Anda di halaman 1dari 7

Essay

Program Pelatihan : PKP


Nama Mata Pelatihan : Kepemimpinan Pancasila dan Bela Negara
Nama Peserta : Arif Kusudiyardi

KEPEMIMPINAN PANCASILA DAN BELA NEGARA DALAM MENCEGAH KORUPSI


DAN FRAUD
A. Pendahuluan
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
merupakan indeks yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap
korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri,
penyelenggara negara dan politisi. Sejak diluncurkan pada tahun 1995, CPI telah
digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi dalam
negeri dibandingkan dengan negara lain. Skor CPI mempergunakan skala 0-100.
Nilai atau skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100
berarti dipersepsikan sangat bersih.
Laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan, indeks persepsi
korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022.
Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global.
Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun
sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Menurunnya IPK Indonesia mengindikasikan persepsi publik terhadap korupsi di
jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu.
Selain itu terdapat contoh sebelum terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT)
oleh Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK), seorang kepala daerah
menandatangani pakta integritas pencegahan korupsi di kantor KPK. Namun
sangat disayangkan beberapa bulan setelahnya, sang kepala daerah terjaring
OTT oleh KPK atas tuduhan suap promosi dan mutasi jabatan. Bagaikan duduk
berkisar tegak berpaling, sang kepala daerah yang telah berjanji untuk tidak
melalukan tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) justru melanggar
janjinya sendiri dengan melakukan tindak pidana tersebut. Kurangnya integritas
yang tertanam dalam jiwa sang kepala daerah membuatnya dengan mudah
melanggar janjinya sendiri.
Dari kasus-kasus diatas korupsi dilakukan justru oleh pejabat publik yang
seharusnya memiliki jiwa kepemimpinan yang didasarkan oleh Pancasila dan
memiliki sikap Bela Negara. Berikut kita akan kita bahas betapa pentingnya
konsepsi Kepemimpinan Pancasila dan Bela Negara.
B. Analisis Masalah
Dari beberapa diatas permasalahan fraud dan korupsi, sebagian besar dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki kewenangan untuk mengatur, dalam sebutan
singkatnya adalah orang-orang yang diberikan amanah untuk memimpin.
Data diatas menyajikan betapa rapuhnya sikap dan sifat kepemimpinan yang
dimiliki oleh para pemimpin. Hal ini bisa jadi pemimpin-pemimpin yang
melakukan tindak pindana korupsi atau fraud belum memiliki pemahaman
bagaimana memiliki sifat kepemimpinan Pancasila dan bela negara. Berikut kami
sajikan penjelasan mengenai kepemimpinan Pancasila dan bela negara
1) Kepemimpinan Pancasila
a) Definisi Kepemimpinan
Gibson (1997) menyatakan kepemimpinan adalah suatu upaya
penggunaan jenis-jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang
mencapai tujuan. Hal senada juga disampaikan oleh Subarino (2011),
bahwa kepemimpinan juga melibatkan pengaruh. Menurutnya
kepemimpinan adalah suatu proses yang melibatkan pengaruh, terjadi
dalam konteks individu atau kelompok, dan melibatkan pencapaian tujuan.
Kedua definisi diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan selalu
melibatkan pengikut, sehingga memotivasi pengikut melalui pemenuhan
kebutuhannya menjadi hal penting ketika anda ingin menjadi pemimpin
yang baik. Akan tetapi, perkembangan dunia kepemimpinan terbangun
dengan proporsi atensi yang cenderung lebih berbobot kepada
pemimpinnya daripada kepada kebutuhan pengikutnya (Kellerman,2007).
Padahal memotivasi seseorang diperlukan usaha pemenuhan
kebutuhannya.
Kepemimpinan dapat memberikan dampak langsung kepada kualitas
moral dan penyelenggaraan pelayanan lembaga atau organisasi
(Finkelstein and Hambrick, 1996; Trevino et al., 1998; Ciulla, 1995, dalam
Petric, Joseph A, and Quinn, John F, 2001). Pimpinan yang berintegritas
dan akuntabel secara tidak langsung akan memberikan teladan bagi
lingkungan kerja dimana Dia berada. Bila pimpinan tidak memiliki
integritas dan akuntabilitas yang baik, akan berdampak sebaliknya. Dari
sudut pandang stakeholder dan pengguna layanan, seorang pemipin yang
berintegritas tinggi akan lebih mudah merespon kekhawatiran stakeholder
dan pengguna layanan dengan keputusan yang baik, kebijakan yang
sehat, dan keinginan untuk selalu mempertahankan kualitas layanan
terbaik ((Litz, 1996; Driscoll and Hoffmann, 1999, dalam Petric, Joseph A,
and Quinn, John F, 2001).

