Anda di halaman 1dari 11

‫العدول واألسلوب‬

Disusun oleh:

Ahmat Rifandi 3220023

Aprilia Putri Ayuni 3220024

Dosen pengampu:

Dr. Tahir Wijaya, M.A.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

2023
A. Pengertian Uslub (‫)معىن األسلوب‬

Makna uslub ialah cara atau gaya bahasa yang dipakai oleh seseorang untuk
menuangkan pokok-pokok pikiran dan perasaannya melalui untaian kata dan ditujukan
kepada para pembaca dan pendengar.
Ranah pembahasan uslub sebenarnya termasuk dalam pembahasan tentang
gramatika . Dalam kasus bahasa Arab, kajian uslub ada dalam nahwu (sintaksis). Sebab,
subtansi pembahasan uslub berkisar kepada pembahasan kalimat, juga merupakan
wilayah nahwu, pembahasan uslub tidak dimasukkan dalam pembahasan struktur
kalimat secara umum , namun diletakkan pada bab tersendiri. Misalnya bab al-Asalib
al-nahwiyah. Berdasarkan kenyataan itu, uslub untuk sementara bias didefinisikan
sebagai kalimat Arab yang memiliki orientasi gramatika yang berbeda dari kalimat
gramatika Arab pada umumnya. Pengertian uslub yang berbasis nahwu inilah yang
hendak digunakan dalam pembahsan kali ini.
Dalam hal ini, tidak ada relevansi yang cukup kuat untuk menyertakan perihal
pembahasan definisi uslub atau semacamnya, misalnya, ada tidaknya uslub (kalimat
yang berorientasi lain) dalam bahasa Arab. Para pakar nahwu tradisional sendiri telah
membangun penjelasan (apologi) yang mencukupi, yakni bahwa yang dikatakan uslub
sesungguhnya sama dengan kalimat pada umumnya, yakni terdiri dari S+P atau
mubtada’ + khobar dan fi’il + fa’il.
Pembahasan uslub mencakup empat hal, yakni kalimat sumpah; uslub
ketakjuban; uslub pujian dan celaan; uslub anjuran dan larangan. Masing-masing akan
dibicarakan pada bagian dibawah ini.
1. Kalimat Sumpah (‫)أسلوب القسم‬

Kalimat sumpah adalah kalimat yang dimaksudkan untuk menguatkan


pesan yang disampaikan untuk menggunakan perangkat-perangkat sumpah
antara lain ( ‫ و‬- ‫ ب‬- ‫ )ت‬Cara menerjemahkan uslub kalimat yang demikian

kedalam bahasa Indonesia adalah dengan menggunakan kata demi….. atau yang
semakna dengannya.
Contoh:
‫وهللا ال جناح اال ابجملاهدة‬
Diterjemahkan → Demi Allah, tidak ada suatu keberhasilan kecuali dengan
kerja keras.
‫اتهلل ان فاعل اخلرب حملبوب‬

Diterjemahkan → Demi Allah, orang yang berbuat baik niscaya dicintai


(Disini kata inna dalam penerjemahannya dibuang karena kata inna memiliki
maksud yang sama dengan makna sumpah itu sendiri, yakni menguatkan).
‫ابهلل ان انقنت لتنجحن العمل‬

Diterjemahkan → Demi Allah, apabila engkau menuntaskan


(menyempurnakan) kerja dengan baik niscaya engkau akan berhasil

2. Uslub Ketakjuban (‫)أسلوب التعجب‬

Uslub ketakjuban adalah gaya ungkapan yang dimaksudkan untuk


menyampaikan suatu ketakjuban, baik tentang seseorang, benda maupun yang
lainnya. Umumnya, gaya ungkapan ini disampaikan dengan dua pola : ‫ما‬
‫افعل به —افعله‬. Cara menerjemahkan uslub yang demikian adalah dengan kata
‘betapa’, ‘oh betapa’ atau kata-kata lain yang menunjukkan kekaguman.
Contoh:
‫ما أمجل السماء‬

