Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

TERBENTUKNYA INSTITUSI- INSTITUSI PENDIDIKAN


ISLAM DI INDONESIA

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Suadi S.Ag M.Pd

Disusun oleh:

Shabrina Fajrfalah Tananta (4011722034)

Faridatun Nisysak (4011722032)

Kholifatus Sabila (4011722018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SALAHUDIN


PASURUAN

2024

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yan Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji sukur ke hadirat-Nya yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, serta Inayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul
“Terbentuknya Institusi-Institusi Pendidikan Islam di Indonesia”
dari dosen kami Suadi, S.Ag.,M.Pd.I. Makalah ini sudah kami
susun semaksimal mungkin dan dapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat melancarkan pembuatan makalah ini. Untuk
itu, pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Suadi, S.Ag.,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah kami yang


sudah membimbing serta memberikan referensi dalam
pembuatan makalah ini.
2. Anggota kelompok 4 yang telah benkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini.

Telah disadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata


sempurna yang mana masih ada kekurangan baik dalam segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
dengan senang hati menerima segala saran dan kritis dari
pembaca yang bersifat membangun terutama kepada Suadi,
S.Ag.,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Sejarah pendidikan Islam
agar makalah ini dapat diperbaiki. Maka dari itu, semoga
makalah tetang “Terbentuknya Institusi-Institusi Pendidikan
Islam di Indonesia” bermanfaat bagi para pembaca serta mampu
memberikan pengetahuan.

ii
DAFTAR ISI
H A L A M A N J U D U L .........................................................................................i
K A T A P E N G A N T A R .....................................................................................i i
D A F T A R I S I ....................................................................................................i i i
B A B I P E N D A H U L U A N .............................................................................1
A. L a t a r B e l a k a n g .............................................................................1
B. R u m u s a n M a s a l a h .......................................................................2
C. T u j u a n .............................................................................................3
B A B I I P E M B A H A S A N ...............................................................................5
A. I s l a m i s a s i d i N u s a n t a r a ............................................................5
B. T e r b e n t u k n y a I n s t i t u s i d a l a m I s l a m .................................1 0
C. Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, dan
faktor-faktor apa yang memengaruhi perkembangan
institusi pendidikan Islam di masa awal hingga periode
m o d e r n ....................................................................................................1 1
D. I s l a m i s a s i I n s t i t u s i P e n d i d i k a n I s l a m d i I n d o n e s i a ....1 4
E. Peran utama institusi-institusi pendidikan Islam dalam
pembentukan identitas agama dan budaya di Indonesia,
serta bagaimana peran ini berkembang seiring dengan
p e r u b a h a n s o s i a l d a n p o l i t i k d a l a m s e j a r a h I n d o n e s i a ........1 6
F. Peran pemerintah Indonesia dalam mendukung dan
mengatur institusi-institusi pendidikan Islam, serta
bagaimana hubungan antara institusi-institusi ini dengan
s i s t e m p e n d i d i k a n n a s i o n a l d i I n d o n e s i a ..................................1 9
G. Peran Kerajaan Islam dalam Islamisasi dan
P e r k e m b a n g a n A w a l P e n d i d i k a n I s l a m d i N u s a n t a r a ...........2 1
H. P u s a t - P u s a t K e i l m u a n P a l i n g A w a l d i N u s a n t a r a ........2 6
BAB III P E N U T U P ....................................................................................3 1
A. K e s i m p u l a n .................................................................................3 1
D A F T A R P U S T A K A .....................................................................................i v

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Islam telah menjadi bagian integral dari sejarah dan
perkembangan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Latar
belakang terbentuknya institusi-institusi pendidikan Islam di
Indonesia sangatlah beragam, dipengaruhi oleh berbagai faktor
historis, sosial, politik, dan budaya. Pendidikan Islam pertama
kali masuk ke wilayah yang kini menjadi Indonesia melalui para
pedagang dan ulama dari berbagai belahan dunia Islam, seperti
Persia, Arab, dan India, pada abad ke-13 hingga ke-14 Masehi.
Mereka membawa ajaran Islam serta membantu membentuk
lembaga-lembaga pendidikan awal di wilayah ini. 1
Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga ke-16, dengan
datangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Aceh
dan Kesultanan Demak, pendidikan Islam semakin
berkembang. Raja-raja dan ulama-ulama Islam dari
kerajaan-kerajaan ini memainkan peran penting dalam
mendirikan madrasah-madrasah sebagai institusi
pendidikan Islam formal. Madrasah-madrasah ini
memberikan pendidikan agama Islam, bahasa Arab, dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Selama masa penjajahan Belanda, institusi
pendidikan Islam menghadapi berbagai kendala dan
tekanan, namun tetap bertahan dan berkembang. Pada awal
abad ke-20, gerakan modernis Islam yang dipimpin oleh
ulama-ulama seperti Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(Hamka) dan Ahmad Dahlan memperkuat institusi
pendidikan Islam. Hamka, misalnya, mendirikan sekolah-

1
Frimayanti, A. I. (2015). Latar Belakang Sosial Berdirinya Lembaga Pendidikan Islam Terpadu di
Indonesia. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 6(1), 27-45.

1
sekolah Islam modern, seperti Universitas Islam Indonesia
di Yogyakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
pendidikan Islam semakin mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya
pendidikan agama Islam dan mendukung pendirian
institusi-institusi pendidikan Islam, termasuk madrasah-
madrasah dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, peran
ulama dalam pembangunan negara juga semakin diperkuat.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan Islam di
Indonesia semakin berkembang dan beragam. Selain
institusi formal seperti sekolah dan universitas Islam,
pesantren juga tetap menjadi bagian penting dari sistem
pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren merupakan
tempat di mana para santri (murid) belajar agama Islam,
ilmu-ilmu keislaman, dan nilai-nilai moral.
Dengan demikian, latar belakang terbentuknya
institusi-institusi pendidikan Islam di Indonesia adalah
hasil dari perpaduan sejarah panjang, budaya, dan
perkembangan sosial yang kaya. Pendidikan Islam telah
menjadi bagian integral dari identitas Indonesia dan terus
berperan penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai
masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana islamisasi di Nusantara?
2. Bagaimana terbentuknya institusi dalam islam?
3. Bagaimana Islamisasi Institusi Pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia,
dan faktor-faktor apa yang memengaruhi perkembangan
institusi pendidikan Islam di masa awal hingga periode
modern?

