Anda di halaman 1dari 10

Mahmud Syaltut (Sebuah Biografi Intelektual)

Beliau dilahirkan di kota Maniyah bani Mansur, Karesidenan Bukhairah Mesir, pada
tanggal 23 April 1893 dan Wafat tanggal 19 Desember 1963. Beliau adalah Ulama dan pemikir
Islam yang mempunyai kredibilitas tinggi dan juga seorang tokoh Internasional.
Mahmud Syaltut kecil belajar membaca al-Qur‟an sampai hafal dan ketika berumur 13 tahun
yaitu pada tahun 1906 ia memasuki lembaga pendidikan agama (al-Ma’had ad-Dini) di
Iskandaraiyah. Beliau dikenal sebagai seseorang yang cerdas sehingga pada tahun 1918 beliau
berhasil memperoleh asy-syahadah al-‘Alimiyyah an-Nizamiyyah (setingkat Master of Art) dari
Universitas Al-Azhar, dan tercatat sebagai lulusan terbaik. Gelar Doctor Honoris causa (gelar
Doktor kehormatan) juga pernah diberikan oleh UIN Sunan Kalijaga pada tahun 1961 di
samping gelar-gelar kehormatan yang didapatkan dari negerinya sendiri.
A. Perjalanan Karir Intelektual
Aktivitasnya dalam kegiatan ilmiahnya berawal ketika beliau menjadi pengajar di al-
Ma’had ad-Dini al-Iskandari pada tahun 1919, selain mengajar disitu beliau juga aktif dalam
berbagai kegiatan intelektual dan berbagai kegiatan dalam dunia pers, sera penerbitan,
berdakwah, dan menulis. Dan pada tahun 1927 ia diangkat menjadi dosen pada tingkat
takhassus (spesialisasi dan pendalaman) di Universitas al-Azhar sewaktu Syekh al-Maraghi
menjadi rektor. Ia mulai banyak menulis di surat kabar untuk mendukung program al-
Maraghi dalam rangka memajukan Universitas al-Azhar menjadi Universitas yang dinamis
dan progresif. Dan pada tahun 1937 beliau mewakili Al-Azhar pada kongres Internasional
tentang Perundang-undangan (al-Qonun al-Muqaran) yang diadakan di Den Haag.
Uraiannya yang ilmiah dan cerdas tentang Syari‟at Islam dalam kongres itu mendapatkan
apresiasi positif dari para peserta. Beliau dapat mengeleborasi bahwa Islam sebagai agama
yang dapat membimbing manusia disetiap zaman dan tempat. Pada tahun 1941 beliau
mengetengahkan sebuah risalah tentang “Pertanggung Jawaban Sipil dan Pidana dalam
Syari‟at Islam”. Tesis-tesinya dalam risalah ini mendapatkan sambutan baik sehingga secara
aklamasi beliau diangkat menjadi anggota termuda Majlis Ulama-ulam Besar (Hai’ah Kibar
al-Ulama).
Puncak kariernya dalam lingkungan Universitas adalah terpilihnya sebagai Rektor
Universitas al-Azhar yang ke – 41 pada tanggal 21 Oktober 1958. Sebagai Rektor beliau
mempunyai peluang untuk mengaktualisasikan pemikirannya selama ini untuk memajukan
Universitas al-Azhar. Sebuah jabatan yang dipegangnya hingga beliau wafat pada 1963.
Syaltut menjadi pemimpin Al-Azhar pada fase paling raikal dalam revolusi Mesir
1952, pada masa itu Institut-institut terkemuka sedang mengalami reorganisasi secara
mendasar. Pada 1961 undang-undang yang mereorganisasi al-Azhar dengan terpaksa
diloloskan oleh Majlis al-Ummah. Kendatipun Syaltut termasuk arsitek undang-undang itu,
tapi beliau tidak sepenunya setuju dengan adanya undang-undang itu, karna secara tidak
langsung akan membawa al-Azhar berada dibawah dominasi negara. Dan sejak 1958
kekuasaan al-Azhar ikut dipegang oleh otoritas sekuler dalam bentuk sebuah kementerian al-
Azhar dan urusan keagamaan. Undang-undang 1961 itu muncul pada saat kritis dalam
sejarah Mesir, tepat sebelum diberlakukannya undang-undang sosialis versi nasser dan
dideklarasikannya Piagam Nasional. Saat itu adalah masa bangkitnya kesadaran Nasionalis
yang kuat dan tindakan revolusioner yang menyentuh semua bidang kehidupan. al-Azhar
ketika itu hendak dicetak sebagai alat dari sebuah tatanan nasionalis dan sosialis Arab baru