Diterjemahkan → Betapa indahnya langit itu


‫أمجل ابلسماء‬

Diterjemahkan → Oh indahnya langit itu


‫ما أحسن الصدق‬

Diterjemahkan → Betapa mulia sikap jujur


‫أعظم بتقدم الصناعات يف البالد األوربية‬

Diterjemahkan → Betapa maju perindustrian di negeri-negeri Eropa


‫ماأكرم أن يقال احلق‬

Diterjemahkan → Betapa mulia apabila kebenaran disuarakan


Hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan penerjemah salah
memahami pemakaian gaya bahasa ta’ajub sebagai kata Tanya (pola pertama)
atau sebagai kata perintah (pola kedua). Karena secara kebahasaan
antara ta’ajub pola pertama (kata tanya) dan pola kedua (kata perintah) dapat
dikatakan sama persis. Dalam hal ini, konteks kalimat amat menentukan
pemaknaan pola tersebut, apakah ta’ajub berpola kata Tanya
atau ta’ajub berpola kata perintah. Penerjemah dituntut cermat dengan melihat
konteks kalimat sebelum dan sesudahnya. Kesalahan memahmi jenis pola ini
amatlah fatal. Sebagai ilustrasi kesalahan ini , misalnya, jika contoh pertama
diterjemahkan : Apa yang indah dari langit itu ?’ Kesalahan pemahaman
tentang pola ini disebut-sebut sebagi legenda yang mendorong lahirnya ilmu
Gramatika-Sintaksis Arab (Nahwu) oleh Abu Aswad al-Duali.

3. Uslub Pujian dan Celaan (‫)أسلوب املدح والذم‬

Uslub pujian dan celaan adalah gaya ungkapan yang dimaksudkan untuk
memberikan pujian ataupun celaan. Sebagian besar gaya ungkapan ini
menggunakan kata-kata ‫نعم‬.atau ‫بئس‬Cara penerjemahan dua kata tersebut
adalah dengan kata ’sebaik-baik’ , ‘seburuk-buruk’ atau semakna dengan
keduanya.
Sebagai contoh:
‫نعم املستغرب حسن حنفى‬

Diterjemahkan → sebaik-baik tokoh oksidentalis adalah hasan hanafi


‫بنس املستعمر هو لندا‬

Diterjemahkan → Seburuk-buruk penjajah adalah Belanda


‫نعم الرجااللصانع اجملد‬

Diterjemahkan → sebaik-baik orang adalah pekerja yang sungguh-sungguh


‫نعم خلقا األمانة‬

Diterjemahkan → sebaik-baik budi pekerti adalah sifat amanah


‫نعم الصديق الكتاب‬

Diterjemahkan → sebaik-baik teman adalah buku


‫بنس القول شهادة الزور‬

Diterjemahkan → seburuk-buruk perkataan adalah kesaksian palsu

Penerjemah seringkali salah menduga bahwa kata-kata


kedua lafadz diatas belum membentuk kalimat, namun masih merupakan frase.
Memang susunan pola kalimat ini potensial disalahpahami secara demikian .
Harus dicatat bahwa kata-kata setelah dua lafadz diatas biasanya telah
membentuk kalimat lengkap. Perhatikan contoh kalimat pertama. Kalimat
tersebut sangat mungkin disalah fahami sebagai satu frase idhafi. Sebagai
implikasinya, terjemahannya pun tentu kurang tepat, misalnya menjadi ‘ sebaik-
baik seorang pekerja yang sungguh-sungguh’.

4. Uslub Anjuran dan Larangan (‫)أسلوب اإلغراء والتحذير‬

Gaya ungkap ini lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan ketimbang
bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, uslub ini banyak dijumpai dalam karya-karya
sastra. Yang dimaksud gaya ungkap anjuran atau ighra’ adalah gaya ungkap
yang menganjurkan orang kedua agar melakukan perbuatan-perbuatan terpuji.
Sedangkan gaya ungkap larangan atau tahdzir, sebagai bandingannya, adalah
peringatan kepada orang kedua untuk menjauhi perbuatan tercela.
Cara mengidentifikasi gaya ungkapan ini adalah dengan melihat bahwa
suatu kalimat hanya terdiri dari suatu kata saja atau dua kata yang sejajar dan
kesemuanya dibaca mansub. Cara menerjemahkan pola ini adalah dengan
menggunakan kata-kata yang bermakna menganjurkan atau memperingatkan,
misalnya’…lah’, ‘janganlah’, ‘sebaiknya’, ‘seyogianya’, dan sebagainya.
Contoh:
‫العدل‬

Diterjemahkan → Berbuat adillah!


‫الكذب‬

Diterjemahkan → Jangan berdusta!


‫الصدق واإلخالص‬

Diterjemahkan → Seyogianya Anda jujur dan ikhlas.


‫النفاق واخليانة‬

Diterjemahkan → Sebaiknya engkau jauhi sifat munafik dan khianat.

Titik rawan kesalahpahaman pada pola ini adalah pada dugaan bahwa
ungkapan tersebut dipahami hanya sebagai satu katra atau dua kata yang sejajar,
bukan dipahami sebagai kalimat lengkap. Disinilah penerjemah harus berhati-
hati. Ungkapan-ungkapan seperti diatas itu nampaknya memang terdiri dari satu
kata atau dua kata sejajar, namun sebenarnya merupakan sebuah kalimat
lengkap, setidaknya dari aspek pesan yang dikandungnya. Sebagai ilustrasi,
misalnya, penerjemah salah memahami kalimat pertama, dankalimat ketiga
pada contoh diatas, sehinggakalimat pertama (salah) diterjemahkan dengan
‘keadilan’, dan kaliamat ketiga (salah) diterjemahkan dengan ‘’kejujuran dan
keikhlasan’’

B. Penyimpangan Gaya Bahasa (‫)العدول‬

‫ العدول‬artinya ‘penyimpangan’, penyimpangan dari kaidah umum bahasa atau

penggunaan bahasa yang berlaku umum.


(bunyi) ‫ العدول يف االصوات‬.1

ٰ‫َوَم ْن اَ ْو ىٰف مِبَا ع َىه َد عَل َْيهُ ى‬


)10 :‫اّللَ (الفتح‬

Mengucapkan kata ‫ (كسر اهلاء) عليه‬terasa ringan, karena sesuai dengan ketentuan

asal dalam membaca dhamir muttashil dan tetap akan terasa ringan walaupun bacaan
bersambung dengan kata (‫)هللا‬, menjadi (‫)عليه هللا‬, tetapi mengucapkan )‫ عليه (ضم اهلاء‬akan

terasa berat, dan akan terasa lebih berat bila bacaan itu bersambung dengan kata (‫)هللا‬

menjadi (‫ )عليه هللا‬yang di sebut dengan bacaan (‫)تفخيم‬.

Bacaan tafkhim tersebut mencerminkan perasaan beratnya situasi dan kondisi


yang dialami para sahabat seputar peeristiwa di hudaibiyah yang menghasilkan janji
setia para sahabat semua –kecuali orang munafik- terhadap kebijaksaaan yang diambil
pemimpin mereka, rosululloh saw. Dengan kata lain, bagi pembaca termasuk kita
sekarang, bacaan tafkhim ini dapat merangsang untuk berimajinasi, melayangkan
pandangan kepada peristiwa yang kritis ini. Suasana kebatinan kaum muslimin saat itu
dan pengaruh psikologisnya dalam diri pembaca tidak akan tertampung, jika tidak
dilakukan penyimpangan (‫ )العدول‬dari kaedah umum tentang dhamir yang melahirkan

bunyi ‘tafkhim’ yang berata itu.


‫َاعوا لَهُ نَ ْقًبا‬
ُ ‫اسَتط‬
ْ ‫َاعوا أَ ْن يَظ َْه ُروهُ َوَما‬
ُ ‫اسط‬
ْ ‫فَ َما‬
“Maka mereka (kaum Ya’juj dan Ma’juj) tidak bisa mendakinya (mendaki benteng yang
telah dibuat oleh Zurkarnain), dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.”

Untuk makna tersebut dipilihlah kata (‫)اسطاعوا‬yang menyimpang (‫ )العدول‬dari

bentukan yang lazim (‫)استطاعوا‬. Kata (‫ )اسطاعوا‬yang menjadi pendek (karena hilang huruf

ta’) dan menjadi lebih berat diucapkan karena setelah bunyi ( ‫ )س‬bersambung ke huruf

(‫ )ط‬yang tafkhim mencerminkan tugas berat yang mesti dilakukan dengan tindakan

gerak cepat.

‫ العدول يف البنية الصرفية‬.2

Contoh:
a. Kata benda (‫ )العامل‬berdasarkan kaidah umum dijamakkan dalam bentuk ( ‫مجع‬

‫ )التكسري‬yaitu (‫)العوامل‬, tetapi dalam surah al-fatihah ayat 2 terjadi (‫ )العدول‬di bentuk

dengan (‫ )مجع املذكر السامل‬layaknya jamak makhluk berakal, yaitu (‫)العاملني‬.

‫ب الْعَال م‬ ‫مم‬
‫ي‬
َ ‫َم‬ ٰ‫ا ْحلَ ْم ُد هّلل َر م‬
“Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam. Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.”

Dari ayat ini dan ayat-ayat setelahnya, dipahami makhluk Tuhan yang paling
dominan, paling berperan di alam ini mesti makhluk yang berakal, khususnya
manusia. Untuk mengungkapkan makna ini maka diperlukan ‘penyimpangan’
dari jamak taksir (‫ )العوامل‬kepada jamak muzakkar salim (‫)العاملني‬. Kata (‫)العامل‬
menurut kaidah sharf tidak bisa menjadi jamak berakal, karena bukan kata sifat,
dan bukan benda berakal. Dipihak lain, dengan adanya (‫)العدول‬, maka ayat ke-2

ini bersajak dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

b. Menggunakan fiil mudhari (‫ )يرفع‬untuk mengungkapkan masa lalu


‫يم‬ ‫م‬
ُ ‫س مم‬
ُ ‫يع ال َْعل‬ ‫ت ال ه‬ َ ‫يل َربهنَا تَ َقبه ْل ممنها إمنه‬
َ ْ‫ك أَن‬ ‫م م م‬ ‫م م‬ ‫م‬
ُ ‫َوإم ْذ يَ ْرفَ ُع إمبْ َراه‬
ُ ‫يم الْ َق َواع َد م َن الَْب ْيت َوإ ْْسَاع‬
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail
(seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Untuk itu dilakukanlah (‫ )العدول‬dengan menggunakan (‫ )يرفع‬yaitu (‫)فعل مضارع‬


yang menunjukan masa sekarang atau masa yang akan datang. Andaikata fi’il
madhi (‫ )رفع‬yang digunakan maka kenangan sepanjang zaman akan hilang,
pembaca tidak akan terangsang untuk melayangkan imajinasinya. Demikian
sebaliknya menggunakan (‫ )فعل ماض‬untuk masa yang akan datang, untuk
menunjukan ‘kepastian’ terjadi masa yang akan datang, seperti fi’il (‫ )اتي‬dalam
ayat ini.
‫أَتَى أَمر هم‬
‫اّلل فَال تَ ْستَ ْع مجلُوهُ ُس ْب َحانَهُ َوتَ َع َاَل عَ هما يُ ْش مرُكو َن‬ ُْ
“Ketetapan Allah pasti datang (Hari Kiamat). Maka, janganlah kamu meminta
agar dipercepat (kedatangan)-nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa
yang mereka persekutukan.)”

Ini sama dengan ungkapan ‘iqamah’ (‫ )قد قامت الصالة‬padahal shalat belum

dilaksanakan.

c. Menggunakan jamak (‫ )مجع املذكر السامل‬dalam konteks perempuan, dalam ayat

berikut.
‫ت مم َن‬ ‫ت بم َكلمم م‬
ْ َ‫ات َرمِٰبَا َوُكتُبم مه َوَكان‬ َ ْ َ‫ص هدق‬
‫ممم م‬
َ ‫ت فَ ْر َج َها فَ نَ َف ْخنَا فيه م ْن ُروحنَا َو‬
ْ َ‫صن‬ ‫ومرََيَ اب نَ َ م‬
ْ ‫ت ع ْم َرا َن الهمِت أ‬
َ ‫َح‬ ْ ََْ

َ ‫الْ َقانمتم‬
‫ي‬

“.... dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.”


Untuk menampung makna atau kenyataan ini ungkapan ayat tidak ( ‫وكانت من‬

‫)القانتان‬, melainkan (‫)وكانت من القنتني‬. Ada pendapat lain yang hakikatnya

menunjang, yaitu bahwa makna (‫ )من‬di sini menunjukan makna ‘sebagian’,

artinya: dan dia adalah berasal dari keturunan orang-orang (laki-laki) yang taat.

Di pihak lain dengan adanya (‫)العدول‬, ayat ini bersajak dengan ayat-ayat

sebelumnya.

(struktur kalimat) ‫ العدول يف الرتكيب النحوي‬.3

ُ ‫إم هَّي َك نَ ْعبُ ُد َوإم هَّي َك نَ ْسَت مع‬


‫ي‬

a. Disini tampak (‫ )العدول‬dalam bentuk perubahan secara tiba-tiba dari uslub

kalimat ‘berita’ ke uslub ‘dialog’. Terasa dialog, akibat adanya peralihan atau
‘udul’ dari nama Yang Maha Agung (‫ )هللا‬serta asmanya yang lain menjadi ( ‫ضمري‬

‫)خماطب‬. Yaitu (‫)اايك نعبد‬, tidak (‫)اايه نعبد‬.

Selain itu, secara struktur juga tampak ‘udul’ dengan menempatkan objek ( ‫مفعول‬

‫ )به‬di awal kalimat dengan tujuan mendapatkan penekanan makna menjadi “

hanya Kepada-Mu.”
Dengan adanya dua macam ‘udul’ sekaligus dalam satu ayat, makna surat al-
fatihah secara keseluruhan nampak hidup, dan – sebagai surat pertama dalam
al-qur’an- dapat dipandang sebagai ‘ikrar’hamba kepada Maha Pencipta Yang
Maha pengasih dan Maha Penyayang.

b. (tidak ada jawab syarat) ‫ولئن كفرت‬

‫ش مديد‬
َ َ‫َوإم ْذ ََتَذه َن َربُّ ُك ْم لَئم ْن َش َك ْرُُْت أل مزي َدنه ُك ْم َولَئم ْن َك َف ْرُُْت إم هن َع َذ ماِب ل‬
“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”

Sebagaimana diketahui, dunia ini tempat bekerja dan berjuang, bukan tempat
balasan. Balasan amal di Hari Kiamatlah (=‫ )يوم احلساب‬tempatnya. Jadi di dunia

ini orang kufur nikmat belum tentu di kurangi nikmat dunianya, bahkan tidak
sedikit mereka yang karena lebih pintar serta teerampil mencari harta benda,
malah tambah berlimpah harta kekayaannya. Itulah sebabnya ungkapan ‘syarat’
pada kalimat kedua tidak ada jawabnya (......‫)ولئن كفرت‬. Andaikata ada jawab

syarat, boleh jadi akan timbul pemahaman yang tidak cocok dengan prinsip
‘Rahman’ Tuhan di dunia sebagai (‫)رب العا ملني‬, seperti yang dikemukakan dalam

uraian tentang fashahah ayat (‫ )احلمدهلل رب العاملني‬yang lalu.

(makna semantik) ‫ العدول الداليل‬.4

‫ين مم ْن قَ ْبلم ُك ْم ل ََعله ُك ْم تَته ُقو َن‬ ‫م‬


َ ‫ب َعلَى الهذ‬
‫م‬
َ ‫ام َك َما ُكت‬ ٰ‫ب َعل َْي ُك ُم م‬
ُ ‫الص َي‬ ‫م‬
َ ‫آمنُوا ُكت‬
‫م‬
َ ‫ََّي أَيُّ َها الهذ‬
َ ‫ين‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”

Dalam ayat ini terdapat ‘’udul’ bukan dalam struktur kalimat, tetapi dalam
makna (dalali, semantik), yaitu walaupun ayat ini tampil dengan gaya kalimat
berita (=‫)خربية‬, tapi maknanya bukan berita (=‫)إنسائية‬, yaitu ‘perintah ‘ kewajiban

puasa bulan ramadhan.


‫سائم ُك ْم ُه هن لمَباس لَ ُك ْم َوأَنْ تُ ْم لمَباس ََلُ هن َعلم َم ه‬ ‫الصي مام ال هرفَ ُ م‬
‫م‬ ‫م‬
‫اّللُ أَنه ُك ْم ُك ْن تُ ْم ََتَْتانُو َن‬ َ ‫ث إم ََل ن‬ َ ٰ َ‫أُح هل لَ ُك ْم ل َْي لَة‬

‫ي‬ ‫ب ه‬
َ ‫اّللُ لَ ُك ْم َوُكلُوا َوا ْش َربُوا َح هَّت يَ َت َب ه‬ ُ ‫اب َعل َْي ُك ْم َو َع َفا َع ْن ُك ْم فَاآل َن َاب مش ُر‬
َ ‫وه هن َوابْ َت غُوا َما َكَت‬ َ ‫س ُك ْم فَ َت‬
َ ‫أَنْ ُف‬
‫اش ُرو ُه هن َوأَنْ تُ ْم َعاكم ُفو َن‬
‫الصيام إم ََل اللهْي مل وال تُب م‬ ‫م‬ ‫مم‬ ‫ط األب يض ممن ْ م‬
َ َ َ َ ٰ‫األس َود م َن الْ َف ْج مر ُثُه أَِتُّوا م‬
ْ ‫اخلَْيط‬ َ ُ َ ْ ُ ‫اخلَْي‬
ْ ‫لَ ُك ُم‬

‫آَّيتم مه لملن م‬
‫هاس ل ََعله ُه ْم يَته ُقو َن‬ ‫ي ه‬
َ ُ‫اّلل‬ َ ‫وها َك َذلم‬
ُٰ‫ك يَُبم‬
‫ود هم‬
َ ُ‫اّلل فَال تَ ْق َرب‬ َ ‫اج مد تمل‬
ُ ‫ْك ُح ُد‬ ‫ميف الْمس م‬
ََ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-

isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Alloh mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Alloh mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Alloh
untukmu, dan makn minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Alloh, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
agar mereka bertakwa.”

Sejalan dengan pendapat para muffasirin, dalam ayat diatas terdapat beberapa
‘udul’ dari segi makna, sebagai berikut.
1. Kata (‫ )الرفث‬semula berarti segala apa yang diinginkan seorang laki-laki terhadap

iterinya, lalu dengan gaya kiasan (‫ )كتابة‬berarti ‘jimak’, dan kiasan termasuk ke

dalam bentuk (‫)العدول‬

2. Dalam ungkapan: (‫ )ابشرو هن‬dan (‫ )وال تباشروهن‬terdapat ‘’udul’ dengan

menggunakan kinayah: (‫ابشر‬-‫ تباشر‬:‫ )املباشرة‬bermakna ‘jimak’.

3. ‘’udul’ dari ‘perintah’ fi’il amar (‫ )كلواواشربوا‬menjadi ‘ibahah’ (=boleh) makan dan

minum. Lalu kata ‘benanga putih’ (‫)اخليط االبيض‬kinayah ‘siang hari’, dan ‘benang

hitam’ (=‫ )اخليط االشود‬kinayah ‘malam hari’

4. Ungkapan (‫ )فال تقربوها‬merupalkan gaya hiperbol (‫)املبالغة‬, dan gaya bahasa seperti

ini dapat di kategorikan ke dalam ‘’udul’. Mubalaghah dalam arti ‘mendekati


saja dilarang, apalagi melakukannya’, seperti mubalaghah dalam melarang
berzina: ‫والتقربواالزن‬

Anda mungkin juga menyukai