2
5. Apa peran utama institusi-institusi pendidikan Islam
dalam pembentukan identitas agama dan budaya di
Indonesia, serta bagaimana peran ini berkembang
seiring dengan perubahan sosial dan politik dalam
sejarah Indonesia?
6. Bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam
mendukung dan mengatur institusi-institusi pendidikan
Islam, serta bagaimana hubungan antara institusi-
institusi ini dengan sistem pendidikan nasional di
Indonesia?
7. Bagaimana peran kerajaan Islam dalam islamisasi dan
perkembangan awal pendidikan Islam di Nusantara?
8. Bagaimana pusat-pusat keilmuan paling awal di
Nusantara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui islamisasi di Nusantara.
2. Untuk mengetahui terbentuknya institusi dalam islam.
3. Untuk mengetahui Islamisasi Institusi Pendidikan di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui sejarah awal pendidikan Islam di
Indonesia, dan faktor-faktor apa yang memengaruhi
perkembangan institusi pendidikan Islam di masa awal
hingga periode modern.
5. Untuk mengetahui peran utama institusi-institusi
pendidikan Islam dalam pembentukan identitas agama
dan budaya di Indonesia, serta bagaimana peran ini
berkembang seiring dengan perubahan sosial dan politik
dalam sejarah Indonesia.
6. Untuk mengetahui peran pemerintah Indonesia dalam
mendukung dan mengatur institusi-institusi pendidikan
Islam, serta bagaimana hubungan antara institusi-

3
institusi ini dengan sistem pendidikan nasional di
Indonesia.
7. Untuk mengetahui peran kerajaan Islam dalam
islamisasi dan perkembangan awal pendidikan Islam di
Nusantara.
8. Untuk mengetahui pusat-pusat keilmuan paling awal di
Nusantara.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islamisasi di Nusantara
Dalam masa kedatangan dan penyebaran Islam di
Indonesia, terdapat negara-negara yang bercorak
Indonesia-Hindu. Di Sumatra terdapat kerajaan Sriwijaya
dan Melayu; di Jawa, Majapahit; di Sunda, Pajajaran; dan
di Kalimantan, Daha dan Kutai. Agama Islam yang dating
ke Indonesia mendapat perhatian khusus dari kebanyakan
rakyat yang telah memeluk agama Hindu. Agama Islam
dipandang lebih baik oleh rakyat yang semula menganut
agama Hindu, karena Islam tidak mengenal kasta, dan
Islam tidak mengenal perbedaan golongan dalam
masyarakat. Daya penarik Islam bagi pedagang-pedagang
yang hidup di bawah kekuasaan raja-raja Indonesia-Hindu
agaknya ditemukan pada pemikiran orang kecil. Islam
memberikan sesuatu persamaan bagi pribadinya sebagai
anggota masyarakat muslim. Sedangkan menurut alam
pikiran agama Hindu, ia hanyalah makhluk yang lebih
rendah derajatnya dari pada kasta-kastalain. Di dalam
Islam, ia merasa dirinya sama ataubahkan lebih tinggi dari
pada orang-orang yang bukan muslim, meskipun dalam
struktur masyarakat menempati kedudukan bawahan.
Proses islamisasi di Indonesia terjadi dan
dipermudah karena adanya dukungan dua pihak: orang-
orang muslim pendatang yang mengajarkan agama Islam
dan golongan masyarakat Indonesia sendiri yang
menerimanya. Dalam masa-masa kegoncangan politik,
ekonomi, dan social budaya, Islam sebagai agama dengan
mudah dapat memasuki dan mengisi masyarakat yang
sedang mencari pegangan hidup, lebih-lebih cara-cara yang

5
ditempuh oleh orang-orang muslim dalam menyebarkan
agama Islam, yaitu menyesuaikan dengan kondisi social
budaya yang telah ada. Dengan demikian, pada tahap
permulaan islamisasi dilakukan dengan saling pengertian
akan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi
masyarakatnya. Pembawa dan penyebar agama Islam pada
masa-masa permulaan adalah golongan pedagang, yang
sebenarnya menjadikan factor ekonomi perdagangan
sebagai pendorong utama untuk berkunjung ke Indonesia.
Hal itu bersamaan waktunya dengan masa perkembangan
pelayaran dan perdagangan internasional antara negeri-
negeri di bagian barat, tenggara, dan timur Asia.
Diterimannya agama Islam di semua bidang karena
memang masyarakat yang sangat terbuka dengan budaya
dan agama dari luar. Masyarakat memiliki sifat menerima,
bias berkompromi dengan hal-hal yang tidak sesuai, dan
lebih menjaga kerukunan dari pada perselisihan. Bagi
masyarakat nusantara khususnya Jawa, keselarasan atau
harmoni antara jagadgede (makrokosmos) dan jagad kecil
(mikrokosmos) sangat menonjol sehingga diupayakan untuk
selalu dijaga dengan baik. Upaya ini menemukan bentuknya
dalam ungkapan selamet. Orang Jawa memiliki konsep
tentang “rasa” yang sangat baik dalam menghadapi
benturan-benturan.2
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran
Islamisasi yang berkembang ada empat,yaitu: Pertama,
pada tahap permulaan, saluran Islamisasi adalah
perdagangan. Kesibukan lalulintas perdagangan pada abad
ke-7 hingga ke-16 M. Membuat pedagang-pedagang Muslim
(Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam
perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan
2
Edi Susanto dan Karimullah Karimullah, “Islam Nusantara: Islam Khas dan Akomodatif terhadap
Budaya Lokal,” Al-Ulum 16, no. 1 (2016): 70

6
Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan
ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan
turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka
menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat
Tome Pires berkenaan dengan saluran Islamisasi melalui
perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandra sasmita
menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang
bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika
itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid
dan mendatangkan mullah-mullah dari luar se-hingga
jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak
Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. 3 Di
beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa,yang menjabat
sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di
pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya
karenafaktor politik dalam negeri yang sedang goyah,
tetapi terutama karena factor hubungan ekonomi dengan
pedagang-pedagang Muslim.
Kedua, melalui jalur perkawinan. Dari sudut
Ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial
yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga
penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik
untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin,
mereka diIslamkan terlebih dahulu. Setelah mereka
mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas.
Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan
kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan
berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh
keturunan bangsawan, tentu saja setelah yang terakhir ini
masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih
menguntungkan apabila terja diantara saudagar Muslim

3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2000), h.201-203

7
dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati,
karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut
mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi
antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai
Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten,
Brawijaya dengan putri Campa yang me-nurunkan Raden
Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.
Ketiga, Islamisasi juga dilakukan melalui
pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan
ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama,
guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah
keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-
masing kemudian berdakwah ketempat tertentu
mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan
oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan
Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang
diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
Keempat, Saluran Islamisasi melaui kesenian yang
paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan,
Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam
mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untu
kmengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian
besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata
dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran
dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain
juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat,
babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
Selain saluran Islamisasi di atas, Mansur
menambahkan dua lagi yaitu: Tasawuf dan Politik. Dari
saluran Tasawuf, para pengajar tasawuf atau sufi

8
mengajarkan teosofi yang bercampur dengan jalan yang
sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka
mahir dalam magis dan penyembuhan. Hal itu mudah
dilakukan karena adanya kesamaan ajaran-ajaran Hindu dan
Budha yang sudah ada, sehingga Islam mudah dimengerti
dan diterima. Sedangkan dari saluran Politik, dapat terlihat
di Maluku dan Sulawesi Selatan, rakyatnya masuk Islam
setelah rajanya masuk Islam, maka kerajaan Islam berusaha
menguasai kerajaan Islam. Sehingga secara politis banyak
menarik penduduk kerajaan non Islam untuk masuk Islam. 4
Agen-agen Islamisasi di Nusantara Proses Islamisasi
di wilayah Nusantara tidak lepas dari peran para pemuka
agama yang menyebarkan agama Islam. Hal ini dikarenakan
strategi yang digunakan dalam menyampaikan agama
menggunakan budaya dan bias diterima oleh masyarakat.
Di wilayah Sumatera, terutama daerah Pasai, strategi yang
digunakan adalah bidang politik. Tokoh yang melakukan
Islamisasi di wilayah aceh adalah Syekh Ismail yang
kemudian mengislamkan Meurah Silu penguasa Pasai.
Selain dalam dunia politik, dalam bidang budaya
khususnya hokum adat juga dilakukan meskipun prosesnya
cukup lama dan banyak penolakan. Tokohnya adalah Syekh
Akhmat Khatib yang menolak harta pusaka yang kemudian
diklasifikasi oleh Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi
harta pusaka dan harta pencarian.
Di wilayah Lombok juga terjadi Islamisasi melalui
budaya. Tokohnya adalah Sunan Prapen dengan putranya
yaitu Nurcahya dan Nursada yang melalukan penyebaran
agama Islam melalui budaya. Islam tersebut sekarang
dikenal Islam WetuTelu. Dalam prakteknya warna agama

4
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), h.
44-45

9
bercampur dengan adat walaupun adat sendiri tidak sejalan
dengan agama.5
Di wilayah Jawa juga metode yang dilakukan
bermacam-macam. Ranah politik juga dilakukan, salah
satunya adalah adanya kerajaan Demak dengan rajanya
Raden Fatah. Dengan raja yang beragama Islam tentunya
rakyat akan ikut beragama Islam. Di bidang budaya, tokoh
yang melakukan adalah para songo terutama Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus yang mampu meramu
agama dalam budaya setempat.6
B. Terbentuknya Institusi dalam Islam
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istilah yang
mengacu kepada pengertian institusi (lembaga), yaitu
institute dan institution. Istilah pertama menekankan
kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi
untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua
menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu system
norma untuk memenuhi kebutuhan. 7
Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi “ an institution
consist of a concept idea, doctrine, interest and a
structure”; (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-
cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur). Sebagai
sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan
aturan yang mengatur warga kelompok di masyarakat. Di
samping itu merupakan pedoman dan tolak ukur untuk
menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu. Norma-
norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka

5
Muhammad Harfin Zuhdi, “Islam Wetu Telu [Dialektika Hukum Islam dengan Tradisi Lokal],”
Istinbath: Jurnal Hukum Islam IAIN Mataram 13, no. 2 (2014): 163.
6
Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (2015): 244–
49
7
Mohammad Daud Ali. 1995.Lembaga-Lembaga Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka, h. 1

10
lahirlah, misalnya kelompok norma kekerabatan yang
menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan,
kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi
pendidikan, kelompok norma hukum melahirkan institusi
hokum seperti peradilan.
Dalam perspektif Islam, institusi adalah system nilai
dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalama kidah,
ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin
dalam rukun iman yang enam. Norma ibadah tercermin
dalam bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji. Norma
muamalah tercermin dalam hukum perdagangan,
perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian,
hokum pidana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin
dalam akhlak terhadap Allah SWT dan akhlak terhadap
makhluk. Norma-norma dalam Islam yang merupakan
Characteristic Institution seperti yang disebutkan di atas
kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasit ertentu
yang merupakan bangunan atau wujud konkret dari norma.
Pembentukan asosiasi dengan landasan norma oleh
masyarakat muslim merupakan upaya memenuhi kebutuhan
hidup mereka, sehingga mereka bias hidup dengan aman
dan tentram serta bahagia di dunia dan akhirat, karena
institusi di dalam islam adalah system norma yang
didasarkan pada ajaran islam dan sengaja diadakan untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam. 8
C. Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, dan faktor-
faktor apa yang memengaruhi perkembangan institusi
pendidikan Islam di masa awal hingga periode modern
Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia adalah
kisah yang panjang dan beragam, dimulai sejak abad ke-13
Masehi dengan kedatangan pedagang dan ulama Islam dari

8
Atang, Abdul Hakim, dkk. 2011.Metodologi Studi Islam, Jakarta: Publisher Rosda, h. 125-135

11
berbagai belahan dunia Islam, seperti Persia, Arab, dan
India, ke wilayah yang kini menjadi Indonesia. Faktor-
faktor yang memengaruhi perkembangan institusi
pendidikan Islam di masa awal hingga periode modern
dapat diuraikan sebagai berikut: 9
1. Kedatangan Pedagang dan Ulama Islam: Pada abad
ke-13 hingga ke-14, pedagang Islam memasuki wilayah
Indonesia untuk tujuan perdagangan. Bersama dengan
mereka, ulama-ulama Islam juga datang dan membawa
ajaran agama Islam serta pengetahuan keislaman.
Mereka berperan dalam menyebarkan Islam dan
mendirikan masjid-masjid sebagai pusat ibadah dan
pembelajaran agama Islam.
2. Kerajaan Islam: Pada abad ke-15 hingga ke-16,
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan
Aceh dan Kesultanan Demak memberikan dorongan
penting bagi perkembangan pendidikan Islam. Raja-raja
dan ulama-ulama Islam dari kerajaan-kerajaan ini
mendirikan madrasah-madrasah yang memberikan
pendidikan agama Islam, bahasa Arab, dan ilmu-ilmu
keislaman kepada masyarakat.
3. Perkembangan Lembaga Pendidikan: Madrasah adalah
salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam awal yang
berperan besar dalam menyebarkan ilmu pengetahuan
Islam. Madrasah-madrasah ini umumnya didirikan oleh
ulama-ulama lokal dan menjadi pusat pembelajaran bagi
para santri. Mereka mempelajari Al-Quran, Hadis,
Fiqih, Tafsir, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
4. Keragaman Budaya dan Etnis: Indonesia yang kaya
akan keragaman budaya dan etnis juga memengaruhi
perkembangan pendidikan Islam. Setiap daerah memiliki
9
Hidayat, T., Rizal, A. S., & Fahrudin, F. (2018). Peran Pondok Pesantren Sebagai Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia. Ta dib Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 461-472.

12
tradisi pendidikan Islam yang unik sesuai dengan
budaya dan konteks sosialnya sendiri. Misalnya,
pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang
sangat penting di Jawa, sementara Aceh memiliki sistem
pendidikan yang berbeda.
5. Peran Para Ulama: Peran ulama dalam memelihara dan
mengembangkan pendidikan Islam sangatlah penting.
Ulama-ulama seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung
Jati di Jawa, serta ulama-ulama di Aceh, menjadi
pemimpin dan pendiri pesantren-pesantren yang
berperan dalam menjaga keberlanjutan pendidikan Islam
di Indonesia.
6. Pengaruh Kolonialisme: Masa penjajahan Belanda juga
memengaruhi pendidikan Islam di Indonesia. Belanda
mencoba mengendalikan pendidikan dan kurikulum di
madrasah-madrasah, tetapi pendidikan Islam tetap
bertahan dan bahkan berkembang pesat.
7. Perkembangan Modernisasi Islam: Pada awal abad ke-
20, gerakan modernis Islam muncul di Indonesia, yang
dipimpin oleh ulama-ulama seperti Hamka dan Ahmad
Dahlan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah Islam
modern dan universitas yang menggabungkan
pendidikan agama dengan pendidikan umum.
Dengan berbagai faktor ini, pendidikan Islam di
Indonesia telah berkembang dari masa awal hingga periode
modern. Institusi-institusi pendidikan Islam yang ada saat
ini mencerminkan warisan panjang sejarah, budaya, dan
keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia.
Perkembangan ini juga terus berlanjut seiring dengan
perubahan sosial, politik, dan teknologi dalam masyarakat
Indonesia.10
10
Anwar, M. E. (2017). Menelusuri Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia. Edukasi Islami: Jurnal
Pendidikan Islam, 3(05).

13
D. Islamisasi Institusi Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam berlangsung bersamaan dengan
proses Islamisasi wilayah Nusantara. Pendidikan terlihat
dari kemunculan masjid dan pengembangan institusi
pendidikan di berbagai wilayah. Lembaga pendidikan ini di
Aceh disebut sebagai Dayah, di Sumatra Barat disebut
sebagai Surau, sementara di Jawa disebut sebagai
Pesantren. Ketiga institusi ini menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran pengetahuan Islam dan terdapat
adopsibudaya lokal di dalamnya.
Perkembangan pesat institusi pendidikan Islam
menemukan momentum pada abad ke-17. Laju
perkembangan ini terkait dengan pembaruan intelektual dan
situasi politik kerajaan besar yang sedang berubah.
Pembaruan intelektual merupakan transmisi gagasan
keagamaan yang melibatkan jaringan intelektual ulama. 11
Gejala yang muncul dalam pembaruan intelektual adalah
neosufis meyakni perpaduan ajaran tasawuf yang
dirumuskan kembali dengan penguatan. Ulama besar
seperti Abdur Rauf as-Singkili, dan Yusuf al Maqassari
menghubungkan corak keilmuan yang berkembang di
Harmainke wilayah Nusantara. Manifestasi pembaruan
intelektual adalah munculnya gerakan keagamaan
keagamaan (tarekat) seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah,
dan Syatariyah di wilayah Nusantara. Tarekat-tarekat
tersebut memiliki basis di surau, dayah, dan pesantren.
Perkembangan lembaga pendidikan Islam dipengaruhi
pula kebijakan politik Kesultanan. Sultan Iskandar Muda
dari Aceh misalnya membangun struktur politik feudal
dengan menyelenggarakan jabatan Uleebalangguna
11
Azyumardi Azra. 2000.Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVII, Bandung: Mizan, h. 124

14
memperkuat hegemoni politiknya atas daerah taklukan.
Kebijakan ini berarti memisahkan hierarki kekuasaan
agama dan politik, yang masing-masing dipegang oleh
ulama dan Uleebalang. Dalam kasus kerajaan Mataram
hubungan ulama dan penguasa mengalami konflik.
Kebijakan politik Amangkurat 1 memerangi ulama yang
dianggap melakukan pemberontakan. Hubungan ini
membawa implikasi yang lebih luas secara politik yakni
pemisahan diri ulama dari kancah politik dan menjauhkan
hubungan pesantren dengan aristokrat. 12
Menurut Azra, aliran Sufi mampu melakukan
Islamisasi hingga mencapai wilayah peripheral atau
pedalaman. Sufi mudah diterima oleh masyarakat local
karena pada hakikatnya aliran tersebut toleran dengan
budaya lokal. Islam sebagai realitas social mampu
mengakomodasi budaya yang termanifestasi dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kehidupan
beragama local genius masih kentara. Hal ini dapat diamati
juga dalam lembaga pendidikan Islam di Nusantara.
Pertama, Surau. Surau merupakan sebuah institusi
pendidikan Islam di Sumatera Barat. Walaupun demikian,
Surau telah menjadi bagian dari system adat dan budaya
masyarakat Minangkabau sebelum Islam masuk ke wilayah
ini. Sistem kekerabatan matrilineal dalam masyarakat
Minangkabau mengatur bahwa laki-laki hanya bias bertamu
kerumah isterinya saja. Surau merupakan tempat kediaman
para pemuda yang telah akil balig dan menjadi tempat
untuk menimba ilmu. Oleh karena itu surau menjadi
saluran yang strategis sebagai sarana Islamisasi. Surau
menjadi pusat tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan
Syatariyah. Tarekat menjadi ikatan solidaritas social baru
12
Burhanudin, Jajat. 2012.Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah
Indonesia, Jakarta: Mizan Publika, h. 76

15
di tengah segmentasi masyarakat adat Minangkabau. Dalam
suatu tarekat ketaatan seorang guru kepada murid sifatnya
mutlak. Guru menjadi sentral ilmu bagi para muridnya
untuk mempelajari al Qur’an maupun kitab-kitab klasik
lainnya.
Kedua, Dayah. Dayah berasal dari kosa kata Arab
Zawiyah yang berarti bangunan yang berkaitan dengan
masjid. Dalam dialek Aceh pengucapan kata zawiyah
menjadi Dayah yang secara fungsional merujuk pada
tempat pendidikan.13 Materi yang diajarkan merupakan
Alqur’an dan kitab klasik mengenai fiqih, tauhid, tasawuf,
dan sebagainya.
Ketiga, Pesantren. Pesantren secara ketata bahasaan
berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe-dan
akhiran-an, yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam
sebuah pesantren terdapat lima elemen penting antara lain:
pondok, masjid, kyai, santri, dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik.

E. Peran utama institusi-institusi pendidikan Islam dalam


pembentukan identitas agama dan budaya di Indonesia,
serta bagaimana peran ini berkembang seiring dengan
perubahan sosial dan politik dalam sejarah Indonesia
Institusi-institusi pendidikan Islam telah memainkan
peran yang sangat penting dalam pembentukan identitas
agama dan budaya di Indonesia sepanjang sejarahnya.
Peran ini tidak hanya terbatas pada penyampaian ajaran
agama Islam, tetapi juga melibatkan nilai-nilai sosial,
budaya, dan politik yang mendalam. Mari kita jelaskan
secara panjang bagaimana peran ini telah berkembang

13
Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kecana., h. 25

16
seiring dengan perubahan sosial dan politik dalam sejarah
Indonesia.14
Pembentukan Identitas Agama: Institusi pendidikan
Islam telah menjadi sarana utama bagi masyarakat
Indonesia untuk memahami, menghayati, dan menerapkan
ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam
institusi-institusi ini, para siswa atau santri belajar
mengenai Al-Quran, Hadis, Fiqih, Tafsir, dan berbagai
aspek agama Islam lainnya. Hal ini membantu memperkuat
keyakinan agama mereka dan membentuk dasar-dasar
keimanan yang kokoh.
Selain itu, institusi-institusi pendidikan Islam juga
berperan dalam menyebarkan tafsir-tafsir Islam yang unik
sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Ini menciptakan
pluralisme dalam pemahaman agama Islam, memungkinkan
berbagai aliran dan tradisi Islam berkembang di Indonesia.
Pendidikan Islam juga memainkan peran penting dalam
mempertahankan bahasa Arab sebagai bahasa agama, serta
mendorong pemahaman yang lebih mendalam tentang
budaya Arab.
Pembentukan Identitas Budaya: Institusi pendidikan
Islam telah menjadi penjaga dan pewaris budaya Indonesia
yang kaya dan beragam. Pesantren, sebagai salah satu
bentuk institusi pendidikan Islam, telah memainkan peran
kunci dalam memelihara tradisi budaya Jawa dan
Nusantara. Di dalam pesantren, selain pelajaran agama,
para santri juga mempelajari kesenian tradisional, bahasa
lokal, dan etika budaya.
Selain itu, pesantren juga berperan dalam membentuk
nilai-nilai moral dan sosial yang mendasari budaya
Indonesia. Santri diajarkan tentang kejujuran, tolong-
14
Hidayat, M. (2019). Islamisasi dan Prototipe Institusi-institusi Pendidikan Islam di Indonesia.
Edification Journal: Pendidikan Agama Islam, 1(1), 23-39.

17
menolong, dan nilai-nilai lainnya yang menjadi bagian
penting dari budaya Indonesia. Pesantren juga sering
menjadi pusat kegiatan sosial dan kemanusiaan, seperti
membantu masyarakat miskin atau korban bencana, yang
menguatkan peran sosial pesantren dalam budaya
Indonesia.
Perkembangan Seiring dengan Perubahan Sosial dan
Politik: Peran institusi pendidikan Islam dalam
pembentukan identitas agama dan budaya di Indonesia
terus berkembang seiring dengan perubahan sosial dan
politik dalam sejarah Indonesia. Selama masa penjajahan
Belanda, pendidikan Islam menghadapi tekanan dan
pembatasan, tetapi tetap bertahan. Peran politik dan sosial
pesantren juga mengalami perubahan seiring dengan
perubahan pemerintahan, dari masa kolonial hingga era
kemerdekaan.
Selama era kemerdekaan, pemerintah Indonesia
mengakui pentingnya pendidikan Islam dan mendukung
pembentukan lembaga-lembaga pendidikan Islam formal,
seperti madrasah dan universitas Islam. Selain itu, dalam
konteks perubahan politik dan sosial di Indonesia,
institusi-institusi pendidikan Islam juga menjadi tempat di
mana pemikiran politik dan sosial dapat diartikulasikan.
Ulama-ulama dan intelektual Islam seringkali memainkan
peran penting dalam gerakan-gerakan politik dan sosial
yang mempengaruhi masa depan Indonesia. 15
Dengan demikian, peran utama institusi-institusi
pendidikan Islam dalam pembentukan identitas agama dan
budaya di Indonesia sangat kompleks dan penting.
Institusi-institusi ini telah beradaptasi dengan perubahan
sosial dan politik dalam sejarah Indonesia dan terus
15
Akhiruddin, K. M. (2015). Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. TARBIYA: Jurnal Ilmu
Pendidikan Islam, 1(1), 195-219.

18
berperan dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
agama, budaya, dan sosial yang merupakan inti dari
identitas Indonesia.

F. Peran pemerintah Indonesia dalam mendukung dan


mengatur institusi-institusi pendidikan Islam, serta
bagaimana hubungan antara institusi-institusi ini
dengan sistem pendidikan nasional di Indonesia
Peran pemerintah Indonesia dalam mendukung dan
mengatur institusi-institusi pendidikan Islam telah
mengalami evolusi sepanjang sejarah, mencerminkan
dinamika politik, sosial, dan pendidikan di negara ini.
Dalam konteks ini, kita dapat mengulas peran pemerintah
Indonesia dalam sejarah serta bagaimana hubungannya
dengan sistem pendidikan nasional.
Masa Kolonial: Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah
kolonial menerapkan kebijakan yang beragam terhadap
pendidikan Islam. Pemerintah Belanda mendirikan
beberapa sekolah dan madrasah dengan kurikulum yang
dirancang untuk mempromosikan budaya Belanda dan
membatasi pengaruh Islam. Namun, pendidikan Islam tetap
bertahan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah
lokal yang dijalankan oleh ulama-ulama setempat. Pada
periode ini, peran pemerintah Belanda adalah untuk
mengontrol dan membatasi perkembangan pendidikan
Islam.16
Era Kemerdekaan: Setelah kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945, pemerintah Indonesia mengakui pentingnya
pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Ini tercermin dalam UUD 1945 yang menjamin
kebebasan beragama dan pendirian madrasah-madrasah

16
Rofi, S. (2016). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Deepublish.

19
sebagai institusi pendidikan Islam formal. Pemerintah juga
membentuk Kementerian Agama yang bertanggung jawab
atas pengaturan pendidikan Islam di Indonesia.
Pada tahun 1961, pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Wajib
Belajar, yang mengakui madrasah sebagai bagian integral
dari sistem pendidikan nasional. Madrasah diberikan dana
dan dukungan penuh oleh pemerintah untuk menjalankan
kurikulum yang mencakup mata pelajaran agama Islam
serta mata pelajaran umum seperti matematika dan sains.
Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam
mendukung pendidikan Islam dan mengintegrasikannya ke
dalam sistem pendidikan nasional. 17
Reformasi Pendidikan: Selama era Reformasi pada tahun
1998, pemerintah Indonesia melanjutkan dukungan
terhadap pendidikan Islam. Reformasi ini membawa
perubahan signifikan dalam sistem pendidikan nasional,
dan pemerintah mengakui pentingnya pendidikan agama
dalam mendidik generasi muda. Beberapa universitas Islam
juga muncul dan menerima dukungan pemerintah.
Hubungan dengan Sistem Pendidikan Nasional: Institusi
pendidikan Islam di Indonesia, seperti madrasah,
pesantren, dan universitas Islam, beroperasi sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mengikuti
kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah dan memenuhi
standar pendidikan nasional. Namun, mereka juga
mempertahankan karakteristik unik mereka yang berfokus
pada pendidikan agama Islam.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mendorong dialog
antara institusi-institusi pendidikan Islam dengan institusi-
institusi pendidikan umum. Hal ini bertujuan untuk
17
Bafadhol, I. (2017). Lembaga pendidikan islam di indonesia. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan
Islam, 6(11), 14.

20
menciptakan pemahaman yang lebih baik antara berbagai
komunitas dan mempromosikan toleransi antaragama di
Indonesia.18
Dalam konteks hubungan ini, pemerintah juga berperan
dalam mengawasi kualitas pendidikan Islam, memastikan
bahwa institusi-institusi ini memenuhi standar pendidikan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini melibatkan
penyediaan bantuan finansial, pengembangan kurikulum,
dan pelatihan guru agar pendidikan Islam tetap relevan dan
berkualitas.
Jadi, peran pemerintah Indonesia dalam mendukung
dan mengatur institusi-institusi pendidikan Islam adalah
menciptakan keseimbangan antara kebebasan beragama dan
integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional. Ini adalah langkah penting dalam menjaga
keberagaman budaya dan keagamaan di Indonesia sambil
tetap memastikan standar pendidikan yang tinggi.

G. Peran Kerajaan Islam dalam Islamisasi dan


Perkembangan Awal Pendidikan Islam di Nusantara
Ada beberapa pusat strategis dalam penyebaran agama
Islam di Nusantara, pusat-pusat penyebaran agama Islam
dapat menyebar luas melalui tiga kerjaan besar.
1. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah
kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10
M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum.
Yang kedua bernama Al-Malik al-Shaleh dan yang
terakhir bernama Al-Malik SabarSyah (tahun 1444 M
atauabad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari
Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman
18
Rahman, K. (2018). Perkembangan lembaga pendidikan islam di indonesia. Jurnal Tarbiyatuna:
Kajian Pendidikan Islam, 2(1), 1-14.

21
pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim
dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan
pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang
sederhana.19 Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat
ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut: Materi pendidikan dan
pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab
Syafi’i; Sistem pendidikannya secara informal berupa
majlis ta’lim dan halaqah; Tokoh pemerintahan
merangkap tokoh agama; Biaya pendidikan bersumber
dari Negara.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai
kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga
tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan
Tome Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai
banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut
terdapat orang-orang berpendidikan. Menurut Ibnu
Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah
merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan
banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara
Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul
Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan
ilmu pengetahuan. Bilaharijum’attiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama,
setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para
alim pengetahuan agama. Sistem halaqoh yaitu para
murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di
tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh
wajah murid menghadap guru.

19
Zuhairini.Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2000).135

22
Kehadiran kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai
pusat pemerintah Aceh pada masa lalu telah memberikan
kontribusi yang luar biasa dalam membentuk peradaban
dan kebudayaan masyarakat muslim bergenetis melayu
melalui transformasi budaya dan pemikiran Islam. 20
2. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak
di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun
1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak
terjalin kerjasama yang baik sehingga seorang Raja
Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak
merupakan daerah yang terletak sangat strategis di
Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu. 21
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan
Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan
Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa
Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa
dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu
falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh
Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran
Teungku Chik M. Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad
10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang keenam bernama Sultan Mahdum
Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun
1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif
bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang
mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis
Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang
sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan

20
Mashitah Sulaiman, Islam dan transformasi Sosial Masyarakat Melayu Malaysia: Suatub Kajian
Ekspoloratori “dalam proceding of the international conference on Sosial Science Research, ICSSR
2013 (e-ISBN 978- 967-11768-1-8)).
21
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001).
29.

23
membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan
Imam Syafi’i.22 Dengan demikian pada kerajaan Perlak
ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil
peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan
Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra
Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja
dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (tahun 1507-
1522 M). Bentuk teri torial yang terkecil dari susunan
pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong
(Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan
Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya
berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah
bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan
suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang
memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum
mukim. Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh
Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah
(Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah,
terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi
antara lain:
a. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an.
b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan
yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama,
bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
c. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung
itu.
d. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca
Al-Qur’an di bulan puasa.
22
Abdullah Mustofa Aly . Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV. Pustaka Setia,
1999). 54.

24
e. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
f. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari
menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
g. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa
antara anggota kampung.
h. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
i. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah,
supaya orang segera dapat mengetahui mana yang
rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat
shalat.
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh
Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas
dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuanya
itu:
a. Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu
pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama,
ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan
yang bertugas mengurus masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran.
c. Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan
kelompok studi tempat para ulama dan sarjana
berkumpul untuk bertukar fikiran membahas
persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Ulama dan pujangga yang terkenal di Aceh ialah
Syekh Nuruddin ArRaniri, Syeh Ahmad Khatib
Langin, Syeh Hamzah Fansuri. 23 Ia menentang paham
wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama
Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik.

23
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group. 2011). 265

25
Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam
kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah
kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
H. Pusat-Pusat Keilmuan Paling Awal di Nusantara
Halaqah merupakan perwujudan institusi pendidikan
Islam yang paling awal di dunia Islam, termasuk di
Nusantara. Sejak masa awal Islam, banyak orang berminat
untuk mempelajari Islam. Semakin lama, semakin banyak
orang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqah
‘ilm). Dari setiap halaqah terdengar suara dari seorang
guru yang memberikan pelajarannya dan dari suara-suara
peserta didik yang bertanya dan saling berdebat. Maka
terjadilah suara yang gemuruh dari halaqah-halaqah itu.
Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh suara yang
mengganggu pelaksanaan ibadah sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, masjid menjadi sulit dijadikan tempat
ibadah dan tempat belajar sekaligus. 24
Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ilmu tidak lagi
sepenuhnya dapat diajarkan di mesjid. Sejalan dengan
perkembangan zaman, ilmu pengetahuan pun mengalami
kemajuan makin pesat. Pada abad keempat hijriah gerakan
pemikiran berkembang dengan pesat. Pada saat itu,
perdebatan dan pertikaian mengenai agama di kalangan
masyarakat Muslim memang cukup dahsyat. Akibatnya,
masjid tidak dipertimbangkan lagi sebagai tempat utama
pendidikan.
Dalam suasana seperti ini muncul semakin beragam
bentuk-bentuk lembaga pendidikan, di antaranya madrasah,
kuttab, dar al-hikmah, dar al-‘ilm, bimaristan, dan

24
Ahmad Syalabi, At-Tarbiyah al-Islamiyah: Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, (Kairo Maktabah
an-Nahdah al-Misriyah), 1987), h. 113

26
sebagainya. Halaqah memang tetap bertahan, tetapi tidak
lagi menjadi institusi utama pendidikan Islam.
a. Institusi Pendidikan Halaqah dan Sentra Keilmuan Lain
di Nusantara
Dalam tradisi intelektual klasik Islam, kegiatan
keilmuan dekat dengan lingkungan istana. Bahkan dalam
banyak kasus, istana khalifah atau sultan bagian dari
aktivitas ilmiah. Fenomena seperti ini juga menjadi
fenomena umum di kerajaan Islam Melayu-Nusantara.
Pada mulanya berlangsung di Sumatera Bagian Utara,
yaitu di Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam,
kemudian hal yang sama juga berkembang di kerajaan
Islam Melayu-Nusantara lainnya, seperti di Palembang,
Banjarmasin, Riau, Banten, Mataram, Malaysia, dan
Berunai Darussalam. Di samping ada ilmuan yang dekat
dengan lingkungan istana, terdapat juga ilmuan yang
tidak memiliki afiliasi dengan Istana. Ilmuan yang
disebut terakhir ini tentu lebih independen dalam kiprah
keilmuan atau keulamaan.
Istana juga berfungsi sebagai tempat mudzakarah
masalah-masalah ilmu pengetahuan dan juga berfungsi
sebagai perpustakaan, di samping juga berfungsi sebagai
pusat penterjemahan dan penyalinan kitab-kitab,
terutama kitab-kitab keislaman. Pelajaran yang
diberikan di berbagai halaqah dan institusi pendidikan
Islam lainnya dibagi menjadi dua tingkatan:
1). Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca,
menulis, bahasa Arab, pengajian al-Qur`an, dan
ibadah praktis.
2). Tingkat yang lebih tinggi dengan materi ilmu fiqh,
tasauf, ilmu kalam, dan sebagainya.

27
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar
Muda sangat memperhatikan pengembangan pendidikan,
di samping tentunya keagamaan. Ia sangat dekat dengan
para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams
al-Addin al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi
pengikut Hamzah Fansuri. Sultan dan juga para ulama
besar membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut
dayah. Nuruddin al-Raniri dan Abd al-Rauf Singkel
adalah di antara ulama terkenal yang mengajar di
lembaga pendidikan ini. Ketika itu, Kerajaan Aceh
Darussalam menjadi pusat kajian Islam di wilayah Asia
Tenggara. Banyak penuntut ilmu yang datang dari luar
untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dikenal
dengan dayah itu. Di antaranya adalah Syaikh
Burhanuddin yang berasal dari Ulakan, Pariaman,
Sumatera Barat. Dayah berfungsi semacam pendidikan
tinggi Islam. Karena di lembaga inilah ilmu-ilmu
keislaman yang paling tinggi dipelajari oleh para
penuntut ilmu. Kemajuan dalam bidang pendidikan
Islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya
sebagai “Serambi Mekkah”.25
Kerajaan Banten juga menjadi pusat pendidikan
Islam, terutama setelah kedatangan Syaikh Yusuf al-
Maqassari (1626-1699) dari Kerajaan Goa. Syekh Yusuf
menjadi daya tarik bagi para penuntut ilmu dari seluruh
penjuru Nusantara terutama tentunya wilayah Indonesia
Tengah untuk datang ke Banten memperdalam ilmu
keislaman. Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten
menjadi sangat kuat berorientasi ke Mekkah. Sultan
bahkan meminta pengakuan gelarnya dari Syarif
Makkah, dan putra mahkota sendiri pergi berhaji ke

25
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), h. 174.

28
Makkah, serta Kota Banten didorong perkembangannya
menjadi pusat pendidikan Islam, tempat pemuda-pemuda
Muslim Nusantara berdatangan untuk menimba ilmu.
Kesultanan Banten (Bantam) merupakan salah satu
kerajaan Muslim paling penting di Jawa. Ketika Syekh
Yusuf al-Maqassari tiba di Banten, yang sedang
berkuasa adalah Abu al-Mufakhir ‘Abd al-Qadir (1037-
63/1626-51), ayah dari ‘Abd al-Fattah (populer disebut
Sultan Ageng Tirtayasa) yang juga berjasa besar
membangun Banten menjadi pusat pendidikan Islam,
yang diberi gelar Sultan oleh Syarif Makkah pada
1048/1638. Ia mempunyai minat khusus pada
masalahmasalah keagamaan. Ia bahkan sering
mengirimkan pertanyaan tentang keagamaan bukan
hanya kepada Nur al-Din al-Raniri, tetapi juga kepada
para ulama di Haramayn. Pertanyaan-pertanyaan ini
kemudian mendorong ditulisnya karya-karya khusus
para ulama yang bertujuan menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Sejalan dengan hal di atas, Van
Bruinessen menjelaskan bahwa Para pengusa Banten
tampaknya juga menaruh minat yang sungguh-sungguh
kepada masalah-masalah pendidikan di samping akidah
dan tasauf yang sangat dalam dan rumit.
Syekh Yusuf al-Maqassari, di antara ilmuan yang
paling berpengaruh di Banten, bahkan di Nusantara,
selanjutnya menjadi bagian dari keluarga besar Istana
karena ia menikah dengan putri Sultan Ageng.
Meskipun, ia hampir tenggelam ke dalam urusan politik
konfrontasi dengan Belanda, ia terus mengajar murid-
murid di ibukota Banten serta menulis beberapa karya.
Di antara murid al-Maqassari yang paling menonjol
adalah sang putra mahkota ‘Abd al-Qahhar, yang

29
dibelakang hari justru menjadi musuh politiknya, karena
‘Abd al-Qahhar bekerja sama dengan Belanda untuk
mempertahankan kekuasaannya ketika berhadapan
dengan ayahnya sendiri, Sultan Ageng. 26

26
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1999),
h. 250

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia melalui kerajaan-kerajaan
Hindu, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Pedagang Muslim
dari Arab, Persia, dan India memainkan peran kunci
melalui perdagangan dan perkawinan. Faktor ekonomi,
pendidikan Islam, pengajaran tasawuf, dan seni, terutama
wayang, mempercepat islamisasi. Keselarasan dalam
masyarakat dan konversi politis juga mendukung
penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, islamisasi adalah
hasil interaksi kompleks faktor sosial, ekonomi, budaya,
dan politik. Dalam Islam, institusi mencakup nilai dan
norma dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak,
membentuk lembaga seperti keluarga, pendidikan,
perdagangan, dan hukum, berdasarkan ajaran Islam untuk
memenuhi kebutuhan umat Muslim dan memastikan
kesejahteraan mereka di dunia dan akhirat. Dalam konteks
Indonesia, sejarah pendidikan Islam telah menjadi bagian
integral dari warisan budaya dan sejarah negara ini. Dari
kedatangan pedagang dan ulama Islam hingga
perkembangan modern institusi-institusi pendidikan Islam,
perjalanan ini mencerminkan peran penting dalam
pembentukan identitas agama dan budaya di Indonesia.
Institusi-institusi ini tidak hanya berperan sebagai
penyampai ajaran agama Islam, tetapi juga sebagai
pelindung dan pemelihara budaya lokal, bahasa, dan nilai-
nilai sosial yang membentuk karakter Indonesia yang
beragam. Peran pemerintah Indonesia dalam mendukung
dan mengatur institusi-institusi pendidikan Islam, serta
mengintegrasikannya ke dalam sistem pendidikan nasional,

31
adalah salah satu aspek penting dari dinamika ini. Hal ini
mencerminkan komitmen untuk menjaga keberagaman dan
menghormati kebebasan beragama sambil memastikan
pendidikan Islam tetap berkualitas dan relevan. Dengan
perpaduan antara tradisi dan modernitas, pendidikan Islam
di Indonesia terus berkembang dan memainkan peran
penting dalam membentuk masa depan bangsa ini, yang
berlandaskan pada toleransi, keberagaman, dan pemahaman
agama yang mendalam.

32
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. (1995). Lembaga-Lembaga Islam


Indonesia. Jakarta: Pustaka.
Akhiruddin, K. M. (2015). Lembaga Pendidikan Islam di
Nusantara. TARBIYA: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam , 1(1),
195-219.
Aly, Abdullah Mustofa. (19990. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Anwar, M. E. (2017). Menelusuri Kebijakan Pendidikan Islam Di
Indonesia. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam , 3(05).
Atang, Abdul Hakim, dkk. (2011). Metodologi Studi Islam.
Jakarta: Publisher Rosda.
Azra, Azyumardi. (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara
Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Bafadhol, I. (2017). Lembaga pendidikan islam di
indonesia. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam , 6(11),
14.
Bruinessen, Martin van. (1999). Kitab Kuning Pesantren dan
Tarekat, Cet. ke-3. Bandung: Mizan.
Burhanudin, Jajat. (2012). Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan
Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia . Jakarta:
Mizan Publika.
Daulay, Haidar Putra. (2007). Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia . Jakarta: Kecana.
Frimayanti, A. I. (2015). Latar Belakang Sosial Berdirinya
Lembaga Pendidikan Islam Terpadu di Indonesia. Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam , 6(1), 27-45.
Hasbullah. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia;
Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

iv
Hidayat, M. (2019). Islamisasi dan Prototipe Institusi-institusi
Pendidikan Islam di Indonesia. Edification Journal:
Pendidikan Agama Islam, 1(1), 23-39.
Hidayat, T., Rizal, A. S., & Fahrudin, F. (2018). Peran Pondok
Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia. Ta dib Jurnal Pendidikan Islam , 7(2), 461-472.
Mansur. (2004). Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah .
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Nata, Abudin. (2011). Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Rahman, K. (2018). Perkembangan lembaga pendidikan islam di
indonesia. Jurnal Tarbiyatuna: Kajian Pendidikan
Islam, 2(1), 1-14.
Rofi, S. (2016). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia .
Deepublish.
Susanto, Edi dan Karimullah. (2016). Islam Nusantara: Islam
Khas dan Akomodatif terhadap Budaya Lokal. Al-Ulum, 16
(1), 70.
Sulaiman, Mashitah. (2013). Islam dan transformasiSosial
Masyarakat Melayu Malaysia: Suatub Kajian Ekspoloratori
“dalam proceding of the international conference on Sosial
Science Research, ICSSR 2013 (e-ISBN 978-967-11768-1-
8)).
Yatim, Badri. (2000). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Gravindo Persada.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia .
Jakarta: Hidakarya.
Zuhdi, Muhammad Harfin. (2014). Islam Wetu Telu [Dialektika
Hukum Islam dengan Tradisi Lokal]. Istinbath: Jurnal
Hukum Islam IAIN Mataram, 13 (2), 163.
Zuhairini. (2000). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

v
vi

Anda mungkin juga menyukai