b) Definisi Etika dan Integritas


Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya tempat
tinggal, kandang, kebiasaan, sikap, watak, atau cara berpikir. Menurut
Bartens (dalam Wiranta, 2015), etika adalah nilai dan norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam
jaringan, etik sebagai nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat, atau secara lebih umum sebagai kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (Badan Bahasa,2016).
Akhlak sendiri adalah kata serapan dari bahasa Arab yang berarti budi
pekerti atau dalam rasa bahasa yang lebih tinggi juga disebut sebagai tata
susila (Bakry, 1978). Keraf (2002) memahami etika sebagai ajaran yang
berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya sikap dan perilaku
manusia. Sedangkan integritas berasal dari bahasa Latin integer yang
artinya seluruh. Menurut KBBI integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan
yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan
kemampuan yang memancarkan kewibawaan (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2016). Dari dua pengertian dasar tersebut maka
sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam
keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, dimana nuansa keutuhan
atau kebulatannya tidak dapat dihilangkan. Integritas selalu dikaitkan
dengan pekerjaan. Integritas seseorang terlihat ketika adanya gangguan
dari luar yang memancing pekerja untuk melanggar atau membocorkan
rahasia organisasi. integritas menjadi karakter yang melekat pada subjek
pekerja atau pegawai. Integritas menjadi sesuatu yang terkait langsung
dengan individu, bukan dengan kelompok atau organisasi. Jika integritas
seseorang bagus, maka kepercayaan atasan kepadanya juga semakin
meningkat. Integritas bukan sekadar istilah yang merujuk pada perilaku
etis, tetapi lebih jauh dalam lagi, integritas mengandaikan tingkat
pemahaman moral yang universal yang secara rasional dapat
dipertanggungjawabkan (Herdiansyah, 2013).

c) Kepemimpinan Pancasila
Bila mengacu pada sila-sila yang ada pada Pancasila, Kepemimpinan
Pancasila adalah:
1. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, akan menciptakan
pemimpin yang memiliki sifat religiusitas yang baik. Keberadaannya
sebagai makhluk ciptaan Tuhan akan tunduk dengan aturan dan
pedoman yang diyakininya. Keberadaan Tuhan cukup menjadikan
dirinya sadar bahwa setiap tindak tanduknya akan diawasi secara
melekat di manapun, kapan pun. Pemimpin yang takut di awas
Tuhannya, bukan takut diawasi aparat penegak hukum atau disadar
Komisi Pemberantasan Korupsi.
2. Sila Kedua, Kemanuasian yang Adil dan Beradab, akan
menciptakan pemimpin yang sadar betul artinya keadilan bagi
seluruh unsur masyarakat di negeri ini. Tidak ada satupun yang
memiliki keistimewaan di mata hukum, atau kebijakan yang dibuat.
Hak Asasi Semua unsur manusia di negeri ini harus dilindungi dan
dibela. Sikap ini juga merupakan cerminan dari manusia yang
religius.
3. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, akan menciptakan pemimpin yang
mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongannya. Semua keputusannya akan mencerminkan
kepentingan persatuan negeri ini.
4. Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan dan Permusyawaratan Perwakilan, akan
menciptakan pemimpin yang memiliki jiwa kerakyatan yang tinggi.
Dalam konteks ASN, apa yang dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya kepada masyarakat sebagai
pemberi kepercayaan. Pemimpin yang mengedepankan kepentingan
rakyat akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam
sudut pandang kepentingan rakyat secara luas.
5. Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, akan
menciptakan pemimpin yang adil secara inklusif kepada siapapun.
Sikap ini harus berlandaskan moral yang cukup kuat, berintegritas,
dalam artian, mampu adil dari dalam hati, ucapan, hingga tindakan.

2) Bela Negara
a. Definisi Bela Negara
Secara eksplisit, bela negara tertuang dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-
Undang Dasar NRI Tahun 1945, isinya “setiap warga negara berhak
danwajib ikut serta dalam upaya Pembelaan Negara”. Bela negara ini,
tidak lain merupakan upaya dalam menjaga ketahanan dan keamanan
negara, baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Hal ini
termaktub jelas dalam Pasal 30 UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 di mana pada ayat (1) dijelaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara”. Dengan demikian, keterlibatan warga negara dalam upaya bela
negara merupakan suatu keniscayaan sebagai ungkapan rasa cinta
terhadap tanah air.

b. Nilai-nilai Dasar Bela Negara


Wantannas RI menyebutkan Nilai-Nilai Dasar Bela Negara, sebagaimana
yang dikutip dalam Modul Lembaga Administrasi Negara yang ditulis oleh
Basseng, dkk, (2019) meliputi 6 (enam) kelompok ruang lingkup nilai,
dengan rincian penjelasan sebagai berikut:
1) Cinta Tanah Air
Cinta merupakan perasaan (rasa) yang tumbuh dari hati yang paling
dalam tiap warga negara terhadap Tanah Air yakni Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Untuk menumbuhkan nilai-nilai rasa cinta Tanah Air perlu memahami.
Indonesia secara utuh meliputi: pengetahuan tentang sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia, potensi sumber daya alam,
potensi sumber daya manusia serta posisi geografi yang sangat
strategis dan terkenal dengan keindahan alamnya sebagai zamrud
khatulistiwa yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa
kepada bangsa Indonesia.

2) Sadar Berbangsa dan Bernegara


Rasa cinta Tanah Air yang tinggi dari tiap warga negara, perlu
ditopang dengan sikap kesadaran berbangsa yang selalu menciptakan
nilai-nilai kerukunan, persatuan dan kesatuan dalam keberagaman di
lingkungan masing-masing serta sikap kesadaran bernegara yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD
NRI Tahun 1945. Untuk menumbuhkan sikap kesadaran berbangsa
dan bernegara yang merdeka dan berdaulat di antara negara-negara
lainnya di dunia, perlu memahami nilai-nilai yang terkandung dalam
konsepsi kebangsaan yang meliputi: Wawasan Nusantara, Ketahanan
Nasional, Kewaspadaan Nasional dan Politik Luar Negeri Bebas Aktif.

3) Setia kepada Pancasila sebagai Ideologi Negara


Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, telah terbukti ampuh
dalam menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia, telah terjadi
berulang kali peristiwa sejarah yang mengancam keberadaan NKRI,
namun berbagai bentuk ancaman tersebut dapat diatasi, berkat
kesetiaan rakyat Indonesia terhadap ideologi Pancasila. Untuk
membangun kesetiaan tiap warga negara terhadap ideologi Pancasila
perlu memahami berbagai faktor yang turut mempengaruhi
berkembangnya pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut sebagai
bagian dari nilai-nilai dasar bela negara yang meliputi: penegakan
disiplin, pengembangan etika politik dan sistem demokrasi serta
menumbuhkan taat hukum. Kesetiaan tiap warga negara kepada
Pancasila sebagai ideologi negara dan sekaligus sebagai dasar
negara, perlu diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, merupakan jaminan bagi kelangsungan
hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI tahun 1945.

4) Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara


Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan dan
mempertahankannya hingga saat ini, adalah berkat tekad para
pejuang bangsa yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya.
Sikap rela berkorban telah menjadi bukti sejarah, bahwa kemerdekaan
Indonesia diperoleh dengan perjuangan yang tulus tanpa pamrih dari
seluruh kekuatan rakyat melawan kolonial Belanda dan kelompok yang
anti kepada NKRI. Dengan semangat pantang menyerah, para
pejuang bangsa maju ke medan perang, baik perang fisik militer
maupun perang diplomasi untuk mencapai kemenangan. Untuk
membangun sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara tiap warga
negara perlu memahami beberapa aspek yang meliputi: konsepsi jiwa,
semangat dan nilai juang, tanggung jawab etik, moral dan konstitusi,
serta sikap mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Dengan sikap rela berkorban demi untuk
bangsa dan negara akan dapat membangun kekuatan bangsa untuk
membangun ketahanan nasional yang kuat, kokoh dan handal, serta
menyukseskan pembangunan nasional berpijak pada potensi bangsa
negara secara mandiri.

5) Mempunyai Kemampuan Awal Bela Negara


Kemampuan awal bela negara dari tiap warga negara, diartikan
sebagai potensi dan kesiapan untuk melakukan aksi bela negara
sesuai dengan profesi dan kemampuannya di lingkungan masing-
masing atau di lingkungan publik yang memerlukan peran serta dalam
upaya bela negara. Pada dasarnya tiap warga negara mempunyai
kemampuan awal bela negara berdasarkan nilai-nilai dasar bela
negara dari aspek kemampuan diri seperti nilai-nilai percaya diri, nilai-
nilai profesi dan sebagainya dalam mengantisipasi dan mengatasi
berbagai bentuk ATGH melalui berbagai tindakan dalam bentuk
sederhana hingga yang besar. Sesungguhnya tiap warga negara telah
melakukan tindakan bela negara dalam berbagai aspek yakni: aspek
demografi, geografi, sumber daya alam dan lingkungan, ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan aspek pertahanan
keamanan.
6) Semangat Untuk Mewujudkan Negara Yang Berdaulat, Adil dan
Makmur
Semangat untuk mewujudkan cita-cita bangsa, merupakan sikap dan
tekad kebangsaan yang dilandasi oleh tekad persatuan dan kesatuan
untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sikap dan tekad bersama
merupakan kekuatan untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pada dasarnya bangsa
Indonesia berjuang untuk merdeka, berdaulat dan berkeadilan,
memberantas kemiskinan dan kebodohan serta mendambakan
perdamaian dunia yang damai.
Apabila para pemimpin memperhatikan dan memahami konsep dan penjelasan
diatas, maka tindakan fraud dan korupsi di negara kita akan berkurang mencapai
ke titik 0. Tindakan fraud dan korupsi di negara kita karena terkikisnya rasa cinta
tanah air berdasarkan Pancasila dan lunturnya kepedulian untuk memiliki sifat
bela negara.

C. Peran Kepemimpinan Yang Diperlukan Dalam Mengatasi Permasalahan Diatas


Dari penjelasan dan uraian analisis masalah diatas, penyebab terjadinya Fraud
dan Korupsi adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya Pemahaman terkait konsep Etika, Integritas, Kepemimpinan
Pancasila dan Bela Negara.
2. Adanya usaha pemisahan Pemahaman terkait konsep Etika, Integritas,
Kepemimpinan Pancasila dan Bela Negara dengan implementasi dalam
memimpin.
Untuk mengatasi penyebab terjadinya fraud diatas adalah bagaimana
membangkitkan kesadaran terkait Pemahaman terkait konsep Etika, Integritas,
Kepemimpinan Pancasila dan Bela Negara sejak dini.
Di Instansi Kami, BPKP telah melakukan tindakan-tindakan dalam mewujudkan
Pemahaman terkait konsep Etika, Integritas, Kepemimpinan Pancasila dan Bela
Negara sejak dini antara lain dengan;
a. Pelatihan Bela Negara bagi level pimpinan
b. Pelatihan Diklat Dasar dengan memperbanyak materi Pancasila, bela negara
dan wawasan kebangsaan untuk para CPNS
c. Menerapkan nilai-nilai PIONIR (Profesional, Integritas, Orientasi pada
pengguna, Nurani dan Akal Sehat dan Responsibel) dalam setiap penugasan
dan dilakukan monitoring berkala
d. Mengusahakan setiap unit kerja menjadi WBK dan menjadi Zona Integritas
e. Menerapkan Kegiatan Budaya Kerja berupa (Bintal untuk pegawai Muslim
dan Oukumene untuk Nasrani, dll)

Anda mungkin juga menyukai