1
yang didominasi oleh Mesir. Ia diharapkan dapat memenuhi peran ini melalui reorganisasi,
reformasi, dan suatu peran nasional dan internasional yang lebih luas.
Syaltut boleh jadi bercampur aduk perasaannya terhadap undang-undang 1961 itu,
tapi perlu diingat bahwa beliau datang dari suatu generasi yang telah berpartisipasi dalam
revolusi 1919. Bukunya yang diterbitkan pada 1964 (Seribu tahun Al-Azhar) menunjukkan
bahwa beliau mempunyai catatan panjang sebagai seorang aktifis al-Azhar yang dapat
memainkan peran internasional yang lebih besar dalam memerangi fanatisme golongan dan
menyatukan umat Islam dari pelbagai mazhab. Reorganisasi serta tunjangan anggaran yang
mengiringinya, berarti pemenuhan dari sebagian cita-cita gurunya (Syaikh Muhammad
„Abduh), dan rekan sejawatnya al-Maraghi, untuk membuka kembali pintu ijtihad (telaah
individual dalam soal hukum), mereformasi sistem pendidikan al-Azhar melalui pengenalan
mata kuliah modern, dan mengakhiri fanatisme sektarian yang senantiasa membuat dunia
Islam terpecah-pecah, dengan cara mempersempit perbedaan diantara pelbagai mazhab
hukum dalam Islam.
B. Latar belakang Penulisan Kitab Tafsir al-Qur’an al-Karim
Pada masa Mahmud Shaltut hidup, Mesir saat itu sedang mengalami perubahan
social yang begitu cepat. Kedatangan bangsa Eropa (khususnya Prancis dan Inggris), dengan
kemajuan tekhnologinya membuka cakrawala berfikir masyarakat Mesir. Pergolakan dan
perubahan yang terjadi di Mesir, sangat berpengaruh pula pada diri Mahmud Shaltut.
Apalagi beliau sangat dekat dengan pengaruh perubahan itu, bahkan terlibat didalamnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat Mesir menyentuh pula pada prilaku social
masyarakat, struktur dan pola budayanya. Budaya Prancis telah menembus ke dalam budaya
Mesir, hal ini terlihat dari kecendrungan laki-laki Mesir yang memilih menikah dengan
wanita Prancis yang mereka anggap memiliki budaya yang lebih modern.
Kegelisahan beliau membawanya untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya yang
memunculkan reaksi. Kenyataan ini dapat dilihat dalam fatwanya yang melarang perkawinan
laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim. Alasan yang dikemukakan beliau adalah
dikhawatirkan suami dan anaknya akan terpengaruh oleh budaya dan agama istrinya.
Dengan demikian, logislah bila beliau tidak tahan menghadapi masalah-masalah yang
mengancam masyarakat, budaya dan spiritualnya serta kesejahteraan psikologisnya, kecuali
dengan cara mengembalikan kepada ajaran al-Qur‟an untuk mendapatkan jawaban dan
solusinya. Dari kenyataan tersebut, menjadikan Mahmud Shaltut Dari kenyataan tersebut,
menjadikan Mahmud Shaltut berorientasi pemikirannya yang mengacu pada perbaikan dan
penjagaan nilai-nilai moral agama. Perlu dijelaskan bahwa prinsip Mahmud Shaltut tidak
cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran al-Qur‟an tanpa menyesuaikan kondisi zaman dan
suasana umat islam. Ajaran-ajaran tersebut perlu disesuaikan dengan keadaan modern pada
masanya. Alasannya, beliau melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an dan
hadis mengenai masalah social kemasyrakatan itu hanya sedikit jumlahnya. Prinsip-prinsip
itu bersifat umum tanpa perincian, maka beliau berpendapat bahwa semua itu dapat
disesuaikan dengan tuntutan zaman.1

C. Sistematika Penulisan

1
Ali aljufri, Rasionalitas Penafsiran Mahmūd Shāltut dalam Masalah Aqidah dan Shariah (Desertasi), h.
48-49

2
Bagi Mahmud Syaltut, tanpa suatu kajian yang sistematis, pandangan al-Qur‟an akan
sulit untuk dimunculkan. Karena itu, diperlukan suatu metode interpretasi al-Qur‟an secara
sistematis. Ada dua cara yang paling ideal dalam menafsirkan al-Qur‟an, sebagaimana yang
di ungkapkan Mahmud Syaltut:
1. Menyebutkan arti surah, dan sebab atau latar belakang dinamai surah tersebut2
2. Menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan urutan surah al-Qur‟an, menafsirkan kosa katanya,
menjalin kaitan ayat dan menjelaskan makna yang ditunjukkannya.
3. Mengoleksi ayat-ayat yang dapat diletakkan dibawah satu topic, kemudian menganalisa
dan memahami makna-maknanya, menjelaskan hubungan ayat satu sama lainnya,
sehingga dapat ditemukan suatu hikmah tertentu, dan menerangkan tujuan ayat-ayat yang
ada dalam topic tersebut.
Menurutnya, yang terakhir inilah metode tafsir yang ideal, terutama bagi mufassir
yang ingin menginformasikan tentang kandungan al-Qur‟an yang memiliki nuansa hidayah
terhadap peristiwa yang dialami manusia, baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat.3

D. Metode, dan Corak Penafsiran Mahmūd Shāltut


1. Metode
Secara garis besar, penafsiran al-Qur‟an dilakukan melalui empat metode yaitu:
metode tahlili (analitis), metode ijmali (global), metode muqarran (komparasi) dan
metode maudhu‟I (tematik). Keempat metode ini mempunyai ciri dan spesifikasi masing-
masing.
Jika kita melihat sitematika dan cara menafsirkan Mahmud Syaltut dalam karya tafsirnya,
maka penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan Syaltut dalam menafsirkan
al-Qur‟an adalah metode maudhu‟I (tematik). Bahkan, menurut Quraisy Shihab beliau
merupakan penggagas metode tafsir ini.
1. Corak
Tafsir Mahmud Syaltut dianggap sebagai kajian ilmiah tematis yang menjadikan
al-Qur‟an sebagai dasar dalam kajian dan pokok dalam legitimasi. Metode yang
digunakan adalah menggabungkan pada ayat yang akan dikaji beberapa ayat-ayat yang
masih berhubungan dengan tema-tema yang berkaitan dengan tema ayat. Kemudian
mengulas tema ayat secara menyeluruh dengan menampilkan pandangan al-Qur‟an
(bahkan agama secara umum) dari tema tersebut.4
Karena beliau seorang yang ahli fiqh, dan karya-karyanya lebih banyak ke
masalah fiqh seperti al-Qur‟an wa al-Mar‟ah, perbandingan Mazhab, Ijtihad dan
sebagainya, maka penulis menyimpulkan corak tafsir beliau “Fiqh”.

E. Karakteristik Tafsir Mahmūd Shāltut

2
Mahmud Shaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Bandung: CV.Diponogoro, 1989), lihat tiap awal
penjelasan surah sebelum ditafsirkan
3
Mahmud Syaltut, Min Hadyi al-Qur’an : al-Thariqah al-Muthla fi Tafsir al-Qur’an, (dikutip oleh Ali
aljufri dalam disertasinya yang berjudul Rasionalitas Penafsiran Mahmud Syaltut dalam masalah Akidah dan
Syari’ah) h. 74-75
4
Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metotologi Tafsir (kajian komprehensif metode para ahli tafsir). (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006) h. 346

