Anda di halaman 1dari 53

TUTORIAL KASUS 1

JEJAS, ADAPTASI SEL, INFLAMASI DAN PEMULIHAN


JARINGAN

KELOMPOK TUTORIAL A2

Disusun Oleh:

I Gusti Ngurah Adi Dwiva Raditya 1910211003


Sefina Rianda Dewi 1910211035
Aryadhira Parameswari 1910211036
Nabila Fairuz 1910211038
Tegar Wirayudha 1910211093
Putri Avrilia Nurma Irani 1910211098
Aishadewi Prasista 1910211117
Zakiah Nada Nuralfilail 1910211142
Siti Amalina 1910211143
Fanshur Ahmad Zaki 1910211149
BLOK FBS 2

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2019-2020


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana.

Dalam rangka memenuhi tugas tutorial, kami menyusun makalah ini membahas
tentang Jejas, Adaptasi Sel, Inflamasi dan Pemulihan Jaringan. Dalam Penulisan makalah ini
kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, \

mengingat akan keterbatasan yang kami miliki.

Akhir kata, kami berharap semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi tim penulis sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Jakarta, 31 Oktober 2019

Penyusun
SKENARIO
Halaman 1

Seseorang perempuan, Ny. R 65 tahun, mengalami luka borok pada tumit kaki kanan
dan berbau. Awalnya satu bulan yang lalu ia mengikuti acara jalan santai di kelurahan
menggunakan sepatu baru karena sepatu yang lama sudah rusak. Sore harinya nampak luka
lecet pada tumit kaki kanannya, tetapi tidak nyeri. Ny. R diketahui memiliki riwayat penyakit
gula sejak 12 tahun yang lalu. Ny. R tetap menggunakan sepatu tersebut untuk jalan pagi.
Lama- kelamaan lecet berubah menjadi luka, kulit sekitarnya berwarna kemerahan dan
sedikit bengkak, disertai nyeri tetapi tidak terlalu.

Halaman 2

Sekarang luka tersebut sudah makin besar dan tiga hari lalu tampak bernanah dan
berbau. Anak Ny. R membawanya kedokter untuk memeriksakan luka itu ke klinik. Setelah
pemeriksaan, dokter membersihkan luka tersebut dan membuang jaringan nekrotik pada luka,
Ia menjelaskan luka tersebut harus dirawat dan dibersihkan tiap hari sampai nanti terjadi
proses pemulihan jarigan. Ny. R juga harus mengendalikan kadar gula darahnya dan menjaga
kakinya agar tidak terluka atau mengalami lecet lagi. Dua minggu kemudian tampak jaringan
parut di bekas luka. Untung saja kaki Ny. R masih dapat diselamatkan.
Case 3

Jejas, Adaptasi Sel, Inflamasi dan Pemulihan Jaringan

A. Terminologi
1. Luka Lecet = luka yang terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam.
2. Luka Borok = luka yang terbuka pada kulit, mata atau mebran mukosa yang
sering disebabkan oleh peradangan, infeksi, kanker, hipertensi, diabetes, dan lain-
lain.
3. Nyeri = sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan, dan
penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu.
4. Bengkak = pembesaran abnormal sementara pada bagian atau daerah tubuh
teretentu.
5. Nekrosis = kematian sel yang disebabkan oleh digesti enzimatik sel dan denaturasi
protein.
6. Apoptosis = jalur "bunuh diri" sel bukan "pembunuhan" sel yang terjadi pada
kematian sel nekrotik. Apoptosis (berasal dari kata yang berarti "meninggalkan
jauh dari") menyebabkan kematian sel terprogram, pada beberapa proses
fisiologik penting (dan proses patologik)
7. Rubor = tempat terjadinya radang menjadi warna kemerahan
8. Tumor = terjadinya edema radang atau cairan eksudat dan mengakibatkan
kebengkakan lokal
9. Calor = Suhu lokasi tempat terjadinya radang menjadi lebih hangat
10. Dolor = yang menimbulkan nyeri di lokasi radang
11. Functio laesa = adanya perubahan, gangguan, kegagalan fungsi pada daerah yang
abnormal jaringan
12. Inflamasi = peradangan
13. Atrofi = Pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substansi sel
14. Hipertrofi = Penambahan ukuran sel yang dapat menyebabkan penambahan
ukuran organ, dapat terjadi bersamaan dengan hiperplasia
15. Hiperplasia = Peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan
16. Metaplasia = Perubahan reversible yang mana suatu jenis sel dewasa berubah atau
berganti menjadi jenis sel dewasa yang lain
17. Dysplasia = Perubahan reversible yang mana suatu jenis sel dewasa berubah atau
berganti menjadi jenis sel dewasa yang lain
18. Bernanah = eksudat yang kaya protein yang terdiri dari leukosit, puing seluler,
dan cairan encer
19. Jaringan nekrotik = jaringan yang mengalami nekrosis
20. Jaringan parut = jaringan yang meengandung fibrosa (fibrosis) yang
menggantikan kulit luka setelah cedera
21. PMN = polymorphonuclear (bagian dari sel darah putih dari kelompok granulosit
22. TGF-β = Transforming Growth Factor Beta (protein yang disekresikan untuk
meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari berbagai jenis sel)
23. PDGF = Platelet Derivat Growth Factor (faktor pertumbuhan)
24. Haemostasis = mekanisme alami tubuh untuk menghentikan kehilangan darah
yang berlebihan
25. Angiogenesis = proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh yang
telah ada, terutama vena. Merupakan proses yang sangat penting pada pemulihan
luka di tempat jejas, untuk pembentukan kolateral di daerah iskemia, dan
menyebabkan tumor dapat bertambah besar walaupun suplai darah terbatas.
26. Granulation Tissue = bahan yang dibentuk untuk memperbaiki luka jaringan
lunak, terdiri dari sel- sel jaringan ikat dan pembuluh muda yang tumbuh ke
dalam, pada akhirnya membentuk bekas luka.

B. Problem dan Hipotesis


Problem Hipothesis

1. Ny. R perempuan 65 tahun


mengalami luka borok pada tumit
kaki kanan dan berbau.
Ada, karena diabetes militus dapat
2. Apakah ada hubungan antara menyebabkan gangguan vaskularisasi
penyakit gula Ny. R sejak 12 dan hipoksia pada jaringan luka.
tahun yang lalu dengan luka lecet
sebulan lalu yang berubah
menjadi luka borok yang berbau?
Karena terjadi peradangan (Inflamasi)
3. Mengapa luka akibat lecet tadi,
kulit sekitarnya berwarna merah,
bengkak, dan nyeri?
Bentuk adaptasi sel :
4. Bagaimana cara sel beradaptasi?  Atrofi
 Hipertrofi
 Hiperplasia
 Metaplasia
 Dysplasia
Jejas adalah sel yang tidak dapat
5. Apa yang dimaksud dengan jejas beradaptasi. Faktornya :
dan apa saja faktor- faktornya?  Fisik
 Bahan kimia
 Deprivasi oksigen
 Nutrisi
 Radikal bebas
Waktu paparan, stimulus, jenis sel.
6. apa yang mempengaruhi jejas sel
dapat reversible dan irreversible?
IDK
7. Apa faktor yang menyebabkan
sel mengalami nekrosis dan
apoptosis?
 Rubor
8. Bagaimana tanda- tanda  Tumor
inflamasi?  Calor
 Dolor
 Functio laesa
IDK
9. Bagaimana gambaran sel yang
mengalami nekrosis?
IDK
10. Bagaimana mekanisme proses
penyembuhan luka?
Injury->coagulation-> early inflamation
11. Bagaimana mekanisme proses ->late inflamation->proliferation
pembentukan jaringan? ->remodelling
IDK
12. Apa perbedaan jaringan parut
dan keloid?
IDK
13. Klasifikasi inflamasi, tanda-
tanda dan perbedaann

C. IDK dan learning issues

IDK (I DONT KNOW) LEARNING ISSUE

Jejas 1. Definisi
2. Faktor
3. Etiologi
4. Mekanisme
5. Klasifikasi

Adaptasi Sel 1. Definisi


2. Bentuk- bentuk adaptasi sel

Inflamasi 1. Definisi
2. Fungsi
3. Klasifikasi
 Akut
 Kronik
4. Mekanisme
 Akut
 Kronik
5. Peran kelenjar dan pembuluh
getah bening

Proses Pemulihan Oleh Jaringan 1. Regenerasi sel


Penunjang 2. Angiogenesis
3. Fibrosis
4. Remodelling jaringan parut

Proses penyembuhan luka 1. Penyembuhan luka primer


2. Penyembuhan luka sekunder
3. Kekuatan luka
4. Aspek patologi dari proses
pemulihan jaringan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Masa pubertas adalah saat terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuh yang mengiringi
rangkaian pendewasaan. Periodenya terjadi bervariasi tergantung individu. Dapat
terjadi lebih awal atau justru sebaliknya. Biasanya dimulai antara usia 9-12 tahun untuk
perempuan, dan antara usia 10-14 tahun untuk pria. Masa pubertas tidak hanya ditandai
dengan haid pada perempuan atau mimpi basah pada laki-laki.

Masa pubertas juga ditandai dengan perubahan bentuk fisik, ditandai dengan munculnya
lekukan-lekukan tubuh sehubungan dengan membesarnya payudara dan berubahnya
proporsi lekuk pinggul, serta tumbuhnya bulu-bulu halus di beberapa bagian tubuh pada
perempuan.

Sedangkan pada laki-laki, terjadi perubahan pada pita suara, mulai tumbuh rambut
kemaluan dan bulu wajah, serta membesarnya ukuran testikel dan penis. Selain itu, bahu
juga menjadi lebih lebar karena kondisi tubuh yang lebih berotot.

Perubahan pada masa pubertas ini disebabkan oleh produksi hormon testosteron pada
laki-lakidan estrogen pada perempuan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat laporan mengenai masa
pubertas yang berjudul “REPRODUKSI, SISTEM ENDOKRIN DAN TUMBUH
KEMBANG”
BAB II
ISI
A. JEJAS
1. Pengertian Jejas Sel
Jejas sel adalah kondisi dimana sel beradaptasi secara berlebihan dikarenakan
adanya stress fisiologis atau stimulus patologis.

2. Penyebab Jejas Sel


1. Deprivasi oksigen
Deprivasi oksigen adalah keadaan dimana sel mengalami defisiensi oksigen
(hipoksia) yang mengganggu respirasi oksidatif aerobik sehingga
menyebabkan jejas sel dan kematian.
2. Bahan kimia
Semua bahan kimia, bahkan zat tak berbahaya seperti glukosa dan garam
dapat menyebabkan jejas sel apabila konsenterasinya berlebihan. Hal ini
disebabkan karena sel tidak dapat menjaga keseimbangan lingkungan osmotik
sehingga menyebabkan cedera.
3. Ketidakseimbangan nutrisi
Sel memerlukan nutrien yang mendukung aktivitasnya. Apabila nutrien yang
dibutuhkan tidak terpenuhi, aktivitas sel akan terganggu sehingga
menyebabkan terjadinya jejas.
4. Agen fisik
Trauma, temperatur, radiasi, syok elektrik, tekanan dapat menimbulkan jejas
karena berpengaruh terhadap kisaran luas pada sel.
5. Radikal bebas
Radikal bebas merupakan spesi kimiawi yang sangat reaktif. Terbentuknya
radikal bebas di dalam sel dapat menimbulkan jejas.
6. Reaksi imun
Reaksi imun yang disengaja atau tidak disengaja dapat menyebabkan jejas sel,
misalnya pada hilangnya toleransi dengan respon terhadap antigen yang dapat
menyebabkan autoimun.
7. Genetik
Defek genetik dapat menyebabkan perubahan patologis yang menyolok,
sepertr malformasi kongenital yang disebabkan oleh sindrom down, seperti
substitusi asam amino tunggal pada hemoglobin S anemia sel sabit. Beberapa
kesalahan metabolisme saat lahir akibat defisiensi enzimatik kongenital
merupakan contoh kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh
perubahan '"sepele" yang sering kali terjadi pada asam deoksiribonukleat
(DNA).
8. Agen biologis
Agen biologis seperti virus atau bakteri yang bersifat patologis dapat
mencederai sel dan menimbulkan jejas sel.

