Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

“TUJUAN DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA”


CHAPTER 6

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu: Dr. Lukman El Hakim, M.Pd/ Tian Abdul Aziz, Ph.D

Disusun Oleh:
Bambang Faedoni 1309819007

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
TUJUAN DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA
1. Epistimologi dan Pandangan Etika
Filosofi matematika yang berbeda, memiliki perbedaan hasil dalam hal
praktik pendidikan. Penyelidikan atas filosofi yang mendukung pengajaran
matematika dan matematika membuat kita juga harus mempertimbangkan nilai-
nilai, ideologi, dan kelompok-kelompok sosial dan mentaatinya.
Ideologi
Sebagai dasar pembeda ideologi, kita mengacu Teori Perry (1970,1981). Ini
adalah teori psikologi mengenai perkembangan sikap epistimologis individu dan
etika.
A. Teori Perry
Teori Perry menetapkan urutan tahap pengembangan, diantaranya adalah
dualisme, multiplistik, dan relativisme. Teori tersebut tidak berakhir pada
relativisme, tapi terus berlanjut melalui beberapa tahap komitmen.
Dualisme
Dualisme adalah suatu susunan yang membagi dunia kedalam dua bagian,
baik atau buruk, benar atau salah, dan lain-lain. Pandangan dualistik memiliki
karakteristik yaitu dikotominya sederhana, dan sangat bergantung pada keabsolutan
dan otoritas sebagai sumber dari kebenaran, nilai-nilai,dan kontrol. Pada intinya
dualisme menyatakan segala tindakan sebagai sesuatu yang benar atau salah.
Multiplisitas
Pandangan multiplistik mengakui adanya keberagaman ‘jawaban’,
pendekatan ataupun perspektif, baik secara epistimologi maupun etika, tetapi
kekurangan dasar untuk pilihan rasional diantara alternatif-alternatif lain.
Relativisme
Secara epistimologi, relativisme membutuhkan pengetahuan, jawaban, dan
pilihan yang dipandang sebagai sesuatu yang bergantung pada fitur dan konteks,
dan dievaluasi atau dibenarkan dalam sistem atau prinsip-prinsip yang diatur.
Berdasarkan sudut pandang etika, tindakan dianggap diinginkan atau tidak
diinginkan berdasarkan kesesuaian dengan konteks dan sistem nilai dan prinsip.
B. Filosofi Matematika Pribadi

1
Menerapkan teori Perry pada filosofi matematika pribadi, pandangan
matematika dapat dibedakan pada setiap level. Pandangan dualistik matematika
memandang sesuatu terkait dengan fakta, aturan, prosedur yang tapat, serta
kebenaran sederhana, yang ditentukan oleh otoritas (wewenang) yang bersifat
absolut. Matematika dipandang sebagai sesuatu yang tetap dan tepat; yang memiliki
struktur unik. Mengerjakan matematika menggunakan aturan-aturan.
Pada pandangan multiplistik mengakui jawaban matematika yang beragam dan
berbagai macam cara untuk mendapatkan jawaban tersebut, tetapi dipandang
sebagai sesuatu yang sama-sama valid, atau persoalan pilihan secara personal.
Tidak semua kebenaran matematika, cara untuk mendapatkan kebenaran tersebut,
atau penerapannya diketahui, maka sangatlah mungkin untuk menjadi kreatif dalam
ilmu matematika dan penerapannya.
Pandangan relativistik matematika mengakui jawaban yang beragam dan
pendekatan-pendekatan pada permasalahan matematika, dan evaluasinya
bergantung pada sistem matematika, ataupun konteks secara keseluruhan.
Selanjutnya kita akan menghubungkan kelas-kelas dari pandangan matematika
terhadap filsafat matematika yang nyata, baik secara umum maupun khusus.
C. Pandangan Etika
Pandangan etika individu juga didefinisikan oleh teori Perry
Etika Dualisme
Dualisme adalah pandangan etika yang ekstrim, dualisme mengaitkan
persoalan moral dengan otoritas (wewenang) yang absolut tanpa adanya alasan
pembenaran yang rasional, dan menolak legitimasi nilai-nilai alternatif ataupun
sudut pandang yang lain.
Etika Multiplistik
Pandangan multiplistik mengakui adanya perbedaan sudut pandang moral
dalam berbagai isu, tetapi kekurangan rasionalitas atau prinsip dasar untuk pilihan
atau pembenaran. Sementara pandangan seperti ini memungkinkan pilihan dari tiap
individu sama-sama valid, pandangan ini mempertahankan nilai-nilai dan
kepentingannya sendiri.
Pandangan Etika Relativistik

2
Dalam pandangan relativistik etika mengakui adanya legitimasi terhadap
alternatif-alternatif lain dengan mempertimbangkan kumpulan nilai berdasarkan
prinsip.
D. Menggabungkan Perbedaan
Berbagai perbedaan: kerangka epistimologis dari teori Perry, filosofi
matematika pribadi, dan nilai moral dikombinasikan untuk menetapkan model
ideologi berbeda. Terdapat lima ideologi yang perlu adanya pembenaran terlebih
dulu.
Pada tingkat dualistik, hanya pandangan absolut matematika yang mungkin,
seperti nilai moral dualistik. Pada tingkat multiplistik, pandangan absolutis paling
cocok, seperti nilai moral dari kegunaan dan kelayakannya. Pada tingkat
relativistik, baik pandangan absolutis dan falibilis matematika dapat dipakai secara
konsisten. Baik pandangan moral yang terhubung ataupun terpisah konsisten
dengan pandangan absolutis relativistik, sehingga dua ideologi tersebut dapat
dibedakan sesuai dengan nilai-nilai yang diambil.
Selain itu, falibilis dapat dikombinasikan dengan relativisme. Filsafat
matematika falibilis memandang matematika sebagai ciptaan manusia, yang
penting bagi manusia, dan konteks sosial, secara lengkap dibahas pada
kontruktivisme sosial. Nilai-nilai yang secara garis besar konsisten adalah keadilan
sosial, dimana sangat cocok dengan kontruktivisme sosial karena dimensi sosial,
dan hubungan antara subjektif (individual) dan objekif (sosial).
Terdapat lima sudut pandang yang telah dikenal, meskipun kemungkinan-
kemungkinan sudut pandang yang lain tetap ada, karena tidak ada klaim khusus
yang dibuat untuk eksklusivitas ataupun keperluan logisnya. Model-model ideologi
terdiri dari:
Absolutisme Dualistik
Mengkombinasikan dualisme dengan absolutisme, pandangan ini
memandang matematika sebagai sesuatu yang pasti, dibangun oleh kebenaran yang
bersifat mutlak dan bergantung pada suatu otoritas (wewenang). Secara
keseluruhan sudut pandang ini memiliki dua karakteristik: (1) Penataan dunia
kedalam dikotomi sederhana, seperti kami dan mereka, baik dan buruk, benar dan

3
salah, dan dikotomi sederhana yang lain; (2) Tingkat kepentingan yang diberikan,
dan identifikasi terhadap otoritas. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut
menekankan pada perbedaan yang kaku, aturan-aturan mutlak, dan otoritas
paternalistik.
Absolutisme Multiplistik
Mengkombinasikan antara multiplistik dengan absolutisme, memandang
matematika sbagai sesuatu yang pasti, yang tidak perlu dipertanyakan
kebenarannya dan bisa diaplikasikan ataupun digunakan dalam berbagai macam
cara. Secara kesluruhan sudut pandang ini memiliki karakteristik bebas, berbagai
macam pendekatan dan kemungkinan diakui sebagai legitimasi, tetapi kekurangan
dasar untuk memilih diantara alternatif-alternatif kecuali oleh kegunaannya,
kelayakannya, dan pilihan pragmatik. Dengan demikian matematika diterapkan
secara bebas, tetapi tidak dipertanyakan ataupun diuji.
Absolutisme Relatif
Matematika dipandang sebagai pengetahuan yang benar, namun
kebenarannya bergantung pada struktur dalam dari matematika (logika dan
pembuktian) dibandingkan dengan otoritas (wewenang). Secara keseluruhan, sudut
pandang pengetahuan dan moral mengakui adanya perbedaan sudut pandang,
interpretasi, kerangka acuan dan sistem nilai. Dua sudut pandang dibedakan
berdasarkan apakah sudut pandang tersebut diambil secara terpisah atau terhubung.
Absolutisme Relatif Terpisah
Nilai moral terpisah dikombinasikan dengan absolutisme relatif
menekankan pada objektivitas dan aturan-aturan. Ideologi ini berfokus pada
struktur, sistem formal dan hubungannya, perbedaan, kritik, analisis, dan argumen.
Dengan mengacu pada matematika, hal ini menekankan pada logika hubungan-
hubungan dan pembuktian, serta struktur formal pada teori matematika. karena
secara keseluruhan, perhatian dalam pandangan ini ada pada struktur, aturan, dan
formula, absolutisme formal adalah subjek filsafat matematika yang tepat.
Absolutisme Relatf Terhubung
Ideologi ini mengkombinasikan pandangan absolut dari matematika dan
relativisme kontekstual dengan menghubungkan nilai-nilai. Sebagai dasar dari nilai

4
tersebut, sudut pandang ini menekankan pada pengetahuan subjek, perasaan,
kepedulian, empati, hubungan-hubungan, serta dimensi manusia dan konteksnya.
Ilmu matematika dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, namun ditekankan pada
peran individu dalam mengetahui, dan kepercayaan diri dalam memahami,
meguasai, dan selanjutnya terhubung dengan subjek. Oleh karena itu, absolutisme
progresif adalah subjek filsafat matematika dalam pandangan ini.
Relativisme Falibilis
Pandangan ini mengkombinasikan pandangan falibilis dari ilmu matematika
(sosial kontruktivisme) dan nilai-nilai mengenai keadilan sosial, dalam kerangka
relativistik, yang menerima keberagaman sudut pandang intelektual dan moral.
Pusat dari ideologi ini adalah masyarakat dan pengembangan. Pengetahuan dan
nilai-nilai, keduanya berhubungan dengan masyarakat: pengetahuan dipahami
sebagai konstruksi sosial dan nilai-nilainya berpusat pada keadilan sosial.
Pengetahuan dan nilai-nilai, keduanya berhubungan dengan pengembangan:
pengetahuan tumbuh dan berkembang, dan keadilan sosial lebih dari sekedar
masyarakat yang memiliki derajat yang sama.
2. Tujuan Pendidikan: Suatu Tinjauan
A. Sifat Tujuan Pendidikan
Fitur penting dari pendidikan adalah bahwa pandidikan merupakan kegiatan
yang disengaja (Oakshott 1967; Hirst dan Peters, 1970). Niat yang mendasari
kegiatan ini, dinyatakan dalam tujuan dan hasil yang diinginkan, merupakan tujuan
pendidikan. Sejumlah istilah berbeda digunakan untuk mengacu pada hasil
termasuk maksud (aims), tujuan (goals), target (target) dan tujuan (objectives).
Taba (1962), perbedaan dalam pendidikan umumnya digambarkan antara tujuan
pendidikan jangka pendek (objectives) dan tujuan luas, tujuan jangka panjang dan
yang kurang spesifik (aims).
Hirst (1974) berpendapat bahwa tidak ada yang diperoleh dengan membuat
perbedaan, dan lebih memilih istilah tujuan dengan menggunakan kata objectives.
Jadi, misalnya. entri indeks untuk tujuan (aims) dalam Hirst (1974) baca ‘see
objectives of education’. Dia berpendapat bahwa pergeseran menuju istilah yang
lebih teknis saja (pergeseran menggunakan istilah objectives) menunjukkan

5
tumbuhnya kesadaran bahwa deskripsi rinci untuk pencapaian yang kita kejar
memang benar-benar diinginkan. . . (I) n berbicara tentang tujuan (objectives)
kurikulum aku akan benar-benar mengingat hal tersebut sebagai deskripsi ketat
tentang apa yang akan dipelajari dan yang tersedia.
(Hirst, 1974, halaman 16)
Jadi Hirst, dalam kesesuaiannya dengan kedua pandangan sistem kurikulum dan
psikologi behavioris, melihat tujuan (aims) dan sasaran (objectives) secara teknis
dan normatif. Mereka adalah sarana dalam mendesain kurikulum rasional, sarana
menentukan apa kurikulum seharusnya. Hal ini adalah pandangan yang tersebar
luas di seluruh literatur tentang teori kurikulum, yang telah digambarkan sebagai
asumsi masyarakat statis, kurangnya konflik, dan ‘akhir dari ideologi’(Inglis, 1975.
Hal. 37).
Namun, spesifikasi tujuan pendidikan juga dapat menjadi tujuan lain.
Tujuan (purpose) tersebut salah satunya adalah kritik dan pembenaran praktek
pendidikan, dengan kata lain, evaluasi pendidikan, baik teoritis atau praktis. Dalam
arti luas, evaluasi pendidikan berkaitan dengan nilai praktek pendidikan.
Sebaliknya, pendekatan teknis dan normatif terhadap maksud (aims) dan tujuan
(objectives), dengan memfokuskan pada hasil pembelajaran tertentu, menerima
banyak konteks dan status quo pendidikan sebagai suatu yang tidak problematis.
Konteks sosial dan politik pendidikan dan pandangan yang diterima dari sifat
pengetahuan dilihat sebagai latar belakang tetap yang padanya perencanaan
kurikulum terjadi. Stenhouse mengakui hal ini.
Terjemahan dari struktur mendalam (deep structure) dari pengetahuan ke dalam
tujuan perilaku merupakan salah satu penyebab utama dari distorsi pengetahuan di
sekolah seperti yang dicatat oleh Young (1971a), Bernstein (1971) dan Esland
(1971). Penyaringan pengetahuan melalui analisis tujuan memberikan wewenang
dan kekuasaan kepada sekolah atas siswanya dengan menetapkan
batas arbitrary untuk spekulasi dan dengan mendefinisikan
solusi arbitrary terhadap masalah pengetahuan yang belum terselesaikan. Hal ini
menerjemahkan guru dari peran siswa bidang pengetahuan kompleks kepada versi
peran master sekolah yang disepakati dalam bidangnya.

6
(Stenhouse, 1975, halaman 86)
Kontra Hirst, kita mempertahankan perbedaan antara maksud (aims) dan tujuan
(objectives) pendidikan, dan fokus pada yang pertama. Hal ini memungkinkan kita
untuk menghindari pengandaian sifat tidak problematis dari asumsi yang padanya
pendidikan berbasis. Hal ini juga memungkinkan konteks sosial dan pengaruh
sosial pada tujuan pendidikan untuk dipertimbangkan, sebagai kebalikan dari
anggapan bahwa hal tersebut tidak problematis.
Pendidikan adalah kegiatan yang disengaja, dan pernyataan dari niat yang
mendasari merupakan tujuan pendidikan. Namun niat tidak ada dalam abstrak, dan
untuk menganggap bahwa mereka menyebabkan adanya objetifikasi palsu. Setiap
penjelasan tentang tujuan perlu menentukan kepemilikannya, untuk tujuan dalam
Pendidikan merupakan tujuan dari individu atau kelompok. Sockett mengatakan:
"tindakan manusia yang disengaja harus berdiri di tengah sebuah alasan dari
maksud dan tujuan kurikulum“ (Sockett, 1975, halaman 152, penekanan
ditambahkan)
Selain ini, untuk membahas tujuan pendidikan secara abstrak, tanpa
menemukannya secara sosial merupakan suatu kesalahan asumsi kesepakatan
universal, yaitu bahwa semua orang atau kelompok memiliki tujuan yang sama
untuk pendidikan. Williams (1961), Cooper (1985) dan - - ahli lainnya
menunjukkan bahwa hal ini bukanlah alasannya. Kelompok sosial yang berbeda
memiliki tujuan pendidikan yang berbeda yang berkaitan dengan ideologi yang
mendasari dan kepentingan mereka.
Sama seperti kita perlu mempertimbangkan konteks sosial untuk
menetapkan kepemilikan akan tujuan, juga kita perlu mempertimbangkan konteks
ini dalam kaitannya dengan sarana mencapai tujuan tersebut. Karena
mempertimbangkan tujuan pendidikan tanpa memperhatikan konteks dan proses
pencapaiannya merupakan objektifikasi palsu atas tujuan. Ahli lain juga
berpendapat bahwa sarana dan tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Karena
jenis hubungan logis antara sarana dan tujuan dalam pendidikan, tidaklah tepat
untuk memikirkan nilai-nilai dari sebuah proses pendidikan sebagai sesuatu yang

7
hanya tercantum pada berbagai pencapaian yang konstitutif dalam proses menjadi
orang berpendidikan.
B. Tujuan Pendidikan Matematika
Tujuan pendidikan matematika adalah niatan yang mendasari pendidikan
matematika dan lembaga-lembaga yang melaluinya pendidikan tersebut
terpengaruh. Tujuan tersebut mewakili salah satu komponen dari tujuan umum
pendidikan, dan bergabung dengan tujuan lainnya untuk membentuk tujuan
keseluruhan. Akibatnya tujuan pendidikan matematika harus konsisten dengan
tujuan umum pendidikan. Beberapa pernyataan tujuan yang berpengaruh dapat
ditemukan pada whitehead (1932), Cambridge Conference (1963), Mathematical
Association (1976), Her Majesty’s Inspectorate (1985), hal-hal berikut ini diambil
dari beberapa contoh diatas.
Tujuan pengajaran matematika
1.1 Terdapat tujuan penting yang harus menjadi bagian penting dari pernyataan
maksud umum dalam pengajaran matematika. Tujuan-tujuan ini ditujukan
untuk semua murid meskipun cara mereka diterapkan akan bervariasi sesuai
dengan usia dan kemampuan mereka.
1.2 Matematika sebagai unsur penting komunikasi
1.3 Matematika sebagai alat yang ampuh
1.4 Apresiasi hubungan dalam matematika
1.5 Kesadaran akan daya tarik matematika
1.6 Imajinasi, inisiatif dan fleksibilitas pemikiran dalam matematika
1.7 Bekerja dengan cara yang sistematis
1.8 Bekerja dengan cara independen
1.9 Bekerja secara kooperatif
1.10 Pembelajaran matematika yang mendalam
1.11 Kepercayaan diri murid atas kemampuan matematika mereka
(Inspektorat, 1985, Her Majesty’s halaman 2-6)

Tujuan pendidikan matematika harus berkaitan dengan kelompok sosial yang


terlibat didalamnya, serta ideologi yang mendasarinya. Untuk melakukan hal ini

8
kita menghubungkan lima ideologi yang mendasarinya. Hal ini diakui oleh
sejumlah peniliti baik dalam analitis teoritis maupun empiris. Morris (1981),
melaporkan kesimpulan dari pertemuan internasional tentang tujuan pendidikan
matematika bahwa setiap sub kelompok dan masyarakat memiliki tanggung jawab
untuk berpartisipasi dalam identifikasi tujuan...(termasuk) para guru, orangtua,
siswa, matematikawan, pengusaha organisasi karyawan, pendidik dan otoritas
politik. Melibatkan berbagai kelompok dalam proses penentuan tujuan bisa
menyebabkan konflik. Howosn dan Mellin Olsen (1986) membedakan tujuan dan
harapan dari kelompok sosial yang berbeda, termasuk guru matematika, orangtua,
majikan dan mereka yang berada pada tingkat sistem pendidikan yang lebih tinggi
(contohnya universitas). Ernest (1986, 1987) membedakan tiga kelompok
kepentingan: pendidik, ahli matematika dan perwakilan industri dan masyarakat,
masing-masing dengan tujuan berbeda untuk pendidikan matematika. Cooper
(1985) menyajikan kasus teoritis yang kuat tentang kelompok-kelompok sosial
dengan kepentinga, misi dan tujuan untuk pendidikan matematika yang berbeda.
C. Tujuan Pendidikan kelompok sosial: Analisis Williams
Williams (1961) menyebutkan 3 kelompok: industrial trainer (pelatih
industri), humanis, dan pendidik masyarakat, yang mana ideologinya telah
mempengaruhi pendidikan, baik di masa lalu dan di masa sekarang. Dia
berpendapat atas pengaruh kuat dari kelompok-kelompok tersebut pada fondasi
pendidikan Inggris di abad - 19. Dia juga menekankan dampak lanjutan ketiga
kelompok tersebut terhadap pendidikan: "ketiga kelompok ini masih bisa
dibedakan, meskipun masing-masing dalam beberapa hal telah berubah. (Williams
1978, dikutip dalam Beck,, 1981 halaman 91).
Kelompok Williams adalah sebagai berikut, Para pelatih industri merupakan
kelas pedagang dan manajer industri. Mereka memiliki pandangan 'borjuis', dan
nilai aspek utilitarian pendidikan. Tujuan pendidikan dari para pelatih industri
adalah utilitarian, berkaitan dengan pelatihan tenaga kerja yang cocok. Industrial
trainer berdampak besar pada pendidikan Inggris, karena kebutuhan ekonomi
berkembang dan berubah…[mengarah pada kedua] respon protektif, versi baru dari
penyelamatan moral, argumen yang sangat jelas dalam Undang-Undang Pendidikan

9
1870. . . dan respon praktis, mungkin menentukan, yang dipimpin Foster pada tahun
1870 untuk digunakan sebagai argumen utamanya: untuk penyediaan cepat
pendidikan dasar tergantung kemakmuran industri kami. Dalam pertumbuhan
pendidikan menengah, argumen ekonomi ini bahkan lebih sentral. (Kejadian)
kepersuasian. . . menyebabkan definisi pendidikan dalam hal pekerjaan dewasa
dimasa depan, dengan klausa paralel yaitu mengajar karakter sosial yang diperlukan
– kebiasaan akan keteraturan, disiplin diri, ketaatan dan usaha terlatih. (Williams
1961, halaman 161-162)
Para humanis kuno mewakili kelas terdidik dan berbudaya, seperti
aristokrasi dan kebangsawanan. Mereka menghormati studi humanistik kuno, dan
produknya, orang berpendidikan yang berbudaya, orang terdidik dengan benar. Jadi
tujuan pendidikan mereka adalah pendidikan liberal, transmisi warisan budaya,
terdiri dari pengetahuan murni (sebagai lawan dari terapan) dalam sejumlah bentuk-
bentuk tradisional. Para pendidik publik mewakili reformasi radikal atas budaya,
yang mana berhubungan dengan demokrasi dan keadilan sosial. Tujuan mereka
adalah ‘pendidikan untuk semua’, untuk memberdayakan kelas pekerja untuk
berpartisipasi dalam lembaga-lembaga demokratis masyarakat, dan untuk lebih
berbagi dalam kesejahteraan gugus industri modern. Williams berpendapat bahwa
sektor ini telah berhasil mengamankan perluasan pendidikan untuk semua pada
masyarakat British modern (dan Barat), sebagai hak (melalui aliansi dengan para
pelatih industri). Dengan demikian, pendidik masyarakat dapat dianggap sebagai
pendukung di belakang gerakan sekolah modern komprehensif.
Namun kelompok kepentingan lainnya, khususnya pelatih industri, telah berhasil
dalam memiliki dampak besar pada tujuan pendidikan sekolah, dan sarana tradisi
reformasi radikal, dan cara mencapainya.
Analisis historis yang kuat ini, diterima secara luas dan dikutip dalam (Abraham
Dan Bibby, 1988: Beck, 1981 Giroux, 1983 MacDonald, 1977 Meighan 1986)
Whitty, 1977 Young, 1971a; Young dan Whitty, 1977). Analisis ini memiliki
kekuatan mengidentifikasi dalam tujuan pendidikan dengan ideologi dan
kepentingan kelompok sosial tertentu. Kekuatan relatif dari kelompok-kelompok

10
ini digunakan oleh Williams untuk menjelaskan sejarah naiknya tujuan pendidikan
tertentu diatas tujuan yang lain.
Meskipun pengaruh tersebut sedikit berkurang, nilai-nilai humanis tua tetap
kuat. C. P. Snow menunjukkan bahwa hal ini merupakan perbedaan di antara kedua
budaya', satu humanistik dan yang lainnya ilmiah (Mills, 1970). Contoh tersebut
mewakili perspektif budaya yang saling bertentangan dari orang-orang
berpendidikan di Inggris. Sains dan mata pelajaran terapan lainnya saat ini sudah
banyak diterima sebagai bagian dari kurikulum, sebagian sebagai tanggapan
terhadap redefinisi ilmu pengetahuan sebagai subyek teoritis murni,
memisahkannya dari teknologi yang lebih praktis, pengurangan pengaruh humanis
lama. Namun, keberadaan ilmu pengetahuan dalam kurikulum sebagian besar
merupakan hasil dari kepentingan pelatih industri modern dan kekuasaan. Politisi
di seluruh spektrum politik berdebat akan kebutuhan tenaga kerja dan populasi
terdidik yang terampil secara ilmiah dan teknologi.
D. Unsur-unsur Ideologi Pendidikan Matematika
Unsur-unsur mana dalam ideologi pendidikan matematika yang diperlukan
untuk menentukan cara mencapai tujuan? diusulkanlah model struktur ideologi
pendidikan matematika. Sebuah model ideologi pendidikan matematika (Meighan
1986) menggambarkan ideologi sebagai set yang terdiri dari keyakinan yang
beroperasi pada berbagai tingkatan dan dalam berbagai konteks dengan beberapa
lapisan makna. Model yang diusulkan memiliki dua tingkatan : (1) tingkat dasar
yang terdiri dari unsur-unsur yang lebih dalam ideologi (elemen primer), (2) tingkat
skunder, terdiri dari unsur-unsur yang dihasilkan yang berkaitan dengan
pendidikan.
Tingkat dasar mencakup posisi epistemologi, filsafat ,matematika dan
satu set nilai-nilai moral dan lainnya. Terdapat dua elemen yang selanjutnya
dimasukkan kedalam model ideologi. Ini adalah teori anak yang merupakan bagian
khusus dari teori seseorang dalam kaitannya dengan pendidikan, dan suatu teori
masyarakat. Epistemologi memerlukan teori tentang bagaimana pengetahuan
individu berkembang. Artinya, mereka memerlukan pengetahuan teori subjektif
serta teori-teori pengetahuan objektif. Jadi epistemologi berhubungan dengan teori-

11
teori orang dan anak. Nilai moral mengilhami dan membentuk teori anak, orang dan
teori masyarakat. Teori-teori tersebut merupakan komponen penting dari ideologi
pada umumnya, dan ideologi pendidikan pada khususnya.
Teori masyarakat termasuk dalam konsep-konsep keanekaragaman sosial,
dan dari hubungan antar segmen yang berbeda. Digabungkan dengan unsur-unsur
lain, seperti pandangan matematika dan pengetahuan, hal ini akan mengarah pada
teori pribadi tentang keragaman sosial dan kepentingannya serta akomodasi dalam
pendidikan matematika. Untuk alasan ini, teori keanekaragaman sosial dalam
pendidikan matematika juga disertakan. Sosiolog pendidikan telah lama
menunjukkan pentingnya masyarakat, hubungan sosial, keragaman sosial, seperti
halnya dengan kostruk kemampuan bagi pendidikan (Beck et al., 1976: Meighan.
1986). Secara khusus, Ruthven (1987) telah menunjukkan peran ideologis sentral
yang dimainkan oleh konsep guru akan kemampuan matematika. Konsep gender,
ras dan kelas juga diakui sebagai faktor sentral dalam distribusi kesempatan
pendidikan dalam matematika (Burton, 1986;, Ernest 1986,1989; Ruthven, 1986
1987). Untuk alasan ini, adalah tepat utnuk memasukkan teori kemampuan
matematika dan keanekaragaman sosial dalam matematika diantara unsur-unsur
sekunder model.
Tabel 1. Sebuah Model Ideologi Pendidikan untuk Matematika
Elemen Primer Elemen Sekunder
1. Epistemologi 1. Tujuan pendidikan matematika
2. Filsafat Matematika 2. Teori pengetahuan matematika
3. Satu set nilai-nilai moral sekolah
4. Teori anak 3. Teori pembelajaran matematika
5. Teori masyarakat 4. Teori pengajaran matematika
6. Tujuan pendidikan 5. Teori penilaian matematika
6. Teori sumber pendidikan
matematika
7. Teori kemampuan matematika
8. Teori keanekaragaman sosial
dalam pendidikan

12
Analisis Kritik :
Dalam klasifikasi table di atas menurut pendpat saya lebih etis penamaannya
elemen khusus dan elem umum karena elemen primer dan elemen sekunder pada
umumnya digunakan utk padanan kata “Kebutuhan”.

Apa ideology pendidikan di Indonesia ?


Jawab:
Ideology mestinya menjadi pedoman yang diterjemahkan dalam Undang-
undang system pendidikan nasional, peraturan pemerintah, kurikulum pendidikan,
metodologi pendidikan, bahkan pedoman bagi tenaga pendidik dan peserta didik
dalam praktek pendidikan untuk manajemen sumber daya manusia, atau hal lain
yang tentunya berhubungan erat dengan penataan dunia pendidikan dalam bingkai
mencerdaskan kehidupan Bangsa yang telah dimuat pada pembukaan UUD 1945,
kemudian pada dimensi yang sangat filosofis pendidikan dirancang dan digagas
untuk memanusiakan manusia sepanjang hayat.
Dengan demikian, dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan
mengenai pendidikan niscaya memiliki relevansi dengan peningkatan mutu
pendidikan nasional dengan berdasar pada standar pendidikan dan berpedoman
pada Ideology Pendidikan. Sehingga implementasi dan praktek pendidikan
tidaklah bertentangan dengan ideology yang telah disemai dalam dunia pendidikan
di indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai