Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN STUDI KASUS

PENATALAKSANAAN DIET PADA PASIEN


SINDROM NEFROTIK DEPENDENT STEROID,
HIPOALBUMIN, HIPERKOLESTEROLEMIA, OBESITAS

DISUSUN OLEH :
ENDAH MAYANG SARI
13/354309/ PKU/ 13856

PROGRAM STUDI GIZI KESEHATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

1
BAB I
PENDAHULUAN

BAGIAN 1. ASSESSMENT

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : An. R No RM : 01470131
Umur : 12 tahun Ruang : Melati 4
Sex : Laki-laki Tgl Masuk : 31 Oktober 2014
Pekerjaan : pelajar Tgl Kasus : 3 November 2014
Pendidikan : SD Alamat : Jl. A. Yani No. 48 Bantul
Diagnosis medis :
Agama : Kristen Sindrom Nefrotik dependent steroid dengan
hipoalbumin, hiperkolesterolemia, obesitas.

2. Berkaitan dengan Riwayat Penyakit


Keluhan Utama Bengkak (edema) diseluruh tubuh.
Pasien terdiagnosa Sindrom Nefrotik sejak tahun 2010
sampai dengan sekarang dan telah mengalami relaps 4
kali. Relaps terakhir Desember tahun 2013 dengan
diagnosa Sindrom Nefrotik relaps jarang. Terakhir
Riwayat Penyakit
kontrol tanggal 8 Oktober 2014, anak batuk, pilek, tidak
Sekarang
demam, tidak mual.
1 hari SMRS anak tampak bengkak diseluruh tubuh,
tidak ada batuk dan pilek, BAK berkurang. Hari masuk
RS, keluhan menetap.
Riwayat Penyakit Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dahulu yang
Dahulu berhubungan dengan penyakitnya sekarang.
Riwayat Penyakit Sepupu pasien juga menderita penyakit yang sama.
Keluarga

3. Berkaitan Dengan Riwayat Gizi


Penghasilan: Rp. 6.000.000,-
Data Sosio ekonomi Jumlah anggota keluarga: 4
Suku: Jawa
Aktifitas Fisik Jumlah jam belajar: 7 jam
Jenis olahraga: -
Jumlah jam tidur: 8 – 9 jam.
Alergi makanan Pasien tidak memiliki alergi makanan.

2
Masalah Nyeri ulu hati (tidak), Mual (ya), Muntah (ya), Diare
gastrointestinal (tidak), Konstipasi (tidak) , Anoreksia (tidak)
Perubahan pengecapan/penciuman (ya)
Penyakit kronik Jenis penyakit: Sindrom Nefrotik
Jenis dan lama pengobatan: Obat Prednison (steroid)
selama 4 tahun.
Modifikasi diet: rendah kolesterol dan rendah garam.
Kesehatan mulut Tidak ada gangguan kesehatan mulut
Pengobatan Vitamin/mineral/suplemen zat gizi: -
Perubahan berat - Bertambah
badan - Tidak disengaja (edema)
- Lamanya: ± 1 minggu
Mempersiapkan Pasien makan dengan makanan yang dimasak oleh
makanan ibunya.
Fasilitas memasak : dapur dan kompor gas
Fasilitas menyimpan makanan : lemari makan dan meja
makan.
Riwayat / pola makan - Makanan pokok: Nasi 5x/ hari @1 ½ centong
- Lauk hewani: Telur dadar kecap ±2x/ hari @1 butir;
ikan laut @1-2 potong sedang, udang goreng ±
3x/minggu; kepiting 2x/bulan; daging ayam goreng
1x/minggu @1-2 potong sedang
- Lauk nabati: tahu, tempe 1x/minggu @2-3 potong.
- Sayur: Capcay, sop sayuran (wortel, kentang, selada),
sayur asam, sayur lodeh setiap hari diselang-seling
@100g. Soto sayur 2x/minggu.
- Buah: pisang 1 sisir/ hari @3x/minggu, melon 3 potong
besar, papaya 3 potong besar, semangka ¼ buah, jeruk
5 buah, mangga setiap hari diselang seling.
- Snack (jajanan di sekolah): tempe mendoan/ gorengan 2
buah, makanan ringan 1 bungkus, tahu mini balado 2
buah, permen 10 buah.
- Susu 1 gelas @250ml, 3 sdm susu bubuk/hari.
- Air putih ± 2 liter

B. Antropometri
Data antropometri berikut diperoleh dengan melakukan pengukuran pada
awal kasus (tanggal 3 November 2014):

Tinggi badan (cm) Berat Badan (kg)


145 83
Berat badan pasien merupakan berat badan setelah edema, berat badan ideal
pasien adalah 45 kg. Berdasarkan wawancara ibu pasien, berat badan pasien

3
sebelum menderita edema terakhir kalinya adalah ± 68 kg. Untuk perhitungan
status gizi digunakan berat badan sebelum edema, sehingga diperole data IMT/U
= 2,93 SD; TB/U = -1,42 SD; BB/U = NA.

C. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan Satuan/ Masuk RS Awal kasus
Keterangan
urin/darah Nilai Normal (31/10/14) (3/11/14)
Albumin 3,4-5 g/dL 1 - Rendah
BUN 7-20 mg/dL 11 - Normal
Creatinin 0,6-1,3 mg/dL 0,5 - Normal
Colesterol total <200 mg/dL 652 - Tinggi
Trigliserida <150 mg/dL 531 - Tinggi
Na 136-145 mmol/L 137 - Normal
K 3,5-5,10 mmol/L 4,10 - Normal
Cl 98-107 mmol/L 103 - Normal
Ca 2,10-2,50 mmol/L 2,00 - Rendah
Urinalisa
Darah - +1 - Tinggi
Protein Mg/dL +3 (300) +3 (300) Tinggi
pH - 6,5 7,0 Normal
Bacteria 0,0-100,0 - 162,8 Tinggi
Kristal 0,0-10,0/µL - 0,1 Normal
Eritrosit 0-25/uL - 8 Normal
Leukosit 0-20/uL - 2 Normal
Sel epitel 0,0-40,0/uL - 2,7 Normal
Silinder 0,0-1,2/uL - 0,0 Normal

D. Pemeriksaan Fisik
1. Kesan Umum/kesadaran : Compos metis, Bengkak di seluruh tubuh
(edema anasarka)
2. Vital Sign : - Tensi : 110/70 mmHg
- Respirasi : 20 x/ menit
- Nadi : 90 x/ mnt
- Suhu : 36,7 oC
4. Kepala : Ca -/-, Si -/-; konjungtiva tak asimetris, palsebrac edema.
5. Abdomen : Supel, Nyeri tekan (-), Bising usus (+) normal
6. Dada: Simetris, tak ketinggalan gerak, tak retraksi
7. Jantung: Suara1 tunggal, split tak konstan, tak bising.
8. Pemeriksaan Penunjang: USG

4
E. Asupan Zat Gizi
Hasil Recall 24 jam diet : Rumah Sakit
Tanggal : 3 November 2014
Diet RS : Nasi std. D
Implementasi Energi (kal) Protein (gr) Lemak (gr) KH (gr)
Asupan oral 674 15,4 3,9 155,1
Kebutuhan 2011 59,5 66 294
% Asupan 33,52 25,88 5,91 52,75

F. Terapi Medis
Jenis Obat/Tindakan Fungsi Interaksi Gizi
Minum obat ini bersama
makanan atau susu untuk
Diindikasikan untuk menginduksi
mengurangi gangguan saluran
diuresis atau mengurangi gejala
cerna yang ditimbulkan oleh
proteinuria pada sindrom
Metylprednisolon 64 mg obat golongan ini.
idiopatik nefrotik, terapi jangka
Hindari minum obat ini bersama
panjang mungkin diperlukan
jus grapefruit karena diduga
untuk mencegah kekambuhan.
dapat meningkatkan terjadinya
peningkatan efek samping.
Makanan dapat menurunkan
absorbsi Captropil sekitar 42%-
56%.
Obat diminum pada saat perut
kosong, 1 jam sebelum atau 2
Obat tekanan darah tinggi atau jam sesudah makan. Captropil
Captopril 25mg/ 12 jam
hipertensi. dapat meningkatkan kalium,
seperti: Pisang, jeruk dan
sayuran hijau. Peningkatan
kalium di dalam tubuh dapat
menyebabkan kecepatan denyut
jantung menjadi tidak teratur.
Kalk 500mg/ 24 jam Defisiensi kalsium -
Meningkatkan produksi urin
Memberikan respon lebih
(membuang air dan garam yang
optimal dengan mengkonsumsi
tidak dibutuhkan tubuh),
Furosemid 40 mg/ 12 makanan rendah natrium,
mengurangi pembengkakan dan
jam suplemen kalium, dan
retensi cairan, mengkontrol
meningkatkan jumlah makanan
tekanan darah tinggi tetapi tidak
kaya kalium.
menyembuhkan.

5
BAGIAN 2. DIAGNOSIS GIZI

Problem Gizi
1. Domain Intake
NI 2.1 Asupan makanan tidak adekuat berkaitan dengan kondisi pasien
mual muntah ditandai dengan hasil recall energi 33,52%, protein
22,88%, lemak 5,91%, dan karbohidrat 52,75% dari total
kebutuhan.

NI 5.1 Peningkatan kebutuhan protein spesifik albumin berkaitan dengan


albuminuria dan proteinuria ditandai dengan nilai laboratorium
albumin 1 g/dL dan protein urin +3.

NI 5.4 Penurunan kebutuhan kolesterol dan trigliserida berkaitan dengan


adanya perubahan metabolisme kolesterol akibat peningkatan
permeabilitas glomerulus ditandai dengan nilai laboratorium
kolesterol 652 mg/dL dan trigliserida 531 mg/dL.

NI 5.4 Penurunan kebutuhan Na berkaitan dengan gangguan fungsi ginjal


(sindrom nifrotik) dibuktikan dengan adanya edema anasarka.

2. Domain Behavior
NB.1.3 Belum siap untuk melakukan diet berkaitan dengan kurangnya
dukungan dari orang tua pasien yang ditandai dengan kegagalan
perubahan target kebiasaan sebelumnya (rendah kolesterol dan
rendah garam).

6
BAGIAN 3. INTERVENSI GIZI

A. PLANNING

1. Tujuan Diet :
a. Memberikan asupan makanan sesuai kebutuhan dan kondisi pasien
dengan mual dan muntah.
b. Membantu mencukupi kebutuhan protein dan menggantikan protein
yang hilang melalui urin terutama albumin hingga mendekati normal
(Normal: 3,4-5 g/dL).
c. Membantu menurunkan kadar kolesterol total dalam darah hingga
mendekati normal (Normal: <200 mg/dL).
d. Membatasi asupan natrium.

2. Syarat / prinsip Diet :


a. Pemberian diet dengan porsi sedikit dan bertahap.
b. Energi cukup sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
c. Protein 2 g/kg BB + loss
d. Lemak 25% dari total kebutuhan.
e. Karbohidrat 60-65% dari total kebutuhan.
f. Kolesterol dibatasi <200 mg/ hari.
g. Natrium dibatasi, yaitu 1-2 g/day

3. Perhitungan Kebutuhan energi dan zat gizi


a. Energi (Schofield W):
REE = 16,25W + 1,372H +515,5
= 16,25 (45) + 1,372 (145) + 515,5
= 1445,69 kcal
TEE = REE x factor aktifitas dan stress
= 1445,69 x 1,5
= 2168,53 kcal
b. Protein (1,5 – 2 g/kgBB)
Protein = 1,6 x 49,71
= 79,54 g
c. Lemak (<30% dari total kebutuhan)
Lemak = 25% x 2168,53 kcal = 60,24 g
d. Karbohidrat
KH = 327,06 g

4. Terapi Diet :
a. Jenis diet : Diet Sindrom Nefrotik rendah garam III.
b. Bentuk makanan : Biasa
c. Cara pemberian : oral

7
5. Rencana monitoring dan evaluasi
Yang diukur Pengukuran Evaluasi/ target
Antropometri Berat badan, tinggi Setiap hari Penurunan berat badan.
badan
Biokimia Albumin, kolesterol Sesuai keputusan Mendekati rentang normal.
dan trigliserida. pemeriksa. - Albumin: 3,4-5 g/dL
- Kolesterol: <200 mg/dl
- Trigliserida: <150
mg/dl
Klinik - - -
Asupan zat gizi Asupan Energi, Setiap hari (recall Memenuhi 100% dari
Protein, Lemak, 1x24 jam) kebutuhan.
Karbohidrat, - Energi: 2168,53 kcal
kolesterol, dan - Protein: 79,54 g
natrium. - Lemak: 60,24 g
- Karbohidrat: 327,06 g
- Kolesterol < 200 mg
- Natrium 1-2 g

6. Rencana Konsultasi Gizi


Masalah Gizi (dari
Tujuan Materi Konseling
problem gizi)
Kelebihan intake Membantu mengatur pola Diet sindrom nefrotik:
energi makan yang baik, terutama - Penjelasan singkat mengenai
dengan memperhatikan asupan penyakit sindrom nefrotik
energi, protein, lemak dan - Tujuan diet sindrom nefrotik
karbohidrat. - Perbedaan diet sindrom
Peningkatan Membantu mengatur pola nefrotik dengan makanan
kebutuhan albumin makan yang baik dengan biasa
meningkatkan asupan albumin. - Bahan makanan sumber
Penurunan Membantu mengatur pola protein
kebutuhan makan yang baik dengan - Makanan yang banyak
kolesterol dan membatasi asupan kolesterol mengandung garam natrium
trigliserida. dan lemak jenuh. - Makanan yang banyak
Penurunan Membantu mengatur pola mengandung kolesterol
kebutuhan natrium makan yang baik dengan - Cara pengolahan bahan
membatasi asupan natrium. makanan yang baik.
Belum siap untuk Memberikan edukasi dan - Contoh menu sehari
melakukan diet. motivasi kepada pasien dan
keluarga pasien mengenai pola
makan sehat untuk pasien.

8
B. Implementasi
1. Kajian terapi diet rumah sakit
 Jenis diet : Diet N.Std. D, rendah kolesterol, RG III (ekstra
feeding berupa jus buah+putih telur).
 Bentuk makanan : Biasa
 Cara pemberian : Oral

Energi (kal) Protein (gr) Lemak (gr) KH (gr)


Standar diet RS 2011 59,5 66 294
Infus - - - -
Kebutuhan 2168,53 79,54 60,24 327,06
(planning)
% standar/kebutuhan 92,73 74,80 109,56 89,89

9
2. Rekomendasi Diet :
Standar diet direkomendasikan berdasarkan jumlah zat gizi yang
diberikan disesuaikan kebutuhan pasien dengan pemberian ekstra feeding,
rendah garam dan rendah kolesterol, serta diberikan secara bertahap.

Standar Diet RS Rekomendasi Standar Diet


Makan pagi
06.00 Nasi 150 g Nasi putih 150 g
Lauk hewani 50 g Daging ayam 50 g
Sayur 50 g Sayur sop 100
Minyak 7,5 g Susu 20 g
Gula pasir 10 g Gula pasir 5 g
Susu manis 20 g Minyak goreng 2,5 g
Selingan pagi
08.00 - Jus pepaya+putih telur 250 ml
10.00 Kacang ijo 100 g Bubur sumsum 100 g
Makan siang Nasi 150 g Nasi putih 150 g
12.00 Lauk hewani 50 g Ikan pepes 50 g
Lauk nabati 50 g tempe bacem 50 g
Sayur 50 g sayur bayam+jagung 100 g
Buah 100 g Pisang ambon 100 g
Minyak 7,5 g Minyak goreng 2,5 g
Selingan siang
15.00 Susu manis 20 g Jus mangga+putih telur 250 ml
Makan sore Nasi 150 g Nasi putih 150 g
17.00 Lauk hewani 50 g Empal daging 50 g
Lauk nabati 50 g Semur tahu 50 g
Sayur 50 g Wortel+buncis 100 g
Buah 50 g Jeruk 200 g
Minyak 7,5 g Minyak goreng 3 g
Gula 10 g
Selingan malam
19.00 - Bubur kacang hijau 150 g
Nilai Gizi Energi: 2011 kcal Energi: 2166,5 kcal (96,46%)
Protein: 59,5 g Protein: 78,7 g (100,81%)
Lemak: 66 g Lemak: 59,3 g (100,3%)
Karbohidrat: 294 g Karbohidrat: 339,7 g (96,97%)
Kolesterol: 102,2 mg (<200 mg)
Natrium: 393,5 mg (< 2g)

10
3. Penerapan konseling
Masalah
Gizi (dari Keterangan
Tujuan Materi Konseling
problem
gizi)
Kelebihan Membantu mengatur Diet sindrom
intake energi pola makan yang nefrotik:
baik, terutama - Penjelasan singkat
dengan mengenai penyakit
memperhatikan sindrom nefrotik
asupan energi, - Tujuan diet
protein, lemak dan sindrom nefrotik
karbohidrat. - Perbedaan diet Sasaran: pasien dan
Peningkatan Membantu mengatur sindrom nefrotik keluarga pasien.
kebutuhan pola makan yang dengan makanan Waktu: Edukasi
albumin baik dengan biasa dilakukan pada saat
meningkatkan - Bahan makanan pasien masih di RS
asupan albumin. sumber protein Lokasi: Melati 4
Penurunan Membantu mengatur - Makanan yang Media: Lisan dan
kebutuhan pola makan yang banyak leaflet diet sindrom
kolesterol baik dengan mengandung nefrotik dan daftar
dan membatasi asupan garam natrium bahan makanan
trigliserida. kolesterol dan lemak - Makanan yang penukar.
jenuh. banyak
Penurunan Membantu mengatur mengandung
kebutuhan pola makan yang kolesterol
natrium baik dengan - Cara pengolahan
membatasi asupan bahan makanan
natrium. yang baik.
Belum siap Memberikan edukasi - Contoh menu
untuk dan motivasi kepada sehari
melakukan pasien dan keluarga
diet. pasien mengenai
pola makan sehat
untuk pasien.

11
C. ASUPAN ZAT GIZI
Hasil Recall di Rumah sakit
Tanggal : 3 – 5 November 2014
Diet RS : Diet Standar D/ Nasi/Oral

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3


Implementasi Energi Protein Lemak KH Energi Protein Lemak KH Energi Protein Lemak KH
(kcal) (g) (g) (g) (kcal) (g) (g) (g) (kcal) (g) (g) (g)
Asupan oral 674 15,4 3,9 155,1 1604,9 62,8 53,9 226,2 1702,6 58,9 57,8 236,8
Kebutuhan 2168,53 79,54 60,24 327,06 2168,53 79,54 60,24 327,06 2168,53 79,54 60,24 327,06
%asupan
31,08 19,36 6,47 47,42 74,00 78,95 89,47 69,16 78,51 74,05 95,95 72,40
(asupan/kebutuhan)
Standart RS 2011 59,5 66 294 2011 59,5 66 294 2011 59,5 66 294
% asupan
32,17 25,88 5,91 52,75 79,81 105,55 81,67 76,94 84,66 98,99 87,57 80,54
(asupan/standar RS)

*KH : Karbohidrat

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindrom Nefrotik
1. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang
sering terjadi pada anak, terdiri dari gejala klinis berupa proteinuria masif ≥ 40
mg/m2/jam, hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan hiperkolesterolemia >200
mg/dL. Penyebab pasti dari sindrom nefrotik sampai saat ini masih belum
diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun (Alatas & Tambunan, 2005).
Terdapat beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, antara
lain (Alatas & Tambunan, 2005):
a) Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
b) Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
c) Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
d) Relaps sering, (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
e) Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
f) Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

2. Etiologi
Etiologi Sindrom Nefrotik dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (Alatas & Tambunan, 2005). Dikatakan sindrom nefrotik primer
oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada

13
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak
tersebut lahir atau usia dibawah 1 tahun (Wila, 2002). Sekitar 90% anak dengan
sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik (Kliegman et al, 2007).
Sindrom nefrotik sekunder timbul akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah penyakit metabolik atau kongenital
(diabetes mellitus, amyloidosis, sindrom alport, miksedema), infeksi (hepatitis B,
malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS), toksin dan alergan
(logam berat seperti Hg, penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular),
penyakit sistemik immunologik (lupus, eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schinlein, sarkoidosis), dan neoplasma (tumor paru, penyakit hodkin, tumor
gastrointestinal).
Sindrom Nefrotik dibagi menjadi dua jenis menurut respon kliniknya.
Jenis yang pertama adalah Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS), yaitu
Sindrom nefrotik dimana terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh 2
mg/kgBB/hari dalam 4 minggu. Sedangkan jenis yang kedua adalah Sindrom
Nefrotik Resisten Steroid (SNRS), yaitu Sindrom nefrotik dimana tak terjadi
remisi pada pengobatan prednisone dosis penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
(Alatas & Tambunan, 2005). Prednison merupakan pengobatan Sindrom Nefrotik
idiopatik pertama sesuai anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases
in Children). Penelitian Arniel (1971) menyatakan bahwa pemberian prednisone
pada pasien sindrom nefrotik anak terbukti menurunkan tingkat kematian
penderita sindrom nefrotik hingga 35%. Hal ini disebabkan, prednison mampu
menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi serius.

3. Patofisiologi
a) Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar Sindrom Nefrotik. Proteinuria
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular)

14
udan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal Membran
Basal Glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik
(charge barrier). Pada Sindrom Nefrotik kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga
menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG (Yeun & Kaysen, 2008).
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Seletivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur
MBG (Yeun & Kaysen, 2008).

b) Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin
dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati
biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan
albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun (Kliegman et al,
2007).

c) Edema
Edema pada Sindrom Nefrotik dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravascular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi

15
natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume
intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut (Vasudevan et al, 2004).
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah efek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat
teraktivasinya system renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormone aldosterone yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus
ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun (Vasudevan et al, 2004). Selain itu juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vascular glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium (Pardede, 2002).

d) Hiperlipidemia dan Hiperkolesterolemia


Pasien Sindrom Nefrotik primer pada umumnya mengalami
hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia. Terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Seperti pada hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena
degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal,
namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin
yang normal. Peningkatan lipoprotein dalam sirkulasi menyebabkan kadar
kolesterol darah lebih tinggi dari keadaan normal (Wila, 2002). Nilai kadar
kolesterol yang normal sendiri, untuk anak usia 2-19 tahun, menurut
American Heart Association (AHA) adalah kurang dari 170 mg/dL.
Kolesterol serum, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Low
Density Lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan High Density
Lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini
disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di

16
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
Intermediate Density Lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesi lipoprotein
lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik (Gunawan, 2006).
Penelitian prospektif oleh Kamble (2006) pada 30 orang anak
penderita sindrom nefrotik di rumah sakit Muller Medical College, India,
menunjukkan Penderita SNSS mempunyai rerata kadar kolesterol total darah
yang lebih tinggi dari nilai normal. Rerata kadar kolesterol total penderita
SNSS pada awal fase pengobatan adalah 426,50 mg/dL. Sedangkan setelah
pengobatan, didapatkan nilai rerata kadar kolesterol total darah yang lebih
rendah dari saat sebelum pengobatan yaitu 297,43 mg/dL. Hal tersebut
berlaku untuk sindrom nefrotik serangan pertama dan relaps pertama, tetapi
tidak untuk sindrom nefrotik relaps sering. Kamble (2006) juga menyatakan
tak ada perubahan kadar HDL yang signifikan pada kasus sindrom nefrotik.
Kamble (2006) menyatakan bahwa adanya perbedaan kadar protein
darah pada fase saat perawatan dan setelah perawatan, memungkinkan
adanya perbedaan kadar kolesterol total, dalam hal ini pengobatan
menggunakan prednison dosis penuh. Hal ini perlu dicermati karena kadar
kolesterol yang terlalu tinggi bisa menyebabkan setidaknya 2 risiko potensial,
yaitu atherosclerosis yang bisa berujung pada penyakit kardiovaskuler, dan
gagal ginjal. Sebelumnya, Milne (1976) dalam Kamble (2006) menyatakan
bahwa peningkatan kadar kolesterol total dapat mencapai lebih dari 1000
mg/dL pada penderita sindrom nefrotik.
Penelitian Baskoro (2011) menyatakan bahwa rerata kadar kolesterol
total darah anak penderita sindrom nefrotik sensitif steroid sebelum terapi
prednison dosis penuh adalah 504,26 mg/dL dengan nilai tertinggi 791
mg/dL. Kamble (2006) pada penelitiannya menunjukkan rerata kadar
kolesterol total darah anak penderita sindrom nefrotik sebanyak 422,61
mg/dL dengan nilai tertinggi 676 mg/dL.

17
4. Manifestasi Klinis
Pasien yang menderita Sindrom Nefrotik untuk pertama kalinya
sebagian besar datang ke rumah sakit dengan gejala edema. Gejala edema tersebut
berupa pembengkakan yang biasanya terdapat pada daerah dengan tekanan
jaringan rendah seperti kelopak mata, dada, perut, ekstremitas, skrotum, dan labia.
Pada pasien anak dengan SN biasanya akan didapatkan kenaikan berat badan yang
dapat mencapai hingga 50 % dari berat badan sebelum menderita Sindrom
Nefrotik. Hal tersebut terjadi karena timbulnya proses edema yang merupakan
salah satu gambaran klinis dari Sindrom Nefrotik. Edema yang terjadi pada
Sindrom Nefrotik diakibatkan karena turunnya kadar albumin dan terjadinya
retensi natrium yang menyebabkan cairan ekstravaskuler semakin meningkat dan
dapat meningkatkan berat badan (Alatas & Tambunan, 2005).
Lama penurunan berat badan pada pasien Sindrom Nefrotik masih
kontroversi dan dapat berbeda-beda antar satu dengan yang lain karena dapat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain fungsi ginjal, kadar albumin,
volume intarvaskuler, diet makanan, dan efektifitas terapi. Pada penelitian Kim et
al (2005) waktu respon untuk terapi Sindrom Nefrotik serangan pertama
dibutuhkan waktu rata-rata 2,7 ±1,3 minggu. Menurut Gauthier et al (1999)
respon terjadi dalam waktu rata-rata 11 hari. Sedangkan menurut Alexandru et al
(2000) dibutuhkan waktu selama 10 (2-60) hari. Waktu respon berupa penurunan
berat badan ini penting digunakan untuk memperkirakan efektiftas dari terapi
yang diberikan.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
a) Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
b) Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c) Pemeriksaan darah:

18
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, 1.1
trombosit, hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau 1.3
dengan rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik 1.4
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA (Alatas & Tambunan, 2005).

6. Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis Sindrom Nefrotik pertama kali,
sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan
steroid, dan edukasi orangtua. Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya
dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi
muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan
dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat,
anak boleh sekolah (Alatas & Tambunan, 2005).
a) Dietetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (Indian Pedriatic
Nephrology Group, 2008).
b) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4

19
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-
gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Alatas & Tambunan, 2005).

c) Pengobatan Relaps
Pengobatan relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4
minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema,
sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai
edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan relaps. Jumlah
kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting,
karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya (Alatas & Tambunan,
2005).

d) Steroid jangka panjang


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka
panjang dapat dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek
samping steroid yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps

20
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,
diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/kgBB
dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi < 1,0
mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12
bulan, atau langsung diberikan CPA (Alatas & Tambunan, 2005).

7. Efek Samping Steroid


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan. Efek samping tersebut meliputi peningkatan nafsu makan, gangguan
pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan
garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus
dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan
darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan
evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali (Indian Pedriatic Nephrology
Group, 2008).

21
BAB III
PEMBAHASAN

BAGIAN 4. MONITORING, EVALUASI DAN TINDAK LANJUT


MONITORING DAN EVALUASI ABCD* KESIMPULAN & TINDAK LANJUT
DIAGNOSIS A B C D (ASSESSMEN, DIAGNOSA GIZI,
TGL
MEDIS INTERVENSI & MONITORING
EVALUASI
03/11/2014 Sindrom Nefrotik - TB: - Albumin 1 - - Energi: 674 Assessment
dependent steroid 145 cm g/dL kcal A : IMT/U = 2,93 SD (obesitas); TB/U = -
dengan - BB: 83 - Kolesterol - Protein: 15,4 g 1,42 SD (Normal);
hipoalbumin, kg total 652 - Lemak: 3,9 g B : Albumin: rendah (Normal 3,4-5 g/dL)
hiperkolesterolemia, mg/dL - KH: 155,1 g Kolesterol: tinggi (Normal <200 mg/dL)
obesitas. - Trigliserida - Kolesterol: 59,4 Trigliserida: tinggi (Normal <150 mg/dL)
531 mg/dL mg Proteinuria: tinggi (Normal (-) )
- Proteiinuria - Natrium:291,4 C:-
+3 mg D : Intake Energi memenuhi 33,52%; protein
25,88%; lemak 5,91%; karbohidrat
52,75% dari total kebutuhan energi

Diagnosa
NI 2.1 Asupan makanan tidak adekuat
berkaitan dengan kondisi pasien
mual muntah ditandai dengan hasil
recall energi 33,52%, protein
22,88%, lemak 5,91%, dan
karbohidrat 52,75% dari total
kebutuhan.
NI 5.1 Peningkatan kebutuhan protein

22
spesifik albumin berkaitan dengan
albuminuria dan proteinuria ditandai
dengan nilai laboratorium albumin 1
g/dL dan protein urin +3.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan kolesterol dan
trigliserida berkaitan dengan adanya
perubahan metabolisme kolesterol
akibat peningkatan permeabilitas
glomerulus berkaitan dengan nilai
laboratorium kolesterol 652 mg/dL
dan trigliserida 531 mg/dL.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan Na berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal
(sindrom nifrotik) dibuktikan
dengan adanya edema anasarka.
NB.1.3 Belum siap untuk melakukan diet
berkaitan dengan kurangnya
dukungan dari orang tua pasien
yang ditandai dengan kegagalan
perubahan target kebiasaan
sebelumnya (rendah kolesterol dan
rendah garam).

Intervensi:
Diet Sindrom Nefrotik RG III

04/11/2014 Sindrom Nefrotik - TB: 145 - Albumin: - - - Energi: 1604,9 Assessment


dependent steroid cm - Kolesterol kcal A : IMT/U = 2,93 SD (obesitas); TB/U = -
dengan - BB: 83 total: - - Protein: 62,8 g 1,42 SD (Normal);
hipoalbumin, kg - Trigliserida - Lemak: 53,9 g B : Tidak ada hasil lab selanjutnya.
hiperkolesterolemia, - - KH: 226,2 g C:-

23
obesitas. - Proteiinuria - Kolesterol: D : Intake Energi memenuhi 74,00%; protein
- 348,9 mg 78,95%; lemak 89,47%; karbohidrat
- Natrium: 700,1 69,16% dari total kebutuhan energi.
mg Intake kolesterol > 200mg (tinggi),
intake natrium < 2 g (normal).
Diagnosa
NI 2.1 Asupan makanan tidak adekuat
berkaitan dengan kondisi pasien
mual muntah ditandai dengan hasil
recall energi memenuhi 69,3%;
protein 74,62%; lemak 83,79%;
karbohidrat 64,16% dari total
kebutuhan energi.
NI 5.1 Peningkatan kebutuhan protein
spesifik albumin berkaitan dengan
albuminuria dan proteinuria ditandai
dengan nilai laboratorium albumin 1
g/dL dan protein urin +3.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan kolesterol dan
trigliserida berkaitan dengan adanya
perubahan metabolisme kolesterol
akibat peningkatan permeabilitas
glomerulus berkaitan dengan nilai
laboratorium kolesterol 652 mg/dL
dan trigliserida 531 mg/dL.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan Na berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal
(sindrom nifrotik) dibuktikan
dengan adanya edema anasarka.
NB.1.3 Belum siap untuk melakukan diet
berkaitan dengan kurangnya

24
dukungan dari orang tua pasien
yang ditandai dengan kegagalan
perubahan target kebiasaan
sebelumnya (rendah kolesterol dan
rendah garam).

Intervensi:
Diet Sindrom Nefrotik RG III

05/11/2014 Sindrom Nefrotik - TB: 145 - Albumin: - - - Energi: 1609,2 Assessment


dependent steroid cm - Kolesterol kcal A : IMT/U = 2,93 SD (obesitas); TB/U = -
dengan - BB: 82 total: - - Protein: 53,1 g 1,42 SD (Normal);
hipoalbumin, kg - Trigliserida - Lemak: 50,4 g B : Proteinuria tinggi (normal (-))
hiperkolesterolemia, - - KH: 236,2 g Tidak ada hasil lab selanjutnya untuk
obesitas. - Proteiinuria - Kolesterol: albumin, kolesterol, dan trigliserida.
300 mg/dl 124,3 mg C:-
- Sodium: 177,2 D : Intake Energi memenuhi 78,51%; protein
mg 78,95%; lemak 95,95%; karbohidrat
72,40% dari total kebutuhan energi.
Intake kolesterol < 200mg (normal),
intake natrium < 2 g (normal).

Diagnosa
NI 2.1 Asupan makanan tidak adekuat
berkaitan dengan kondisi pasien
mual muntah ditandai dengan hasil
recall energi memenuhi 69,49%;
protein 63,1%; lemak 78,34%;
karbohidrat 66,99% dari total
kebutuhan energi.
NI 5.1 Peningkatan kebutuhan protein

25
spesifik albumin berkaitan dengan
albuminuria dan proteinuria ditandai
dengan nilai laboratorium albumin 1
g/dL dan protein urin +3.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan kolesterol dan
trigliserida berkaitan dengan adanya
perubahan metabolisme kolesterol
akibat peningkatan permeabilitas
glomerulus berkaitan dengan nilai
laboratorium kolesterol 652 mg/dL
dan trigliserida 531 mg/dL.
NI 5.4 Penurunan kebutuhan Na berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal
(sindrom nifrotik) dibuktikan
dengan adanya edema anasarka.
NB.1.3 Belum siap untuk melakukan diet
berkaitan dengan kurangnya
dukungan dari orang tua pasien
yang ditandai dengan kegagalan
perubahan target kebiasaan
sebelumnya (rendah kolesterol dan
rendah garam).

Intervensi:
- Diet Sindrom Nefrotik RG III
- Konseling gizi mengenai diet sindrom
nefrotik dengan leaflet diet sindrom
nefrotik dan leaflet daftar bahan makanan
penukar.

26
A. Gambaran Umum Penyakit Pasien

Pasien laki-laki berusia 12 tahun didiagnosis menderita penyakit


sindrom nefrotik dependent steroid dengan hipoalbumin, hiperkolesterolemia, dan
obesitas. Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
terjadi pada anak, terdiri dari gejala klinis berupa proteinuria masif ≥ 40
mg/m2/jam, hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema, dan hiperkolesterolemia >200
mg/dL (Yeun & Kaysen, 2005). Pasien terdiagnosa Sindrom Nefrotik sejak tahun
2010 sampai sekarang dan telah mengalami relaps 4 kali selama 4 tahun terkahir,
relaps terakhir pada bulan Desember tahun 2013. Menurut Alatas & Tambunan
(2005), sindrom nefrotik dependen steroid yaitu keadaan dimana terjadi relaps
saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut. Sindrom nefrotik yang diderita pasien
termasuk dalam SN idiopatik/ primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain
(Khrisnan, 2012).
Berdasarkan riwayat pola makan, kejadian relaps yang dialami pasien
dimungkinkan karena asupan protein yang tinggi beberapa hari sebelum relaps.
Pasien mengkonsumsi tempe goreng dalam jumlah yang banyak, dan seminggu
sebelumnya pasien juga mengkonsumsi kepiting dalam jumlah yang banyak.
Selain itu, pasien juga senang mengkonsumsi jajanan di sekolahan yang banyak
mengandung natrium seperti goreng-gorengan berbumbu dan snack dalam
kemasan.

B. Antropometri
Berdasarkan pengukuran antropometri pasien pada awal kasus (3
November 2014) diperoleh data berat badan pasien adalah 83 kg, dan tinggi badan
adalah 145 cm. Namun berat badan tersebut merupakan berat badan setelah pasien
menderita edema, berat badan ideal pasien adalah 45 kg. Berdasarkan wawancara
ibu pasien, berat badan pasien sebelum menderita edema terakhir kalinya adalah ±
68 kg. Untuk perhitungan status gizi digunakan berat badan sebelum edema,

27
sehingga diperole data IMT/U = 2,93 SD; TB/U = -1,42 SD; BB/U = NA, dan
status gizi pasien tergolong obesitas.

Gambar 1. Grafik TB/U

Gambar 2. Grafik IMT/U


Alatas & Tambunan (2005) menyebutkan bahwa pada pasien anak
dengan sindrom nefrotik biasanya akan didapatkan kenaikan berat badan yang
dapat mencapai hingga 50% dari berat badan sebelum menderita sindrom nefrotik.
Hal tersebut terjadi karena timbulnya proses edema yang merupakan salah satu
gambaran klinis dari Sindrom Nefrotik. Edema yang terjadi pada Sindrom
Nefrotik diakibatkan karena turunnya kadar albumin dan terjadinya retensi

28
natrium yang menyebabkan cairan ekstravaskuler semakin meningkat dan dapat
meningkatkan berat badan.
Pada hari kedua pengamatan, tidak ada perubahan berat badan yaitu tetap
83 kg, dan pada hari terakhir pengamatan terdapat penurunan berat badan sebesar
1 kg sehingga berat badan pasien menjadi 82 kg. Lama penurunan berat badan
pada pasien Sindrom Nefrotik masih kontroversi dan dapat berbeda-beda antar
satu dengan yang lain karena dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
antara lain fungsi ginjal, kadar albumin, volume intarvaskuler, diet makanan, dan
efektifitas terapi. Penelitian Muryawan (2011), rata-rata lama perubahan berat
badan adalah 9 hari (2-35 hari). Risiko relatif fungsi ginjal yang buruk
(LFG<90(mL/min/1.73m2) untuk penurunan berat badan yang lama (>10 hari)
adalah 3,26 kali (95% CI=1,32-8,09). Risiko relatif kadar albumin yang sangat
rendah (<1,5 g/dL) untuk penurunan berat badan yang lama (>10 hari) adalah 7,52
kali (95%CI=1,13-49,99).
Berdasarkan penuturan ibu pasien, sekitar 4 tahun yang lalu sebelum
pasien menderita penyakit Sindrom Nefrotik, status gizi pasien tergolong normal
dengan berat badan 27 kg dan pasien adalah seorang atlet bulutangkis. Namun
setelah menderita penyakit sindrom nefrotik dan mendapat terapi obat steroid
prednisone, nafsu makan pasien tidak terkontrol makan 12 kali dalam sehari, dan
berat badan pasien terus meningkat. Menurut Churg et al (1970), Pasien dengan
sindrom nefrotik idiopatik kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan
kortikosteroid. Penderita sindrom nefrotik mendapat regimen glukokortikoid
untuk mempertahankan remisi. Dari beberapa efek samping potensial terapi
glukokortikoid, obesitas merupakan salah satu yang sering ditemui. Penelitian
terdahulu mengestimasi prevalensi obesitas sebesar 35-43% selama terapi
glukokortikoid dan 17 % setelah bebas steroid ≥ 6 bulan. Penurunan berat badan
relatif terjadi bilamana dosis glukokortikoid diturunkan atau dihentikan.
Meskipun demikian, belum jelas apakah berat badan akan kembali ke normal
setelah penghentian terapi glukokortikoid (Merritt et.al., 1986).
Penelitian Foster tahun 2006 di Philadelphia, Amerika Serikat, yang
meneliti faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya obesitas pada penggunaan

29
steroid, terutama faktor ras dan indeks masa tubuh maternal menyimpulkan bahwa
risiko obesitas meningkat pada pasien sindrom nefrotik sensitif steroid yang masih
mendapat paparan terapi steroid dalam waktu 6 bulan terakhir (OR 26,14 CI 95%:
7,54 - 90,66) dan setelah periode bebas steroid ≥ 6 bulan dibandingkan kontrol
normal (OR 5,22 CI 95%: 1,77-15,4) dengan prevalensi sebesar 20% (Foster
et.al., 2006).

C. Pemeriksaan biokimia
Berdasarkan data rekam medis, terdapat beberapa pemeriksaan biokimia
yang tergolong tidak normal, yaitu albumin 1 g/dL (Normal: 3,4-5 g/dL),
kolesterol total 652 mg/dL (Normal: <200 mg/dL), trigliserida 531 mg/dL
(Normal: <150 mg/dL), kalsium 2 mmol/L (Normal: 2,10-2,50 mmol/L), darah
dalam urin +1, protein dalam urin 300 mg/dL, dan bacteria dalam urin 162,8
(Normal: 0,0-100,0). Pada hari pengamatan kedua, tidak terdapat data hasil
biokimia, dan pada hari terkahir pengamatan, diperoleh hasil laboratorium bahwa
masih terdapat protein di dalam urin sebesar 300 mg/dl (+3).
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun (Kliegman et al, 2007).
Pasien Sindrom Nefrotik primer pada umumnya mengalami
hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia. Seperti pada hipoalbuminemia,
hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena
degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal, namun
meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Peningkatan lipoprotein dalam sirkulasi menyebabkan kadar kolesterol
darah lebih tinggi dari keadaan normal (Wila, 2002). Peningkatan sintesi
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik (Gunawan, 2006). Penelitian Baskoro (2011) menyatakan bahwa
rerata kadar kolesterol total darah anak penderita sindrom nefrotik sensitif steroid
sebelum terapi prednison dosis penuh adalah 504,26 mg/dL dengan nilai tertinggi

30
791 mg/dL. Kamble (2006) pada penelitiannya menunjukkan rerata kadar
kolesterol total darah anak penderita sindrom nefrotik sebanyak 422,61 mg/dL
dengan nilai tertinggi 676 mg/dL.
Proteinuria merupakan kelainan dasar Sindrom Nefrotik. Proteinuria
sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan
hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan
integritas membran basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam
urin adalah albumin. Dalam keadaan normal Membran Basal Glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada Sindrom Nefrotik
kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria adalah manifestasi utama dari penyakit glomerular, sementara ada
beberapa muncul dengan dominan hematuria atau kombinasi dari proteinuria dan
hematuria (Yeun & Kaysen, 2008).

D. Pemeriksaan Klinis
Kesan umum pasien adalah compos metis dan tampak bengkak diseluruh
tubuh karena adanya edema anasarka. Untuk pemeriksaan tanda-tanda vital pasien
tergolong normal. Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke
jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma
dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut
(Vasudevan et al, 2004).

31
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah efek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal
akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya system renin-
angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone aldosterone yang
akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun (Vasudevan et al, 2004).
Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi
katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vascular glomerulus
meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan starling
kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium (Pardede, 2002).

E. Asupan Zat Gizi


Berdasarkan hasil recall konsumsi pada awal kasus diketahui bahwa
asupan energi pasien hanya memenuhi 33,52%, protein 25,88%, lemak 5,91%
dan karbohidrat 52,75% dari total kebutuhan. Hal ini dikarenakan pasien merasa
mual dan muntah akibat kondisi pencernaan pasien yang tidak siap (kurang
kenyang) saat mengkonsumsi obat steroid metylprednisolon sehingga pasien
hanya mampu mengkonsumsi sedikit makanan utama dan buah-buahan. Begitu
juga pada hari pertama dan kedua pengamatan. Pada hari kedua pengamatan
intake energi memenuhi 74,00%; protein 78,95%; lemak 89,47%; karbohidrat
69,16% dari total kebutuhan energi. Intake kolesterol > 200mg (tinggi), intake
natrium < 2 g (normal). Pada hari ketiga intake energi memenuhi 78,51%;
protein 74,05%; lemak 95,95%; karbohidrat 72,40% dari total kebutuhan energi.
Intake kolesterol < 200mg (normal), intake natrium < 2 g (normal). Sebagian
besar makanan yang dikonsumsi pasien berasal dari luar rumah sakit karena
pasien tidak menyukai makanan dari rumah sakit.

32
F. Terapi Medis
Terapi medis yang diberikan kepada pasien adalah obat metylprednisolon,
captropil, kalk, dan furosamid. Metylprednisolon diindikasikan untuk
menginduksi diuresis atau mengurangi gejala proteinuria pada sindrom idiopatik
nefrotik, terapi jangka panjang diperlukan untuk mencegah kekambuhan. Pastikan
pasien dalam keadaan cukup kenyang sebelum mengkonsumsi obat
metylprednisolon, karena obat ini dapat menyebabkan mual dan muntah jika
kondisi pencernaan pasien belum siap.
Captopril adalah obat tekanan darah tinggi atau hipertensi.. Pemberian
steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping yang signifikan
terhadap penderita salah satunya hipertensi. Pengobatan hipertensi diawali dengan
inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin
Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel Blockers), Terapi ACE-i dan ARB
telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini
dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatis
untuk mengubah permeabilitas glomerulus. Salah satu terapi ACE-i adalah
captropil.
Furosamid meningkatkan produksi urin (membuang air dan garam yang
tidak dibutuhkan tubuh), mengurangi pembengkakan dan retensi cairan,
mengkontrol tekanan darah tinggi tetapi tidak menyembuhkan. Furosamid
memberikan respon lebih optimal dengan mengkonsumsi makanan rendah
natrium, suplemen kalium, dan meningkatkan jumlah makanan kaya kalium.
Selain pemberian obat, pasien juga diberikan transfusi albumin sesuai
dengan kebutuhannya, yaitu:
Kebutuhan albumin = ∆ albumin x 0,8 x berat badan
= (3,5 – 1) x 0,8 x 83 kg
= 166 g
Transfusi albumin 20% = 100/20 x 166 g = 830 ml
Maksimal dalam 1 hari diberikan 1 g/ kgBB/ hari yaitu 83 g/ hari ≈ 450 ml dengan
lama pemberian 4 jam.

33
Pengelolaan edema merupakan hal yang sulit pada pasien relaps dan
pasien yang memiliki resistensi terhadap terapi kortikosteroid. Terapi diuretik di
indikasi untuk pasien dengan edema secara signifikan atau kelebihan cairan secara
simtomatik. Transfuse albumin diperlukan hanya dalam situasi tertentu.
Pemberian transfuse albumin yang efektif yaitu sebesar 20% dengan dosis 1 g/kg
BB dilakukan 1-4 jam dengan furosemide (2 mg). Albumin biasanya diberikan
sebagai larutan murni, tetapi dapat diencerkan dengan lauran garam atau dextrose
5% untuk meningkatkan volume infus. Infus tidak boleh melebihi 2-3 ml permenit
untuk 20% larutan. Efek transfuse albumin bersifat sementara, dan sebagian besar
larutan albumin tersebut hilang dengan cepat melalui urin, kecuali ada remisi
proteinuria. Oleh karena itu, transfuse albumin perlu dilakukan berulang kali dan
biasanya pada hari yang telah ditentukan untuk mengurangi edema berkelanjutan
(Vasudevan et al, 2004).

G. Intervensi Gizi
Berdasarkan diagnosa gizi (masalah gizi), tujuan diet yang akan
diberikan kepada pasien adalah memberikan asupan makanan sesuai kebutuhan
dan kondisi pasien yang mengalami mual dan muntah agar asupan makanan dapat
dikonsumsi pasien secara optimal yaitu dengan pemberian makan secara bertahap
dengan membantu mencukupi kebutuhan protein terutama albumin ikut terbuang
melalui urin, membantu menurunkan kadar kolesterol total serta membatasi
asupan natrium yang berkaitan dengan adanya edema anasarka. Keadaan
pencernaan pasien tidak mengalami masalah sehingga makanan pasien diberikan
dalam bentuk makanan biasa. Tidak ada perubahan diagnosa gizi sejak
pengamatan hari pertama sampai dengan pengamatan hari terakhir. Diet yang
diberikan kepada pasien adalah Nasi standar D bentuk biasa dan diberikan secara
oral, sedangkan diet yang direkomendasikan adalah diet sindrom nefrotik rendah
garam III.

34
1. Energi
Kebutuhan Basal Metabolic Rate, faktor stress dan faktor aktifitas
dihitung menggunakan rumus Schofild. Walker et al (2003) menyebutkan bahwa
rumus Scofield menggunakan jenis kelamin, usia, berat badan, dan tinggi badan
anak dan mungkin lebih akurat untuk memprediksi REE pada anak dengan
pertumbuhan dan komposisi tubuh. Estimasi rumus REE Shofield juga
disesuaikan dengan aktifitas pasien, stress, dan kebutuhan untuk pertumbuhan.
Rumus perhitungan Basal Metabolic Rate, faktor stress dan faktor aktifitas
menurut Schofield adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Rumus perhitungan REE

Gambar 2 Faktor stress dan faktor aktifitas

35
2. Protein
Diet protein tinggi pada sindrom nefrotik akan meningkatkan ekskresi
protein dalam urin dan menyebabkan penurunan konsentrasi albumin serum
melalui efek yang merugikan pada hemodinamik glomerulus (Yeun & Kaysen,
2005). Menurut Indian Pedriatic Nephrology Group (2008), protein adekuat
adalah 1,5-2g/kg berat badan namun pasien dengan proteinuria persistent harus
diberika 2-2,5 g/kg berat badan atau diperhitungkan protein loss nya (proteinuria).
Studi menunjukan bahwa daging ayam dan ikan merupakan sumber
protein yang lebih baik daripada daging sapi. Namun sumber protein nabati
seperti kedelai dan biji-bijian dapat mengurangi proteinuria dan hyperlipidemia
lebih baik dibandingkan protein hewani. Penelitian pada tikus yang mengalami
sindrom nefrotik menunjukan bahwa terdapat manfaat yang diperoleh dari protein
kedelai karena efek langsung protein kedelai terhadap ginjal untuk mengurangi
pembentukan nitrotirosin dibandingkan harus melalui perubahan metabolism lipid
dihati. Diduga jenis asam amino yang terdapat dalam protein nabati yang
menyebabkan protein nabati lebih menguntungkan daripada merubah pola diet
lemak, karena asam amino rantai cabang dan gluconegenetic seperti arginine dan
glutamat tidak meningkatkan proteinuria pada hewan percobaan sementara asam
amino lainnya meningkatkan proteinuria (Yeun & Kaysen, 2005).

3. Lemak
Kebutuhan lemak untuk pasien sindrom nefrotik adalah <30% dari total
energi (Yeun & Kaysen, 2005). Penggunaan lemak tak jenuh tunggal atau tak
jenuh ganda seperti margarin dan minyak nabati disarankan sebagai makanan
sehat dengan mengurangi asupan lemak jenuh. Bagi penderita sindrom nefrotik,
upaya manipulasi diet lemak dalam makanan sangat dianjurkan. (Watson, 1992).
Contoh bahan makanan lemak tak jenuh adalah kacang-kacangan, minyak sawit,
margarin.

36
4. Karbohidrat
Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan energi, protein dan lemak
maka kebutuhan karbohidrat pasien sebesar 60,6%.
5. Kolesterol
Berdasarkan kebutuhan kolesterol, Yeun & Kaysen (2005) membatasi
asupan kolesterol untuk penderita sindrom nefrotik yaitu < 200 mg/hari.
6. Natrium
Pada pasien sindroma nefrotik, asupan natrium harus dibatasi untuk
mengurangi keadaan edema dan hipertensi (Seigneux & Martin, 2009).
Pembatasan natrium disarankan antara 1,5 – 2 gram setiap harinya (Gipson et al.,
2009). Vasudevan et al, (2004) menyarankan asupan natrium antara 1-2 gram per
hari. Di Indonesia, diet rendah garam 1-2 gram/ hari dan diuretik disarankan untuk
mengurangi edema (Pudjiadi et al., 2009). Pasien dengan edema harus
mengkonsumsi makanan yang tidak diolah dengan cukup garam. Hindari garam
meja dan makanan olahan atau snack yang mengandung tinggi natrium. Tidak
direkomendasikan menggantikan garam dengan garam rendah sodium (LoSoSa)
(Vasudeven et al, 2004).

7. Konseling Gizi
Karena pengobatan dengan kortikosteroid merangsang nafsu makan,
orang tua harus dianjurkan memastikan asupan dan aktivitas fisik anaknya untuk
mencegah berat badan yang berlebihan. Pasien diberikan konsultasi mengenai diet
sindrom nefrotik yang didalamnya menjelaskan mengenai penyakit sindrom
nefrotik itu sendiri dengan diet rendah garam dan rendah kolesterol, tujuan diet,
bahan makanan yang dianjurkan dan yang harus dibatasi, serta contoh menu
sehari yang direkomendasikan. Untuk membantu mengatasi permasalah belum
siapnya pasien untuk melakukan diet, maka diberikan pemahaman dan motivasi
kepada ibu dan pasien. Media yang digunakan dalam konseling ini adalah secara
lisan dan dibantu dengan leaflet diet sindrom nefrotik dan daftar bahan makanan
penukar. Aktifitas fisik yang disarankan untuk pasien adalah olahraga ringan
seperti jogging dan bersepeda santai.

37
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hasil assessment diperoleh bahwa:
a. Pasien laki-laki berusia 12 tahun didiagnosis menderita penyakit
sindrom nefrotik dependent steroid dengan hipoalbumin,
hiperkolesterolemia, dan obesitas sejak tahun 2010 sampai
sekarang dan telah mengalami relaps 4 kali selama 4 tahun
terkahir.
b. Antropometri: IMT sebesar 30,37 kg/m2 dan BAZ 2,92 SD yang
tergolong obesitas.
c. Biokimia: albumin rendah yaitu 1 g/dL, kolesterol total tinggi
yaitu 652 mg/dL, trigliserida tinggi yaitu 531 mg/dL, kalsium
rendah yaitu 2 mmol/L, darah dalam urin +1, protein dalam urin
300 mg/dL, dan bacteria dalam urin 162,8.
d. Klinis: Normal, compos metis, dan pasien terlihat bengkak
(edema anasarka).
e. Dietary: hasil recall konsumsi hanya memenuhi energy sebesar
33,52%, protein 25,88%, lemak 5,91% dan karbohidrat 52,75%
dari total kebutuhan karena kondisi pasien yang mual muntah.
2. Diagnosa gizi:
a. NI 2.1: Asupan makanan tidak adekuat berkaitan dengan kondisi
pasien mual muntah ditandai dengan hasil recall energi 33,52%,
protein 22,88%, lemak 5,91%, dan karbohidrat 52,75% dari total
kebutuhan.
b. NI 5.1: Peningkatan kebutuhan protein spesifik albumin
berkaitan dengan albuminuria dan proteinuria ditandai dengan
nilai laboratorium albumin 1 g/dL dan protein urin +3.
c. NI 5.4: Penurunan kebutuhan kolesterol dan trigliserida
berkaitan dengan adanya perubahan metabolisme kolesterol akibat

38
peningkatan permeabilitas glomerulus ditandai dengan nilai
laboratorium kolesterol 652 mg/dL dan trigliserida 531 mg/dL.
d. NI 5.4: Penurunan kebutuhan Na berkaitan dengan
gangguan fungsi ginjal (sindrom nifrotik) dibuktikan dengan
adanya edema anasarka.
e. NB.1.3 Belum siap untuk melakukan diet berkaitan dengan
kurangnya dukungan dari orang tua pasien yang ditandai dengan
kegagalan perubahan target kebiasaan sebelumnya (rendah
kolesterol dan rendah garam).
3. Intervensi gizi yang diberikan:
a. Diet sindrom nefrotik rendah garam III bentuk biasa diberikan
secara oral.
b. Konsultasi gizi mengenai diet sindrom nefrotik, dan motivasi ibu
pasien maupun pasien dalam menjalankan diet.
4. Monitoring dan evaluasi dilakukan selama dua hari berdasarkan sign
symptom pada diagnose gizi, dibandingkan dengan nilai normal,
kemudian dilakukan upaya tindak lanjut. Sebagian besar kondisi
pasien tidak ada perubahan, namun terjadi penurunan berat badan
sebesar 1 kg pada hari terkahir pengamatan.

B. Saran
1. Perlu dukungan dan motivasi dari keluarga terutama ibu dalam
kesembuhan dan keberhasilan diet pasien.
2. Kolaborasi tim medis sangat diperlukan terkait diagnosis medis
beserta terapi obat dan terapi gizi yang diberikan sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan pasien.

39
DAFTAR PUSTAKA

Alatas H, Tambunan T. 2005. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik


Idiopatik pada Anak. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan
dokter Indonesia.

Alexandru R. Constantinescu, Shah H B, Foote E F, Lynne S. Weiss. 2000.


Predicting First-Year Relapses In Children With Nephrotic Syndrome.
[homepage on the Internet]. [cited 16 November 2014].
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/abstract/105/3/492.

Baskoro. 2011. Kadar Kolesterol Darah Anak Penderita Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid Sebelum dan Sesudah Terapi Prednison Dosis Penuh [Karya
Tulis Ilmiyah]. Semarang: Universitas Diponogoro.

Churg J, Habib R, White RH. 1970. Pathology of the nephrotic syndrome in


children. A report for the International Study of Kidney Disease in
Children. Lancet 1970;760:1299-302.

Foster, B.J., Shults, J., Zemel, B.S., Leonard, M.B. 2006. Risk factors for
glucocorticoid-induced obesity in children with steroid-sensitive
nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 21: 973–980

Gauthier, B, Trachtman H. Pharmacological Treatment Of Nephrotic Syndrome.


[homepage on the Internet]. No date [cited 16 November 2014].
http://journals.prous.com/journals/servlet/xmlxsl/pk_journals.xml_summ
ary_pr?p_JournalId=4&p_RefId=522942&p_IsPs=N.

Gipson, D. S., Massengill, S. F., Yao, L., Nagaraj, S., William, E., Mahan, J. D.,
… Greenbaum, L. A. (2009). Management of Childhood Onset
Nephrotic Syndrome. doi:10.1542/peds.2008-1559

Indian Pedriatic Nephrology Group. 2008. Management of Steroid Sensitive


Nephrotic Syndrome: Revised guidelines. Indian Pedriatics. Volume 45 –
March 17, 2008.

Kamble DD. 2006. Serum Lipids in Nephrotic Syndrome in Children [disertasi].


Bangalore: Rajiv Gandhi University of Health Sciences, [cited 16
November 2014].
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:LuDIq2J_b4J:119.82.96.1
97/gsdl/collect/disserta/index/assoc/HASH2f29/d54cc4d8.dir/doc.pdf

40
Krishnan, R. G. (2012). Nephrotic syndrome. Paediatrics and Child Health,
22(8), 337–340. doi:10.1016/j.paed.2012.02.004

Kim J S, Bellew C, Siverstein D M, Aviles D H, Boineau F G, Vehaskari V M.


High Incidence Of Initial And Late Steroid Resistance In Childhood
Nephrotic Syndrome [homepage on the Internet]. No date [cited 16
November 2014].
http://www.nature.com/ki/journal/v68/n3/full/4496209a.html

Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pedriatic 18th ed.
Saunders. Philadelphia.

Merritt, R.J., Hack, S.L., Kalsch, M., Olson, D. 1986. Corticosteroid


therapyinduced obesity in children. Clin Pediatr 25:149–152.

Milne M. 1976. Biochemical Disorders In Human Disease. 2nd ed. London:


Churchill Ltd: 1976: 211

Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infatil. Jakarta: Cermin Dunia


Kedokteran No. 134. h.32-37.

Pudjiadi, A., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis.

Vasudevan A, Mantan M, Bagga A. 2004. Management of Edema in Nephrotic


Syndrom. Indian Pediatrics Volume 41,August 17, 2004.

Walker, A., Watkins, J., & Duggan, C. 2003. Nutrition in Pediatrics (Third.).
Ontario: BC Decker Inc.

Watson AR. 1992. Nephrotic syndrome. In: Campbell AGM, McIntosh N, eds.

Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta: Balai
penerbit FKUI pp.381-426.

Yeun, J. Y., & Kaysen, G. A. (2005). Nephrotic Syndrome. In L. D. Byhan-Gray,


J. D. Burrowes, & G. M. Chertow (Eds.), Nutrition and Health: Nutrition in
Kidney Disease (pp. 503 – 512). Totowa, NJ: Humana Press.

41
Lampiran 1.

SKRINING NUTRISI

Indikator Penilaian Malnutrisi: Pedriatic Yorkhill Malnutrition


Score (PYMS)
Cara menghitung IMT: BB/TB2 (dalam meter) = 63,85kg/(1,45)2
m = 30,37 kg/m2
1. Apakah IMT anak berada dibawah nilai cut off tabel IMT Ya Tidak
rujukan yang terdapat di bawah?
2. Apakah anak mengalami berat badan akhir-akhir ini? Ya Tidak
3. Apakah asupan makan pasien kurang dalam 1 minggu Ya Tidak
terakhir?
4. Apakah status gizi anak akan dipengaruhi oleh penyakit/ Ya Tidak
kondisi kesehatan?

Umur (th)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
15,0 14,5 14,0 13,5 13,5 13,5 13,5 13,5 14,0 14,0 14,5 14,5 15,0 15,5 16,0 16,5 17,0 17,0
15,0 14,0 13,5 13,5 13,0 13,0 13,0 13,0 13,0 13,5 14,0 14,5 15,5 15,5 16,0 16,5 17,0 17,0

Jika ada jawaban Ya 1 atau lebih maka harus dikonsultasikan ke ahli gizi/ dokter gizi.

42
Lampiran 2.

Recall Konsumsi Hari ke-1

Waktu Food Amount energy protein fat carbohydr. sodium cholesterol


g kcal g g g mg mg
07.00 nasi putih 30 39 0.7 0.1 8.6 0 0
telur ayam
gudeg 14 21.7 1.8 1.5 0.2 17.4 59.4
jeruk
manis 1000 470.8 9 1 118 0 0
12.30 roti manis 50 142.4 4 1.4 28.4 274 0

Sum: 674 15.4 3.9 155.1 291.4 59.4

43
Lampiran 3.

Recall Konsumsi Hari ke-2

Waktu Food Amount energy protein fat carbohydr. sodium cholesterol


g kcal g g g mg mg
08.00 bubur sumsum 250 87.2 0.8 2.3 16.8 2.5 0
12.00 Jus jambu biji 25 12.5 2.6 0 0.3 41 0
Putih telur 100 50.9 0.8 0.6 11.9 3 0
12.00 nasi putih 75 97.5 1.8 0.2 21.5 0 0
Otak-otak
bandeng 25 21 3.7 0.6 0 10 14.5
tahu 25 19 2 1.2 0.5 1.8 0
Buah pepaya 100 39 0.6 0.1 9.8 3 0
13.00 roti mocca 60 170.4 5.2 2.6 31.5 347.4 0
semangka 300 96.1 1.8 1.2 21.6 6 0
Bakery 30 113 1.8 4.5 16.3 3 12.6
madu 50 152 0.2 0 41.2 2 0
17.00 Salad solo:
kentang 75 69.7 1.5 0.1 16.2 3.8 0
Wortel 100 44.9 1.1 0.2 10.5 66 0
buncis 25 8.7 0.5 0.1 2 0.8 0
selada 20 2.6 0.2 0 0.4 1.8 0
daging sapi 50 134.4 12.4 9 0 26.5 37.5
telur ayam 50 77.6 6.3 5.3 0.6 62 212
Mayonnaise 10 79 0.2 8.8 0 66.3 16
Acar timun 20 2.6 0.1 0 0.6 0.4 0
19.00 sate ayam 75 235.5 19.2 17.3 0 51.8 56.3
madu 30 91.2 0.1 0 24.7 1.2 0

Sum: 1604.9 62.8 53.9 226.2 700.1 348.9

44
Lampiran 4.

Recall Konsumsi Hari ke-3

Waktu
Food Amount energy protein fat carbohydr. sodium cholesterol
g kcal g g g mg mg
05.30 sate ayam 125 392.6 32 28.8 0 86.3 93.8
lontong 300 564.3 6.6 12.6 106.5 9 0
06.30 bubur sumsum 150 52.3 0.5 1.3 10.1 1.5 0
permen 3 11.6 0 0 3 0 0
madu 20 60.8 0.1 0 16.5 0.8 0
susu kental
manis 20 64 1.6 1.7 10.9 24.4 6.6
sirup 30 64.2 0 0 16.6 6.6 0
19.00 nasi putih 150 195 3.6 0.3 42.9 0 0
sayur sop ayam 150 107.9 8.9 5.7 5.1 34.5 24
sirup 30 64.2 0 0 16.6 6.6 0
teh manis 250 32.3 0 0 8 7.5 0

Sum: 1609.2 53.1 50.4 236.2 177.2 124.3

45
Lampiran 5.

Rekomendasi Diet

Waktu
Food Amount energy protein fat carbohydr. sodium cholesterol
g kcal g g g mg mg
07.00 nasi putih 150 195 3.6 0.3 42.9 0 0
daging ayam 50 142.4 13.4 9.4 0 36.5 39.5
sayur sop 100 104 1.8 7 10.5 28 0
Susu bubuk 20 73.6 7.1 0.4 10.3 109.2 4.2
gula pasir 5 19.3 0 0 5 0.1 0
minyak kelapa
sawit 2,5 21.6 0 2.5 0 0 0
08.00 bubur sumsum 100 34.9 0.3 0.9 6.7 1 0
10.00 jus papaya 200 96.1 0.4 0 24.8 2 0
Putih telur 25 12.5 2.6 0 0.3 41 0
12.00 nasi putih 150 195 3.6 0.3 42.9 0 0
ikan pepes 50 40.5 5.8 1.8 0 16 21
tempe bacem 50 118.5 5.4 7.5 8.8 2.5 0
sayur bayam
jagung 100 37 1.6 0.5 8.3 19 0
minyak kelapa
sawit 2.5 21.6 0 2.5 0 0 0
pisang ambon 100 92 1 0.5 23.4 1 0
15.00 jus mannga 200 109.9 0.2 0.2 28.4 2 0
Putih telur 25 12.5 2.6 0 0.3 41 0
17.00 nasi putih 150 195 3.6 0.3 42.9 0 0
daging sapi 50 134.4 12.4 9 0 26.5 37.5
tempe bacem 50 118.5 5.4 7.5 8.8 2.5 0
Tumis Wortel 75 33.7 0.8 0.2 7.9 49.5 0
buncis 25 8.7 0.5 0.1 2 0.8 0
jeruk manis 200 94.2 1.8 0.2 23.6 0 0
minyak kelapa
sawit 2,5 21.6 0 2.5 0 0 0
19.00 bubur kacang hijau
with coconut milk 150 210.1 4.6 5.3 37.1 15 0

Sum: 2166,5 78,7 59,3 339,7 393,5 102.2

46

Anda mungkin juga menyukai