3. Prinsip Umum
1. Respon seluler bergantung pada tipe, durasi, dan keparahan stimulus
Jadi, toksin berdosis rendali atar iskemia berdurasi singkat bisa menimbulkan
jejas se1 yang reversibel, sedangkan toksin berdosis lebih tinggi atau iskemia
dalam waktu yang lebih lama, akan menyebabkan jejas ireversibel dan
kematian sel.
2. Bergantung pada tipe, status, dan kemampuan adaptasi terhadap jejas.
Jejas yang sama mempunyai dampak yang sangat berbeda, bergantung pada
tipe sel. Contohnya, otot lurik skelet di tungkai mengakomodasi iskemia
komplet selama 2 sampai 3 jam tanpa terjadi jejas ireversibel, sedangkan otot
jantung akan mati hany;r setelah 20 sampai 30 menit.
3. Sistem sel yang mudah mengalami jejas
Empat sistem intraselular yang paling mudah terkena adalah: 1) keutuhan
membran sel, yang kritis terhadap homeostasis osmotik dan ionik selular; 2)
pembentukan adenosin trifosfat (ATP), paling besar melahri respirasi aerobik
mitokondria; 3) sintesis protein; dan 4) keutuhan perlengkapan genetik.
4. Fungsi sel hilang sebelum kematian
Karena aktivitas spesifiknya secara khas bergantung pada semlla sistem yang
masih utuh, sel kehilangan aktivitas fungsionalnya relatif cepat, meskipun
tidak mati. Misalnya, sel miokardial menjadi nonkontraktil setelah 1 sampai 2
menit mengalami iskemia walaupun sel itu tidak mati sampai 20-30 menit
setelah terjadi iskemia. Selain itu, perubahan gambaran sel terbukti hanya
teqadi setelah beberapa sistem biokimia yang kritis terurai, dan dalam waktu
yang cukup lama berialu untuk menampakkan perubahan tersebut.

4. Klasifikasi Jejas
A. Jejas Reversible
Perubahan ultrastruktur jejas sel reversibel meliputi :
- perubahan membran plasma seperti bula (pembengkakan); penumpulan
atau distorsi mikrovilli; dan longgarnya pelekatan intersel;
- perubahan mitokondrial, seperti pembengkakan dan munculnya densitas
amorf kaya fosfolipid;
- dilatasi retikulum endoplasma dengan kerusakan ribosom dan disosiasi
polisom;
- perubahan nuklear, dengan disagregasi unsur granular dan fibrilar.

Dua pola perubahan morfologik yang berkaitan dengan jejas reversibel dapat
dikenali dengan mikroskop cahaya

- Pembengkakan sel adalah manifestasi yang pertama terjadi dari hampir


semua bentuk jejas sel; muncul setiap sel tidak mampu mempertahankan
homeostasis ionik dan cairan.
- Perlemakan, terjadi pada jejas hipoksik dan berbagai bentuk jejas toksik
atau metabolik, bermanifestasi dengan munculnya vakuola lipid dalam
sitoplasma. Perlemakan merupakan reaksi yang kurang sering terjadi,
terutama ditemukan pada sel yang berperan dalam metabolisme lemak
(misalnya, hepatosit dan sel miokardial), dan juga bersifat reversibel.

B. Jejas Irreversible
Dua fenomena yang secara konsisten menandai terjadinya jejas irreversible
adalah tidak mampu memperbaiki disfungsi mitokondria dan terjadinya
gangguan fungsi membran yang besar. Terdapat beberapa penyebab potensial
kerusakan membran, yaitu :
- Kehilangan progresif fosfolipid membran
Kehilangan fosfolipid yang progresif dapat juga terjadi akibat penrlrlrnan
reasilasi yang dependen ATP atau berkurangnya sintesis fosfolipid
denovo.
- Abnormalitas sitoskeletal
Aktivasi protease dengan peningkatan kalsitrm intrasel bisa menyebabkan
kerusakan sitoskleleton. Pada kondisi pembengkakan sel, jejas seperti itu
dapat menyebabkan pelepasan membran sel dari sitoskleleton,
menyebabkan membran rentan terhadap regangan dan ruptur.
- Radikal oksigen toksik
Spesi oksigen yang tereduksi sebagian sangat toksik dan menyebabkan
jejas pada membran sel dan isi sel lainnya. Radikal oksigen tersebut
meningkat pada jaringan iskemik, terutama setelah perbaikan aliran darah
dengan rekrutmen leukosit dan mekanisme lain.
- Produk pemecahan lipid
Produk katabolik ini berakumulasi dalam sel iskemik sebagai akibat
degradasi fosfolipid dan memiliki efek pembersih pada membran.
Secara umum, jejas irreversible dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Nekrosis
Nekrosis merupakan kematian sel yang disebabkan oleh digesti enzimatik
sel dan denaturasi protein. Nekrosis terdiri dari beberapa jenis.
a. Nekrosis koagulatif, yaitu apabila denaturasi protein merupakan pola
primer yang terjadi.
b. Nekrosis liquefaktif khas untuk infeksi bakterial fokal atau kadang
fungal, karena memberikan rangsang yang sangat kuat untuk akumulasi
sel darah putih.
c. Nekrosis gangrenosa bukan merupakan pola jelas kematian sel,
istilahnya masih sering digunakan dalam praktik pembedahan. lstilah
tersebut menunjukkan nekrosis koagulativa iskemik (sering kali
ekstremitas); saat terjadi infeksi yang menumpangi dengan komponen
liquefaksi, lesi disebut "gangren basah".
d. Nekrosis kaseosa adalah bentuk tersendiri nekrosis yang paling sering
ditemukan pada fokus infeksi tuberkulosis. lstilah "kaseosa" berasal
dari gambaran makroskopik putih, seperti keju di daerah nekrotik
sentral. Secara mikroskopik, fokus nekrotik tersusun atas debris
granular amorf, tanpa struktur terlingkupi dalam cincin inflamasi
granulomatosa tersendiri.
e. Nekrosis lemak merupakan istilah lain yang telah diterima dengan
baik, yang sebenarnya tidak menunjukkan pola spesifik nekrosis.
Agaknya, menjelaskan area fokal destruksi lemak, yang secara khas
terjadi setelah cedera pankreatik; nekrosis tersebut disebabkan oleh
pelepasan patologi enzim pankreatik yang teraktivasi ke dalam
parenkim yang berdekatan atau cavum peritoneii.

2. Apoptosis
Apoptosis adalah jalur "bunuh diri" sel bukan "pembunuhan" sel yang
terjadi pada kematian sel nekrotik. Apoptosis (berasal dari kata yang
berarti "meninggalkan jauh dari") menyebabkan kematian sel terprogram,
pada beberapa proses fisiologik penting (dan proses patologik), meliputi
- Kerusakan sel terprogram selama embriogenesis, seperti yang terjadi pada
implantasi, organogenesis, dan terjadinya involusi
- Involusi fisiologik bergantung hormon, seperti involusi endometrium
selama sikhis menstruasi, atau payudara di masa laktasi setelah
penyapihan; atau atrofi patologik, seperti pada prostat setelah kastrasi
- Delesi sel pada populasi yang berproliferasi, seperti epitel kripta usus, atau
kematian sel pada tumor r
- Delesi sel T autoreaktif di timus (>95% timosit mati dalam timus selama
proses maturasi), kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitokin, atau
kematian sel yang diinduksi oleh sel T sitotoksik r
- Berbagai rangsang cedera ringan (panas, radiasi, obat kanker sitotoksik
untuk kanker, dan liin-lain; yang menyebabkan kerusakan DNA yang tidak
dapat diperbaiki, sebaliknya memicn jalur lintas bunuh diri sel (misalnya,
melalui protein supresor tumor TP53)

 Mekanisme apoptosis
1. Signaling
Apoptosis dapat dipicu dengan berbagai sinyal yang berkisar dari
kejadian terprogram intrinsik (misalnya, pada perkembang;rn),
kekurangan faktor turnbuh, interaksi ligan-reseptor spesifik, pelepasan
granzirn dari se1 T sitotoksik, atau agen jejas tertentu (misalnya,
radiasi). Sinyal transmembrar-r juga dapat menekan program kematian
yang terjadi sebelumnya (dan tentnnya rangsang kelangsungan hidup)
atan menginisiasi kaskade kematian se1. Reseptor membran plasma
tersebut memberikan sekuens protein "domain kematian" intrasel,
yaitu bila dioligomerisasi (khususnya trimerisasi) menimbulkan
aktivasi kaspase inisiator dan kaskade aktivasi enzim yang memuncak
pada kematian sel.
2. Kontrol dan integrasi
Kontrol dan integrasi dilengkapi oleh protein spesifik yang
mengkubungkan sinyal kematian asli dengan program eksekusi akhir.
Protein tersebut penting karena kerjanya dapat menimbulkan
"komitmen" atau pembatalan sinyal yang berpoterrsi letal. Terdapat
dua jalur luas pada tahapan ini: (1) transmisi langsung sinyal kematian
dengan protein pencocok (adapter proteins) terhadap mekanisme
eksekusi; dan (2) pengaturan (permeabilitas mitokondrial) oleh
anggota famili protein BCL-2. Pembentukan pori dalam membran
mitokondrial menyebabkan reduksi potensial membran, dengan
pengurangan produksi ATP dan pembengkakan mitokondrial;
peningkatan permeabilitas membran mitokondrial luar melepaskan
pencetus apoptotik, sitokrom c, ke dalam sitosol. Terdapat dugaan
bahwa sitoplasma c yang dilepas mengikat protein sitosol tertentu
(misalnya, faktor pengaktivasi protease proapoptotik ntau Apaf-1) dan
mengaktifkannya, mencetuskan aktivasi kaspase eksekusi dan
pengaturan gerakan kejadian proteolitik yang membunuh sel. BCL-2
(ditemukan pada membran mitokondrial) menekan apoptosis dengon
mencegah peningkatan permeabilitas mitokondrial dnn menstabilkan
protein, seperti Apaf-1, sehingga tidak terjadi aktivasi kaspase.
Anggotn lain famili BCL-2 berikatan dengan BCL-2 dan memodulasi
efek antiapoptotiknya sehingga BCL-X, menghambat apoptosis,
sementara BAX dan BAD menyebabkan kematian sel terprogram.
3. Eksekusi
Jalur akhir apoptosis ini ditandai dengan konstelasi kejadian
biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis dan/atau aktivasi
sejumlah enzim katabolik sitosolik. Jalur itu memuncak dengan
perubahan morfologik yang telah disebutkan sebelumnya. Walaupun
terdapat variasi yang tidak kentara, eksekusi final jalur lintas itu
memperlihatkan pola-pola pokok yang umumnya bisa diaplikasikan
pada semua bentuk apoptosis. Eksekusi dilakukan dengan :
- Pemecahan protein oleh kaspase
- Aktivasi transglutaminase yang menyebabkan protein sitoplasmik
menjadi mudah larut
- Pemecahan DNA
- Pengangkutan sel mati melalui molekul penanda yang
mempermudan pengambilan dan pembuangan oleh fagosit.
5. Mekanisme Jejas
a. DEPLESI ATP

Penyebab utama pda deplesi ATP


adalah menurunnya suplai oksigen dna
nutrisi, kerusakan mitokondria, dan akibat
toksin

b. KERUSAKAN dan DISFUNGSI


MITOKONDRIA

Mitokondria sangat rentan terhadap


jejas yang berbahaya seperti hipoksia,
toksin, dan radiasi.

KIMIA

o Kegagalan fosorilasi akibat


kekurangan oksigen
o Terbentuknya pori transisi permeabilitas mitokondria menyebabkan
hilangnya potensial membran dan perubahan pH, sehingga memudahkan
fosforilasi oksidatif. Jika fosforilasi terjadi secara abnormal, maka akan
menyebabkan peningkatan
terbentuknya ROS (spesiasi oksigen
reaktif) sebagai radikal bebas.
o Mitokondria akan melepaskan
protein ke sitoplasma sebagai tanda
terjadi jejas internal dengan
mengaktifkan apoptosis
MASUKNYA ALIRAN KALSIUM

Iskemia dan toksin


menyebabkan kadar Ca2+ intrasel
meningkat melalui proses :

o Ca2+ pada mitokondria dan RE


halus keluar menuju sitoplasma
o Menyebabkan Ca2+ ektraselular
dapat masuk melalui membrane
o Kadar Ca2+ pada intrasel
meningkat

AKUMULASI RADIKAL
BEBAS

Radikal bebas adalah spesies


kimia mengandung sebuah electron
tanpa pasangan pada orbit luar. Jika
terjadi keadaan terdapat reperfusi, toksin, dan radiasi dapat menyebabkan
radikal bebas akan bergabung dengan zat kimia organic dan anorganik. Jika
timbul di dalam sel, radikal bebas akan menyerang asam nukleat, protein, dan
lipid. Radikal bebas membuat molekul yang bereaksi dengannya menjadi
radikal bebas lainnya seperti ROS.

Terdapat Jenis-jenis ROS yang Dihasilkan Melalui Dua Jalur Utama:

o ROS dibentuk sedikit pada semua sel selama reaksi reduksi-oksidasi


oksigen-oksigen mitokondria akan diubah menjadi air dengan cara
penambahan 4 electron. Namun seiring berkurangnya oksigen terbentuk
toksin yang reaktif namun berumur singkat yaitu superoksida. Superoksida
kan diubah menjadi H2O2 (hydrogen peroksida). Adanya logam Fa2+
membuat
H2O2
berubah
menjadi
hidroksil
radikal.
o ROS
dihasilkan
oleh
leukosit
fagosit, terutama neutrophil dan makrofag.
ROS dihasilkan di fagosom dan fagolisosom leukosit melalui
proses erupsi respirasi (erupsi oksidasi). Membran fagosom mengkatalisasi
terbentuknya superoksida. Kemudian diubah secra spontan menjadi H2O2.
H2O2 diubah menjadi komponen hipoklorit yang sangat reaktif oleh enzim
mieloperoksidase yang dihasilkan oleh leukosit.

o Oksida nitrit (NO) dibentuk oleh leukosit


Dapat bereaksi dengan superoksida menjadi peroksida nitrit yang
juga berperan dalam jejas sel

Peningkatan Pembentukan Radikal Bebas :

Apabila pembentukan ROS meningkat atau sistem pemusnah tidak aktif

Terjadi penumpukan radikal bebas (STRESS OKSIDASI)

Pembentukan radikal bebas meningkat karena beberapa keadaan :

o Absorbsi energi radiasi (sinar UV, sinar X). Radiasi ion akan menghidrolisis
air menjadi radikal bebas hidroksil (OH) dan hydrogen (H).
o Metabolisme enzim zat kimia eksogen (karbon tetraklorida)
o Radang, radikal bebas dihasilkan leukosit

Mekanisme untuk Menghilangkan Radikal Bebas:


 Peroksida glutation (GSH), yang paling banyak dijumpai yaitu GSH1 yang
terdapat di sitoplasma semua sel.
katabolisme H2O2 : 2 GSH + H2O2 GSSG + 2 H2O

 Katalase, dijumpai di peroksisom.


katabolisme H2O2 : 2 H2O2 O2 + 2 H2O

 Antioksidan endogen atau eksogen ( vit. A, E, C, dan B-kharotene) menghalangi


pembentukan radikal bebas atau memusnahkannya jika terbentuk.
Pada jalur sinyal sel dan beberapa reaksi fisiologis radikal bebas tetap dibutuhkan
dengan kadar rendah pada tubuh yang normal.

DEFEK pada PERMEABILITAS MEMBRAN


Defek permeabilitas yang tinggi, mengakibatkan kerusakan membrane,
merupakan perubahan tersering pada jejas sel dan berakhir dengan nekrosis.

Mekanisme biokimia dalam kerusakan membrane :

 sintesis fosfolipid menurun akibat penurunan kadar ATP


 Penambahan kerusakan fosfolipid
 ROS
 Abnormalitas
sitoskeletal.
Aktivasi protease
menyebabkan
kerusakan elemen
sitoskeleton dan
membrane.
 Produk penguraian
lipid. Lipid
diuraikan menjadi
asam lemak bebas
tak berester, asil
karnitin,
lisofosfolipid.
Hasil katabolisme
dari produk
tersebut dapat
menyelip ke membrane, sehingga terjadi perubahan permeabilitas dan
elektrofisiologis.
Kerusakan membrane plasma. Metabolit akan bocor keluar sedangkan
metabolit sendiri penting untuk pembentukan ATP.

Kerusakan membrane lisosom. Lisosom mengandung enzim


rebonuklease (RNase), DNase, protease, dan glucosidase. Aktivasi enzim-
enzim tersebut akan mengakibatkan pencernaan enzimatik komponen sel dan
nekrosis.

KERUSAKAN DNA dan PROTEIN

Sel memiliki mekanisme perbaikan DNA, namun apabila terjadi


kelainan terlalu parah untuk diperbaiki, maka sel akan memulai program
bunuh diri dan mati akibat apoptosis. Protein salah rangkaian akibat mutasi
bawaan atau pengaruh eksternal (radikal bebas) juga dapat mengakibatkan
apoptosis
B. ADAPTASI SEL
Definisi: Mekanisme yang dilakukan oleh sel untuk mempertahankan diri akibat
perubahan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Adaptasi sel terbagi menjadi:
1. Adaptasi Fisiologis
Yaitu respon sel terhadap perangsangan oleh hormone atau mediator
kimiawi endogen. Contoh: pembesaran payudara dan uterus selama kehamilan
akibat pengaruh hormon

2. Adaptasi Patologik
Respon terhadap stress yang memungkinkan sel untuk menyesuaikan
struktur dan fungsi sehingga dapat menghindari jejas. Perubahan adaptif dalam
kondisi patologis yaitu:

a. Atrofi
Pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substansi sel. Dapat
disebabkan oleh pengurangan beban kerja (orang lumpuh), hilangnya
persyarafan, berkurangnya suplai darah, nutrisi tidak adekuat, penuaan, dan
hilangnya rangsangan endokrin. Sangat dipengaruhi oleh pengaturan degradasi
protein. (lisosom dan jalur ubikuitin-proteasome pada sel mamalia).

b. Hipertrofi
Penambahan ukuran sel yang dapat menyebabkan penambahan ukuran
organ, dapat terjadi bersamaan dengan hiperplasia. Hipertrofi murni tidak
membentuk sel baru, hanya sel bertambah besar mengandung protein dan
organel structural yang meningkat. Hipertrofi terbagi menjadi:

 Hipertrofi fisiologik
Contoh: hipertrofi uterus pada masa kehamilan yang juga dibarengi
dengan hyperplasia

 Hipertrofi patologik
Contoh: perbesaran jantung akibat hipertensi

c. Hiperplasia
Peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan. Hyperplasia terbagi
menjadi:

 Hiperplasi fisiologik
1) Hiperplasia hormonal
Contoh: proliferasi epitel kelenjar payudara saat pubertas dan
kehamilan

2) Hiperplasia kompensatoris
Jaringan sisa akan bertambah setelah hilangnya bagian dari
suatu organ. Contoh: aktivitas mitosis pada sel-sel hati yang meningkat
setelah hati di sekresi sebagian (perbaikan hati ke berat normal).
Dirangsang oleh faktor pertumbuhan polipeptida yang dihasilkan oleh
sisa sisa sel hepar dan sel nonparenkimal.

 Hiperplasia patologi
Dipengaruhi oleh stimulus hormone dan factor pertumbuhan yang
meningkat. Contoh: setelah periode menstruasi, terjadi proliferasi
endometrium (hormonal), kutil akibat peningkatan ekspresi faktor
transkripsi oleh papillomavirus penginfeksi (tingginya sensitivitas terhadap
kadar normal factor pertumbuhan).

d. Metaplasia
Perubahan reversible yang mana suatu jenis sel dewasa berubah atau
berganti menjadi jenis sel dewasa yang lain. Sel yang stress akan digantikan
oleh sel yang mampu bertahan. Contoh:

 Metaplasia epithelial, dimana sel epitel silindris bersilia jadi epitel gepeng.
Pada perokok, epitel gepeng ini adalah jenis epitel yang mampu bertahan,
namun tidak terjadi pembersihan yang dilakukan oleh silia akibat epitel
silindris bersilia yang mampu menyekresi mucus telah digantikan.
 Metaplasia mesenkimal, tumbuh tulang dalam jaringan lunak.

e. Dysplasia
Abnormalitas dari perkembangan sel di dalam jaringan. Berikut adalah
karakteristik dari dysplasia:

1) Peningkatan sel immature dan penurunan sel mature


2) Indikasi proses neoplasmik awal menjadi kanker malignant

f. Respon seluler terhadap jejas


Hanya melibatkan organel dan protein sitosolik

1. Katabolisme lisosomal
 Lisosom berfungsi dengan vakuola yag berisi material dan membentuk
fagolisosom
 Lisosom terlibat dalam proses pemecahan material yang dicerna
melalui 2 cara,yaitu:
Heterofag: mencerna materi asing melalui endositosis
Autofag: mencerna organel yang fatal/mati yang terlibat dalam
remodeling sel yang disertai diferensiasi sel
 Enzim dari lisosom dapat mengkatabolisme sebagian besar protein dan
karbohidrat walau beberapa lipid tidak dapat dicerna
 Lisosom 2 debris yang tidak dicerna menetap dalam sel sebagai badan-
badan residu dan dipaksa keluar
2. Induksi (hipertrofi) RE halus

 Induksi dengan penambahan volume (hipertrofi) RE halus hepatosit


yang memetabolisme obat melalui sistem oksidase fungsi campuran p-
450 yang terdapat disana menyebabkan terjadinya peningkatan
toleransi oleh pasien yang mengonsumsi barbiturate terus menerus
sehingga dosis berulang menimbulkan pemendekan durasi tidur secara
progresif
3. Perubahan mitokondria

 Saat terjadi hipertrofi seluler terjadi peningkatan mitokondria


 Saat terjadi atrofi seluler terjadi penurunan mitokondria
4. Abnormalitas sitoskeletal

 Induksi protein syok panas setelah rangsang yang berpotensi berbahaya


 Berperan penting pada pemeliharaan protein intrasel normal
g. Akumulasi intrasel
• Pada beberapa kondisi, sel dapat mengakumulasi sejumlah sel abnormal
• Terdapat 3 jalur, yaitu:
1) Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal/kecepatan meningkat,
tapi kecepatan metabolik tidak adekuat untuk menyingkirkannya
Contoh: perlemakkan hati
2) Zat endogen normal/abnormal menumpuk karena defek, genetik/
didapat pada metabolism, pengemasan, transport atau sekresinya

3) Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak


memilikimesin enzimatik untuk mendegradasi sel dan juga tidak
mampu mengangkutnya ke tempat lain.

h. Kalsifikasi patologik
Menunjukan deposisi abnormal garam kalsium bersama dengan
sejumlah kecil zat besi, magnesium, dan mineral lain.

 Kalsifikasi distrofik
Deposisi terjadi di jaringan yang telah mati/akan mati. Terjadi
dalam keadaan tidak ada kekacauan metabolik kalsium.
 Kalsifikasi metastatic
Deposisi garam kalsium pada jaringan normal hampir selalu menunjukan
kekacauan metabolisme kalsium (hiperkalsemia).

C. INFLAMASI
1. INFLAMASI AKUT

Inflamasi disebut juga dengan peradangan. Inflamasi dapat terjadi secara akut
maupun kronis. Proses terjadinya inflamasi akut dapat melibatkan berbagai faktor.
Respon inflamasi akut dapat dimulai dari berbagai rangsangan eksogen dan endogen
yang mengakibatkan cedera pada jaringan vaskularisasi.

Inflamasi akut merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang
dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat jejas,
leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses
penguraian jaringan nekrotik.

Proses ini memiliki dua komponen utama :

a. Perubahan Vaksular
Perubahan dalam caliber aliran darah yang mengakibatkan peningkatan aliran
darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein plasma
untuk meninggalkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas vascular)
b. Berbagai kejadian yang terjadi pada sel
Emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen
dan aktivasi selular)

Respon terhadap cedera dimulai dari hiperemi aktif dengan peningkatan aliran
darah ke jaringan yang terluka atau cedera serta diikuti oleh terjadi dilatasi arteri dan
kapiler. Hal ini difasilitasi oleh mediator kimia yaitu prostaglandin, leukotrien dan
oksida nitrat. Akibat dari dilatasi pada arteri dan kapiler, darah yang mengalir di
daerah yang cedera menjadi lebih banyak dan tergenang karena aliran darah menjadi
lambat. Suhu lokasi tempat terjadinya radang menjadi lebih hangat (kolor) dan
memiliki warna kemerahan (rubor).

Daerah hiperemi membentuk kapsul atau pagar yang melokalisasi sarang


radang. Stimulasi mediator inflamasi seperti vasoaktif amin, komponen pelengkap
C3a dan C5a, bradikinin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF) memicu
kontraksi dan relaksasi sel-sel endotel dinding kapiler yang menimbulkan gap (celah)
antar endotel. Hal ini mengakibatkan terjadinya permeabilitas vaskuler dan diikuti
dengan peningkatan tekanan hidrostatik di dalam kapiler mendorong cairan plasma
darah (mengandung berbagai protein plasma seperti albumin dan fibrinogen) keluar
ke daerah ektravaskuler.

Cairan tersebut menggenangi daerah intersitisium sehingga mengakibatkan


terjadinya edema radang atau cairan eksudat dan mengakibatkan kebengkakan lokal
(tumor). Protein penting di dalam eksudat akan teraktivasi menjadi mediator
inflamasi. Protein penting yang telah teraktivasi menjadi mediator inflamasi
diantaranya yaitu faktor penggumpal darah (trombin dan fibrinopeptida), faktor
fibrinolisis plasmin dan produk pemecah fibrin, komplemen C3a, C5a, dan C5b-9
serta bradikinin. Mediator inflamasi yang menimbulkan nyeri (dolor) di lokasi radang
yaitu prostaglandin.

Setelah terjadinya hiperemi dan pembentukan edema radang, kemudian diikuti


juga dengan pengiriman leukosit dari lumen pembuluh darah ke lokasi terjadinya
kerusakan atau cedera jaringan. Pada kondisi ini dapat terjadi perubahan pengaliran
leukosit di dalam vaskuler pada daerah inflamasi yang mengalami vasodilatasi kapiler
tersebut. Pada kondisi vaskuler normal, sel darah mengalir di tengah arus. Pada aliran
darah yang lamban terjadi marginasi pengaliran leukosit. Pengiriman leukosit ke
lokasi kerusakan jaringan melalui beberapa tahap diantaranya:

1. Marginasi leukosit dalam pengaliran darah


2. Mendaratnya leukosit pada dinding endotel vaskuler dengan menggelinding di
sepanjang endotel (rolling)
3. Leukosit terhenti dengan melekat pada reseptor di permukaan endotel (adhesi)
4. Terjadi ekstravasasi (keluar dari vaskuler) leukosit dengan cara bergerak
amuboid menembus gap dinding endotel dan membran basal dan kemudian
keluar dari vaskuler (diapedesis)

Migrasi leukosit dari dalam vaskuler berlanjut setelah tiba di daerah


ektravaskuler, pada jaringan interstitium leukosit mencapai sumber stimulus
kemotaktik di dalam sarang inflamasi. Fenomena kemotaksis menuntut perjalanan
amoeboid leukosit dengan mengikuti alur datangnya bahan kemotaktik mediator
inflamasi dengan arah menuju konsentrasi yang lebih pekat. Leukosit yang sampai di
interstitium daerah inflamasi bertindak sebagai sel-sel radang dan bergabung dengan
ektravasasi cairan plasma sebelumnya sebagai bagian dari eksudat serous.

Netrofil merupakan leukosit pertama yang memasuki eksudat pada saat


peradangan akut. Fungsi sel radang di sarang inflamasi akut adalah untuk untuk
melaksanakan fagositosis dan degradasi terhadap agen perusak, agen infeksius seperti
bakteri, virus dan mikroba lainnya, sel dan jaringan nekrotik serta antigen asing.
Selain bersifat kemoktatik, mediator inflamasi memiliki kemapuan meningkatkan
potensi atau aktivasi bermacam-macam sel di dalam lokasi inflamasi seperti sel
radang, endotel, dan fibroblast. Pada proses fagositosis oleh leukosit terjadi proses
eliminasi, fagosom bersatu dengan lisosom menjadi fagolisosom dan proses
penghancuran secara enzimatik terjadi.

2. INFFLAMASI KRONIK

Inflamasi kronik atau yang sering disebut dengan radang kronik ialah radang
yang berlangsung lama (minggu hingga tahun) di mana radang terus berkelanjutan,
terjadi kerusakan jaringan, dan terdapat proses pemulihan. Inflamasi kronik memiliki
beberapa tanda, di antaranya adalah:
1. Infiltrasi sel mononukleus yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel plasma
2. Perusakan jaringan yang sebagian besar diinduksi oleh produk sel radang
3. Pemulihan atau repair yang melibatkan proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis
Inflamasi kronik dapat berkembang dari inflamasi akut. Perubahan dari
inflamasi akut menjadi inflamasi kronik dapat disebabkan karena agen cedera yang
menetap membuat respon akut tidak lagi teratasi. Gangguan proses penyembuhan saat
inflamasi akut juga dapat menjadi penyebab munculnya inflamasi kronik. Selain itu,
beberapa bentuk jejas (seperti infeksi virus) menimbulkan respons, yaitu inflamasi
kronik yang pada dasarnya terjadi sejak awal. Walauplun agen berbahaya yang
memerantarai inflamasi kronik bisa kurang berbahaya dibanding agen yang
menyebabkan inflamasi akut, seluruh kegagalan untuk memperbaiki proses tersebut
dapat menyebabkan cedera yang pada dasarnya berlangsung lebih lama. Inflamasi
kronik terjadi pada keadaan-keadaan berikut:
1. Infeksi persisten mikroba yang sulit dibasmi. Organisme tersebut memiliki
patogenisitas langsung yang lemah, tetapi secara khusus dapat menimbulkan
respons imun yang dimediasi oleh limfosit T yang disebut hipersensitivitas
lambat.
2. Penyakit autoimun, keadaan di mana seseorang mengalami respons imun
terhadap antigen dan jaringan tubuhnya sendiri. Karena antigen yang
bertanggung jawab sebagian besar diperbaharui secara konstan, teradi reaksi
imun terhadap dirinya sendiri yang berlangsung terus-menerus.
3. Paparan berkepanjangan terhadap agen toksik. Faktor lingkungan sangat
berpengaruh terhadap keadaan ini.
4. Bentuk ringan radang kronik penting pada patogenesis berbagai penyakit yang
tadinya tidak dikira termasuk kelainan radang.

 Sel dan Mediator Inflamasi Kronik


Inflamasi kronik yang terjadi berulang-ulang dan berkepanjangan
bersangkutan dengan interaksi antar sel inflamasi. Sel yang berperan dalam
inflamasi akut dan inflamasi kronik kurang lebih sama, tetapi ada yang
dominan dan tidak. Berikut sel yang berperan dalam inflamasi kronik:
1. Makrofag
Makrofag adalah sel yang paling dominan pada inflamasi kronik.
Makrofag sendiri merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit darah
yang beredar dan kemudian dikeluarkan dari aliran darah. Makrofag umumnya
tersebar di jaringan ikat, tapi ada beberapa yang tersebar di organ-organ.
Seperti pada hati (disebut sel Kupffer), limpa dan kelenjar getah bening
(disebut histiosit sinus), sistem saraf pusat (disebut sel mikroglia), dan paru
(disebut makrofag alveoli). Secara bersama sel ini membentuk sistem fagosit
mononukleus, juga dikenal dengan nama terdahulu sistem retikuloendotel.
Pada seluruh jaringan, makrofag berfungsi sebagai alat penyaring untuk benda
tertentu, mikroba, dan sel yang menua, juga sel efektor yang mengeliminasi
mikroba melalui respons seluler atau humoral.
Monosit hanya beredar di dalam sirkulasi darah dalam waktu 24 jam.
Tetapi jika ada inflamasi akut, dalam 24 hingga 48 jam monosit akan
bermigrasi ke tempat jejas di bawah pengaruh molekul adhesi dan kemokin.
Sesaat setelah mencapai jaringan ekstravaskuler, monosit akan diubah menjadi
makrofag. Monosit berukuran lebih kecil dan hidup lebih sebentar daripada
makrofag, sehingga makrofag merupakan sel yang efektif untuk mengatasi
inflamasi. Setelah itu makrofag teraktivasi mengakibatkan ukuran sel
bertambah besar, meningkatnya kandungan enzim lisosom, memiliki
metabolisme yang lebih aktif, dan memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk membunuh organisme. Pengaktifan makrofag memiliki dua jalur, yaitu:
1. Klasik
Pengaktifan makrofag klasik diinduksi oleh produk mikroba
seperti yang paling penting sitokin IFN-γ. Makrofag secara klasik akan
menghasilkan enzim lisosom, NO, dan ROS. Ketiganya meningkatkan
kemampuan makrofag dalam fagositosis.
2. Alternatif
Pengaktifan makrofag alternatif terjadi karena induksi lain,
misalnya IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan oleh limfosit T dan sel lain
seperti sel mast dan eosinofil. Makrofag ini tidak bersifat mikrobisidal
aktif, melainkan berfungsi untuk pemulihan jaringan. Makrofag ini akan
menyekresikan faktor pertumbuhan yang mendorong angiogenesis,
fibroblas aktif, dan menstimulasi sintesa kolagen. Makrofag yang
teraktifkan secara alternatif terjadi setelah perannya dalam pengaktifan
klasik telah selesai.
Selain itu, ada beberapa peran makrofag yang kritis pada pertahanan
tubuh dan respon radang, di antaranya:
1. Seperti fagosit lainnya, makrofag akan mencerna dan mengeliminasi
mikroba dan jaringan mati. Karena makrofag merespons terhadap sinyal
yang mengaktifkan dari limfosit T, makrofag merupakan fagosit
terpenting di bagian respons imun adaptif asal sel.
2. Menginisiasi proses pemulihan jaringan dan terlibat dalam pembentukan
jaringan parut dan fibrosis.
3. Mensekresi mediator radang seperti sitokin (TNF, IL-1, kemokin, dll)
dan eikosanoid. Sel-sel ini merupakan unsur utama untuk memulai dan
melakukan semua reaksi radang.
4. Menunjukkan antigen kepada Limfosit T dan merespon sinyal dari sel T.
Sehingga terbentuk lingkaran umpan balik yang penting untuk
pertahanan terhadap berbagai mikroba oleh respon imun yang dimediasi
oleh asal sel.
Setelah stimulus awal dieliminasi dan reaksi radang berkurang,
makrofag akan mati atau terbawa aliran limfatik. Namun di tempat radang
kronik, akumulasi makrofag tetap terjadi karena pengumpulan dari darah tetap
berlangsung dan terjadi juga proliferasi lokal. IFN-γ juga dapat menginduksi
makrofag untuk bergabung menjadi sel raksasa multi-inti yang besar.
2. Limfosit
Limfosit akan dimobilisasi pada stimulus imun spesifik (misal infeksi)
dan juga pada stimulus bukan imun (misal nekrosis iskemi atau trauma), dan
merupakan pemicu utama pada penyakit autoimun dan penyakit radang kronik
lain. Aktivasi limfosit T dan B merupakan bagian dari respons imun adaptif
pada infeksi dan penyakit imunologi. Kedua jenis limfosit akan bermigrasi
menuju tempat radang dengan menggunakan pasangan molekul adhesi yang
sama dan kemokin yang diperoleh dari leukosit lain. Dalam jaringan limfosit
B dapat berubah menjadi sel plasma, yang mensekresi antibodi, dan CD4+
limfosit T diaktifkan untuk mensekresi sitokin.
Akibat sekresi sitokin, CD4+ limfosit T menimbulkan radang dan
mempengaruhi timbulnya reaksi radang. Ada tiga subset dari CD4+ helper sel
T yang mensekresi berbagai sitokin dan mengakibatkan berbagai jenis radang:
1. Sel TH1 akan menghasilkan sitokin IFN-γ, yang mengaktifkan
makrofag melalui jalur klasik.
2. Sel TH2 mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-13, yang akan mengumpulkan
dan mengaktifkan eosinofil yang berperan pada jalur alternative untuk
pengaktifan makrofag.
3. Sel TH17 mensekresi IL-17 dan sitokin lain yang menginduksi sekresi
kemokin yang berperan untuk pengumpulan neutrofil dan monosit ke
dalam reaksi radang.
Limfosit dan makrofag akan berinteraksi dua arah, dan interaksi ini
berperan penting untuk timbulnya radang kronik. Makrofag akan menyajikan
antigen kepada sel T, mengekspresi molekul membran (disebut kostimulator)
dan menghasilkan sitokin (IL-12 dll) yang menstimulasi respons sel T.
Limfosit T yang teraktifkan kemudian akan menghasilkan sitokin yang
mengumpulkan dan mengaktivasi makrofag dan akan meningkatkan
timbulnya antigen dan sekresi sitokin.
3. Sel Lain
Sel-sel lain yang berperan dalam inflamasi kronik di antarnya adalah
eosinofil, sel Mast, dan neutrofil.
Eosinofil sering dijumpai di sekitar radang akibat infeksi parasit dan
merupakan bagian reaksi imun, khusus dikaitkan dengan alergi. Granula
eosinofil mengandung protein yang bersifat kateonik dan bersifat toksik
terhadap parasit. Akan tetapi, protein tersebut juga menyebabkan nekrosis sel
epitel.
Sel Mast merupakan sel sentinel yang didistribusikan secara luas di
jaringan ikat pada seluruh tubuh. Sel Mast menghasilkan sitokin seperti TNF
dan kemokin serta berperan penting untuk melawan infeksi.
Neutrofil merupakan tanda utama inflamasi akut, tetapi terdapat juga
pada inflamasi kronik. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat adanya
mikroba persisten atau sel nekrotik atau mediator yang dihasilkan oleh
makrofag.

 Peran Kelenjar dan Pembuluh Getah Bening


Kelenjar dan pembuluh getah bening merupakan tempat dari limfosit.
Fungsinya untuk menyaring cairan getah bening (cairan dan zat sisa dari
jaringan tubuh). Pembuluh getah bening membawa cairan getah bening ke
kelenjar getah bening. Begitu cairan mengalir, kelenjar getah bening
menyaringnya lalu menjebak bakteri, virus, dan zat asing lainnya. Zat
berbahaya yang merugikan akan dihancurkan oleh limfosit. Cairan yang telah
disaring, garam, dan protein akan dikembalikan ke dalam pembuluh darah
untuk diedarkan kemb

D. PROSES PEMULIHAN OLEH JARINGAN PENUNJANG


Pemulihan melibatkan dua proses:
1. Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis yang sama
2. Penggantian oleh jaringnn ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu jaringan parut

1. REGENERASI JARINGAN
a. Pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi sel
Masuknya sel baru ke dalam populasi jaringan sebagian besar
ditentukan oleh kecepatan proliferasinya, sementara sel dapat meninggalkan
populasinya karena kematian sel ataupun karena berdiferensiasi menjadi jenis
sel lain. Oleh karena itu, meningkatnya jumlah sel dalam populasi tertentu
dapat terjadi karena peningkatan proliferasi ataupun karena penurunan
kematian atau diferensiasi sel.

Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat


dan fase yang sudah ditentukan yang disebut siklus sel. Siklus sel tersebut
terdiri atas fase: pertumbuhan prasintesis 1 atau G1; fase sintesis DNA, atau S;
fase pertumbuhan pramitosis atau G2; dan fase mitosis, atau M. Sel istirahat

berada dalam keadaan fisiologis yang disebut G0.

Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui


perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut
siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat
setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut.
Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan
(sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang
disebut kinase yang bergantung siklin (CDK, cyclin-dependent kinases).
Selain dari sintesis dan pemecahan siklin, kompleks siklin-CDK juga
diatur melalui pengikatan inhibitor CDK. Kompleks ini sangat penting dalam
mengatur tahapan siklus sel (G1 -> S dan G -> M), yaitu tahapan saat sel
memeriksa bahwa DNA-nya telah direplikasi dengan cukup atau semua
kesalahan telah dipulihkan sebelum bergerak lebih lanjut.

Berdasarkan kemampuan regenerasinya, sel dibagi menjadi tiga kelompok:


 Sel labil
Sel ini terus membelah (dan terus-menerus mati). Regenerasi
terjadi dari suatu populasi sel stem dengan kemampuan berproliferasi yang
relatif tidak terbatas. Pada saat sel stem membelah, satu anak sel
mempertahankan kemampuannya untuk membelah (pembaruan diri),
sementara sel lainnya berdiferensiasi menjadi sel nonmitotik yang
melanjutkan fungsi normal jaringan. Sel labil meliputi sel hematopoiesis
dalam sumsum tulang dan juga mewakili sebagian besar epitel
permukaaan, yaitu permukaan skuamosa bertingkat pada kulit, rongga
mulut, vagina, dan serviks; epitel kuboid pada duktus yang mengalirkan
produksi organ eksokrin (misalnya, kelenjar liur, pankreas, traktus
biliaris); epitel kolumnar pada traktus gastrointestinal, uterus, dan tuba
fallopi; serta epitel transisional pada saluran kemih.
 Sel stabik
Dalam keadaan normalnya, sel ini dianggap istirahat (atau hanya
mempunyai kemampuan replikasi yang rendah), tetapi mampu membelah
diri dengan cepat dalam hal merespon cedera. Sel stabil menyusun
parenkim pada jaringan kelenjar yang paling padat, yaitu hati,
ginjal,pankreas, dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah, serta
fibroblas dan sel jaringan ikat otot polos (mesenkim); proliferasi fibroblas
dan sel otot polos sangat penting dalam hal merespons cedera dan
penyembuhan luka
 Sel permanen
Sel ini dianggap mengalami diferensiasi tahap akhir dan
nonproliferatif dalam kehidupan pascakelahiran. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah sebagian besar neuron dan sel otot jantung. Oleh karena
itu, cedera pada otak atau jantung bersifat ireversibel dan hanya
menimbulkan jaringan parut karena jaringan tidak dapat berproliferasi.
Meskipun otot rangka biasanya dikategorikan sebagai jenis sel permanen,
sel satelit yang melekat pada selubung endomisium benar-benar
memberikan suatu kemampuan regenerasi. Terdapat juga beberapa bukti
bahwa sel otot jantung dapat berproliferasi setelah terjadi nekrosis
miokard.

b. Mediator terlarut
Pertumbuhan dan diferensiasi sel bergantung pada sinyal ekstrasel
yang berasal dari mediator terlarut dan matriks ECM. Pemberian sinyal oleh
mediator terlarut melalui beberapa cara:
1. Gap junction
Gap juction menggunakan saluran hidrofilik sempit
menghubungkan kedua sitoplasma sel. Saluran tersebut memungkinkan
pergerakan ionkecil, berbagai metabolit, dan molekvl second messenger
potensial, tetapi bukan makromolekul yang besar.
2. Autokrin
Saat suatu mediator terlarut bekerja secara menonjol pada sel yang
menyekresinya. Jalur ini penting pada respons imun (sitokin) dan pada
hiperplasia epitel kompensatoris (misalnya, regenerasi hati)
3. Parakrin
Mediator hanya memengaruhi sel yang sangat berdekatan. Ini
hanya memerlukan difusi minimal, yang sinyalnya didegradasi dengan
cepat, dibawa oleh sel lain, atau terperangkap di dalam ECM. Jalur ini
penting untuk merekrurt sel radang menuju tempat infeksi dan untuk
proses penyembuhan luka terkontrol
4. Sinaptik
Jaringan saraf yang teraktivasinya menyekresi neurotransmiter
pada suatu penghubung sel khusus sinaps menuju sel target, seperti saraf
atau otot lain.
5. Endokrin
Substansi pengaturnya, misalnya hormon, dilepaskan ke dalam
aliran darah dan bekerja pada sel target yang berjauhan. Oleh karena
sebagian besar molekul pemberi sinyal terdapat dalam konsentrasi yang
sangat rendah, pengikatan pada reseptor sel target yang tepat secara khusus
merupakan suatu interaksi khusus yang memiliki afinitas tinggi dan sangat
spesifik. Protein reseptor dapat berada pada permukaan sel, atau mungkin
intrasel; pada protein yang terdapat di intrasel,ligan (molekul yang
berikatan pada reseptor) harus cukup hidrofobik agar dapat memasuki sel.
Untuk reseptor intrasel, pengikatan ligan mengakibatkan
pembentukan kompleks reseptor-ligan yang secara Iangsung berhubungan
dengan DNA inti sel dan selanjutnya mengaktikan ataupun menghentikan
transkripsi gen.

Untuk reseptor permukaan sel, pengikatan ligan menghasilkan


suatu kaskade peristiwa intrasel sekunder. Terdapat empat jenis reseptor:
1. Reseptor kanal ion
Pengikatan ligan mengubah konformasi reseptor sehingga
ion spesifik dapat melewatinya. Hal ini mengakibatkan perubahan
pada potensial listrik yang melewati sel; keadaan ini dapat pula
menginisiasi kaskade aktivitas enzimatik dengan mengikat ion
tertentu (misalnya, kalsium). Contohnya adalah reseptor asetilkolin
pada penghubung saraf-otot (nerve-muscle junction).
2. Reseptor dengan aktivitas kinase intrinsik
Reseptor ini biasanya merupakan molekul transmembran
dimer dengan suatu daerah pengikatan ligan ekstrasel. Sekali
difosforilasi, reseptor tersebut dapat berikata dengan protein
intrasel lainnya (misalnya, RAS,fosfatidilinositol 3-kinase,
fosfolipase Cy) dan merangsang suatu kaskade peristiwa sehingga
masuk ke dalam fase S atau induksi pada programtranskripsi
lainnya. Jalur yang sangat penting yangdirangsang oleh aktivasi
RAS adalah kaskade kinase protein yang diinisiasi oleh mitogen
(MAP,mitogen-octiunted protein), yang terlibat dalam pemberian
sinyal intrasel pada berbagai faktor pertumbuhan, yaitu faktor
pertumbuhan epidermis (EGF) dan faktor pertumbuhan fibroblas
(FGF).
3. Reseptor protein-G-berpasnngan
Semua reseptor ini mengandung tujuh segmen
transmembran; setelahberikatan dengan ligan spesifiknya, reseptor
tersebut berhubungan dengan protein yang menghidrolisis GTP
intrasel (sehingga dinamakan reseptor protein-G-berpnsnngan).
Pengikatan protein G pada reseptor menyebabkannya menjadi
aktif, kemudian berdisosiasi dan dapat merangsang beragam
protein lainnya, termasuk adenilat siklase (untuk membuat AMP
siklik) dan fosfolipase Cy. Reseptor dalam kategori ini meliputi
reseptor untuk epinefrin dan glukagon, serta kemokin
4. Reseptor tanpn aktivitas enzim intrinsik
Reseptor ini biasanya merupakan molekul transmembran
monomer dengan suatu daerah pengikatan ligan ekstrasel; interaksi
ligan akan menginduksi perubahan konformasional intrasel yang
memungkinkannya berhubungan dengan kinase protein intrasel dan
mengaktifkannya. Hal ini menimbulkan fosforilasi kompleks
reseptor serta suatu kaskade aktivasi selanjutnya yang melibatkan
kinase Janus (JAK) dan STAT (signal transducer and activators of
transcription). Reseptor ini meliputi reseptor yang terlibat dalam
aktivasi sitokin pada sistem imun, serta reseptor eritropoietin.

Mediator terlarut yang berperan adalah berbagai faktor pertumbuhan.


c. Matriks Ekstraselular

ECM terdapat dalam dua bentuk dasar:


1. Matriks interstisial
Bentuk ini terdapat dalam ruang antarsel dalam jaringan ikat,
serta antara epitel dan struktur pembuluh darah dan otot polos yang
menopang matriks ini disintesis oleh sel mesenkim (misalnya,
fibroblas) dan cenderung membentuk suatu gel amorf tiga dimensi.
Penyusun utamanya adalah kolagen fibril dan nonfibril, serta unsur
proteoglikan dan glikoprotein
2. Membran basalis
Tampaknya matriks interstisial yang tersusun acak dalam
jaringan ikat menjadi sangat tertata rapi di sekitar sel epitel, sel
endotel,dan sel otot polos, dan membentuk membran basalis yang
khusus. BM terletak di bawah epitel dan disintesis oleh epitel di
atasnya dan oleh sel mesenkim di bawahnya; membran ini cenderung
membentuk suatu anyaman "jala ayam" menyerupai cakram. Unsur
utamanya adalah kolagen tipe IV nonfibril amorf dan glikoprotein
adhesif.

Peranan matriks ekstraselular yaitu:

 Penyokong mekanis untuk berlabuhnya sel.


Tanpa adanya perlekatan, sebagian besar jenis sel akan mati.
 Penentuan orientasi sel (polaritas).
Basolateral (sisi bawah) versus apikal (atas) merupakan
pembeda penting bagi sebagian besar sel dalam hal fungsi
(misalnya, penyerapan zat gizi dari saluran pencernaan atau
pelepasan enzim pencernaan dalam pankreas).
 Pengendalian pertumbuhan sel
Pertumbuhan dan diferensiasi diatur oleh adhesi dan bentuk sel.
Pada umumnya, semakin kuat perlekatan suatu sel, sifatnya akan
semakin proliferatif (dan kurang sintesis).
 Pemeliharaan diferensiasi sel
Jenis protein ECM memengaruhi pula derajat diferensiasi.
ECM yang sama dapat memiliki efek yang berbeda, bergantung
pada konteks mekanis pada tempat terdapatnya ECM
 Scaffolding (dasar) untuk pembaharuan jaringan
Semua jaringan merupakan struktur yang memperbaharui diri
secara dinamis, dan untuk mempertahankan struktur yang normal
memerlukan suatu scaffold (dasar) BM. Secara khusus perlu
diperhatikan bahwa meskipun sel labil dan stabil mampu
melakukan regenerasi, cedera pada jaringan tersebut tidak selalu
dapat memulihkan struktur normal. Keutuhan stroma sel parenkim
yang mendasari, dan khususnya membran basalis, merupakan hal
yang sangat penting untuk regenerasi terorganisasi pada jaringan.
Jika membran basalis rusak, sel berproliferasi secara kacau
sehingga menghasilkan jaringan yang tak ter-organisasi dan
nonfungsional; cedera yang luas pada jaringan labil atau stabil
puncaknya terutama pada pembentukan jaringan parut karena
meluasnya populasi fibroblas (mesenkim).
 Pembentukan lingkungan mikrojaringan
BM bertindak sebagai batas antara epitel dan jaringan ikat yang
mendasari dan juga membentuk bagian dari perangkat filtrasi pada
ginjal. ECM juga sebagai scaffilding (dasar) yang digunakan oleh
sel radang untuk membawa diri sendiri berkeliling mencari agen
infeksi.
 Penyimpanan dan penyajian molekul pengatur
Sebagai contoh, dalam jaringirn normal, faktor pertumbuhan
fibroblas (FGF) diekskresikan dan disimpan dalam BM. Hal ini
mernungkinkan pengerahannya secara cepat untuk merangsang
pertumbuhan sel dalam keadaan cedera

2. PENGGANTIAN OLEH JARINGAN IKAT (FIBROSIS)


Dengan pembentukan jaringan ikat terdiri atas proses sekuensial setelah
respons radang
a. Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis)
b. Migrasi dan proliferasi fibroblas dan deposisi jaringan ikat yang bersama
dengan pembuluh darah yang banyak dan leukosit yang tersebar, berwarna
merah muda dan memberikan gambaran granuler sehingga disebut jaringan
granulasi.
c. Maturasi dan reorganisasi jaringan ikat (remodel) menghasilkan jaringan parut
yang stabil.
Pemulihan dimulai 24 jam setelah jejas ditandai dengan emigrasi
fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Setelah 3 hingga 5

hari, dijumpai jaringan granulasi yang merupakan tanda khas proses


penyembuhan. Istilah jaringan granulasi timbul dari gambaran makroskopik,
seperti yang tampak pada luka di kulit. Gambaran histologis menunjukkan
proliferasi fibroblas dan terbentuknya kapiler halus yang baru berdinding tipis
(angiogenesis) dalam jaringan ECM longgar, sering bercampur melalui siklus
sel tergantung pada aktivitas faktor pertumbuhan seperti HGF (dihasilkan
fibroblas, sel endotel, dan sel nonparenkim hati) dan faktor kelompok EGF,
termasuk transformasi faktor pertumbuhan-α (TGF-a) (diproduksi oleh
berbagai jenis sel).

a. ANGIOGENESIS
Angiogenesis ialah proses pembentukan pembuluh darah baru dari
pembuluh yang telah ada, terutama vena. Merupakan proses yang sangat
penting pada pemulihan luka di tempat jejas, untuk pembentukan kolateral
di daerah iskemia, dan menyebabkan tumor dapat bertambah besar
walaupun suplai darah terbatas. Banyak upaya dilakukan untuk dapat
memahami mekanisme yang mendasari angiogenesis, dan terapi untuk
meningkatkan proses (misal meningkatkan aliran darah ke jantung yang
terkena aterosklerosis koroner) maupun upaya untuk mencegah proses
(misal mengacaukan pertumbuhan tumor atau menghentikan pertumbuhan
pembuluh darah patologis seperti pada retinopati diabetik) sedang
dikembangkan.
Angiogenesis, yaitu timbulnya pembuluh darah baru terjadi melalui
pertumbuhan percabangan pembuluh darah yang ada dan terdiri dari
langkah berikut :
1. Vasodilator terjadi karena respons terhadap NO dan pertambahan
permeabilitas yang diinduksi oleh VEGF.
2. Lepasnya perisit dari permukaan.
3. Migrasi sel endotel menuju tempat jejas
4. Proliferasi sel endotel dibelakang sel yang bermigrasi didepannya.
5. Proses penyesuaian bentuk menjadi pipa kapiler.
6. Pengumpulan sel periendotel (perisit untuk kapiler kecil dan sel
otot polos untuk pembuluh darah yang lebih besar) untuk
membentuk pembuluh matur.
7. Supresi proliferasi endotel dan migrasi serta deposisi membran
basalis

Proses angiogenesis melibatkan berbagai faktor pertumbuhan, interaksi


antar sel, interaksi dengan protein ECM, dan enzim jaringan.
Faktor Pertumbuhan yang Terlibat pada Angiogenesis Beberapa faktor
pertumbuhan berperan pada proses angiogenesis; yang terpenting ialah
VEGF dan faktor pertumbuhan dasar fibroblas (FGF-2).

• Faktor pertumbuhan kelompok VEGF termasuk VEGF-A, -B, -C, -D,


dan -E dan faktor pertumbuhan plasenta (P1GF). VEGF-A biasanya
dikenal sebagai VEGF merupakan penginduksi utama angiogenesis
setelah terjadinya jejas dan pada tumor; VEGF-B dan P1GF terlibat
dalam pembentukan pembuluh pada embrio; dan VEGF-C dan –D
menstimulasi lymphangiogenesis dan angiogenesis. VEGFs diekspresi
di berbagai jaringan dewasa, dengan ekspresi tertinggi di sel epitel yang
berdekatan dengan epitel yang bersifat sebagai penyaring (misal podosit
di ginjal, epitel pigmen di retina). Terjadi ikatan dengan reseptor
kelompok tirosin kinase (VEGFR-1, -2, dan -3). Reseptor terpenting
untuk angiogenesis ialah VEGFR-2, yang terekspresi oleh sel target
VEGF, khususnya sel endotel. Di antara berbagai penyebab induksi
VEGF, yang terpenting ialah hipoksia, yang lainnya ialah faktor
pertumbuhan asal trombosit (PDGF), TGF-a, dan TGF-13.
VEGF menstimulasi migrasi dan proliferasi sel endotel, sehingga
menginisiasi proses pertumbuhan kapiler pada angiogenesis. Akan
terjadi vasodilatasi yang akan mestimulasi produksi NO, dan berperan
pada pembentukan lumen vaskular. Antibodi terhadap VEGF disetujui
untuk terapi beberapa tumor yang penyebaran dan pertumbuhannya
bergantung pada angiogenesis. Antibodi ini juga dipergunakan untuk
terapi degenerasi makula "basah" yang berkaitan dengan usia, "wet age-
related macular degeneration" (neovaskular), suatu penyebab utama
gangguan penglihatan pada penderita dewasa usia di atas 50 tahun, dan
merupakan penelitian klinis untuk pengobatan angiogenesis yang
dikaitkan dengan retinopati prematur dan bocornya pembuluh yang
menyebabkan edema makula pada diabetes.

• Kelompok faktor pertumbuhan fibroblas (FGF) terdiri atas lebih dari 20


macam, paling dikenal ialah FGF-1 (FGF asam) dan FGF-2 (FGF basa).
Faktor pertumbuhan ini diproduksi oleh berbagai sel dan akan berikatan
dengan reseptor kelompok membran plasma yang mempunyai aktivitas
tirosin kinase. FGF yang dilepas akan berikatan dengan sulfat heparan
disimpan di ECM. FGF-2 berpartisipasi pada angiogenesis terutama
dengan menstimulasi proliferasi sel endotel. Juga akan mengakibatkan
migrasi makrofag dan fibroblas menuju daerah cedera, dan
menstimulasi migrasi sel epitel untuk menutup luka pada epidermis
• Angiopoietin Angl dan Ang2 merupakan faktor pertumbuhan yang
berperan pada angiogenesis dan maturasi struktur pembuluh darah baru.
Pembuluh darah yang baru terbentuk harus distabilkan dengan
pengerahan perisit dan sel otot polos dan pengendapan jaringan ikat.
Ang1 berinteraksi dengan reseptor tirosin kinase pada sel endotel yang
disebut Tie2. Faktor pertumbuhan PDGF dan TGF-P juga berpartisipasi
pada proses stabilisasi PDGF mengumpulkan sel otot polos dan TGF-P
menekan proliferasi endotel dan migrasi endotel, dan meningkatkan
produksi protein ECM.

Pertumbuhan pembuluh darah pada masa embrio disebut


vaskulogenesis. Pada vaskulogenesis, pembuluh darah dibentuk de novo
melalui penyatuan prekursor endotel yang disebut angioblas. Angioblas
berasal dari hemangioblas, yang juga menyediakan prekursor untuk sistem
hematopoietik. Di samping itu, ada progenitor endotel pada orang dewasa
yang berasal dari sel punca sumsum tulang dan bersirkulasi di darah.
Kontribusi sel tersebut pada angiogenesis pada orang dewasa belum jelas.

Protein ECM berpartisipasi pada pertumbuhan pembuluh pada


proses angiogenesis, terutama melalui interaksi dengan reseptor integrin di
sel endotel dan menyediakan penopang untuk pertumbuhan pembuluh.
Enzim di ECM, yaitu metalloproteinase matriks (MMPs), mendegradasi
ECM sehingga memungkinkan penyesuaian bentuk dan ekstensi pipa
vaskular. Pembuluh darah baru yang terbentuk masih bocor, karena
perlekatan antar endotel tidak lengkap dan karena VEGF meningkatkan
permeabilitas vaskular. Kebocoran ini menjelaskan mengapa sering
dijumpai edema pada jaringan granulasi dan masih dijumpai pada
penyembuhan luka walaupun respons radang akut sudah lama selesai. Juga,
akan menyebabkan peningkatan tekanan intratumor dan juga menjadi dasar
edema yang amat menyulitkan pada proses patologis angiogenesis okuler
misalnya degenerasi makula yang basah.

b. FIBROSIS

Pengendapan jaringan ikat pada jaringan parut terjadi melalui dua


tahapan: (1) migrasi dan proliferasi fibroblas di tempat cedera dan (2)
penimbunan protein ECM yang diproduksi oleh sel tersebut. Pengumpulan
dan pengaktifan fibroblas untuk mensintesa protein jaringan ikat dipicu
oleh berbagai fakor pertumbuhan, termasuk PDGF, FGF-2 (dibicarakan
terdahulu), dan TGF-P. Sumber utama faktor ini ialah sel radang, terutama
makrofag, yang berada di tempat jejas dan di jaringan granulasi. Di tempat
terjadinya radang juga dijumpai banyak sel mast, dan dalam lingkungan
kemotaksis yang sesuai, limfosit juga dijumpai. Masing-masing jenis sel
dapat mensekresi sitokin dan faktor pertumbuhan yang berperan pada
proliferasi dan pengaktifan fibroblas.
Dengan berjalannya proses penyembuhan, jumlah fibroblas yang
berproliferasi dan jumlah pembuluh darah baru akan menurun, namun,
fibroblas secara progesif membentuk fenotipe sintetik, sehingga terjadi
peningkatan deposit ECM. Sintesa kolagen, khususnya, merupakan hal
penting untuk menentukan kekuatan pada daerah luka. Seperti akan
dibicarakan kemudian, sintesa kolagen dimulai segera setelah
penyembuhan luka (hari ke 3 hingga 5) dan berlangsung selama beberapa
minggu, tergantung pada ukuran luka. Jumlah akumulasi kolagen akhir
akan tergantung tidak hanya oleh peningkatan sintesa tetapi juga oleh
degradasi kolagen (dibicarakan kemudian). Selanjutnya, jaringan granulasi
membentuk jaringan parut yang terutama terdiri atas fibroblas yang
sebagian besar tidak aktif berbentuk spindel, kolagen padat, fragmen
jaringan elastin, dan
komponen ECM lain (Gambar 2-30, B). Setelah jaringan parut menjadi
matur, terjadi regresi vaskular progresif, sehingga mengubah jaringan
granulasi yang kaya pembuluh darah menjadi jaringan parut tanpa
pembuluh darah.

Faktor Pertumbuhan yang Berperan pada Simpanan ECM dan


Pembentukan Jaringan Parut Berbagai faktor pertumbuhan terlibat dalam
proses ini, termasuk TGF-(3, PDGF, dan FGF. Karena FGF juga terlibat
dalam angiogenesis, telah dibahas sebelumnya. Di sini akan dibahas singkat
peran TGF-fl dan PDGF.

• Faktor pertumbuhan transformasi-(3 (TGF-(3) termasuk kelompok


polipeptida homolog (TGF-P1, -P2, dan -(33) dan termasuk juga
sitokin lain seperti protein morfogenetik tulang. Isoform TGF-P1
terdistribusi luas dan biasanya dikenal sebagai TGF-(3. Faktor aktif
TGF-131 ini mengikat dua reseptor permukaan sel dengan
aktivitas serine-threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor
transkripsi yang disebut Smads. TGF-P mempunyai berbagai efek
dan kadang-kadang efek yang berlawanan, tergantung pada tipe
sel dan status metabolit jaringan. Dalam masalah radang dan
pemulihan jaringan, TGF-P mempunyai dua fungsi:
a. TGF-(3 merangsang produksi kolagen, fibronektin, dan
proteoglikan, dan mencegah degradasi kolagen melalui
penekanan aktivitas proteinase dan peningkatan aktivitas
inhibitor proteinase dikenal sebagai TIMPs (akan dibahas lebih
lanjut). TGF-P terlibat tidak saja dalam pembentukan jaringan parut
setelah cedera, tetapi juga pada pembentukan fibrosis di
paru, hati, dan ginjal setelah terjadi radang kronik.
TGF-P merupakan sitokin anti inflamasi yang berfungsi
menekan dan mengakhiri respons radang. Hal ini terjadi
melalui penghambatan proliferasi limfosist dan aktivitas
leukosit lain. Mencit yang tidak mempunyai TGF-P akan
mengalami radang luas dan proliferasi limfosit berlebihan.
• Faktor pertumbuhan asal trombosit (PDGF) termasuk
kelompok protein dengan sifat yang hampir sama, masing-masing
mengandungi dua rantai, disebut A dan B. Ada lima jenis isoform
PDGF utama, yang isoform BB merupakan prototipe; dan disebut
PDGF. PDGF mengikat reseptor PDGFROE dan PDGFRP. PDGF
disimpan dalam trombosit dan dilepaskan saat pengaktifan
trombosit dan juga diproduksi oleh sel endotel, makrofag yang
teraktifkan, sel otot polos dan berbagai sel tumor. PDGF
mengakibatkan migrasi dan proliferasi fibroblas dan sel otot polos
dan juga berperan dalam migrasi makrofag.
• Sitokin (dibahas sebelumnya sebagai mediator radang, dan ada
kaitannya dengan respons imun) juga bisa berfungsi sebagai faktor
pertumbuhan dan berpartisipasi pada penimbunan ECM dan
pembentukan jaringan parut. IL-1 dan IL-13, sebagai contoh, berperan
pada fibroblas untuk merangsang sintesa kolagen, dan juga akan
meningkatkan proliferasi dan migrasi fibroblas.

c. REMODELLING JARINGAN PARUT

Setelah sintesa dan deposisi, jaringan ikat pada jaringan parut akan
dilanjutkan dengan proses pengubahan dan penyesuaian bentuk.
Sehingga hasil akhir proses penyembuhan adalah keseimbangan antara
sintesa dan degradasi protein ECM. Telah dibahas sel dan faktor yang
mengatur sintesa ECM. Degradasi kolagen dan komponen ECM lain
terjadi karena kelompok metalloproteinases matriks (MMPs), yang
bergantung pada ion zinc untuk aktivitasnya. MMPs harus dibedakan
dengan elastase neutrofil, kathepsin G, plasmin, dan proteinase serin
lain yang juga dapat mendegradasi ECM tetapi bukan metalloenzymes.
Termasuk MMPs ialah kolagen interstisium, yang menghasilkan
kolagen fibril (MMP-1, -2, dan -3); gelatinase (MMP-2 dan -9), yang
akan mendegradasi kolagen amorfik dan fibronektin; dan stromelysin
(MMP-3, -10, dan -11), yang akan mendegradasi sejumlah unsur ECM,
termasuk proteoglikan, laminin, fibronektin, dan kolagen amorfik.
MMPs diproduksi oleh berbagai sel (fibroblas, makrofag, neutrofil,
sel sinovial, dan beberapa sel epitel), dan sintesa serta sekresinya
diatur oleh faktor pertumbuhan, sitokin, dan agen lain. Aktivitas MMPs
diatur ketat. Diproduksi sebagai prekursor inaktif (zymogen) yang harus
diaktifkan terlebih dahulu; dilakukan oleh proteases (misal plasmin)
yang dijumpai hanya di tempat jejas. Sebagai tambahan, MMPs yang
telah diaktifkan dapat segera dicegah oleh inhibitor jaringan khusus
yaitu metalloproteinase (TIMPs), yang diproduksi oleh sel mesenkim.
Sehingga selama proses pembentukan jaringan parut, MMPs diaktifkan
untuk penyesuaian bentuk ECM yang dideposit, dan kemudian
aktivitacsnya akan dihentikan oleh TIMPs.

E. PROSES PENYEMBUHAN LUKA

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks, tetapi umumnya


terjadi secara teratur. Jenis sel khusus beruntun pertama-tama akan membersihkan
jejas, kemudian secara progresif membangun dasar (scaffolding) untuk mengisi setiap
defek yang dihasilkan.peristiwa tersebut tertata rapi melalui keadaan saling
memengaruhi antara factor pertumbuhan terlarut ECM; factor fisik juga turut
berperan, termasuk tenaga yang dihasilkan oleh perubahan bentuk sel. Penyembuhan
luka dapat diringkas menjadi serangkaian proses, diantaranya :

1. Induksi respons peradangan akut oleh jejas awal


2. Regenerasi sel parenkim (jika mungkin)
3. Migrasi dan proliferasi, baik sel parenkim maupun sel jaringan ikat
4. Sintesis protein ECM
5. Remodelling unsur parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan
6. remodeling jaringan ikat untuk memperoleh kekuatan luka

Kompleksnya penyembuhan luka terbagi dalam banyak fase. Karena pada


umumnya penyembuhan luka terdiri atas fase hemostasis, inflamasi, proliferasi
dan remodeling.

2. Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)

Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah


menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.
Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah normal,
terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat pembentukan
bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari
rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan platelet lainnya
dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet
bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk menghentikan
pendarahan.4Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah
menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.
Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah normal,
terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat pembentukan
bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari
rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan platelet lainnya
dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet
bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan.

Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor


pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas
protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara eksponensial. Trombin
kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi pembentukan fibrinogen
menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah merah membentuk bekuan
darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka untuk sel endotel, sel inflamasi
dan fibroblast.

Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen rangka


tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan dalam
membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke dalm luka.
Rangka fibrin – fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka
dan bertindak sebagai penyimpan faktor – faktor tersebut untuk proses
penyembuhan.

Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka.
Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (hangat),
dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk membunuh bakteri
yang Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan kapiler
untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh epinephrin,
norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Setelah 10 –
15 menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi yang dimediasi oleh serotonin,
histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan produk endotel. Hal ini yang
menyebabkan lokasi luka tampak merah dan hangat.

Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan histamin dan
serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler.
Hal ini mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler ke ekstravaskuler. Leukosit
berpindah ke jaringan yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini
dimulai dengan leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi
oleh selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat pada
permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM) pada sel
endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke jaringan yang
luka.

Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, PGE2,


leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk
berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama
adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis.
Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang
tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh
makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi,
keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk
mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi
menjadi luka kronis.

Pada hari kedua / ketiga luka, monosit / makrofag masuk ke dalam luka
melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel
yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan
jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks
ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang
pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil
sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen,
pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya.

Limfosit T muncul secara signifikan pad hari kelima luka sampai hari
ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin, seperti IL-2
dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan interferon-γ (IFN- γ),
yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan TNF-α. Sel
T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis.

3. Fase Intermediate (Proliferasi)

Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel – sel inflamasi, tanda – tanda
radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan
pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang dipenuhi
platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang mengaktivasi fibroblast.
Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai berproliferasi hingga jumlahnya lebih
dominan dibandingkan sel radang pada daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari
ketiga sampai hari kelima.

Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks mettaloproteinase


(MMP) untuk memecah matriks yang menghalangi migrasi. Fungsi utama dari 7
fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama ECM. Kolagen tipe I dan
III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan normalnya ada pada dermis manusia.
Kolagen tipe III dan fibronectin dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan
kemudian kolagen tipe III digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah
banyak dan menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka.

Pembentukan pembuluh darah baru / angiogenesis adalah proses yang


dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain itu
angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak akibat luka dan
distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan penurunan tekanan
oksigen di jaringan.

Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai substansi
akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga migrasi sel dapat
terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam luka diatur oleh fibroblast
growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan transforming
growth factor-β (TGF-β). Pembelahan dari sel endotel ini akan membentuk lumen.
Kemudian deposisi dari membran basal akan menghasilkan maturasi kapiler.

Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang kebanyakan


dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang
dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari akhir fase inflamasi.
Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel kapiler, berikatan dengan
berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF)
sebagai faktor angiogenik yang poten dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan
fibroblast selama proses penyembuhan.

Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan kembali
lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak
dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru
terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi pipih dan panjang dan juga
membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan
dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin.
Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis
dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan
mensekresi MMP lainnya ketika bermigrasi.

Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi
akan berperan sebagai perantara sel – sel untuk melakukan migrasi. Jaringan ini terdiri
dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast, makrofag dan sel endotel. Sel –
sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh darah baru sebagai sumber energi
jaringan granulasi. Jaringan ini muncul pada hari keempat setelah luka. Fibroblast
akan bekerja menghasilkan ECM untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan
sebagai perantara migrasi keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka.
Makrofag akan menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast
berproliferasi. Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk
pembuluh darah baru.

Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi leka menuju arah tengah
luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi juga bisa
berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah tengah dengan rata – rata
0,6 sampai 0,75 mm / hari. Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang
longgar. Sel yang banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini
berasal dari fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya.

4. Fase Akhir (Remodelling)

Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan
Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Pembentukan kolagen akan
mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan
tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan
kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe
III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada
minggu ketiga hingga minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal
akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal.
Berikut adalah ringkasan dari fase-fase dalam penyembuhan luka.

1. Hemostasis
 Terjadi vasokontriksi agar darah tidak mengalir deras keluar tubuh.
 Darah mengisi ruang luka dan terjadi proses pembekuan darah untuk
menyumbat luka sementara. Bekuan darah terdiri dari eritrosit dan platelet
(trombosit) serta fibrin sebagai perekatnya.
 Karena luka mengalami dehidrasi, akan terbentuk keropeng pada luka.
2. Inflamasi
 Pembuluh darah bervasodilatasi agar banyak darah yang mengalir.
 Sel-sel inflamatori bermigrasi ke tempat luka
 Neutrofil datang dan melepaskan enzim proteolitik yang akan membuang
debris dan hilangkan bakteri.

3. Proliferasi
 Seiring berjalannya waktu, neutrofil akan digantikan dengan makrofag
(sumber utama growth factor) karena umur makrofag lebih panjang
dibandingkan neutrofil.
 Makrofag akan menghancurkan bekuan darah untuk digantikan dengan
jaringan granulasi.
 Fibroblas dan pembuluh darah berproliferasi sehingga membentuk
jaringan granulasi yang berwarna merah muda dikarenakan banyaknya
pembuluh darah. Jaringan granulasi ini akan menggantikan bekuan darah
yang tadi. Jaringan granulasi pada penyembuhan sekunder terbentuk lebih
banyak dikarenakan luka yang lebih besar disbanding penyembuhan
primer.
 Kedua ujung tepi epitel luka berproliferasi dan berkontraksi agar bisa
bertemu satu sama lain di tengah luka.
 Fibroblas akan datang dan melepaskan kolagen untuk memperkuat /
memperkeras jaringan granulasi.
4. Remodelling
 Seiring berjalannya waktu, Jaringan granula memudar dan digantikan
jaringan parut. Pada saat ini jaringan tidak lagi berwarna merah muda
dikarenakan berkurangnya pembuluh darah sehingga jaringan berwarna
pucat.
 Keropeng dengan sendirinya terlepas setelah proses penyembuhan
lengkap.
 Bersamaan dengan ini, sel epitel semakin tebal dan matang sehingga
menyerupai kulit disekitarnya.
 Jaringan parut yang terlihat sangatlah besar dibandingkan penyembuhan
secara primer.
1. Penyembuhan Luka Primer

Salah satu contoh paling sederhana pemulihan luka adalah


penyembuhan suatu insisi bedah yang bersih dan tidak terinfeksi di sekitar
jahitan bedah. Proses ini disebut penyatuan primer atau penyembuhan primer.
Insisi tersebut hanya menyebabkan robekan fokal pada kesinambungan
membrane basalis epitel dan menyebabkan kematian seel epitel dan jaringan
ikat dalam jumlah yang relatif sedikit. Akibatnya, regenerasi epitel lebih
menonjol daripada fibrosis. Pada saat terjadi luka terdapat ruang insisi yang
sempit. Ruang insisi yang sempit segera terisi oleh darah bekuan fibrin, lalu
terjadi dehidrasi pada permukaan yang menghasilkan suatu keropeng yang
mentupi dan melindungi tempat penyembuhan.

Dalam waktu 24 jam, neutrophil akan muncul pada tepi insisi dan
bermigrasi menuju bekuan fibrin. Sel basal pada tepi irisan epidermis mulai
menunjukan peningkatan aktivitas mitosis. Dalam waktu 24 – 48 jam, sel
epitel dari kedua tepi irisan mulai bermigrasi dan berproliferasi di sepanjang
dermis dan mendepositkan komponen membrane basalis saat dalam
perjalanannya dan bertemu digaris tengah di bawah keropeng permukaan yang
menghasilkan suatu lapisan epitel tipis yang tidak putus.

Pada hari ke-3, neutrophil sebagian telah besar digantikan oleh


makrofag dan jaringan granulasi secara progresif menginvasi ruang insisi.
Serat kolagen pada tepi insisi sekarang timbul tetapi megarah vertical dan
tidak menjembatani insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut menghasilkan suatu
lapisan epidermis penutup yang menebal.
Pada hari ke-5, neovaskularisasi mencapai puncaknya karena jaringan
granulasi mengisi ruang insisi. Serabut kolagen menjadi lebih berlimpah dan
mulai menjembatani insisi. Epidermis mengembalikan ketebalan normalnya
karena diferensiasi sel permukaan menghasilkan arsitektur epidermis matur
yang disertai dengan keratinisasi permukaan

Selama minggu kedua, penumpukan kolagen dan proliferasi


fibroblast masih berlanjut. Infiltrate leukosit, edema, dan peningkatan
vaskularitas telah amat berkurang. Proses penunjang “pemulihan” dimulai,
dilakukan melalui peningkatan deposisi kolagen didalam jaringan parut bekas
insisi dan regresi saluran pembuluh darah.

Pada akhir bulan pertama, jaringan parut yang bersangkutan terdiri


atas suatu jaringan ikat sel yang sebagian besar tanpa disertai sel radang dan
ditutupi oleh suatu epidermis yang sangat normal. Namun, tambahan dermis
yang hancur pasa garis insisi akan menghilang permanen. Kekuatan regang
pada luka menigkat Bersama perjalan waktu.

2. Penyembuhan Luka Sekunder

Penyembuhan luka secara sekunder secara garis besar prosesnya sama


saja seperti penyembuhan luka secara primer.

1. Hemostasis
 Terjadi vasokontriksi agar darah tidak mengalir deras keluar tubuh.
 Darah mengisi ruang luka dan terjadi proses pembekuan darah
untuk menyumbat luka sementara. Bekuan darah terdiri dari
eritrosit dan platelet (trombosit) serta fibrin sebagai perekatnya.
 Karena luka mengalami dehidrasi, akan terbentuk keropeng pada
luka.
2. Inflamasi
 Pembuluh darah bervasodilatasi agar banyak darah yang mengalir.
 Sel-sel inflamatori bermigrasi ke tempat luka
 Neutrofil datang dan melepaskan enzim proteolitik yang akan
membuang debris dan hilangkan bakteri.
3. Proliferasi
 Seiring berjalannya waktu, neutrofil akan digantikan dengan
makrofag (sumber utama growth factor) karena umur makrofag
lebih panjang dibandingkan neutrofil.
 Makrofag akan menghancurkan bekuan darah untuk digantikan
dengan jaringan granulasi.
 Fibroblas dan pembuluh darah berproliferasi sehingga membentuk
jaringan granulasi yang berwarna merah muda dikarenakan
banyaknya pembuluh darah. Jaringan granulasi ini akan
menggantikan bekuan darah yang tadi. Jaringan granulasi pada
penyembuhan sekunder terbentuk lebih banyak dikarenakan luka
yang lebih besar disbanding penyembuhan primer.
 Kedua ujung tepi epitel luka berproliferasi dan berkontraksi agar
bisa bertemu satu sama lain di tengah luka.
 Fibroblas akan datang dan melepaskan kolagen untuk memperkuat
/ memperkeras jaringan granulasi.
4. Remodelling
 Seiring berjalannya waktu, Jaringan granula memudar dan
digantikan jaringan parut. Pada saat ini jaringan tidak lagi berwarna
merah muda dikarenakan berkurangnya pembuluh darah sehingga
jaringan berwarna pucat.
 Keropeng dengan sendirinya terlepas setelah proses penyembuhan
lengkap.
 Bersamaan dengan ini, sel epitel semakin tebal dan matang
sehingga menyerupai kulit disekitarnya.
 Jaringan parut yang terlihat sangatlah besar dibandingkan
penyembuhan secara primer.
3. Kekuatan Luka

Luka yang dijahit dengan cermat mempunyai kirakiraT0o/o kekuatan


dibandingkan kekuatan kulit yang tidak terluka, sebagian besar disebabkan
oleh penempatan jahitan. Jika jahitan dilepas, biasanya setelah 1 minggu,
kekuatan luka menjadi kira-kira 10% dari kulit yang tidak terluka, tetapi
kekuatan ini meningkat dengan cepat selama 4 minggu berikutnya. Pemulihan
kekuatan peregangan diakibatkan oleh adanya sintesis kolagen yang melebihi
degradasinya selama 2 bulan pertama, dan oleh perubahan struktural kolagen
(misalnya, pertautan silang dan peningkatan ukuran serabut) ketika sintesisnya
berkurang di saat selanjutnya. Kekuatan luka mencapai kira-kira 70%-80%
dari normal pada bulan ke-3, tetapi biasanya tidak akan meningkat melebihi
angka tersebut.

4. Aspek Patologi Dari Pemulihan Jaringan

Dalam penyembuhan luka, pertumbuhan sel yang normal dan fibrosis


dapat diubah olehberbagai macam pengaruh, yang sering kali mengurangi
kualitas atau kecukupan proses pemulihan. Faktor ini dapat bersifat ekstrinsik
(misalnya, infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang cedera:

• Infeksi merupakan penyebab tunggal terpenting melambatnya


penyembuhan, dengan memperpanjang fase peradangan proses tersebut
dan berpotensi meningkatkan jejas jaringan lokal.
• Nutrisi mempunyai efek mendalam terhadap penyembuhan luka;
misaInya, kekurangan protein dan khususnya kekurangan vitamin C,
menghambat sintesis kolagen dan memperlama penyembuhan.
• Glukokortikold (steroid) telah lama dikenal mempunyai efek
antiradang, dan pemberiannya dapat mengakibatkan penlrrunan
kekuatan luka yang disebabkan oieh berkurangnya fibrosis. Namun,
dalam beberapa contoh, efek anti radang glukokortikoid memang
dikehendaki. Misalnya, pada infeksi kornea, glukokortikoid terkadang
diresepkan (bersama antibiotik) untuk mengurangi kemungkinan
kekeruhan yang dapat diakibatkan oleh deposisi kolagen.
• Faktor meknanis, seperti peningkatan tekanan lokal atau torsi dapat
menyebabkan luka-luka menjadi terpisah, atau dehisce.
• Perfusi yang buruk, yang disebabkan oleh arteriosklerosis ataupun oleh
sumbatan aliran vena, juga mengganggu penyembuhan. Akhirnya,
benda asing, seperti pecahan baja, kaca, atau bahkan tulang, akan
menghalangi penyembuhan.
• Jenis (dan jumlah) jaringan yang mengalnmi jejas merupakan faktor
penting. Pemulihnn sempurna hanya dapat terjadi pada jnringnn yang
tersusun atss sel stabil dan kfuil; bahkan kemudian, cedera yang luas
akan mungkin mengakibatkan regenerasi jaringan menjadi tidak
sempurna dan setidaknya akan kehilangan sebagian fungsinya. Jejas
padn jaringnn yang tersusttn stas sel permnnen pnsti mengakibatkan
pembentukan jaringan parut, disertai paling maksimal, adanya upaya
kompensasi fungsional oleh sisa unsur yang dapat hidup.
• Lokasi atau sifat jaringan yang mengalami jejas merupakan hal yang
penting pula. Sebagai contoh, peradangan yang muncul dalam rongga
jaringan (misalnya, rongga pleura, rongga peritoneum, rongga sinoval)
menghasilkan eksudat luas. Pemulihan selanjutnya dapat terjadi melalui
cernaan eksudat, yang dimulai oleh enzim proteolitik leukosit serta
penyerapan eksudat yang mencair. Proses ini disebut resolusi, dan jika
tidak terjadi nekrosis sel, bentuk jaringan yang normal pada umumnya
akan diperbaiki. Namun, pada penumpukan yang lebih besar, eksudat
tersebut mengalami organisasi jaringan granulasi tumbuh ke dalam
eksudat, akhimya diikuti oleh pembentukan jaringan parut fibrosa.
• Penyimpangan pertumbuhan sel serta produksi ECM dapat terjadi,
wnlaupun dimulai dengan penyembuhan luka yang normal. Sebagai
contoh, penumpukan kolagen yang sangat banyak dapat menimbulkan
jaringan parut yang menonjol dan menyembul yang dikenal sebagai
keloid (Cbr. 3-15). Pembentukan keloid agaknya mempunyai suatu
kecenderungan genetik, dan kondisi tersebut lebih lazim terjadi pada
orang kulit hitam. Luka yang menyembuh dapat pula menghasilkan
jaringan granulasi yang berlebihan yang menonjol di atas kulit sekitar
dan dalam kenyataannya akan menghambat reepitelialisasi. Keadaan ini
disebut dengan granulasi eksubernn, atau proud flesh, dan untuk
mengembalikan kontinuitas epitel memerlukan reseksi bedah atau
reseksi menggunakan kauter pada jaringan granulasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai