Anda di halaman 1dari 158

1

IBADAH

TIM Penulis:
Maulana Siregar, M.A
Drs. Salmi Abbas, M.H
Drs. Zulkarnain Lubis, M.A
Faizal Amri Al Azhari, S.THI, M.Ag

Tim Editor:
Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag
Dr. Junaidi, S.Pd.I, M,Si
Mahmud Yunus Daulay, M.A

Desain Sampul:

Edi Lokot Lubis, ST


Muhammad Syahfrizal, SE

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan ridha Allah SWT, kami telah menyusun


dan menyelesaikan Buku Modul Ibadah ini merupakan bagian dari rangkaian
implementasi tuntunan kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.

Buku Modul Ibadah ini merupakan pegangan wajib bagi seluruh mahasiswa di
berbagai Fakultas se-UMSU pada semester II (Dua) pembelajaran, sekaligus bagi
para dosen dalam mengembangkan sistem pengajarannya. Para dosen dapat
mengembangkan metode, strategi, dan teknik pembelajarannya kepada mahasiswa
sesuai KKNI agar mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi tetap dipandu dalam
setiap sesi pertemuan kegiatan pembelajaran yang ada.

Pepatah berkata ,”Tidak ada gading yang tidak retak” mungkin peristiwa itu
terjadi dalam penyusunan buku modul Agama ini. Untuk itu, saran dan kritik
membangun dapat menyempurnakan konten buku ini ke depan hari.

Medan, 7 Agustus 2020

Salam Hormat,

Editor.

3
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. 3
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… 4
I. IDENTITAS………………………………………………………………………. 5
II. PENDAHULUAN………………………………………………………………… 5
III.PEMBELAJARAN………………………………………………………………. 5
A. Kegiatan Pembelajaran 1 Ibadah……………………….……………… …. 5
B. Kegiatan Pembelajaran 2 Thahārah………………………………………… 12
C. Kegiatan Pembelajaran 3 Macam-macam Thahārah …..………………… 19
D. Kegiatan Pembelajaran 4 Shalat………………….…………………………. 40
E. Kegiatan Pembelajaran 5 Macam-macam Shalat Jamaah……………….. 68
F. Kegiatan Pembelajaran 6 Shalat Tathawwu’……………………………….. 75
G. Kegiatan Pembelajaran 7 Shalat Jum’at……………………….…………… 82
H. Kegiatan Pembelajaran 8 Shalat Jama’, Qashar, dan Berbagai Keadaan.. 87
I. Kegiatan Pembelajaran 9 Shiyām dan Zakat…………….…………………. 95
J. Kegiatan Pembelajaran 10 Haji dan ‘Umrah………………………………… 119
K. Kegiatan Pembelajaran 11 Pelaksaaan Janazah………………………….. 134
L. Kegiatan Pembelajaran 12 Praktek Shalat Wajib (1)………….…………… 151
M. Kegiatan Pembelajaran 13 Praktek Shalat Wajib (2)………………………. 152
N. Kegiatan Pembelajaran 14 Do’a dan Zikir………………………………….. 153
IV. PENUTUP…………………………………………………………………………. 154
DAFTAR BACAAN……………………………………………………………………. 155
BIOGRAFI PENULIS…………………………………………………………………. 157

4
I. IDENTITAS

A. Nama Mata Kuliah :IBADAH

B. Kode Mata Kuliah : AEK210052

C. Jumlah SKS : 2 SKS

D. Nama Dosen/Team Teaching : Seluruh Dosen AIK UMSU

II. PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah Ibadah ini memaparkan seluk beluk yang terkait dengan konten
Ibadah (Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji, termasuk Zikir dan doa setelah sholat
wajib). Mata kuliah ibadah ini juga mengajarkan bahwa ibadah itu harus
dilaksanakan berdasarkan tuntunan Alquran dan hadis sehingga menambah
kenyamanan secara psikologis. Selain teori, mahasiswa juga disarankan
untuk mempraktikkan kegiatan shalat wajib dan penyelenggaraan jenazah
secara benar menurut tuntunan sunnah Rasulullah saw.

B. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Mahasiswa memahami pelaksanaan ibadah sesuai dengan tuntunan


sunnah Rasulullah saw.
2. Mahasiswa memahami beberapa dalil-dalil cukup menyakinkan dan
mendatangkkan kepercayaan diri dalam beribadah.
C. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

1. Mahasiswa mampu menganalisis konten beberapa ayat Alquran dan hadis


sebagai penguat dan motivasi dalam beribadah.

2. Mahasiswa mampu melaksanakan praktik kegiatan ibadah dengan


bimbingan dosen AIK.

III. PEMBELAJARAN
A. Kegiatan Pembelajaran ke-1
1. Tujuan Pembelajaran
a. Menjelaskan pengertian ibadah
b. Menganalisis klasifikasi ibadah
c. Mendeskripsikan prinsip-prinsip ibadah

5
2. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Ibadah
Kata “ibādah”adalah kata bahasa Arab, akar kata (mashdar) dari: – ‫ﻋﺑد‬
‫ و ﻋﺑﺎدة‬-‫ ﯾﻌﺑد – ﻋﺑدا‬. Kata “ibādah” mempunyai beberapa arti, seperti: taat,
tunduk, memperhambakan diri, memperbudak, menyembah, doa dan
dan lain sebagainya.1
Penggunaan kata ibadah dalam bahasa Indonesia selalu dipakai untuk
makna “menyembah”, atau pengabdian diri. Di dalam Al-Qur’an ,
banyak ditemukan lafal ibadah dengan berbagai bentuk kata, dan untuk
berbagai makna seperti arti ibadah yang tersebut di atas. Sebagai
contoh:
1) Ibadah dengan makna taat, dapat dilihat dalam sūrah Yāsin (36):
60

             

 
Artinya: “Bukankan Aku (Allāh) telah memerintahkan kepadamu,
wahai Bani Adam, supaya kamu tidak mentaati setan.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang terang-terangan
bagimu”.
2) Ibadah dengan makna tunduk, dapat dilihat dalam sūrah al-
Mu’minūn 23): 47

       

Artinya:”Dan mereka berkata:”Apakah (patut) kita percaya kepada


dua orang manusia seperti kita (juga),padahal kaum mereka (Banī
Isrā’īl) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”.
3) Ibadah dengan makna memperbudak, dapat dilihat dalam sūrah al-
Syu’arā’(26):22

        

1
Syahminan Zaini, Mengapa Manusia Harus Beribadah, tt, Surabaya: Al-Ikhlas. Hal. 12.

6
Artinya:”Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah
(disebabkan) kamu telah memperbudak Banī Isrā’īl”.
4) Ibadah dengan makna doa, dapat dilihat dalam sūrah al-Mu’min
(40): 60

          

   


Artinya:”Dan Tuhanmu berfirman:”Berdoalah kepada-Ku, niscaya
akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka
jahannam dalam keadaan hina dina”.
5) Ibadah dengan makna memperhambakan diri, dapat dilihat dalam
sūrah al-Zumar (39): 17

           

 

Artinya:”Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak


menyembahnya, dan kembali kepada Allāh, bagi mereka berita
gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-
Ku”.
Ibadah yang berarti taat sesuai dengan firman Allāh SWT dalam
Sūrah Yāsin: 60 berbunyi;

             

 

Artinya: Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai


Anak Adam agar kamu tidak mentaati setan sebab ia musuh yang
nyata bagimu.

Makna lain yang berarti berdoa terdapat dalam firman-Nya Sūrah


al-Mu’min : 60 berbunyi,

7
          

   

Artinya:’Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya


akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina".

Berkenaan dengan ibadah ini, Harun Nasution mengemukakan bahwa


ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan agar Allāh disembah
dalam arti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif.
Pengertian serupa ini adalah pengertian yang tidak tepat. Sūrah al-
Zariyat ayat 56 menyebutkan:

      

Artinya:’Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku’.

Ayat ini diartikan bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk


beribadah kepada Allāh, yaitu mengerjakan shalat, puasa, haji, dan
zakat, tetapi haruskah kata ‘liya’budūn’ berarti beribadah, mengabdi,
atau menyembah? Sebenarnya, Allāh tidak berhajat untuk disembah
atau dipuja manusia. Allāh adalah Maha Sempurna dan tidak berhajat
kepada siapapun. Oleh karena itu, kata ‘liya’budūn’ lebih tepat jika
diberi arti tunduk dan patuh dan kata ‘’abdun’ memang mengandung
arti tunduk dan patuh sehingga arti ayat itu menjadi,’Tidak Ku-ciptakan
jin dan manusia kecuali untuk tunduk dan patuh kepada-Ku”. Arti ini
lebih sesuai dengan arti yang terkandung dalam kata muslim dan
muttaqin, yaitu menyerah, tunduk, dan menjaga diri dari hukuman Allāh
di Hari Kiamat dengan mematuhi perintah-perintah dan larangan-
larangan-Nya.2 Bahkan, M, Quraish Shihab mengatakan bahwa

2
Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta. UIP, 1985), Jilid 1, h. 38.

8
penggunaan istilah ibadah yang pada mulanya mencakup segala
perbuatan manusia yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Allāh,
baik aktif maupun pasif. Dalam ilmu fikih, kata tersebut kemudian
dipakai khusus dalam hal-hal tertentu, seperti bersuci (thaharah), puasa
(siyām), zakat, dan haji. Dari segi sistematisasi, hal tersebut dapat
ditoleransi, tetapi ini bukan berarti bahwa ibadah hanya terbatas pada
hal itu saja. Sayangnya, penggunaan istilah tersebut disalahtafsirkan
oleh ahli-ahli hukum Islam (fuqahā’) sehingga menimbulkan
kesalahpahaman di kalangan masyarakat awam. Akibatnya, mereka
menduga bahwa ibadah terbatas pada hal-hal ritual saja.3

Sementara itu, Muhammad Syalthūt berkata bahwa ibadah adalah


bagian dari syariat yang mengatur perbuatan muslim untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan-nya, merasakan kehadiran-Nya,
menjadikan-Nya sebagai penolong dalam imanya, merasa diawasi-Nya,
dan selalu mengharapkan keredaan-Nya.4

Menurut Ash-Shieddieqy, ulama pada berbagai bidang keilmuan


berlainan memberikan defnisi terhadap ibadah, diantaranya:

1) Ulama Tauhid mengartikan ibadah dengan mengesakan Allāh,


membesarkan-Nya dengan sepenuhnya sembari menghinakan diri
sendiri, dan tunduk kepada-Nya.
2) Ulama Tasawwuf mengartikan ibadah dengan perbuatan mukallaf
yang berlawanan dengan hawa nafsunya sendiri untuk
membesarkan Tuhannya.
3) Ulama Fikih mengartikan ibadah dengan melakukan segala hukum
Allāh untuk mencari keredaan Allāh, mengharapkan pahala-Nya di
akhirat, dan dikerjakan sebagai tanda pengabdian kepada Allāh
SWT.5
Perbedaan defenisi-defenisi di atas seketika dapat dimengerti karena
berlatar-belakang pada disiplin ilmu mereka. Hal ini bukan berarti pula

3
M.Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h.383.
4
Muhammad Syaltut, Al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah (tk. : Dar al-Qalam, 1966), h.77.
5
Hasbi Ash-Shiddieqy,Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), h.8-9

9
perbedaan yang berseberangan. Perbedaan itu justru dapat dilihat
pada persamaan mereka yang terpokus pada diri manusia yang
melakukan kebaikan.

Kitab Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengemukakan


definisi “ibadah” sebagai berikut:

‫َﻞ ِﲟَـﺎ أَ ِذ َن ﺑِـ ِﻪ‬


ِ ‫َﺎب ﻧـَﻮَا ِﻫْﻴ ِﻪ َواْﻟ َﻌﻤ‬
ِ ‫َﺎل أوَا ِﻣ ِﺮﻩِ وَإ ْﺟﺘِﻨ‬
ِ ‫ﱡب إ َِﱃ اﷲِ ﺑِِﺈ ْﻣﺘِﺜ‬
ُ ‫أﻟْﻌِﺒَﺎ َدةُ ِﻫ َﻲ اﻟﺘﱠـ َﻘﺮ‬
‫ﺻـﺔُ َﻣـﺎ‬ ‫ َواْﳋَﺎ ﱠ‬. ُ‫َﻞ أَ ِذ َن ﺑِِﻪ اﻟﺸﱠﺎ ِرع‬ ٍ ‫ ﻓَﺎْﻟﻌَﺎ ﱠﻣﺔُ ُﻛ ﱡﻞ َﻋﻤ‬. ٌ‫ﺻﺔ‬ ‫اﻟ ﱠﺸﺎ ِرعُ َوِﻫ َﻲ ﻋَﺎ ﱠﻣﺔٌ َوﺧَﺎ ﱠ‬
. ‫ﺻ ٍﺔ‬ َ ‫ﱠﺎت ﳐَْﺼ ُْﻮ‬
ٍ ‫َﺎت َوَﻛْﻴ ِﻔﻴ‬ ٍ ‫ﱠﺎت َو َﻫْﻴﺌ‬ ٍ ‫ُِﺰﺋِﻴ‬
ْ ‫َﺣ ﱠﺪ َدﻩُ اﻟﺸﱠﺎ ِرعُ ﻓِْﻴـﻬَﺎ ﲜ‬
“Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allāh, dengan
jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-
larangan-Nya dan mengamalkan segala yang yang diizinkanAllāh.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah
segala amalan yang diizinkan Allāh. Yang khusus ialah apa yang telah
ditetapkan Allāh dengan perincian-perinciannya, keadaan-keadaannya
dan cara-caranya yang tertentu”.6

Ibadah umum mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yaitu segala
amal kebajikan yang dilakukan oleh manusia muslim-mukmin dengan
niat ibadah dan semata-mata karena mengharapkan ridha Allāh.
Sedangkan ibadah khusus ( atau disebut juga ibadah mahdhah), ialah
ibadah yang tatacara pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nash (Al-
Qur’an dan al-Hadis).
Perlu diketahui dan dipahami bahwa “Ibadah khusus” tidak menerima
penambahan dan pengurangan (kreasi) manusia.

b. Klasifikasi Ibadah
Ibadah dilihat dari berbagai sisi:
1) Ibadah Khusus, yaitu ibadah yang ketetapan hukum, kaifiyat dan
lain sebagainya, telah dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an
atau Hadis.

6
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Cet.ke-
3.Yogyakarta:PPM. Hal. 276

10
2) Ibadah Umum, yaitu semua perbuatan yang dibolehkan oleh syara’
untuk dilakukan, dengan cara yang baik dan terpuji dan diamalkan
semata-mata karena mengharap ridha Allāh.
3) Ibadah Jasmaniyah dan Rūḥaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan
dengan menggunakan jasmani dan ruhani, seperti shalat dan
puasa.
4) Ibadah Rūḥaniyah dan Māliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan
dengan menggunakan ruhani dan harta, seperti zakat.
5) Ibadah Jasmaniyah, Rūḥaniyah dan Māliyah, yaitu ibadah yang
dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani dan harta
sekaligus, seperti haji.7
c. Prinsip-Prinsip Ibadah
Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah
Allāh SWT, bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya dan
melaksanakan hak sesama manusia. Oleh karena itu tidak mesti ibadah
itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang
bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui
hikmah ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas. 8
1) Ikhlas. Hidup beribadah adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allāh SWT, digunakan untuk menunaikan amanah-Nya sebagai
khalīfah-Nya di muka bumi, membangun dan mengatur dunia serta
menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertibannya guna
memakmurkannya dengan mematuhi ketentuan-ketentuan yang
menjadi peraturannya. Kesemuanya dilakukan di atas fondasi
keikhlasan kepada Allāh SWT semata.
2) Ittiba’. Rangkaian ketentuan ritual ibadah berasal dari Allāh SWT
dan Rasul-Nya, maka manusia hanya bersikap ta’abbudi (taat dan
patuh) saja. Manusia tidak diperkenankan menambah dan
mengurangi ketentuan tersebut. Kebebasan manusia
berimprovisasi dalam berbuat hanya dalam mu’amalah (hubungan
manusia dengan manusia) dengan mematuhi ketentuan ajaran
Islam pula.

7
.Baihaqi, Fiqh Ibadah,1996.Bandung: M2S. hal.14
8
.A.Rahman Ritonga, Zainudin, Fiqh Ibadah,2002. Cet.II.Jakarta:Gaya Media Pratama. Hal.7

11
Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia dalam menyembah
Tuhannya. Ini berarti tidak harus mengetahui rahasianya secara
terperinci. Seandainya ibadah itu harus sesuai dengan kemampuan
akal dan harus mengetahui hikmahnya secara terperinci, tentu orang
yang lemah kemampuan akalnya untuk mengetahui hikmah tersebut
tidak akan melaksanakannya atau akan menjauhinya.Mereka akan
menyembah akal dan nafsunya, tidak menyembah Tuhan. 9

3. Latihan
Wawancarailah 10 orang muslim untuk meminta pendapat mereka tentang
arti ‘ibadah’ dalam bentuk video wawancara dan anda beri komentar
dalam narasi anda pada video tersebut !
4. Evaluasi
a. Carilah akar kata ibadah !
b. Definisikan makna ibadah tersebut !
5. Kunci Jawaban
a. Kata “ibadah” mempunyai beberapa arti, seperti: taat, tunduk,
memperhambakan diri, memperbudak, menyembah, doa dan dan lain
sebagainya.
b. Ibadah ialah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allāh, dengan
jalan menta’ati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-
larangan-Nya dan mengamalkan segala yang yang diizinkanAllah.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah
segala amalan yang diizinkan Allāh. Yang khusus ialah apa yang telah
ditetapkan Allāh dengan perincian-perinciannya, keadaan-keadaannya
dan cara-caranya yang tertentu.
B. Kegiatan Pembelajaran ke-2
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Thahārah
b. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum dan fungsi Thahārah
c. Mahasiswa mampu membedakan alat-alat Thahārah
d. Mahasiswa mampu menjelaskan sebab-sebab Thahārah

9
. Ibid. hal.8

12
2. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Thahārah
Kata “thahārah” adalah bahasa Arab, dari kosa kata: ‫ طﮭﺎرة‬, ‫ طﮭرا‬,‫ ﯾطﮭر‬, ‫طﮭر‬
yang berarti bersih. Menurut istilah fuqahā’ (ahli fiqh), berarti
membersihkan hadats atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani
seperti darah, air kencing, dan tinja.10
Thahārah menurut istilah ialah usaha membersihkan diri dari hadats dan
najis. Hadats adalah “kotor” yang bersifat fsikis/tidak nyata, sedangkan
najis adalah “kotor” yang bersifat fisik/nyata secara indrawi.
Abu Jayb, Sa’di, dalam Rahman Ritonga memberikan pengertian
thahārah menurut istilah fiqh, yaitu: “Menghilangkan hadats atau najis
yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau
menghilangkan hukumnya (hadats dan najis) dengan tanah”.11
b. Dasar Hukum dan Fungsi Thahārah

Hukum thahārah (bersuci) adalah wajib, terutama bagi orang yang akan
melaksanakan shalat. Hal ini didasarkan pada firman Allāh SWT:

‫أﻷﯾﺔ‬.......      .........

Artinya: “…..Dan jika kamu junub (berhadats besar) maka bersucilah


…(al-Māidah/5:6).

     

Artinya: “Terhadap Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah.


(al-Muddatstsir/74:3-4).
Dan hadis Nabi saw:

(٧ / ١) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﱰﻣﺬى‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫ِﻴﻞ َﻋ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ اﳊَْﻨَ ِﻔﻴﱠ ِﺔ َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱟﻲ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻋﻘ‬
‫َﲢﻠِﻴﻠُﻬَﺎ اﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ُﻢ‬
َْ‫َﲢ ِﺮﳝُﻬَﺎ اﻟﺘﱠ ْﻜﺒِﲑُ و‬
َْ‫ﱠﻼةِ اﻟﻄﱡﻬُﻮُر و‬ َ ‫َﺎل ِﻣ ْﻔﺘَﺎ ُح اﻟﺼ‬
َ ‫اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬

10
. Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqhu ‘ala al-madzhahib al-khamsah (al-Ja’fariy, al-Hanafi, al-
Malikiy, al-Syaf’iy, al-Hanbaliy, 2008.cet.ke-2. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah. Hal. 13
11
. Rahman Ritonga, Fiqh Iadah, 2002. Cet.ke-2. Jakarta: Radar Jaya. Hal. 17.

13
Artinya: “ Dari Abdillah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari Muhammad bin al-
Hanafiyah, dari ‘Ali, dari Nabi saw, berkata ia:”Kunci shalat itu adalah
bersuci, diawali dengan takbir dan diakhirei dengan salam.12
(H.R.Turmudzi).
Adapun fungsi thahārah adalah untuk memenuhi syarat sahnya shalat
dan untuk menyempurnakan ibadah.

c. Alat Thahārah
Alat yang dapat dipergunakan untuk thahārah (bersuci) ada tiga:

1) Air

Salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk thahārah adalah air.
Bahkan merupakan alat thahārah yang paling utama.Namun tidak
semua air dapat dipergunakan untuk thahārah. Berikut penjelasan
macam-macam air;

a) Air mutlak

Air mutlak ialah “air yang suci pada zatnya, dan dapat mensucikan
bagi lainnya”. Atau istilah lain, air yang suci lagi mensucikan, atau
“air yang yang dapat dipergunakan untuk bersuci”. Yang termasuk
air mutlak ini adalah: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air
salju, air telaga atau air danau.Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:

      ......


Artinya: “…….Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) yang suci.
Al- Furqān (25):48.

‫أﻷﯾﺔ‬.......       ......

12
Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsawrah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
t,th), hlm. 12

14
Artinya: “…….Dan Dia (Allāh) menurunkan kepadamu air dari langit
untuk mensucikan kamu dengannya.QS. al-Anfāl (8): 11.

b) Air musta’mal
Air musta’mal ialah air bekas terpakai, yaitu air yang telah dipakai
untuk berwudlu’ atau mandi. Hukumnya sama dengan air mutlak,
yaitu sah untuk bersuci. Hal ini didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a, ketika Nabi saw pernah mandi
dengan (air) sisa air mandi Maimunah;

(٩٨ / ١) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫ـﺎك َﻋ ـ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣ ـﺔَ َﻋ ـ ْﻦ اﺑْ ـ ِﻦ‬ ٌ ‫َص َﺣ ـ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ِﲰَـ‬ ِ ‫َﺣ ـ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﻣ َﺴ ـ ﱠﺪ ٌد َﺣ ـ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑـُـﻮ ْاﻷَ ْﺣ ـﻮ‬
َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﰲ َﺟ ْﻔﻨَ ٍﺔ ﻓَﺠَﺎء‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َاج اﻟﻨِ ﱢ‬ِ ‫ﺾ أَزْو‬ ُ ‫َﺎل ا ْﻏﺘَ َﺴ َﻞ ﺑـَ ْﻌ‬ َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬
ٍ ‫َﻋﺒ‬
‫ـﻮل‬
َ ‫ـﺖ ﻟَـﻪُ ﻳَــﺎ َر ُﺳـ‬ ْ ‫َﺴـ َﻞ ﻓَـﻘَﺎﻟَـ‬ ِ ‫ﺿـﺄَ ِﻣْﻨـ َﻬــﺎ أ َْو ﻳـَ ْﻐﺘ‬
‫ﺻـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َو َﺳـﻠﱠ َﻢ ﻟِﻴَﺘَـ َﻮ ﱠ‬َ ‫ـﱯ‬ ‫اﻟﻨﱠـِ ﱡ‬
‫ﺻ ـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴ ـ ِﻪ َو َﺳ ـﻠﱠ َﻢ إِ ﱠن اﻟْ َﻤــﺎءَ َﻻ‬ َ ‫ـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ‬ ُ ‫ـﺎل َر ُﺳـ‬ َ ‫ـﺖ ُﺟﻨُﺒًــﺎ ﻓَـ َﻘـ‬ ُ ‫ِﱐ ُﻛْﻨـ‬
‫اﻟﻠﱠـ ِﻪ إ ﱢ‬
‫ِﺐ‬
ُ ‫ُْﳚﻨ‬
Artinya:”Dari Ibnu Abbās r.a, beliau berkata, “pernah sebagian istri
Nabi saw mandi dengan air di dalam bejana besar. Kemudian
datang Nabi saw untuk berwudlu’atau mandi (dengan sisa air)
dalam bejana tersebut.Maka berkata Maimūnah r.a kepadanya,
“Wahai Rasūlullāh, tadi saya dalam keadaan junub, lalu Rasūlullāh
SAW bersabda,”sesungguhnya air itu tidak junub”.13 HR.Abu Daud.

c) Air mutanajjis

Air mutanajjis ialah air yang bernajis, maksudnya ialah air


tercampur dengan benda najis sehingga berubah rasa, bau dan
warnanya.Air seperti ini tidak dapat dapat dipergunakan untuk
thahārah, baik untuk menghilangkan hadatst maupun
menghilangkan najis.

d) Air yang suci tapi tidak mensucikan

13
Abi Dawd Sulaimān ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawd, (Riyādh: Maktabah al-Ma’arif, tth),
hlm. 46-47.

15
Yang dimaksud dengan air ini ialah air yang dilihat dari zatnya
adalah suci, seperti air kelapa, air gula (teh manis, kopi, susu dll),
termasuk air yang telah tercampur dengan zat kimia seperti air
minum fanta , coca cola,dan lain-lain. Air seperti inipun tidak dapat
dipakai untuk berwudu’, mandi dan istinjak.

2) Debu
Thahārah (bersuci) dengan debu didasarkan pada Firman Allāh SWT
dalam sūrah an-Nisā’’(4):43;

             .......

         

       


Artinya:”…..Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali
dari tempat buang air (WC), atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah dengan
tanah (suci), lalu sapulah mukamu dan tanganmu (dengan tanah
tersebut). Sesungguhnya Allāh Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Pengertian tanah yang baik yaitu tanah atau debu yang bersih, yang
tidak bercampur dengan najis.

3) Benda Padat

Benda-benda padat yang suci dari asalnya, dapat dipergunakan untuk


bersuci, jika tidak didapatkan air, seperti batu. Adapun benda keras
yang asalnya dari benda najis, seperti kotoran kering, tetap tidak
dapat dipergunakan untuk bersuci. Hal ini didasarkan pada hadis
berikut:

‫َـﺶ َﻋـ ْﻦ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َﻋـ ْﻦ‬


ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﻣ َﺴ ﱠﺪ ُد ﺑْ ُﻦ ُﻣﺴ َْـﺮَﻫ ٍﺪ ﺣَـ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُـﻮ ُﻣﻌَﺎ ِوﻳَـﺔَ َﻋـ ِﻦ اﻷَ ْﻋﻤ‬
‫َـﻰ ٍء‬
ْ ‫ـﺎل ﻗِﻴـ َﻞ ﻟَـﻪُ ﻟََﻘـ ْﺪ َﻋﻠﱠ َﻤﻜُـ ْﻢ ﻧَﺒِـﻴﱡ ُﻜ ْﻢ ﻛُـ ﱠﻞ ﺷ‬
َ َ‫َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﻳَِﺰﻳـ َﺪ َﻋـ ْﻦ ﺳَـ ْﻠﻤَﺎ َن ﻗ‬

16
‫ أَ ْن ﻧَ ْﺴ ـﺘَـ ْﻘﺒِ َﻞ‬-‫ﺻــﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ــﻪ وﺳــﻠﻢ‬- ‫ـﺎل أَ َﺟ ـ ْﻞ ﻟََﻘ ـ ْﺪ ﻧـَﻬَﺎﻧَــﺎ‬ َ ‫ ﻗَـ‬.َ‫اﳋِ ـﺮَاءَة‬
ْ ‫َﺣـ ﱠـﱴ‬
‫ْﺠ َﻰ أَﺣَـ ُﺪﻧَﺎ ﺑِﺄَﻗَـ ﱠﻞ‬
ِ ‫ﲔ َوأَ ْن ﻻَ ﻳَﺴْـﺘَـﻨ‬
ِ ‫ْﺠ َﻰ ﺑِـﺎﻟْﻴَ ِﻤ‬
ِ ‫ِﻂ أ َْو ﺑـَﻮٍْل َوأَ ْن ﻻَ ﻧَ ْﺴﺘَـﻨ‬ٍ ‫اﻟْ ِﻘْﺒـﻠَﺔَ ﺑِﻐَﺎﺋ‬
.ٍ‫ْﺠ َﻰ ﺑِﺮَِﺟﻴ ٍﻊ أ َْو َﻋﻈْﻢ‬ ِ ‫ِﻣ ْﻦ ﺛَﻼَﺛَِﺔ أَ ْﺣﺠَﺎ ٍر أ َْو ﻳَ ْﺴﺘَـﻨ‬
Artinya:”Telah mengabarkan kepada Abu Mu’awiyah dari A’masy dari
Ibrahim dari Abdurrahman dari Yazid dari Salman r.a. telah berkata
(ia) : “Sesungguhnya Rasūlullāh saw melarang kami menghadap
qiblat sewaktu buang air besar atau air kecil, atau istinja’ dengan
tangan kanan, atau istinja’ dengan batu, kurang dari tiga buah, atau
istinja’ dengan kotoran atau dengan tulang” (HR. Al-Bukhari).14

d. Sebab-sebab Thahārah
1) Hadats adalah keadaan seseorang yang tidak suci karena buang air
besar (BAB) ataupun keluar air mani dari kemaluan. Hadats ini dapat
dihilangkan dengan cara berwudhu’ ataupun mandi wajib.
a) Hadats kecil. Hadats ini dapat dihilangkan dengan cara berwudhu’
dengan baik dan benar dan penyebabnya sebagai berikut:
 Mengeluarkan sesuatu dari kemaluan (dubur), seperti air
kencing, madzi (lendir yang keluar karena syahwat), wadhi
(lendir yang keluar setelah kencing), dan anus (qubul) seperti
kotoran dan kentut.
 Menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain dengan tapak
tangan tanpa memakai alas.
 Tidur nyenyak dengan posisi telentang, apalagi berguling.
b) Hadats besar. Hadats ini dapat dihilangkan dengan cara mandi
wajib yang baik dan benar sesuai ketentuan Rasūlullāh SAW.
Penyebabnya sebagai berikut:
 Keluarkan air mani sebab mimpi atau dipaksa seperti onani.
 Hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan
(jima’/coitus).
 Haid.
 Nifas (darah setelah melahirkan [wilādah]).

14
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Qahirah: Matba’ah as-Salafiyah, tth), hlm. 71.

17
 Mati.
2) Najis adalah kotoran yang terlihat nyata. Ada 10 (sepuluh) jenis
kotoran yang disepakati ulama;
a) Babi
b) Anjing.
c) Tinja
d) Air Kencing.
e) Muntah
f) Darah
g) Nanah
h) Bangkai
i) Madzi
j) Wadhi.15
Kemudian, kaifiyah (cara) yang dilakukan untuk mensucikan benda yang
terkena najis-nais tersebut bergantung pada macam apa najis yang
mengenai itu. Pembagian najis dan cara mensucikanya dapat dilihat di
bawah ini;
1) Najis Mugallazah (berat) adalah najis yang berasal dari anjing dan babi.
Cara mensucikan benda yang terkena najis ini dibasuh tujuh kali dan
satu kali di antaranya air dicampur dengan tanah.
2) Najis Mukhaffafah (ringan) adalah najis yang berasal dari kencing bayi
laki-laki yang belum makan sesuatu apapun kecuali air susu ibu dan
usianya belum dua tahun. Cara mensucikannya dilakukan dengan
memercikkan atau menuangkan air sampai merata di tempat yang
terkena najis tersebut.
3) Najis Mutawassitah (pertengahan) adalah najis yang selain dari kedua
macam yang telah disebutkan di atas. Najis pertengahan ini terbagi
pada dua bagian,
a) Najis Hukmiyah adalah najis yang diyakini keberadaannya, tetapi
tidak tampak zat dan bau. Misalnya, kencing yang sudah lama
kering sehingga sifatnya telah hilang. Cara mensucikannya cukup
dengan mengalirkan air di atas benda yang kena najis itu.

15
Ali Imran Sinaga, Fikih Thaharah, Ibadah, Muamalah (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011),
Bagian Pertama, h.14.

18
b) Najis ‘Aniyah adalah najis yang tampak zat dan bau rasanya. Cara
mensucikan najis ini ialah dengan menyiram tempat yang terkena
najis dengan air sampai hilang baunya kecuali bau yang sulit
dihilangkan sesudah digosok berulang-ulang.16

3. Latihan
Risetlah secara ilmiah mengapa ke-10 jenis najis tersebut harus
dibersihkan jika terkena badan dan pakaian !
4. Evaluasi
a. Jelaskan arti Thaharah !
b. Bagaimana huku Thaharah !
5. Kunci Jawaban
a. Thahārah menurut istilah fikih, yaitu: “Menghilangkan ḥadats atau najis
yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau
menghilangkan hukumnya (ḥhadats dan najis) dengan tanah”.
b. Hukum thahārah (bersuci) adalah wajib, terutama bagi orang yang akan
melaksanakan shalat.
C. Kegiatan Pembelajaran ke-3
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa Mampu beristinja’ dengan benar
b. Mahasiswa Mampu berwudhu’ dengan benar sesuai sunnah
c. Mahasiswa Mampu bertayammum dengan benar
d. Mahasiswa Mampu mandi Wajib dengan benar.
2. Materi Pembelajaran
a. Istinja’

Istinja’ adalah membersihkan qubul dan dubur sesudah buang air kecil
dan buang air besar. Istinja’ dapat dilakukan dengan salah satu cara
yang berikut ini;

1) Membasuh tempat keluar najis dengan air sehingga bersih.

16
Ibid,. h. 16.

19
2) Menyapunya dengan batu sehingga bersih sekurang-kurangnya tiga
buah batu atau benda-benda lainnya yang kesat sebagai pengganti
batu.
3) Menyapunya lebih dahulu dengan batu atau benda-benda lainnya
yang kesat sesudah itu membasuhnya dengan air.17
Jika ketiadaan air, istinja’ dapat dilakukan dengan batu sebagaimana
sabda Rasūlullāh SAW,

ُ‫ْﺲ أَﺑُﻮ ﻋُﺒَـْﻴ َﺪةَ ذَ َﻛَﺮﻩ‬


َ ‫َﺎل ﻟَﻴ‬َ ‫َﺎق ﻗ‬
َ ‫َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُزَﻫْﻴـٌﺮ َﻋ ْﻦ أَِﰊ إِ ْﺳﺤ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ ﻧـُ َﻌْﻴ ٍﻢ ﻗ‬
‫ﱠﱯ‬
‫ُﻮل أَﺗَﻰ اﻟﻨِ ﱡ‬ ُ ‫َوﻟَ ِﻜ ْﻦ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ُﻦ ْاﻷَ ْﺳ َﻮِد َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ ﻋَْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻳـَﻘ‬
‫ْت َﺣ َﺠَﺮﻳْ ِﻦ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟْﻐَﺎﺋِ َﻂ ﻓَﺄََﻣﺮَِﱐ أَ ْن آﺗِﻴَﻪُ ﺑِﺜ ََﻼﺛَِﺔ أَ ْﺣﺠَﺎ ٍر ﻓَـ َﻮ َﺟﺪ‬ َ
‫ْت رَْوﺛَﺔً ﻓَﺄَﺗَـْﻴﺘُﻪُ َِﺎ ﻓَﺄَ َﺧ َﺬ اﳊَْ َﺠَﺮﻳْ ِﻦ َوأَﻟْ َﻘﻰ‬
ُ ‫ِﺚ ﻓَـﻠَ ْﻢ أ َِﺟ ْﺪﻩُ ﻓَﺄَ َﺧﺬ‬ َ ‫ْﺖ اﻟﺜﱠﺎﻟ‬ ُ ‫وَاﻟْﺘَ َﻤﺴ‬
‫ﺲ‬ٌ ‫َﺎل َﻫﺬَا ِرْﻛ‬ َ ‫اﻟﺮْﱠوﺛَﺔَ َوﻗ‬
Artinya:”Dari Abdurrahman bin Aswad Dari ayahnya bahwasanya ia
mendengar Abdullah berkata,’Rasūlullāh saw. datang Dari buang air,
lalu menyuruhku untuk memberikan kepadanya tiga buah batu.
Namun, aku mendapatkan dua buah batu dan menemukan batu yang
ketiga yang berasal Dari kotoran unta yang keras. Lalu, aku berikan
kepada beliau. Rasūlullāh saw mengambil dua buah batu dan
membuang kotoran unta yang keras dengan berkata,’Ini adalah
najis’(H.R. Shaḥīh Bukhari dalam kitab Wudhu’ no. 152).

Adapun syarat ber-istinja’ dengan batu tersebut adalah:

1) Batu atau benda yang kesat itu suci dan dapat menarik najis.
2) Batu atau benda yang kesat itu tidak sesuatu yang dihormati,
misalnya bahan makanan manusia atau batu masjid.
3) Tempat keluar najis disapu sampai bersih.
4) Najis itu belum kering.
5) Najis itu tidak berpindah dari tempat keluarnya atau tidak
melewati ujung kemaluan atau daratan yang terkatup ketika berdiri
pada tempat buang air (besar).
17
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifāyah al-Akhyār fi Hill Gāyat al-Ikhtisār, h. 27.

20
6) Najis itu tidak terkena sesuatu yang lain walaupun suci, misalnya
tidak terkena percikan air.18
Ketika buang air besar dan kecil, idealnya seorang muslim memiliki
etika tertentu antara lain: tidak menghadap kiblat dan
membelakanginya, tidak pula pada air yang menggenang khususnya
air yang dipakai untuk mandi, tidak sambil berdiri kecuali ada
halangan, dan tidak di tempat terbuka.19

b. Berwudhu’
1) Pengertian dan Dalil Hukum

Wudhu’ menurut bahasa berarti ‘baik’ dan ‘bersih’.20 Menurut istilah


syara’, wudhu’ adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku,
mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki yang sebelumnya
didahului dengan niat serta dilakukan dengan tertib.

Perintah wudhu’ diwajibkan kepada orang yang akan melaksanakan


shalat dan merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini
berdasarkan firman Allāh SWT dalam sūrah al-Māidah: 6 berbunyi,

          

         

              

        

           

       

Artinya:’Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai

18
Ibid.
19
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 254.
20
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, h.. 904.

21
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allāh tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur’.

Kemudian, hadis Nabi saw. dari Abu Hurairah r.a. yang berbunyi,

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫ُﻮل ﻗ‬
ُ ‫َﱠﺎم ﺑْ ِﻦ ُﻣﻨَﺒﱢ ٍﻪ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻳـَﻘ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ ﳘ‬
َ‫ﺿﺄ‬ ‫َﱴ ﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬
‫َث ﺣ ﱠ‬
َ ‫َﻼةُ َﻣ ْﻦ أَ ْﺣﺪ‬
َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻻ ﺗـُ ْﻘﺒَ ُﻞ ﺻ‬

Artinya:”Allāh tidak memerima shalat seseorang di antaramu jika


berhadas sampai ia berwudhu’” (H.R. Shahih Bukhari dalam Kitab
Wudhu, no. 132).

Berdasarkan keterangan kedua nash di atas, wudhu’ merupakan


pekerjaan yang sangat penting ketika akan melaksanakan shalat.
Untuk itu, menurut ijmā’ bahwa shalat hukumnya wajib bagi muslim
yang sudah dewasa dan berakal, telah masuk waktu shalat tertentu,
ataupun ketika akan melakukan suatu perbuatan yang disyari’atkan
wudhu’ terlebih dahulu seperti shalat.21

2) Hikmah Berwudhu’

Banyak sekali hadis-hadis yang diterima mengenai keutamaan


berwudhu’ ini, antara lain hadis yang diriwayatkan al-Nasā’i yaitu;

َ‫ﺿﺄ‬‫َﺎل إِذَا ﺗَـ َﻮ ﱠ‬


َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َﺎﲝ ﱢﻲ أَ ﱠن َرﺳ‬
ِِ ‫ﺼﻨ‬ ‫َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟ ﱡ‬
‫َﺖ‬
ْ ‫َﺖ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻓِﻴ ِﻪ ﻓَِﺈذَا ا ْﺳﺘَـْﻨﺜَـَﺮ َﺧَﺮﺟ‬ ْ ‫َﺾ َﺧَﺮﺟ‬ َ ‫ﻀﻤ‬ ْ ‫اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﻓَـﺘَ َﻤ‬
‫َﱴ ﲣَُْﺮ َج ِﻣ ْﻦ‬‫ْﺖ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ َو ْﺟ ِﻬ ِﻪ ﺣ ﱠ‬ِ ‫اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ أَﻧِْﻔ ِﻪ ﻓَِﺈذَا ﻏَ َﺴ َﻞ َو ْﺟ َﻬﻪُ َﺧَﺮﺟ‬
21
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 29.

22
‫َﱴ ﲣَُْﺮ َج ِﻣ ْﻦ‬ ‫َﺖ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﺣ ﱠ‬ ْ ‫َْﺖ أَ ْﺷﻔَﺎ ِر َﻋْﻴـﻨَـْﻴ ِﻪ ﻓَِﺈذَا َﻏ َﺴ َﻞ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ َﺧَﺮﺟ‬
ِ‫ﲢ‬
‫َﱴ ﲣَُْﺮ َج ِﻣ ْﻦ‬ ‫َﺖ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ َرأ ِْﺳ ِﻪ ﺣ ﱠ‬ ْ ‫َْﺖ أَﻇْﻔَﺎ ِر ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﻓَِﺈذَا َﻣ َﺴ َﺢ ﺑَِﺮأ ِْﺳ ِﻪ َﺧَﺮﺟ‬
ِ‫ﲢ‬
‫َْﺖ أَﻇْﻔَﺎ ِر‬ ِ ‫َﱴ ﲣَُْﺮ َج ِﻣ ْﻦ ﲢ‬ ‫َﺖ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ ِﻣ ْﻦ ِر ْﺟﻠَﻴْ ِﻪ ﺣ ﱠ‬ْ ‫أُذُﻧـَْﻴ ِﻪ ﻓَِﺈذَا َﻏ َﺴ َﻞ ِر ْﺟﻠَْﻴ ِﻪ َﺧَﺮﺟ‬
ُ‫َﻼﺗُﻪُ ﻧَﺎﻓِﻠَﺔً ﻟَﻪ‬َ ‫ْﺠ ِﺪ َوﺻ‬ ِ ‫ِر ْﺟﻠَْﻴ ِﻪ ﰒُﱠ ﻛَﺎ َن َﻣ ْﺸﻴُﻪُ إ َِﱃ اﻟْ َﻤﺴ‬
Artinya:’Diterima dari ’Abdullah as-Sunabihiy bahwa Rasūlullāh saw.
bersabda, “Jika seorang hamba berwudhu’ dan berkumur-kumur,
keluarlah dosa-dosa dari mulutnya, jika ia membersihkan hidung,
dosa-dosa akan keluar dari hidungnya. Begitu juga, jika ia
membersihkan muka, dosa-dosa akan keluar dari mukanya sampai-
sampai dari bawah pinggir kelopak matanya. Jika ia membasuh kedua
tangan, dosa-dosanya akan turut keluar sampai-sampai dari bawah
kukunya. Demikian pula, jika ia manyapu kepala, dosa-dosa akan
keluar dari kepalanya. Bahkan, dari kedua kepalanya. Begitu pula, ia
membasuh dua kaki, keluarlah dosa-dosa tersebut dari dalamnya
sampai bawah kuku jari-jarinya. Kemudian, tinggallah perjalanannya
ke masjid dan ia mengerjakan shalat sehingga menjadi pahala yang
bersih baginya”. (H.R. Sunan an-Nasā’ī Kitab at-Thahārah no. 102)

Berdasarkan hadis di atas, keistimewaan wudhu’ selain


membersihkan angggota wudhu’, mengangkat hadas, dan juga dapat
menghapuskan dosa-dosa di setiap sudut anggota wudhu’. Kejadian
ini berlangsung tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi kejadian selalu
berlangsung setiap kali berwudhu’ yang dilakukan seorang muslim,
terutama akan melaksanakan shalat.

3) Syarat Sah dan Rukun Wudhu’

Adapun syarat sah wudhu’ sebagai berikut:

a) Beragama Islam.
b) Mumayyiz (dapat membedakan mana nilai-nilai yang baik dan
yang buruk atau sudah berakal).
c) Airnya suci.
d) Tidak ada halangan dari agama seperti haidh atau nifās.22
4) Rukun Wudhu’.23

22
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifāyah al-Akhyār fi Hill Gayat al-Ikhtisār, h. 19.
23
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkara (peristiwa) dan jika tidak ada, maka sesuatu
itu menjadi batal/tidak sah.

23
Rukun wudhu’ ada lima bagian, yaitu:

a) Niat.

Niat merupakan pekerjaan hati yang diarahkan untuk mengerjakan


sesuatu dengan mengharapkan keridaan Allāh SWT. Niat
merupakan dasar sahnya ibadah berdasarkan hadis dari ‘Umar r.a
yang berkata,

‫َﺎل ﺑِﺎﻟﻨﱢـﻴﱠ ِﺔ َوﻟِ ُﻜ ﱢﻞ‬


ُ ‫َﺎل ْاﻷَ ْﻋﻤ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻤَﺮ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫َﺖ ِﻫ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ ﻓَ ِﻬ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟِِﻪ‬
ْ ‫ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻛَﺎﻧ‬
‫َﺖ ِﻫ ْﺠَﺮﺗُﻪُ ﻟ ُﺪﻧْـﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴﺒُـﻬَﺎ أ َْو ا ْﻣَﺮأَةٍ ﻳـَﺘَـَﺰﱠو ُﺟﻬَﺎ ﻓَ ِﻬ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ ﻣَﺎ ﻫَﺎ َﺟَﺮ‬
ْ ‫َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎﻧ‬
‫إِﻟَْﻴ ِﻪ‬
Artinya:”Sesungguhnya Rasūlullāh SAW telah
bersabda,’Sesungguhnya semua perbuatan itu (diawali) dengan
niat. Setiap manusia akan mendapatkan sekedar apa yang
diniatkannya itu. Barangsiapa berhijrah karena Allāh dan Rasul-
Nya, maka hijrah karena Allāh dan Rasul-Nya. Barangsiapa
berhijrah karena mengharapkan dunia atau ingin menikahi seorang
wanita, maka hijrahnya sesuai dengan niat hijrahnya” (H.R.Shahih
Bukhari No. 2344 dalam Bab al-‘Atiq).

Untuk itu, niat dalam berwudhu’ sangat diperlukan agar terjadi


perbedaan antara sekedar membersihkan anggota badan dengan
berwudhu’ untuk melaksanakan shalat.

b) Membasuh wajah.

Batas wajah yang wajib dibasuh adalah dari puncak kening sampai
dagu dan Dari anak telinga kanan sampai anak telinga kiri
sebagaimana firman Allāh SWT,

‫ْﺴﻠﻮُا ُوﺟ ُْﻮَﻫ ُﻜ ْﻢ‬


ِ ‫ﻓَﺎﻏ‬

Artinya:”Basuhlah wajahmu”.

c) Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.

24
Siku adalah engsel yang menghubungkan antara tangan dengan
lengan yang harus dibasuh sebagaimana firman Allāh Swt.,

‫وَأﻳْ ِﺪﻳَ ُﻜ ْﻢ َإﱃ اْﳌَﺮَاﻓ ِِﻖ‬

Artinya:”(Basuhlah) kedua tanganmu sampai siku”.

Kedua siku termasuk yang wajib dibasuh karena sesuai dengan


hadis yang diriwayatkan oleh Jābir r.a. yang berbunyi,

‫غ َﻋﻠَﻰ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ‬ َ ‫ﺿﺄَ ﻓَﺄَﻓْـَﺮ‬


‫ْﺖ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﺗَـ َﻮ ﱠ‬
ُ ‫َﻋ ْﻦ ﲪُْﺮَا َن َرأَﻳ‬
‫ْﲎ إ َِﱃ اﻟْﻤَْﺮﻓ ِِﻖ‬ َ ‫َﺾ وَا ْﺳﺘَـْﻨﺜَـَﺮ ﰒُﱠ ﻏَ َﺴ َﻞ َو ْﺟ َﻬﻪُ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ َﻏ َﺴ َﻞ ﻳَ َﺪﻩُ اﻟْﻴُﻤ‬ َ ‫ﻀﻤ‬ ْ ََ‫ﲤ‬
ُ‫ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ َﻏ َﺴ َﻞ ﻳَ َﺪﻩُ اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى إ َِﱃ اﻟْﻤَْﺮﻓ ِِﻖ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ َﻣ َﺴ َﺢ ﺑَِﺮأ ِْﺳ ِﻪ ﰒُﱠ َﻏ َﺴ َﻞ ِر ْﺟﻠَﻪ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َرأَﻳ‬
َ ‫ْﲎ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﰒُﱠ ﻗ‬ َ ‫اﻟْﻴُﻤ‬
‫ﺼﻠﱢﻲ‬ َ ُ‫ﺿﺄَ ُوﺿُﻮﺋِﻲ َﻫﺬَا ﰒُﱠ ﻳ‬ ‫َﺎل َﻣ ْﻦ ﺗَـ َﻮ ﱠ‬
َ ‫ﺿﺄَ ﳓَْ َﻮ َوﺿُﻮﺋِﻲ َﻫﺬَا ﰒُﱠ ﻗ‬ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺗَـ َﻮ ﱠ‬
‫َﻲ ٍء إﱠِﻻ ﻏُ ِﻔَﺮ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَـ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْﻦ ذَﻧْﺒِ ِﻪ‬ ْ ‫ﱢث ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ﻓِﻴ ِﻬﻤَﺎ ﺑِﺸ‬
ُ ‫َﲔ َﻻ ﳛَُﺪ‬ِ ْ ‫َرْﻛ َﻌﺘـ‬
Artinya:”Dari Humrān, aku melihat ‘Usmān r.a berwudhu’ dan
membasuh kedua tangannya tiga kali. Kemudian, berkumur dan
memasukkan air ke hidung. Kemudian, membasuh wajahnya tiga
kali. Kemudian mencuci tangan kanannya sampai siku tiga kali
kemudian mencuci tangan kirinya sampai siku tiga kali. Kemudian,
menyapu kepalanya kemudian mencuci kaki kanan tiga kalil
kemudian kaki kiri tiga kali kemudian berkata,’Aku melihat
Rasūlullāh SAW berwudhu’ seperti wudhu’ku ini. Kemudian,
berkata,’Barangsiapa berwudhu’ dengan wudhu’ku ini kemudian
shalat dua rakaat yang tidak bercerita sendiri ketika berwudhu’ dan
shalat dua rakaat sedikitpun kecuali diampuni dosanya yang telah
lalu’.(HR. Shahih Bukhāri No. 1798 Kitab Puasa).

Ketika membasuh seluruh tangan, siku juga ikut dibasuh. Apabila


orang yang berwudhu’ itu memakai cincin atau gelang, maka
hendaklah digerak-gerakkan agar air sampai ke tempat letaknya
cincin atau gelang sebagaimana hadis Nabi SAW yang diterima
Dari Abu Rafi’ Dari ayahnya yang menyatakan,

25
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﻋُﺒَـﻴْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ رَاﻓِ ٍﻊ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَ ﱠن َرﺳ‬
ُ‫ﺿﺄَ َﺣﺮَﱠك ﺧَﺎﲤََﻪ‬ ‫ﻛَﺎ َن إِذَا ﺗَـ َﻮ ﱠ‬
Artinya:”Sesungguhnya Rasūlullāh SAW jika berwudhu’, beliau
memutar-mutarkan cincinnya” (H.R. Ibnu Majah No. 443 dalam
Kitab At-Thahārah wan Sunanaha).

d) Mengusap sebagian kepala.

Sebagaimana firman Allāh Swt. berfirman,

‫ُﺳ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫وَا ْﻣ َﺴﺤُﻮْا ﺑُِﺮؤ‬

Artinya:”Sapulah kepalamu”.

Dalam hal ini mengusap kepala bukanlah seluruhnya, melainkan


cukup sebagian saja karena “ba” pada ayat di atas adalah untuk
menunjukkan sebagian. Demikianlah, menurut pendapat sebagian
mufassirin. Pengertian mengusap sebagian kepala ini juga dapat
dipahami dalam bentuk lain berdasarkan hadis dari Ibnu Mughirah
yang berbunyi,

ِ‫ْﺖ ِﻣ َﻦ اﺑْ ِﻦ اﻟْ ُﻤﻐِ َﲑة‬


َ ‫َﺎل ﺑَ ْﻜٌﺮ َوﻗَ ْﺪ َِﲰﻌ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ اﻟْ ُﻤﻐِ َﲑةِ ﺑْ ِﻦ ُﺷ ْﻌﺒَﺔَ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ‬
‫ﺿﺄَ ﻓَ َﻤ َﺴ َﺢ ﺑِﻨَﺎ ِﺻﻴَﺘِ ِﻪ َو َﻋﻠَﻰ اﻟْﻌِﻤَﺎ َﻣ ِﺔ َو َﻋﻠَﻰ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺗَـ َﻮ ﱠ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫ﱠﲔ‬
ِ ْ ‫اﳋُْﻔ‬
Artinya:”Rasūlullāh saw. berwudhu’ dengan membasuh ubun-
ubunnya di atas serbannya dan sepatunya” (H.R. Shahih Muslim
No. 412 dalam Kitab Thaharah)

e) Membasuh kaki sampai mata kaki.

Sebagaimana firman Allāh Swt.

‫َﲔ‬
ِ ْ ‫َوأ َْر ُﺟﻠَ ُﻜ ْﻢ إ َِﱃ اﻟْ َﻜ ْﻌﺒـ‬

Artinya:”(Basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki”.

26
Kedua tumit termasuk juga yang wajib dibasuh. Hal ini sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,

‫ْﺴ ْﻞ َﻋ ِﻘﺒَـﻴْ ِﻪ‬


ِ ‫ُﻼ َﱂْ ﻳـَﻐ‬
ً ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َرأَى َرﺟ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫َﺎب ِﻣ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬ِ ‫َﺎل َوﻳْ ٌﻞ ﻟ ِْﻸَ ْﻋﻘ‬
َ ‫ﻓَـﻘ‬
Artinya:”Nabi saw. melihat seorang laki-laki tidak membasuh
tumitnya ketika berwudhu’, maka beliau bersabda,’Celakalah bagi
tumit-tumit dari api neraka (tidak cukup membasuhnya)” (H.R.
Shahih Muslim No. 356 Kitab Thaharah).

Dalam ketentuan rukun wudhu’ ini, sebagian ulama memasukkan


konsep ‘tertib’. Tertib ini hanyalah berdasarkan sistematika ayat
yang dimulai dari muka, dua tangan, kepala sampai dua siku dan
merupakan syarat sahnya wudhu’ sebagaimana pendapat Syafi’i
dan Hanbali. Sementara itu, menurut Hanafi dan Maliki, tertib tidak
wajib dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di wajah.
Sementara itu, sebagian ulama ada juga memasukkan konsep
‘muwalah’. Muwalah adalah pekerjaan yang berurutan dalam
membasuh anggota-anggota wudhu’. Jika telah selesai dari
membasuh satu anggota wudhu’, maka berpindah pada membasuh
anggota wudhu’ lainnya dan dengan segera, tidak berantara lama
satu dengan lainnya. Menurut Hanbali, muwalah adalah wajib,
sedangkan Hanafi dan Syafi’i berpendapat tidak wajib. Muwalah
hanya dimakruhkan ketika memisahkan dalam membasuh antara
anggota-anggota wudhu’ itu jika tidak ada ‘uzur. Jika ada ‘uzur,
maka hilanglah kemakruhannya itu.

Maliki berkata bahwa muwalah itu hanya diwajibkan bagi orang


yang berwudhu’ dalam keadaan sadar dan tidak ada tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar . Misalnya, seseorang
berkeyakinan bahwa ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh
dua tangannya dan langsung saja menyapu rambut, sedangkan air
yang akan dipergunakan untuk wudhu’ itu telah habis. Oleh karena

27
itu, kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan
sesuatu yang diharapkannya meskipun telah berlangsung lama.24

5) Sunat-sunat Wudhu’

Adapun sunat-sunat wudhu’ itu terdiri dari:

a) Memulai dengan membaca lafadz Basmallāh .


b) Menggosok gigi (bersiwāk).
c) Membasuh kedua telapak tangan ketika akan memulai wudhu’.
d) Berkumur-kumur.
e) Memasukkan air ke hidung dan menghembuskannya.
f) Menyapu kepala dengan air sampai rata, yaitu dengan cara
mengusap ujung kepala sampai akhir dan kembali lagi ke tempat
dimulainya.
g) Menyilang-nyilangi jenggot.
h) Menyilang-nyilangi jari tangan.
i) Mendahulukan mambasuh anggota yang kanan dari anggota
yang kiri.
j) Membasuh tiga-tiga kali.
k) Menyapu kedua telinga dengan air baik di luar maupun di dalam
(daun telinga).
l) Melebihkan batas basuhan yang wajib dibasuh.
m) Membaca zikir setelah berwudhu’ sebagaimana hadis dari ‘Umar
r.a.,

ُ‫ﺿﺄ‬ ‫َﺎل ﻣَﺎ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَ َﺣ ٍﺪ ﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬


َ ‫ْﺖ آﻧِﻔًﺎ ﻗ‬ َ ‫ُﻚ ِﺟﺌ‬ َ ‫ِﱐ ﻗَ ْﺪ َرأَﻳْـﺘ‬
‫َﺎل إ ﱢ‬
َ ‫ﻓَِﺈذَا ﻋُ َﻤُﺮ ﻗ‬
‫ُﻮل أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا‬
ُ ‫ﻓَـﻴُْﺒﻠِ ُﻎ أ َْو ﻓَـﻴُ ْﺴﺒِ ُﻎ اﻟْ َﻮﺿُﻮءَ ﰒُﱠ ﻳـَﻘ‬
َ‫َاب اﳉَْﻨﱠ ِﺔ اﻟﺜﱠﻤَﺎﻧِﻴَﺔُ ﻳَ ْﺪ ُﺧﻞُ ِﻣ ْﻦ أَﻳـﱢﻬَﺎ ﺷَﺎء‬
ُ ‫َﺖ ﻟَﻪُ أَﺑْـﻮ‬
ْ ‫َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ إﱠِﻻ ﻓُﺘِﺤ‬
Artinya:”Rasūlullāh saw. bersabda,’Tidak seorang pun di antaramu
yang berwudhu’ lalu menyempurnakannya. Kemudian,
membaca,”Asyhadu an lā ilāhaillāh waḥdahu lāsyarīkalah wa
Asyhadu anna Muḥammadan ‘abduhu wa rasūluhu”, kecuali

24
Semua rukun-rukun wudu’ ini dapat dilihat pada Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 30-32. Muhammad
Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 22-29. Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah
al-Akhyar fi Hill Gayat al-Ikhtisar, h. 18-26 dan Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 258-259.

28
dibukakan baginya pintu surga yang kedelapan buah itu sehingga
ia dapat masuk dari manapun yang disukainya” (H.R. Shahih
Muslim No. 345 Kitab Thaharah).

n) Shalat dua rakaat setelah berwudhu’.25


6) Sesuatu yang membatalkan wudhu’

Keadaan ini mencakup lima macam, yaitu:

a) Keluar sesuatu Dari qubul atau dubur sebagaimana firman Allāh


Swt.,

.(٦ :‫ِﻂ )اﳌﺎﺋﺪة‬


ِ ‫ْأو ﺟَﺂءَ أ َﺣ ٌﺪ ﱢﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﱢﻣ َﻦ اﻟﻐَﺎﺋ‬
Artinya:” … Atau salah seorang kamu kembali Dari tempat buang
air”.

b) Tidur nyenyak sehingga pinggul tidak tetap lagi di atas lantai.


Tidur dengan duduk yang tetap tidak membatalkan wudhu’. Dari
Anas r.a. berkata,

ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ِ ‫َﺎب َرﺳ‬
ُ ‫ﺻﺤ‬ ْ َ‫ُﻮﻻ ﻛَﺎ َن أ‬ ُ ‫ْﺖ أَﻧَﺴًﺎ ﻳـَﻘ‬
ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬َ ‫َﻋ ْﻦ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﻗ‬
‫َﺲ‬ٍ ‫ْﺖ َِﲰ ْﻌﺘَﻪُ ِﻣ ْﻦ أَﻧ‬
ُ ‫َﺎل ﻗُـﻠ‬
َ ‫ﺿﺌُﻮ َن ﻗ‬
‫ﺼﻠﱡﻮ َن وََﻻ ﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬َ ُ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻨَﺎﻣُﻮ َن ﰒُﱠ ﻳ‬
‫ﺎل إِي وَاﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ َ‫ﻗ‬
Artinya:”Para sahabat Nabi saw. tertidur kemudian mengerjakan
shalat tanpa wudhu’” (H.R. Shahih Muslim No. 566 Kitab Haid).

Selanjutnya, sabda Nabi saw.,

ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫ِﺐ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱢﻲ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ﻃَﺎﻟ‬
ْ‫ﺿﺄ‬
‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِوﻛَﺎءُ اﻟ ﱠﺴ ِﻪ اﻟْﻌَْﻴـﻨَﺎ ِن ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻧَﺎ َم ﻓَـ ْﻠﻴَﺘَـ َﻮ ﱠ‬
Artinya:”Dua mata itu merupakan penahan pintu dubur, maka jika
dua mata itu tertidur, hilanglah penahan itu. Lalu, Barangsiapa
yang tertidur, maka berwudhu’lah” (H.R. Sunan Abu Daud No. 175
Kitab Thaharah).

25
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 259.

29
Tidur yang dimaksud dalam hadis riwayat Abu Daud di atas
adalah tidur yang tidak dengan posisi duduk atau tidak
menekankan pinggul pada tempat duduk.

c) Hilang akal karena mabuk, gila, dan pingsan yang disebabkan


obat-obatan atau sakit. Demikianlah menurut ijma’ ulama.

d) Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan


muhrimnya dan tanpa lapis (penutup).

.(٦ : ‫ْأو ﻟَ َﻤ ْﺴﺘـُ ُﻢ اﻟﻨﱢﺴَﺂءَ )اﳌﺎﺋﺪة‬


Artinya:”…Atau menyentuh perempuan…”.

Pendapat tersebut menurut madzhab Syafi’i, sedangkan menurut


Abu Hanifah tidak membatalkan wudhu’ sebab yang membatalkan
wudhu’ bersetubuh dalam pengertian ayat itu. Pendapat ini
berdasarkan pada penafsiran tentang kata ‘lamastum’ yang
diartikan bersetubuh.

e) Menyetuh kemaluan tanpa alas berdasarkan hadis Dari Basrah


binti Sufyan yang menyatakan,

‫ﱠﱯ‬
‫ﺻ ْﻔﻮَا َن أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
َ ‫ْﺖ‬ ِ ‫َﺎل أَ ْﺧﺒَـﺮَِﱐ أَِﰊ َﻋ ْﻦ ﺑُ ْﺴَﺮةَ ﺑِﻨ‬
َ ‫َﺎم ﺑْ ِﻦ ﻋُﺮَْوةَ ﻗ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ ِﻫﺸ‬
َ‫ﺿﺄ‬
‫َﱴ ﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬
‫ﺼ ﱢﻞ ﺣ ﱠ‬َ ُ‫ﺲ ذَ َﻛَﺮﻩُ ﻓ ََﻼ ﻳ‬
‫َﺎل َﻣ ْﻦ َﻣ ﱠ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ

Artinya:”Nabi saw. bersabda,’Barangsiapa yang menyentuh


kemaluannya, maka janganlah shalat sampai ia berwudhu’ lebih
dahulu” (H.R. Sunan Tirmizi No. 77 Kitab Thaharah tentang
Rasūlullāh).

Namun, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad


menyatakan bahwa menyentuh kemaluan itu tidak membatalkan
wudhu’ karena ia adalah sebagian Dari anggota tubuh. Hadis
tersebut berbunyi,

30
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫ْﺖ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ ﻋِْﻨ َﺪ اﻟﻨِ ﱢ‬ ُ ‫َﺎل ُﻛﻨ‬
َ ‫ْﺲ ﺑْ ِﻦ ﻃَﻠ ٍْﻖ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ ﻗَـﻴ‬
ِ‫ﱠﻼة‬ َ ‫ﺲ ذَ َﻛَﺮﻩُ ِﰲ اﻟﺼ‬‫ْﺖ ذَ َﻛﺮِي أ َْو اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﳝََ ﱡ‬
ُ ‫َﺴﺴ‬ِ ‫ﺎل ﻣ‬ َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَ َﺴﺄَﻟَﻪُ َر ُﺟﻞٌ ﻓَـ َﻘ‬
‫ْﻚ‬َ ‫َﺎل َﻻ إِﳕﱠَﺎ ُﻫ َﻮ ِﻣﻨ‬
َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ اﻟْ ُﻮﺿُﻮءُ ﻗ‬
Artinya:”Ada seseorang (laki-laki) berkata kepada Nabi saw.,’Saya
pernah menyentuh kemaluanku atau ia berkata bahwa ia telah
menyentuh kemaluannya dalam shalat. Apakah ia wajib
berwudhu’? Rasūlullāh saw. menjawab,’Tidak karena kemaluan itu
sebagian Dari tubuhmu” (H.R. Musnad Ahmad no. 15700 Kitab
Awal Musnad al-Madaniyyin Ajma’in).

Ibnu Hibban menshahihkan hadis di atas, tetapi Ibnu al-Madini


menyatakan bahwa hadis itu bernilai ḥasan.26

c. Tayammum

1) Pengertian dan Dalil Hukum

Tayammum secara lugah artinya menyengaja,27 sedangkan menurut


syara’ adalah menyengaja mempergunakan tanah untuk menghapus
muka dan kedua tangan dengan maksud dapat melaksanakan shalat,
dan sebagainya.28

Ulama telah sepakat bahwa tayammum dapat menjadi pengganti Dari


taharah kecil (berhadas kecil), tetapi mereka berbeda pendapat
tentang tayammum sebagai pengganti taharah besar (berhadas
besar).

Diriwayatkan Umar dan Ibnu Mas’ud bahwa tayammum tidak dapat


digunakan sebagai pengganti thahārah besar, sedangkan ‘Ali dan
Sahabat lainya berpendapat bahwa tayammum dapat digunakan
sebagai pengganti thaharāh besar.29

26
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 37. Sabiq menambahkan pemahamannya bahwa keluar mani, mazi,
dan wadhi dapat juga membatalkan wudu’.
27
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, h. 926.
28
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 270.
29
T.A. Latief Rousdiy, Puasa: Hukum dan Hikmahnya (Medan: Rimbow, 1986), h. 46.

31
Dalil disyariatkannya tayammum adalah Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’
sebagaimana firman Allāh SWT. dalam sūrah an-Nisā’ ayat 43,

           

              

           

           

Artinya:’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,


sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam Keadaan junub, terkecuali sekeDār berlalu saja, hingga kamu
mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
Dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allāh Maha Pema'af lagi Maha Pengampun’.
Kemudian, hadis Rasūlullāh SAW berikut ini;

‫ِﻴﺖ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أُ ْﻋﻄ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬
‫َﺚ‬ُ ‫ﱠﱯ إِﳕﱠَﺎ ﻳـُْﺒـﻌ‬
‫َاﻷَ ْﺳ َﻮِد َوﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ‬
ْ ‫ْﺖ إ َِﱃ ْاﻷَﲪَْ ِﺮ و‬ُ ‫ﲬَْﺴًﺎ َﱂْ ﻳـُ ْﻌﻄَ ُﻬ ﱠﻦ أَ َﺣ ٌﺪ ﻗَـﺒْﻠِﻲ ﺑُﻌِﺜ‬
‫ﱠﺖ ِﱄ اﻟْﻐَﻨَﺎﺋِ ُﻢ َوَﱂْ ﲢَُ ﱠﻞ ﻷَِ َﺣ ٍﺪ‬ ْ ‫ﱠﺎس ﻋَﺎ ﱠﻣﺔً َوأ ُِﺣﻠ‬
ِ ‫ْﺖ إ َِﱃ اﻟﻨ‬ ُ ‫ﺻﺔً َوﺑُﻌِﺜ‬‫إ َِﱃ ﻗـ َْﻮِﻣ ِﻪ ﺧَﺎ ﱠ‬
‫ْﺠﺪًا‬ ِ ‫ض ﻃَﻬُﻮرًا َوَﻣﺴ‬ ُ ‫َﺖ ِﱄ ْاﻷ َْر‬ ْ ‫َﺴ َﲑةِ َﺷ ْﻬ ٍﺮ َو ُﺟﻌِﻠ‬ِ ‫ْﺐ ِﻣ ْﻦ ﻣ‬ِ ‫ْت ﺑِﺎﻟﱡﺮﻋ‬ ُ ‫ﻗَـْﺒﻠِﻲ َوﻧُﺼِﺮ‬
ُ‫ْﺚ أَ ْد َرَﻛْﺘﻪ‬
ُ ‫ﺼ ﱢﻞ َﺣﻴ‬ َ ُ‫ﱠﻼةُ ﻓَـ ْﻠﻴ‬
َ ‫ُﻞ أَ ْد َرَﻛْﺘﻪُ اﻟﺼ‬
ٍ ‫ﻓَﺄَﳝﱡَﺎ َرﺟ‬
Artinya:”Rasūlullāh saw. bersabda,’Diberikan kepadaku lima hal yang
tidak diberikan kepada satupun Nabi sebelumku, yaitu (pertama) aku
diutus untuk manusia berkulit hitam dan merah, sedangkan Nabi
sebelumnya diutus hanya khusus kepada kaumnya saja, (Kedua) aku
diutus untuk seluruh manusia, (ketiga) dihalalkan kepadaku ghanimah
yang tidak dihalalkan kepada Nabi sebelumku, (keempat) Aku ditolong
Allāh Dari ketakutan Dari perjalanan sebulan lamanya, (kelima)
Seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi umatku sebagai alat bersuci
dan masjid, maka di mana saja seseorang mengetahui (waktu) shalat,
maka hendaklah ia shalat dimana diketahuinya’ (H.R. Musnad Ahmad
no. 13745 Kitab Baqi Musnad al-Mukasirin).

32
Ijmā’ ulama membolehkan tayammum, tetapi khusus bagi orang sakit
dan musafir yang ketiadaan air. Namun, mereka berselisih dalam
mempersoalkan, yaitu (1) Orang sakit yang khawatir terhadap
penyakitnya dengan penggunaan air, (2) Keadaan normal orang yang
tidak menemukan air (3) Musafir yang sangat menghemat atau
memerlukan air bawaannya, dan (4) orang yang khawatir pada
kesehatannya dengan menggunakan air yang sangat dingin. Jumhūr
ulama berpendapat bahwa keempat golongan tersebut boleh ber-
tayammum, sedangkan Ata’ tidak membolehkan tayammum baik
orang sakit maupun orang sehat jika menemukan air. Sementara, itu
mazhab Syafi’i dan Maliki membolehkan tayammum, sebaliknya Abu
Hanifah tidak membolehkan tayammum bagi orang yang bukan
berada dalam perjalanan dan yang tidak dalam keadaan sakit.30

2) Rukun dan Syarat Tayammum.

Adapun rukun tayammum itu ada empat bagian, yaitu:

a) Niat untuk melaksanakan shalat.

b) Mengusap muka.

c) Mengusap dua tangan sampai siku.

d) Tertib.31

Sementara itu, syarat-syarat tayammum ada tiga macam, yaitu:

a) Adanya halangan seperti tidak mendapatkan air, sakit, dan lain-lain.

b) Sudah masuk waktu shalat, tetapi tidak mendapatkan air.

c) Debu yang dipergunakan untuk tayammum harus suci.32

Penggunaan tayammum hanya untuk satu kali shalat saja sehingga


setiap kali melaksanakan shalat harus ber-tayammum terlebih dahulu,
sedangkan untuk shalat sunat boleh dilakukan beberapa kali. Hal ini
dikarenakan inti tayammum adalah pengganti air ketika ditemukan
akan melaksanakan shalat. Jika air telah diketemukan, maka
tayammum dengan sendirinya batal kecuali kondisi Dār urat lain

30
Ahmad ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid (Indonesia: Dar al-Kutub asy-Syuruf, tth.), h. 47.
31
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 271. Syafi’i menambahkan rukun itu dengan tertib,
sedangkan Hanbali menolaknya. Lihat Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 64.
32
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Hill Gayat al-Ikhtisar, h. 51.

33
seperti musafir dan sakit yang tidak bisa terkena air. Jika akan
melaksanakan shalat wajib berikutnya, maka periksa kembali adakah
air ditemukan ?. Jika tidak ada, maka bertayammum kembali
sebagaimana penerangan ayat (sūrah al-Nisā’ ayat 43) jika tidak
mendapatkan air boleh bertayammum. Bahkan Rasūlullāh SAW
mengijinkan kita bertayammum sampai 10 tahun jika tidak
menemukan air untuk berwudhu’ sebagaimana hadisnya di bawah ini;

‫ﱢﺐ‬
َ ‫ﺼﻌِﻴ َﺪ اﻟﻄﱠﻴ‬ ‫َﺎل إِ ﱠن اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ذَ ﱟر أَ ﱠن َرﺳ‬
ُ‫ﲔ ﻓَِﺈذَا َو َﺟ َﺪ اﻟْﻤَﺎءَ ﻓَـﻠْﻴُ ِﻤ ﱠﺴﻪُ ﺑَ َﺸَﺮﺗَﻪ‬
َ ِ‫ﻃَﻬُﻮُر اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻢ َوإِ ْن َﱂْ َِﳚ ْﺪ اﻟْﻤَﺎءَ َﻋ ْﺸَﺮ ِﺳﻨ‬
◌ٌ‫ِﻚ ﺧ َْﲑ‬
َ ‫ﻓَِﺈ ﱠن ذَﻟ‬
`Artinya:’Sesungguhnya pasir yang baik sebagai bersuci seorang
muslim. Dan jika tidak menemukan air selama 10 tahun. Kemudian,
jika ia menemukan air, maka hendaklah ia membasahkannya untuk
tubuhnya karena sesungguhnya hal itu lebih baik’ (H.R. Sunan Tirmizi
Kitab Thahārah ’an Rasūlllāh no. 115).

Adapun yang membatalkan tayammum itu adalah:

a) Segala sesuatu yang membatalkan wudhu’.

b) Menemukan air jika tayammum disebabkan ketiadaan air.

c) Riddah, keluar Dari agama Islam.33

Pada masa sekarang ini persoalan tentang ketiadaan air bukanlah


menjadi topik yang perlu diperdebatkan dengan pajang lebar karena
air sudah mencukupi bagi semua orang baik musafir maupun muqim.
Fuqaha’ hanya membahas tentang wajibnya mencari air dan kaDār
usaha untuk mencarinya. Jika ia khawatir pada dirinya, harta,
kehormatan, binatang buas, atau mengeluarkan uang yang lebih Dari
biasanya, maka semuanya itu dikarenakan mereka menemukan
kesulitan yang berat untuk mendapatkan air.34

d. Mandi Wajib
33
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 59.
34
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 60.

34
1) Pengertian Mandi dan Dalil Hukum

Mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh.35 Mandi disyariatkan


berdasarkan firman Allāh Swt.,

‫َو إ ْن ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ُﺟﻨُﺒًﺎ ﻓَﺎﻃﱠ ﱠﻬُﺮوا‬


Artinya:”Jika kamu dalam keadaan junub, maka mandilah” (Q.S. al-
Maidah: 6).

Rasūlullāh saw. juga bersabda,

‫َﺎوَز اﳋِْﺘَﺎ ُن‬


َ ‫َﺎل إِذَا ﺟ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ ُﻣﻌَﺎ ِذ ﺑْ ِﻦ َﺟﺒ ٍَﻞ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ُ‫َﺐ اﻟْﻐُ ْﺴﻞ‬
َ ‫اﳋِْﺘَﺎ َن ﻓَـ َﻘ ْﺪ َوﺟ‬
Artinya:”Apabila bertemu alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin
perempuan (suami-isteri), maka wajiblah mandi” (H.R. Musnad Ahmad
No. 21035 Kitab Musnad Al-Ansar).

2) Sebab-sebab Mandi

Adapun sebab-sebab yang mewajibkan seorang mukallaf itu mandi


adalah:

a) Hubungan kelamin (bersetubuh) baik keluar mani ataupun tidak.


Hal ini sesuai dengan hadis di bawah ini;

‫َﲔ ُﺷ َﻌﺒِﻬَﺎ‬ َ ْ ‫َﺲ ﺑـ‬


َ ‫َﺎل إِذَا َﺟﻠ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﺐ اﻟْﻐُ ْﺴ ُﻞ أَﻧْـﺰََل أ َْو َﱂْ ﻳـُْﻨﺰِْل‬
َ ‫ْاﻷ َْرﺑَ ِﻊ َوأَ ْﺟ َﻬ َﺪ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ﻓَـ َﻘ ْﺪ َوﺟ‬

Artinya:”Nabi SAW bersabda,’Apabila salah seorang di antaramu


duduk di antara dua kaki dan dua tangan perempuanmu.
Kemudian, menyetubuhinya, maka sesungguhnya telah wajib
mandi sekalipun tidak mengeluarkan mani” (H.R. Musnad Ahmad
No. 8220 Kitab Baqi Musnad al-Mukasirin).

35
Ibid., h. 47.

35
b) Haidh dan nifās.

Setelah berhenti haidh dan nifās, wajib mandi berdasarkan firman


Allāh SWT dalam sūrah al-Baqarah: 222,

ُ‫ْﺚ أ َﻣَﺮُﻛ ُﻢ اﷲ‬


ُ ‫َﱴ ﻳَﻄْﻬُْﺮ َن ﻓَﺈذَا ﺗَﻄَﻬ ْﱠﺮ َن ﻓَﺄﺗـ ُْﻮُﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣﻴ‬
‫َوﻻَ ﺗَـ ْﻘَﺮﺑـ ُْﻮُﻫ ﱠﻦ ﺣ ﱠ‬
Artinya:”Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.
Jika mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allāh kepadamu”.

Kemudian, berdasarkan sabda Rasūlullāh saw. kepada Fathimah


binti Abu Hubeisy .r.a,

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫ﱠﱯ‬‫َﺖ اﻟﻨِ ﱠ‬


ْ ‫ْﺶ َﺳﺄَﻟ‬
ٍ ‫ْﺖ أَِﰊ ُﺣﺒَـﻴ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ أَ ﱠن ﻓَﺎ ِﻃ َﻤﺔَ ﺑِﻨ‬
‫ْق َوﻟَﻜِ ْﻦ‬ ٌ ‫ِﻚ ﻋِﺮ‬ ِ ‫َﺎل َﻻ إِ ﱠن ذَﻟ‬َ ‫ﱠﻼةَ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ض ﻓ ََﻼ أَﻃْ ُﻬُﺮ أَﻓَﺄَ َدعُ اﻟﺼ‬ُ ‫ِﱐ أُ ْﺳﺘَﺤَﺎ‬ ‫َﺖ إ ﱢ‬ْ ‫ﻗَﺎﻟ‬
‫ﺻﻠﱢﻲ‬ َ ‫َﺴﻠِﻲ َو‬ ِ ‫ﲔ ﻓِﻴﻬَﺎ ﰒُﱠ ا ْﻏﺘ‬
َ‫ﻀ‬ ِ ‫ْﺖ ﲢَِﻴ‬
ِ ‫ﱠﺎم اﻟ ِﱠﱵ ُﻛﻨ‬ِ ‫ﱠﻼةَ ﻗَ ْﺪ َر ْاﻷَﻳ‬
َ ‫َدﻋِﻲ اﻟﺼ‬
Artinya:”Tinggalkanlah shalat selama hari haid itu. Kemudian,
mandilah dan shalatlah” (H.R. Shahih Bukhari No. 314 Kitab
Haidh).

c) Keluar mani.

Keluar mani (sperma) karena syahwat, mimpi, atau sebab-sebab


lainnya adalah mewajibkan mandi pelakunya baik laki-laki maupun
perempuan. Ini merupakan pendapat fuqahā’ umumnya
berdasarkan hadis Abu Sa’id,

ُ‫َﺎل إِﳕﱠَﺎ اﻟْﻤَﺎء‬


َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَﻧﱠﻪُ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ي َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُْ ْﺪ ِر ﱢ‬
‫ِﻣ ْﻦ اﻟْﻤَﺎ ِء‬
Artinya:”Rasūlullāh saw. telah bersabda,’Air itu (mandi wajib itu)
yang disebabkan oleh air (keluar air mani)” (H.R. Shahih Muslim no.
519 Kitab Haidh).

d) Mati.

Jika seorang muslim meninggal dunia, maka wajib dimandikan. Hal


ini berdasarkan hadis Nabi saw. bersabda,
36
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ِﻒ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ‬ ٌ ‫َﺎل ﺑـَْﻴـﻨَﺎ َر ُﺟ ٌﻞ وَاﻗ‬ َ ‫ﱠﺎس َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﻗ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
‫ﱠﱯ‬
‫َﺎل اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫ﺼْﺘﻪُ ﻓَـﻘ‬َ ‫َﺎل ﻓَﺄَﻗْـ َﻌ‬ َ ‫ﺼْﺘﻪُ أ َْو ﻗ‬َ َ‫َاﺣﻠَﺘِ ِﻪ ﻓَـ َﻮﻗ‬
ِ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑِ َﻌَﺮﻓَﺔَ إِ ْذ َوﻗَ َﻊ َﻋ ْﻦ ر‬
‫َﺎل ﺛـ َْﻮﺑـَْﻴ ِﻪ‬
َ ‫َﲔ أ َْو ﻗ‬ ِ ْ ‫َﺳ ْﺪ ٍر َوَﻛ ﱢﻔﻨُﻮﻩُ ِﰲ ﺛـ َْﻮﺑـ‬ ِ ‫ْﺴﻠُﻮﻩُ ﲟَِﺎ ٍء و‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻏ‬ َ
‫وََﻻ ﲢَُﻨﱢﻄُﻮﻩُ وََﻻ ﲣَُ ﱢﻤُﺮوا َرأْ َﺳﻪُ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻳـَْﺒـ َﻌﺜُﻪُ ﻳـ َْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﻳـُﻠ ﱢَﱯ‬

Artinya:”Ketika seseorang berhenti bersama Rasūlullāh saw. Di


Arafah tiba-tiba ia terjatuh Dari kenderaannya lalu patah lehernya
(dan mati). Kemudian, Rasūlullāh saw berkata,’Mandikanlah dia
dengan air dan daun biDār a dan kafanilah dia dengan bajunya dan
jangan diobati dan jangan pula ditutup kepalanya sebab Allāh akan
membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan seperti itu”
(H.R. Shahih Bukhari no. 1717 Kitab Haji).
e) Orang yang masuk Islam.

Jika orang kafir masuk Islam, juga wajib mandi berdasarkan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Dari Abu Hurairah r.a.
berkata,

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬


َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﺎل اﳊَْﻨَ ِﻔ ﱠﻲ أَ ْﺳﻠَ َﻢ ﻓَﺄََﻣَﺮ اﻟﻨِ ﱡ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن ﲦَُﺎ َﻣﺔَ ﺑْ َﻦ أُﺛ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬َ ‫َﺴ َﻞ ﻓَـﻘ‬ ِ ‫ِﻂ أَِﰊ ﻃَْﻠ َﺤﺔَ ﻓَـﻴَـ ْﻐﺘ‬
ِ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْن ﻳـُْﻨﻄَﻠَ َﻖ ﺑِِﻪ إ َِﱃ ﺣَﺎﺋ‬
‫َﺎﺣﺒِ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ْﻼ ُم ﺻ‬ َ ‫اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَ ْﺪ َﺣ ُﺴ َﻦ إِﺳ‬

Artinya:”Ketika Sumamah masuk Islam, maka Nabi saw. bersabda


kepada sahabat,’Bawalah Sumamah ke tembok pagar Abi Thalhah,
maka Suruhlah dia mandi!, Lalu, Rasūlullāh saw
berkata,’sesungguhnya sebaik-baik temanmu adalah yang
beragama Islam !” (H.R. Musnad Ahmad no. 9879 Kitab Baqi
Musnad al-Mukasirin).

3) Rukun dan Sunat Mandi

Rukun mandi wajib itu ada dua bagian, yaitu:

a) Niat merupakan dasar yang membedakan antara ibadah dengan


kebiasaan . Niat yang dilakukan berisikan tentang kesengajaan

37
berwudhu’ untuk menghilangkan hadas kecil dan (sekaligus)
kesengajaan mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar
karena Allāh Ta’āla. Niat dasar ini berdasarkan hadis Nabi saw,

ُ‫ﱠﺎب َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ‫ْﺖ ﻋُ َﻤَﺮ ﺑْ َﻦ اﳋَْﻄ‬ ُ ‫ُﻮل َِﲰﻌ‬ ُ ‫ﱠﺎص اﻟﻠﱠْﻴﺜِ ﱠﻲ ﻳـَﻘ‬ ٍ ‫أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ َﻋ ْﻠ َﻘ َﻤﺔَ ﺑْ َﻦ َوﻗ‬
‫ُﻮل إِﳕﱠَﺎ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬ َ ‫ْﱪ ﻗ‬
َِ ‫َﻋْﻨﻪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْ ِﻤﻨ‬
‫َﺖ ِﻫ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ ُدﻧْـﻴَﺎ‬ ْ ‫ﱠﺎت َوإِﳕﱠَﺎ ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻛَﺎﻧ‬ ِ ‫َﺎل ﺑِﺎﻟﻨﱢـﻴ‬ ُ ‫ْاﻷَ ْﻋﻤ‬
‫ﻳُﺼِﻴﺒُـﻬَﺎ أ َْو إ َِﱃ ا ْﻣَﺮأَةٍ ﻳـَْﻨﻜِ ُﺤﻬَﺎ ﻓَ ِﻬ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ ﻣَﺎ ﻫَﺎ َﺟَﺮ إِﻟَْﻴ ِﻪ‬

Artinya:’Sesungguhnya setiap pekerjaan diiringi dengan niat dan


untuk suatu urusan sesuai apa yang diniatkan. Oleh karena itu,
barang siapa hijrahnya karena Allāh dan Rasūl-Nya, maka
hijrahnya itu untuk Allāh dan Rasūl-Nya. Barang siapa hijrahnya
karena kepentingan kehidupan dunia dan akan menikahi seorang
wanita, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya
tersebut’ (HR. Shahih Bukhari No. 1 Kitab Bada’u Wahyu ). 36
b) Berwudhu’ sebagaimana wudhu’ shalat.

c) Membasuh seluruh tubuh yaitu meratakan air ke seluruh tubuh


termasuk rambut. Lalu, jika ada sesuatu yang menghalangi air
sampai ke anggota tubuh, harus dihilangkan, seperti getah dan
semacamnya.

Al-jazairi mengutip hadis riwayat Tirmizi Dari ‘Ᾱisyah tentang


kaifiyat mandi junub Rasūlullāh SAW tersebut, yaitu:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا أَرَا َد أَ ْن‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺖ ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫اﻹﻧَﺎءَ ﰒُﱠ َﻏ َﺴ َﻞ‬ ِْ ‫ْﺧﻠَ ُﻬﻤَﺎ‬ ِ ‫َﺴ َﻞ ِﻣ ْﻦ اﳉَْﻨَﺎﺑَِﺔ ﺑَ َﺪأَ ﻓَـﻐَ َﺴ َﻞ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳُﺪ‬ ِ ‫ﻳـَ ْﻐﺘ‬
‫ﱢب َﺷ ْﻌَﺮﻩُ اﻟْﻤَﺎءَ ﰒُﱠ َْﳛﺜِﻲ َﻋﻠَﻰ َرأ ِْﺳ ِﻪ‬ ُ ‫ﱠﻼةِ ﰒُﱠ ﻳُ َﺸﺮ‬ َ ‫ﺿﺄُ ُوﺿُﻮءَﻩُ ﻟِﻠﺼ‬ ‫ﻓـَْﺮ َﺟﻪُ َوﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬
‫َﺎت‬
ٍ ‫ث َﺣﺜَـﻴ‬ َ ‫ﺛ ََﻼ‬

36
Abu ‘Abdullah Muhammad Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhori Masykul bi Hasjiyah as-Sindi
(Singapura: Sulaiman Mur’iy, tth.), Juz 4. h, 158.

38
Artinya:”Adalah Rasūlullāh saw. jika akan mandi junub, beliau mulai
membasuh kedua-tangannya sebelum memasukkanya ke dalam
bejana. Kemudian, beliau membasuh kemaluannya dan berwudhu’
seperti berwudhu’nya shalat. Lalu, beliau membasahi rambutnya
dan menyiram kepalanya tiga kali siraman, serta meratakan air ke
seluruh tubuhnya (HR. Sunan Tirmizi no. 97 Kitab Thaharah ‘an
Rasūlillah). 37

Berdasarkan teks hadis dan pemaparan para muhaddisin, proses


sistematisasi mandi wajib tersebut dapat dielaborasi dengan
melakukan beberapa hal, yaitu:

 Berniat mengangkat hadas kecil dan besar.

 Mencuci kedua tangan sampai bersih

 Membasuh alat kelamin.

 Berwudhu’ sebagaimana wudhu’ shalat.

 Menyelang-nyelingi rambut kepala dengan air sampai ke dasar


kulit kepala.

 Membasahi seluruh tubuh (tanpa menyentuh kemaluan dan


dubur).

 Mencucu kedua kaki.

Sementara itu, sunat-sunat mandi dapat meliputi, yaitu:

 Mulai dengan mencuci kedua-tangan tiga kali.

 Membaca lafaz Basmallāh .

 Berwudhu’ sebelum mandi.

 Mengalirkan air ke seluruh tubuh sambil menggosok-gosoknya


dengan tangan.

37
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h. 269. Beberapa kaifiyat mandi junub Rasulullah saw.
ini dapat dilihat juga pada Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 53.

39
 Mendahulukan anggota yang kanan Dari yang kiri ketika akan
memulai mandi.38

3. Latihan
Buatlah video mandiri satu dari tema wudhu’ , tayammum, dan mandi wajib
!
4. Evaluasi
a. Jelaskan arti istinja’ !
b. Bagaimana berwudhu’ dengan baik dan sempurna !
c. Bagaimana cara bertayammum dengan baik !
d. Apa arti Mandi Wajib ?
5. Kunci Jawaban
a. Istinja’ adalah membersihkan qubul dan dubur sesudah buang air kecil
dan buang air besar.
b. Wudhu’ menurut bahasa berarti ‘baik’ dan ‘bersih’. Menurut istilah syara’,
wudu’ adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap
sebagian kepala, dan membasuh kaki yang sebelumnya didahului
dengan niat serta dilakukan dengan tertib.
c. Tayammum secara lughah artinya menyengaja, sedangkan menurut
syara’ adalah menyengaja mempergunakan tanah untuk menghapus
muka dan kedua tangan dengan maksud dapat melaksanakan salat, dan
sebagainya.
d. Mandi wajib adalah meratakan air ke seluruh tubuh sesuai tuntunan
disertai dengan niat.

D. Kegiatan Pembelajaran ke-4


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian shalat
b. Mahasiswa mampu Mengemukakan dasar hukum shalat
c. Mahasiswa mampu Mencari hikmah shalat
d. Mahasiswa mampu Mendemonstrasikan (gerakan dan bacaan shalat).
2. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Shalat

38
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 53.

40
Arti “shalāh” menurut bahasa (lughat) adalah ‫( اﻟ دﻋﺎء‬do'a), pujian atau
rahmat. Shalat menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, di
antaranya doa dan raḥmah.39 Selanjutnya, menurut istilah, ibadah adalah
sesuatu yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai
dengan takbir bagi Allāh SWT. dan diakhiri dengan memberi salam.
Menurut istilah ulama fikih, shalat ialah: “suatu ibadah yang terdiri dari
ucapan dan perbuatan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam”.
Menurut ulama tasawwuf, shalat ialah “menghadapkan kalbu kepada
Allāh SWT hingga rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam
hati rasa keagungan dan kebesaran-Nya serta kesempurnaan
kekuasaan-Nya” atau menghadap kepada Allāh dengan kalbu, bersikap
khusyu’(konsentrasi penuh) di hadapan-Nya, disertai dengan
penghayatan penuh tatkala berdzikir, berdo’a dan memuji-Nya”40
b. Dasar Hukum Shalat

Shalat merupakan ibadah yag sangat penting dibandingkan dengan


ibadah-ibadah yang lain. Dalam persoalan ini, banyak hadis-hadis Nabi
SAW. yang menyebutkan keutamaan ibadah Shalat, antara lain:

‫ْﺖ‬
ُ ‫ﺻﺒَﺤ‬ ْ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﰲ َﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﺄ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ْﺖ َﻣ َﻊ اﻟﻨِ ﱢ‬ُ ‫َﺎل ُﻛﻨ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ ُﻣﻌَﺎ ِذ ﺑْ ِﻦ َﺟﺒ ٍَﻞ ﻗ‬
َ‫ْﺧﻠ ُِﲏ اﳉَْﻨﱠﺔ‬ ِ ‫َﻞ ﻳُﺪ‬ ٍ ‫ِْﱐ ﺑِ َﻌﻤ‬ِ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ أَﺧْﱪ‬ َ ‫ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ‬ ُ ‫َﺴﲑُ ﻓَـ ُﻘﻠ‬ ِ ‫َﳓ ُﻦ ﻧ‬
َْ‫ﻳـ َْﻮﻣًﺎ ﻗَﺮِﻳﺒًﺎ ِﻣْﻨﻪُ و‬
ُ‫َﺴﲑٌ َﻋﻠَﻰ َﻣ ْﻦ ﻳَ ﱠﺴَﺮﻩُ اﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ‫َﺎل ﻟََﻘ ْﺪ َﺳﺄَﻟْﺘ َِﲏ َﻋ ْﻦ َﻋﻈِﻴ ٍﻢ َوإِﻧﱠﻪُ ﻟَﻴ‬ َ ‫َوﻳـُﺒَﺎ ِﻋﺪُِﱐ َﻋ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر ﻗ‬
‫ﱠﻼةَ َوﺗـُﺆِْﰐ اﻟﱠﺰﻛَﺎةَ َوﺗَﺼُﻮُم َرَﻣﻀَﺎ َن‬ َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﺗَـ ْﻌﺒُ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪَ وََﻻ ﺗُ ْﺸﺮِْك ﺑِِﻪ َﺷْﻴﺌًﺎ َوﺗُﻘِﻴ ُﻢ اﻟﺼ‬
‫ﺼ َﺪﻗَﺔُ ﺗُﻄْ ِﻔ ُﺊ‬ ‫َْﲑ اﻟﺼ ْﱠﻮُم ُﺟﻨﱠﺔٌ وَاﻟ ﱠ‬ ِْ ‫َاب اﳋ‬ِ ‫ﱡﻚ َﻋﻠَﻰ أَﺑْـﻮ‬ َ ‫َﺎل أََﻻ أَ ُدﻟ‬
َ ‫ْﺖ ﰒُﱠ ﻗ‬ َ ‫وَﲢَُ ﱡﺞ اﻟْﺒَـﻴ‬
‫َﺎل ﰒُﱠ ﺗ ََﻼ‬ َ ‫ْف اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻗ‬ ِ ‫ُﻞ ِﻣ ْﻦ ﺟَﻮ‬ ِ ‫َﻼةُ اﻟﱠﺮﺟ‬ َ ‫اﳋَْﻄِﻴﺌَﺔَ َﻛﻤَﺎ ﻳُﻄْ ِﻔ ُﺊ اﻟْﻤَﺎءُ اﻟﻨﱠﺎ َر َوﺻ‬
‫ْس ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ‬ِ ‫ُِك ﺑَِﺮأ‬
َ ‫َﺎل أََﻻ أُﺧْﱪ‬ َ ‫َﱴ ﺑـَﻠَ َﻎ ﻳـَ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن ﰒُﱠ ﻗ‬‫َﺎﺟ ِﻊ ﺣ ﱠ‬ ِ ‫َﺎﰱ ُﺟﻨُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ َﻋ ْﻦ اﻟْ َﻤﻀ‬ َ ‫ﺗَـﺘَﺠ‬
ُ‫ْﻼم‬ َ ‫اﻹﺳ‬ ِْ ‫س ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ‬ ُ ْ‫َﺎل َرأ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬ َ ‫ْﺖ ﺑـَﻠَﻰ ﻳَﺎ َرﺳ‬ ُ ‫ُﻛﻠﱢ ِﻪ َو َﻋﻤُﻮِدﻩِ َوذِرَْوةِ َﺳﻨَﺎ ِﻣ ِﻪ ﻗُـﻠ‬

39
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, h. 434.
40
. Mustafa Kamal dkk, Fikih Islam Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih, 2002, cet.II.
Jogjakarta:Citra Karsa Mandiri. Hal. 36

41
‫ْﺖ‬
ُ ‫ِﻚ ُﻛﻠﱢ ِﻪ ﻗُـﻠ‬َ ‫َِﻼ ِك ذَﻟ‬
َ ‫ُِك ﲟ‬َ ‫َﺎل أََﻻ أُﺧْﱪ‬ َ ‫ﱠﻼةُ َوذِرَْوةُ َﺳﻨَﺎ ِﻣ ِﻪ اﳉِْﻬَﺎ ُد ﰒُﱠ ﻗ‬َ ‫َو َﻋﻤُﻮُدﻩُ اﻟﺼ‬
‫َﱯ اﻟﻠﱠِﻪ َوإِﻧﱠﺎ‬
‫ْﺖ ﻳَﺎ ﻧِ ﱠ‬
ُ ‫ْﻚ َﻫﺬَا ﻓَـ ُﻘﻠ‬
َ ‫ُﻒ َﻋﻠَﻴ‬ ‫َﺎل ﻛ ﱠ‬ َ ‫َﱯ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَﺄَ َﺧ َﺬ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِِﻪ ﻗ‬ ‫ﺑـَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﻧِ ﱠ‬
‫ﱠﺎس ِﰲ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬َ ‫ُﺐ اﻟﻨ‬ ‫ﱡﻚ ﻳَﺎ ُﻣﻌَﺎذُ َوَﻫ ْﻞ ﻳَﻜ ﱡ‬ َ ‫ْﻚ أُﻣ‬
َ ‫َﺎل ﺛَ ِﻜﻠَﺘ‬
َ ‫ﻟَ ُﻤﺆَا َﺧﺬُو َن ﲟَِﺎ ﻧـَﺘَ َﻜﻠﱠ ُﻢ ﺑِِﻪ ﻓَـﻘ‬
‫َﺎﺧ ِﺮِﻫ ْﻢ إﱠِﻻ َﺣﺼَﺎﺋِ ُﺪ‬
ِ ‫َﻋﻠَﻰ ُوﺟُﻮِﻫ ِﻬ ْﻢ أ َْو ﻋَﻠَﻰ َﻣﻨ‬

Artinya:”Mu’az bin Jabal berkata, aku bersaman Nabi SAW. Dalam satu
musafir, lalu ketika aku memasuki waktu pagi hari yang tidak terlalu
lama, kami berjalan. Kemudian, aku bertanya,’Ya Rasūlullāh
beritahukanlah kepadaku satu amal yang akan memasukkan aku ke
dalam surga dan menjauhkan diriku dari api nekara ? Beliau
bersabda,’Engkau bertanya kepadaku tentang suatu yang besar.
Sesungguhnya yang besar itu sesuatu yang mudah bagi orang yang
Allāh mudahkan kepadanya. (Pertama) Mereka menyembah Allāh dan
tidak menserikatkan sesuatupun kepadanya (kedua) Menegakkan Shalat
(ketiga) Menunaikan zakat (keempat) Berpuasa di bulan Ramadhan
(kelima) Berhaji ke Baitullah. Kemudian, beliau berkata
kembali,’Tidakkah telah aku tunjukkan kepadamu tentang pintu-pintu
kebaikan, Puasa adalah perisai, sedaqah akan memadamkan kesalahan
sebagaimana air memadamkan api, dan Shalat seseorang ketika
sepertiga malam terakhir. Kemudian Nabi Berkata lagi,’Dia pergi
meninggalkan lambungnya dari tempat tidur (bangun malam) sehingga ia
telah sampai yang mereka sedang amalkan. Kemudian, Nabi bersabda
lagi,’Tidakkah sudah aku beritahukan kepadamu pangkal segala urusan,
tiangnya, dan puncaknya? Aku menjawab,’Benar, Ya Rasūlullāh!’. Beliau
menekankan,’Pangkal segala urusan adalah Islam, Tiangnya adalah
Shalat, dan puncaknya adalah jihad. Kemudian, Beliau berkata
lagi,’Tidakkah sudah kuberitahu kepadamu tentang kesanggupan
demikian? Aku berkata,’Benar, ya Nabiyullah, aku akan memegang
perkataannya!’. Beliau kembali bersabda,’Genggamlah hal ini!. Aku
berkata,’Ya, Nabiyullah, sesungguhnya kami pasti akan memegangnya
terhadap apa yang engkau katakan itu’. Rasūlullāh SAW
bersabda,’Ibumu yang merasakan kematianmu Ya Mu’āz dan adakah ia
menelungkupkan manusia dengan wajah mereka ke dalam api neraka
atau membusukkan mereka kecuali hasil lontaran lidah-lidah mereka
sendiri’ (HR. Sunan Tirmizi no. 2541 Kitab Iman ‘an Rasulillah).

Kemudian, Shalat adalah amalan hamba yang pertama-tama dihisab dan


merupakan kunci untuk diterima atau ditolaknya amalan-amalan lainnya
sebagaimana sabda Rasūlullāh SAW. di bawah ini;

42
‫ْﺖ اﻟﻠﱠﻪَ أَ ْن ﻳـ َْﺮُزﻗ َِﲏ َﺟﻠِﻴﺴًﺎ ﺻَﺎﳊًِﺎ‬ ُ ‫ِﱐ َﺳﺄَﻟ‬ ‫ْﺖ إ ﱢ‬ُ ‫ْﺖ إ َِﱃ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻓَـ ُﻘﻠ‬ُ ‫َﺎل ﻓَ َﺠﻠَﺴ‬ َ‫ﻗ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟَ َﻌ ﱠﻞ اﻟﻠﱠﻪَ أَ ْن ﻳـَْﻨـ َﻔﻌ َِﲏ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ِ ‫ِﻳﺚ َِﲰ ْﻌﺘَﻪُ ِﻣ ْﻦ َرﺳ‬ ٍ ‫ﻓَ َﺤ ﱢﺪﺛ ِْﲏ ﲝَِﺪ‬
‫َﺐ ﺑِِﻪ‬ُ ‫ﱠل ﻣَﺎ ﳛَُﺎﺳ‬ َ‫ُﻮل إِ ﱠن أَو‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬ َ ‫ﺑِِﻪ ﻓَـﻘ‬
‫َت‬ْ ‫َﺖ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أَﻓْـﻠَ َﺢ َوأَﳒَْ َﺢ َوإِ ْن ﻓَ َﺴﺪ‬ ْ ‫ﺻﻠُﺤ‬ َ ‫َﻼﺗُﻪُ ﻓَِﺈ ْن‬َ ‫اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ ﻳـ َْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ِﻣ ْﻦ ﻋَ َﻤﻠِ ِﻪ ﺻ‬
‫ﱠب َﻋﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ اﻧْﻈُُﺮوا َﻫ ْﻞ‬ ‫َﺎل اﻟﺮ ﱡ‬ َ ‫َﻲءٌ ﻗ‬ ْ ‫ﻀﺘِ ِﻪ ﺷ‬َ ‫َﺺ ِﻣ ْﻦ ﻓَﺮِﻳ‬َ ‫َﺴ َﺮ ﻓَِﺈ ْن اﻧْـﺘَـﻘ‬
ِ ‫َﺎب َوﺧ‬ َ ‫ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﺧ‬
‫ﻀ ِﺔ ﰒُﱠ ﻳَﻜُﻮ ُن ﺳَﺎﺋُِﺮ َﻋ َﻤﻠِ ِﻪ َﻋﻠَﻰ‬ َ ‫َﺺ ِﻣ ْﻦ اﻟْ َﻔﺮِﻳ‬
َ ‫ﱡع ﻓَـﻴُ َﻜ ﱠﻤ َﻞ َِﺎ ﻣَﺎ اﻧْـﺘَـﻘ‬ ٍ ‫ﻟِ َﻌْﺒﺪِي ِﻣ ْﻦ ﺗَﻄَﻮ‬
‫ي‬‫َﺎل وَِﰲ اﻟْﺒَﺎب َﻋ ْﻦ ﲤَِﻴ ٍﻢ اﻟﺪﱠا ِر ﱢ‬ َ ‫ِﻚ ﻗ‬ َ ‫ذَﻟ‬
Artinya:”Rasūlullāh SAW bersabda,’Amalan yang pertama sekali dihisab
dari seorang hamba pada Hari Kiamat ialah Shalat. Jika Shalatnya baik,
maka ia menang dan berhasil. Jika Shalatnya buruk, maka ia menyesal
dan merugi. Oleh karena itu, Jika sesuatu merusak kewajiban Shalatnya,
Tuhan ‘Azza wa Jalla berfirman,’ Perhatikanlah adakah hambaku
melakukan hal-hal yang sunnat sehingga disempurnakanlah terhadap
kewajiban Shalatnya yang rusak kemudian (ditutupi) seluruh amalnya
menjadi demikian. Allāh berfirman,’Masuklah dari pintu Tamim’ (H.R.
Sunan Tirmizi, no. 378 Kitab Shalat).

Shalat juga merupakan sesuatu yang terakhir lenyap dari agama.


Artinya, Jika ia hilang, maka hilang pulalah agama secara
keseluruhannya sebagaimana disabdakan Rasūlullāh SAW. dari Abu
Umamah r.a.,

‫ﻀ ﱠﻦ ﻋُﺮَى‬
َ ‫َﺎل ﻟَﻴُـْﻨـ َﻘ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ أُﻣَﺎ َﻣﺔَ اﻟْﺒَﺎ ِﻫﻠِ ﱢﻲ ﻋَ ْﻦ َرﺳ‬
‫س ﺑِﺎﻟ ِﱠﱵ ﺗَﻠِﻴﻬَﺎ َوأَﱠوﳍُُ ﱠﻦ‬
ُ ‫ﱠﺚ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫َﺖ ﻋُﺮَْوةٌ ﺗَ َﺸﺒ‬
ْ ‫ْﻼِم ﻋُﺮَْوةً ﻋُﺮَْوةً ﻓَ ُﻜﻠﱠﻤَﺎ اﻧْـﺘَـ َﻘﻀ‬
َ ‫اﻹﺳ‬
ِْ
ُ‫ﱠﻼة‬
َ ‫َآﺧُﺮُﻫ ﱠﻦ اﻟﺼ‬
ِ ‫ﻧـَ ْﻘﻀًﺎ اﳊُْ ْﻜ ُﻢ و‬
Artinya:”Sungguh, buhul atau ikatan agama Islam terurai satu demi satu,
maka setiap terurai satu buhul, orang-orang pun bergantung pada buhul
berikutnya. Oleh sebab itu, buhul yang pertama ialah menegakkan
hukum, sedangkan yang terakhir ialah Shalat” (H.R. Musnad Ahmad no.
31139 Kitab Baqi Musnad al-Anshār).

43
Dalam agama Islam, ibadah Shalat itu sangat penting sehingga dalam

keadaan bagaimanapun juga seseorang, baik waktu muqim, musafir,

waktu damai maupun perang, kewajiban Shalat harus dilaksanakan

sebagaimana firman Allāh SWT. dalam sūrah al-Baqarah: 238-239,

         

            

  

Artinya: ’Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.


Berdirilah untuk Allāh (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu
dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allāh
(shalatlah), sebagaimana Allāh telah mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.
Karena Shalat merupakan tiang agama Islam, maka seorang mukallaf
yang meninggalkan Shalat dengan menyangkal dan menentang secara
sengaja adalah murtad dan kafir. Hal ini berdasarkan hadis Rasūlullāh
SAW. Di bawah ini;

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ْﺖ َرﺳ‬
ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬
َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻋَْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ ﺑـَُﺮﻳْ َﺪةَ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ‬
‫ﱠﻼةُ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗـََﺮَﻛﻬَﺎ ﻓَـ َﻘ ْﺪ َﻛ َﻔَﺮ‬
َ ‫ُﻮل اﻟْ َﻌ ْﻬ ُﺪ اﻟﱠﺬِي ﺑـَْﻴـﻨَـﻨَﺎ َوﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ اﻟﺼ‬
ُ ‫ﻳـَﻘ‬
Artinya:”Perjanjian antara kita dan mereka ialah Shalat. Barangsiapa
yang meninggalkan Shalat, ia telah menjadi kafir” (HR. Musnad Ahmad
no. 21859 Kitab Baqi Musnad al-Anshar).

Kemudian hadis dari Jābir r.a,

‫َﲔ اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ‬


َ ْ ‫ُﻮل ﺑـ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَـﻘ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ْﺖ َرﺳ‬
ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ٍﺮ ﻗ‬
‫ﱠﻼ ِة‬
َ ‫ْك ﺗـَﺮُْك اﻟﺼ‬
ِ‫َﲔ اﻟْ ُﻜ ْﻔ ِﺮ أ َْو اﻟﺸﱢﺮ‬
َ ْ ‫َوﺑـ‬
44
Artinya:”Rasūlullāh SAW. bersabda,’Batas antara seseorang dengan
kekafiran itu adalah meninggalkan Shalat” (H.R. Musnad Aḥmad No.
14451 Kitāb Bāqī Musnad al-Mukatstsirīn).

Orang yang meninggalkan shalat karena faktor malas ataupun kesibukan


lain, maka ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Imam Malik dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mereka itu fāsiq yang dapat dijatuhi
hukuman dera atau penjara, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal
berpendapat bahwa mereka itu kāfir marīq (keluar dari agama Islam)
yang dihukum dengan hukuman mati.41

Sekalipun berbeda pendapat mengenai hal ini, yang jelas shalat tidak
boleh ditinggalkan oleh setiap muslim kapan, dimanapun, atau dalam
keadaan apapun kecuali bagi wanita yang haid dan nifas.

c. Syarat Sah dan Rukun Shalat

Sebelum menunaikan Shalat, terlebih dahulu seseorang harus


memenuhi syarat-syarat sahnya di bawah ini, yaitu:

1) Suci dari hadas besar dan kecil.

Sabda Rasūlullāh SAW. dari Abu Hurairah r.a.,

َ‫َﻼة‬
َ ‫َﺎل َﻻ ﻳـَ ْﻘﺒَﻞُ اﻟﻠﱠﻪُ ﺻ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
َ‫ﺿﺄ‬
‫َﱴ ﻳـَﺘَـ َﻮ ﱠ‬
‫َث ﺣ ﱠ‬
َ ‫أَ َﺣ ِﺪ ُﻛ ْﻢ إِذَا أَ ْﺣﺪ‬
Artinya:”Allāh tidak menerima Shalat salah seorang di antaramu jika
berhadas sampai ia berwudu’” (H.R. Shahih Bukhari no. 6440 Kitab Al-
Hail).

2) Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis.

Firman Allāh SWT. dalam surah al-Mudassir: 4,

41
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutaakhir (Bandung: Yayasan al-Hamidiy, 1995), h. 278.

45
  

Artinya:’Dan pakaianmu bersihkanlah’.

Kemudian, hadis Rasūlullāh SAW. dari Ibnu ‘Abbas yang berkata,

‫َﺎل إِﻧـﱠ ُﻬﻤَﺎ‬


َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑَِﻘْﺒـَﺮﻳْ ِﻦ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َﻣﱠﺮ َرﺳ‬
َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
‫َْﺸﻲ ﺑِﺎﻟﻨﱠﻤِﻴ َﻤ ِﺔ َوﻛَﺎ َن‬
ِ ‫ﻟَﻴُـ َﻌ ﱠﺬﺑَﺎ ِن ِﰲ ﻗُـﺒُﻮرِﳘَِﺎ َوﻣَﺎ ﻳـُ َﻌ ﱠﺬﺑَﺎ ِن ِﰲ َﻛﺒِ ٍﲑ ﻛَﺎ َن أَ َﺣﺪُﳘَُﺎ ﳝ‬
‫َﺎل ﰒُﱠ أَ َﺧ َﺬ َﺟﺮِﻳ َﺪةً َرﻃْﺒَﺔً ﻓَ َﻜ َﺴَﺮﻫَﺎ‬
َ ‫ْاﻵ َﺧُﺮ َﻻ ﻳَ ْﺴﺘَـْﻨ ِﺰﻩُ َﻋ ْﻦ اﻟْﺒـَﻮِْل أ َْو ِﻣ ْﻦ اﻟْﺒـَﻮِْل ﻗ‬
‫َﱴ‬
‫ﱠﻒ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﺣ ﱠ‬
َ ‫َﺎل َﻋﺴَﻰ أَ ْن ﳜَُﻔ‬
َ ‫َﱪ ِﻣْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﻗِﻄْ َﻌﺔً ﰒُﱠ ﻗ‬
ٍْ ‫ْس ُﻛ ﱢﻞ ﻗـ‬
ِ ‫ﻓَـﻐََﺮَز ِﻋْﻨ َﺪ َرأ‬
‫ﺗَـْﻴﺒَﺴَﺎ‬
Artinya: ‘Rasūlullāh SAW. Melewati dua buah kuburan dan
bersabda,’Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang disiksa
dan sesuatu yang disiksa dalam keadaan dosa besar, salah satunya
berjalan menyebarkan fitnah dan yang lain buang air kecil tidak
beristinja’. Kemudian, Rasūlullāh SAW mengambil lembaran
tumbuhan dan memecahkannya. Lalu, beliau menanamkannya
sepotong di kepala setiap kuburan dan berkata,’Semoga Allāh
meringankan siksa keduanya sehingga kedua tumbuhan ini
kering/layu’ (H.R. Sunan Abu Dawd No. 732 Kitab Thaharah)

3) Menutup aurat.

Aurat ditutup dengan suatu alat yang menghalangi terlihatnya warna


kulit. Batas aurat yang wajib ditutup bagi laki-laki adalah pusat, lutut,
dan di antara keduanya, sedangkan aurat wanita seluruh tubuhnya
kecuali muka dan dua telapak tangan sebagaimana firman Allāh
SWT. dalam sūrah al-A’rāf: 31,

           

     

Artinya:’Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap


(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-

46
lebihan Sesungguhnya Allāh tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan’.

‘Ᾱ’isyah meriwayatkan bahwa saudarinya bernama Asma’ binti Abu


Bakar pernah masuk ke rumah Nabi SAW. dengan berpakaian
jarang/tipis sehingga nampak kulitnya. Kemudian, beliau berpaling dan
mengatakan,

‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


ِ ‫َﺖ َﻋﻠَﻰ َرﺳ‬ْ ‫ْﺖ أَِﰊ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ َد َﺧﻠ‬َ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ أَ ﱠن أَﲰَْﺎءَ ﺑِﻨ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫ض َﻋْﻨـﻬَﺎ َرﺳ‬َ ‫َﺎق ﻓَﺄَ ْﻋَﺮ‬
ٌ ‫َﺎب ِرﻗ‬
ٌ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوﻋَﻠَْﻴـﻬَﺎ ﺛِﻴ‬
َ
‫ﺼﻠُ ْﺢ أَ ْن ﻳـُﺮَى‬ ْ َ‫ﻴﺾ َﱂْ ﺗ‬ َ ‫َﺤ‬ ِ ‫َﺖ اﻟْﻤ‬ْ ‫َﺎل ﻳَﺎ أَﲰَْﺎءُ إِ ﱠن اﻟْﻤَْﺮأَةَ إِذَا ﺑـَﻠَﻐ‬
َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوﻗ‬
‫ِﻣْﻨـﻬَﺎ إﱠِﻻ َﻫﺬَا َوَﻫﺬَا َوأَﺷَﺎ َر إ َِﱃ َو ْﺟ ِﻬ ِﻪ َوَﻛ ﱠﻔْﻴ ِﻪ‬

Artinya:”Hai Asma’! Sesungguhnya seorang perempuan jika sudah


datang waktu haid, tidak pantas diperlihatkan tubuhnya itu kecuali ini
dan ini sambil beliau menunjukkan muka dan tapak tangannya” (H.R.
Sunan Abu Daud No. 3580 Kitab Al-Libas).

Sementara itu, aurat bagi laki-laki ditentukan berdasarkan sabda-

sabda Rasūlullāh SAW di bawah ini;

َ‫ﻀ ِﺮ َﻋ ْﻦ زُْر َﻋﺔ‬ ْ ‫َﺲ ﻋَ ْﻦ أَِﰊ اﻟﻨﱠ‬ٍ ‫ِﻚ ﺑْ ِﻦ أَﻧ‬ ِ ‫ي ﻋَ ْﻦ ﻣَﺎﻟ‬ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﺒْ ُﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ُﻦ َﻣ ْﻬ ِﺪ ﱟ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ﺑْ ِﻦ ﺟَْﺮَﻫ ٍﺪ ﻋَ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َﺟ ﱢﺪﻩِ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
ٌ‫َﺨ َﺬ ﻋ َْﻮَرة‬
ِ ‫ْﺖ أَ ﱠن اﻟْﻔ‬َ ‫َﺎل أَﻣَﺎ َﻋﻠِﻤ‬
َ ‫َﺨ ِﺬﻩِ ﻓَـﻘ‬ِ ‫ﻒ َﻋ ْﻦ ﻓ‬ ٌ ‫َﺎﺷ‬
ِ ‫َﻣﱠﺮ ﺑِِﻪ َوُﻫ َﻮ ﻛ‬
Artinya:‘Bahwasanya Rasūlullāh SAW berjalan dengannya,
sedangkan pahanya tertutup dan berkata,’Adapun engkau telah tahu
bahwa paha itu adalah aurat’ (HR. Musnad Ahmad no. 15361 Kitab
Musna al-Mukayyin).

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﺟَْﺮَﻫ ٍﺪ ْاﻷَ ْﺳﻠَ ِﻤ ﱢﻲ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ٌ‫َﺨ ُﺬ ﻋ َْﻮَرة‬
ِ ‫َﺎل اﻟْﻔ‬
َ‫ﻗ‬

47
Artinya:’Paha itu adalah aurat’ (H.R. Sunan Tirmizi Kitab al-Adab ‘an

Rasūlillāh no. 2821).

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬َ ‫ْﺐ ﻋَ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َﺟ ﱢﺪﻩِ ﻗ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ﺑْ ِﻦ ُﺷ َﻌﻴ‬
‫ﲔ َوﻓَـﱢﺮﻗُﻮا‬ َ ِ‫ﺿ ِﺮﺑُﻮُﻫ ْﻢ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ ﻟِ َﻌ ْﺸ ِﺮ ِﺳﻨ‬ْ ‫ﲔ وَا‬ َ ِ‫ﱠﻼةِ ﻟِ َﺴﺒْ ِﻊ ِﺳﻨ‬ َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻣُﺮوا أَﺑْـﻨَﺎءَ ُﻛ ْﻢ ﺑِﺎﻟﺼ‬
‫َﻲ ٍء‬ْ ‫َﺎﺟ ِﻊ َوإِذَا أَﻧْ َﻜ َﺢ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َﻋْﺒ َﺪﻩُ أ َْو أ َِﺟ َﲑﻩُ ﻓ ََﻼ ﻳـَْﻨﻈَُﺮ ﱠن إ َِﱃ ﺷ‬
ِ ‫ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ ِﰲ اﻟْ َﻤﻀ‬
‫ِﻣ ْﻦ ﻋ َْﻮَرﺗِِﻪ ﻓَِﺈ ﱠن ﻣَﺎ أَ ْﺳ َﻔ َﻞ ِﻣ ْﻦ ُﺳﱠﺮﺗِِﻪ إ َِﱃ ُرْﻛﺒَﺘَـْﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ ﻋ َْﻮَرﺗِِﻪ‬

Artinya:’Suruhlah anak-anakmu Shalat pada umur tujuh tahun dan


pukullah mereka (jika tidak mau Shalat) pada umur sepuluh tahun dan
pisahkanlah tempat tidur mereka dan apabila salah seorang hambamu
atau tetanggamu menikah, maka sungguh janganlah ia
memperlihatkan sesuatu dari auratnya. Sesungguhnya sesuatu di
bawah pusat sampai lututnya adalah bagian auratnya (H.R. Musnad
Ahmad Kitab Musnad al-Mukatstsirīn min al-Shaḥabah no. 6467).

4) Mengetahui masuknya waktu shalat.

Mengetahui masuknya waktu shalat cukup dengan kuat dugaan dalam


hati bahwa waktu shalat sudah masuk. Oleh sebab itu, bagi orang
yang yakin atau kuat sangkaan itu, dapat diperolehnya melalui
pemberitahuan dari orang yang dipercaya seperti azan dari
mu’adzdzin atau ijtihad seseorang yang mendatangkan keyakinan
dalam hatinya seperti matahari telah tergelincir ke arah Barat dari
langit. Penentuan masuknya awal shalat sekarang ini sudah semakin
mudah yang ditandai dengan tersedianya jadwal waktu Shalat
sepanjang masa dan ketersediaan jam tangan/dinding sebagai
aplikasinya.

5) Menghadap kiblat.

Apabila seorang yang akan melaksanakan shalat, wajib menghadap


kiblat yaitu mengarahkan wajah dan tubuh ke Ka’bah di Masjid al-

48
Ḥarām.42 Hal ini sesuai dengan firman Allāh SWT. dalam sūrah al-
Baqarah: 144,

            

           

            

 

Artinya:’Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke


langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Ḥarām. dan
dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitāb
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-
Ḥarām itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allāh sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan’.

Dalam hal menghadap Ka’bah ini, bagi orang yang dapat melihat
Ka’bah secara langsung wajib menghadapnya. Bagi orang yang tidak
melihatnya, wajib menghadap saja ke arahnya. Ketika menghadap
kiblat ini hukumnya wajib, tetapi dalam keadaan tertentu boleh tidak
menghadapnya, yaitu:

a) Bagi orang yang dipaksa, sangat takut (bahaya), maka dapat


melakukan Shalat sambil berjalan atau berkenderaan.
b) Shalat sunat bagi orang yang berkenderaan. Orang yang dalam
perjalanan di atas kenderaan jika ia shalat sunat di atas
kenderaannya boleh menurut arah tujuan perjalanannya walaupun
tidak menghadap kiblat ketika takbirah al- ihram.43

Hadis Nabi SAW. dari Jābir yang menyatakan,

42
Syarat-syarat sah Shalat tersebut dapat dilihat pada Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 90.
43
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 95.

49
‫ﺼﻠﱢﻲ ﻋَﻠَﻰ‬ َ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬
َ‫ﻀﺔَ ﻧـَﺰََل ﻓَﺎ ْﺳﺘَـ ْﻘﺒَ َﻞ اﻟْ ِﻘْﺒـﻠَﺔ‬
َ ‫َﺖ ﻓَِﺈذَا أَرَا َد اﻟْ َﻔﺮِﻳ‬
ْ ‫ْﺚ ﺗَـ َﻮ ﱠﺟﻬ‬
ُ ‫َاﺣﻠَﺘِ ِﻪ َﺣﻴ‬
ِ‫ر‬

Artinya:”Rasūlullāh SAW. Shalat di atas kenderaan, maka jika beliau


akan Shalat fardu, beliau turun dari kenderaan dan menghadap kiblat”
(H.R. Shahih Bukhari no. 375 Kitab shalat).

Pada sisi lain, jika seseorang akan melaksanakan shalat, tetapi ia


tidak dapat mengetahui arah kiblat karena sangat gelap, maka ia wajib
bertanya kepada orang yang mengetahui kiblat. Jika tidak ada, ia
berijtihad dan mengerjakan shalat menurut ijtihadnya. Walaupun
kemudian, ternyata arahnya salah, shalat tersebut sah dan tidak wajib
mengulangnya kembali. Namun, jika kekeliruan itu diketahui ketika
shalat sedang berlangsung, maka ia berpaling ke arah kiblat yang
sebenarnya tanpa memutus shalatnya.44

Adapun rukun shalat itu meliputi beberapa hal, yaitu:

a) Niat

Niat dalam semua amal ibadah temasuk shalat diungkapkan dalam


hati. Niat shalat berarti bermaksud akan mengerjakan shalat
dengan menentukan jenis shalat yang akan dilakukan, misalnya
shalat Zhuhur atau ‘Ashar. Begitu pula, apakah shalat yang akan
dilakukan itu wajib atau sunat, ataupun jama’ dan qashar.

b) Berdiri dengan sikap sempurna bagi yang mampu.

Bagi orang yang mampu berdiri, maka wajib hukumnya berdiri


dalam shalat fardhu sebagaimana firman Allāh SWT. dalam sūrah
al-Baqarah: 238 yang berbunyi,

        

44
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 77.

50
Artinya:’Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthā. Berdirilah untuk Allāh (dalam shalatmu) dengan khusyu'.

Apabila tidak sanggup berdiri, shalat boleh dilakukan dengan


posisi duduk. Jika tidak sanggup duduk, boleh pula berbaring.
Kalau tidak sanggup juga berbaring, boleh pula dilakukan menurut
kesanggupan apa adanya, misalnya dengan isyarat mata. Hal ini
telah dijelaskan dalam hadis Rasūlullāh SAW. dari Imran Husein
berbunyi,

‫ﱠﱯ‬
‫ْﺖ اﻟﻨِ ﱠ‬ ُ ‫َاﺳﲑُ ﻓَ َﺴﺄَﻟ‬ ِ ‫َﺖ ِﰊ ﺑـَﻮ‬ ْ ‫َﺎل ﻛَﺎﻧ‬َ ‫َﲔ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَْﻨﻪُ ﻗ‬
ٍ ْ ‫َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻤﺮَا َن ﺑْ ِﻦ ُﺣﺼ‬
‫ﺻ ﱢﻞ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﺗَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـﻘَﺎ ِﻋﺪًا‬
َ ‫َﺎل‬
َ ‫ﱠﻼةِ ﻓَـﻘ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻋَ ْﻦ اﻟﺼ‬
َ
‫ْﺐ‬ٍ ‫ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﺗَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَﻰ َﺟﻨ‬
Artinya:”Saya menderita penyakit Bawāsīr (Ambiyen), maka saya
menanyakan kepada Nabi SAW. Mengenai shalat. Lalu
sabdanya,’Shalatlah dengan berdiri jika tidak sanggup, duduklah
dan jika tidak sanggup, berbaringlah” (H.R. Shahih Bukhari no.
1050 Kitab Jumat).

c) Takbirah al-Iḥrām.

Takbirah al-iḥrām ialah ucapan takbīr (Allāh Akbar) yang diucapkan


ketika memulai shalat sebagaimana hadis Rasūlullāh SAW. dari Ali
r.a.,

‫ﱠﻼةِ اﻟﻄﱡﻬُﻮُر‬
َ ‫َﺎل ِﻣ ْﻔﺘَﺎ ُح اﻟﺼ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱟﻲ ﻋَ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﲢﻠِﻴﻠُﻬَﺎ اﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ُﻢ‬
َْ‫َﲢ ِﺮﳝُﻬَﺎ اﻟﺘﱠ ْﻜﺒِﲑُ و‬
َْ‫و‬
Artinya:”Nabi SAW. bersabda,’Kunci shalat itu ialah bersuci,
pembukaannya adalah membaca takbīr dan penutupannya ialah
memberi salam (H.R. Sunan Tirmizi no. 3 Kitāb Thahārah an
Rasūlillāh).

51
Kemudian, hadis yang lain;

‫ُﻮل‬
ِ ‫َﺎب َرﺳ‬ ِ ‫ﺻﺤ‬ ْ َ‫َﺎل َِﲰ ْﻌﺘُﻪُ َوُﻫ َﻮ ِﰲ ﻋَ َﺸَﺮةٍ ِﻣ ْﻦ أ‬ َ‫يﻗ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﲪَُْﻴ ٍﺪ اﻟﺴﱠﺎﻋِ ِﺪ ﱢ‬
‫َﺎل أَﻧَﺎ أَ ْﻋﻠَ ُﻤ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ َﺣ ُﺪ ُﻫ ْﻢ أَﺑُﻮ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﺑْ ُﻦ ِرﺑْﻌِ ﱟﻲ ﻗ‬ َ ‫اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
‫َل‬َ ‫ﱠﻼةِ ا ْﻋﺘَﺪ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن إِذَا ﻗَﺎ َم ِﰲ اﻟﺼ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ِ ‫َﻼةِ َرﺳ‬ َ ‫ﺑِﺼ‬
‫َﺎل اﻟﻠﱠﻪُ أَ َﻛْﺒـُﺮ َوإِذَا أَرَا َد أَ ْن‬
َ ‫ي ِِﻤَﺎ َﻣْﻨ ِﻜﺒَـْﻴ ِﻪ ﰒُﱠ ﻗ‬ َ ‫َﱴ ﳛَُﺎ ِذ‬ ‫ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َوَرﻓَ َﻊ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﺣ ﱠ‬
‫ﲪ َﺪﻩُ َرﻓَ َﻊ‬َِ ‫َﺎل َِﲰ َﻊ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ َﻤ ْﻦ‬َ ‫ي ِِﻤَﺎ َﻣْﻨ ِﻜﺒَـْﻴ ِﻪ ﻓَِﺈذَا ﻗ‬ َ ‫َﱴ ﳛَُﺎ ِذ‬ ‫ﻳـ َْﺮَﻛ َﻊ َرﻓَ َﻊ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﺣ ﱠ‬
‫ي َﻣْﻨ ِﻜﺒَـْﻴ ِﻪ َﻛﻤَﺎ‬َ ‫َﱴ ﳛَُﺎ ِذ‬ ‫َﲔ َﻛﺒﱠـَﺮ َوَرﻓَ َﻊ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﺣ ﱠ‬
ِ ْ ‫َل ﻓَِﺈذَا ﻗَﺎ َم ِﻣ ْﻦ اﻟﺜﱢـﻨْﺘـ‬
َ ‫ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﻓَﺎ ْﻋﺘَﺪ‬
َ‫ﺼ َﻼة‬ ‫ﲔ اﻓْـﺘَﺘَ َﺢ اﻟ ﱠ‬َ ‫ﺻﻨَ َﻊ ِﺣ‬ َ

Artinya:”Abu Qatadah bin Rib’iy berkata,’Aku akan memberitahu


kepadamu tentang Shalat Rasūlullāh SAW. Apabila beliau berdiri
untuk Shalat, ia berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya
sehingga setentang dengan kedua bahunya kemudian berkata
Allāh Akbar dan apabila beliau akan ruku’, ia mengangkat kedua
tangannya sehingga setentang dengan kedua bahunya kemudian ia
berkata sami’ullahu liman hamidah beliau mengangkat kedua
tangannya dan beri’tidal dan apabila beliau berdiri dari rakaat kedua
beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya setentang
dengan kedua bahunya sebagaimana terjadi ketika permulaan
Shalat’.(H.R. Sunan Ibnu Majah no. 852 Kitab Iqamah Shalat wa
Sunnah Fiiha).

Setelah bertakbir, Rasūlullāh SAW meletakkan tangannya di

dadanya sambil bersedekap sebagaimana hadis di bawah ini;

‫ْﲎ‬
َ ‫ﻀ ُﻊ ﻳَ َﺪﻩُ اﻟْﻴُﻤ‬
َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ َ ‫ُس ﻗ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﻃَﺎو‬
ِ‫ﱠﻼة‬َ ‫ﺻ ْﺪ ِرﻩِ َوُﻫ َﻮ ِﰲ اﻟﺼ‬ َ ‫َﻋﻠَﻰ ﻳَ ِﺪﻩِ اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى ﰒُﱠ ﻳَ ُﺸ ﱡﺪ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬﻤَﺎ َﻋﻠَﻰ‬

Artinya: ‘ Dari Tawus berkata,’Adalah Rasūlullāh SAW meletakkan


tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian memegang erat

52
‫‪di antaranya (meletakkan) di atas dadanya ketika shalat’ (HR.‬‬
‫‪Sunan Abu Daud dalam Kitab Shalat no. 647).‬‬

‫‪Kemudian, membaca doa iftitah:‬‬

‫ِب اﻟﻠّ ُﻬ ﱠﻢ‬


‫َﲔ اﻟْ َﻤ ْﺸﺮِِق وَاﻟْ َﻤ ْﻐﺮ ِ‬
‫ْت ﺑـ ْ َ‬
‫ي َﻛﻤَﺎ ﺑَﺎ َﻋﺪ َ‬ ‫َﲔ َﺧﻄَﺎﻳَﺎ َ‬ ‫اﻟﻠّ ُﻬ ﱠﻢ ﺑَﺎﻋِ ْﺪ ﺑـَﻴ ِْﲏ َوﺑـ ْ َ‬
‫ْﺴ ْﻞ‬‫َﺲ اﻟﻠّ ُﻬ ﱠﻢ اﻏ ِ‬ ‫ﺾ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺪﻧ ِ‬ ‫ْب ْاﻷَﺑْـﻴَ ُ‬
‫ﻧـَﻘ ِﱢﲏ ِﻣ َﻦ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ َﻛﻤَﺎ ﻳـُﻨَـﻘﱠﻰ اﻟﺜـﱠﻮ ُ‬
‫ْﺞ وَاﻟْﺒَـَﺮِد‪.‬‬
‫ي ﺑِﺎﻟْﻤَﺎ ِء وَاﻟﺜـﱠﻠ ِ‬‫َﺧﻄَﺎﻳَﺎ َ‬
‫‪“(Ya‬‬ ‫‪Allāh,‬‬ ‫‪Jauhkanlah‬‬ ‫‪antara‬‬ ‫‪aku‬‬ ‫‪dengan‬‬ ‫‪kesalahanku‬‬
‫‪sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dengan Barat, Ya‬‬
‫‪Allāh, hapuskanlah kesalahanku sebagaimana Engkau hapuskan‬‬
‫‪baju putih dari kotoran, Ya Allāh cucilah kesalahanku dengan air,‬‬
‫‪salju, dan embun) (HR. Shahih Bukhari 3/187).‬‬
‫‪Atau doa iftitah yang lain (HR. Muslim 4/169).‬‬

‫ْض َﺣﻨِﻴ ًﻔ ـ ــﺎ َوَﻣ ـ ــﺎ أَﻧَـ ــﺎ ِﻣ ـ ـ ْﻦ‬‫َاﻷَر َ‬ ‫َات و ْ‬ ‫ـﺖ َو ْﺟ ِﻬ ـ ـ َﻲ ﻟِﻠﱠ ـ ـﺬِي ﻓَﻄَ ـ ـَﺮ اﻟ ﱠﺴ ـ ـﻤَﺎو ِ‬ ‫َو ﱠﺟ ْﻬ ـ ـ ُ‬
‫ِﻳﻚ‬
‫ﲔ َﻻ َﺷـﺮ َ‬ ‫َب اﻟْ َﻌــﺎﻟَ ِﻤ َ‬ ‫ي وََﳑـَ ِـﺎﰐ ﻟِﻠﱠـ ِﻪ ر ﱢ‬
‫َﳏﻴَــﺎ َ‬
‫ﺻـ َـﻼِﰐ َوﻧُ ُﺴـﻜِﻲ وَْ‬ ‫ﲔ إِ ﱠن َ‬ ‫اﻟْ ُﻤ ْﺸـ ِﺮﻛِ َ‬
‫ـﺖ‬
‫ـﻚ َﻻ إِﻟَـﻪَ إﱠِﻻ أَﻧْـ َ‬ ‫ـﺖ اﻟْ َﻤﻠِـ ُ‬
‫ﲔ اﻟﻠﱠ ُﻬ ـ ﱠﻢ أَﻧْـ َ‬‫ْت َوأَﻧَــﺎ ِﻣ ـ ْﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺴ ـﻠِ ِﻤ َ‬
‫ِﻚ أُِﻣــﺮ ُ‬‫ﻟَـﻪُ َوﺑِـ َﺬﻟ َ‬
‫ُﻮﰊ ﲨَِﻴﻌًﺎ‬ ‫ْﺖ ﺑِ َﺬﻧِْﱯ ﻓَﺎ ْﻏﻔِْﺮ ِﱄ ذُﻧ ِ‬ ‫ْﺴﻲ وَا ْﻋﺘَـَﺮﻓ ُ‬ ‫ْﺖ ﻧـَﻔ ِ‬ ‫ُك ﻇَﻠَﻤ ُ‬ ‫َﰊ َوأَﻧَﺎ َﻋْﺒﺪ َ‬ ‫ْﺖ رﱢ‬ ‫أَﻧ َ‬
‫ـﺖ وَا ْﻫ ـ ـﺪِِﱐ ﻷَِ ْﺣ َﺴ ـ ـ ِﻦ ْاﻷَ ْﺧ ـ ـ َـﻼ ِق َﻻ ﻳـَ ْﻬ ـ ـﺪِي‬ ‫ُﻮب إﱠِﻻ أَﻧْـ ـ َ‬‫إِﻧﱠ ـ ـﻪُ َﻻ ﻳـَ ْﻐ ِﻔ ـ ـُﺮ اﻟ ـ ـ ﱡﺬﻧ َ‬
‫ـﺖ‬
‫ِف َﻋـ ﱢـﲏ َﺳ ـﻴﱢﺌَـﻬَﺎ إﱠِﻻ أَﻧْـ َ‬ ‫ﺼ ـﺮ ُ‬ ‫ِف َﻋـ ﱢـﲏ َﺳ ـﻴﱢﺌَـﻬَﺎ َﻻ ﻳَ ْ‬ ‫ﺻ ـﺮ ْ‬ ‫ـﺖ وَا ْ‬ ‫ﻷَِ ْﺣ َﺴ ـﻨِﻬَﺎ إﱠِﻻ أَﻧْـ َ‬
‫ـﻚ‬
‫ـﻚ َوإِﻟَْﻴـ َ‬ ‫ـﻚ أَﻧَــﺎ ﺑِـ َ‬ ‫ْﺲ إِﻟَْﻴـ َ‬
‫ْﻚ وَاﻟ ﱠﺸـﱡﺮ ﻟَـﻴ َ‬ ‫ْﻚ وَاﳋَْْﻴ ـُﺮ ُﻛﻠﱡـﻪُ ِﰲ ﻳَـ َﺪﻳ َ‬ ‫ـﻚ َو َﺳ ـ ْﻌ َﺪﻳ َ‬ ‫ﻟَﺒﱠـْﻴـ َ‬
‫ْﻚ‬
‫ُﻮب إِﻟَﻴ َ‬
‫ْﺖ أَ ْﺳﺘَـ ْﻐ ِﻔﺮَُك َوأَﺗ ُ‬ ‫ْﺖ َوﺗَـﻌَﺎﻟَﻴ َ‬ ‫ﺗَـﺒَﺎ َرﻛ َ‬

‫‪d) Membaca sūrah al-Fātiḥah.‬‬

‫‪Membaca sūrah al-Fātiḥah wajib hukumnya dalam shalat pada‬‬


‫‪setiap rakaat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat. Hal ini‬‬
‫‪sesuai dengan hadis dari Ubaidah ibn Shamit r.a.,‬‬

‫‪53‬‬
َ‫َﻼة‬
َ ‫َﺎل َﻻ ﺻ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ِﺖ أَ ﱠن َرﺳ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ ﻋُﺒَﺎ َدةَ ﺑْ ِﻦ اﻟﺼﱠﺎﻣ‬
‫َﺎب‬
ِ ‫ﻟِ َﻤ ْﻦ َﱂْ ﻳـَ ْﻘَﺮأْ ﺑِﻔَﺎﲢَِ ِﺔ اﻟْ ِﻜﺘ‬
Artinya:”Tidak ada (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca
(sūrah) Fātiḥah al-Kitāb” (H.R. Shahih Bukhari no. 714 Kitab
Adzan).

Demikian juga, hadis dari Abu Hurairah r.a. yang menyatakan


bahwa Nabi SAW. pernah bersabda,

ْ‫َﻼةً َﱂْ ﻳـَ ْﻘَﺮأ‬


َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺻ‬ َ ‫َﺎل َﻣ ْﻦ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫ﻓِﻴﻬَﺎ ﺑِﺄُﱢم اﻟْﻘُﺮْآ ِن ﻓَ ِﻬ َﻲ ِﺧﺪَا ٌج ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﻏَْﻴـُﺮ‬
Artinya:”Barangsiapa yang mengerjakan Shalat tanpa membaca
Ummul Quran, maka Shalat itu kurang (3 x disebut Rasūlullāh
SAW) tidak sempurna” (H.R. Shahih Muslim no. 598 Kitab shalat).

e) Ruku’ dengan thuma’ninah (berhenti/tenang sejenak).

Kewajiban ruku’ dalam shalat telah disepakati secara ijtihad


berdasarkan firman Allāh SWT. dalam sūrah al-Hajj: 77,

       

    

Artinya:’Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah


kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya
kamu mendapat kemenangan’.

Ruku’ terlaksana dengan membungkukkan tubuh dan kedua tangan


menggenggam kedua lutut, sedangkan kaki berdiri tegak dan mata
memandang ke arah tempat sujud sehingga leher dengan tulang
punggung benar-benar lurus (90 % Celcius). Abu Qatadah dari
ayahnya berkata bahwa Nabi SAW. pernah bersabda,

54
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬
‫َﺎل َرﺳ ُ‬ ‫َﺎل ﻗ َ‬
‫َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ َ‬
‫ْﻒ‬‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َوَﻛﻴ َ‬
‫َﻼﺗِِﻪ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎ َرﺳ َ‬
‫ِق ِﻣ ْﻦ ﺻ َ‬
‫ﱠﺎس َﺳ ِﺮﻗَﺔً اﻟﱠﺬِي ﻳَ ْﺴﺮ ُ‬ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﺳ َﻮأُ اﻟﻨ ِ‬
‫ﺻ ْﻠﺒَﻪُ‬ ‫َﺎل َﻻ ﻳُﻘِﻴ ُﻢ ُ‬
‫َﺎل َﻻ ﻳُﺘِ ﱡﻢ ُرﻛُﻮ َﻋﻬَﺎ وََﻻ ُﺳﺠُﻮَدﻫَﺎ أ َْو ﻗ َ‬ ‫َﻼﺗِِﻪ ﻗ َ‬‫ِق ِﻣ ْﻦ ﺻ َ‬ ‫ﻳَ ْﺴﺮ ُ‬
‫ُﻮع وَاﻟ ﱡﺴﺠُﻮِد‬‫ِﰲ اﻟﱡﺮﻛ ِ‬
‫‪Artinya:”Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri dari‬‬
‫‪shalatnya! Lalu, mereka bertanya,’ya Rasūlullāh bagaimana‬‬
‫‪mencuri dari shalat itu? Ujarnya,”Seseorang yang tidak sempurna‬‬
‫‪ruku’ dan sujudnya atau tidak diluruskan ruku’ dan sujud” (H.R.‬‬
‫‪Musnad Ahmad no 21591 Kitab Baqi Musnad al-Anshār).‬‬

‫‪Bacaan ketika ruku’ adalah:‬‬

‫ِك اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ا ْﻏﻔِْﺮ ِﱄ‬


‫َﻚ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ َرﺑـﱠﻨَﺎ وَﲝَِ ْﻤﺪ َ‬
‫ُﺳْﺒﺤَﺎﻧ َ‬
‫‪Artinya:”Maha suci Engkau Ya Allāh, Ya Tuhan kami, dan dengan‬‬
‫‪memuji-Mu Ya Allāh, ampunilah dosa-dosaku.‬‬

‫‪Atau bacaan lain:‬‬ ‫َﰊ اﻷ ْﻋﻠَـﻰ‬


‫‪ُ Artinya”Maha suci Tuhanku‬ﺳـﺒﺤﺎ َن رﱢَ‬
‫‪Yang Maha Tinggi”.‬‬

‫‪f) I’tidāl (bangkit dari ruku’ dan berdiri lurus) dengan thuma’ninah.‬‬
‫‪Hal ini sesuai dengan hadis Rasūlullāh SAW. dari ‘Ᾱ’isyah yang‬‬
‫‪menyatakan,‬‬

‫ﱠﻼةَ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻔﺘِ ُﺢ اﻟﺼ َ‬ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬ ‫َﺖ ﻛَﺎ َن َرﺳ ُ‬ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ ْ‬
‫ﺺ‬‫ْﺨ ْ‬ ‫ﲔ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرَﻛ َﻊ َﱂْ ﻳُﺸ ِ‬ ‫َب اﻟْﻌَﺎﻟَ ِﻤ َ‬ ‫ب اﳊَْﻤْﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ر ﱢ‬ ‫ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﻜﺒِ ِﲑ وَاﻟْ ِﻘﺮَاءَةَ ِ‬
‫ُﻮع َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ‬ ‫ِﻚ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ ْﻦ اﻟﱡﺮﻛ ِ‬ ‫َﲔ ذَﻟ َ‬ ‫ﺼ ﱢﻮﺑْﻪُ َوﻟَ ِﻜ ْﻦ ﺑـ ْ َ‬
‫َرأْ َﺳﻪُ َوَﱂْ ﻳُ َ‬
‫َﱴ‬‫ي ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ َوﻛَﺎ َن إِذَا َرﻓَ َﻊ َرأْ َﺳﻪُ ِﻣ ْﻦ اﻟ ﱠﺴ ْﺠ َﺪةِ َﱂْ ﻳَ ْﺴ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ‬ ‫َﱴ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ َ‬ ‫ﺣﱠ‬
‫ش ِر ْﺟﻠَﻪُ‬ ‫ﱠﺤﻴﱠﺔَ َوﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻔ ِﺮ ُ‬
‫َﲔ اﻟﺘ ِ‬ ‫ُﻮل ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ ْ ِ‬ ‫ي ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَﻘ ُ‬ ‫ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻮ َ‬
‫ِﺐ ِر ْﺟﻠَﻪُ اﻟْﻴُ ْﻤ َﲎ َوﻛَﺎ َن ﻳـَْﻨـﻬَﻰ َﻋ ْﻦ ﻋُ ْﻘﺒَ ِﺔ اﻟ ﱠﺸْﻴﻄَﺎ ِن َوﻳـَْﻨـﻬَﻰ أَ ْن‬ ‫اﻟْﻴُ ْﺴﺮَى َوﻳـَﻨْﺼ ُ‬
‫ﱠﻼةَ ﺑِﺎﻟﺘﱠ ْﺴﻠِﻴ ِﻢ‬ ‫اش اﻟ ﱠﺴﺒُ ِﻊ َوﻛَﺎ َن ﳜَْﺘِ ُﻢ اﻟﺼ َ‬ ‫َِش اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ِذرَا َﻋْﻴ ِﻪ اﻓِْﱰَ َ‬ ‫ﻳـَﻔْﱰ َ‬

‫‪55‬‬
Artinya:"Adalah Rasūlullāh SAW. Membuka shalat dengan takbīr
dan membaca Al-Qur’an dengan Alḥamdulillāhirabbil’alāmīn. Dan
apabila ruku’ beliau tidak meninggikan kepalanya dan tidak
merendahkannya, tetapi antara keduanya. Apabila beliau
mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau tidak sujud sebelum berdiri
tegak. Apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud, ia tidak
sujud sebelum duduk sempurna. Beliau membaca setiap rakaatnya
itu at-tahiyat dan membentangkan kaki kirinya dan menegakkan
kaki kanannya. Beliau mencegahnya seperti ekor syetan dengan
membentangkan kaki kanan. Pembentangan hanya dilakukan pada
tujuh tempat (dua kaki, dua lutut, dua tangan, dan satu muka). Lalu,
beliau menutup shalatnya dengan salam” (H.R. Shahih Muslim
no.768 Kitab Shalat).

Kemudian, hadis Nabi SAW.,

‫ْﺠ َﺪ ﻓَ َﺪ َﺧ َﻞ‬ ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َد َﺧ َﻞ اﻟْ َﻤﺴ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫ﺼ ﱢﻞ‬َ َ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـَﺮﱠد َوﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨِ ﱢ‬ َ َ‫َر ُﺟ ٌﻞ ﻓ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَ ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨِ ﱢ‬ َ ‫ﺼﻠﱢﻲ َﻛﻤَﺎ‬ َ ُ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَـَﺮ َﺟ َﻊ ﻳ‬ َ ُ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗ‬ َ ‫ﻓَِﺈﻧ‬
‫َﻚ‬َ ‫َﺎل وَاﻟﱠﺬِي ﺑـَ َﻌﺜ‬ َ ‫ﺼ ﱢﻞ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﻓَـﻘ‬ َ ُ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗ‬ َ ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَِﺈﻧ‬َ َ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓ‬ َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻘ‬
‫ﱠﻼةِ ﻓَ َﻜﺒـْﱢﺮ ﰒُﱠ اﻗْـَﺮأْ ﻣَﺎ‬
َ ‫ْﺖ إ َِﱃ اﻟﺼ‬ َ ‫َﺎل إِذَا ﻗُﻤ‬ َ ‫ْﺴ ُﻦ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَـ َﻌﻠﱢﻤ ِْﲏ ﻓَـﻘ‬
ِ ‫ﺑِﺎﳊَْ ﱢﻖ ﻣَﺎ أُﺣ‬
‫ِل‬َ ‫َﱴ ﺗَـ ْﻌﺪ‬ ‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ رَاﻛِﻌًﺎ ﰒُﱠ ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ ‫َﻚ ِﻣ ْﻦ اﻟْﻘُﺮْآ ِن ﰒُﱠ ْارَﻛ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ َ ‫ﺗَـﻴَ ﱠﺴَﺮ َﻣﻌ‬
‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ وَاﻓْـ َﻌ ْﻞ‬ ‫َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ ِ ‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺳ‬ ‫ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﰒُﱠ ا ْﺳ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ‬
‫ِﻚ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ‬ َ ‫َﻼﺗ‬َ ‫ِﻚ ِﰲ ﺻ‬ َ ‫ذَﻟ‬
Artinya:”Sesungguhnya Rasūlullāh SAW memasuki mesjid dan
seorang laki-laki pun memasuki mesjid. Lalu, ia shalat dan
membaca salam atas Nabi SAW dan ingin pulang. Kemudian,
Rasūlullāh SAW. Berkata,’Ulangilah shalatmu sebab engkau belum
shalat. Lalu, ia kembali melakukan shalat seperti tadi. Kemudian ia
mendatangi Nabi dan mengucapkan salam. Kemudian, Rasūlullāh
SAW. Berkata lagi,’Kembalilah ulangi shalatmu sebab engkau
belum shalat’. Beliau berkata itu tiga kali dan laki-laki itu
berkata,’Demi Allāh yang membangkitkan engkau yang tidak ada
yang lebih baik selain-Nya dan ajarilah aku tentang itu’. Rasūlullāh
SAW. Bersabda,’Apabila engkau menegakkan shalat bertakbirlah
dan bacalah sesuatu yang mudah dari Alquran kemudian ruku’ dan
thuma’ninah kemudian berdirilah sempurna kemudian sujud dengan
thuma’ninah kemudian duduk antara dua sujud dan thuma’ninah

56
‫‪dan lakukanlah demikian di seluruh Shalatmu’ (H.R. Shahih Bukhari‬‬
‫‪no. 715 Kitab Azan).‬‬

‫‪Sembari membaca doa :‬‬

‫ﲪـ َﺪﻩُ‬
‫َِﲰـ َﻊ اﻟﻠﱠـﻪُ ﻟِ َﻤـ ْﻦ َِ‬ ‫‪Artinya: “Semoga Allāh berkenan mendengar‬‬

‫‪(memperhatikan) orang yang memuji-Nya.‬‬


‫‪Setelah berdiri lurus, tangan kembali sejajar dengan badan maka‬‬
‫‪bacalah:‬‬

‫ـﻚ اﳊَْﻤْـ ُﺪ‬


‫َرﺑـﱠﻨَـﺎ َوﻟَ َ‬ ‫‪.Artinya: “Ya Tuhan kami, dan segala puji-pujian‬‬

‫‪hanyalah bagi-Mu semata.‬‬


‫‪g) Sujud serta thuma’ninah.‬‬

‫‪Sujud merupakan rukun pada setiap rakaat baik shalat fardhu‬‬


‫‪maupun shalat sunat sebagaimana firman Allāh SWT. dalam sūrah‬‬
‫‪al-Hajj ayat 77 yang telah lalu juga hadis dari Abu Hurairah r.a.‬‬
‫‪ketika Nabi SAW. mengatakan,‬‬

‫ْﺠ َﺪ ﻓَ َﺪ َﺧ َﻞ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َد َﺧ َﻞ اﻟْ َﻤﺴ ِ‬ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن َرﺳ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـَﺮﱠد‬ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَ ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ َﻋﻠَﻰ َرﺳ ِ‬ ‫َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَ َ‬
‫ﺼ ﱢﻞ‬ ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗُ َ‬ ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَِﺈﻧ َ‬ ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓَ َ‬ ‫ﱠﻼ َم ﻗ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟﺴ َ‬ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬‫َرﺳ ُ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬ ‫ﱠﱯ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَ إ َِﱃ اﻟﻨِ ﱢ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ َﻛﻤَﺎ ﻛَﺎ َن َ‬ ‫ﻓَـَﺮ َﺟ َﻊ اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﻓَ َ‬
‫ﱠﻼمُ‬ ‫ْﻚ اﻟﺴ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َو َﻋﻠَﻴ َ‬ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬
‫َﺎل َرﺳ ُ‬ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓَـﻘ َ‬
‫َﺎل‬
‫ﱠات ﻓَـﻘ َ‬ ‫ث َﻣﺮ ٍ‬ ‫ِﻚ ﺛ ََﻼ َ‬ ‫َﱴ ﻓَـ َﻌ َﻞ ذَﻟ َ‬ ‫ﺼ ﱢﻞ ﺣ ﱠ‬ ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗُ َ‬‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَِﺈﻧ َ‬ ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓَ َ‬ ‫ﰒُﱠ ﻗ َ‬
‫ْﺖ إ َِﱃ‬ ‫َﺎل إِذَا ﻗُﻤ َ‬ ‫ْﺴ ُﻦ َﻏْﻴـَﺮ َﻫﺬَا َﻋﻠﱢﻤ ِْﲏ ﻗ َ‬ ‫َﻚ ﺑِﺎﳊَْ ﱢﻖ ﻣَﺎ أُﺣ ِ‬ ‫اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ وَاﻟﱠﺬِي ﺑـَ َﻌﺜ َ‬
‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ رَاﻛِﻌًﺎ‬ ‫َﻚ ِﻣ ْﻦ اﻟْﻘُﺮْآ ِن ﰒُﱠ ْارَﻛ ْﻊ ﺣ ﱠ‬
‫ﱠﻼةِ ﻓَ َﻜﺒـْﱢﺮ ﰒُﱠ اﻗْـَﺮأْ ﻣَﺎ ﺗَـﻴَ ﱠﺴَﺮ َﻣﻌ َ‬ ‫اﻟﺼ َ‬
‫َﱴ‬‫َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ ‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺳ ِ‬ ‫ِل ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﰒُﱠ ا ْﺳ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ‬ ‫َﱴ ﺗَـ ْﻌﺘَﺪ َ‬‫ﰒُﱠ ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬
‫ِﻚ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ‬ ‫َﻼﺗ َ‬ ‫ِﻚ ِﰲ ﺻ َ‬ ‫ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ ﰒُﱠ اﻓْـ َﻌ ْﻞ ذَﻟ َ‬

‫‪57‬‬
Artinya:”Sesungguhnya Rasūlullāh SAW memasuki masjid dan
seorang laki-laki pun memasuki masjid. Lalu, ia shalat dan
membaca salam atas Nabi SAW dan ingin pulang. Kemudian,
Rasūlullāh SAW. Berkata,’Ulangilah ahalatmu sebab engkau belum
shalat. Lalu, ia kembali melakukan shalat seperti tadi. Kemudian ia
mendatangi Nabi dan mengucapkan salam. Kemudian, Rasūlullāh
SAW. Berkata lagi,’Kembalilah ulangi shalatmu sebab engkau
belum shalat’. Beliau berkata itu tiga kali dan laki-laki itu
berkata,’Demi Allāh yang membangkitkan engkau yang tidak ada
yang lebih baik selain-Nya dan ajarilah aku tentang itu’. Rasūlullāh
SAW. Bersabda,’Apabila engkau menegakkan shalat bertakbirlah
dan bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur’an kemudian ruku’
dan thuma’ninah kemudian berdirilah sempurna kemudian sujud
dengan thuma’ninah kemudian duduk antara dua sujud dan
thuma’ninah dan lakukanlah demikian di seluruh shalatmu’ (H.R.
Shahih Muslim no.602 Kitab Shalat).

Cara sujud yang diajarkan Rasūlullāh SAW. adalah sesuai


dengan hadis yang diterima dari Abbas ibn Abd al-Muthallib bahwa
ia mendengar Nabi SAW. bersabda,

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠِﻪ‬


َ ‫ِﺐ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ َرﺳ‬ ِ ‫ﱠﺎس ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟْ ُﻤﻄﱠﻠ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ اﻟْ َﻌﺒ‬
ُ‫َاف َو ْﺟ ُﻬﻪُ َوَﻛﻔﱠﺎﻩُ َوُرْﻛﺒَﺘَﺎﻩ‬
ٍ ‫ُﻮل إِذَا َﺳ َﺠ َﺪ اﻟْ َﻌﺒْ ُﺪ َﺳ َﺠ َﺪ َﻣ َﻌﻪُ َﺳْﺒـ َﻌﺔُ أَﻃْﺮ‬ُ ‫ﻳـَﻘ‬
ُ‫َوﻗَ َﺪﻣَﺎﻩ‬

Artinya:”Jika seorang hamba itu sujud, sujudlah pula bersamanya


tujuh macam anggota tubuh, yakni wajahnya, kedua telapak
tangannya, kedua lututnya, serta kedua telapak kakinya” (H.R.
Shahih Muslim no. 760 Kitab Shalat).

Sujud ini dilakukan dua kali berserta thuma’ninahnya. Tindakan


antara dua sujud itu dipisahkan dengan duduk sekali beserta
dengan thuma’ninahnya.

Ketika akan sujud berdasarkan hadis, Rasūlullāh SAW meletakkan


kedua lututnya terlebih dahulu kemudian kedua tangannya
sebagaimana hadis dibawah ini,

58
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا َﺳ َﺠ َﺪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َرأَﻳ‬َ ‫َﻋ ْﻦ وَاﺋ ِِﻞ ﺑْ ِﻦ ُﺣ ْﺠ ٍﺮ ﻗ‬
‫َﺾ َرﻓَ َﻊ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ ﻗَـْﺒ َﻞ ُرْﻛﺒَﺘَـْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺿ َﻊ ُرْﻛﺒَﺘَـْﻴ ِﻪ ﻗَـْﺒ َﻞ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ َوإِذَا ﻧـَﻬ‬
َ ‫َو‬

Artinya:’Wā’il bin Hujr berkata,’Aku melihat Rasūlullāh apabila


sujud, meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua
tangannya dan apabila beliau berdiri mengangkat kedua tangannya
sebelum mengangkat kedua lututnya’. (HR. Sunan Nasaiy dalam
Kitab at-Tatbiq no. 1077).

Hadis di atas juga diriwayatkan Abu Daud, Tirmiziy, dan Ibnu


Majah. Kemudian, membaca doa:

‫ِك اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ا ْﻏﻔِْﺮ ِﱄ‬


َ ‫َﻚ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ َرﺑـﱠﻨَﺎ وَﲝَِ ْﻤﺪ‬
َ ‫ُﺳْﺒﺤَﺎﻧ‬
Artinya:”Maha Suci Engkau ya Allāh Tuhan kami, dan dengan
memuji-Mu ya Allāh ampunilah hamba.
h) Duduk Tasyahhud Awal.
Bagi shalat fardhu/wajib yang raka’atnya lebih dari dua, maka pada
raka’at kedua sebelum berdiri untuk melakukan raka’at ketiga,
harus duduk terlebih dahulu dengan duduk iftirāsy, yaitu duduk di
atas bentangan kaki kiri dengan menjadikan kaki kiri sebagai
alas/firasy, sementara telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari-
jari kaki kanan menghadap kiblat, seraya mengacungkan telunjuk
jari tangan kanan, sementara jari-jari lainnya menggenggam.
Acungan telunjuk jari kanan dimulai sejak mulai duduk iftirāsy.
Pada saat duduk tasyahhud (baik tasyahhud awal maupun
tasyhahud akhir) bacalah taḥiyat dengan posisi jari-jari tangan
kanan dalam posisi mengepal kecuali jari telunjuk yang menunjuk
seraya membaca doa dari awal sampai akhir.Adapun doa
tasyahhud (baik awal maupun akhir) adalah sebagai berikut:

59
‫ﱠﱯ‬
‫ْﻚ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَﻴ‬
َ ‫َﺎت ﻟِﻠﱠ ِﻪ اﻟﺴ‬ ُ ‫َات اﻟﻄﱠﻴﱢﺒ‬ُ ‫ﺼﻠَﻮ‬ ‫َﺎت اﻟ ﱠ‬
ُ ‫ﱠﺎت اﻟْ ُﻤﺒَﺎ َرﻛ‬ ُ ‫ﱠﺤﻴ‬ ِ ‫اﻟﺘ‬
‫ﲔ أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن َﻻ‬
َ ِِ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َو َﻋﻠَﻰ ِﻋﺒَﺎ ِد اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺼﱠﺎﳊ‬
َ ‫َورَﲪَْﺔُ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪُ اﻟﺴ‬
‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َرﺳ‬
Artinya:”Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebaikan adalah
milik Allāh semata. Semoga keselamatan bagi engkau wahai Nabi
(Muhammad) beserta rahmat dan kebahagiaan dari Allāh. Semoga
keselamatan juga bagi kita hamba-hamba yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allāh, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”
Kemudian, membaca shalawat:

‫َآل‬
ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ و‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻴ‬
َ ‫ﺻ ﱢﻞ َﻋﻠَﻰ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َو َﻋﻠَﻰ ِآل ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َﻛﻤَﺎ‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ‬
‫َآل‬
ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ و‬
َ ‫َآل ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َﻛﻤَﺎ ﺑَﺎ َرﻛ‬
ِ ‫إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َو ﺑَﺎرِْك َﻋﻠَﻰ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ و‬
‫ﱠﻚ ﲪَِﻴ ٌﺪ ﳎَِﻴ ٌﺪ‬
َ ‫إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ إِﻧ‬
Artinya:”Ya Allāh berilah shalawat kepada Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberika shalawat
kepada Ibrahim dan keluarganya. Dan berikanlah berkah pada
Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau
Dilanjutkan dengan membaca doa berikut, bila duduk tasyahhud
awal:

‫ْﺖ ﻓَﺎ ْﻏﻔِْﺮ ِﱄ‬


َ ‫ُﻮب إﱠِﻻ أَﻧ‬
َ ‫ْﺴﻲ ﻇُْﻠﻤًﺎ َﻛﺜِ ًﲑا وََﻻ ﻳـَ ْﻐ ِﻔُﺮ اﻟ ﱡﺬﻧ‬
ِ ‫ْﺖ ﻧـَﻔ‬
ُ ‫ِﱐ ﻇَﻠَﻤ‬
‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ إ ﱢ‬
‫ﱠﺣﻴ ُﻢ‬
ِ‫ْﺖ اﻟْﻐَﻔُﻮُر اﻟﺮ‬
َ ‫َْﲏ إِﻧﱠﻚ أَﻧ‬
ِ ‫ِك وَارْﲪ‬
َ ‫َﻣ ْﻐ ِﻔَﺮةً ِﻣ ْﻦ ِﻋْﻨﺪ‬
Artinya:”Ya Allāh, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada
diriku sendiri dengan kezhaliman yang besar., dan tidak ada yang
berhak mengampunkan dosa kecuali Engkau. Maka ampunkanlah
dosa hamba dengan keampunan yang ada pada-Mu, dan
sayangilah hamba. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.

60
Sesuatu yanng perlu diperhatikan bahwa dari tasyahhud awal
berdiri untuk raka’at ketiga, membaca takbīr sambil mengangkat
tangan seperti untuk raka’at pertama, sedangkan berdiri dari
raka’at ketiga untuk raka’at keempat tidak mengangkat tangan,
sama dengan untuk raka’at kedua.
i) Duduk yang akhir sambil membaca tasyahhud Akhir.
Duduk yang akhir adalah duduk untuk membaca tasyahhud dan
shalawat atas Nabi SAW. dan keluarganya. Adapun lafadz
tasyahhud yang tersebut berdasarkan hadis Ibnu Mas’ūd, yaitu;

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ِ ‫ْﻒ َرﺳ‬ َ ‫ﱠﻼةِ َﺧﻠ‬ َ ‫ُﻮل ِﰲ اﻟﺼ‬ ُ ‫َﺎل ُﻛﻨﱠﺎ ﻧـَﻘ‬َ ‫َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ُ ‫َﺎل ﻟَﻨَﺎ َرﺳ‬َ ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَﻰ ﻓ َُﻼ ٍن ﻓَـﻘ‬ َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟ ﱠﺴ َﻼ ُم َﻋﻠَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺴ‬
ِ‫ﱠﻼة‬ َ ‫ﱠﻼ ُم ﻓَِﺈذَا ﻗَـ َﻌ َﺪ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ِﰲ اﻟﺼ‬ َ ‫َات ﻳـَﻮٍْم إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ُﻫ َﻮ اﻟﺴ‬ َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ذ‬
ُ‫ﱠﱯ َورَﲪَْﺔ‬ ‫ْﻚ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨِ ﱡ‬
َ ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَﻴ‬َ ‫ت اﻟﺴ‬ ُ ‫َات وَاﻟﻄﱠﻴﱢﺒَﺎ‬ ُ ‫ﺼﻠَﻮ‬‫ﱠﺎت ﻟِﻠﱠ ِﻪ وَاﻟ ﱠ‬
ُ ‫ﱠﺤﻴ‬ ِ ‫ﻓَـ ْﻠﻴَـ ُﻘ ْﻞ اﻟﺘ‬
‫َﺖ ُﻛ ﱠﻞ‬ ْ ‫ﲔ ﻓَِﺈذَا ﻗَﺎ َﳍَﺎ أَﺻَﺎﺑ‬ َ ِِ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َو َﻋﻠَﻰ ِﻋﺒَﺎ ِد اﻟﻠﱠ ِﻪ اﻟﺼﱠﺎﳊ‬ َ ‫اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪُ اﻟﺴ‬
‫ْض أَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ﱠن‬ ِ ‫َاﻷَر‬ ْ ‫ِﺢ ِﰲ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء و‬ ٍ ‫َﻋْﺒ ٍﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ﺻَﺎﻟ‬
َ‫ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َﻋﺒْ ُﺪﻩُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ ﰒُﱠ ﻳـَﺘَ َﺨﻴﱠـُﺮ ِﻣ ْﻦ اﻟْ َﻤ ْﺴﺄَﻟَِﺔ ﻣَﺎ ﺷَﺎء‬
Artinya:”Kami duduk bersama Rasūlullāh SAW. ketika shalat, kami
membaca assalāmu ‘alallāhi qabla ‘ibadihi, assalamu ‘ala si fulān
wa si fulān (sejahtera bagi Allāh sebelum bagi hamba-hambanya,
selamat sejahtera bagi si fulān dan si fulān). Lalu, Nabi SAW.
bersabda,’Janganlah katakan selamat sejahtera bagi Allāh sebab
Allāh sumber kesejahteraan itu sendiri. Namun, jika salah seorang
kamu duduk, hendaklah ia mengucapkan,’ ‘attahiyyatullahi wa
Shalatu wa tayyibatu lillahi, assalamu ‘alaika ayyuhannabi
warahmatullahi wa wabarakatuh assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadihis
salihin’ (segala persembahan adalah bagi Allāh, begitupun rahmat
Allāh serta berkah-Nya. Selamat sejahtera terlimpa pula atas kamu
dan atas hamba-hamba Allāh yang berbakti)’. Oleh karena itu, jika
kamu mengucapkan demikian, ia akan dapat mencapai semua
hamba yang berbakti, baik di langit maupun di bumi atau sabdanya
di antara langit dan bumi. Kemudian, aku mengakui bahwa tiada
tuhan selain Allāh dan aku mengakui bahwa Nabi Muhammad
SAW. itu hamba dan utusan-Nya. Kemudian, masing-masing kamu
memilih doa yang menarik hatinya dan berdoalah dengan itu” (H.R.
Shahih Muslim no. 609 Kitab Shalat).

61
Duduk tasyahhud akhir, baik untuk shalat yang dua, tiga atau
empat raka’at, maka duduknya adalah duduk tawarruk, yaitu
pangkal paha atas (pantat) yang kiri duduk bertumpu pada lantai,
sedangkan posisi kaki kanan ditegakkan dengan jari-jari kaki kanan
menghadap kiblat. Perbuatan lain dan bacaan taḥiyat dan shalawat
sama dengan ketika duduk iftirāsy. Adapun doa pada tasyahhud
akhir adalah sebagai berikut:

‫َﱪ َوِﻣ ْﻦ ﻓِْﺘـﻨَ ِﺔ اﻟْ َﻤ ْﺤﻴَﺎ‬


ِْ ‫َاب اﻟْﻘ‬ ِ ‫َاب َﺟ َﻬﻨﱠ َﻢ َوِﻣ ْﻦ ﻋَﺬ‬
ِ ‫ِﻚ ِﻣ ْﻦ َﻋﺬ‬
َ ‫ِﱐ أَﻋُﻮذُ ﺑ‬
‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ إ ﱢ‬
‫ﱠﺎل‬
ِ ‫ﻴﺢ اﻟ ﱠﺪﺟ‬ ِ ‫َﺴ‬ ِ ‫َﺎت َوِﻣ ْﻦ َﺷﱢﺮ ﻓِْﺘـﻨَ ِﺔ اﻟْﻤ‬
ِ ‫وَاﻟْ َﻤﻤ‬

j) Memberi salam ke kanan dan ke kiri.


Selesai membaca do’a, maka:
 Mengucapkan salam dengan menoleh ke arah kanan hingga
pipi kanan seluruhnya kelihatan dari arah belakang, sambil
melepas genggaman jari-jari tangan kanan dan menarik jari
telunjuk tangan kanan, kemudian mengucapkan salam ke arah
kiri hingga pipi seluruhnya kelihatan dari arah belakang.
 Ucapan salam:

ُ‫اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َورَﲪَْﺔُ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﺑـََﺮﻛَﺎﺗُﻪ‬


k) Tertib.
Tertib yaitu mengerjakan shalat harus sesuai dengan urutannya
dari awal hingga akhir. Disampung pelaksanaannya harus tertib,
thuma’ninah (sikap tenang) juga harus dijaga. Tidak terburu-buru
atau tergesa-gesa dalam gerakan dan bacaan.

d. Shalat Fardu, Dalil, dan Waktu Melaksanakannya

Perintah kewajiban melaksanakan shalat banyak dijumpai dalam Al-


Qur’an, antara lain dalam sūrah al-Baqarah: 43,

       

62
Artinya:’Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'’.

Shalat fardhu mempunyai batas-batas tertentu yang harus digunakan


untuk menunaikannya berdasarkan firman Allāh SWT. dalam sūrah Hud:
114,

            

   

Artinya:’Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat’.
Dalam sūrah al-Isra’ ayat 78, Allāh SWT. juga berfirman,

            

  

Artinya:’Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap


malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat
shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Berkenaan dengan waktu-waktu yang ditentukan untuk shalat fardhu


dalam Al-Qur’an telah dijelaskan secara ringkas sebagaimana penuturan
di atas, sedangkan lebih terinci terdapat dalam hadis Rasūlullāh SAW.
yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh ibn ‘Umar yang berkata,

‫ْﺖ اﻟﻈﱡ ْﻬ ِﺮ‬


ُ ‫َﺎل َوﻗ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﻋ ْﻤﺮٍو أَ ﱠن َرﺳ‬
‫ﺼ ِﺮ ﻣَﺎ‬ْ َ‫ْﺖ اﻟْﻌ‬
ُ ‫ﺼُﺮ وََوﻗ‬ ْ ‫ُﻞ َﻛﻄُﻮﻟِِﻪ ﻣَﺎ َﱂْ َْﳛﻀُْﺮ اﻟْ َﻌ‬ ِ ‫ﺲ َوﻛَﺎ َن ِﻇ ﱡﻞ اﻟﱠﺮﺟ‬ ُ ‫َﺖ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬ْ ‫إِذَا زَاﻟ‬
ِ‫َﻼة‬ َ ‫ْﺖ ﺻ‬ ُ ‫ِﺐ اﻟ ﱠﺸ َﻔ ُﻖ وََوﻗ‬ ْ ‫ِب ﻣَﺎ َﱂْ ﻳَﻐ‬ ِ ‫َﻼةِ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬
َ ‫ْﺖ ﺻ‬ ُ ‫ﺲ وََوﻗ‬ ُ ‫ﺼ َﻔﱠﺮ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬ ْ َ‫َﱂْ ﺗ‬
ْ‫ُﻮع اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ ﻣَﺎ َﱂ‬
ِ ‫ْﺢ ِﻣ ْﻦ ﻃُﻠ‬ ِ ‫ﺼﺒ‬
‫َﻼةِ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ْﺖ ﺻ‬ُ ‫َﻂ وََوﻗ‬ ِ ‫ْﻒ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ْاﻷ َْوﺳ‬
ِ ‫اﻟْﻌِﺸَﺎ ِء إ َِﱃ ﻧِﺼ‬

63
َْ‫َﲔ ﻗـَﺮْﱐ‬
َ ْ ‫ﱠﻼةِ ﻓَِﺈﻧـﱠﻬَﺎ ﺗَﻄْﻠُ ُﻊ ﺑـ‬
َ ‫ﻚ ﻋَ ْﻦ اﻟﺼ‬
ْ ‫ْﺴ‬
ِ ‫ﺲ ﻓَﺄَﻣ‬
ُ ‫َﺖ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
ْ ‫ﺲ ﻓَِﺈذَا ﻃَﻠَﻌ‬
ُ ‫ﺗَﻄْﻠُ ْﻊ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
‫َﺷْﻴﻄَﺎ ٍن‬

Artinya:”Rasūlullāh SAW. telah bersabda, waktu zhuhur ialah jika


matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu sama
dengan bayangannya, yaitu sebelum datang waktu ashar. Waktu ashar
ialah sampai matahari belum kuning cahayanya. Waktu maghrib selama
syafaq atau awan yang merah belum lenyap. Waktu shalat isya sampai
tengah malam kedua, sedangkan shalat shubuh mulai terbit fajar sampai
terbit matahari. Jika matahari telah terbit, maka hentikanlah shalat
karena saat itu ia terbit di antara kedua tanduk syaithān” (H.R. Shahih
Muslim no. 966 Kitab Al-Masajid wa mawadhi’u as-Shalat).

Apabila seseorang tertidur atau lupa melakukan shalat, maka waktunya


ketika ia sadar dan ingat berdasarkan hadis dari Abu Qatadah,

‫َﺎل‬
َ ‫ﱠﻼةِ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻧـ َْﻮَﻣ ُﻬ ْﻢ َﻋ ْﻦ اﻟﺼ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﺎل ذَ َﻛُﺮوا ﻟِﻠﻨِ ﱢ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﻗ‬
‫َﻼةً أ َْو ﻧَﺎ َم‬
َ ‫َﺴ َﻲ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ﺻ‬
ِ ‫ﻂ ِﰲ اﻟْﻴَـ َﻘﻈَِﺔ ﻓَِﺈذَا ﻧ‬
ُ ‫ﻂ إِﳕﱠَﺎ اﻟﺘﱠـ ْﻔﺮِﻳ‬
ٌ ‫ﺲ ِﰲ اﻟﻨـﱠﻮِْم ﺗَـ ْﻔﺮِﻳ‬
َ ‫إِﻧﱠﻪُ ﻟَْﻴ‬
‫ﺼﻠﱢﻬَﺎ‬
َ ُ‫َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻓَـﻠْﻴ‬
Artinya:”Mereka menceritakan kepada Nabi SAW. tentang mereka
sewaktu tertidur sehingga luput waktu shalat. Lalu, Nabi SAW.
bersabda,’Tidaklah tertidur itu dianggap lalai sebab yang dikatakan lalai
ialah disaat bangun (sadar), maka jika salah seorang di antaramu lupa
mengerjakan Shalat atau tertidur, hendaklah ia melaksanakannya ketika
ia ingat” (H.R. Sunan Tirmizi no. 162 Kitab Shalat).

Dari Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW. pernah bersabda,

‫ﺼ ﱢﻞ‬
َ ُ‫َﻼةً ﻓَـ ْﻠﻴ‬
َ ‫َﺴ َﻲ ﺻ‬
ِ ‫َﺎل َﻣ ْﻦ ﻧ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ِﻚ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ٍ ‫َﺲ ﺑْ ِﻦ ﻣَﺎﻟ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَﻧ‬
‫ِﻚ‬
َ ‫إِذَا ذَ َﻛَﺮﻫَﺎ َﻻ َﻛﻔﱠﺎ َرةَ َﳍَﺎ إﱠِﻻ ذَﻟ‬
Artinya:”Siapa yang lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah ia
melakukannya ketika ingat sebab tidak ada kaffārah baginya kecuali
yang demikian” (H.R. Shahih Bukhari no. 562 Kitab Mawaqit as-Shalat).

64
e. Hal-hal yang membatalkan shalat.

Hal-hal yang membatalkan shalat adalah sebagai berikut:

1) Berbicara dengan sengaja.

Berbicara dengan sengaja yang bukan ucapan yang telah ditentukan


dalam shalat, maka membatalkan shalat,45 hal ini berdasarkan hadis
dari Zaid ibn Arqam yang menyatakan,

‫َﺎﺣﺒَﻪُ َوُﻫ َﻮ إ َِﱃ‬


ِ ‫ﱠﻼةِ ﻳُ َﻜﻠﱢ ُﻢ اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﺻ‬َ ‫َﺎل ُﻛﻨﱠﺎ ﻧـَﺘَ َﻜﻠﱠ ُﻢ ِﰲ اﻟﺼ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ َزﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ أ َْرﻗَ َﻢ ﻗ‬
‫ُﻮت َوُِﻴﻨَﺎ َﻋ ْﻦ‬ِ ‫ﲔ ﻓَﺄُﻣِْﺮﻧَﺎ ﺑِﺎﻟ ﱡﺴﻜ‬َ ِ‫َﺖ َوﻗُﻮُﻣﻮا ﻟِﻠﱠ ِﻪ ﻗَﺎﻧِﺘ‬
ْ ‫َﱴ ﻧـََﺰﻟ‬
‫ﱠﻼةِ ﺣ ﱠ‬ َ ‫َﺟْﻨﺒِ ِﻪ ِﰲ اﻟﺼ‬
‫َﻼِم‬
َ ‫اﻟْﻜ‬
Artinya:”Kami berbicara-bicara ketika shalat. Setiap kami berbicara
dengan temannya yang ada di sampingnya sehingga turun ayat, ‘wa
qumuu lillāhi qānitīn’ (Berdirilah untuk Allāh dalam shalatmu dengan
khusyu’). Lalu, kami disuruh diam dan dilarang berbicara” (H.R.
Shahih Bukhari no. 838 Kitab al-Masājid wa Mawadi’u al-shalat).

2) Makan dan minum dengan sengaja.

Dalam kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq telah dijelaskan oleh Ibnu
Munzir bahwa para fuqahā’ sepakat barangsiapa yang makan dan
minum dengan sengaja dalam shalat baik shalat fardhu maupun
shalat sunat, maka shalatnya batal dan wajib mengulaginya kembali. 46

3) Bergerak banyak dengan sengaja.

Pergerakan terlalu banyak dan terus-menerus akan membatalkan


shalat. Dalam menentukan ukuran tentang sedikit atau banyaknya
gerakan ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur ulama,
gerakan yang sah dan masyhūr ialah dengan cara mengembalikannya
pada kebiasaan yang lazim. Jadi, yang biasa dianggap sedikit oleh

45
Empat mazhab terbesar (Mazhab Hanbali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi) sepakat membalas ucapan
salam orang lain ketika Shalat dapat membatalkan Shalat kecuali dengan isyarat. Lihat Muhammad Jawad al-
Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 14.
46
Syafi’i membatasinya jika tidak tahu atau lupa, maka tidak membatalkan Shalat dengan syarat sedikit
bukan banyak. Lihat Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 147. dan Sayid Sabiq, Fiqih as-
Sunnah, h. 204.

65
orang banyak, seperti memberi isyarat ketika menjawab salam dan
menolak orang yang akan lewat di depan kita tidak membatalkan
shalat. Sebaliknya, gerakan menggaruk-garuk badan dan melihat-lihat
bangunan mesjid ketika shalat dianggap membatalkan shalat.

Imam Syafi’i telah menegaskan bahwa seseorang yang menghitung-


hitung bacaan ayat dengan cara menggenggam tangan tidaklah
membatalkan shalat, tetapi sebaiknya hal itu sebaiknya ditinggalkan. 47

4) Sengaja meninggalkan rukun atau syarat shalat tanpa ‘udzur.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
bahwa Nabi SAW. bersabda kepada seorang Badwi yang tidak
menyempurnakan shalatnya,

‫ْﺠ َﺪ ﻓَ َﺪ َﺧ َﻞ َر ُﺟ ٌﻞ‬ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َد َﺧ َﻞ اﻟْ َﻤﺴ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـَﺮﱠد اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﺼﻠﱠﻰ ﰒُﱠ ﺟَﺎءَ ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨِ ﱢ‬ َ َ‫ﻓ‬
َ‫ﺼﻠﱠﻰ ﰒُﱠ ﺟَﺎء‬ َ َ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓ‬َ ُ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗ‬ َ ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَِﺈﻧ‬ َ َ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓ‬ َ ‫ﱠﻼ َم ﻓَـﻘ‬
َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ اﻟﺴ‬
‫ﺼ ﱢﻞ‬ َ ُ‫ﱠﻚ َﱂْ ﺗ‬ َ ‫ﺼ ﱢﻞ ﻓَِﺈﻧ‬ َ َ‫َﺎل ارِْﺟ ْﻊ ﻓ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻘ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﻓَ َﺴﻠﱠ َﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫ْﺖ إ َِﱃ‬ َ ‫َﺎل إِذَا ﻗُﻤ‬َ ‫ْﺴ ُﻦ َﻏْﻴـَﺮﻩُ ﻓَـ َﻌﻠﱢﻤ ِْﲏ ﻗ‬ ِ ‫َﻚ ﺑِﺎﳊَْ ﱢﻖ ﻓَﻤَﺎ أُﺣ‬ َ ‫َﺎل وَاﻟﱠﺬِي ﺑـَ َﻌﺜ‬ َ ‫ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﻓَـﻘ‬
‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ رَاﻛِﻌًﺎ ﰒُﱠ‬ ‫َﻚ ِﻣ ْﻦ اﻟْﻘُﺮْآ ِن ﰒُﱠ ْارَﻛ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ َ ‫ﱠﻼةِ ﻓَ َﻜﺒـْﱢﺮ ﰒُﱠ اﻗْـَﺮأْ ﻣَﺎ ﺗَـﻴَ ﱠﺴَﺮ َﻣﻌ‬َ ‫اﻟﺼ‬
‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ‬
‫َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬ ِ ‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺳ‬ ‫ِل ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﰒُﱠ ا ْﺳ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ‬ َ ‫َﱴ ﺗَـ ْﻌﺘَﺪ‬‫ْارﻓَ ْﻊ ﺣ ﱠ‬
‫ِﻚ ُﻛﻠﱢﻬَﺎ‬ َ ‫َﻼﺗ‬َ ‫ِﻚ ِﰲ ﺻ‬ َ ‫َﺎﺟﺪًا ﰒُﱠ اﻓْـ َﻌ ْﻞ ذَﻟ‬ ِ ‫َﱴ ﺗَﻄْ َﻤﺌِ ﱠﻦ ﺳ‬ ‫ﺟَﺎﻟِﺴًﺎ ﰒُﱠ ا ْﺳ ُﺠ ْﺪ ﺣ ﱠ‬
Artinya:”Sesungguhnya Rasūlullāh SAW memasuki masjid dan
seorang laki-laki pun memasuki masjid. Lalu, ia shalat dan membaca
salam atas Nabi SAW dan ingin pulang. Kemudian, Rasūlullāh SAW.
Berkata,’Ulangilah shalatmu sebab engkau belum shalat. Lalu, ia
kembali melakukan shalat seperti tadi. Kemudian ia mendatangi Nabi
dan mengucapkan salam. Kemudian, Rasūlullāh SAW. Berkata
lagi,’Kembalilah ulangi shalatmu sebab engkau belum shalat’. Beliau
berkata itu tiga kali dan laki-laki itu berkata,’Demi Allāh yang
membangkitkan engkau yang tidak ada yang lebih baik selain-Nya dan
ajarilah aku tentang itu’. Rasūlullāh SAW. Bersabda,’Apabila engkau
menegakkan shalat bertakbirlah dan bacalah sesuatu yang mudah
47
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 205.

66
dari Al-Qur’an kemudian ruku’ dan thuma’ninah kemudian berdirilah
sempurna kemudian sujud dengan thuma’ninah kemudian duduk
antara dua sujud dan thuma’ninah dan lakukanlah demikian di seluruh
shalatmu’ (H.R. Shahih Bukhari no. 715 Kitab Adzan).

5) Tertawa.

Menurut ijma’ ulama shalat itu batal karena tertawa. Hal ini dijelaskan
oleh Imam Nawawi bahwa pendapat ini dimaksudkan jika tertawa itu
sampai keluar dengan jelas minimal dengan menggunakan dua buah
huruf saja dari mulutnya. Demikian, yang dikutip oleh Sayid Sabiq. 48

f. Hikmah Shalat
1) Dapat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar,
sebagaimana Firman Allāh SWT berikut:

           

            
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab
(Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allāh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadah-ibadah lain). Dan Allāh mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Al-Ankabūt(29):45.

2) Mendidik manusia menjadi disiplin terhadap waktu, amanah dan


bertanggung jawab. Allāh SWT berfirman:

        

Artinya:”Sesungguhnya shalat itu bagi semua orang mukmin


merupakan ketentuan yang berwaktu”(an-Nisa’:103)
3) Membentuk pribadi yang teguh menghadapi berbagai cobaan dan
tantangan hidup

48
Ibid., h. 206.

67
            

           
Artinya:”Sesungguhnya manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang
bersifat keluh kesah dan kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia
berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir.
Kecuali orang-orang yang shalat. Yang mereka itu tetap dalam
mengerjakan shalatnya.(al-Ma’ārij(70):19-23.

3. Latihan
Buatlah video pelaksanaan shalat mandiri sesuai dengan sunnah
Rasulullah saw !
4. Evaluasi
a. Jelaskan definisi Shalat !
b. Kepada siapa saja diwajibkan shalat ? Jelaskan !
5. Kunci Jawaban
a. Shalat ialah: “Suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan
tertentu, dimulai dengan takbīr dan diakhiri dengan salam”.
b. Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh
setiap muslim yang telah terkena beban hukum syara’ (mukallaf).
E. Kegiatan Pembelajaran ke-5
1. Tujuan Pembelajaran
a. Menjelaskan pengertian shalat jama’ah
b. Mengemukakan landasan syar’iy shalat jama’ah
c. Menjelaskan ketentuan imām dalam shalat jama’ah
d. Mengemukakan macam-macam dan kaifiyat shalat jama’ah.
2. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Shalat Jama’ah
Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan minimal dua orang dengan
salah seorang menjadi imām , sedangkan yang lain mengikutinya atau
menjadi makmum.

Maḥmūd Syaltūt menyatakan bahwa pelaksanaan shalat jama’ah lebih


afdhal dibandingkan dengan shalat munfarid (sendirian) sebab hikmah

68
shalat jama’ah mengandung ta’āruf (saling kenal-mengenal) antara
sesama muslim, menyusun barisan, saling tolong-menolong, dan
berkumpul bersama-sama melalui doa, zikir, serta khusyu’ kepada Allāh
SWT.49

Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat berjama’ah itu


termasuk salah satu syiar agama Islam. Shalat itu telah dikerjakan
Rasūlullāh SAW. secara rutin dan diikuti oleh para Khalifah sesudahnya.
Ulama hanya berselisih pendapat dalam hal, apakah hukumnya wajib
atau sunnah al-mustahabah (sunat yang diajurkan)?

Hanbali berkata bahwa shalat jama’ah itu hukumnya wajib bagi setiap
individu yang mampu melaksanakannya. Namun, jika ditinggalkan dan ia
shalat munfarid, maka dia berdosa, sedangkan shalatnya tetap sah.
Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat
berjama’ah hukumnya tidak wajib baik fardhu ‘ain maupun fardhu
kifāyah, tetapi hanya disunnahkan dengan sunnah al- mu’akkad (yang
sangat dianjurkan Rasūlullāh SAW. dan beliau tidak pernah
50
meninggalkannya).

b. Landasan Syar’i Shalat Berjama’ah

Selanjutnya, mengenai keutamaan shalat berjama’ah telah dijelaskan


Rasūlullāh SAW. dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Umar r.a.,

‫ِﻚ ﻋَ ْﻦ ﻧَﺎﻓِ ٍﻊ َﻋ ْﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ‬


ٌ ‫َﺎل أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﻣَﺎﻟ‬
َ ‫ُﻒ ﻗ‬َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ ﻳُﻮﺳ‬
‫َﻼةَ اﻟْ َﻔ ﱢﺬ‬
َ ‫ﻀ ُﻞ ﺻ‬ ُ ‫َﻼةُ اﳉَْﻤَﺎ َﻋ ِﺔ ﺗَـ ْﻔ‬
َ ‫َﺎل ﺻ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫أَ ﱠن َرﺳ‬
ً‫ﺑِ َﺴْﺒ ٍﻊ َو ِﻋ ْﺸﺮِﻳ َﻦ َد َر َﺟﺔ‬
Artinya:”Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian yaitu
sebanyak 27 derajat” (H.R. Shahih Bukhari no. 609 Kitab Adzan).

49
Mahmud Syaltut, Al-Islam: Aqidah wa Syari’ah (tt. : Dar al-Qalam, 1966), h. 72.
50
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 135.

69
Dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, makmum harus memenuhi syarat

untuk bisa dikatakan sah berjama’ah. Syarat sah itu adalah mengikuti

imām dengan perincian syarat-syarat sebagai berikut:

1) Makmum selalu mengikuti gerakan imām .


2) Makmum tidak boleh mendahului imām dalam segala perbuatan
shalat.
3) Mengetahui gerak-gerik perbuatan imām .
4) Keduanya (imām dan makmum) berada dalam satu tempat.
5) Tempat berdiri makmun tidak boleh di depan dari imām .
6) Laki-laki tidak sah mengikuti imām perempuan.
7) Imām adalah orang yang baik bacaannya.
8) Makmum tidak boleh berimām kepada orang yang diketahuinya
bahwa shalatnya batal, seperti berhadas atau bernajis.51
Kemudian, orang yang berhak menjadi imām dalam shalat ialah orang
yang terpandai membaca Al-Qur’an . Jika mereka sama, maka yang
terpandai dalam hadis Nabi SAW. Jika masih sama, maka yang
terdahulu hijrah, sedangkan jika masih sama juga, maka yang tertua
usianya. Dalam hal ini Nabi SAW. bersabda melalui hadis yang diterima
dari Ibnu Mas’ūd r.a.,

‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫ُﻮل ﻗ‬


ُ ‫ي ﻳـَﻘ‬
‫ْﺖ أَﺑَﺎ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ْاﻷَﻧْﺼَﺎ ِر ﱠ‬ ُ ‫َﺞ ﻗَﺎل َِﲰﻌ‬ ٍ ‫ﺿ ْﻤﻌ‬ َ ‫ْس ﺑْ ِﻦ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ أَو‬
ً‫َﺎب اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﻟْ ِﻘﺮَاءَةِ َﺳﻮَاء‬ ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﺆﱡم اﻟْﻘ َْﻮَم أَﻗْـَﺮُؤُﻫ ْﻢ ﻟِ ِﻜﺘ‬
َ
ِ‫ﻓَﺄَ ْﻋﻠَ ُﻤ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱡﺴﻨﱠ ِﺔ ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﻟ ﱡﺴﻨﱠ ِﺔ َﺳﻮَاءً ﻓَﺄَﻗْ َﺪ ُﻣ ُﻬ ْﻢ ِﻫ ْﺠَﺮةً ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﳍِْ ْﺠَﺮة‬
‫ﺲ َﻋﻠَﻰ ﺗَ ْﻜ ِﺮَﻣﺘِ ِﻪ ِﰲ ﺑـَْﻴﺘِ ِﻪ‬
ُ َ‫َﺳﻮَاءً ﻓَﺄَ ْﻛﺒَـُﺮُﻫ ْﻢ ِﺳﻨﺎ وََﻻ ﻳـُ َﺆﱡم اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ِﰲ ُﺳ ْﻠﻄَﺎﻧِِﻪ وََﻻ ُْﳚﻠ‬
‫إﱠِﻻ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ‬
Artinya:”Orang yang lebih berhak menjadi imām bagi suatu kaum adalah
yang terpandai dalam membaca Kitābullāh. Jika dalam membaca itu
mereka sama, maka yang terpandai dalam hadis Nabi SAW. Kalau
mereka sama pula, maka yang terdahulu hijrah. Kalau dalam hijrah
mereka masih sama, maka yang tertua usianya. Janganlah seseorang itu
51
Secara elaboratif dapat dilihat pada ◌Ahmad
ِ ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid, h.104. Lihat juga
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifāyah al-Akhyār fi Hill Gayat al-Ikhtishār, h. 132.

70
menjadi imām bagi orang lain di lingkungan kekuasaan mereka (orang
lain). Jangan pula ia duduk di hamparan rumah orang lain, kecuali
dengan izinnya (mereka)! Menurut satu riwayat lafaznya
berbunyi,’Janganlah seseorang menjadi imām bagi orang lain di
lingkugan keluarga atau kekuasaan mereka” (H.R. Sunan Tirmizi no. 218
Kitab Shalat).

Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan minimal dua orang dengan
salah seorang menjadi imām , sedangkan yang lain mengikutinya atau
menjadi makmum.
c. Ketentuan imām menurut hadis Rasul SAW

(٤٢٨ / ٣) - ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬


ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬
َ‫يﻗ‬ ‫َﺞ ﻋَ ْﻦ أَِﰊ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ْاﻷَﻧْﺼَﺎ ِر ﱢ‬ ٍ ‫ﺿ ْﻤﻌ‬ َ ‫ْس ﺑْ ِﻦ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ أَو‬
‫َﺎب اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﻟْ ِﻘﺮَاءَةِ َﺳﻮَاءً ﻓَﺄَ ْﻋﻠَ ُﻤ ُﻬ ْﻢ‬
ِ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﺆﱡم اﻟْﻘ َْﻮَم أَﻗْـَﺮُؤُﻫ ْﻢ ﻟِ ِﻜﺘ‬
ً‫ﺑِﺎﻟ ﱡﺴﻨﱠ ِﺔ ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﻟ ﱡﺴﻨﱠ ِﺔ َﺳﻮَاءً ﻓَﺄَﻗْ َﺪ ُﻣ ُﻬ ْﻢ ِﻫ ْﺠَﺮةً ﻓَِﺈ ْن ﻛَﺎﻧُﻮا ِﰲ اﳍِْ ْﺠَﺮةِ َﺳﻮَاء‬
‫ﻓَﺄَﻗْ َﺪ ُﻣ ُﻬ ْﻢ ِﺳ ْﻠﻤًﺎ وََﻻ ﻳـَ ُﺆﱠﻣ ﱠﻦ اﻟﱠﺮ ُﺟﻞُ اﻟﱠﺮ ُﺟ َﻞ ِﰲ ُﺳﻠْﻄَﺎﻧِِﻪ وََﻻ ﻳـَ ْﻘﻌُ ْﺪ ِﰲ ﺑـَْﻴﺘِ ِﻪ َﻋﻠَﻰ‬
‫ﺗَ ْﻜ ِﺮَﻣﺘِ ِﻪ إﱠِﻻ ﺑِِﺈ ْذﻧِﻪ‬
Artinya ; dari Aus bin Dhama’aj Aus berkata ; saya mendengar Abu
Mas’ūd al Anshari berkata. Berkata Rasūlullāh SAW ; Orang yang lebih
berhak menjadi imām bagi suatu kaum adalah yang terpandai dalam
membaca kitabullah, jika dalam membaca itu mereka sama, maka
terpandai dalam hadis Nabi SAW , kalau mereka sama pula maka
terdahulu hijrah, kalau dalam hijrah mereka masih sama,maka yang
tertua usianya. Janganlah seseorang itu menjadi imām bagi orang lain
dilingkungan kekuasan mereka [orang lain] jangan pula ia duduk
dihamparan rumah orang lain kecuali dengan izinnya[mereka] 52
[H.R Sunan Turmudzi] no 218 kitab shalat.

d. Kaifiyat Shalat Jama’ah


Cara melaksanakan shalat jama’ah sesuai menurut tuntunan dari
Rasūlullāh SAW., yang berikut ini :
1) Syarat imām jama’ah.
a) Terpandai dalam membaca kitābullāh dan memahami sunnah
Rasūl [H.R Sunan Turmudzi ] no. 218 kitab shalat.

52
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1427 H/2006 M), hlm. 302 bab 53 Hadis
No. 289

71
b) Tidak asing dalam jama’ah [H.R Turmudzi] no.218 kitab shalat
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ūd;

‫َﺶ َﻋ ْﻦ إِﲰَْﻌِﻴ َﻞ ﺑْ ِﻦ َرﺟَﺎ ٍء ﻋَ ْﻦ‬ ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻫﻨﱠﺎ ٌد َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ ُﻣﻌَﺎ ِوﻳَﺔَ َﻋ ْﻦ ْاﻷَ ْﻋﻤ‬
‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﺞ َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد أَ ﱠن َرﺳ‬ ٍ ‫ﺿ ْﻤﻌ‬
َ ‫ْس ﺑْ ِﻦ‬ ِ ‫أَو‬
‫ﺲ َﻋﻠَﻰ ﺗَ ْﻜ ِﺮَﻣﺘِ ِﻪ ِﰲ ﺑـَْﻴﺘِ ِﻪ إﱠِﻻ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ‬
ُ َ‫َﻻ ﻳـُ َﺆﱡم اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ِﰲ ُﺳ ْﻠﻄَﺎﻧِِﻪ وََﻻ ﳚُْﻠ‬
“Janganlah seseorang menjadi imām bagi orang lain di luar
lingkungan keluarga ataau kekuasaannya”.53 [H.R Ibnu Majah].
c) Imām jama’ah bukan orang yang dibenci [alasan agama] oleh
kelompok jama’ah.

(٢٣٦ / ٣) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


‫َﱯ‬
‫َْﲕ ﺑْ ُﻦ ﻋَْﺒ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ ْاﻷ َْرﺣِ ﱡ‬ َ ‫ﱠﺎج َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ‬ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﻋُ َﻤَﺮ ﺑْ ِﻦ َﻫﻴ‬
‫َﺎل ﺑْ ِﻦ ﻋَ ْﻤﺮٍو‬ ِ ‫َﺎﺳ ِﻢ ﺑْ ِﻦ اﻟْ َﻮﻟِﻴ ِﺪ َﻋ ْﻦ اﻟْ ِﻤْﻨـﻬ‬
ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻋُﺒَـﻴْ َﺪةُ ﺑْ ُﻦ ْاﻷَ ْﺳ َﻮِد َﻋ ْﻦ اﻟْﻘ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ِ ‫ﱠﺎس َﻋ ْﻦ َرﺳ‬ ٍ ‫َﲑ ﻋَ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬ ٍْ ‫َﻋ ْﻦ َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ُﺟﺒـ‬
ُ‫ُوﺳ ِﻬ ْﻢ ِﺷْﺒـﺮًا َر ُﺟ ٌﻞ أَﱠم ﻗـ َْﻮﻣًﺎ َوُﻫ ْﻢ ﻟَﻪ‬ ِ ‫ْق ُرء‬ َ ‫َﻼﺗـُ ُﻬ ْﻢ ﻓـَﻮ‬
َ ‫َﺎل ﺛ ََﻼﺛَﺔٌ َﻻ ﺗـَْﺮﺗَِﻔ ُﻊ ﺻ‬ َ‫ﻗ‬
‫ﻂ َوأَ َﺧﻮَا ِن ُﻣﺘَﺼَﺎ ِرﻣَﺎ ِن‬
ٌ ‫َﺎﺧ‬
ِ ‫َﺖ َوزَْو ُﺟﻬَﺎ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ ﺳ‬ْ ‫ﻛَﺎ ِرﻫُﻮ َن وَا ْﻣَﺮأَةٌ ﺑَﺎﺗ‬
“Tiga golongan yang shalatnya tidak dapat naik sejengkalpun dari
atas kepalanya yaitu seorang yang bertindak sebagai imām bagi
suatu kaum sedang mereka [kaum tersebut] membencinya,
seorang perempan sepanjang malam suami marah
kepadanya[karena menolak ajakan suami] dan dua orang ber
saudara yang selalu bertengkar. (HR. Ibnu Majah dari Ibnu
Mas’ud). 54

2) Tugas imām jama’ah menurut hadis Rasūlullāh SAW.


a) Sebelum memulai shalat imām mengatur barisan [shaff] hingga
menjadi rapat dan lurus karena Nabi SAW menganjurkan ;

(٢٦٥ / ٣) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬

53
Abi Abdillah Yazid al-Qazwini (Ibnu Majah), Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
tth), hlm. 178. Bab 46.
54
Ibid., hlm. 177 bab 43 man amma qouman wahum lahu karihun

72
‫ﺼُﺮ‬‫َْﲕ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ َﻋ ْﻦ ُﺷ ْﻌﺒَﺔَ ح و َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻧَ ْ‬ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﺑَﺸﱠﺎ ٍر َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ َ‬
‫َﺲ‬‫َﺎﻻ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺷ ْﻌﺒَﺔُ َﻋ ْﻦ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ َﻋ ْﻦ أَﻧ ِ‬
‫ﺑْ ُﻦ َﻋﻠِ ﱟﻲ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَِﰊ َوﺑِ ْﺸُﺮ ﺑْ ُﻦ ﻋُ َﻤَﺮ ﻗ َ‬
‫ﺻﻔُﻮﻓَ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ﱠن‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺳ ﱡﻮوا ُ‬‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ‬‫َﺎل َرﺳ ُ‬‫َﺎل ﻗ َ‬ ‫ِﻚ ﻗ َ‬ ‫ﺑْ ِﻦ ﻣَﺎﻟ ٍ‬
‫ﱠﻼةِ‬‫ََﺎم اﻟﺼ َ‬‫ُﻮف ِﻣ ْﻦ ﲤ ِ‬
‫ﺼﻔ ِ‬ ‫ﺗَ ْﺴ ِﻮﻳَﺔَ اﻟ ﱡ‬
‫‪"Luruskan barisan [ shaff ] kalian, karena lurusnya shaff itu‬‬
‫‪termasuk bagian dari kesempurnaan shalat”. [H.R Ibnu Majah ]. 55‬‬
‫‪b) Imām‬‬ ‫‪memperhatikan kemampuan jama’ah. Sabda Rasūlullāh‬‬
‫; ‪SAW‬‬

‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ‪(٤٩٤ / ٢) -‬‬


‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـﻴْﺒَﺔُ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﻟْ ُﻤﻐِ َﲑةُ َوُﻫ َﻮ اﺑْ ُﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ اﳊِْﺰَا ِﻣ ﱡﻲ ﻋَ ْﻦ‬
‫َﺎل‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ‬ ‫ﱠﱯ َ‬ ‫أَِﰊ اﻟﱢﺰﻧَﺎ ِد َﻋ ْﻦ ْاﻷَ ْﻋﺮَِج ﻋَ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫ِﻴﻒ‬
‫ﻀﻌ َ‬ ‫ﺼﻐِ َﲑ وَاﻟْ َﻜﺒِ َﲑ وَاﻟ ﱠ‬ ‫ﱢﻒ ﻓَِﺈ ﱠن ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱠ‬ ‫س ﻓَـ ْﻠﻴُ َﺨﻔ ْ‬ ‫إِذَا أَﱠم أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ اﻟﻨﱠﺎ َ‬
‫ْﻒ ﺷَﺎءَ‬‫ﺼ ﱢﻞ َﻛﻴ َ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ َو ْﺣ َﺪﻩُ ﻓَـ ْﻠﻴُ َ‬‫ِﻳﺾ ﻓَِﺈذَا َ‬ ‫وَاﻟْ َﻤﺮ َ‬
‫‪“Apabila salah satu diantara kalian shalat mengimām i orang‬‬
‫‪lain,maka ringankanlah.Sesungguhnya diantara mereka ada yang‬‬
‫‪lemah, ada yang sedang sakit, ada pula yang sudah tua .Apabila‬‬
‫‪salah seorang kalian shalat sendirian‬‬ ‫‪panjangkanlah menurut‬‬
‫‪56‬‬
‫‪kemauannya”. [H.R yang disepakati Bukhari Muslim].‬‬
‫‪c) Imām mengeraskan suara takbīr intiqāl agar dapat di dengar oleh‬‬
‫‪makmum.‬‬

‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ‪ -‬ﻣﻜﻨﺰ ‪(١٥٣ / ٣) -‬‬


‫ْﺢ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ‬
‫ْﺚ ح َو َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ُرﻣ ٍ‬ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـْﻴﺒَﺔُ ﺑْ ُﻦ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻟَﻴ ٌ‬
‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ‪-‬ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫َﺎل ا ْﺷﺘَﻜَﻰ َرﺳ ُ‬ ‫َﲑ ﻋَ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ٍﺮ ﻗ َ‬ ‫ْﺚ َﻋ ْﻦ أَِﰉ اﻟﱡﺰﺑـ ِْ‬
‫اﻟﻠﱠﻴ ُ‬
‫َﺖ‬
‫س ﺗَ ْﻜﺒِ َﲑﻩُ ﻓَﺎﻟْﺘَـﻔ َ‬
‫ﺼﻠﱠْﻴـﻨَﺎ َورَاءَﻩُ َوُﻫ َﻮ ﻗَﺎﻋِ ٌﺪ َوأَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻳُ ْﺴ ِﻤ ُﻊ اﻟﻨﱠﺎ َ‬
‫وﺳﻠﻢ‪ -‬ﻓَ َ‬

‫‪55‬‬
‫‪Ibid, hlm. 180 bab iqomah ash-Shufuf‬‬
‫‪56‬‬
‫‪Muslim, op.cit., hlm. 215 Hadis No 183.‬‬

‫‪73‬‬
‫َﺎل‬
َ ‫ﺼﻼَﺗِِﻪ ﻗُـﻌُﻮدًا ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬َ ِ‫ﺼﻠﱠْﻴـﻨَﺎ ﺑ‬َ َ‫إِﻟَْﻴـﻨَﺎ ﻓَـﺮَآﻧَﺎ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ ﻓَﺄَﺷَﺎ َر إِﻟَْﻴـﻨَﺎ ﻓَـ َﻘ َﻌ ْﺪﻧَﺎ ﻓ‬
‫ﱡوم ﻳـَﻘُﻮﻣُﻮ َن ﻋَﻠَﻰ ُﻣﻠُﻮﻛِ ِﻬ ْﻢ َوُﻫ ْﻢ‬
ِ ‫س وَاﻟﺮ‬ َ ‫ِﻒ ً◌ا ﻟَﺘَـ ْﻔﻌَﻠُﻮ َن ﻓِ ْﻌ َﻞ ﻓَﺎ ِر‬ ِ ‫ْﰎ آﻧ‬ ُْ ‫» إِ ْن ﻛِﺪ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ﺼﻠﱡﻮا ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ َوإِ ْن‬َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓ‬ َ ‫ﻗُـﻌُﻮٌد ﻓَﻼَ ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠُﻮا اﺋْـﺘَ ﱡﻤﻮا ﺑِﺄَﺋِ ﱠﻤﺘِ ُﻜ ْﻢ إِ ْن‬
».‫ﺼﻠﱡﻮا ﻗُـﻌُﻮدًا‬ َ َ‫ﻗَﺎ ِﻋﺪًا ﻓ‬
“Rasūlullāh SAW pada suatu hari menderita sakit kemudian kami
shalat di belakangnya, dan beliau shalat dengan duduk serta Abu
Bakar memperdengarkan [menirukan dengan keras ] takbir beliau
kepada orang banyak” [H. R. Ahmad,Muslim,Ibnu Majah dari Jabir
ra].57
3) Tugas makmum dalam berjama’ah.
Makmum hanya seorang maka posisi shafnya berada di sebelah
kanan imām. Sabda Rasūlullāh SAW ;

(١١٢ / ٣) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ﱡﻮب َﻋ ْﻦ ﻋَْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ‬ َ ‫َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِﲰَْﺎﻋِﻴﻞُ ﺑْ ُﻦ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َﻋ ْﻦ أَﻳ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﻣ َﺴ ﱠﺪ ٌد ﻗ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ِﺖ ِﻋْﻨ َﺪ ﺧَﺎﻟ َِﱵ ﻓَـﻘَﺎ َم اﻟﻨِ ﱡ‬
‫َﺎل ﺑ ﱡ‬
َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬ ٍ ‫َﲑ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬ ٍْ ‫َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ُﺟﺒـ‬
‫ْﺖ َﻋ ْﻦ ﻳَﺴَﺎ ِرﻩِ ﻓَﺄَ َﺧ َﺬ‬ُ ‫ﺻﻠﱢﻲ َﻣ َﻌﻪُ ﻓَـ ُﻘﻤ‬
َ ُ‫ْﺖ أ‬ ُ ‫ﺼﻠﱢﻲ ِﻣ ْﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻓَـ ُﻘﻤ‬ َ ُ‫اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ‬
‫ﺑَِﺮأ ِْﺳﻲ ﻓَﺄَﻗَﺎﻣ َِﲏ َﻋ ْﻦ ﳝَِﻴﻨِ ِﻪ‬
“Saya menginap di rumah bibiku Maimūnah maka Nabi bangun untuk
shalat malam, sayapun mengikutinya dan berdiri di sebelah kirinya,
mka beliau pegang kepalaku dan menarikku ke sebelah kanannya”.
[H.R. Bukhari dari Ibnu Abbas ra.)58
Jika datang menyusul makmum yang lain, maka hendaklah berdiri di
belakang imām, kemudian makmum yang sendirian yang berdiri
disamping kanan imām tadi mundur ke belakang untuk menyamakan
shaff dengan makmum yang lain.
Ketentuan lain yang perlu diperhatikan jika makmum yang datang
belakangan hanya sendirian di shaff belakang maka dilarang menarik
ke belakang seorangpun jama’ah lain, hal ini karena :

57
Ibid, hlm. Hlm. 195 Hadis No. 84
58
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 232 bab 59.

74
a) Bagaimanapun juga shaff depan lebih baik dari shaff belakang. Kita
disunnahkan menyempurnakan /mengisi shaff depan lebih dulu
bukan malah menguranginya.
b) Hadis yang menuntunkan untuk menarik seorang jama’ah untuk
menemani makmum yang sendirian di belakang adalah lemah
sekali (palsu).59

3. Latihan
Buatlah video tentang aturan shalat berjemaah sesuai dengan sunnah
Rasulullah saw !
4. Evaluasi
a. Jelaskan definisi Shalat berjemaah !
b. Berikan perbedaan hukum shalat berjemaah menurut mazhab-mazhab !
5. Kunci Jawaban
a. Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan minimal dua orang dengan
salah seorang menjadi imām, sedangkan yang lain mengikutinya atau
menjadi makmum.
b. Hanbali berkata bahwa shalat jama’ah itu hukumnya wajib bagi setiap
individu yang mampu melaksanakannya. Namun, jika ditinggalkan dan ia
shalat munfarid, maka dia berdosa, sedangkan shalatnya tetap sah.
Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat
berjama’ah hukumnya tidak wajib baik fardhu ‘ain maupun fardhu
kifāyah, tetapi hanya disunnahkan dengan sunnah al- mu’akkad (yang
sangat dianjurkan Rasūlullāh SAW dan beliau tidak pernah
meninggalkannya).

F. Kegiatan Pembelajaran ke-6


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu Mengenal shalat tathawwu’.
b. Mahasiswa mampu Mendemonstrasikan Shalat tathawwu’.
2. Materi pembelajaran
a. Shalat Tathawwu’.

59
Hadis munkar & palsu riwayat Thabrani, al-Awsath.

75
Shalat Tathawwu’ disebut juga shalat sunnat atau shalat Nawāfil
1) Shalat sunnat rawātib
Shalat sunnat rawātib yaitu shalat sunnat yang dikerjakan oleh Nabi
SAW mengiringi shalat fardhu. Shalat sunnat rawātib ada yang
mu’akkadah Rasūl SAW selalu mengerjakannya kecuali dalam safar
[perjalanan] dan yang termasuk rawātib mua’kkadah adalah; 2 raka’at
sebelum Shubuh, 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at
sesudahnya, 2 raka’at sesudah maghrib dan 2 raka’at sesudah Isya.
Menurut Ibnu ‘Umar ra bahwa :

ُ‫ﺲ ﺑْ ُﻦ ِﺳﲑِﻳ َﻦ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ أَﻧﱠﻪ‬ ُ َ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﻔﱠﺎ ُن َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑَﺎ ُن اﻟْ َﻌﻄﱠﺎ ُر َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﻧ‬
‫َﲔ ﻗَـْﺒ َﻞ‬ِ ْ ‫َﺎت َرْﻛ َﻌﺘـ‬
ٍ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋ ْﺸَﺮ َرَﻛﻌ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ِ ‫ْﺖ َﻋ ْﻦ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َﺣ ِﻔﻈ‬ َ‫ﻗ‬
‫َﲔ‬
ِ ْ ‫َﲔ ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﻟْﻌِﺸَﺎ ِء َوَرْﻛ َﻌﺘـ‬
ِ ْ ‫ِب َوَرْﻛ َﻌﺘـ‬
ِ ‫َﲔ ﺑـَ ْﻌ َﺪ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬
ِ ْ ‫َﲔ ﺑـَ ْﻌ َﺪﻫَﺎ َوَرْﻛ َﻌﺘـ‬
ِ ْ ‫اﻟﻈﱡ ْﻬ ِﺮ َوَرْﻛ َﻌﺘـ‬
‫ْﺢ‬
ِ ‫ﺼﺒ‬ ‫ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟ ﱡ‬

“Saya jaga dari Rasūlullāh SAW 10 raka’at [shalat sunnat ], yaitu 2


raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sesudah
Maghrib dan 2 raka’at sesudah Isya, dan 2 raka’at sebelum Shubuh”. [
HR. Ibnu Majah ]60
Dalam riwayat Turmuzi dari Ummu Habibah ra., menyebutkan 12
rakaat, menambahkan shalat sunnah sebelum zuhur 4 rakaat,
sedangkan redaksi yang lain menyebutkan 2 rakaat sebelum Ashar
tanpa menyebutkan 2 rakaat setelah Isya. (HR. Nasai, Baihaqi,
Thabrani). Aisyah (HR. Muslim) dan Ali ra. Juga menceritakan bahwa
Nabi SAW biasa mengerjakan 2 rakaat sebelum Ashar (HR. Abu
Dawud).
Shalat-shalat rawatib ini lebih utama dilakukan di rumah tetapi dalam
keadaan musafir, maka tidak disunnahkan untuk shalat sunnah
rawātib kecuali shalat sunnah fajar dan witir (Muttafaqun ‘Alaih).
Adapun shalat sunnah ghair mu’akkadah antara lain shalat sunnah 4
rakaat sesuadah Zhuhur (termasuk, 4 rakaat sesuada shalat jum’at), 4
rakaat sebelum Ashar, 2 rakaat sebelum Maghrib dan 2 rakaat

60
Ibnu Majah, op.cit., hlm. 117. Bab 208 Ma Ja’a Annahu Yusholihima fi al-Baiti

76
sebelum Isya. Kemudian, tidak ada shalat sunnah rawātib sebelum
Jum’at, tetapi yang ada shalat Muthlaq sebelum jum’at. Shalat mutlak
ini boleh dilakukan kapan saja, termasuk pada sebelum Jum’at boleh
dilakukan semampunya sampai khatib naik mimbar (HR. Al-Bkuhari
dari Salman).61

2) Shalat Taḥiyyat al-Masjid


Seorang muslim yang memasuki masjid sebelum ia duduk terlebih
dahulu dirinya disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah 2 rakaat :

(٤٧٠ / ٣) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫َﺎل َد َﺧ َﻞ‬
َ ‫َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ ُن َﻋ ْﻦ َﻋ ْﻤﺮٍو َِﲰ َﻊ ﺟَﺎﺑِﺮًا ﻗ‬
َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﻠِ ﱡﻲ ﺑْ ُﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬
‫َﺎل َﻻ‬َ ‫ْﺖ ﻗ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻴ‬َ َ‫َﺎل أ‬
َ ‫ُﺐ ﻓَـﻘ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﳜَْﻄ‬َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َر ُﺟ ٌﻞ ﻳـ َْﻮَم اﳉُْ ُﻤ َﻌ ِﺔ وَاﻟﻨِ ﱡ‬
‫َﲔ‬
ِ ْ ‫ﺼ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ‬
َ َ‫َﺎل ﻗُ ْﻢ ﻓ‬َ‫ﻗ‬

“Dari Jabir ra. “ Pernah seseorang masuk ke dalam masjid pada hari
jum’at, sedang Nabi SAW., sedang berkhutbah maka beliaupun
bersabda ‘sudah shalatkah anda?’ ia menjawab ‘Belum’. Beliaupun
bersabda ‘Berdirilah dan shalatlah 2 rakaat”. (HR. Bukhari)62

3) Shalat Tahajjud

Shalat Tahajjud dapat juga disebut Shalat al-lail, shalat malam, qiyam
al-lail dan khusus pada Bulan Ramadhan disebut Shalat Tarawih atau
Qiyam ar-Ramadhān. Ia dinamakan juga dengan shalat Witir karena
shalat malam ini akan berangkai dengan shalat Witir, yaitu shalat yang
rakaatnya ganjil.
Shalat Tahajjud adalah shalat sunnah yang mengandung fadhilah
atau keutamaan yang banyak sebagaimana ditunjukkan dalam Al-
Qur’an:

61
Ibid, hlm. 145
62
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 294 bab 33 Man Ja’a wa al-Imamu Yakhthubu Sholla Rok’ataini.

77
‫ﱡﻚ َﻣﻘَﺎﻣًﺎ ﱠْﳏﻤ ُْﻮدًا‬
َ ‫َﻚ َرﺑ‬
َ ‫َﻚ َﻋﺴَﻰ أَ ْن ﻳـَْﺒـ َﻌﺜ‬
َ ‫َو ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻓَـﺘَـ َﻬ ﱠﺠ ْﺪ ﺑِِﻪ ﻧَﺎﻓِﻠَﺔً ﻟ‬
(٧٩: ‫)اﻹﺳﺮآء‬
“Dan dari sebagian malam itu gunakanlah untuk bertahajjud sebagai
shalat sunnah bagimu, semoga tuhan mu akan membangkitkanmu
pada kedudukan yang terpui”. (Sūrah al-Isrā ‘ ayast 79).
Jumlah Rakaat Shalat Tahajjud Sesuai dengan hadis Rasūl SAW.,

(٣١٩ / ٤) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ِﻚ َﻋ ْﻦ َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ‬ ٌ ‫َﺎل أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﻣَﺎﻟ‬ َ ‫ُﻒ ﻗ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋﺒْ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ُﻦ ﻳُﻮﺳ‬
ُ‫ي َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ أَﻧﱠﻪُ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻩُ أَﻧﱠﻪُ َﺳﺄ ََل ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ْﱪ ﱢ‬
ُِ ‫اﻟْ َﻤﻘ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ِ ‫َﻼةُ َرﺳ‬ َ ‫َﺖ ﺻ‬ ْ ‫ْﻒ ﻛَﺎﻧ‬ َ ‫َﻋْﻨـﻬَﺎ َﻛﻴ‬
ِ‫َﲑﻩ‬
ِْ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَﺰِﻳ ُﺪ ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن وََﻻ ِﰲ ﻏ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺖ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ ْ ‫ﻓَـﻘَﺎﻟ‬
‫ﺼﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَﻌًﺎ ﻓ ََﻼ ﺗَ َﺴ ْﻞ َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ‬ َ ُ‫َﻋﻠَﻰ إِ ْﺣﺪَى َﻋ ْﺸَﺮةَ َرْﻛﻌَﺔً ﻳ‬
ُ‫َﺖ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔ‬ ْ ‫ﺼﻠﱢﻲ ﺛ ََﻼﺛًﺎ ﻗَﺎﻟ‬ َ ُ‫ﺼﻠﱢﻲ أ َْرﺑـَﻌًﺎ ﻓَ َﻼ ﺗَ َﺴ ْﻞ َﻋ ْﻦ ُﺣ ْﺴﻨِ ِﻬ ﱠﻦ َوﻃُﻮﳍِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻳ‬ َ ُ‫ﻳ‬
‫ْﲏ ﺗَـﻨَﺎﻣَﺎ ِن وََﻻ‬
‫َﺎل ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔُ إِ ﱠن َﻋﻴـ َﱠ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ أَﺗَـﻨَﺎ ُم ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﺗُﻮﺗَِﺮ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ْﺖ ﻳَﺎ َرﺳ‬ُ ‫ﻓَـ ُﻘﻠ‬
‫ﻳـَﻨَﺎ ُم ﻗَـﻠِْﱯ‬
“Rasūlullāh SAW tidak pernah menambah rakaat, baik di dalam
Ramadhān maupun selainnya di atas 11 rakaat. Beliau shalat 4
rakaat, jangan kamu tanyakan bagus dan panjangnya, kemudian
beliau shalat 4 rakaat lagi, jangan kamu tanyakan bagus dan
panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat. Akupun bertanya,
“Wahai Rasūlullāh, apakah engkau akan tidur sebelum Witir?” beliau
menjawab “ Wahai ‘Ᾱ’isyah, kedua mataku terpejam akan tetapi hatiku
tetap tidak tidur”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.) 63

Sebaiknya shalat malam didahului oleh shalat iftitah sebanyak 2


rakaat yang ringan setelah tidur lebih dahulu. Alasan ini bersandar
pada hadis Rasūl SAW., :

(١٦٦ / ٤) - ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬

63
Al-Bukhari, ibid., hlm. 356 bab 16 qiyam an-Nabi SAW bi al-laili fi Ramadhan wa ghairihi

78
‫َﺎم َﻋ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َﻋ ْﻦ أَِﰊ‬ ٍ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْ ُﻦ أَِﰊ َﺷْﻴﺒَﺔَ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ أُﺳَﺎ َﻣﺔَ َﻋ ْﻦ ِﻫﺸ‬
‫َﺎل إِذَا ﻗَﺎ َم أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ْﻔﺘَﺘِ ْﺢ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬
‫ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﲔ‬
ِ ْ ‫َﲔ َﺧﻔِﻴ َﻔﺘـ‬
ِ ْ ‫َﻼﺗَﻪُ ﺑَِﺮْﻛ َﻌﺘـ‬
َ‫ﺻ‬
“Apabila seseorang diantara kalian bangun malam, maka hendaklah
memulainya dengan 2 rakaat (shalat iftitah) yang ringan/singkat”. (HR.
Muslim dari Abu Hurairah ra.) 64
Yang dimaksud dengan membuka (didahului) shalat dua rakaat yang
ringan adalah membuka shalat dengan 2 rakaat tanpa perlu membaca
surah atau ayat setelah sūrah al-fātihah. Adapun bacaan doa iftitah
pada shalat khafifatain adalah :

(٢٦ / ٦) - ‫اﳌﻌﺠﻢ اﻷوﺳﻂ‬


‫ﻋﻦ ﺣﺬﻳﻔﺔ ﺑﻦ اﻟﻴﻤﺎن ﻗﺎل أﺗﻴﺖ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ذات ﻟﻴﻠﺔ‬
‫ﻓﺘﻮﺿﺄ وﻗﺎم ﻳﺼﻠﻲ ﻓﺄﺗﻴﺘﻪ ﻓﻘﻤﺖ ﻋﻦ ﻳﺴﺎرﻩ ﻓﺄﻗﺎﻣﲏ ﻋﻦ ﳝﻴﻨﻪ ﻓﻜﱪ ﻓﻘﺎل‬
‫ﺳﺒﺤﺎن اﷲ ذي اﳌﻠﻜﻮت واﳉﱪوت واﻟﻜﱪﻳﺎء واﻟﻌﻈﻤﺔ ﱂ ﻳﺮو ﻫﺬا اﳊﺪﻳﺚ‬
‫ﻋﻦ ﺟﻌﻔﺮ اﻷﲪﺮ إﻻ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺑﺸﺮ اﳊﺮﻳﺮي‬
“Maha Suci Allāh Dzat yang Maha Memiliki Kerajaan, Kecukupan,
Kebesaran dan Keagungan “. (HR.Thabrani)65
4) Shalat Sunnah Dhuhā
Shalat Dhuhā atau disebut juga shalat awwabin adalah shalat sunnah
yang dikerjakan pada saat matahari naik kira-kira sepenggal (setinggi
tonggak) dan berakhir saat tergelincirnya matahari di waktu Dzuhur.
Jika shalat Dhuhā ini dilakukan persis di awal waktu terbitnya
matahari, maka disebut dengan shalat al-isyraq (terbit).66 Melihat
intensitas pengerjaannya oleh Nabi SAW dan pesan-pesan beliau
tentang pentingnya shalat Dhuhā, maka shalat ini termasuk shalat
sunnah muakkadah.

64
Muslim, op.cit., hlm. 349
65
Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, (ttp: Dar al-Haramain, 1415 H/1995 M), hlm. 547-564 Hadis
No. 5689
66
HR. Hakim & Thabrani dari Ummu Hani’.

79
Jumlah rakaat shalat Dhuhā dikerjakan 2 rakaat, tetapi boleh juga
dikerjakan 4 rakaat (2 rakaat-2 rakaat) atau 8 rakaat (salam setiap 2
rakaat), sebagaimana hadis berikut ini:

(٩٨ / ٧) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ﱠﺎح ﻗَﺎ َل َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ أَﺑُﻮ‬ ِ ‫ِث َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ اﻟﺘﱠـﻴ‬ ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒ ُﺪ اﻟْﻮَار‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫َﺎﱐ َﺧﻠِﻴﻠِﻲ‬ ِ ‫َﺎل أ َْوﺻ‬ َ ‫ﻋُﺜْﻤَﺎ َن ﻋَ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬
‫ﻀﺤَﻰ َوأَ ْن أُوﺗَِﺮ ﻗَـْﺒ َﻞ‬‫َﱵ اﻟ ﱡ‬َْ ‫ﱠﺎم ِﻣ ْﻦ ُﻛ ﱢﻞ َﺷ ْﻬ ٍﺮ َوَرْﻛﻌ‬
ٍ ‫َﺎم ﺛ ََﻼﺛَِﺔ أَﻳ‬
ِ ‫ث ِﺻﻴ‬ ٍ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑِﺜ ََﻼ‬
‫أَ ْن أَﻧَﺎ َم‬

“Nabi SAW yang tercinta mewasiatkan kepadaku tiga perkara yaitu


puasa 3 hari dalam setiap bulan (puasa tengah bulan tanggal 13, 14
dan 15 bulan qamariyah), mengerjakan dua rakaat shalat Dhuhā dan
shalat Witir terlebih dahulu sebelum tidur” (HR. Bukhari-Muslim dari
Abu Hurairah ra.)67

(٤١ / ٤) - ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬


‫ْﻚ َﺣ ﱠﺪﺛـَﺘ ِْﲏ‬
َ ‫ِث َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻳَﺰِﻳ ُﺪ ﻳـَﻌ ِْﲏ اﻟﱢﺮﺷ‬
ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﺷْﻴﺒَﺎ ُن ﺑْ ُﻦ ﻓَـﺮﱡو َخ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻋَْﺒ ُﺪ اﻟْﻮَار‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺖ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ َﻛ ْﻢ ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ ْ ‫ُﻣﻌَﺎذَةُ أَﻧـﱠﻬَﺎ َﺳﺄَﻟ‬
‫َﺎت َوﻳَﺰِﻳ ُﺪ ﻣَﺎ ﺷَﺎء‬ ٍ ‫َﺖ أ َْرﺑَ َﻊ َرَﻛﻌ‬
ْ ‫ﻀﺤَﻰ ﻗَﺎﻟ‬ ‫َﻼةَ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ﺼﻠﱢﻲ ﺻ‬ َ ُ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳ‬

“Adalah Rasūlullah SAW., mengerjakan shalat Dhuhā 4 rakaat dan


ditambahnya seberapa yang dikehendaki Allāh SWT” (HR. Ahmad,
Muslim dan Ibnu Majah dari Aisyah ra)

(٥٠ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫ْﺐ‬ٍ ‫َﺎﻻ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﺑْ ُﻦ َوﻫ‬
َ ‫ِﺢ َوأَﲪَْ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ﺑْ ِﻦ اﻟﺴﱠﺮِْح ﻗ‬
ٍ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﲪَْ ُﺪ ﺑْ ُﻦ ﺻَﺎﻟ‬
‫ْﺐ ﻣَﻮَْﱃ اﺑْ ِﻦ‬
ٍ ‫ض ﺑْ ُﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ َﻋ ْﻦ ﳐََْﺮَﻣﺔَ ﺑْ ِﻦ ُﺳﻠَْﻴﻤَﺎ َن َﻋ ْﻦ ُﻛَﺮﻳ‬
ُ ‫َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ َﻋﻴﱠﺎ‬

67
Muslim, op.cit., hlm. 325 Hadis No.78 bab istihbab sholat adh-Dhuha

80
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـ َْﻮَم‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠِﻪ‬
َ ‫ِﺐ أَ ﱠن َرﺳ‬ٍ ‫ْﺖ أَِﰊ ﻃَﺎﻟ‬
ِ ‫ِﺊ ﺑِﻨ‬
ٍ ‫ﱠﺎس ﻋَ ْﻦ أُﱢم ﻫَﺎﻧ‬
ٍ ‫َﻋﺒ‬
‫َﲔ‬
ِ ْ ‫َﺎت ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ِﻣ ْﻦ ُﻛ ﱢﻞ َرْﻛ َﻌﺘـ‬
ٍ ‫ََﺎﱐَ َرَﻛﻌ‬
ِ ‫ﻀﺤَﻰ ﲦ‬‫ﺻﻠﱠﻰ ُﺳﺒْ َﺤﺔَ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ْﺢ‬
ِ ‫اﻟْ َﻔﺘ‬
“Sesungguhnya Rasūlullah SAW., pada hari penaklukan kota
Makkah, beliau shalat 8 rakaat dengan salam untuk setiap 2 rakaat”
(HR. Abu Dawud dari Ummi Hani’ putri Abu Thalib).68
5) Shalat Idain (Shalat Dua Hari Raya)
Yaitu shalat Idul Ftri pada pagi hari tanggal 1 Syawwal dan shalat Id
al-Adḥā pada tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi SAW., menganjurkan agar
semua orang Islam termasuk anak-anak dan wanita haidh ikut
merayakannya dengan bertakbir menuju ke lapangan tempat shalat,
meskipun wanita haidh tidak ikut shalat.
Pada saat ‘Id, Rasūlullah SAW. menuntunkan untuk membesarkan
nama Allāh ketika berangkat ke tempat shalat hingga imām memulai
shalat. Namun, takbīr pada ‘id al-Fitrī sudah bisa dimulai sejak malam
setelah sempurnanya hitungan Bulan Ramadhān.69 Hal ini didasarkan
firman Allāh:

‫َو ﻟِﺘُ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا اﻟﻌِ ﱠﺪةَ َو ﻟِﺘُ َﻜﺒﱢـُﺮوا اﷲَ َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ َﻫﺪَا ُﻛ ْﻢ َو ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﺸ ُﻜﺮُْو َن )اﻟﺒﻘﺮة‬
(۱۸۵:
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan bertakbir
mengangungkan Allāh atas petunjukNya yang diberukan kepadamu,
supaya kamu bersyukur” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Jumlah rakaat shalat ‘iddain adalah 2 rakaat dimana pada rakaat
pertama dibuka dengan takbīr 7 kali setelah takbirah al-iḥrām sebelum
membaca al-Fātiḥah dan pada rakaat kedua dengan takbīr 5 kali
selain takbīr intiqāl (pindah gerakan) juga sebelum membaca al-
Fātiḥah. Menurut hadis yang disandarkan pada ‘Ᾱ’isyah r.a dan Abu
Hurairah r.a bahwa :

(٤٤٦ / ١) - ‫ م‬- ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬

68
Abu Dawud, op.cit., hlm. 475 bab 251
69
HR. Al-Baihaqi, 3/278: 5923, hlm 279 no; 5927

81
‫َﺎب َﻋ ْﻦ ﻋُﺮَْوةَ َﻋ ْﻦ‬ ٍ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـْﻴﺒَﺔُ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ اﺑْ ُﻦ ﳍَِﻴ َﻌﺔَ َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻘﻴ ٍْﻞ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ‬
‫ ﻛَﺎ َن ﻳُ َﻜﺒﱢـُﺮ ِﰱ اﻟْ ِﻔﻄْ ِﺮ‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ أَ ﱠن َرﺳ‬
.‫ات وَِﰱ اﻟﺜﱠﺎﻧِﻴَ ِﺔ ﲬَْﺴًﺎ‬
ٍ ‫ُوﱃ َﺳﺒْ َﻊ ﺗَ ْﻜﺒِ َﲑ‬
َ ‫ﺿﺤَﻰ ِﰱ اﻷ‬ ْ َ‫وَاﻷ‬
“Sesungguhnya Rasūlullāh SAW., bertakbir (dalam shalat) pada ‘Id
al-Fithrī dan al-Adḥā pada rakaat pertama 7 takbir dan pada rakaat
kedua 5 takbīr” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)70
Adapun, lafal takbīr ‘Id dari Ibnu Mas’ūd, ‘Umar bin al-Khaththāb dan
‘Ali bin Abi Thālib ra :

‫ اَﷲُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ َو ﷲِ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ‬,ُ‫اَﷲُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ اَﷲُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ ﻻَ اِﻟَﻪَ إِﻻﱠ اﷲَ َو اَﷲُ أَ ْﻛﺒَـﺮ‬
“Allāh Maha Besar, Allāh Maha Besar, Tidak ada tuhan selain Allāh
dan Allāh Maha Besar, Allāh Maha Besar dan bagiNya-lah segala
pujian”.71

3. Latihan
Buatlah video mandiri takbiran Idul Fitri/Adha !
4. Evaluasi
a. Jelaskan definisi shalat tathawwu’ !
b. Rekapitulasilah jenis-jenis shalat tathawwu’ !
5. Kunci Jawaban
a. Shalat Tathawwu’ disebut juga shalat sunnat atau shalat Nawāfil.
b. Jenis Shalat Tathawwu’, antara lain:
1) Shalat Rawātib
2) Taḥiyyah al-masjid
3) Tahajjud.
4) Dhuḥā.

G. Kegiatan Pembelajaran ke-7


1. Tujuan pembelajaran
a. Menjelaskan pengertian shalat Jum’at

70
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqih Ibadah, hlm. 168
71
HR. Ibnu Abi Syaybah, 1/490 no; 5650.

82
b. Menyebutkan landasan disyariatkannya shalat Jum’at
c. Menjelaskan amalan-amalan yang dianjurkan pada hari Jum’at
d. Melaksanakan shalat Jum’at.
2. Materi Pembelajaran
a. Shalat Jum’at
Jum’at atau al-Jumu’ah menurut bahasa artinya berkumpul atau
berhimpun. Istilah ini muncul sebab menurut tradisi setelah Agama Islam
lahir dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW., Kaum muslimin
senantiasa berkumpul di suatu tempat untuk beribadah Jum’at yaitu
mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat fardhu jum’at.
Sebelum itu hari Jum’at masih disebut dengan ‘Arubah.72

b. Landasan Syar’iy.
Para ulama sepakat bahwa shalat jum’at hukumnya fardhu ‘ain
berdasarkan firman Allāh Swt. dalam sūrah al-Jum’ah: 9,

            

         

Artinya:’Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan


shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allāh dan
tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui’.

Kemudian, hadis dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW.
bersabda tentang orang-orang yang meninggalkan shalat jum’at,

‫َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ اﳊَْ َﻜ ُﻢ ﺑْ ُﻦ ﻣِﻴﻨَﺎءَ أَ ﱠن َﻋﺒْ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َوأَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َﺣ ﱠﺪﺛَﺎﻩُ أَﻧـﱠ ُﻬﻤَﺎ َِﲰﻌَﺎ‬
‫ِﲔ أَﻗْـﻮَا ٌم ﻋَ ْﻦ‬
‫ْﱪﻩِ ﻟَﻴَـْﻨﺘَﻬ َﱠ‬
َِ ‫ُﻮل َﻋﻠَﻰ أَ ْﻋﻮَا ِد ِﻣﻨ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َرﺳ‬
‫ﲔ‬َ ِ‫َﺎت أ َْو ﻟَﻴَ ْﺨﺘِ َﻤ ﱠﻦ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗُـﻠُﻮِِ ْﻢ ﰒُﱠ ﻟَﻴَﻜُﻮﻧُ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ اﻟْﻐَﺎﻓِﻠ‬
ِ ‫َوْد ِﻋ ِﻬ ْﻢ اﳉُْ ُﻤﻌ‬
Artinya:”Hendaklah orang-orang itu menghentikan perbuatan mereka
meninggalkan shalat jum’at atau kalau tidak, Allāh akan menutup mata

72
Dalail Ahmad, Panduan Ibadah Jum’at, hlm. 1

83
hati mereka. Kemudian, mereka akan termasuk dalam golongan orang-
orang yang lalai” (H.R. Shahih Muslim no. 1432 Kitab al-Jum’ah).

Shalat jum’at itu wajib atas setiap laki-laki muslim, merdeka, berakal,
baligh, muqīm, dan bebas dari segala macam ‘udzur yang
membolehkannya meninggalkan shalat jum’at. Sebaliknya, orang yang
tidak wajib melaksanakan shalat jum’at adalah:

1) Perempuan.
2) Anak kecil.
3) Orang sakit yang sukar untuk pergi ke masjid sebab khawatir akan
bertambah parah sakitnya atau lambat sembuhnya.
4) Musāfir walaupun waktu shalat jum’at dilaksanakan ia sedang
berhenti.
5) Orang yang sedang bersembunyi karena takut kepada penguasa
yang zalim.
6) Setiap orang yang mendapatkan uzur yang diberi keringanan oleh
syara’ untuk meninggalkan shalat.73
Selengkapnya, hadis tentang orang-orang yang tidak wajib
melaksanakan shalat jum’at adalah:

‫ﺐ‬ٌ ‫َاﺟ‬
ِ ‫َﺎل اﳉُْ ُﻤ َﻌﺔُ َﺣ ﱞﻖ و‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﺎب ﻋَ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﻃَﺎ ِرِق ﺑْ ِﻦ ِﺷﻬ‬
‫ﺾ‬
ٌ ‫َﱯ أ َْو َﻣﺮِﻳ‬
‫ُﻮك أ َْو ا ْﻣَﺮأَةٌ أ َْو ﺻِ ﱞ‬
ٌ ‫َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ ِﰲ ﲨََﺎﻋَ ٍﺔ إﱠِﻻ أ َْرﺑـَ َﻌﺔً َﻋْﺒ ٌﺪ ﳑَْﻠ‬
Artinya:’Shalat Jum’at adalah hak kewajiban terhadap setiap laki-laki
muslim dalam suatu jema’ah kecuali empat orang yaitu budak yang
dimiliki, wanita, anak-anak, dan orang sakit’ (H.R. Sunan Abu Daud Kitab
as-Shalat no. 901).

c. Kaifiyat Pelaksanaan Shalat Jum’at

Adapun pelaksanaan shalat jum’at adalah waktu shalat Zhuhur


berdasarkan Hadis dari Anas r.a.,

73
Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 228.

84
‫ﺼﻠﱢﻲ‬
َ ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن ﻳ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ِﻚ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
ٍ ‫َﺲ ﺑْ ِﻦ ﻣَﺎﻟ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَﻧ‬
‫ﺲ‬
ُ ‫ﲔ ﲤَِﻴ ُﻞ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
َ ‫اﳉُْ ُﻤ َﻌﺔَ ِﺣ‬
Artinya:”Sesungguhnya Nabi SAW. melakukan shalat jum’at ketika
matahari tergelincir” (H.R. Shahih Bukhari no. 853 Kitab al-Jum’ah).

Adapun rukun shalat jum’at terdiri dari:

1) Khutbah dua kali dan duduk di antara keduanya.


2) Shalat dua rakaat dengan berjama’ah.74
Khutbah dilakukan lebih dahulu sebelum dilakukan shalat jum’at
berdasarkan hadis dari Jabir ibn Samurah r.a.,

‫ﺲ‬
ُ ِ‫ُﺐ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﰒُﱠ َْﳚﻠ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﳜَْﻄ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫َﺎل ﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮ ﺑْ ِﻦ ﲰََُﺮةَ ﻗ‬
‫ﺼﺪًا‬
ْ َ‫َﻼﺗُﻪُ ﻗ‬
َ ‫ﺼﺪًا َوﺻ‬ْ َ‫َﺖ ُﺧﻄْﺒَﺘُﻪُ ﻗ‬
ْ ‫َﺎت َوﻳَ ْﺬ ُﻛُﺮ اﻟﻠﱠﻪَ َﻋﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ َوﻛَﺎﻧ‬
ٍ ‫ﰒُﱠ ﻳـَﻘُﻮُم َوﻳـَ ْﻘَﺮأُ آﻳ‬
Artinya:”Rasūlullāh SAW. berkhutbah sambil berdiri dan beliau duduk di
antara dua khutbah dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, serta memberi
nasihat (mengingatkan) kepada manusia serta khutbahnya sederhana
dan shalatnya pun sederhana” (H.R. Sunan Nasai no. 1401 Kitab al-
Jum’ah).

Sementara itu, rukun khutbah terdiri dari enam macam, yaitu:


1) Memuji Allāh dengan kata-kata pujian.
2) Membaca salawat atas Nabi Muhammad SAW.
3) Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4) Berwasiat kepada hadirin untuk bertaqwa.
5) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu kedua khutbah.
6) Mendoakan semua orang mukmin.75
Kemudian, syarat-syarat khutbah terdiri dari enam bagian pula yaitu:

1) Sudah masuk waktu shalat.


2) Mendahulukan khutbah daripada shalat.
3) Berdiri ketika berkhutbah.

74
Ahmad ibn Rusydi, Bidayah al-Mujtahid (Indonesia: Dar al-Kutub as-Syuruf, tth.), h. 119.
75
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Hill Gayat alIkhtisar, h..149.

85
4) Duduk di antara dua khutbah.
5) Suci dari ḥadats dan najis pakaian, badan, dan tempat.
6) Suaranya keras sehingga dapat didengar oleh jama’ah.76
d. Amalan-amalan Jum’at
Beberapa amalan yang dianjurkan pada hari Jum’at :
1) Mandi sunnah jum’at, berhias, menggosok gigi, memakai
wewangian, memotong kuku dan menggunting kumis.
2) Bersegera pergi ke Jum’at
3) Melakukan Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at setelah taḥiyyat al-masjid
menurut kadar kemampuannya.
4) Berdiam diri, bersikap khidmat ketika imam berkhutbah77

3. Latihan
Buatlah video praktek khutbah jumat !
4. Evaluasi
a. Jelaskan definisi shalat Jumat !
b. Jelaskan rukun Khutbah Jumat !
c. Sebutkan syarat-syarat Khutbah Jumat !
d. Jelaskan beberapa amalah jumat yang akan dilaksanakan !
5. Kunci Jawaban
a. Jum’at atau al-Jumu’ah menurut bahasa artinya berkumpul atau
berhimpun. Istilah ini muncul sebab menurut tradisi setelah Agama Islam
lahir dan dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW., kaum muslimin
senantiasa berkumpul di suatu tempat untuk beribadah Jum’at yaitu
mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat fardhu jum’at.
Sebelum itu hari Jum’at masih disebut dengan ‘Arubah.
b. Sementara itu, rukun khutbah terdiri dari enam macam, yaitu:
1) Memuji Allāh dengan kata-kata pujian.

76
Ibid., Kitab ini mengumpulkan perbedaan ulama tentang apakah bahasa Arab merupakan syarat
dalam kutbah jum’at atau tidak ? Hanafi mensyaratkan khutbah itu harus dengan bahasa Arab jika mampu.
Syafi’i mensyaratkan dengan berbahasa Arab jika audiensnya mengerti bahasa Arab (termasuk orang Arab
sendiri), tetapi jika audiensnya adalah orang ‘Ajam (selain Arab), maka khatib harus berkhutbah dengan bahasa
setempat walaupun khatib dapat berbahasa Arab dengan baik. Sementara itu, Maliki menyatakan bahwa khatib
wajib berkhutbah dengan bahasa Arab sekalipun jama’ahnya orang ‘Ajam. Jika di antara jama’ah itu tidak ada
yang mampu berbahasa Arab dengan baik, maka gugurlah kewajiban shalat jum’at dari mereka. Lihat
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 124.
77
Musthafa Kamal, Fikih Islam, hlm. 83-85

86
2) Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW.
3) Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4) Berwasiat kepada hadirin untuk bertaqwa.
5) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu kedua khutbah.
6) Mendoakan semua orang mukmin.
c. Syarat-syarat khutbah terdiri dari enam bagian pula yaitu:
1) Sudah masuk waktu shalat.
2) Mendahulukan khutbah daripada shalat.
3) Berdiri ketika berkhutbah.
4) Duduk di antara dua khutbah.
5) Suci dari ḥadats dan najis pakaian, badan, dan tempat.
6) Suaranya keras sehingga dapat didengar oleh jama’ah.
d. Beberapa amalan yang dianjurkan pada hari Jum’at :
1) Mandi sunnah jum’at, berhias, menggosok gigi, memakai wewangian,
memotong kuku dan menggunting kumis.
2) Bersegera pergi ke Jum’at
3) Melakukan Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at setelah tahiyyatul masjid
menurut kadar kemampuannya.
4) Berdiam diri, bersikap khidmat ketika imam berkhutbah.

H. Kegiatan pembelajaran ke-8


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu Mendemonstrasikan shalat Jama’ dan Qashar.
b. Mahasiswa mampu Mendeskripsikan shalat dalam berbagai keadaan.
2. Materi Pembelajaran
a. Shalat Qashar dan Jama’.

Shalat qashar artinya Shalat yang dipendekkan bilangan rakaatnya,


yaitu: Shalat fardhu yangl empat rakaat dipendekkan menjadi dua rakaat.
Shalat fardhu yang boleh diqashar itu ialah Shalat Zhuhur, Ashar, dan
Isya. Adapun Maghrib dan Shubuh tetap seperti biasa, tidak boleh di-
qashar.78

78
Mughniyah, Muhammad Jawad al-. Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lintera, 1996). h. 319.

87
Shalat qashar dapat dilakukan jika seseorang dalam keadaan musāfir,
berdasarkan firman Allāh SWT. dalam sūrah al-Nisā’: 101,

            

           

Artinya:’Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah


mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu’.

b. Dasar Syar’i
Ketika ‘Umar bin al-Khahtthāb bertanya tentang kebolehan Qashar bagi
musāfir dalam surah al-Nisā’: 101

..... ِ‫ﺼﻼَة‬
‫ﺼﺮُوْا ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠ‬
ُ ‫ح أَ ْن ﺗَـ ْﻘ‬
ٌ ‫ْﺲ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺟﻨَﺎ‬
َ ‫ْض ﻓَـﻠَﻴ‬
ِ ‫ﺿَﺮﺑْـﺘُ ْﻢ ِﰲ اْﻷَر‬
َ ‫َو إِذَا‬
“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah kamu
mengqashar shalat(mu)”.
Rasūlullāh SAW menjawab dalam hadis di bawah ini;

‫ﺼُﺮوا‬ ُ ‫ْﺲ ﻋَﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺟﻨَﺎ ٌح أَ ْن ﺗَـ ْﻘ‬َ ‫ﱠﺎب ﻟَﻴ‬ ِ ‫ْﺖ ﻟِﻌُ َﻤَﺮ ﺑْ ِﻦ اﳋَْﻄ‬ ُ ‫َﺎل ﻗُـﻠ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ ﻳَـ ْﻌﻠَﻰ ﺑْ ِﻦ أَُﻣﻴﱠﺔَ ﻗ‬
‫ْﺖ ﳑِﱠﺎ‬ ُ ‫َﺠﺒ‬ِ ‫َﺎل ﻋ‬ َ ‫س ﻓَـﻘ‬ ُ ‫ﱠﻼةِ إِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أَ ْن ﻳـَ ْﻔﺘِﻨَ ُﻜ ْﻢ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ َﻛ َﻔُﺮوا ﻓَـ َﻘ ْﺪ أَِﻣ َﻦ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫ِﻣ ْﻦ اﻟﺼ‬
ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬ َ ‫َﺎل‬ َ ‫ِﻚ ﻓَـﻘ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋ ْﻦ ذَﻟ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫ْﺖ ِﻣْﻨﻪُ ﻓَ َﺴﺄَﻟ‬َ ‫َﺠﺒ‬ ِ‫ﻋ‬
ُ‫ﺻ َﺪﻗَـﺘَﻪ‬
َ ‫ﱠق اﻟﻠﱠﻪُ َِﺎ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎﻗْـﺒَـﻠُﻮا‬ َ ‫ﺼﺪ‬َ َ‫ﺗ‬
Artinya:”Saya bertanya kepada ‘Umar ibn al-Khattab,’Bagaimana
pendapat anda tentang meng-qashar shalat sehubungan dengan firman
Allāh,’Kalau kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir”.
Jawab Umar,’Hal yang anda kemukakan itu juga menjadi pertanyaan
bagi saya sehingga saya sampaikan kepada Rasūlullāh SAW., maka
sabda beliau,’ Hal itu merupakan sedekah yang dikaruniakan Allāh
kepadamu semua, maka terimalah sedekah itu” (H.R. Shahih Muslim no.
1108 Kitab shalat al-Musafirin wa Qashriha).
Syarat-syarat yang boleh meng-qashar shalat adalah:

88
1) Musafir itu tidak untuk maksiat. Artinya, jika seseorang yang
berpergian (musafir) untuk berbuat maksiat, tidak boleh meng-qashar
shalatnya.79
2) Jarak tempuh perjalanan itu tertentu.80 Ukuran jarak tempuh yang
ditetapkan ulama masa klasik sepertinya untuk zaman sekarang tidak
sesuai lagi sebab jarak tempuh yang jauh dapat ditempuh secara
singkat dengan menggunakan alat-alat canggih seperti mobil dan
pesawat terbang. Jadi ukuran yang tepat sekarang adalah ada atau
tidaknya ’masyaqqah’ (kesulitan) yang dialami seseorang dalam
musafir tersebut.
3) Berniat meng-qashar shalat.81

c. Shalat Jama’.

Shalat jama’ artinya shalat yang dikumpulkan yaitu mengumpulkan dua


shalat yang dikerjakan pada satu waktu. Shalat yang boleh di-jama’ ialah
shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya.
Kesemuanya itu jika dikerjakan pada waktu Zhuhur atau Maghrib disebut
jama’ taqdīm. Kemudian, apabila shalat Zhuhur dengan Ashar dikerjakan
pada waktu Ashar atau shalat Maghrib dengan shalat Isya dikerjakan di
waktu Isya disebut dengan jama’ ta’khīr.82

Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, jama’ dilakukan karena musūfir,


sedangkan Hanafi tidak membolehkan sama sekali men-jama’ karena
musāfir.83

Syarat –syarat jama’ ada empat bentuk, yaitu:


79
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h.142.
80
Ulama berbeda pendapat tentang jarak tempuh perjalanan sehingga dapat dilakukan qashar. Menurut
Hanafi, perjalanan itu berjarak 24 farsakh (1 farsakh adalah 5040 meter) hanya pergi saja. Hanbali, Maliki, dan
Syafi’i berpendapat bahwa jarak tempuh yang dibolehkan meng-qashar itu adalah 16 farsakh pergi saja dan
diperbolehkan jika jarak itu kurang dari dua mil dari jumlah yang ditentukan. Bahkan, Maliki mengatakan bahwa
diperbolehkan jika kurang dari delapan mil dari jumlah jarak yang ditentukan itu. Ibid., h. 141.
81
Menurut Mazhab Hanbali dan Syafi’i, orang yang musafir hendaklah berniat qashar pada Shalat yang
dilaksanakannya. Jika tidak, maka harus dilakukan dengan sempurna. Mazhab Maliki berpendapat bahwa niat
qashar itu cukup pada permulaan Shalat qashar yang dikerjakan dalam perjalanannya dan tidak harus
memperbaharui pada tiap-tiap Shalat. Menururt Hanafi, niat qashar itu bukan merupakan syarat dalam wajib
qashar. Ibid., h.143.
82
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h.320.
83
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 145.

89
1) Hendaklah dimulai dengan shalat yang pertama sesuai dengan waktu
men-jama’ Shalat (Zhuhur sebelum Ashar) jika jama’ taqdim dan
Ahsar sebelum Zhuhur jika jama’ ta’khīr.
2) Berniat men-jama’.
3) Berturut-turut. Artinya, kedua salat yang di-jama’ itu tidak boleh
berselang lama, yaitu selesai Shalat yang pertama langsung diikuti
Shalat yang kedua.
4) Apabila jama’ ta’khir , hendaklah ia berniat di waktu yang pertama
bahwa ia akan melaksanakan shalat sebelum di waktu yang kedua. 84

Kegiatan men-jama’ shalat dapat dilakukan dalam beberapa hal;

1) Berada di Arafah dan Mudzdalifah. Para ulama sepakat bahwa men-


jama’ taqdim antara shalat Zhuhur dengan Ashar ketika berada di
‘Arafah dan men-jama’ ta’khīr antara shalat Maghrib dengan Isya di
Mudzdalifah adalah sunat berdasarkan perbuatan Rasūlullāh SAW.
2) Musāfir. Men-jama’ dua shalat ketika musāfir baik dengan jama’
taqdīm maupun jama’ ta’khīr menurut sebagian besar para ahli,
hukumnya boleh berdasarkan hadis yang diterima dari Mu’āz, Nabi
SAW. bersabda,

‫ُﻮك‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن ِﰲ ﻏَﺰَْوةِ ﺗَـﺒ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬َ ‫َﻋ ْﻦ ُﻣﻌَﺎ ِذ ﺑْ ِﻦ َﺟﺒ ٍَﻞ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫ْﲢ ْﻞ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن‬ َِ‫ﺼ ِﺮ َوإِ ْن ﻳـَﺮ‬ْ َ‫َﲔ اﻟﻈﱡ ْﻬ ِﺮ وَاﻟْﻌ‬
َ ْ ‫ْﲢ َﻞ ﲨََ َﻊ ﺑـ‬َِ‫ﺲ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳـَﺮ‬
ُ ‫َﺖ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬ ْ ‫إِذَا زَاﻏ‬
‫َﺖ‬
ْ ‫ِﻚ إِ ْن ﻏَﺎﺑ‬ َ ‫ِب ِﻣﺜْ ُﻞ ذَﻟ‬ ِ ‫ﺼ ِﺮ وَِﰲ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬ْ َ‫َﱴ ﻳـَْﻨﺰَِل ﻟِْﻠﻌ‬‫ﺲ أَ ﱠﺧَﺮ اﻟﻈﱡ ْﻬَﺮ ﺣ ﱠ‬ ُ ‫ﺗَﺰِﻳ َﻎ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
‫ِﻴﺐ‬
َ ‫ْﲢ ْﻞ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﺗَﻐ‬ َِ‫ِب وَاﻟْﻌِﺸَﺎ ِء َوإِ ْن ﻳـَﺮ‬
ِ ‫َﲔ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬
َ ْ ‫ْﲢ َﻞ ﲨََ َﻊ ﺑـ‬ َِ‫ﺲ ﻗَـْﺒ َﻞ أَ ْن ﻳـَﺮ‬
ُ ‫اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
‫َﱴ ﻳـَْﻨﺰَِل ﻟِْﻠﻌِﺸَﺎ ِء ﰒُﱠ ﲨََ َﻊ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬﻤَﺎ‬ ‫ِب ﺣ ﱠ‬َ ‫ﺲ أَ ﱠﺧَﺮ اﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬ ُ ‫اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬
Artinya:”Bahwasanya ketika perang Tabūk, Nabi SAW. selalu
menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar apabila berangkatnya sesudah
tergelincir matahari, tetapi apabila berangkatnya sebelum tergelincir,
maka shalat Zhuhur dimundurkan beliau dan dirangkap sekaligus
dengan Asar. Begitu pula, dengan shalat Maghrib, yaitu jika beliau
berangkat sesudah matahari terbenam, di-jama’-nya Maghrib dengan
Isya, tetapi jika berangkatnya sebelum matahari terbenam,

84
Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Hill Gayat alIkhtisar, h..144.

90
dimundurkannya Shalat Maghrib itu sampai Isya dan di-jama’-nya
dengan shalat Isya” (H.R. Sunan Abu Daud no. 1022 Kitab Shalat).

3) Keadaan hujan. Men-jama’ shalat disebabkan hari hujan lebat adalah


boleh berdasarkan hadis Rasūlullāh SAW.,

‫ﺻﻠﱠﻰ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺪِﻳﻨَ ِﺔ َﺳْﺒـﻌًﺎ َوﲦََﺎﻧِﻴًﺎ‬َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ﱠﺎس أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
‫َﺎل َﻋﺴَﻰ‬ َ ‫ﱡﻮب ﻟَ َﻌﻠﱠﻪُ ِﰲ ﻟَْﻴـﻠَ ٍﺔ َﻣ ِﻄ َﲑةٍ ﻗ‬
ُ ‫َﺎل أَﻳ‬
َ ‫ِب وَاﻟْﻌِﺸَﺎءَ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ﺼَﺮ وَاﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬
ْ ‫اﻟﻈﱡ ْﻬَﺮ وَاﻟْ َﻌ‬
Artinya:’Bahwasanya Nabi SAW. shalat (menjama’) Zhuhur dengan
Ashar, serta Maghrib dengan Isya di Madinah tujuh dan delapan kali.
Ayyub berkata,’Barangkali dalam satu malam hujan deras’. Ia berkata
lagi,’Barangkali’. (H.R. Shahih Bukhari Kitab Mawaqit as-salah no.
510).

4) Sebab ada keperluan. Beberapa imām membolehkan jama’ bagi


orang tidak musāfir jika ada kepentingan asal saja itu tidak dijadikan
kebiasaan. Di antara imām itu adalah Ibnu Sirrin dan sebagian
golongan Syafi’iyah berdasarkan hadis dari Ibnu Abbās r.a. sebagai
berikut,

‫ﺼ ِﺮ‬
ْ ‫َﲔ اﻟﻈﱡ ْﻬ ِﺮ وَاﻟْ َﻌ‬
َ ْ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑـ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل ﲨََ َﻊ َرﺳ‬ َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
‫ْﺖ‬
ُ ‫َﺎل ﻗُـﻠ‬ َ ‫ِﻳﺚ َوﻛِﻴ ٍﻊ ﻗ‬
ِ ‫ْف وََﻻ َﻣﻄٍَﺮ ِﰲ َﺣﺪ‬ ٍ ‫َﲑ ﺧَﻮ‬ِْ ‫ِب وَاﻟْﻌِﺸَﺎ ِء ﺑِﺎﻟْ َﻤﺪِﻳﻨَ ِﺔ ِﰲ ﻏ‬
ِ ‫وَاﻟْ َﻤ ْﻐﺮ‬
ُ‫َﻲ َﻻ ُْﳛ ِﺮ َج أُﱠﻣﺘَﻪ‬
ْ ‫َﺎل ﻛ‬َ ‫ِﻚ ﻗ‬ َ ‫ﱠﺎس ﱂَِ ﻓَـ َﻌ َﻞ ذَﻟ‬
ٍ ‫ِﻻﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
Artinya:”Rasūlullāh SAW. pernah men-jama’ shalat Zhuhur dan ‘Ahsar
serta Maghrib dengan Isya di Madinah, bukan karena dalam ketakutan
atau hujan. Lalu, ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas,’Kenapa Nabi
SAW. berbuat demikian ? Ujarnya,’Maksudnya adalah agar beliau tidak
menyulitkan umatnya” (H.R. Shahih Muslim no 1151 Kitab Shalat al-
Musafirin wa Qashriha).85

Jamak adalah menghimpun atau menggabungkan dua shalat fardhu


dikerjakan pada satu waktu. Contoh, shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar
dikerjakan pada waktu Zhuhur atau pada waktu ‘Ashar begitu juga
85
Poin-poin ini dapat dilihat pada Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, h. 217-220.

91
shalat Maghrib dan Isya dikerjakan pada waktu Maghrib atau pada
waktu Isya. Sedangkan subuh tersendiri tidak dihimpun.
Sementara itu, qashar adalah meringkaskan atau memendekkan shalat
yang empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat, sedangkan shalat
Maghrib dan Shbuh tidak bisa diringkaskan.

d. Shalat Dalam Berbagai Keadaan yang lain


1) Sakit. Shalat orang sakit dapat dilakukan dengan duduk ataupun
berbaring sebagaimana diatur dalam sebuah hadis Rasūlullāh SAW di
bawah ini:

‫َﲔ‬
ُ ْ ‫َﺎل َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ اﳊُْﺴ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﻋْﺒﺪَا ُن َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻋَ ْﻦ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ ﺑْ ِﻦ ﻃَ ْﻬﻤَﺎ َن ﻗ‬
‫َﺖ ِﰊ‬ ْ ‫َﺎل ﻛَﺎﻧ‬ َ ‫َﲔ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَْﻨﻪُ ﻗ‬ٍ ْ ‫ِﺐ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ﺑـَُﺮﻳْ َﺪةَ َﻋ ْﻦ ﻋِ ْﻤﺮَا َن ﺑْ ِﻦ ُﺣﺼ‬
ُ ‫اﻟْ ُﻤ ْﻜﺘ‬
‫ﺻ ﱢﻞ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓَِﺈ ْن‬
َ ‫َﺎل‬ َ ‫ﱠﻼةِ ﻓَـﻘ‬َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋ ْﻦ اﻟﺼ‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ْﺖ اﻟﻨِ ﱠ‬ ُ ‫َاﺳﲑُ ﻓَ َﺴﺄَﻟ‬
ِ ‫ﺑـَﻮ‬
‫ْﺐ‬ٍ ‫َﱂْ ﺗَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـﻘَﺎ ِﻋﺪًا ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﺗَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَﻰ َﺟﻨ‬

”Saya menderita penyakit Bawāsir (Ambiyen), maka saya


menanyakan kepada Nabi SAW. mengenai shalat. Lalu
sabdanya,’Shalatlah dengan berdiri jika tidak sanggup, duduklah dan
jika tidak sanggup, berbaringlah” (H.R. Shahih Bukhari no. 1050 Kitab
Jumat).
2) Terlupa tidak melaksanakan shalat. Ketika seseorang terlupa
mengerjakan shalat, maka hendaklah dikerjakan ketika ingat
sebagaimana hadis Rasūlullāh SAW di bawah ini:

‫ﱠﻼ ِة‬َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻧـ َْﻮَﻣ ُﻬ ْﻢ َﻋ ْﻦ اﻟﺼ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﺎل ذَ َﻛُﺮوا ﻟِﻠﻨِ ﱢ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﻗ‬
‫َﺴ َﻲ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ‬ ِ ‫ﻂ ِﰲ اﻟْﻴَـ َﻘﻈَِﺔ ﻓَِﺈذَا ﻧ‬ ُ ‫ﻂ إِﳕﱠَﺎ اﻟﺘﱠـ ْﻔﺮِﻳ‬
ٌ ‫ْﺲ ِﰲ اﻟﻨـﱠﻮِْم ﺗَـ ْﻔﺮِﻳ‬
َ ‫َﺎل إِﻧﱠﻪُ ﻟَﻴ‬َ ‫ﻓَـﻘ‬
‫ﺼﻠﱢﻬَﺎ‬َ ُ‫َﻼةً أ َْو ﻧَﺎ َم َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻓَـ ْﻠﻴ‬
َ‫ﺻ‬
”Mereka menceritakan kepada Nabi SAW. tentang mereka sewaktu
tertidur sehingga luput waktu shalat. Lalu, Nabi SAW.
bersabda,’Tidaklah tertidur itu dianggap lalai sebab yang dikatakan
lalai ialah disaat bangun (sadar), maka jika salah seorang di antaramu
lupa mengerjakan Shalat atau tertidur, hendaklah ia melaksanakannya
ketika ia ingat” (H.R. Sunan Tirmizi no. 162 Kitab Shalat).

92
3) Perang. Suasana perang tidak menyebabkan shalat ditinggalkan,
tetapi dikerjakan sebagaimana penuturan Al-Qur’an sūrah an-Nisā’
ayat 102;

           

            

          

         

          

         

            

           

“101. dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah


mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh
yang nyata bagimu.
102. dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu
shalatlahlah mereka denganmu[345]], dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”

Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini adalah shalat yang 4


rakaat dijadikan 2 rakaat dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4
menjadi 2 ketika bepergian dalam keadaan aman dengan

93
meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu atau dalam keadaan
khauf (takut) dengan meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam
keadaan khauf di waktu mūqim (di kampung sendiri). Tata caranya
dilakukan berjama’ah sebagaimana ayat di atas bila telah selesai
serakaat, maka diselesaikan satu rakaat lagi sendiri, dan Nabi duduk
menunggu golongan yang kedua. Pada rakaat yang pertama, sedang
rakaat yang kedua mereka selesaikan sendiri pula dan mereka
mengakhiri sembahyang mereka bersama-sama Nabi.
Cara shalat khauf seperti tersebut pada ayat 102 ini dilakukan dalam
Keadaan yang masih mungkin mengerjakannya, bila Keadaan tidak
memungkinkan untuk mengerjakannya, Maka sembahyang itu
dikerjakan sedapat-dapatnya, walaupun dengan mengucapkan tasbih
saja.
4) Di atas perahu. Suatu kasuistik berdasarkan hadis Rasūlullāh SAW di
bawah ini:

‫ﰲ اﻟ ﱠﺴ ِﻔْﻴـﻨَ ِﺔ ؟‬
ْ ِ ِ‫ﺼﻼَة‬
‫ﺻﻠَﻰ اﷲُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋ ِﻦ اﻟ ﱠ‬ َ ‫َﱯ‬
ُ ِ‫َﺎل ُﺳﺌِ َﻞ اﻟﻨ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ إﺑْ ُﻦ ﻋُ َﻤَﺮ ﻗ‬
‫ْق )رواﻩ ﻟﺪّارﻗﻄﲏ و اﳊﺎﻛﻢ ﻋﻠﻲ ﺷﺮط‬ َ ‫ََﺎف اْﻟﻐَﺮ‬
َ ‫ﺻ ﱢﻞ ﻓِْﻴـﻬَﺎ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ إﻻﱠ أ ْن ﲣ‬
َ ‫َﺎل‬َ‫ﻗ‬
(‫اﻟﺸﻴﺨﲔ‬
“Dari Ibn ‘Umar berkata,’Ditanya Nabi SAW tentang shalat di dalam
perahu ? Rasūlullāh bersabda,’Shalatlah di dalamnya berdiri kecuali
engkau takut tenggelam” (HR. Dāruquthnī dan al-Ḥākim dengan syarat
Bukhari dan Muslim).
Jika memungkinkan shalat dalam perahu dapat dilakukan dengan
berdiri, tetapi jika tidak dapat dilakukan dengan duduk. Begitu juga,
jika memungkinkan shalat di atas kenderaan lain dilakukan dengan
berdiri, tetapi jika tidak dapat dilakukan dengan duduk. Itupun, jika
memungkinkan sekali dilakukan.

3. Latihan
Buatlah videop pembelajaran tentang shalat dalam berbagai keadaan
(darurat)!
4. Evaluasi
a. Jelaskan konsep shalat qashar !
94
b. Jelaskan konsep shalat jama’ !
c. Dalam situasi apa shalat dapat dilakukan dalam berbagai keadaan !
5. Kunci Jawaban
a. Shalat qashar artinya shalat yang dipendekkan bilangan rakaatnya, yaitu:
Shalat fardhu yang empat rakaat dipendekkan menjadi dua rakaat.
Shalat fardhu yang boleh diqashar itu ialah Shalat Zhuhur, ‘Ashar, dan
Isya. Adapun Maghrib dan Shubuh tetap seperti biasa, tidak boleh di-
qashar.
b. Shalat jama’ artinya shalat yang dikumpulkan yaitu mengumpulkan dua
shalat yang dikerjakan pada satu waktu. Shalat yang boleh di-jama’ ialah
shalat Zhuhur dengan ‘Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya.
Kesemuanya itu jika dikerjakan pada waktu Zhuhur atau Maghrib disebut
jama’ taqdim. Kemudian, apabila shalat Zhuhur dengan ‘Ashar dikerjakan
pada waktu ‘Ashar atau shalat Maghrib dengan shalat Isya dikerjakan di
waktu Isya disebut dengan jama’ ta’khir.
c. Shalat dalam berbagai keadaan:
1) Perang
2) Musafir
3) Sakit
4) Sibuk
5) Lupa.
6) Di atas perahu.

I. Kegiatan pembelajaran ke-9


1. Tujuan Pembelajaran
a. Menjelaskan pengertian dan macam-macam puasa
b. Menjelaskan pengertian dan cara melaksanakan zakat.
2. Materi Pembelajaran
a. Puasa (Shiyām)
Puasa dalam Al-Qur’an dan al-Hadits disebut dengan kata al-shiyām
atau al-shawm, dan secara harfiah berarti ‫ﺸْﻴ ِﺊ‬
‫َﻒ َﻋ ِﻦ اﻟ ﱠ‬
‫َﺎك وَاﻟْﻜ ﱡ‬
ُ ‫( اَﻹْ ْﻣﺴ‬menahan

diri dari sesuatu).

95
Menurut istilah agama Islam puasa adalah “menahan diri dari makan,
minum, hubungan seksual dan segala yang membatalkan sejak dari
terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allāh.” Jadi,
intisari puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang
bersifat membatalkan puasa dengan niat karena Allāh SWT. Puasa
merupakan salah satu jenis ibadah maḥdhah dalam Islam.
Manusia dalam banyak hal perlu memiliki kemampuan untuk menahan
diri. Orang yang tidak mempunyai kemampuan menahan diri adalah
orang yang negatif. Puasa menumbuhkan kemampuan menahan diri dan
dengan demikian memperkokoh kepribadian. Dalam arti inilah puasa
yang merupakan sikap tidak berbuat itu, memiliki makna yang positif. 86
b. Dasar Hukum Puasa Ramadhān
Puasa Ramadhān merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima,
yang dilaksanakan selama bulan Ramadhān (bulan yang ke-9 dalam
penanggalan hijriah). Puasa tersebut wajib dikerjakan oleh setiap muslim
yang mukallaf, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allāh SWT:

          

           

             

              


“183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih

86
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tuntunan Ramadlan, (Yogyakarta: Penerbit Suara
Muhammadiyah, 2007), hlm. 2-3.

96
baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Baqarah/2: 183-184).

Sejak diwajibkan puasa sampai Rasūlullāh SAW wafat, beliau


melaksanakan sembilan kali Ramadhān, delapan kali dengan puasa 29
hari, dan satu kali puasa dengan 30 hari.
Hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar:

‫َﺎل‬
َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻋَﺎ ِﺻ ٌﻢ َوُﻫ َﻮ اﺑْ ُﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َزﻳْ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ﻋَْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ‬
ِ‫َْﺲ َﺷﻬَﺎ َدة‬
ٍ ‫ْﻼ ُم َﻋﻠَﻰ ﲬ‬ َ ‫اﻹﺳ‬
ِْ ‫ُﲏ‬َِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﻋْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬
‫ﱠﻼةِ َوإِﻳﺘَﺎ ِء اﻟﱠﺰﻛَﺎةِ َو َﺣ ﱢﺞ‬
َ ‫َﺎم اﻟﺼ‬ِ ‫أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َﻋْﺒ ُﺪﻩُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ َوإِﻗ‬
‫ْﺖ َوﺻَﻮِْم َرَﻣﻀَﺎ َن‬ ِ ‫اﻟْﺒَـﻴ‬
“Diriwayatkan dari ibn ‘Umar ia berkata, Rasūlullāh SAW bersabda: Islam
dibangun di atas lima dasar, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allāh; mendirikan shalat; menunaikan zakat; mengerjakan
haji; dan berpuasa pada bulan Ramadhān”87 (HR. Al-Baihaqi)

Hadis ini secara konkrit menjelaskan bahwa puasa Ramadhān itu wajib,
sama halnya dengan ibadah-ibadah lain yang wajib dikerjakan, seperti
shalat fardhu.
Sementara itu menurut ijmā’ seluruh kaum Muslimin telah bersepakat
dari dahulu sampai sekarang bahwa puasa Ramadhān adalah salah satu
rukun Islam yang lima dan wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang
mukallaf.88

c. Rukun dan Syarat Puasa


Umumnya ulama fikih berpendapat bahwa rukun puasa itu hanya satu,
yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak
terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari. Hal ini mereka
dasarkan pada Al-Qur’an Sūrah Al-Baqarah ayat 187 yang memang
hanya menunjuk hal tersebut.

87
Abi Bakr Ahmad ibn al-Husein ibn ‘Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M), hlm. 526. Kitab ash-Shalah, bab 1 ashlu fardhi ash-Shalah.
88
MTT PP Muhammadiyah, op.cit., hlm. 7.

97
Sementara itu para ulama Mazhab Syafi’i dan Maliki menambahkan satu
rukun lagi yaitu niat. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada niatnya. Dan tiap sesuatu itu akan
dibalas sesuai dengan niatnya.(HR. Bukhari-Muslim). Menurutnya,
kedudukan niat ini sama dengan niat dalam ibadah-ibadah mahdhah
lainnya. Jadi niat menurut pendapat ini menjadi salah satu rukun di
samping menahan diri tersebut.89
Adapun syarat puasa, ulama fikih biasanya membagi kepada dua, yakni
syarat wajib dan syarat sah puasa. Namun dalam prakteknya para ulama
berbeda pendapat tentang mana yang syarat wajib dan mana yang
syarat sah puasa. Dalam hal ini pembahasan dimulai dari syarat sah
puasa, yaitu:
1) Muslim
2) Mumayyiz (orang yang sudah berakal, sempurna) yaitu orang sudah
dewasa (bāligh) dan berakal (āqil)
3) Kuat berpuasa (qādir)

Adapun syarat sah puasa, di samping dua syarat di atas, yakni harus
beragama Islam dan tamyīz (bāligh dan berakal) masih ditambah dua
syarat sah lagi, yaitu:
1) Bagi wanita, harus suci dari haid, nifas ataupun wilādah.
2) Dikerjakan pada hari yang dibolehkan berpuasa.

Orang yang sudah terkena kewajiban puasa dalam arti sudah memenuhi
syarat-syarat puasa dan dia sengaja tidak berpuasa atau membatalkan
puasanya, tanpa ada halangan syar’i, maka dia berdosa besar. 90

d. Pelaksanaan Puasa
1) Menentukan awal dan akhir Ramadhān
Untuk menentukan awal dan akhir Ramadhān dapat dilakukan dengan
cara-cara berikut ini: Pertama, ruk’ah (ru’yah al-hilāl), yaitu melihat
dengan mata kepala atau menggunakan alat tertentu terhadap

89
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2011), hlm. 224.
90
Ibid., hlm 225-226.

98
wujudnya hilal (bulan sabit) awal bulan atau bulan baru. Hal ini
berdasarkan hadis:

(٣٤٤ / ٥) - ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬


‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬ َ ‫أَ ﱠن َﻋْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﻗ‬
‫ُﻮل إِذَا َرأَﻳْـﺘُﻤُﻮﻩُ ﻓَﺼُﻮُﻣﻮا َوإِذَا َرأَﻳْـﺘُﻤُﻮﻩُ ﻓَﺄَﻓْ ِﻄُﺮوا ﻓَِﺈ ْن ﻏُ ﱠﻢ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎﻗْ ِﺪ ُروا‬
ُ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬
ُ‫ﻟَﻪ‬
“Apabila kamu melihat hilāl (tanggal 1 Ramadhān) maka berpuasalah,
dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah, tetapi jika mendung
atau tertutup awan maka perkirakanlah”.91 (HR.Muslim)

Kedua, ḥisāb, yaitu menghitung posisi hilāl dengan bantuan ilmu falak,
hisāb atau astronomi. Hal ini berdasarkan firman Allāh dalam Sūrah
Yūnus ayat 5; Yāsin ayat 39-40) yang memberikan dorongan untuk
menggunakan ḥisāb.

         

            

  


“5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allāh tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

91
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1427 H/2006 M), hlm.482. Kitab Ash-
Shiyam, bab wujub shaum Ramadhan lirukyati al Ru’yat

99
         

            

 

“39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga


(setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia
sebagai bentuk tandan yang tua 40. tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan
masing-masing beredar pada garis edarnya. Maksudnya: bulan-bulan
itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah
menempati manzilah-manzilah, Dia menjadi purnama, kemudian pada
manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung”.

2) Niat berpuasa
Semua ibadah termasuk berpuasa harus dilakukan dengan niat. Dasar
keharusan niat untuk sahnya puasa adalah:

(٣٠٤ / ٢) - ‫ م‬- ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫ ﺻﻠﻰ اﷲ‬- ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ أَ ﱠن َرﺳ‬-‫ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﱠﱮ‬ ‫ْج اﻟﻨِ ﱢ‬
ِ ‫ﺼﺔَ زَو‬
َ ‫َﻋ ْﻦ َﺣ ْﻔ‬
« ُ‫ﺼﻴَﺎ َم ﻗَـْﺒ َﻞ اﻟْ َﻔ ْﺠ ِﺮ ﻓَﻼَ ِﺻﻴَﺎ َم ﻟَﻪ‬
‫َﺎل » َﻣ ْﻦ َﱂْ ُْﳚ ِﻤ ِﻊ اﻟ ﱢ‬
َ ‫ ﻗ‬-‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬

“Barang siapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak sah
puasanya” (HR. Abu Dawud)92.

3) Makan sahur
Disunnahkan pula dalam melakukan puasa ini adalah dengan makan
sahur, yakni makan pada waktu sesudah tengah malam dan
disunnahkan untuk mengakhirkan sahur. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasūlullāh SAW:

92
Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
t.th), hlm.430. Kitab ash-Shiyam, bab 71 bab an-Niyah fi ash-Shiyam

100
‫ْﺐ َﻋـ ْﻦ‬
ٍ ‫ﺻـ َﻬﻴ‬ُ ‫َﲪَـ ُﺪ ﺑْـ ُﻦ َﻋْﺒـ َﺪةَ أَﻧْـﺒَﺄَﻧَــﺎ َﲪﱠــﺎ ُد ﺑْـ ُﻦ َزﻳْـ ٍﺪ َﻋـ ْﻦ َﻋْﺒـ ِﺪ اﻟْ َﻌ ِﺰﻳـ ِﺰ ﺑْـ ِﻦ‬ ْ ‫َﺣـ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أ‬
‫ﺻـﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠـﻪُ َﻋﻠَْﻴـ ِﻪ َوﺳَـﻠﱠ َﻢ ﺗَﺴَـ ﱠﺤُﺮوا ﻓَـِﺈ ﱠن ِﰲ‬ َ ‫ـﻮل اﻟﻠﱠـ ِﻪ‬ ُ ‫ـﺎل َر ُﺳ‬ َ َ‫ـﺎل ﻗ‬ َ َ‫ـﻚ ﻗ‬ٍ ِ‫ـﺲ ﺑْـ ِﻦ ﻣَﺎﻟ‬ ِ َ‫أَﻧ‬
ً‫اﻟ ﱡﺴﺤُﻮِر ﺑـََﺮَﻛﺔ‬
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. ia berkata Nabi
SAW bersabda, “Makan sahurlah kamu karena dalam
93
sahur itu terdapat berkah” (HR. Abu Dawud).

Sahur itu terdiri dari makanan apa saja yang baik


walaupun hanya sebiji kurma dan paling kurang seteguk
air. Meskipun bukan sesuatu yang wajib, namun Nabi
SAW sangat menganjurkan makan sahur itu dan jangan
ditinggalkan. Nabi SAW menyatakan bahwa sahur itu
adalah sesuatu yang penuh berkah, dan Allāh memberi
shalawat kepada orang yang makan sahur.
4) Meninggalkan hal yang membatalkan puasa
Dalam menjalankan puasa, ada hal-hal yang menyebabkan puasa
seseorang itu menjadi batal, yaitu:
a) Makan dan Minum dengan sengaja
Makan dan minum dengan sengaja pada siang hari menyebabkan
batalnya puasa, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

           

          

           

          

           

93
Ibid., hlm. 296. Kitab ash-Shiyam bab 22 (Ma Ja’a fi as-Sahur)

101
           

   


187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allāh
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allāh mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allāh untukmu, dan Makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115]
dalam mesjid. Itulah larangan Allāh, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allāh menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2:
187)

Kemudian, hadis Nabi SAW:

(٢٠١ / ٣) - ‫ ﻣﻜﻨﺰ‬- ‫ﺳﻨﻦ اﻟﱰﻣﺬى‬


َ‫ » ﻻ‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫َب ﻗ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﲰََُﺮةَ ﺑْ ِﻦ ُﺟْﻨﺪ‬
‫ﳝَْﻨَـ َﻌﻨﱠ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُﺳﺤُﻮِرُﻛ ْﻢ أَذَا ُن ﺑِﻼ ٍَل َوﻻَ اﻟْ َﻔ ْﺠُﺮ اﻟْ ُﻤ ْﺴﺘَﻄِﻴﻞُ َوﻟَ ِﻜ ِﻦ اﻟْ َﻔ ْﺠُﺮ‬
.« ‫اﻟْ ُﻤ ْﺴﺘَ ِﻄﲑُ ِﰱ اﻷُﻓ ُِﻖ‬

“Diriwayatkan dari Samurah ibnu Jundab ia berkata: Rasūlullāh


SAW bersabda,” Janganlah sekali-kali mencegah kamu dari
sahurmu adzan Bilal dan fajar yang memanjang, akan tetapi fajar
yang menyingsing di ufuk (fajar shadiq)” (HR. Tirmidzi). 94

b) Muntah dengan sengaja


Muntah yang disengaja membatalkan puasa, sedangkan muntah
yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa. Begitu pula orang
yang berusaha untuk muntah, kemudian ia muntah, batal
puasanya. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi SAW:

94
Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsawrah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tth),
hlm. 176. Kitab ash-Shiyam, bab 15 ma ja’a fi bayani al-fajr.

102
(١٨٦ / ٥) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
‫َﻲءُ ﻓ ََﻼ‬
ْ ‫َﺎل َﻣ ْﻦ ذَ َر َﻋﻪُ اﻟْﻘ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻋَ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ُ‫ﻗَﻀَﺎءَ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ ا ْﺳﺘَـﻘَﺎءَ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ اﻟْ َﻘﻀَﺎء‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa muntah tidak disengaja, maka tidak wajib qadha
atasnya, dan barangsiapa dengan sengaja muntah hendaklah ia
mengqadha” (HR. Ibnu Majah).95
c) Hubungan antara Suami-Istri (Jimā’)
Apabila antara suami istri sengaja melakukan hubungan intim pada
siang hari di bulan Ramadhān, maka batal puasanya dan ia wajib
mengqadha dan membayar kafarrat, sebagaimana dipahami dari
dalil berikut ini:

           

          

           

          

           

           

   


“Dihalalkanbagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allāh mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allāh
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allāh
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allāh,
95
Abi Yazid al-Qazwini (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tth), hlm. 294.
Kitab ash-Shiyam, bab 16 Ma Ja’a fi ash-Shaimi yaqayi’

103
Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allāh
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.(QS. Al-Baqarah 2: 187).

ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫س ِﻋْﻨ َﺪ اﻟﻨِ ﱢ‬ ٌ ‫َﺎل ﺑـَْﻴـﻨَﻤَﺎ َْﳓ ُﻦ ُﺟﻠُﻮ‬ َ ‫أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬
‫َﺎل‬
َ ‫َﻚ ﻗ‬ َ ‫َﺎل ﻣَﺎ ﻟ‬ َ ‫ْﺖ ﻗ‬ ُ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َﻫﻠَﻜ‬ َ ‫َﺎل ﻳَﺎ َرﺳ‬ َ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِ ْذ ﺟَﺎءَﻩُ َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَـﻘ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻫ ْﻞ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ ا ْﻣَﺮأَِﰐ َوأَﻧَﺎ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ﻓَـﻘ‬ ُ ‫َوﻗَـﻌ‬
‫َﺎل‬
َ ‫َﲔ ﻗ‬ ِ ْ ‫َﺎل ﻓَـ َﻬ ْﻞ ﺗَ ْﺴﺘَﻄِﻴ ُﻊ أَ ْن ﺗَﺼُﻮَم َﺷ ْﻬَﺮﻳْ ِﻦ ُﻣﺘَﺘَﺎﺑِﻌ‬َ ‫َﺎل َﻻ ﻗ‬ َ ‫َِﲡ ُﺪ َرﻗَـﺒَﺔً ﺗـُ ْﻌﺘِ ُﻘﻬَﺎ ﻗ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﺚ اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫َﺎل ﻓَ َﻤﻜ‬ َ ‫َﺎل َﻻ ﻗ‬ َ ‫ﲔ ِﻣ ْﺴﻜِﻴﻨًﺎ ﻗ‬ َ ‫َﺎل ﻓَـ َﻬ ْﻞ َِﲡ ُﺪ إِﻃْﻌَﺎ َم ِﺳﺘﱢ‬ َ ‫َﻻ ﻓَـﻘ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑِ َﻌﺮٍَق‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ِﻚ أُِﰐَ اﻟﻨِ ﱡ‬َ ‫اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﺒَـْﻴـﻨَﺎ ﳓَْ ُﻦ َﻋﻠَﻰ ذَﻟ‬
‫ﱠق ﺑِِﻪ‬ ْ ‫ﺼﺪ‬ َ َ‫َﺎل ُﺧ ْﺬﻫَﺎ ﻓَـﺘ‬ َ ‫َﺎل أَﻧَﺎ ﻗ‬َ ‫َﺎل أَﻳْ َﻦ اﻟﺴﱠﺎﺋِ ُﻞ ﻓَـﻘ‬َ ‫َق اﻟْ ِﻤ ْﻜﺘَ ُﻞ ﻗ‬
ُ ‫ﻓِﻴﻬَﺎ ﲤٌَْﺮ وَاﻟْ َﻌﺮ‬
‫َﲔ َﻻﺑـَﺘَـْﻴـﻬَﺎ ﻳُﺮِﻳ ُﺪ‬ َ ْ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـﻮَاﻟﻠﱠ ِﻪ ﻣَﺎ ﺑـ‬
َ ‫ِﲏ ﻳَﺎ َرﺳ‬ ‫َﺎل اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ أَ َﻋﻠَﻰ أَﻓْـ َﻘَﺮ ﻣ ﱢ‬ َ ‫ﻓَـﻘ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫ﱠﱯ‬‫ﻚ اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫َﺤ‬ ِ ‫ْﻞ ﺑـَﻴ ِْﱵ ﻓَﻀ‬
ِ ‫ْﺖ أَﻓْـ َﻘُﺮ ِﻣ ْﻦ أَﻫ‬
ٍ ‫َﲔ أَ ْﻫﻞُ ﺑـَﻴ‬ ِ ْ ‫اﳊَْﱠﺮﺗـ‬
‫َﻚ‬
َ ‫َﺎل أَﻃْﻌِ ْﻤﻪُ أَ ْﻫﻠ‬
َ ‫َت أَﻧْـﻴَﺎﺑُﻪُ ﰒُﱠ ﻗ‬ ْ ‫َﱴ ﺑَﺪ‬ ‫ﺣﱠ‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Ketika kami sedang
duduk di hadapan Nabi SAW tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang katanya: Wahai Rasūlullāh, celakalah aku! Sahut beliau:
“Mengapa engkau?” Katanya: “Saya mengumpuli istriku dalam
Ramadhān ini sedang saya berpuasa.” Maka sabda Rasūlullāh
SAW, “Adakah padamu budak sahaya yang dapat engkau
merdekakan?” Jawabnya, “Tidak”. Nabi berkata, “Dapatkah engkau
berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak”. Nabi
berkata, “Dapatkah engkau memberi makan 60 orang fakir miskin?”
Jawabnya, “Tidak.” Berkata Abu Hurairah, bahwa laki-laki itu tetap
diam di hadapan Nabi SAW. Maka saat kami seperti itu, kebetulan
ada yang memberi sekeranjang kurma kepada Nabi keranjang itu
takaran – lalu Nabi SAW bertanya, “Dimanakah penanya tadi?”
Orang itu menyahut, “Sayalah”. Maka sabda beliau, “Ambilah ini
dan sedekahkanlah!”. Kata orang itu, “Apakah saya sedekahkan
kepada orang yang lebih miskin dari saya, hai Rasūlullāh?” Demi
Allāh tidak ada di antara kedua benteng (kedua bukit hitam) kota
Madinah ini, keluarga yang lebih miskin dari keluarga saya.” Maka
tertawalah Nabi SAW hingga nampak gigi taringnya, kemudian
bersabda, “Berikanlah makanan itu kepada keluargamu” (HR.
Baihaqi).96

96
Al-Baihaqi, op.cit., hlm. 378. Kitab ash-Shiyam, bab 32.

104
Jika terjadi hubungan suami istri pada siang hari di bulan
Ramadhān, maka telah membatalkan puasa dan wajib membayar
kaffārat.
d) Keluar darah haidh dan Nifas. Apabila seorang perempuan
mengalami haidh atau nifas, maka batallah puasanya dan selama
masa haidh dan nifas itu haram berpuasa. Hal ini sesuai dengan
Hadis Nabi SAW:

‫ﺼ ْﻢ‬
ُ َ‫ﺼ ﱢﻞ َوَﱂْ ﺗ‬
َ ُ‫َﺖ َﱂْ ﺗ‬
ْ ‫ْﺲ إِذَا ﺣَﺎﺿ‬
َ ‫… أَﻟَﻴ‬..‫َﺎل‬
َ‫يﻗ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُْ ْﺪ ِر ﱢ‬
….. ‫ﻗُـ ْﻠ َﻦ ﺑَـﻠَﻰ‬
“Rasūlullāh SAW bersabda, “Bukankah wanita itu bila sedang
kedatangan haidh, tidak shalat dan tidak puasa? Jawab mereka, Ya
demikianlah” (HR.Bukhari).97

5) Segera berbuka puasa ketika Maghrib.


Puasa dimulai sejak terbit fajar dan berlangsung hingga matahari
terbenam. Pada saat matahari terbenam orang dituntunkan supaya
segera berbuka dan tidak memperlambatnya dengan alasan, misalnya
ingin mendapatkan lebih banyak pahala. Justru pahala lebih banyak
apabila berbuka itu disegerakan sesuai dengan sunnah Rasūlullāh
SAW.
6) Do’a Berbuka Puasa
Dalam berbuka puasa disunnahkan kita memulainya dengan
membaca basmalah kemudian segera berbuka dengan membaca do’a
buka puasa sebagai tertera dalam Hadis berikut:

(٣٠٨ / ٦) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫ﺾ َﻋﻠَﻰ ﳊِْﻴَﺘِ ِﻪ‬ ُ ِ‫ْﺖ اﺑْ َﻦ ﻋُ َﻤَﺮ ﻳـَ ْﻘﺒ‬
ُ ‫َﺎل َرأَﻳ‬
َ ‫َﺎﱂ اﻟْ ُﻤ َﻘ ﱠﻔ َﻊ ﻗ‬
ٍِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻣَﺮْوَا ُن ﻳـَﻌ ِْﲏ اﺑْ َﻦ ﺳ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠِﻪ‬
ُ ‫َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ َ ‫َﻒ َوﻗ‬ ‫ﻓَـﻴَـ ْﻘﻄَ ُﻊ ﻣَﺎ زَا َد َﻋﻠَﻰ اﻟْﻜ ﱢ‬
ُ‫َﺖ ْاﻷَ ْﺟُﺮ إِ ْن ﺷَﺎءَ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ُوق َوﺛـَﺒ‬
ُ ‫ﱠﺖ اﻟْﻌُﺮ‬ ْ ‫َﺐ اﻟﻈﱠ َﻤﺄُ وَاﺑْـﺘَـﻠ‬
َ ‫َﺎل ذَﻫ‬
َ ‫أَﻓْﻄََﺮ ﻗ‬

97
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 115. Kitab al-Haidh, bab 6.

105
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ia berkata, Adalah Rasūlullāh SAW
apabila berbuka puasa ia mengucapkan: Dzahaba al-zhama’u
wabtallat al-‘urūqu wa tsabata al-‘ajru insyā Allāh (Semoga haus
hilang, telah basah urat-urat kerongkongan dan telah ditetapkan
pahala, insya Allāh” (HR.Abu Daud).98
Hadis ini dinyatakan sebagai hadis maqbūl (hadis ḥasan) oleh
Nashiruddin al-Albani dan Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya
menilai shaḥīḥ sesuai syarat Bukhari-Muslim. Artinya, do’a yang
terdapat dalam hadis ini layak untuk diamalkan oleh umat Islam.
Sedangkan dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud juga
ada disebutkan lafaz do’a berbuka puasa sebagaimana yang tertera
dalam hadis berikut:

(٣٠٩ / ٦) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن إِذَا أَﻓْﻄََﺮ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫َﻋ ْﻦ ُﻣﻌَﺎ ِذ ﺑْ ِﻦ ُزْﻫَﺮةَ أَﻧﱠﻪُ ﺑـَﻠَﻐَﻪُ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫ْت‬
ُ ‫ِﻚ أَﻓْﻄَﺮ‬
َ ‫ْﺖ َو َﻋﻠَﻰ رِْزﻗ‬ ُ ‫ﺻﻤ‬ ُ ‫َﻚ‬ َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻟ‬

“Diriwayatkan dari Mu’ādz bin Zhuhrah bahwasannya Nabi SAW


apabila berbuka puasa ia membaca do’a, “Allāhumma laka shumtu wa
‘alā rizqika afthartu” (HR. Abu Daud).99
Sayangnya, hadis ini berkualitas dhaīf karena Muadz bin Zuhrah
sebagai perawi terakhir dalam hadis ini ternyata bukanlah shaḥābat,
melainkan seorang tābi’īn yaitu generasi sesudah sahabat yang
hidupnya tidak sezaman dengan Rasūlullāh SAW. Dia tidak pernah
berjumpa dengan Rasūlullāh SAW. Oleh karena itu doa dalam hadis
ini tidak kita amalkan.
7) Amalan Utama di Bulan Ramadhān
Beriring dengan ibadah puasa Ramadhān, ada beberapa amalan yang
sangat dianjurkan di dalamnya, yaitu:
a) Memperbanyak sedekah
Hal ini didasarkan pada Hadis Rasūlullāh SAW:

98
Abi Dawud, op.cit., hlm. 413-414. Kitab ash-Shiyam, bab 22 al-Qaul ‘inda al-Ifthar.
99
Ibid.

106
(٧ / ١) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬
‫ﱠﺎس‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﺟ َﻮَد اﻟﻨ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل ﻛَﺎ َن َرﺳ‬ َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
‫ﲔ ﻳـَ ْﻠﻘَﺎﻩُ ِﺟﱪِْﻳ ُﻞ َوﻛَﺎ َن ﻳـَ ْﻠﻘَﺎﻩُ ِﰲ ُﻛ ﱢﻞ‬ َ ‫َوﻛَﺎ َن أَ ْﺟ َﻮُد ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮ ُن ِﰲ َرَﻣﻀَﺎ َن ِﺣ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﺟ َﻮد‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫ﻟَْﻴـﻠَ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ َرَﻣﻀَﺎ َن ﻓَـﻴُﺪَا ِر ُﺳﻪُ اﻟْﻘُﺮْآ َن ﻓَـﻠََﺮﺳ‬
‫ﱢﻳﺢ اﻟْﻤُْﺮ َﺳﻠَ ِﺔ‬
ِ ‫َْﲑ ِﻣ ْﻦ اﻟﺮ‬
ِْ ‫ﺑِﺎﳋ‬
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās ia berkata: Rasūlullāh SAW adalah
orang yang paling dermawan (pemurah) dan kepemurahan itu
sangat menonjol pada bulan Ramadhān ketika malaikat Jibril
menemuinya. Adalah malaikat Jibrīl menemuinya pada tiap malam
selama Ramadhān, lalu mengajaknya mendaras Al-Qur’an.
Sungguh Rasūlullāh SAW ketika ditemui oleh Jibrīl lebih dermawan
atas hartanya daripada angin yang berhembus” (HR.Bukhari). 100

Makna “Lebih dermawan dari angin yang berhembus” adalah


kecepatan (kesegeraan) Rasūlullāh SAW dalam memberikan
pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Siapa saja yang
datang kepada Rasūlullāh SAW pasti akan dibantu oleh beliau
tanpa pilih kasih dan pandang bulu.
b) Tadarrus
Al-Qu’ran adalah sumber dari segala sumber petunjuk bagi umat
manusia (tidak hanya bagi umat Islam). Hanya saja untuk
mendapat petunjuk tidak ada jalan lain kecuali membacanya. Bulan
Ramadhān yang merupakan bulan diturunkannya Al-Qur’an,
haruslah dioptimalkan untuk membacanya (tadarrus). Situasi dan
kondisi Ramadhān yang tenang dan khidmat cukup memberikan
jaminan bagi setiap muslim yang membaca untuk memperoleh
hidayah Allāh.

c) Qiyām al-Lail (shalat Tarawih)


Di malam-malam Ramadhān umat Islam dituntunkan untuk
melaksanakan qiyām Ramadhān (qiyām al-Lail) sesuai dengan
Hadis Nabi SAW:

100
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 15-16. Kitab Bad’u Wahyi, bab 5 kana ajwadu ma yakunu fi Ramadhan.

107
‫َﺎل َﻣ ْﻦ ﻗَﺎ َم َرَﻣﻀَﺎ َن‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫إِﳝَﺎﻧًﺎ وَا ْﺣﺘِﺴَﺎﺑًﺎ ﻏُ ِﻔَﺮ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَـ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْﻦ ذَﻧْﺒِ ِﻪ‬

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, bahwasanya


Rasūlullāh SAW bersabda, “Barangsiapa yang berjaga (melakukan
qiyam) di bulan Ramadhān karena iman dan mengharap pahala,
akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari).101

8) Macam-macam Puasa
a) Puasa Wajib (Fardhu)
 Puasa Ramadhān (QS. al-Baqarah/2: 183)
 Puasa Qadha, mengganti puasa Ramadhān yang ditinggalkan.
(QS. al-Baqarah/2: 184).
 Puasa Nadzar, yaitu puasa yang dikerjakan karena nadzar untuk
mendekatkan diri kepada Allāh. Apabila puasa itu dinadzarkan
maka wajiblah hukumnya.
 Puasa Kaffārat, yaitu sebagai akibat pelanggaran-pelanggaran
tertentu seperti:
 Sumpah palsu 3 hari
 Melakukan hubungan seks pada siang hari di bulan
Ramadhān
 Melakukan zhihār (mengharamkkan istri dan mempersamakan
istri dengan ibu sendiri) masing-masing puasa 60 hari terus-
menerus.
 Puasa Fidyah, yaitu pengganti dari kewajiban membayar dam
karena melanggar peraturan ibadah haji, yaitu pada 3 hari di
kota suci dan 7 hari lagi di negeri sendiri. (Sesuai dengan
firman Allāh QS. al-Baqarah/2:196).
b) Puasa Sunnah atau Tathawwu’
 Pengertian Puasa Tathawwu’

101
At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 198. Kitab ash-Shiyam, bab 83 Targhib fi qiyami ramadhan

108
Pengertian puasa tathawwu’ (sunat) tidak dapat dipisahkan
dengan pengertian sunnat dalam pengertian fikih sehingga
puasa sunnat dapat dipahami sebagai suatu puasa yang
merupakan anjuran dari syari’at Islam. Apabila dijalankan
pelakunya akan memperoleh pahala dan apabila dijalankan
tidak terkena beban hukum.
 Macam-macam puasa sunnat
 Puasa 3 hari pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 bulan
Qamariah (puasa di hari putih/ Ayyām al-Baidh).
 Puasa Senin-Kamis
 Puasa Arafah (9 Dzulhijjah)
 Puasa 6 hari di bulan Syawal
 Puasa Asyura (10 Muharram)
 Puasa Nabi Daud (melakukan puasa selang).

e. Zakat
Menurut lisān al-‘Arab, zakat (al-zakāh) ditinjau dari sudut bahasa
adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji; semua digunakan dalam Al-
Qur’an dan al-Hadits. Makna tumbuh dan suci ini tidak hanya
diasumsikan pada harta kekayaan, lebih dari itu juga untuk jiwa orang
yang menzakatkannya. Firman Allāh SWT:

           

      


"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
dan Allāh Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Q.S. At-Taubah
(9):103)

Zakat itu ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan
memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada

109
orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syariat
Islam.102

f. Macam-Macam Zakat
Zakat termasuk kategori ibadah (seperti shalat, haji dan puasa) yang
telah diatur berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadis. Hal ini sekaligus
merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Secara
umum zakat terbagi menjadi dua macam:
1) Zakat Nafs (jiwa) juga disebut zakat fitri
Zakat diwajibkan seusai bulan Ramadhān sebelum shalat ‘Īd
sebanyak satu sha’ (lebih kurang 2,5 kg dari bahan makanan untuk
membersihkan puasa dan mencukupi kebutuhan orang-orang miskin
di hari raya idul Fitri. Hadis Nabi SAW:

(٣٧٠ / ٥) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


ُ‫ﻀ ٍﻢ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِﲰَْﺎﻋِﻴﻞ‬ َ ‫َْﲕ ﺑْ ُﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ اﻟ ﱠﺴ َﻜ ِﻦ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﺟ ْﻬ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﳛ‬
‫َﺎل‬
َ ‫ﺑْ ُﻦ َﺟ ْﻌ َﻔ ٍﺮ َﻋ ْﻦ ﻋُ َﻤَﺮ ﺑْ ِﻦ ﻧَﺎﻓِ ٍﻊ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ ﻗ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َزﻛَﺎةَ اﻟْ ِﻔﻄْ ِﺮ ﺻَﺎﻋًﺎ ِﻣ ْﻦ ﲤٍَْﺮ أ َْو ﺻَﺎﻋًﺎ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َض َرﺳ‬ َ ‫ﻓَـﺮ‬
‫ﲔ‬َ ‫ﺼﻐِ ِﲑ وَاﻟْ َﻜﺒِ ِﲑ ِﻣ ْﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ‬
‫َاﻷُﻧْـﺜَﻰ وَاﻟ ﱠ‬
ْ ‫ِﻣ ْﻦ َﺷﻌِ ٍﲑ َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ وَاﳊُْﱢﺮ وَاﻟ ﱠﺬ َﻛ ِﺮ و‬
ِ‫ﱠﻼة‬َ ‫ﱠﺎس إ َِﱃ اﻟﺼ‬ِ ‫ُوج اﻟﻨ‬ ِ ‫َوأََﻣَﺮ َِﺎ أَ ْن ﺗـُ َﺆﱠدى ﻗَـْﺒ َﻞ ُﺧﺮ‬

Dari Ibnu Umar r.a.: Rasūlullāh SAW telah mewajibkan zakat fitri satu
sha’ dari kurma atau gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki dan
perempuan, anak kecil dan orang tua dari seluruh kaum muslimin.
Dan beliau perintahkan supaya dikeluarkan sebelum manusia keluar
untuk shalat ‘Id” (HR. Bukhari).103
2) Zakat Māl (harta) baik hasil usaha atau hasil bumi.

102
Dewan Syariah LAZIZ Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, (Yogyakarta: Penerbit Suara
Muhammadiyah, 2004), hlm.1-2.
103
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (al-Qahirah: al-Matba’ah as-Salafiyah, tth), Kitab Zakat, bab 70,
hlm. 466.

110
Zakat yang dikenakan atas harta (mᾹl) yang dimiliki oleh seorang atau
lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.104 Firman Allāh SWT:

          

           

        

“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allāh)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allāh Maha
Kaya lagi Maha Terpuji”(QS. Al-Baqarah/2:267).

g. Syarat-syarat Wajib Zakat


Zakat sebagai kewajiban, sesungguhnya sudah ditetapkan oleh Allāh
SWT sebelum hijrahnya Nabi SAW. Hanya saja jenis dan ukuran harta
yang wajib dizakatkan belum ditetapkan pada saat itu. Hal tersebut baru
ditetapkan setelah peristiwa hijrah. Itu pun penyalurannya terbatas pada
fakir miskin saja, karena Sūrah at-Taubah ayat 60 tentang 8 golongan
lmustahik (yang berhak menerima zakat) baru turun pada tahun ke-9
Hijriah.
Para ahli fikih menetapkan bahwa zakat diwajibkan kepada seseorang
apabila telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat, yaitu:
1) Muslim. Seorang yang beragama Islam wajib membayar zakat,
sebagai konsekwensi dari persaksiannya (syahadat) kepada Allāh dan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Bahkan zakat
termasuk urutan ketiga dalam rukun Islam setelah syahadat dan
shalat. Adapun bagi non Muslim tidaklah diwajibkan berzakat karena
di samping status zakat sama dengan rukun Islam yang lain, juga
karena memang tidak ada kewajiban dalam ajaran agama mereka.
Meskipun demikian, jika mereka berada dalam wilayah pemerintahan

104
Dewan Syariah LAZIZ Muhammadiyah, op.cit., hlm. 12.

111
Islam maka mereka diharuskan membayar jizyah (upeti). (QS. Al-
Tawbah/9: 29).
2) Merdeka. Pada hakikatnya seorang hamba sahaya yang belum
merdeka, tidaklah memiliki apa-apa. Mereka sepenuhnya adalah milik
majikannya. Karena tidak memiliki apa-apa, maka tdak ada kewajiban
bagi mereka membayar zakat.
3) Harta itu mencapai nishab. Nishab adalah jumlah atau berat minimal
yang harus dimiliki oleh harta tersebut untuk dikeluarkan zakatnya.
4) Harta itu sampai haul. Haul adalah masa satu tahun bagi emas, perak,
ternak, harta perniagaan, untuk dikeluarkan zakatnya. Sedangkan
pembayaran zakat untuk tanaman tidak menggunakan perhitungan
satu tahun tetapi pada setiap kali panen. (QS. Al-An’am/6: 141)
5) Harta itu adalah miliknya secara penuh/sempurna. Maksud secara
penuh atau sempurna disini adalah harta tersebut bukanlah harta
pinjaman/kredit dan bukan pula harta hasil kejahatan. Harta pinjaman
sesungguhnya bukanlah hak milik kita secara penuh, sedangkan harta
hasil kejahatan jugalah bukan harta kita yang sesungguhnya, tetapi
harta milik orang orang atau instansi lain yang dipaksakan masuk ke
dalam milik kita.105

h. Golongan Yang Berhak Menerima Zakat


Ada delapan golongan (ashnāf) yang berhak menerima harta zakat. Hal
ini didasarkan pada firman Allāh SWT, dalam Sūrah al-Taubah ayat 60 :

        

            

   

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,

105
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2011), hlm. 199-200.

112
untuk jalan Allāh dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allāh, dan Allāh Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.At-Taubah/9:60).

Berdasarkan ayat di atas maka delapan golongan yang berhak


menerima zakat (mustaḥīq) sebagai berikut:
1) Faqīr, adalah orang yang melarat hidupnya karena ketiadaan sarana
(harta) dan prasarana (tenaga) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2) Miskīn, adalah orang yang serba kekurangan, tidak pernah tercukupi
kebutuhan hidupnya, meskipun sudah berusaha secara maksimal.
3) ‘Ᾱmil, adalah pengurus atau pengelola zakat yang mengumpulkan dan
mendistribusikan harta zakat kepada para mustahiq.
4) Mu’allaf, adalah orang yang terbujuk hatinya masuk Islam atau orang
yang punya potensi untuk memeluk agama Islam.
5) Riqāb, adalah budak atau tawanan perang dalam rangka
membebaskan mereka dari perbudakan atau penawanan.
6) Gharīm, adalah orang yang terlilit hutang dan dia tidak bisa melunasi
hutangnya kecuali dengan bantuan orang lain. Hutang itu muncul
karena usaha atau kegiatan halal yang kemudian karena salah
perhitungan dia kemudian menjadi bangkrut dan menjadi banyak
hutang. Tidak ada zakat bagi orang yang terlilit hutang akibat kegiatan
maksiat, berjudi dan semacamnya.
7) Sabīlillāh, adalah jihād dan dakwah Islam, baik secara individu
(perorangan) maupun secara kolektif (dalam bentuk lembaga atau
organisasi dakwah).
8) Ibn Sabīl, adalah musafir yang kehabisan bekal untuk melanjutkan
perjalanannya.

i. Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat


Ada beberapa golongan orang yang tidak berhak menerima zakat.
Golongan tersebut adalah:
1) Orang kaya
2) Anak kecil yang dianggap kaya yang disebabkan orangtuanya kaya
3) Orang kuat yang mampu bekerja

113
4) Orang kafir, murtad dan orang-orang yang memerangi Islam.
5) Isteri
6) Kedua orangtua
7) Keluarga Nabi Muhammad SAW.106
Tabel Zakat Harta
No Jenis Harta Nishabnya Haulnya Hasil/Persentase
Benda Zakatnya
1 Emas (murni) 85 gram Setahun 2,5 %
2 Perak (murni) 595 gram Setahun 2,5 %
3 Hasil 653 gram Waktu Panen 5% dgn teknologi
Pertanian/Perke 10% Non-
bunan (beras, Teknologi
gandum, kurma
dan anggur)
4 Barang 85 gram emas Setahun 2,5 %
Perdagangan
5 Hasil Tambang - - 20%
85 gram emas Setahun (Hanafi/Maliki)
2,5%
(Syafi’i/Hnbl)
6 Barang Temuan Tanpa Nishab Waktu 20%
ditemukan
7 Binatang
Ternak:
a. Unta 5 ekor Setahun 1 ekor kambing
biasa umur 1
tahun keatas
(selanjutnya
tinggal dikalikan)
36-45 ekor Setahun 1 ekor unta umur
2 th (selanjutnya
tinggal dikalikan)
46-60 ekor Setahun 1 ekor unta betina
umur3 th lebih
61-75 ekor Setahun 1 ekor unta betina
umur 4 th lebih
76-90 ekor Setahun 2 ekor unta umur
2 th
91-120 ekor Setahun 2 ekor unta umur
3 th
b. Sapi/Kerbau 30-39 ekor Setahun 1 sp/krb umur 1
th
40-59 ekor Setahun 1 sp/krb umur2 th
60-69 ekor Setahun 2 sp/krb umur 1

106
Najmuddin Zuhdi dan Elvi Na’imah, Studi Islam 2, (Surakarta: LPID UMS, 2010), hlm. 83.

114
th
c. Kambing 121-200 ekor Setahun 2 Kambing betina
umur 1th, atau
jika jantan umur
2 th

j. Zakat Penghasilan (Profesi)


Dasar untuk zakat penghasilan atau sebagian menyebutnya sebagai
zakat profesi adalah berdasarkan QS. Al-Baqarah/2:267 :

           

           

       


“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allāh) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allāh Maha Kaya lagi Maha
Terpuji”. (QS. al-Baqarah/2:267)

Zakat ini dikiaskan pada zakat perniagaan, oleh karena adanya


kesamaan pada sisi jual-belinya, yakni yang satu memperdagangkan
barang sedang yang lain memperdagangkan jasa. Dengan demikian,
besar zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % yang diambil dari
kelebihan (sisa) harta setelah dikurangi pengeluaran pokok selama 1
tahun.
Pengambilan harta zakat dari kelebihan harta selama setahun ini
didasarkan pada firman Allāh dalam QS. al-Baqarah/2:219:

           

           

      

115
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "
yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allāh menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu supaya kamu berfikir”, (QS. Al-Baqarah/2:219)

Menurut para ulama – seperti Ibnu ‘Abbās dan Ibnu Umar, bahkan kata
al-afwa di atas berarti sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga,
sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan keluarga di sini adalah
kebutuhan rutin (primer) dalam sebuah keluarga, seperti kebutuhan
pangan (makan-minum), sandang (pakaian), papan (perumahan), sarana
transportasi, komunikasi, pendidikan, pelunasan hutang (kredit) dan
semacamnya.
Teknis pembayarannya dapat saja disegerakan pada setiap bulan gajian,
khususnya jika memang diperkirakan bahwa sisa harta yang dimiliki
sudah memenuhi syarat –syarat wajib zakat.
Meskipun demikian, ada juga di antara para ulama yang berpendapat
bahwa zakat profesi dikiaskan pada zakat tanaman dengan dua alasan.
Alasan pertama, karena didasarkan pada ayat di atas juga yang
menyebutkan sekaligus tentang zakat hasil usaha dengan zakat hasil
tanaman. Alasan kedua, karena menerima gaji setiap gajian sama
dengan menerima hasil panen yang diwajibkan pembayarannya pada
setiap kali panen.107
k. Zakat dan Pajak
Masalah yang sering muncul ketika membicarakan antara zakat dan
pajak yaitu apakah warga negara yang beragama Islam pada negara
yang tidak memisahkan antara pajak dan zakat dan zakat terkena
kewajiban rangkap yakni di samping membayar zakat juga membayar
pajak?
Pada pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafā’ al-Rāsyidīn hanya
ada satu kewajiban bagi Muslim yang berkenaan dengan harta yaitu

107
Syakir Jamaluddin, op.cit., hlm.213-215.

116
zakat, sementara Non-Muslim dikenakan jizyah (upeti) semacam pajak
(QS. 9:29). Pada saat itu tidak ada penduduk yang terkena kewajiban
rangkap (double duties) berupa pajak dan zakat.
Meskipun ada persamaanya, namun sisi perbedaan antara zakat dan
pajak ternyata lebih banyak, antara lain yaitu:
1) Zakat adalah kewajiban terhadap agama yang ditetapkan berdasarkan
Al-Qur’an, sedangkan pajak adalah kewajiban terhadap negara yang
ditetapkan oleh pemerintah.
2) Zakat merupakan kewajiban terhadap agama maka konsekwensinya
bila ditinggalkan akan mendapat dosa yang sanksinya dari Allāh
(akhirat), sedangkan pajak bila diabaikan, sanksinya adalah sanksi
dunia (penjara) dari pemerintah.
3) Zakat hanya bagi umat Islam yang berkecukupan, sedangkan pajak
untuk semua, baik muslim maupun non-muslim.
4) Obyek sasaran zakat diatur dalam Al-Qur’an terbatas pada delapan
golongan, sedangkan pada pajak ditujukan pada seluruh rakyat
berupa pembangunan sarana dan prasarana umum, dan lain-lain.

Salah satu jalan keluar agar tidak terjadi rangkap kewajiban seperti di
atas, yaitu umat Islam diharuskan membayar zakat lebih dahulu tanpa
harus memperhitungkan zakat tersebut dalam harta yang terkena pajak.
Tetapi jika belum ada jalan keluar seperti itu dari pemerintah, maka pajak
harus dimasukkan dalam daftar harta yang tidak wajib zakat seperti
hutang dan pengeluaran pokok lainnya.108
l. Hikmah Zakat
Dari beberapa uraian di atas, maka kita dapat mengambil hikmah yang
terkandung dalam syariat zakat, yaitu:
1) Mengikis dan melepaskan sifat kekikiran dan ketergantungan terhadap
aspek materi yang sering membelenggu jiwa seseorang. Fitrah
manusia sejak diciptakan Allāh terdiri dari aspek materi dan immateri,
raga dan jiwa yang harus dijaga kebersihan dan keseimbangannya.
Islam mengajarkan zakat, infaq dan shadaqah sesungguhnya ingin

108
Ibid., hlm. 219-220

117
menjaga kesucian fitrah diri manusia dan hartanya sekaligus (QS.
9:103). Hidup itu tak selamanya berjalan linier/lurus. Kadang manusia
berada di atas namun kadang berada di bawah, kadang mendapatkan
namun kadang harus melepaskan. Bagi yang bersyukur maka dia
pasti mewujudkan kesyukurannya antara lain melalui zakat, infāq dan
shadaqah. Dan bagi yang sudah biasa berzakat dan berinfaq, dia
tidak akan merasa kehilangan dan tidak akan kecewa/stress manakala
suatu saat Allāh meminta miliknya.
2) Menciptakan ketenangan dan ketentraman baik pada muzakki-nya
maupun pada mustaḥīq-nya. Ketentraman jiwa dan kebahagiaan bagi
manusia ternyata bisa datang bukan hanya ketika mendapatkan
sesuatu dari orang lain, tetapi bisa juga saat memberikan dan
membantu meringankan beban dan kesulitan orang lain. Ketenangan
dan ketentraman ini muncul karena hubungan antara muzakki dari
kalangan yang berkecukupan dengan mustahiq dari kalangan dhuafa’
di bidang ekonomi (faqīr/miskīn) menjadi harmonis layaknya
hubungan saudara yang saling membantu, saling menjaga dan saling
melindungi satu sama lain.
3) Mengembangkan segala hal yang baik, tidak hanya secara ekonomi
individual (QS. 30:29), tetapi juga secara spiritual (QS. 2:276) dan
secara sosial.
4) Membebaskan diri muzakki dari pedihnya dan panasnya api neraka.

3. Latihan
Carilah aplikasi yang menentukan tanggal 1 awal Ramadhan dan aplikasi
zakat mal dan Praktikkan !
4. Evaluasi
a. Jelaskan pengertian Puasa !
b. Jelaskan Pengertian Zakat !
5. Kunci Jawaban
c. Menurut istilah agama Islam puasa adalah “menahan diri dari makan,
minum, hubungan seksual dan segala yang membatalkan sejak dari
terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allāh.” Jadi
intisari puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang

118
bersifat membatalkan puasa dengan niat karena Allāh SWT. Puasa
merupakan salah satu jenis ibadah mahdhah dalam Islam.
d. Zakat itu ialah nama suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan
memberikan sejumlah kadar tertentu dari harta milik sendiri kepada
orang yang berhak menerimanya menurut yang ditentukan oleh syari’at
Islam.

J. Kegiatan Pembelajaran ke-10


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mendemonstrasikan haji
b. Mendemonstrasikan ‘umrah.
2. Materi pembelajaran
a. Pengertian Haji dan Umroh
Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menuju,
maksud). Sedangkan secara istilah, haji adalah menyengaja pergi
menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sa’i, wuqūf
di ‘Arafah, bermalam di Mudzdalifah, Mabit di Mina dan ibadah-ibadah
lain pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi perintah
Allāh dan mengharapkan ridha-Nya.109
Adapun dalil naqli yang menjadi dasar ketentuan tentang perihal
wajibnya melaksanakan ibadah haji atas setiap muslim yang memang
benar-benar telah memiliki kemampuan melaksanakannya adalah
sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya dalam sūrah Ali Imrān
ayat 97:

             

             


“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allāh, Yaitu (bagi)
orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa

109
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqh Ibadah, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2011), hlm. 249

119
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allāh Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.(QS. Ali Imran/3: 97)

‘Umrah artinya menziarahi atau berkunjung. Dimaksudkan berziarah ke


Ka’bah, mengelilinginya (thawaf), Sa’i antara Shafā dan Marwah dan
bercukur rambut (tahallul) dengan cara-cara tertentu sebagaimana
ditentukan oleh syara’.110
‘Umrah ini tata caranya hampir sama dengan tata cara mengerjakan
ibadah haji. Hanya saja kalau haji masih harus diteruskan dengan
mengerjakan wuqūf di ‘Arafah, maka untuk ‘‘umrah hal itu tidak
dilakukan. Oleh karena itu maka ‘‘umrah ini sering disebut juga dengan
haji kecil. Tentang ibadah ini ia disyari’atkan bagi setiap muslim laki-laki
atau perempuan yang kuasa menjalaninya. Hal ini didasarkan pada
firman Allāh sebagaimana yang tercantum dalam sūrah al-Baqarah ayat
196:

    

“…Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allāh”.


(QS. Al-Baqarah/2: 196)

‘Umrah dan haji harus dilaksanakan pada musim haji yang ditentukan.
Sedangkan ‘umrah sunnah dapat saja dilakukan kapan saja sepanjang
tahun.

b. Syarat Rukun dan Wajib Haji


Syarat agar seseorang dapat melaksanakan ibadah haji ialah:
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal
4) Mampu dalam berbagai hal baik dalam biaya, kesehatan, keamanan
dan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.

110
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih, (Yogyakarta: Citra
Karsa Mandiri, 2009), hlm. 246.

120
Rukun haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam rangkaian
ibadah haji, jika tidak dikerjakan apapun alasannya, maka hajinya tidak
sah. Sedangkan wajib haji adalah sesuatu yang harus dikerjakan dalam
rangkaian ibadah haji, tetapi kalau tidak dikerjakan tetap sah asal
membayar dam (denda).111
Wuqūf di Arafah misalnya adalah rukun haji, orang yang sakit bahkan
koma punharus tetap wuqūf, kalau tidak maka hajinya tidak sah.
Sedangkan wuquf sampai terbenamnya matahari adalah wajib haji.
Artinya, jika seseorang meninggalkan Arafah sebelum matahari
terbenam, hajinya tetap sah asal dia membayar dam.
Yang termasuk rukun haji adalah:
1) Iḥram
2) Wuqūf di Arafah
3) Thawaf Ifadhah
4) Sa’i
5) Tahallul
Sedangkan wajib haji adalah:
1) Iḥram dari Miqat
2) Wuqūf sampai terbenam matahari
3) Bermalam di Mudzdalifah
4) Melempar jamarat (tiga’umrah)
5) Mabit (menginap) di Mina
6) Thawaf Wada’.112

c. Urutan Prosesi Ibadah Haji


Para ulama umumnya bersepakat bahwa urutan prosesi ibadah haji
sebagai berikut:
1) Pada tanggal 8 Dzulhijjah seseorang memulai iḥram dari miqat yang
telah ditentukan kemudian melakukakan mandi, memakai kain iḥram,

shalat fardu atau shalat sunnah, berniat haji dengan mengucapkan ‫ْﻚ‬
َ ‫ﻟَﺒﱠـﻴ‬

111
Syakir Jamaluddin, op.cit., hlm. 253.
112
Ibid.

121
‫ﺣَﺠﺎ‬ (labbaika Hajjan) artinya aku sambut panggilan-Mu untuk

berhaji, dan berangkat ke Mina dengan memperbanyak bacaan


Talbiyah, yaitu:

‫ْﻚ‬
َ ‫َﻚ وَاﻟْ ُﻤﻠ‬
َ ‫ْﻚ إِ ﱠن اﳊَْ ْﻤ َﺪ وَاﻟﻨﱢـ ْﻌ َﻤﺔَ ﻟ‬
َ ‫َﻚ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ِﻳﻚ ﻟ‬
َ ‫ْﻚ َﻻ َﺷﺮ‬
َ ‫ْﻚ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ْﻚ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ﻟَﺒﱠـﻴ‬
‫َﻚ‬
َ ‫ِﻳﻚ ﻟ‬ َ ‫َﻻ َﺷﺮ‬
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allāh, aku sambut panggilan-Mu, tidak
ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu sesungguhnya segala
puji, karunia dan kerajaan itu adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-
Mu”.
2) Shalat fardhu lima kali di Mina, yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya’
dan Shubuh dengan qashar tanpa jamak. Seusai shalat subuh
seseorang meninggalkan Mina menuju ‘Arafah dengan
memperbanyak bacaan Talbiyah.
3) Wuqūf di Padang ‘Arafah, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijjah
yang waktunya dimulai setelah matahari tergelincir (zhuhur) sampai
terbenamnya matahari. Kegiatan yang dilaksanakan saat wuqūf ialah
shalat jama’ taqdīm dan qahsar Zhuhur dan ‘Ashar, berdo’a dan
berzikir, membaca Al-Qur’an dan lain-lain.
4) Mabit (bermalam) di Mudzdalifah, waktunya sesaat setelah tengah
malam sampai terbit fajar. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah
mencari batu kerikil sebanyak 49 atau 70 butir untuk melempar
’umrah, berzikir dari Masy’aril Haram dan shalat Shubuh.
5) Melempar ’umrah ‘Aqabah, setelah tiba di Mina, kegiatan yang mula-
mula dilaksanakan ialah melempar ’umrah aqabah di bukit Aqabah
sebanyak 7 kali, setelah itu barulah penyembelihan hewan kurban
tepat pada tanggal 10 Zulhijjah.
6) Tahallul Awal (berlepas diri dari kain iḥram), tahallul ini dilaksanakan
dengan cara mencukur atau menggunting rambut. Setelah itu
seseorang diperbolehkan melepas kain iḥram dan berganti pakaian
biasa dan diperbolehkan melaksanakan larangan-larangan selama
iḥram kecuali melakukan hubungan seksual.

122
7) Thawaf Ifadhah dan Sa’i, seusai bertahallul meninggalkan Mina
menuju ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf ifadhah, mengelilingi
Ka’bah tujuh kali. Selama itu dianjurkan untuk membaca Al-qur’an,
berzikir, berdo’a dan lain-lain.
8) Sa’i, berjalan dari bukit Safa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali
dilaksanakan setelah selesai thawaf Ifadhah. Selama sai dianjurkan
untuk berzikir, berdo’a, membaca Al-Quran dan lain-lain.
9) Tahallul Tsāni, setelah selesai sai dilanjutkan dengan tahallul tsani
dengan mencukur dan memotong rambut, dengan demikian seluruh
larangan selama iḥram telah berakhir dan diperbolehkan melakukan
berbagai kegiatan sebagaimana sebelum iḥram.
10) Mabit (bermalam) di Mina
Mabit di Mina pada hari-hari Tasyrik yaitu 11,12, dan 13 Zulhijjah.
Pada setiap siang hari setelah shalat Zuhur, setiap jamaah haji
melempar tiga ’umrah yaitu ’umrah Ula, Wustha dan ‘Aqabah masing-
masing tujuh kali. Barangsiapa yang ingin nafar awal (pergi
meninggalkan Mina lebih dahulu) maka melempar ’umrah cukup
baginya pada tanggal 11 dan 12 Zulhijjah saja, kemudian menuju
Makkah untuk melaksanakan thawaf wada’, tetapi bila ingin nafar tsani
(pergi meninggalkan Mina lebih akhir) melempar j’umrah selama tiga
hari berturut-turut yaitu tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah setelah itu baru
menuju Mekkah untuk melaksanakan thawaf wada’. Dengan demikian
selesailah semua prosesi ibadah haji.113

d. Syarat, Rukun dan Wajib ‘umrah


Syarat untuk melakukan ‘umrah adalah sama dengan syarat
melaksanakan ibadah haji. Adapun rukun ‘umrah ialah:
1) Iḥram
2) Thawaf
3) Sa’i dari bukit Shafa ke bukit Marwa
4) Tahallul
5) Tertib.

113
Najmuddin Zuhdi dan Elvi Na’imah, Studi Islam 2, (Surakarta: LPID UMS, 2010), hlm.93-95

123
Sementara itu, wajib ‘umrah hanya satu, yaitu iḥram dari miqat yang
telah ditentukan.114

e. Urutan Prosesi Ibadah ‘umrah


Para ulama pada umumnya sepakat bahwa urutan proses ibadah ‘umrah
adalah sebagai berikut:
1) Setiap jamaah memulai iḥram dari miqat yang telah ditetapkan,
kemudian mandi sunnat, memakai kain iḥram, shalat fardu atau shalat

sunnah, berniat ‘umrah dengan mengucapkan ً‫ْﻚ ﻋُ ْﻤَﺮة‬


َ ‫ﻟَﺒﱠـﻴ‬ (labbaika

umratan) artinya aku sambut panggilan-Mu untuk melaksanakan


‘umrah.
2) Berangkat ke Mekkah dengan memperbanyak talbiyah:

‫ْﻚ‬
َ ‫َﻚ وَاﻟْ ُﻤﻠ‬
َ ‫ْﻚ إِ ﱠن اﳊَْ ْﻤ َﺪ وَاﻟﻨﱢـ ْﻌ َﻤﺔَ ﻟ‬
َ ‫َﻚ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ِﻳﻚ ﻟ‬
َ ‫ْﻚ َﻻ َﺷﺮ‬
َ ‫ْﻚ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ْﻚ اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻟَﺒﱠـﻴ‬
َ ‫ﻟَﺒﱠـﻴ‬
‫َﻚ‬
َ ‫ِﻳﻚ ﻟ‬ َ ‫َﻻ َﺷﺮ‬
3) Thawaf ‘umrah (thawaf qudum) yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak
tujuh kali dengan membaca do’a, membaca alQuran atau zikir dan
lain-lain.
4) Tahallul (berlepas diri dari kain iḥram) yaitu kegiatan ‘umrah yang
berakhir dengan mencukur dan memotong rambut. Dengan demikian
selesailah urutan prosesi ibadah ‘umrah.115

f. Macam-Macam Haji
Ada tiga macam cara pelaksanaan ibadah haji, setiap orang boleh
memilih salah satu di antaranya. Perbedaannya terletak apakah
dilakukan ‘umrah terlebih dahulu baru haji, atau haji lebih dahulu baru
‘umrah atau kedua-duanya sekaligus satu niat.
1) Tamattu’
Mengerjakan ‘umrah lebih dahulu pada bulan-bulan haji, kemudian
mengerjakan haji pada musim itu juga. Seseorang yang mengerjakan

114
Ibid., hlm. 97.
115
Ibid., Hlm. 96

124
haji tamattu’ berniat iḥram dari miqat untuk ‘umrah. Setelah ‘umrah dia
bebas dari segala larangan iḥram. Setelah itu ia menunggu di Makkah
sampai tanggal 8 Zulhijjah dia beriḥram untuk haji dari tempat
tinggalnya di Makkah , lalu mengerjakan semua rukun dan wajib haji.
Dinamai tamattu’ (bersenang-senang) karena setelah selesai
mengerjakan ‘umrah dia dapat menikmati kembali apa yang tadinya
dilarang selama dia iḥram.
2) Ifrād
Mengerjakan haji terlebih dahulu baru ‘umrah. Seorang yang
mengerjakan haji ifrad berniat iḥram dari miqat untuk haji. Sampai di
Makkah ia melaksanakan thawaf qudūm (thawaf selamat datang).
Setelah thawaf, ia tetap dalam keadaan beriḥram di Mekkah sampai
selesai amalan-amalan haji. Setelah tahallul awal baru dia boleh
memakai pakaian biasa dan semua larangan iḥram tidak berlaku lagi
kecuali berhubungan suami-istri. Berhubungan suami-istri baru
dihalalkan setelah tahallul sani. Setelah selesai haji barulah dia
mengerjakan ‘umrah dengan niat iḥram dari tanah halal.
3) Qirān
Mengerjakan haji dan ‘umrah dengan satu niat iḥram dari miqat.
Seseorang yang mengerjakan haji qiran berniat iḥram dari miāat untuk
haji dan ‘umrah sekaligus. Sampai di Makkah dia melaksanakan
thawaf qudūm. Setelah thawaf dia tetap dalam keadaan iḥram di
Makkah sampai selesai amalan-amalan haji. Setelah taḥallul awal
baru dia boleh memakai pakaian biasa dan semua larangan iḥram
tidak lagi berlaku kecuali berhubungan suami-istri. Berhubungan
suami-istri baru dihalalkan setelah tahallul sani.
Bagi yang mengambil haji tamattu’ dan qirān diwajibkan membayar
hadyu atau lebih populer disebut dam yaitu dengan menyembelih
pada hari naḥar satu ekor kambing untuk satu orang atau seekor onta
untuk tujuh orang. Sedangkan haji ifrād tidak membayar hadyu.

125
Para fuqahā’ berbeda pendapat menentukan mana yang lebih afdhal
dari ketiga cara haji di atas. Dalam prakteknya bagi yang datang lebih
awal, haji tamattu’ lebih memudahkan daripada haji ifrād dan qirān.116

g. Ihram dan Cara mengerjakannya.


1) Pengertian Iḥram
Iḥram ialah niat memulai menunaikan ibadah haji atau ‘umrah,
sebagaimana untuk kedua-duanya. Iḥram ini wajib dikerjakan dari
batas-batas tempat dan waktu tertentu yang dinamakan miqat.117
2) Cara Mengerjakan Iḥram
Cara mengerjakan iḥram adalah berturut-turut sebagai berikut:
a) Mandi sunnat iḥram dan berwudhu.
b) Memakai pakaian iḥram, bagi laki-laki dengan dengan dua helai
kain putih yang tidak berjahit, menyarung. Satu helai untuk
menutup aurat (antara lutut dan pusar) dan satu helai lagi untuk
badan. Wanita dilarang untuk memakai cadar dan kaos tangan,
karena telapak tangan dan punggung tangan kanannya supaya
terbuka. Seseorang yang sedang beriḥram boleh memakai sandal
atau sepatu yang tidak menutup mata kaki, cincin, kaca mata, alat
pendengar, jam tangan, ikat pinggang biasa dan ikat pinggang
bersaku. Pakaian iḥram boleh diganti dan dicuci, serta dibenarkan
pula mandi dan membasuh kepala terhadap rambut yang rontok,
tanpa disengaja tidak ada sanksi apapun, begitu halnya bila terkena
luka.
c) Meminyaki rambut dan menyisirnya serta memakai wangi-wangian.
d) Melakukan shalat sunnat dua rakaat
e) Berangkat ke Mākkah atau Arafah sesuai dengan niatnya, iḥram
untuk ‘umrah atau untuk haji. Ketika berangkat dan sampai di
tempat miqat, supaya menetapkan niat.118

3) Niat Iḥram

116
Syakir Jamaluddin, op.cit., hlm. 260-262.
117
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih
Muhammadiyah, (Yogyakarta; Penerbit PP Aisiyah dan MTT PP Muhammadiyah, 2007), hlm. 47.
118
Ibid., hlm. 52-53.

126
a) Jika hendak ‘umrah saja, berniat ‘umrah dalam hati ikhlas karena

Allāh, seraya mengucapkan ً‫ْﻚ ﻋُ ْﻤَﺮة‬


َ ‫( ﻟَﺒﱠـﻴ‬labbaika umratan) yang
artinya: “Ya Allāh aku menyambut panggilan-Mu dengan
ber’umrah”.
b) Jika hendak ber’umrah dan haji sekaligus (qiran), berniat dalam hati

ikhlas karena Allāh, seraya mengucapkan: ‫ْﻚ ﻋُ ْﻤَﺮةً َوﺣَﺠﺎ‬


َ ‫ﻟَﺒﱠـﻴ‬
(labbaika umratan wa hajjan) yang artinya: “Ya Allāh aku
menyambut panggilan-Mu dengan ber’umrah dan berhaji”.
c) Jika hendak haji saja (ifrad), berniat dalam hati, ikhlas karena Allāh

seraya mengucapkan: ‫ْﻚ ﺣَﺠﺎ‬


َ ‫( ﻟَﺒﱠـﻴ‬labbaika hajjan) yang artinya: Ya
Allāh aku menyambut panggilan-Mu dengan berhaji”.
Catatan:
Setelah berniat berarti telah masuk dalam iḥram dan terlarang
mengerjakan larangan-larangan iḥram.
4) Larangan-Larangan Iḥram
Orang yang sedang iḥram harus menjauhi larangan-larangan iḥram,
yaitu sebagai berikut:
Bagi Laki-laki dan Wanita
a) Memakai harum-haruman, baik di badan maupun di rambut, di
pakaian dan sebagainya. Ada pun jika sisa wangi-wangian yang
dipakai pada saat belum iḥram itu tidak apa-apa.
b) Memotong kuku, memotong, menggunting atau menghilangkan
rambut.
c) Memburu, membunuh, menghalau atau membantu orang berburu
binatang yang halal dimakan.
d) Menebang pepohonan Tanah Haram atau mencabut tanaman yang
masih hijau di Tanah Haram.
e) Nikah atau menikahkan dan meminang atau dipinang.
f) Bersentuh-sentuhan dengan syahwat.
g) Melakukan hubungan seksual.

127
Larangan-larangan yang khusus bagi laki-laki:
a) Laki-laki dilarang memakai pakaian yang dijahit (menyarung).
b) Dilarang menutup kepala, namun diperbolehkan menggunakan
payung atau berteduh di bawah atap kendaraan, atau membawa
barang di atas kepala.

Larangan yang khusus bagi wanita:


Memakai sarung tangan dan menutup muka.
Apabila larangan-larangan di atas dilanggar, maka wajib membayar
dam atau denda. Pelanggaran terhadap larangan berhubungan
seksual adalah wajib membayar dam yang berat, dan ‘umrahnya atau
hajinya juga batal.119

h. Thawaf
Thawaf ialah mengelilingi Ka’bah dalam Masjidil Haram sebanyak 7
(tujuh) putaran dengan niat thawaf. Thawaf itu ada empat macam, yaitu:
1) Thawaf Qudūm (thawaf selamat datang). Thawaf ini dilakukan oleh
orang yang melakukan haji Ifrad atau qiran setelah tiba di Masjidil
Haram. Orang yang berhaji tamattu’, mengerjakan thawaf ‘umrah.
2) Thawaf Ifadhah (thawaf ziarah). Thawaf ini dikerjakan pada tanggal 10
Dzulhijjah atau sesudahnya. Thawaf ini harus dikerjakan dan
merupakan tahallul tsani bagi orang yang beriḥram haji.
3) Thawaf Wada’ (thawaf selamat tinggal). Thawaf ini dikerjakan pada
saat orang akan meninggalkan Makkah. Thawaf ini harus dikerjakan,
kecuali bagi wanita yang sedang haidh.
4) Thawaf tattawwu’ (thawaf sunnat). Thawaf ini bisa dikerjakan setiap
waktu (siang dan malam).120

i. Syarat-syarat Thawaf

119
Ibid., hlm. 53-54.
120
Syakir Jamaluddin, op.cit., hlm 262-263.

128
1) Bersuci dan menutup aurat seperti dalam shalat, hanya dalam thawaf
diperbolehkan berbicara, asal pembicaraannya yang baik. Hal ini
berdasarkan Hadis Nabi saw:

(٦٠ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﱰﻣﺬى‬


‫ﱠﺎس‬
ٍ ‫ُس ﻋَ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
ٍ ‫ِﺐ َﻋ ْﻦ ﻃَﺎو‬ ِ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﻗُـﺘَـْﻴﺒَﺔُ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﺟ ِﺮﻳٌﺮ َﻋ ْﻦ َﻋﻄَﺎ ِء ﺑْ ِﻦ اﻟﺴﱠﺎﺋ‬
‫ﱠﻼةِ إﱠِﻻ‬
َ ‫ْﺖ ِﻣﺜْﻞُ اﻟﺼ‬
ِ ‫ْل اﻟْﺒَـﻴ‬
َ‫َاف ﺣَﻮ‬ ُ ‫َﺎل اﻟﻄﱠﻮ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫َﲑ‬
ٍْ ‫أَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـﺘَ َﻜﻠﱠﻤُﻮ َن ﻓِﻴ ِﻪ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗَ َﻜﻠﱠ َﻢ ﻓِﻴ ِﻪ ﻓ ََﻼ ﻳـَﺘَ َﻜﻠﱠ َﻤ ﱠﻦ إﱠِﻻ ِﲞ‬
Artinya: “ Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi saw
bersabda: Thawaf disekitar baitullah itu seperti shalat, hanya saja
dibolehkan berkata-kata, barang siapa berkata-kata di dalamnya,
janganlah berbicara kecuali yang baik” (HR. Tirmidzi).121
2) Thawaf dimulai dari sudut hajar al-aswad dan juga berakhir di situ.
3) Ka’bah berada disebelah kiri orang yang melakukan thawaf, tidak
melewati pondasi Ka’bah atau dalam Hijr Ismail, Hijr Ismail adalah
bagian dari Ka’bah.

j. Cara-cara mengerjakan thawaf


Cara-cara mengerjakan thawaf sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh saw,
adalah sebagai berikut:
1) Bagi orang laki-laki meletakkan bagian tengah kain iḥramnya dibawah
ketiak kanan dan menaruh ujung kain di atas pundak sebelah kiri
tertutup, sedang pundak kanan terbuka. Ini berlaku hanya pada waktu
melakukan thawaf. Rida (kain/selendang) boleh dikalungkan seperti
pada waktu melakukan shalat. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw:

(٢٣١ / ٥) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﻣُﻮﺳَﻰ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ﲪَﱠﺎ ٌد َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن ﺑْ ِﻦ ُﺧﺜَـْﻴ ٍﻢ ﻋَ ْﻦ‬
ُ‫ﺻﺤَﺎﺑَﻪ‬ْ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوأ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ﱠﺎس أَ ﱠن َرﺳ‬ ٍ ‫َﲑ َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
ٍْ ‫َﺳﻌِﻴ ِﺪ ﺑْ ِﻦ ُﺟﺒـ‬

121
Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsawrah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi,Kitab al-Hajj, bab Ma Jaa fi al-
Kalami fi Ath-Thawaf, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tth), hlm. 230.

129
‫َْﺖ آﺑَﺎ ِﻃ ِﻬ ْﻢ ﻗَ ْﺪ ﻗَ َﺬﻓُﻮﻫَﺎ‬
َ ‫ْﺖ َو َﺟ َﻌﻠُﻮا أ َْرِدﻳـَﺘَـ ُﻬ ْﻢ ﲢ‬
ِ ‫ا ْﻋﺘَ َﻤُﺮوا ِﻣ ْﻦ اﳉِْ ْﻌﺮَاﻧَِﺔ ﻓَـَﺮَﻣﻠُﻮا ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴ‬
‫َﻋﻠَﻰ ﻋَﻮَاﺗِِﻘ ِﻬ ْﻢ اﻟْﻴُ ْﺴَﺮى‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasūlullāh saw
dan para sahabatnya ‘umrah dari Ji’ronah lalu mereka berlari-lari kecil
di baitullah dan mereka buat rida (selendang) mereka di bawah ketiak
kanan mereka lalu menyampirkan ujung-ujungnya di atas pundak kiri
mereka” (HR. Abu Daud). 122

2) Sesampainya di sudut hajar aswad (sekarang ditandai dengan lampu


hijau setentang dengan hajar aswad) menghadap hajar aswad lalu
menciumnya atau menjamahnya dengan tangan lalu mencium tangan
atau menyentuhnya dengan tongkat itu, atau berisyarah kepadanya
dengan tangan. Hal ini dilakukan setiap kali putaran thawaf.

3) Membaca takbir, yaitu ‫ﷲ وَاﷲُ أَ ْﻛﺒَـ ُﺮ‬


ِ ‫ْﻢ ا‬
ِ ‫ﺑِﺴ‬ (bismillahi wAllāhu akbar)

(dengan nama Allāh dan Allāh Maha Besar).


4) Kemudian berpaling ke kanan sehingga ka’bah berada di sebelah kiri
orang thawaf. Untuk thawaf qudum (thawaf ‘umrah) supaya berlari-lari
kecil 3 (tiga) kali putaran dan berjalan biasa 4 (empat) putaran
berikutnya. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw:

‫َْﲕ ﺑْ ُﻦ آ َد َم َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ ُن َﻋ ْﻦ َﺟ ْﻌ َﻔ ِﺮ ﺑْ ِﻦ‬


َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِ ْﺳ َﺤ ُﻖ ﺑْ ُﻦ إِﺑْـﺮَا ِﻫﻴ َﻢ أَ ْﺧﺒَـَﺮﻧَﺎ ﳛ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ ﻋَ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮ ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـ ُﻬﻤَﺎ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟَﻤﱠﺎ ﻗَ ِﺪ َم َﻣ ﱠﻜﺔَ أَﺗَﻰ اﳊَْ َﺠَﺮ ﻓَﺎ ْﺳﺘَـﻠَ َﻤﻪُ ﰒُﱠ َﻣﺸَﻰ َﻋﻠَﻰ ﳝَِﻴﻨِ ِﻪ ﻓَـَﺮَﻣ َﻞ‬
‫ﺛ ََﻼﺛًﺎ َوَﻣﺸَﻰ أ َْرﺑـَﻌًﺎ‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasūlullāh SAW apabila telah
sampai di Makkah, beliau mendatangi Hajar Aswad berlari-lari kecil
tiga kali dan berjalan biasa empat kali” (HR. Al-Baihaqi).123

122
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab Wudhu’, bab sifat wudhu’ wa ‘amalihi, (Riyadh: Dar
Thayyibah, 1427 H/2006 M), hlm. 122.

130
5) Sesampainya di sudut yang disebut sebagai rukun Yamani dan sudut
hajar Aswad) mengusap sudut itu dengan tangan dan tidak
menciumnya. Dua sudut sebelum rukun Yamani itu tidak diusap.

6) Diantara rukun Yamani dan sudut hajar aswad membaca: ‫َرﺑـﱠﻨَﺎ آﺗِﻨَﺎ ِﰲ‬

‫َاب اﻟﻨﱠﺎ ِر‬


َ ‫( اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َﺣ َﺴﻨَﺔً وَِﰲ ْاﻵ ِﺧَﺮةِ َﺣ َﺴﻨَﺔً َوﻗِﻨَﺎ َﻋﺬ‬Rabbana atina fidunya
hasanah wafil akhirati hasanah waqina adzabannar) (Ya Tuhan Kami,
berilah kami kebaikan hidup di dunia dan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka).
7) Thawaf selesai sesudah berakhir putaran yang ketujuh. Dalam thawaf
tidak ada ketentuan membaca do’a-do’a tertentu untuk setiap kali
putaran. Orang boleh berdo’a untuk apa yang diinginkannya sesuai
dengan keperluannya. Setelah selesai melaksanakan thawaf lalu

menuju ke Maqam Ibrahim dan membaca: ‫َﺎم إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ ُﻣﺼَﻠﻰ‬


ِ ‫َاﲣ ُﺬوا ِﻣ ْﻦ َﻣﻘ‬
ِ‫و ﱠ‬
(wattakhidzu min maqomi ibrohima musholla) (“Dan jadikanlah maqam
ibrahim itu sebagai tempat shalat”). Kemudian shalat dua rakaat. Pada
rakaat pertama dibaca sūrah al-Kafirun sesudah sūrah al-fatihah.
Pada rakaat kedua, sesudah dibaca sūrah al-Fatihah, dibaca sūrah al-
Ikhlas. Selesai shalat kembali ke hajar Aswad lalu menciumnya,
menjamahnya atau berisyarah seperti pada permulaan thawaf.
Sesudah melaksanakan thawaf dengan semua rangkaiannya,
disunnahkan meminum air zam-zam.124 Lalu membaca do’a sebagai
berikut:

.ٍ‫َﺷﻔَﺎءً ِﻣ ْﻦ ُﻛ ﱢﻞ دَاء‬
ِ ‫َاﺳﻌًﺎ و‬
ِ ‫ُﻚ ِﻋ ْﻠﻤًﺎ ﻧَﺎﻓِﻌًﺎ َورِْزﻗًﺎ و‬
َ ‫ِﱏ أَ ْﺳﺄَﻟ‬
‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ إ ﱢ‬
Artinya: “Ya Allāh Sesungguhnya Aku minta kepada-Mu ilmu yang
bermanfaat, rejeki yang luas dan kesembuhan dari setiap penyakit”

k. Sa’iI dan Taḥallul


Sa’i adalah berjalan antara Shafa dan Marwah sebanyak dimulai dari
bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah. Sa’i dilakukan setelah thawaf,
124
MTT PP Muhammadiyah, op.cit., hlm. 82-85.

131
baik thawaf ‘umrah maupun thawaf ifadhah (pada saat ini tempat sa’i
telah menyatu dengan bangunan Masjidil Haram).125

l. Cara Mengerjakan Sa’i


Cara-cara mengerjakan sa’i, sesuai dengan petunjuk sunnah Rasūlullāh
saw adalah sebagai berikut:

1) Sesudah mendekati Shafa, membaca: ‫ﺼﻔَﺎ وَاﻟْﻤَﺮَْوةَ ِﻣ ْﻦ َﺷﻌَﺎﺋِِﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


‫إِ ﱠن اﻟ ﱠ‬

‫أَﺑْ َﺪأُ ﲟَِﺎ ﺑَ َﺪأَ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑِِﻪ‬ (innas Shafa wal marwata min sya’airillah, Abda’u

bima badaAllāhu bihi) (Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk


tanda-tanda peribadatan kepada Allāh. Aku mulai dari apa yang Allāh
memulai dengannya”).
2) Naik ke atas Shafa, kemudian menghadap ke Ka’bah, lalu
mengangkat kedua tangan dan membaca:

‫ْﻚ َوﻟَﻪُ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َوُﻫ َﻮ ﻋَﻠَﻰ‬


ُ ‫ِﻳﻚ ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ اﻟْ ُﻤﻠ‬
َ ‫اﷲُ أَ ْﻛﺒَـُﺮ ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ اﻟﻠﱠﻪُ َو ْﺣ َﺪﻩُ ﻻَ َﺷﺮ‬
‫َاب‬
َ ‫ﺼَﺮ ﻋَْﺒ َﺪﻩُ َوَﻫَﺰَم اﻷَ ْﺣﺰ‬ َ َ‫َﻰ ٍء ﻗَﺪِﻳٌﺮ ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ اﻟﻠﱠﻪُ َو ْﺣ َﺪﻩُ أَﳒََْﺰ َو ْﻋ َﺪﻩُ َوﻧ‬
ْ ‫َﻛ ﱢﻞ ﺷ‬
ُ‫َو ْﺣ َﺪﻩ‬
Allāhu akbar, la ilaha illAllāhu wahdahu la syarikalah, lahul mulku
walahul hamdu wahuwa ala kulli syain qadir. La ilaha illallhu wahdah,
anjaza wa’dah, wa nashara abdah, wa hazamal ahzaba wahdah.
(Allāh Maha Besar, tiada tuhan kecuali Allāh sendiri, tiada sekutu bagi-
Nya, kepunyaan-Nya segala kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian,
dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada tuhan selain Allāh
sendiri, Dia lestarikan sendiri janji-Nya, Dia tolong hamba-Nya dan Dia
sendiri menghancurkan musuh-musuh-Nya). Bacaan di atas diulang
tiga kali dan diselingi dengan do’a yang dimaui.

3) Turun dari Shafa menuju Marwah. Sesampainya di batas tiang hijau


hendaknya laki-laki berlari kecil, sedang perempuan berjalan biasa
menuju Marwah.
4) Di atas Marwah seperti dilakukan pada angka 2, menghadap ke
Ka’bah dan membaca bacaan seperti dalam butir 2 di atas.

125
Ibid., hlm.95.

132
5) Kemudian berangkat lagi ke Shafa sampai cukup tujuh kali, yang
berakhir di Marwah.
Di dalam sa’i ini selain bacaan dalam butir satu dan dua di atas, tidak
ada do’a- do’a khusus. Orang boleh berdo’a dengan do’a apa saja yang
diinginkan sesuai dengan keperluan.126

m.Taḥallul
Setelah selesai melakukan sa’i, bertahallul di sebelah pintu Marwah
dengan mencukur, memotong rambut. Tahallul bagi yang melaksanakan
haji tamattu’, setelah tahallul berarti mulai berada dalam keadaan halal,
seperti sebelum iḥram.
Bagi yang melaksanakan umroh untuk haji tamattu’ setelah selesai
mengerjakan tawaf dan sa’i melakukan tahallul dengan mencukur atau
memotong rambutnya. Setelah tahallul ia kembali dalam keadaan halal
seperti sebelum iḥram, sampai kemudian tanggal 8 Zulhijjah kembali niat
iḥram untuk haji dari hotel atau pondokan di Makkah.
Sedangkan bagi yang mengambil haji ifrad dan qiran tetap dalam
iḥramnya sampai selesai melempar j’umrah aqabah pada tanggal 10
Zulhijjah. Setelah selesai melempar j’umrah aqabah itu, semua jamaah
haji baik tamattu’, ifrad maupun qiran melakukan tahallul awwal, kembali
dalam keadaan halal seperti sebelum iḥram. Semua yang dilarang waktu
iḥram sudah dibolehkan kecuali berhubungan suami isteri. Setelah tawaf
Ifadhah dan Sa’i baru tahallul tsani, semuanya sudah dibolehkan
termasuk hubungan suami isteri.127

3. Latihan
Carilah video pembelajaran haji dan umrah menurut sunnah kemudian
praktekkan !
4. Evaluasi
a. Jelaskan definisi haji !
b. Jelaskan definisi umrah !
5. Kunci Jawaban

126
Ibid., hlm. 95-98.
127
Syakir Jamaluddin, op.cit., hlm. 269-270.

133
a. Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menuju,
maksud). Sedangkan secara istilah, haji adalah menyengaja pergi
menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sa’i, wuquf
di ‘Arafah, bermalam di Muzdalifah, Mabit di Mina dan ibadah-ibadah lain
pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi perintah Allah
dan mengharapkan ridha-Nya.
b. ‘Umrah artinya menziarahi atau berkunjung. Dimaksudkan berziarah ke
Ka’bah, mengelilinginya (thawaf), Sa’i antara Shafa dan Marwāh dan
bercukur rambut (taḥallul) dengan cara-cara tertentu sebagaimana
ditentukan oleh syara’.

K. Kegiatan Pembelajaran ke-11


1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan adab terhadap jenazah
b. Mahasiswa mampu menjelaskan cara Memandikan jenazah
c. Mahasiswa mampu menjelaskan cara mengkafani Jenazah
d. Mahasiswa mampu menjelaskan cara Menshalatkan Jenazah
e. Mahasiswa mampu menjelaskan cara menguburkan Jenazah
f. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep ta’ziyah.
2. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Janazah
Penyelenggaraan jenazah adalah mengurusi segala hal yang
berhubungan dengan orang yang telah meninggal dunia mulai dari
memandikan, mengkafani, menyalatkan serta menguburkannya sesuai
dengan tuntunan sunnah Rasūlullāh SAW.
Dalam menyelenggarakan jenazah ini hukumnya adalah fardhu kifāyah
yaitu jika sudah ada sebagian dari kaum muslimin yang
melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban bagi sebagian muslim yang
lain. Akan tetapi, jika semua kaum muslimin tidak melakukannya maka
akan berdosa. Mengurus jenazah adalah bagian dari hak kita kepada
sesama muslim lainnya.
b. Cara Menghadapi Orang yang akan meninggal dunia

134
1) Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka yang pertama kali
dilakukan adalah memejamkan matanya dan mengatupkan mulutnya.
Rasūlullāh SAW bersabda:

(٣٨ / ٣) - ‫ م‬- ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬


‫ َﻋﻠَﻰ أَِﰉ‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺖ َد َﺧ َﻞ َرﺳ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ أُﱢم َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
« ‫ﺼُﺮ‬
َ َ‫ِﺾ ﺗَﺒِ َﻌﻪُ اﻟْﺒ‬
َ ‫َﺎل » إِ ﱠن اﻟﺮﱡو َح إِذَا ﻗُﺒ‬
َ ‫ﻀﻪُ ﰒُﱠ ﻗ‬
َ ‫ﺼُﺮﻩُ ﻓَﺄَ ْﻏ َﻤ‬
َ َ‫َﺳﻠَ َﻤﺔَ َوﻗَ ْﺪ َﺷ ﱠﻖ ﺑ‬
“Sesungguhnya ruh itu kalau diambil (direnggut) akan diikuti oleh
pandangan mata”.128 (HR. Muslim)
2) Apabila mayat itu berhutang, maka hendaklah ahli warisnya
menyelesaikannya dengan segera.
3) Bila ia berwasiat, hendaklah segera dilaksanakan.
4) Hendaklah ditutup seluruh tubuhnya dengan kain.
5) Tidak ada halangan bagi keluarga dan handai tolan untuk mencium
mayat kerabat dan sahabatnya.
6) Rasūlullāh melarang umatnya meratapi mayat, dan membolehkan
mereka meneteskan air matanya. Sebagaimana beliau bersabda:

(١١٩ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﱰﻣﺬى‬


‫َب‬
َ ‫ﺿﺮ‬
َ ‫ُﻮب َو‬
َ ‫ْﺲ ِﻣﻨﱠﺎ َﻣ ْﻦ َﺷ ﱠﻖ اﳉُْﻴ‬
َ ‫َﺎل ﻟَﻴ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫اﳋُْﺪُوَد َوَدﻋَﺎ ﺑِ َﺪ ْﻋ َﻮةِ اﳉَْﺎ ِﻫﻠِﻴﱠ ِﺔ‬
“Tidak termasuk umat kami orang yang menangis menampar-nampar
pipinya, merobek sakunya dan meratap-ratap sebagaimana ratapan
orang jahiliyah”.129 (HR. Tirmidzi)

c. Cara Memandikan Jenazah


1) Letakkan mayat itu ditempat yang tinggi, serta jauh dari pandangan
orang ramai, selain orang yang akan membantu pelaksanaanya
seperti menuangkan air dan sebagainya.

128
Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kitab al-Janaiz, bab 4 fi ighmad al-Mayyiti wa ad-du’a’i lahu idza
Hudhiro, Hadis Nomor 7/920 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1427 H/2006 M), hlm. 409.
129
Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsawrah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Kitab al-Janaiz, bab 22, (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, tth), hlm. 238.

135
2) Gantilah pakaian mayat itu dengan kain basahan dan yang paling baik
adalah sarung agar tidak terbuka auratnya.
3) Setelah itu dudukanlah mayat itu di atas ranjang atau balai-balai
tempat mandinya, lalu sapulah perut mayat itu dan tekanlah sedikit
jika mayat itu tidak dalam keadaan hamil, seraya disiramkan dengan
air yang bercampur dengan harum-haruman.
4) Lalu siramlah tubuh mayat itu dan mulailah dengan anggota
wudhunya serta anggota tubuhnya yang sebelah kanan. Hal ini
berdasarkan sabda nabi:

(٢٩١ / ١) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ْﻞ اﺑْـﻨَﺘِ ِﻪ اﺑْ َﺪأْ َن ﲟَِﻴَﺎ ِﻣﻨِﻬَﺎ َوَﻣﻮَا ِﺿ ِﻊ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﳍَُ ﱠﻦ ِﰲ َﻏﺴ‬
َ ‫ﱯ‬ ‫َﺎل اﻟﻨﱠِ ﱡ‬
َ‫ﻗ‬
‫اﻟْ ُﻮﺿُﻮِء ِﻣْﻨـﻬَﺎ‬
Ummu Athiyah berkata, “Tatkala kami memandikan puteri Nabi SAW,
beliau bersabda, “Mulailah dengan anggota badannya yang sebelah
kanan dan tempat (anggota) wudhunya”.130 (HR. Bukhari)
5) Mandikanlah mayat itu dengan ganjil, tiga, lima dan seterusnya.
Rasūlullāh SAW bersabda:

(٤٧٨ / ٤) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺖ َد َﺧ َﻞ َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ َرﺳ‬ ْ ‫َ◌ ْن أُﱢم ﻋَ ِﻄﻴﱠﺔَ ْاﻷَﻧْﺼَﺎ ِرﻳﱠِﺔ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨـﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ‬
‫ْﺴ ْﻠﻨَـﻬَﺎ ﺛ ََﻼﺛًﺎ أ َْو ﲬَْﺴًﺎ أ َْو‬
ِ ‫َﺎل اﻏ‬َ ‫َﺖ اﺑْـﻨَﺘُﻪُ ﻓَـﻘ‬
ْ ‫ﲔ ﺗـُ ُﻮﻓﱢـﻴ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﺣ‬ َ
‫َﺳ ْﺪ ٍر وَا ْﺟ َﻌﻠْ َﻦ ِﰲ ْاﻵ ِﺧَﺮةِ ﻛَﺎﻓُﻮرًا أ َْو َﺷْﻴﺌًﺎ‬
ِ ‫ِﻚ ﲟَِﺎ ٍء و‬َ ‫ْﱳ ذَﻟ‬
‫ِﻚ إِ ْن َرأَﻳـ ُﱠ‬
َ ‫أَ ْﻛﺜَـَﺮ ِﻣ ْﻦ ذَﻟ‬
‫ِﻣ ْﻦ ﻛَﺎﻓُﻮٍر‬
“Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih dari itu menurut
pendapat kalian, dengan air dan daun bidara. Dan pada kali yang
terakhir, campurkanlah air dengan kapur barus atau sesuatu yang
sama dengan kapur barus”.131 (HR. Bukhari)
6) Bila telah selesai memandikan mayat perempuan, jalinlah rambutnya
menjadi tiga pintal (Riwayat Bukhari dari Ummu Athiyah)

130
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Janaiz, bab 22, (al-Qahirah: al-
Matba’ah as-Salafiyah, tth), hlm. 388.
131
Ibid., 387 Kitab al-Janaiz, bab 8

136
7) Terakhir sekali hendaklah tubuh mayat itu dikeringkan dengan
handuk, kain yang tebal atau lain sebagainya. Rasūlullāh SAW ketika
dimandikan dibungkus dengan kain Yaman (untuk mengeringkannya)
lalu dibuka kembali.
d. Orang yang berhak memandikan mayat adalah:
1) Jika mayat itu perempuan, maka yang berhak memandikannya adalah
kaum wanita, demikian sebaliknya.
2) Istri lebih berhak memandikan suaminya, dan suaminya lebih berhak
memandikan istrinya. Hal ini sesuai sabda Rasūlullāh SAW:

(٤٠١ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﻣ ْﻦ اﻟْﺒَﻘِﻴ ِﻊ ﻓَـ َﻮ َﺟﺪَِﱐ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺖ َر َﺟ َﻊ َرﺳ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫َﺎل ﺑَ ْﻞ أَﻧَﺎ ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔُ وَا‬ َ ‫ُﻮل وَا َرأْﺳَﺎﻩُ ﻓَـﻘ‬ ُ ‫ﺻﺪَاﻋًﺎ ِﰲ َرأ ِْﺳﻲ َوأَﻧَﺎ أَﻗ‬ ُ ‫َوأَﻧَﺎ أ َِﺟ ُﺪ‬
‫ُﻚ‬ِ ‫ُﻚ َوَﻛ ﱠﻔْﻨﺘ‬
ِ ‫ْﻚ ﻓَـﻐَ ﱠﺴ ْﻠﺘ‬ ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻴ‬ ُ ‫ِﺖ ﻗَـْﺒﻠِﻲ ﻓَـ ُﻘﻤ‬
‫ﱠك ﻟ َْﻮ ﻣ ﱢ‬ ِ ‫ﺿﺮ‬َ ‫َﺎل ﻣَﺎ‬ َ ‫َرأْﺳَﺎﻩُ ﰒُﱠ ﻗ‬
‫ُﻚ‬
ِ ‫ْﻚ َوَدﻓَـْﻨﺘ‬
ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻴ‬ ُ ‫ﺻﻠﱠﻴ‬
َ ‫َو‬
“Tidak ada halangan bagi engkau sekiranya engkau mati sebelum
aku, lalu aku memandikan dan mengkafani engkau, kemudian aku
menshalatkan engkau dan aku menguburkan engkau”.132 (HR.Ibnu
Majah)
Dalam keterangan lain Aisyah berkata,

(٤٠٠ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


‫ﱠﱯ‬
‫ْت ﻣَﺎ َﻏ ﱠﺴ َﻞ اﻟﻨِ ﱠ‬
ُ ‫ْﺖ ِﻣ ْﻦ أَْﻣﺮِي ﻣَﺎ ا ْﺳﺘَ ْﺪﺑـَﺮ‬
ُ ‫ْﺖ ا ْﺳﺘَـ ْﻘﺒَـﻠ‬
ُ ‫َﺖ ﻟ َْﻮ ُﻛﻨ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻏْﻴـُﺮ ﻧِﺴَﺎﺋِِﻪ‬
َ
“Sekiranya aku dapat menghadapi apa yang telah aku belakangi dari
urusan-urusanku, niscaya Rasūlullāh tidak dimandikan melainkan
oleh istrinya.”.133 (HR.Bukhari).
Dari amalan para sahabat yang dapat dijadikan pegangan pula ialah
Abu Bakar r.a. pernah berwasiat supaya dia dimandikan oleh Asma’

132
Abi Yazid al-Qazwini (Ibnu Majah), Sunan ibn Majah,Kitab al-Janaiz, bab 9 (Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, tth), hlm. 260.
133
Ibid., hlm.260 Kitab al-Janaiz, bab 9.

137
dan demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib pernah memandikan jenazah istri
beliau Fatimah r.a.
3) Anak boleh memandikan kedua orangtuanya, demikian pula
sebaliknya kedua orangtua (ibu/bapak) boleh memandikan anaknya.
e. Mengkafani Jenazah
Hal-hal yang perlu disiapkan adalah sebagai berikut:
1) Siapkan kain kafan berwarna putih sesuai dengan kebutuhan. Pilihlah
kain yang bagus, bersih dan dapat menutupi seluruh tubuh. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi SAW:

(٤١٣ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


‫َﱄ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ‬
َ ِ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا و‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫َﺎل ﻗ‬َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﻗ‬
ُ‫ْﺴ ْﻦ َﻛ َﻔﻨَﻪ‬
ِ ‫أَﺧَﺎﻩُ ﻓَـ ْﻠﻴُﺤ‬
“Jika salah seorang diantara kamu menyelenggarakan saudaranya,
maka hendaklah ia membaikkan kafannya”.134 (HR. Ibnu Majah).
Juga didasari oleh Hadis yang lain:

‫ِﻴﺾ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟْﺒَ ُﺴﻮا ِﻣ ْﻦ ﺛِﻴَﺎﺑِ ُﻜ ْﻢ اﻟْﺒ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ ﲰََُﺮةَ ﻗ‬
‫َوَﻛ ﱢﻔﻨُﻮا ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣ َْﻮﺗَﺎ ُﻛ ْﻢ‬
“Pakailah diantara pakaian kamu yang putih warnanya, karena itu
pakaianmu terbaik. Dan kafanilah jenazah-jenazahmu itu dengan kain
putih itu”.135 (HR. Baihaqi)

2) Kain kafan untuk jenazah laki-laki sebanyak tiga lembar kain,


sedangkan untuk jenazah perempuan dua lembar kain pembungkus
jenazah, baju kurung (rompi), kain basahan dan kerudung. Hal ini
berdasarkan Hadis Nabi SAW:

(١٣ / ٥) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬

134
Ibid., hlm 261 Kitab al-Janaiz, bab 12.
135
Abi Bakr Ahmad ibn al-Husein ibn ‘Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, Kitab al-Janaiz,
bab 50, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2003 M), hlm. 565.

138
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻛ ﱢﻔ َﻦ ِﰲ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ ﻋَﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَْﻨـﻬَﺎ أَ ﱠن َرﺳ‬
ٌ‫ﺺ وََﻻ ِﻋﻤَﺎ َﻣﺔ‬
ٌ ‫ْﺲ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻗَﻤِﻴ‬
َ ‫ِﻴﺾ َﺳ ُﺤﻮﻟِﻴﱠ ٍﺔ ﻟَﻴ‬
ٍ ‫َاب ﺑ‬ ٍ ‫ﺛ ََﻼﺛَِﺔ أَﺛْـﻮ‬
“Rasūlullāh SAW dikafani dalam tiga kain putih bersih dari kapas,
tanpa kemeja dan surban”.136 (HR.Bukhari).
Adapun kain kafan perempuan didasarkan kepada Hadis Nabi
SAW:

(٤٢٨ / ٨) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫ْﺖ أَِﰊ‬ ُ ‫َﺎل ﻟَﻪُ دَا ُوُد ﻗَ ْﺪ َوﻟﱠ َﺪﺗْﻪُ أُﱡم َﺣﺒِﻴﺒَﺔَ ﺑِﻨ‬ ُ ‫ُﻞ ِﻣ ْﻦ ﺑ َِﲏ ﻋُﺮَْوةَ ﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ﻳـُﻘ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ َرﺟ‬
‫َﺖ‬
ْ ‫ِﻒ اﻟﺜﱠـ َﻘ ِﻔﻴﱠﺔَ ﻗَﺎﻟ‬ ٍ ‫ْﺖ ﻗَﺎﻧ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ﱠن ﻟَْﻴـﻠَﻰ ﺑِﻨ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن زَْو ُج اﻟﻨِ ﱢ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﻋﻨْ َﺪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ِ ‫ْﺖ َرﺳ‬ َ ‫ُﻮم ﺑِﻨ‬
ٍ ‫ْﺖ ﻓِﻴ َﻤ ْﻦ َﻏ ﱠﺴ َﻞ أُﱠم ُﻛ ْﻠﺜ‬ ُ ‫ُﻛﻨ‬
َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﳊِْﻘَﺎءَ ﰒُﱠ اﻟﺪ ْﱢرع‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫ﱠل ﻣَﺎ أَ ْﻋﻄَﺎﻧَﺎ َرﺳ‬ ُ ‫َوﻓَﺎَِﺎ ﻓَﻜَﺎ َن أَو‬
‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺖ َوَرﺳ‬ ْ ‫ْب ْاﻵ َﺧ ِﺮ ﻗَﺎﻟ‬ ِ ‫َﺖ ﺑـَ ْﻌ ُﺪ ِﰲ اﻟﺜـﱠﻮ‬ ْ ‫ﰒُﱠ اﳋِْﻤَﺎ َر ﰒُﱠ اﻟْ ِﻤﻠْ َﺤ َﻔﺔَ ﰒُﱠ أُ ْد ِرﺟ‬
‫َﺎب َﻣ َﻌﻪُ َﻛ َﻔﻨُـﻬَﺎ ﻳـُﻨَﺎ ِوﻟُﻨَﺎﻫَﺎ ﺛـ َْﻮﺑًﺎ ﺛـ َْﻮﺑًﺎ‬
ِ ‫ﺲ ِﻋْﻨ َﺪ اﻟْﺒ‬ٌ ِ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺟَﺎﻟ‬ َ
“Aku turut memandikan Ummu Kalsum puteri Rasūlullāh SAW ketika
wafatnya. Adalah yang mula-mula diberikan kepadaku oleh Rasūlullāh
SAW ialah kain sarung, lalu baju kurung, lalu kerudung, kemudian kain
pembungkus, kemudian dimasukkan lagi kain yang lain. Kata Laila
selanjutnya, waktu itu Rasūlullāh SAW berdiri di pintu membawa
kafannya dan memberikan kepada kami sehelai demi sehelai”.137 (HR.
Abu Daud).

3) Jangan berlebih-lebihan dalam kain kafan


Sebagaimana telah dikemukakan hendaklah kain kafan itu terdiri dari
kain yang bagus yang berwarna putih, tetapi tidak terlalu mahal
harganya, sehingga sampai seseorang memaksakan sesuatu di luar
kemampuannya. Cukuplah kain kafan yang sederhana, yang mudah
dan dapat dibeli. Hal ini sesuai dengan Hadis nabi SAW:

136
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 392 Kitab al-Janaiz, bab 23.
137
Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Janaiz, bab 36 bab fi
al-Kafan al-Mar’ah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tth), hlm. 568.

139
‫ْﺖ‬
ُ ‫ِﱏ َِﲰﻌ‬ ‫َﺎﱃ ِﰱ َﻛ َﻔ ٍﻦ ﻓَﺈ ﱢ‬َ ‫ ﻻَ ﻳـُﻐ‬: ‫َﺎل‬
َ ‫ِﺐ َر ِﺿ َﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱢﻰ ﺑْ ِﻦ أَِﰉ ﻃَﺎﻟ‬
ُ‫» ﻻَ ﺗَـﻐَﺎﻟُﻮا ِﰱ اﻟْ َﻜ َﻔ ِﻦ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬: ‫ُﻮل‬ ُ ‫ ﻳـَﻘ‬-‫ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َرﺳ‬
.« ‫َﺐ َﺳ ْﻠﺒًﺎ َﺳﺮِﻳﻌًﺎ‬
ُ ‫ﻳُ ْﺴﻠ‬
“Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memilih kain kafan karena ia
akan lekas rusak (hancur)”.138 (HR. Abu Dawud).
4) Mengkafani orang yang meninggal dalam keadaan ihram
Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan sedang berihram,
maka ia dimandikan seperti orang lainnya (yang tidak berihram). Ia
dikafani dengan kain ihramnya itu, tetapi kepalanya tidak ditutup dan
tidak diberi wangi-wangian, karena masih berlaku baginya ketentuan
hukum orang yang sedang berihram. Hal ini berdasarkan kepada
Hadis Nabi SAW:

(٤٦٩ / ٦) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ‬


‫ْﺴﻠُﻮا اﻟْ ُﻤ ْﺤ ِﺮَم ِﰲ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻏ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫ﱠﺎس ﻗ‬ٍ ‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒ‬
ُ‫َﺳ ْﺪ ٍر َوَﻛ ﱢﻔﻨُﻮﻩُ ِﰲ ﺛـ َْﻮﺑـَْﻴ ِﻪ وََﻻ ﲤُِﺴﱡﻮﻩ‬ ِ ‫ْﺴﻠُﻮﻩُ ﲟَِﺎ ٍء و‬ ِ ‫ﺛـ َْﻮﺑـَْﻴ ِﻪ اﻟﻠﱠ َﺬﻳْ ِﻦ أَ ْﺣَﺮَم ﻓِﻴ ِﻬﻤَﺎ وَاﻏ‬
‫َﺚ ﻳـ َْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﳏُْ ِﺮﻣًﺎ‬
ُ ‫ِﻴﺐ وََﻻ ﲣَُ ﱢﻤُﺮوا َرأْ َﺳﻪُ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﻳـُْﺒـﻌ‬
ٍ ‫ﺑِﻄ‬
“Mandikanlah orang yang berihram itu dalam kedua pakaiannya yang
dipakai waktu ia berihram. Mandikanlah ia dengan air dan daun
bidara, kafanilah dia dengan dengan kedua pakaiannya, janganlah
kamu sentuh dia dengan wangi-wangian, jangan kamu tutup
kepalanya, karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari
kiamat dalam keadaan ihram”.139 (HR. Nasaiy)

Dalam hadis tersebut jelas dikemukakan bahwa orang yang


meninggal dunia dalam keadaan sedang berihram tidak boleh diluluti
dengan wangi-wangian dan tidak boleh ditutup kepalanya,
sebagaimana pada waktu melakukan ihram. Ini jika yang meninggal
dunia itu seorang laki-laki. Adapun jika yang meninggal dunia itu
perempuan yang sedang melakukan ihram, maka yang terlarang
menutupnya ialah mukanya.

138
Ibid., hlm. 567 bab 35 al-Karahiyah al-Maghalatin fi al-Kafan
139
Abi ‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Ali (An-Nasaiy), Sunan an-Nasa’iy, Kitab al-Janaiz,
bab 41 Kaifa yukaffanu al-Muhrimu idza mata?, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tth), hlm. 306.

140
Cara Mengkafani Jenazah
1) Jenazah Laki-laki
a) Siapkan tempat yang akan dipakai meletakkan jenazah
b) Letakkan tali jenazah pada 5 posisi, yaitu: ujung kepala, dada,
perut, lutut dan ujung kaki.
c) Bentangkan kain kafan yang telah disiapkan sejumlah 3 lembar
d) Letakkan celana dalam/cawat yang telah disiapkan dan di atas kain
cawat itu diberi kapas lipat secukupnya.
e) Taburilah kain kafan itu dengan serbuk kapur barus
f) Letakkan jenazah dalam keadaan masih tertutup dengan hati-hati,
pelan-pelan hingga benar-benar pas dalam posisi yang benar,
kemudian dibuka tutupnya.
g) Taburi badannya dengan serbuk kapur barus.
h) Tutuplah tujuh lubang, yaitu: 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung dan
1 pusar, dengan kapas yang telah ditaburi serbuk kapur barus.
i) Tutupkan lembaran kapas yang telah ditaburi serbuk kapur barus
pada: wajah muka, leher kanan dan kiri, ketiak kanan dan kiri,
lengan siku kanan dan kiri, di bawah dan atas pergelangan tangan,
kedua lingkaran lutut, kedua lubang bawah dan kedua pergelangan
kaki.
j) Pakaikan celana dalam/cawat dengan rapi.
k) Sedekapkan tangannya dengan posisi tangan kanan di atas tangan
kiri dan sela-selai jari-jarinya dengan kapas.
l) Bungkuskan kain kafan dari arah kiri jenazah ke kanan, kemudian
dari arah kanan ke kiri, hingga tertutup rapat dan rapi seluruh
tubuhnya.
m)Ikatkanlah tali-tali yang telah diposisikan dengan tali hidup.
n) Tutuplah jenazah dengan kain lurup yang telah disediakan.

2) Jenazah Perempuan
a) Siapkan tempat yang akan dipakai meletakkan jenazah.
b) Letakkan tali jenazah pada 5 posisi, yaitu: ujung kepala, dada,
perut, lutut, dan ujung kaki.
c) Bentangkan kain kafan yang telah disiapkan sejumlah dua lembar.

141
d) Letakkan mukena/kerudung pada posisinya.
e) Letakkan baju jenazah pada posisinya
f) Letakkan celana dalam/cawat yang telah disiapkan dan di atas kain
cawat itu diberi kapas lipat secukupnya.
g) Taburilah kain kafan itu dengan serbuk kapur barus
h) Letakkan jenazah dalam keadaan masih tertutup dengan hati-hati,
pelan-pelan, sehingga benar-benar pas dalam posisi yang benar,
kemudian dibuka tutupnya.
i) Taburi badannya dengan serbuk kapur barus.
j) Tutuplah tujuh lubang, yaitu: 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung,
dan 1 pusar, dengan kapas yang telah ditaburi serbuk kapur barus.
k) Tutupkan lembaran kapas yang telah ditaburi serbuk kapur barus
pada: wajah muka, leher kanan dan kiri, ketiak kanan dan kiri,
lengan siku kanan dan kiri, di bawah dan atas pergelangan tangan,
kedua lingkaran lutut, kedua lubang bawah dan kedua pergelangan
kaki.
l) Pakailah celana dalam/cawat dengan rapi
m)Pakaikan mukena/kerudung dengan rapi
n) Pakaikan baju jenazah dengan rapi
o) Pakaikan kain basahan dengan rapi
p) Sedekapkan tangannya, dengan posisi tangan kanan di atas
tangan kiri, dan sela-selai jari-jarinya dengan kapas.
q) Bungkuskan kain kafan dari arah kiri jenazah ke kanan, kemudian
dari arah kanan ke kiri, hingga tertutup rapat dan rapi seluruh
tubuhnya.
r) Ikatkanlah tali-tali yang telah diposisikan dengan tali hidup
s) Tutuplah jenazah dengan kain lurup yang telah disediakan.140

f. Menshalatkan Jenazah
Setelah mayat dimandikan, kemudian dikafankan dengan baik, maka
wajib kifayah bagi umat Islam untuk menshalatkan saudaranya sesama
muslim.

140
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Tuntunan Merawat Jenazah, (Yogyakarta: Surya Sarana
Grafika, 2011), hlm. 17-23

142
1) Dasar Hukumnya

(٢٣٤ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﱰﻣﺬى‬


‫ﱢث‬
ُ ‫ْﺖ ﻋَْﺒ َﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ َﻦ أَِﰊ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ﳛَُﺪ‬ ُ ‫َﺐ ﻗَﺎل َِﲰﻌ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن ﺑْ ِﻦ َﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ ﻣ َْﻮﻫ‬
‫ﱠﱯ‬
‫َﺎل اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫ﺼﻠﱢ َﻲ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓَـﻘ‬ َ ُ‫ُﻞ ﻟِﻴ‬ ٍ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أُِﰐَ ﺑَِﺮﺟ‬ َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬
‫َﺎل أَﺑُﻮ ﻗَـﺘَﺎ َدةَ ُﻫ َﻮ‬ َ ‫َﺎﺣﺒِ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ﱠن َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َدﻳْـﻨًﺎ ﻗ‬
ِ ‫ﺻﻠﱡﻮا َﻋﻠَﻰ ﺻ‬ َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ
‫ﺼﻠﱠﻰ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬ َ َ‫َﺎل ﺑِﺎﻟْ َﻮﻓَﺎ ِء ﻓ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑِﺎﻟْ َﻮﻓَﺎ ِء ﻗ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﻋﻠَ ﱠﻲ ﻓَـﻘ‬
Karena Hadis Jabir, bahwasannya seorang laki-laki muslim meninggal
dunia, kemudian hal itu diadukan kepada Rasūlullāh SAW beliau
bersabda, “Shalatkanlah (jenazah) sahabatmu itu”.141 (HR. Tirmidzi).
2) Syarat Menunaikan Shalat Jenazah
Syarat menunaikan shalat Jenazah adalah sama dengan yang lain,
yaitu:
a) Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari hadas atau najis
b) Menghadap kiblat
c) Menutup aurat
3) Cara Melaksanakannya
Shalat Jenazah cukup dilakukan dengan berdiri tegak, dengan takbir
empat kali dan mengangkat kedua tangan. Sabda Rasūlullāh SAW:

(٢٣٩ / ٥) - ‫ ﻣﻜﻨﺰ‬- ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫ﺻﻠﱠﻰ‬
َ - ‫ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﱠﱮ‬
‫ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬- ‫ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ‬- ‫َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ٍﺮ‬
‫َﺎﺷ ﱢﻰ ﻓَ َﻜﺒﱠـَﺮ أ َْرﺑـَﻌًﺎ‬
ِ ‫ﺻ َﺤ َﻤﺔَ اﻟﻨﱠﺠ‬
ْ َ‫َﻋﻠَﻰ أ‬
Dari Jabir bahwasanya Nabi SAW menunaikan shalat jenazah atas
Raja Najasyi dengan takbir empat kali”142 (HR. Bukhari)
Rukun-rukun Shalat Jenazah
a) Berniat: Niat untuk mendirikan shalat jenazah tempatnya di dalam
hati, tidak ada kaitannya dengan lidah, melafazkan niat tidak
disyariatkan.
b) Berdiri bagi yang kuasa

141
At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 253 Kitab al-Janaiz, bab 70 Ma Ja’a fi ash-Sholah ‘ala al-Madyuni.
142
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 409 Kitab al-Janaiz, bab 64 at-Takbir ‘ala al-Janazati arba’an

143
c) Empat kali takbir
d) Membaca al-Fatihah secara sir
e) Membaca shalawat Nabi secara sir
f) Berdo’a
g) Memberi salam
Hal ini didasarkan kepada Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dari asy-Syafii dari Abu Umamah bin Sahl yaitu:

‫ﱯ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ْﻞ أﻧﻪُ أﺧﱪﻩ رﺟﻞٌ ﻣﻦ أﺻﺤﺎب اﻟﻨ ﱠ‬ ٍ ‫ أﺑﻮ أُﻣَﺎ َﻣﺔَ ﺑ ُﻦ َﺳﻬ‬-
‫وﺳﻠﻢ أن اﻟ ﱡﺴﻨﱠﺔَ ﰲ اﻟﺼﻼة ﻋﻠﻰ اﳉَﻨَﺎزة أن ﻳُ َﻜﺒﱢـَﺮ اﻹﻣﺎ ُم ﰒ ﻳﻘﺮأ ﺑﻔﺎﲢﺔ‬
‫ﱯ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬‫اﻟﻜﺘﺎب ﺑﻌ َﺪ اﻟﺘﻜﺒ َﲑةِ اﻷوﱃ ﻳﻘﺮَأ ِﺳﺮا ﰲ ﻧﻔﺴ ِﻪ ﰒ ﻳُﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨ ﱠ‬
‫وﳜﻠﺺ اﻟﺪﻋﺎء ﻟﻠﺠﻨﺎزة ﰲ اﻟﺘﻜﺒﲑات ﻻ ﻳـَ ْﻘَﺮأُ ﰲ ﺷﺊ ﻣﻨﻬﻦ ﰒ‬ ُ ‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ ِﺳﺮا ﰲ ﻧﻔﺴﻪ‬
“Bahwa menurut sunnah dalam shalat jenazah itu hendaklah imam
bertakbir, kemudian setelah takbir pertama itu hendaklah ia membaca
al-Fatihah secara sir lalu membaca shalawat atas Nabi SAW, dan
setelah itu pada takbir-takbir berikutnya hendaklah dia membaca do’a
bagi jenazah dan tanpa membaca apa-apa lagi, kemudian memberi
salam secara sir pada dirinya”.143 (HR. Al-Baihaqi)

Tempat Imam Berdiri Dalam Shalat Jenazah


Dalam shalat jenazah hendaklah imam berdiri setentang kepala
jenazah laki-laki, dan setentang pinggang jenazah perempuan. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi SAW:

(٤٤٢ / ٤) - ‫ﺳﻨﻦ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬


‫َﺎل‬
َ ‫ُﻞ ﻓَـﻘَﺎ َم ِﺣﻴ‬
ٍ ‫ﺻﻠﱠﻰ َﻋﻠَﻰ ِﺟﻨَﺎ َزةِ َرﺟ‬ َ ‫ِﻚ‬ ٍ ‫َﺲ ﺑْ َﻦ ﻣَﺎﻟ‬ َ ‫ْﺖ أَﻧ‬ُ ‫َﺎل َرأَﻳ‬
َ ‫ِﺐ ﻗ‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﻏَﺎﻟ‬
‫َﺎل‬
َ ‫ﺻ ﱢﻞ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ ﻓَـﻘَﺎ َم ِﺣﻴ‬
َ َ‫َﺠﻲءَ ِِﲜﻨَﺎ َزةٍ أُﺧْﺮَى ﺑِﺎ ْﻣَﺮأَةٍ ﻓَـﻘَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎ أَﺑَﺎ ﲪََْﺰة‬ ِ ‫َرأ ِْﺳ ِﻪ ﻓ‬
‫َﻂ اﻟ ﱠﺴﺮِﻳﺮ‬
ِ ‫َوﺳ‬
“Bahwa ia (Anas) menshalatkan jenazah laki-laki, maka ia berdiri
dekat kepalanya, setelah jenazah itu diangkat, lalu dibawa jenazah

143
Al-Baihaqi, op.cit., hlm. 64 Kitab al-Janaiz, bab 118 bab al-qiroah fi as-Shalah al-Janazah

144
wanita, maka dishalatkannya dengan berdiri dekat pinggangnya….”144
(HR.Ibnu Majah)

Kaifiyat shalat Jenazah


a) Berdiri lurus menghadap kiblat, berniat di dalam hati untuk
mendirikan shalat jenazah lillahi ta’ala, mata tertuju ke depan,
kepala agak ditundukkan sedikit, kedua lengan lurus disisi badan,
lantas bertakbir, sambil mengangkat kedua tangan seraya
membaca: “Allahu Akbar”
b) Selesai bertakbir, tangan kanan menggenggam punggung telapak
tangan kiri mengenai sedikit sendi dan pergelangan tangan dan
diletakkan di atas dada.
c) Membaca Isti’ādzah:
d) Membaca Al-Fātiḥah:

         

         

        

      


1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di hari Pembalasan
5 Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan
6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat
Membaca Amin. Sesudah membaca Al-Fatihah membaca:
e) Shalawat atas Nabi SAW:

144
Ibnu Majah, op.cit., hlm. 264 Kitab al-Janaiz, bab 21 Ma Ja’a fi aina yaqumu al-Imam idza Sholla
‘ala al-Janazah? Hadis Nomor 1494.

145
‫َآل‬
ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ و‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻴ‬
َ ‫ﺻ ﱢﻞ ﻋَﻠَﻰ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َو َﻋﻠَﻰ ِآل ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َﻛﻤَﺎ‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ‬
‫َآل‬
ِ ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ و‬
َ ‫َآل ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ َﻛﻤَﺎ ﺑَﺎ َرﻛ‬
ِ ‫إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ َو ﺑَﺎرِْك َﻋﻠَﻰ ﳏَُ ﱠﻤ ٍﺪ و‬
‫ﱠﻚ ﲪَِﻴ ٌﺪ ﳎَِﻴ ٌﺪ‬
َ ‫إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ َﻢ إِﻧ‬
Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana telah Engkau limpahkan kepada
Ibrahim dan keluarganya. Dan berkahilah Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan
keluarganya. Sesungguhnya Engkaulah Maha Terpuji dan Maha
Mulia”

f) Bertakbirlah (takbir kedua) : ”Allahu Akbar”


g) Bacalah do’a, yaitu:

ُ‫ْﺴ ْﻠﻪ‬ِ ‫ْﻒ َﻋْﻨﻪُ َوﻋَﺎﻓِ ِﻪ َوأَ ْﻛ ِﺮْم ﻧـُُﺰﻟَﻪُ وََو ﱢﺳ ْﻊ ُﻣ ْﺪ َﺧﻠَﻪُ وَاﻏ‬ ُ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ا ْﻏﻔِْﺮ ﻟَﻪُ وَارْﲪَْﻪُ وَاﻋ‬
‫َﺲ‬ِ ‫ﺾ ِﻣ ْﻦ اﻟ ﱠﺪﻧ‬ ُ َ‫ْب ْاﻷَﺑْـﻴ‬ُ ‫ْﺞ َوﺑـََﺮٍد َوﻧـَ ﱢﻘ ِﻪ ِﻣ ْﻦ اﳋَْﻄَﺎﻳَﺎ َﻛﻤَﺎ ﻳـُﻨَـﻘﱠﻰ اﻟﺜـﱠﻮ‬ ٍ ‫ﲟَِﺎ ٍء َوﺛـَﻠ‬
‫ْﻼ َﺧْﻴـﺮًا ِﻣ ْﻦ أَ ْﻫﻠِ ِﻪ َوزَْوﺟًﺎ َﺧْﻴـﺮًا ِﻣ ْﻦ زَْوِﺟ ِﻪ َوﻗِ ِﻪ‬ ً ‫َوأَﺑْ ِﺪﻟْﻪُ دَارًا َﺧْﻴـﺮًا ِﻣ ْﻦ دَا ِرﻩِ َوأَﻫ‬
‫َاب اﻟﻨﱠﺎر‬
َ ‫َﱪ َو َﻋﺬ‬ ِْ ‫ﻓِْﺘـﻨَﺔَ اﻟْﻘ‬
”Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, maafkanlah dia,
selamatkan dia, muliakan dia, lapangkan tempatnya, dan
bersihkanlah dia dengan air, air salju dan air embun. Sucikanlah dia
dari dosa sebagaimana kain putih yang disucikan dari noda. Dan
gantilah rumahnya dengan tempat yang lebih baik lagi, demikian
juga keluarganya dan pasangannya yang lebih baik dan peliharalah
dia dari bencana kubur dan siksa neraka”.

h) Bertakbirlah, (takbir ketiga) ”Allahu Akbar”


i) Bacalah do’a, antaranya:

‫ﺻﻐِ ِﲑﻧَﺎ َوَﻛﺒِ ِﲑﻧَﺎ َوذَ َﻛ ِﺮﻧَﺎ َوأُﻧْـﺜَﺎﻧَﺎ َوﺷَﺎ ِﻫ ِﺪﻧَﺎ َوﻏَﺎﺋِﺒِﻨَﺎ‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ا ْﻏﻔِْﺮ ﳊَِﻴﱢـﻨَﺎ َوَﻣﻴﱢﺘِﻨَﺎ َو‬
‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ َﻣ ْﻦ أَ ْﺣﻴَـﻴْﺘَﻪُ ِﻣﻨﱠﺎ ﻓَﺄَ ْﺣﻴِ ِﻪ َﻋﻠَﻰ ا ِﻹﳝَﺎ ِن َوَﻣ ْﻦ ﺗَـ َﻮﻓﱠـْﻴﺘَﻪُ ِﻣﻨﱠﺎ ﻓَـﺘَـ َﻮﻓﱠﻪُ َﻋﻠَﻰ‬
ُ‫ﻀﻠﱠﻨَﺎ ﺑـَ ْﻌ َﺪﻩ‬
ِ ُ‫ا ِﻹ ْﺳﻼَِم اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻻَ َْﲢ ِﺮْﻣﻨَﺎ أَ ْﺟَﺮﻩُ َوﻻَ ﺗ‬
”Ya Allah, berilah keampunan bagi kami, baik yang hidup maupun
yang mati, yang kecil maupun yang besar, laki-laki atau
perempuan, yang hadir maupun yang ghaib (sedang bepergian). Ya
Allah, siapa yang Engkau hidupkan dari kami, hidupkanlah dia
146
dalam iman dan siapa yang Engkau wafatkan dari kami,
wafatkanlah dia dalam Islam. Ya Allah, janganlah terhalang kami
dari pahalanya dan janganlah kami disesatkan sepeninggalnya”.

j) Bertakbirlah (takbir yang keempat) ”Allahu Akbar” dan membaca


do’a;

ُ‫ﻀﻠﱠﻨَﺎ ﺑَـ ْﻌ َﺪﻩ‬


ِ ُ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻻَ َْﲢ ِﺮْﻣﻨَﺎ أَ ْﺟَﺮﻩُ َوﻻَ ﺗ‬
(Ya Allah, janganlah Engkau halangai kami dari pahalanya dan
jangan Engkau sesatkan kami setelahnya).
k) Akhirnya, mengucapkan salam ke kanan maupun ke kiri dengan
mengucapkan:
l) Lalu bersalamlah : ”Assalamu’alaikum wa rahmatullah” baik ke
kanan maupun ke kiri.
g. Menguburkan Jenazah

Sesudah selesai memandikan, mengkafani dan menshalatkan jenazah


tersebut, maka wajiblah segera dikuburkannya dengan diantar oleh
saudaranya sesama muslim dalam keadaan tenang, tanpa membaca
shalawat, tahlil dan lain sebagainya. Rasūlullāh SAW bersabda:

)٧٦ / ٥) - ‫ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري‬


‫َﺎل أَ ْﺳ ِﺮﻋُﻮا‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫ﻀﻌُﻮﻧَﻪُ َﻋ ْﻦ‬
َ َ‫ِﻚ ﻓَ َﺸﱞﺮ ﺗ‬
َ ‫َﻚ ِﺳﻮَى ذَﻟ‬ ُ ‫َﻚ ﺻَﺎﳊَِﺔً ﻓَ َﺨْﻴـٌﺮ ﺗـُ َﻘ ﱢﺪﻣُﻮﻧـَﻬَﺎ َوإِ ْن ﻳ‬
ُ ‫ﺑِﺎﳉِْﻨَﺎ َزةِ ﻓَِﺈ ْن ﺗ‬
‫ِرﻗَﺎﺑِ ُﻜ ْﻢ‬
”Segeralah mengurus (membawa) jenazah itu, maka jikalau ia seorang
yang sholeh, kalian memperdekatkan dengan kebajikan, dan bila ia buka
termasuk yang demikian, maka barang buruk itu segera kau tinggalkan
dari punggungmu”145 (HR. Bukhari).

Orang yang berkendaraan hendaklah mengikuti di belakang jenazah,


danorang yang berjalan kaki boleh berjalan di mana saja yang dia

145
Al-Bukhari, op.cit., hlm. 405 Kitab al-Janaiz, bab 51 as-Sur’ah bi al-Janazah

147
kehendaki. Bagi orang yang tidak ikut mengantarkan jenazah itu, bila
menyaksikan jenazah diusung dihadapannya, hendaklah berdiri.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa anjuran untuk berdiri ini
sudah mansukh, sebagian lagi ada yang mengatakan boleh berdiri dan
boleh pula duduk di waktu jenazah berlalu.

Bila telah sampai ke kuburan, ucapkan salam kepada ahli kubur,


lepaskanlah alas kaki dan jangan pula duduk di atas kuburan. Rasūlullāh
SAW mengajarkan kepada para sahabat apabila memasuki kuburan
membaca:

(٤٨ / ٩) - ‫ﺳﻧن أﺑﻰ داود‬


‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺧَﺮ َج إ َِﱃ اﻟْ َﻤ ْﻘﺒَـَﺮةِ ﻓَـﻘ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫ﲔ َوإِﻧﱠﺎ إِ ْن ﺷَﺎءَ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑِ ُﻜ ْﻢ َﻻ ِﺣﻘُﻮ َن‬
َ ِ‫ﱠﻼ ُم َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ دَا َر ﻗـَﻮٍْم ﻣ ُْﺆِﻣﻨ‬
َ ‫اﻟﺴ‬
”Selamat sejahtera kamu sekalian wahai ahli kubur, dari orang-orang
yang mukmin, dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul”.146
(HR. Abu Daud).

Kuburan itu hendaknya diperdalam dan dibuat lubang lahadnya. Hal


sesuai dengan sabda Rasūlullāh SAW:

(١١٩ / ٧) - ‫ﺳﻨﻦ اﻟﻨﺴﺎﺋﻲ‬

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـ َْﻮَم أُ ُﺣ ٍﺪ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


ِ ‫َﺎل َﺷﻜ َْﻮﻧَﺎ إ َِﱃ َرﺳ‬ َ ‫َﺎم ﺑْ ِﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ ِﻫﺸ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ اﳊَْْﻔُﺮ َﻋﻠَْﻴـﻨَﺎ ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ إِﻧْﺴَﺎ ٍن َﺷﺪِﻳ ٌﺪ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ﻓَـ ُﻘ ْﻠﻨَﺎ ﻳَﺎ َرﺳ‬
‫ْﺴﻨُﻮا‬
ِ ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ا ْﺣ ِﻔُﺮوا َوأَ ْﻋ ِﻤ ُﻘﻮا َوأَﺣ‬
”Galilah kuburannya, perdalamkanlah dan kerjakan dengan baik.......”
(HR. Nasaiy)

Bila telah sampai di kuburannya, masukkanlah jenazah tersebut dari


arah kaki kubur, dan hendaklah dua atau tiga orang turun ke dalam

146
Abu Daud, op.cit., hlm. 582 Kitab al-Janaiz, bab 83 Ma yaqulu idza marro bi al-qubur.

148
kubur untuk meletakkan jenazah itu. Dan dianjurkan pula bahwa orang
yang turun meletakkannya adalah orang yang tidak menggauli istrinya
pada malam hari sebelumnya. Kemudian pada waktu meletakkannya
hendaklah membaca:

‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬


ِ ‫ﺑِ ْﺴ ِﻢ اﻟﻠﱠ ِﻪ َوﻋَﻠَﻰ ِﻣﻠﱠ ِﺔ َرﺳ‬
”Dengan Asma Allah dan atas agama Rasūlullāh SAW”.

Hadapkanlah mayat itu ke kiblat dan menurut amalan para sahabat.


Bahwa diwaktu menguburkan jenazah perempuan hendaklah ditutup
atasnya dengan kain dan lain sebagainya. Meninggikan kuburan,
membina kuburan dan menjadikannya sebagai masjid merupakan
perbuatan yang terlarang. Selanjutnya meletakkan batu di atas kubur
sebagai tanda agar tidak diinjak-injak atau diduduki orang adalah
menurut sunnah Rasūlullāh SAW. Apabila telah selesai
menguburkannya, hendaklah semua yang hadir turut mendo’akannya
sebagaimana sabda Rasūlullāh SAW:

) ٢٤ / ٩) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬
‫ي َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ِﻫﺸَﺎ ٌم َﻋ ْﻦ ﻋَْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َِﲝ ٍﲑ ﻋَ ْﻦ ﻫَﺎﻧِ ٍﺊ‬ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ إِﺑْـﺮَاﻫِﻴ ُﻢ ﺑْ ُﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ‬
َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا ﻓَـَﺮغ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﺎل ﻛَﺎ َن اﻟﻨِ ﱡ‬ َ ‫ﻣَﻮَْﱃ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن َﻋ ْﻦ ﻋُﺜْﻤَﺎ َن ﺑْ ِﻦ َﻋﻔﱠﺎ َن ﻗ‬
ُ‫ِﻴﺖ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬ِ ‫َِﺧﻴ ُﻜ ْﻢ َو َﺳﻠُﻮا ﻟَﻪُ ﺑِﺎﻟﺘﱠﺜْﺒ‬
ِ ‫َﺎل ا ْﺳﺘَـ ْﻐ ِﻔُﺮوا ﻷ‬
َ ‫َﻒ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓَـﻘ‬
َ ‫ﱢﺖ َوﻗ‬ ِ ‫ِﻣ ْﻦ َدﻓْ ِﻦ اﻟْ َﻤﻴ‬
‫ْاﻵ َن ﻳُ ْﺴﺄ َُل‬
”Mintakanlah ampun bagi saudaramu ini dan mohonkan ketetapan
baginya, karena sekarang ditanya”.147 (HR. Abu Daud)

h. Ta’ziyah (Mengunjungi Keluarga yang mengalami kematian)

Apabila musibah menimpa dari seseorang, maka tidak ada ucapan yang
pantas diucapkan selain ”Innā lillāhi wa inna ilaihi raji’ūn” (Al-
Baqarah/2:156). Dalam Hadis Rasūlullāh SAW disebutkan:

147
Abu Daud, op.cit., hlm. 579-580 Kitab al-Janaiz, bab 73, al-Istighfar ‘inda al-qabri li al-mayyit

149
)٤٧٥ / ٤) - ‫ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬
‫ُﻮل ﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺖ َِﲰﻌ‬ ْ ‫َﻋ ْﻦ أُﱢم َﺳﻠَ َﻤﺔَ أَﻧـﱠﻬَﺎ ﻗَﺎﻟ‬
‫َاﺟﻌُﻮ َن} اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ أْﺟُﺮِْﱐ‬
ِ ‫ُﻮل ﻣَﺎ أََﻣَﺮﻩُ اﻟﻠﱠﻪُ {إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ ر‬
ُ ‫ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ ﺗُﺼِﻴﺒُﻪُ ُﻣﺼِﻴﺒَﺔٌ ﻓَـﻴَـﻘ‬
‫َﻒ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟَﻪُ َﺧْﻴـﺮًا ِﻣْﻨـﻬَﺎ‬ َ ‫ِﻒ ِﱄ َﺧْﻴـﺮًا ِﻣْﻨـﻬَﺎ إﱠِﻻ أَ ْﺧﻠ‬ ْ ‫ِﰲ ُﻣﺼِﻴﺒ َِﱵ َوأَ ْﺧﻠ‬
”Bila seorang hamba terkena musibah lalu berkata: ”Sesungguhnya kita
semua dari Allah dan kelak akan kembali kepada-Nya, Ya Allah
berikanlah untukku dari malapetaka ini dan perbaikanlah nasibku setelah
malapetaka ini, niscaya Allah akan memberikan pahala dan ganti
kebaikan kepadanya”.148 (HR. Muslim)

Bagi orang yang berta’ziyah, disunnahkan oleh Rasūlullāh SAW


membawa makanan dan lain sebagainya, untuk diberikan kepada
keluarga yang ditimpa musibah. Hal ini sejalan dengan Hadis Nabi SAW:

(٤٠٢ / ٨) - ‫ﺳﻨﻦ أﰉ داود‬


‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﻣ َﺴ ﱠﺪ ٌد َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ ُن َﺣ ﱠﺪﺛ َِﲏ َﺟ ْﻌ َﻔُﺮ ﺑْ ُﻦ ﺧَﺎﻟِ ٍﺪ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ‬
ُ‫ﺻﻨَـﻌُﻮا ِﻵ ِل َﺟ ْﻌ َﻔ ٍﺮ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬ ْ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ا‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠِﻪ‬ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫َﺎل ﻗ‬ َ ‫َﺟ ْﻌ َﻔ ٍﺮ ﻗ‬
‫ﻗَ ْﺪ أَﺗَﺎ ُﻫ ْﻢ أَْﻣٌﺮ َﺷﻐَﻠَ ُﻬ ْﻢ‬
”Buatkanlah makanan untuk ahli keluarga Ja’far karena mereka sedang
ditimpa (kesedihan)”.149 (HR. Abu Daud).

Dalam hal ini penta’ziyah menganjurkan kepada keluarga yang


mendapatkan cobaan itu untuk bersabar. Pada suatu ketika Rasūlullāh
SAW dipanggil oleh putri beliau, karena anaknya (cucu Rasūlullāh )
dalam keadaan kritis, kepada utusan itu Rasūlullāh SAW bersabda,
”Kembalilah engkau kepadanya dan katakan bahwa segala sesuatu yang
diambil dan yang diberikan bahkan apapun juga adalah kepunyaan Allah.

148
Muslim, op.cit., hlm. 408 Kitab al-Janaiz bab 2 Ma yuqolu ‘inda al-mushibah Hadis Nomor 918.
149
Abu Daud, op.cit., hlm. 565. Kitab al-Janaiz, bab 30 fi sun’ati ath-Tha’am li ahli al-mayyit

150
Dialah yang menentukan ajalnya, maka suruhlah dia bersabar karena
tunduk pada perintah dan kekuasaan Allah”.

Perbuatan berkumpul-kumpul di rumah ahli musibah untuk makan-


makan dan sebagainya menyalahi sunnah Rasūlullāh SAW, bahkan
para sahabat Rasūlullāh SAW menganggap sebagai meratap. Oleh
karena itu, agar kita mencegah ahli warisnya meratap, karena perbuatan
itu adalah perbuatan jahiliyah yang dilarang Rasūlullāh SAW. Ta’ziyah
ini sangat dianjurkan, baik dilakukan sebelum mayat dikuburkan maupun
sesudah dikuburkan, sampai 3 hari sesudahnya.

3. Latihan
Mahasiswa dibuat 4 kelompok untuk mempersiapkan tugas-tugas
pelaksanaan kewajiban terhadap janazah, yaitu 1) memandikan jenazah, 2)
mengkafani janazah 3) mensholatkan janazah, dan 4) menguburkan
janazah !
4. Evaluasi
a. Jelaskan maksud dari penyelenggaraan janazah !
b. Berikan tahapan pelaksanaan kewajiban kepada janazah !
5. Kunci Jawaban
a. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan jenazah adalah mengurusi
segala hal yang berhubungan dengan orang yang telah meninggal dunia
mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan serta
menguburkannya sesuai dengan tuntunan sunnah Rasūlullāh saw.
b. Pelaksanaan kewajiban terhadap janazah:
1) Memandikan
2) Mengkafani
3) Mensalatkan.
4) Menguburkan

L. Kegiatan Pembelajaran ke-12


1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mendemonstrasikan praktek shalat di kelas
2. Materi Pembelajaran

151
Pertemuan perdana: Dosen mengkordinir, mempersiapkan, mengarahkan,
dan menilai praktik sholat maghrib munfarid setiap mahasiswa sesuai
dengan sunnah Rasulullah saw di kelas.
3. Latihan
Gerakan dan bacaan shalat maghrib mahasiswa di kelas
4. Evaluasi
a. Gerakan
b. Bacaan
c. Tertib dan teratur
5. Kunci Jawaban
a. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.
b. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.
c. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.

M. Kegiatan Pembelajaran ke-13


1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mendemonstrasikan praktek shalat di kelas
2. Materi Pembelajaran
Pertemuan kedua: Dosen mengkordinir, mempersiapkan, mengarahkan,
dan menilai praktik sholat maghrib munfarid setiap mahasiswa sesuai
dengan sunnah Rasulullah saw di kelas bagi yang belum dinilai pada
pertemuan ke-12.
6. Latihan
Gerakan dan bacaan shalat maghrib mahasiswa di kelas
7. Evaluasi
d. Gerakan
e. Bacaan
f. Tertib dan teratur
8. Kunci Jawaban
d. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.
e. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.
f. Sesuai tuntunan sunnah Rasulullah saw.

152
N. Kegiatan Pembelajaran ke-14
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu melakukan zikir minimal selesai shalat wajib.
b. Mahasiswa mampu berdoa berdasarkan doa-doa dalam Alquran dan
hadis mu’tabarah.
2. Materi Pembelajaran
a. Doa dan zikir setelah pelaksanaan shalat Wajib

Setelah shalat wajib, disunnahkan untuk duduk sejenak sambil


melafalkan istighfar yakni permohonan ampun dengan doa;

َ‫أَ ْﺳﺘَـ ْﻐ ِﻔُﺮ اﷲ‬


(Aku minta ampun kepada Allāh) diucapkan 3 x

Atau bisa juga memilih bacaan istighfar yang lebih panjang, yaitu:

‫ْب إِﻟَْﻴ ِﻪ‬


ُ ‫أَ ْﺳﺘَـ ْﻐ ِﻔُﺮ اﷲَ اﻟﱠ ِﺬ ْي ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ ُﻫ َﻮ اْﳊَ ﱠﻲ اﻟْ َﻘﻴـ ْﱡﻮَم َو أُﺗـُﻮ‬
(Aku minta ampun kepada Allah Dzat yang tidak ada Tuhan selain Dia
Yang Hidup, yang senantiasa mengurus makhluk-Nya, dan aku
bertaubat kepada-Nya). HR. Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Hakim, boleh
dibaca 3 x.

Setelah istighfar, dituntunkan membaca;

‫َام‬
ِ‫اﻹ ْﻛﺮ‬
ِْ ‫ْﺖ ﻳَﺎ ذَا اﳉَْﻼ َِل َو‬
َ ‫ْﻚ اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم ﺗَـﺒَﺎ َرﻛ‬
َ ‫ْﺖ اﻟ ﱠﺴﻼَ ُم َوِﻣﻨ‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ أَﻧ‬
(Ya Allah Engkau Maha Sejahtera, Engkaulah Sumber kesejahteraan,
Engkau Maha Memberkati wahai Yang Empunya keagungan dan
kemuliaan) HR. Muslim, Ahmad, an-Nasa’I, dari Tasuban.

Kemudian, membaca Subḥānallāh 33 x, al-Ḥamdulillāh 33 x, Allāhu


Akbar 33 x. Kemudian, disempurnakan dengan membaca tahlīl 1 x
sehingga genap 100 dengan membaca;

‫َﻲ ٍء‬
ْ ‫ْﻚ َوﻟَﻪُ اﳊَْ ْﻤ ُﺪ َوُﻫ َﻮ َﻋﻠَﻲ ُﻛ ﱢﻞ ﺷ‬
ُ ‫ ﻟَﻪُ اﻟْ ُﻤﻠ‬,ُ‫ْﻚ ﻟَﻪ‬
َ ‫ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ اﷲُ َو ْﺣ َﺪﻩُ ﻻَ َﺷ ِﺮﻳ‬
‫ﻗَ ِﺪﻳْـٌﺮ‬
153
(Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu
baginya. Kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian. Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu). Setelah itu, langsung membaca;

‫ْﻚ اﳉَْ ﱡﺪ‬


َ ‫ْﺖ َوﻻَ ﻳـَْﻨـ َﻔ ُﻊ ذَا اﳉَْ ﱡﺪ ِﻣﻨ‬
َ ‫ْﺖ َوﻻَ ُﻣ ْﻌ ِﻄ َﻲ ﻟِﻤَﺎ َﻣﻨَـﻌ‬
َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ﻻَ ﻣَﺎﻧِ َﻊ ﻟِﻤَﺎ أَ ْﻋﻄَﻴ‬
(Ya Allah, tidak ada yang mampu mencegah pada apa yang Engkau beri,
dan tidak ada yang mampu memberi pada apa yang Engkau cegah, dna
tidak bermanfaat yang memiliki (harta dan usaha) apapun bagi-Mu) HR.
Muttafaq ‘Alaih. 150

3. Latihan
Latihlah cara berzikir yang benar setelah shalat wajib sesuai dengan
sunnah Rasulullah saw.
4. Evaluasi
a. Bacalah kalimat-kalimat zikir setelah shalat wajib sesuai dengan sunnah
Rasulullah saw !
b. Bacalah doa minimal 3 macam sesuai dengan teks Alquran atau hadis
Mu’tabarah !
5. Kunci Jawaban
a. Dari sisi kemampuan Mahasiswa
b. Dari sisi kemampuan Mahasiswa

IV. PENUTUP
Suatu ibadah yang diyakini kebenarannya dari Rasulullah saw akan menambah
kegairahan dan kepercayaan diri yang tinggi. Hal ini dikarenakan sesering
mungkin menganalisis dalil-dalil terkait dengan seluruh ibadah yang dikerjakan.
Dengan demikian, pendapat manusia selain Nabi dan Alquran dalam prilaku
ibadah tidak dibenarkan atau ditolak.

150
Syakir Jamaluddin, Kuliah Fiqh Ibadah (Yogjakarta: LPPI UMY, 2011), h.123.

154
DAFTAR BACAAN

‘Ali, Abi ‘Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn. Sunan al-Nasā’iy, Kitab al-Janaiz,
bab 41 Kaifa yukaffanu al-Muhrimu idza mata?, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
tth).

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Kuliah Ibadah; Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991).

Baihaqi, Fiqh Ibadah,1996.Bandung: M2S.

Baihaqi, Abi Bakr Aḥmad ibn al-Hushain ibn ‘Ali al- Sunan al-Kubrā li al-Baihaqi,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424 H/2003 M).

Bukhari, Muhammad ibn Ismail al-. Shahih al-Bukhari, (Qahirah: Matba’ah as-
Salafiyah, tth).

Dewan Syariah LAZIZ Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, (Yogyakarta:


Penerbit Suara Muhammadiyah, 2004).

Husaini, Taqiuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-. Kifāyah al-Akhyār fi Hill Gayat al-
Ikhtisār (Indonesia: Dār al-Ihya’, tth.)

Hajjaj, Muslim al-. Shāḥīh Muslim, (Riyādh: Dār Thayyibah, 1427 H/2006 M).

Ibnu Majah, Abū ‘Abdillāh Muhammad ibn Yāzid al-Qazwinī. Sunan Ibnu Majāh
(Indonesia: Maktabah Dahlān, tth.)

Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud (Jakarta: Kalam


Mulia, 2004).

Ibnu Rusydi, Ahmad. Bidāyah al-Mujtahid (Indonesia: Darihya’ al-Kutub al-


‘Arabiyyah, tth.)

Jamaluddin, Syakir. Kuliah Fiqh Ibadah (Ypgjakarta: LPM UMY, 2011).

Jazairi, Abu Bakar Jabir al-. Minhāj al-Muslim (Mekkah: Dār asy-Syurūq, 1987)

Maḥmūd Syaltūt, Al-Islām: Aqīdah wa Syari’ah (tt.: Dār al-Qalam, 1966).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tuntunan Ramadlan, (Yogyakarta:


Penerbit Suara Muhammadiyah, 2007).
Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta; Penerbit PP
Aisiyah dan MTT PP Muhammadiyah, 2007).

Ma’luf, Louis. 1986. Al-Munjīd fi al-Lughah wa al-A’lām (Beirut: Dār al-Masyruq,


1986)

155
Mugniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqhu ‘alā al-Madzhāhib al-khamsah (al-Ja’fariy, al-
Hanafi, al-Malikiy, al-Syaf’iy, al-Hanbaliy, 2008.cet.ke-2. Kairo: Maktabah al-
Syuruq al-Dauliyah.

Nasution, Harun. Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta. UIP, 1985)Jilid 1

Pasha, Musthafa Kamal. Fikih Islam Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih,
(Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Cet.ke-


3.Yogyakarta:PPM.

Qardawi, Yusuf Fatwa-fatwa Mutaakhir (Bandung: Yayasan al-Hamidiy, 1995).

Qazwini, Abi Abdillah Yazid al-. Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
tth).

Ritonga, A.Rahman Zainudin, Fiqh Ibadah,2002. Cet.II.Jakarta:Gaya Media


Pratama.

Rousdiy, T.A. Latief. Puasa: Hukum dan Hikmahnya (Medan: Rimbow, 1986)

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Tuntunan Merawat Jenazah, (Yogyakarta:


Surya Sarana Grafika, 2011).

Sābiq, Sayid. Fiqih al-Sunah (Beirut: Dār al-Fikr, 1995)

Shihab, M.Quraish. “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994).

Sijistani, Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats as-. Sunan abi Dawud, (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif, tth).

Sinaga, Ali Imran. Fikih Thaharah, Ibadah, Muamalah (Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2011), Bagian Pertama.

Syaibah, Abū Bakr ‘Abdullāh ibn Muḥammad ibn Abī. Al-Kitāb al-Musannaf fi al-
Ahādīs wa al-Atsār ( Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995)

Syaltut, Muhammad. Al-Islam: ‘Aqidah wa Syari’ah (tk. : Dar al-Qalam, 1966).

Tirmidzi, Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsawrah at-. Sunan at-Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif, t,th).

Zaini, Syahminan. Mengapa Manusia Harus Beribadah, tt, Surabaya: Al-Ikhlas.

Zuhdi , Najmuddin dan Elvi Na’imah, Studi Islam 2, (Surakarta: LPID UMS, 2010).

156
BIOGRAFI PENULIS

Nama : Dra. Salmi Abbas, M.H


T.T.L : Medan, 24 Februari 1954
Alamat : Jl. Menteng VII Gg. Kenanga No. 21 C
No. HP : 0812-6407-530
Pengalaman di Muhammadiyah :
 Tim BIM UMSU (Bidang Studi Pengkajian Agama)
 Dosen AIK Fakultas Hukum
 Ketua PW Nasyiatul ‘Aisyiyah SUMUT 1995-2000
 Ketua PW ‘Aisyiyah SUMUT 2005-2010
 Anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah SUMUT 2015-2020
Riwayat Pendidikan : S-1 : IAIN Sumatera Utara ”
S-2 : Universitas Muhammadiyah Jakarta

Nama : Faisal Amri Al-Azhari, S.THI, M.Ag


T.T.L : Pematang Cengal, 24 Desember 1991
Alamat : Pangkalan Berandan, Kec. Babalan, Langkat
No. HP : 0823-6482-2981 / 0852-7699-4802 (WA)
Pengalaman di Muhammadiyah :
 Tim BIM (Kasi. Mentoring)
 Dosen AIK FAPERTA
 Ketua Umum PD IPM Langkat 2012-2014
 PK IMM Ushuluddin UIN-SU 2014-2015
 Wakil Ketua PDM Langkat 2020-2022
Riwayat Pendidikan : S-1: Tafsir Hadits Internasional UINSU
S-2: Ilmu Hadits UIN Sumatera Utara

157
158

Anda mungkin juga menyukai