- lar bilateral
SGOT 32 u/l <31
pulmo SGPT 21 u/l <34 dextra
Serologi
- Bronchopneumonia
IV. RESUME
1. Keluhan utama:
2. Anamnesis:
Pasien muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 10 kali, dirasakan setiap kali pasien makan, pasien muntah
berupa sisa makanan. Setiap kali muntah sebanyak kurang lebih 1 gelas belimbing.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS, dirasakan hilang timbul, memberat saat pasien
Pasien juga mengeluh demam yang dirasakan naik turun. Demam dirasakan terutama pada malam hari, berkurang
Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dirasakan terus-menerus dan penurunan berat
badan
Pasien saat ini merupakan tukang becak, pasien sudah menikah memiliki 3 orang anak, pasien tinggal hanya bersama anaknya,
3. Pemeriksaan fisik:
● 0
Vital sign: Tekanan darah 150/90 mmHg, RR 20x/ menit, HR 104x/menit, suhu 37.1 C saturasi O2 99% NK 3 LPM
● Hasil Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, oral trush, pembesaran kelenjar getah bening submandibula dan
supraklavikula bilateral dan rhonki basah kasar pada auskultasi kedua lapang paru
4. Pemeriksaan penunjang:
A. Laboratorium darah
- Hematologi rutin : Hemoglobin 9.3 g/dL (↓), Hematokrit 30% (↓), Trombosit 126.000/uL (↓), Limfosit 20.4% (↓), Monosit
10.1% (↑)
- Kimia klinik: kreatinin 1.6 mg/dL (↑), ureum 54 mg/dL (↑)
1. DIAGNOSIS
2. TERAPI
3. Inf. RL 20 tpm
3. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
4. Usulan Pemeriksaan
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+, mikroskopis KOH 10%, Genexpert TB, VDRL, anti HCV, gula darah puasa, profil lipid, dan urinalisis.
BAB II
ANALISIS KASUS
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien dirawat di RSDM dengan keluhan muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 10 kali dalam sehari,
dirasakan setiap kali pasien makan, pasien muntah berupa sisa makanan, tidak diapatkan adanya darah/bercak kemerahan. Setiap kali muntah sebanyak ku -
kali sehari. Setiap BAB Berwarna cokelat kekuningan, tidak didapatkan bercak darah/lender, tidak didaptakan nyeri saat BAB dan riwayat BAB hitam.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya azotemia dengan kadar kreatinin 1.6 mg/dl dan ureum 54 mg/dl. Azotemia yang didap -
atkan pada pasien merupakan azotemia pre-renal oleh sebab dehidrasi yang dialami pasien. Hal ini sesuai dengan klinis pasien yaitu pasien mengalami
muntah sebanyak 10 kali dalam sehari, setiap muntah sebanyak ½ gelas belimbing, dan pasien hanya BAK 3 kali dalam sehari. Selain itu, tanda vital pasien
Selain itu, pasien juga mengeluh batuk berdahak sejak 1 minggu SMRS, dirasakan hilang timbul, memberat saat pasien kelelahan. Batuk berdahak
berwarna putih kental. Batuk disertai demam yang dirasakan naik turun. Demam dirasakan terutama pada malam hari, berkurang dengan pemberian obat
penurun panas namun keluhan muncul kembali. Keluhan sesak napas disangkal oleh pasien.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya anemia (Hemoglobin 9.3) normokromik normositik, yang dicurigai sebagai anemia penyakit
kronis oleh sebab infeksi. Selain itu didapatkan adanya trombositopenia (126 ribu/ µl) dan monositosis relative (hitung jenis monosit 10.10% dan leukosit 6
Pasien juga mengeluh lemas, lemas dirasakan sejak 1 minggu SMRS, dirasakan terus-menerus, tidak membaik dengan istirahat maupun pembe -
rian makanan. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun dan disertai dengan turunnya berat badan.
Pemeriksaan serologi HIV menunjukkan hasil reaktif, yang mendukung konidisi klinis pasien, yang mengalami infeksi saluran napas bawah, kan-
didiasis oral, pembesaran kelenjar getah bening leher submandibular dan supraklavikula bilateral. Pasien sebelumnya memeriksakan diri ke puskesmas den-
Dari usulan pemeriksaan diusulkan pemeriksaan berupa pemeriksaan jumlah sel T CD4+, mikroskopis KOH 10%, Genexpert TB, VDRL, dan anti
HCV, gula darah puasa, profil lipid, dan urinalisis. Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ bertujuan untuk menilai status imun, menentukan kapan memulai terapi in -
feksi oportunistik dan menilai apakah pasien membutuhkan terapi ARV dengan segera. Pemeriksaan mikroskopis KOH 10% digunakan untuk mengkonfirmasi
keberadaan Candida. Genexpert TB digunakan untuk skrining TB paru, karena sering terjadi koinfeksi TB dengan HIV. Pemeriksaan VDRL bertujuan untuk
skrining syphilis. Pemeriksaan anti HCV diusulkan karena kerusakan hepar akibat hepatitis C lebih cepat terjadi pada pasien HIV; selain itu mungkin terjadi
penularan hepatitis C dan HIV pada saat yang bersamaan karena perilaku yang berisiko. Adapun, pemeriksaan gula darah puasa, profil lipid, dan urinalisis digu -
nakan untuk screening penyakit metabolik untuk mengetahui fungsi tubuh dan kaitannya dengan toleransi terhadap pemberian ARV.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Vomitus
Muntah adalah dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara ekspulsif. Usaha mengeluarkan isi lambung akan terlihat sebagai
kontraksi otot dinding perut. Muntah merupakan reflek protektif tubuh karena dapat berfungsi melawan toksin yang tidak sengaja tertelan. Muntah
merupakan usaha mengeluarkan racun dari tubuh dan dapat mengurangi tekanan akibat adanya sumbatan atau pembesaran organ yang menyebabkan
1
penekanan pada saluran pencernaan.
Etiologi
Etiologi muntah sangat luas, seluruh kelainan yang menyangkut reseptor muntah baik dari traktus gastrointestinal, berbagai visera (hati,
2
ginjal, pankreas, jantung, paru), canalis vestibularis, Chemoreceptive Trigger Zone (CTZ) maupun Supraneuron akan dapat menimbulkan muntah.
Gastroenteritis adalah penyebab utama muntah pada anak. Muntah bisa terjadi akibat langsung gastroenteritis. Dalam keadaan ini
muntah bisa mendahului timbulnya diare sampai 48 jam. Tetapi gejala muntah juga menghilang lebih cepat 12-48 jam setelah diare muncul. Muntah
juga bisa terjadi akibat gangguan metabolik sebagai akibat diare/dehidrasi, misalnya akibat asidosis.
1. Saluran cerna:
Tekanan intrakranial yang meningkat, infeksi (SSP, saluran napas, saluran kemih, THT), hidrosefalus, kelainan metabolisme.
Patogenesis
Muntah berada dibawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikuler lateral
yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat muntah diaktivasi oleh impuls yang berasal dari chemoreseptor trigger zone (CTZ), yaitutempat
berkumpulnya berbagai impuls aferen yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga ditemukan berbagai neurotransmitter dan reseptor
2,3
(salah satunya adalah reseptor dopamin).
Proses muntah mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh
berbagai stimulus (organ visera,labirin, atau emosi). Fase ini ditandai adanya rasa mual yang disertai gejala otonom seperti produksi air liur
bertambah, berkeringat, pucat, takikardi, atau anoreksia. Gerakan peristaltik aktif berhenti, tekanan di fundus dan korpus menurun sedangkan
tekanan di antrum sampai pars desendens duodenum meningkat. Pada fase retching terjadi inspirasi dalam dengan otot perut dan diafragma serta
relaksasi sfingter esofagus. Bawah. Fase emesis ditandai dengan perubahan dengan tekanan intratoraks (dari negatif menjadi positif). Dan relaksasi
2,3
sfingter esofagus sehingga isi lambung dikelurkan dikeluarkan dari mulut.
Pendekatan Diagnosis
Gambar 3.1 Pendekatan diagnosis pada kasus vomitus
Tatalaksana
Walaupun tujuan utama penatalaksanaan muntah adalah menghilangkan kausa spesifiknya, namun penatalaksanaan simptomatik untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala muntah acapkali perlu dilakukan terlebih dahulu. Perlu diingat bahwa pada keadaan yang akut dan muntah
yang hebat, obat anti muntah hanya bermanfaat jika obat tersebut dapat diserap dalam jumlah yang cukup. Menghentikan makan/minum untuk
4
beberapa jam dapat membantu mengurangi hebatnya muntah sehingga memungkinkan pemberian obat-obat per oral.
Golongan I.
Merupakan bahan (seringkali neurotransmiter atau sejenis) yang meningkatkan aktifitas otot polos. Selain merangsang motilitas juga merangsang
Golongan II
Obat ini menormalisir gangguan motilitas otot sehingga mempunyai sifat memperbaiki koordinasi aktifitas peristaltik. Protipe dari
golongan ini adalah metoklopramide yang mempunyai efek antagonis terhadap reseptor dopamin (antagonis terhadap inhibisi motorik oleh dopamin)
yang tidak saja terbatas pada tingkat gastrointestinal, tetapi juga mempunyai pengaruh pada tingkat susunan syaraf pusat sehingga dapat terjadi efek
samping neurologik.
Obat golongan Domperidone (Motilium) dikatakan mempunyai efek sama tetapi tanpa mempengaruhi susunan syaraf pusat, walaupun
tidak spesifik.Kedua obat antagonis dompamin ini daya prokinetikya adalah dengan cara antagonistik terhadap inhibisi motorik oleh dopamin.
1. Metoklopramid
Cukup efektif, cara kerja adalah blokade reseptor dopamine di CTZ (chemo receptive trigger zone), sehingga dapat mengontrol baik
nause maupun muntah secara sentral. Perlu diingat, obat ini dapat menyebabkan reaksi distonia dan diskinetik serta krisis okulogirik
2. Domperidone
Dapat dikatakan lebih aman. Cara kerja blokade dopamin reseptor baik di CTZ, maupun di usus. Dapat diberikan per oral atau
5
supositoria. Bioavalibity rendah sebab cepat mengalami metabolisme di dinding usus dan hati, dan hanya sedikit masuk kedalam otak.
B. Azotemia Pre-Renal
Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum. Kisaran referensi untuk BUN adalah 8-20 mg/ dL,
4
dan kisaran normal untuk kreatinin serum adalah 0,7-1,4 mg/ dL. Ada tiga klasifikasi patofisiologis di azotemia, yaitu azotemia prerenal, azotemia
4
intrarenal dan azotemia postrenal.
Azotemia prerenal mengacu pada kenaikan BUN dan kadar kreatinin yang dihasilkan dari masalah dalam sirkulasi sistemik yang
menurunkan aliran ke ginjal. Dalam azotemia prerenal, penurunan aliran ginjal merangsang retensi garam dan air untuk mengembalikan volume dan
tekanan. Ketika volume atau tekanan menurun, refleks baroreseptor terletak di aorta lengkungan dan karotis sinus diaktifkan. Hal ini menyebabkan
4
aktivasi saraf simpatis, yang mengakibatkan ginjal aferen vasokonstriksi arteri dan renin sekresi melalui reseptor β1.
Penyempitan arteriol aferen menyebabkan penurunan tekanan intraglomerular, yang mengurangi GFR secara proporsional. Renin
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang, pada gilirannya, merangsang pelepasan aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron hasil garam
mengumpulkan saluran medula untuk reabsorpsi air. Melalui mekanisme yang tidak diketahui, aktivasi sistem saraf simpatik menyebabkan
ditingkatkan proksimal tubular reabsorpsi garam dan air, serta BUN, kreatinin, kalsium, asam urat, dan bikarbonat. Hasil bersih dari 4 mekanisme ini
4
dari retensi garam dan air menurun output dan penurunan ekskresi natrium (<20 mEq / L).
C. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut sistem pernapasan yang menyerang alveoli paru-paru . Alveoli penderita pneumonia akan terisi pus dan
6
cairan yang akan menyebabkan kesulitan bernapas dan keterbatasan oksigen yang diangkut . Pneumonia merupakan inflamasi yang terjadi pada
parenkim paru, terutama pada alveoli paru dan jaringan di sekitarnya . Pneumonia biasanya menimbulkan gejala demam tinggi, malaise, batuk dan
7
kesulitan untuk bernapas.
Etiologi
8
Etiologi pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi bakteria tipikal dan bakteria atipikal sebagai berikut:
Bakteria tipikal:
•S. pneumoniae
•Haemophilus influenzae
•Moraxella catarrhalis
•Staphylococcus aureus
•Streptokokus grup A
Bakteria atipikal:
Penamaan atipikal didasarkan pada resistensi bakteri ini dengan antibiotik beta-laktam dan ketidakmampuan bakteri ini untuk
•Legionella spp
•Mycoplasma pneumoniae
•Chlamydia pneumoniae
•Chlamydia psittaci
Patogenesis dan Patofisiologi
Makrofag berfungsi untuk melindungi paru-paru dari patogen asing. Reaksi inflamasi yang dipicu oleh makrofag-makrofag inilah yang
memunculkan temuan histopatologis dan klinis yang terlihat pada pneumonia. Makrofag memfagositosis patogen dan memicu sitokin seperti TNF-a,
IL-8, dan IL-1 yang mendatangkan sel-sel inflamasi seperti neutrofil ke lokasi infeksi. Mereka juga berfungsi untuk menyajikan antigen ini ke sel T
yang memicu mekanisme pertahanan seluler dan humoral, mengaktifkan komplemen dan membentuk antibodi terhadap organisme ini. Ini, pada
gilirannya, menyebabkan peradangan parenkim paru-paru dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler yang mengarah pada proses eksudatif
9
dan menggarisbawahi patogenesis pneumonia.
Gambar 3.3 Patofisiologi pneumonia
Diagnosis
Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks dan laboratorium. Diagnosis pasti penumonia
10
ditegakkan jika pada foto thoraks terdapat infiltrat/air bronchogram ditambah beberapa gejala sebagai berikut:
Gambaran Klinis
Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
Nyeri dada
Sesak
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara nafas tambahan bronkial dan ronkhi
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan
dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia
11
dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Tatalaksana
4
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
Ekspektoran/mukolitik
Bila tidak membaik dalam 48 jam: pertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto thoraks
Pemberian antibiotik dievaluasi secara klinis dalam 72 jam pertama. Jika didapatkan perbaikan klinis, terapi dapat dilanjutkan. Adapun, jika perburukan maka
antibiotik harus diganti sesuai dengan hasil biakan atau pedoman empiris.
12
Pemilihan antibiotik empiris adalah sebagai berikut :
1. Tanpa comorbid:
Golongan macrolide: Azithromycin (500 mg hari pertama, dilanjutkan 250 mg hari berikutnya)/ Clarithromycin; atau
Doxycycline (kurang direkomendasikan, hanya diberikan apabila tidak tersedia amoxicillin/ macrolide namun terapi antibiotik harus segera
diberikan).
2. Dengan Comorbid (diabetes mellitus, penyakit ginjal, penyakit jantung, keganasan, immunocompromised, etc) atau dalam kurun waktu 3-6 bulan terakhir
atau
Human Immunodeficiency Virus.merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel), dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan
mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi
dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar
13
jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV dan ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk immunodefisiensi
berat disertai infeksi oportunistik dan kegananasan, dan degenerasi susunan saraf pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel sistem imun termasuk sel T
+
CD4 , makrofag dan sel dendritik. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang
13
menjadi AIDS.
Etiologi
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb
(kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya
terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa
dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya
infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
14
membran selubung yang mengandung protein.
Patogenesis
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik
progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T
CD4+ dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4+ dan monosit dalam darah atau sel T CD4+ dan makrofag dalam
jaringan mukosa merupakan sel – sel pertama yang terinfeksi. Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang mengekspresikan Chemokine (C-
C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam jaringan limfoid mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar
getah bening dan limfa merupakan tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan
jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal –
14,15
gatal. Selama periode ini sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi, karena itu fase ini disebut fase laten.
Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala
atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang. Di fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel T dalam darah tidak
mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin menurun hingga 500-
3
200 sel/mm . Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah perifer yang rusak oleh virus
HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan
jumlah sel T dalam darah tepi. Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel
14,15
T.
Selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat mana destruksi sel T dalam jaringan limfoid perifer
3
lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga dibawah 200/mm . Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh
meningkat. Pasien menderita infeksi opportunistik, cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka
14,15
terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus onkogenik.
Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus
sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi
14,15
primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
b. Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara bersama tanpa sterilisasi yang memadai.
c. Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per anal.
4) Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu
ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain.
Cara Penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan,
14,15
persalinan dan pemberian ASI.
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara
dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum
tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam. Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik
melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan.
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
Manifestasi Klinis dan Stadium klinis
15
Stadium klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, sebagai berikut:
1. Stadium I
Asimtomatis
2. Stadium II
Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborreic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi pada mulut
3. Stadium III
Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan
Kandidiasis oral
4. Stadium IV
Sepsis
Tuberkulosis ekstrapulmoner
Limfoma maligna
Sarkoma kaposi
AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang 200 . Klasifikasi
3
Normal >500 sel/mm
Mild deficiency
350-499
Dengan menurunnya status imun terutama bila CD4 <200 sel/mm3, maka berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus lain, protozoa cenderung
tumbuh dan berkembang biak menimbulkan infeksi sekunder. Bila CD4 semakin turun hingga <200 sel/mm3, maka selain ketiga jenis mikroorganisme tersebut
13
juga muncul infeksi jamur. Meskipun demikian infeksi jamur juga bisa terjadi bersamaan dengan infeksi akibat bakteri, virus dan protozoa.
Diagnosis
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah disepakati secara global yaitu 5C ( informed consent, confidentiality, counseling, correct
test results, connections to care, treatment and prevention services). Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan, yaitu
16
pemeriksaan serologis dan virologis.
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis. Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah
adalah sama, yaitu mendeteksi antibodi saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat). Metode western blot sudah
2. Pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih
banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis
dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV
3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda.
HIV.
Tatalaksana
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain
yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non
nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa
13,16
menghilangkan virus yang telah berkembang.
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV,
menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi
13,16
pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer.
17
Anemia penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD) sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan.
Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada
umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7- 11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total Iron Binding Capacity)
4
yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah merah berkurang. Selain itu, indeks dan morfologi eritrosit yang normositik
4
normokromik atau hipokrom ringan (MCV jarang <75 fL).2 Tabel dibawah ini menunjukkan diagnosis diferensial dari ACD.
anemia
transferin
tulang sideroblast
eritrosit
Feritin serum Normal 20-200 µg/l Menurun <20 µg/l Meningkat >50 µg/l Meningkat >50 µg/l
Hb
Patogenesis
Anemia penyakit kronis diduga merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga mangikat lebih banyak zat besi,
meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang inadekuat pada eritropoesis di
sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 (tetra iodothyronine) manjadi T3 (tri-iodothyronine),
18,19
menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoetin akhirnya berkurang.
Pengikatan lebih banyak zat besi menyebabkan konsentrasi rendah serum besi, TIBC rendah atau normal, dan saturasi transferin serta retikulosit
redah. Yang terpenting atau kunci dari ACD adalah akumulasi besi dalam retikuloendotelial makrofag meskipun mengurangi kada zat besi dalam sirkulasi.
Sehingga sedikit zat besi dalam sirkulasi yang tersedia untuk sintesis hemoglobin.
19
Gambar 3.4 Patogenesis anemia penyakit kronis
Dalam sebuah penelitian, ditemukan hepcidin yang merupakan hormon regulasi besi. Inflamasi akibat infeksi, penyakit autoimun, atau kanker yang
merangsang sintesis banyak sitokin seperti interferon-γ, interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) menginduksi produksi kelebihan hepcidin. Produksi
hepcidin jangka panjang, karena kemampuannya yang dapat menghambat fungsi ferroportin pada enterosit duodenum dan makrofag, menyebabkan penyerapan
18,19
zat besi yang buruk dari usus dan retensi besi meningkat yang merupakan ciri dari ACD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson WD, Strayer SM. Evaluation of nausea and vomiting in adults: A case-based approach. Am Fam Physician. 2013;88(6):371-379.
2. Singh P, Yoon SS, Kuo B. Nausea: A review of pathophysiology and therapeutics. Therap Adv Gastroenterol. 2016;9(1):98-112.
3. Becker DE. Nausea, vomiting, and hiccups: a review of mechanisms and treatment. Anesth Prog. 2010;57(4):150-157.
4. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison Principles of Internal Medicine 20th Edition.; 2018.
5. Goodman Gilman A. Goodman & Gillman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. (Brunton LL, ed.). New York: Mc Graw Hill Education; 2017.
6. World Health Organization. Pneumonia 2. 2019;(August):2017-2020.
7. Bookshelf N, Bookshelf N, Library N, Institutes N. Pneumonia: Overview. 2019:1-6.
8. Ramirez J, Bond S. Overview of community-acquired pneumonia in adults - UpToDate. 2019:1-31.
9. Jain V, Bhardwaj A. Pneumonia, Pathology.; 2018.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas. II. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.
11. Cilloniz C, Martin-Loeches I, Garcia-Vidal C, Jose AS, Torres A. Microbial etiology of pneumonia: Epidemiology, diagnosis and resistance patterns. Int J
Mol Sci. 2016;17(12).
12. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, Anzueto A, Brozek J, Crothers K, Cooley LA, et al. Diagnosis and treatment of adults with community-acquired
pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2019;200(7):E45-E67.
13. World Health Organization. Guidelines For Managing Advanced Hiv Disease And Rapid Initiation Of Antiretroviral Therapy. World Heal Organ. 2016.
14. Deeks SG, Overbaugh J, Phillips A, Buchbinder S. HIV infection. Nat Rev Dis Prim. 2015;1(October).
15. Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Phildelphia: Elsevier; 2019.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana HIV. Kementeri Kesehat Republik Indones. 2019;HK.01.07/M.
17. Hoffbrand. Kapita Selekta Hematologi.; 2013.
18. Madu AJ, Ughasoro MD. Anaemia of Chronic Disease: An In-Depth Review. Med Princ Pract. 2017;26(1):1-9.
19. Cullis J. Anaemia of Chronic Disease. Clin Med (Northfield Il). 2013;13(2):193-196.