3
Adapun karakteristik beliau yaitu:
1. Tiap surah dijadikan satu kesatuan, dijelaskan maksud dan tujuan serta kandungannya
yang mengungkapkan didikan dan prinsip hidup yang bersikap kemanusian
padaumumnya
2. Dalam menafsirkan ayat, tidak memasukkan pendapat dari luar ataupun mengambil
istilah yang lain, disebabkan kalimat-kalimat al-Qur‟an saling menjelaskan dan tiap ayat
mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan yang sesuai dengan esensinya dan yang
diprasyaratkan kepada pemikirannya
3. Tidak membiarkan al-Qur‟an tak berbunyi, akan tetapi tidak juga ditafsirkan
sembarangan. Karena itu salah satu caranya adalah menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan
pedapat ahli tafsir terdahulu.

Tafsirnya bebas dari pengaruh kepartaian, politik, mazhab atau pun golongan. Karena
ia tidak menginginkan adanya fanatisme dalam mazhab ketika seseorang mufassir
menafsirkan al-Qur‟an. Sebagai seorang mufti, Mahmud Shaltut memiliki otoritas
dibidangnya sekaligus sebagai ulama yang tidak mengikuti salah satu aliran mazhab hukum
yang ada, meskipun beliau termasuk orang yang bermazhab Hanafi, namun beliau bebas
dalam menentukan sikapnya dalam berfatwa. Dengan demikian tafsir ini akan diterima oleh
Dunia Islam dengan segala senang hati, baik oleh Ahlus Sunnah maupun Syi‟ah dan semua
orang yang iman kepada Nabi Muhammad saw.5

F. Keistimewaan Tafsir Mahmūd Shāltut


Diantara keistimewaan tafsir ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mani‟ Abd Halim dalam karangannya6 adalah sebagai berikut:
1. Ide pemikirannya jelas dan gamblang, gaya bahasanya mudah dipahami dan susunannya
indah. Misalnya: ilmu balagah, yang mengkaji karakteristik dan keindahan bahasa Arab
dimaksudkan untuk menjelaskan sisi-sisi I‟jaz dalam al-Qur‟an dan menguak rahasia
linguistiknya, disamping meneliti kosa kata, mencari kata-kata asing, syahidnya, dan
menetapkan lafaz dan maknanya, dimaksudkan untuk menjaga kemurnian lafaz-lafaz dan
makna al-Qur‟an dari penyimpangan dan perubahan. Semua ini dipelajari dalam rangka
mempelajari al-Qur‟an atau mengaplikasikan wahyu Allah yang berkaitan dengan
bidangnya masing-masing.
2. Beliau bukan hanya sekedar mengetengahkan usaha keras orang-orang dalam memelihara
al-Qur‟an dan mengungkapkan fenomena, tapi beliau juga mengingatkan hal-hal yang
harus dihindari dari al-Qur‟an. Beliau berkata: “ketika orang islam menerima kitabullah
dengan memperhatikan etikanya dan mengamalkan sesuai ddengan bidang kajian
masing-masing, maka ada dua aspek yang semsetinya al-Qur’an (demi menjaga
kesuciannya) dijauhkan dari keduanya”7. Kedua aspek tersebut adalah:
a. Mengesploitsai ayat-ayat al-Qur‟an untuk menguatkan perbedaan mazhab.
b. Mengeluarkan ilmu-ilmu kosmos dan pengetahuan modern dari al-Qur‟an (ditujukan
kepada sekelompok ilmuan yang selalu bersandar pada pengetahuan moderennya, lalu
5
Mahmud Shaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Bandung: CV.Diponogoro, 1989), h, 19-20
6
Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metotologi Tafsir (kajian komprehensif metode para ahli tafsir). (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006) h. 347-350
7
Ali Aljufri, Rasionalitas Penafsiran Mahmūd Shāltut dalam Masalah Aqidah dan Shariah (Desertasi), h.
27

4
menyamakan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan tuntunan ilmunya). Karena Allah
tidak menurunkan al-Qur‟an sebagai buku penduan yang menjelaskan tentang teori-
teori pengetahuan dan berbagai macam ilmu pengetahuan.

G. Contoh penafsiran Mahmūd Shāltut


Makna Lafadz al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alāmīn dan ar-Rahmanirrahim dalam Surah al-Fatihah

‫الحمد هلل رب العالمين‬

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam


Ini adalah ayat pertama dari surah al-Fatihah, yang diturunkan di Makkah sebelum
Hijrah. Disebutkan bahwasanya al-Fatihah adalah surat pertama al-Qur‟an yang diturunkan
secara lengkap sehingga dinamakan “Fatihatul Kitab” (Pembukaan al-Qur‟an), dan nama lain
dari al-Fatihah seperti Ummul Kitab (Induk al-Qur‟an), as-Sab‟ul Matsani (Tujuh yang
berulang-ulang), Suratul hamdi (Surat al-hamdu), dll.
Pengertian ayat :
Alhamdu : berarti memuji dengan segala sesuatu yang baik kepada Allah,
Pemberi kebaikan.
Allah : nama bagi Zat Yang maha suci, yang Wajibul Wujud, yang
memiliki kebesaran dan keindahan.
Al-Rabb : Pelindung, Pengayom, Yang Dipertuhankan, Pemilik dan Pendidik.
Al-Alamin : bentuk jama‟ dari kata „alam‟ yang berarti „semuaalam wujud
selain Allah „Azza wa Jalla
Ayat al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alāmīn”, menetapkan bahwasanya hanya Allah-lah
semata yang beroleh pujian. Siapa saja selain Allah tidaklah patut menyaingi-Nya dalam
pujian itu. Tidak seorangpun berhak memperooleh pujian, melainkan Allah-lah pangkal
sumbernya dan daripada-Nya asal datangnya.
Ayat al-Hamdu, menetapkan bahwasanya berhaknya Allah secara mutlak dan
menyeluruh atas pujian itu karena Dia-lah semata-mata Rabbu‟Alamin, pengayom Pemilik
semesta alam. Pemeliharaan-Nya dan asuhan-Nya meliputi semua tingkat kejadian dan
segenap segi yang bertalian dengan zat, cirri, wujud peneguh dan bermanfaat serta
pemanfaatannya.

Penjelasan
Surat-surat yang dimulai dengan al-Hamdu di dalam al-Qur‟an
Di dalam al-Qur‟an selain surah al-Fatihah terdapat empat buah surah lagi yang
masing-masing dimulai dengan kalimat al-Hamdu Lillah keempat surah itu ialah: al-An‟am,
al-Kahfi, Saba‟ dan surah Fathir. Keempat surah tersebut berkisar sekitar penjelasan tentang
ketuhanan Allah swt terhadap alam inu dari kedua segi, yakni dari segi krreatif dan
pensyari‟atan. Tetapi al-Fatihah lah yang mengambil bahagian khusus, mengijmal
keterangannya tentang pengaturan Allah terhadap alam, sedang surah yang empat tersebut
masing-masing memberikan tafshil terhadap kandungan surahal-fatihah.

5
‫الرحمه الرحيم‬
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat kedua dari surah al-Fatihah, ia berisikan dua nama yang mulia, Asmaul Husna,
yakni “ar-Rahmna danar-Rahim”. Ada yang berpendapat bahwa “ar-Rahman” berarti Yang
menganugerahkan nikmat yang besar, sedang “ar-Rahim” berarti Yang menganugerahkan
nikmat yang serba halus. Mufassir memberikan pengertian “ar-Rahman” sebagai Pemberi
nikmat kepada semua makhluk, sedangkan “ar-rahim” Pemberi nikmat kepada orang-orang
yang beriman.
Sebahagian golongan mutaakhirin berpedapat makna „ar-Rahman” adalah sifat dzat
yang menunjuk kepada pengertian “sumber asal dari rahmat dan insane”, sedangkan “ar-
Rahim” adalah sifat fi‟il yang menunjuk kepada pengertian “sampainya dan terlimpahnya
rahmat dan ihsan kepada yang diberi rahmat”. Kata “ar-Rahman” tidak pernah disebut di
dalam al-Qur‟an, kecuali dalam arti nama sifat yang lazim dikenakan kepada nama dzat.
Contohnya dalam surah al-Isra‟/110
۟ ‫وا ٱلرهحْ َٰم َه ۖ أَيًّّا هما تَ ْد ُع‬
‫وا فَلَهُ ْٱْلَ ْس َمآ ُء ْٱل ُح ْسن ََٰى‬ ۟ ‫ٱَّللَ أَو ٱ ْد ُع‬ ۟
َ ِ ‫قُ ِل ٱ ْد ُعوا ه‬
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)

Sebaliknya kata” ar-Rahim” banyak digunakan di dalam al-Qur‟an sebagai sifat fi‟il, dan
dibawakan dalam uslub yang menunjuk kepada makna “menjalarnya dan tterlimpahnya nikmat
kepada yang diberi nikmat”, contoh surah al-Baqarah/143

‫هحي ٌم‬ ٌ ‫اس لَ َر ُء‬


ِ ‫وف ر‬ ‫ِإ هن ه‬
ِ ‫ٱَّللَ ِبٱلنه‬

Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

H. Sumbangan Pemikiran
Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut memiliki pemikiran yang sangat relevan
untuk perkembangan kehidupan ummat pada masanya. Beliau adalah seorang ahli fiqih yang
berilmu dan berpandanagan luas. Kedalaman ilmu dan keluasan pandangannya
menyebabkannya mampu mengemukakan hukum-hukum Islam yang relevan dengan
kebutuhan manusia dan kehendak zamannya. Pendapat-pendaptnya antara lain bahwa :
1. Inseminasi (pembuahan pada hewan) adalah sah dan tidak dosa bila terjadi dengan air
mani suami sendiri.
2. Keuntungan bank tabungan pos adalah halal
3. Islam membolehkan pengaturan kelahiran, tetapi bukan membatasinya.
Di samping memiliki pandangan yang luas dalam ilmu fiqih, beliau juga seorang ahli
tafsir yang melaksanakan penafsirkan langsung pada al-Qur‟an dengan mengumpulkan ayat-
ayat tentang suatu masalah, lalu ayat itu ditafsirkannya sebagai jawaban atas suatu masalah
atau dikenal dengan metode tafsir maudu’i (tafsir tematis). Salah satu karyanya (al-Qur’an
wa al-Mar’ah) sehingga beliau dikenal sebagai salah seorang pelopor metode tafsir maudu’i,

6
metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qu‟an
untuk menjawab problema manusia abad modern.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya,
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi
dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-
tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang
kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388
M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut.
Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama,
masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena
tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat
yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu
masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara
pendapat yang keliru yang tidak ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena
ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat
lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi
karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date",
dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan
firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum
dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang
mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Beliau mengatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari orang Islam pada
jaman dulu adalah sesungguhnya termotifasi untuk menggali dan memahami pesan yang
terkandung dalam al-Qur‟an. Maka ilmu Nahwu yang berguna menjaga lisan dari berucap
salah adalah untuk menjaga kebenaran dalam mengucapkan lafal-lafal al-Qur‟an, Ilmu
Balaghoh yang berguna untuk memperjelas rahasia-rahasia yang terkandung dalam bahasa
arab dan memperlihatkan sisi keindahannya adalah untuk menjelaskan sisi-sisi kemukjizatan
dalam al-Qur‟an dan menyingkap rahasia-rahasia kesusastraan yang terkandung didalam al-
Qur‟an. Ilmu Tajwid dan Qira‟at berguna untuk menjaga baca‟an dan lahjat al-Qur‟an, Tafsir
diperuntukkan guna menjelaskan makna dan mengetahiu pesan yang terkandung dalam al-
Qur‟an, Fiqih untuh menggali hukum yang terkandung didalamnya, Ilmu Kalam untuk
menjelaskan pesan yang dibawa al-Qur‟an tentang aqidah dan dasar-dasar agama, begitu juga
dengan berbagai disiplin ilmu tentang pengetahuan alam, astronomi, dan bahkan ilmu
kedokteran.

I. Pelopor Penerapan Tafsir Tematis


Dalam hal kebebasan beragama, ia melihat hal itu sebagai hal yang harus dijamin
dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dia adalah
salah seorang ulama dan pemikir Islam yang pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar
Mesir. Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode
tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama
untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini.
Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu
yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk
menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat
manusia akan makin dekat dengan sang Khalik.

7
Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep
yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam
pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika
zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah
yang karenanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup. "Islam
memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan dalam
konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam memberikan kebebasan
berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya,"
ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah.
Syaltut dikenal pula dengan salah satu karyanya menyangkut penafsiran ayat-ayat
yang berhubungan dengan wanita yakni Alquran wa al-Mar'ah, sehingga dia dipandang
sebagai salah seorang pelopor tafsir maududi (tafsir tematis) atau metode tafsir yang
dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan Alquran guna menjawab
problema manusia abad modern.
Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam
adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan
diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian
keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhan-nya yang satu dan
Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran
manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas.
Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa
ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang
diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh
kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional.
Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963.
Pengabdian dan sumbangsihnya dalam memajukan Universitas Al-Azhar maupun dalam
pemikiran keislaman akan selalu dikenang dan dijadikan pedoman guna mewujudkan
peningkatan kualitas sumber daya umat Islam pada masa kini dan mendatang.
Beliau tidak hanya memperlihatkan semangat dan peranan besar kaum muslimin
dalam memaparkan pelayanan kaum muslimin terhadap al-Qur‟an, akan tetapi beliau juga
mengingatkan kita ketika hendak menafsiri al-Qur‟an, untuk mensucikan al-Qur‟an dari dua
hal :
1. Politisasi ayat-ayat al-Qur‟an untuk menguatkan pendapat golongan tertentu.
Seperti ketika suatu golongan menggunakan ayat (wabi al-Najmi hum yahtaduun) sebagai
dalil bahwa golongan/partai merekalah yang mendapatkan petunjuk (yang menggunakan
lambang bintang)
2. Penggalian ilmu-ilmu empiris dan pengetahuan teoritis kontemporer yang diambil dari al-
Qur‟an untuk membenarkan teori tersebut.

Seperti apa yang dilakukan para ilmuwan ketika mereka mengatakan bahwa teori
yang dikemukakan oleh Darwin, itu telah dituturkan oleh al-Qur‟an semenjak ratusan tahun
yang lalu. Seperti halnya ketika mereka melihat al-Qur‟an berbicara tentang gunung,
tumbuh-tubuhan, hewan-hewan dan segala sesuatu tentang alam, maka mereka akan berkata
bahwa inilah al-Qur‟an yang telah membahas permasalahan alam dan membenarkan teori-
teori para ilmuwan, sesungguhnya al-Qur‟an adalah kitab yang membahas sains dengan
dalam.

8
Hal tersebut diatas menurut beliau adalah kesalahan yang fatal, karna al-Qur‟an
diturunkan bukan untuk berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan kontemporer dan
ilmu-ilmu empiris, yang hanya akan membawa al-Qur‟an dalam perdebatan panjang tak
berkesudahan, karna teori-teori dan ilmu yang bersifat empiris tidak akan ada pendapat yang
tetap dan juga pendapat akhir, karna mungkin cocok untuk waktu sekarang tapi tidak untuk
besok. Maka beliau menekankan pada siapapun yang hendak menafsirkan al-Qur‟an untuk
memurnikan niatnya hanya untuk ridlo Allah, dan bukan karna hawa nafsu yang sarat dengan
kepentingan duniawi.

J. Karya-karya Mahmūd Shāltut


Beliau adalah seorang yang tidak pernah diam, beliau merupakan seorang aktifis
gerakan, produktif dalam ide dan pemikirannya, juga ahli dalam berdiplomasi, ia lebih
menyukai hal-hal yang inovatif. Aktifitasnya sangat menonjol di bidang riset-riset
keagamaan, seminar ilmiah. Beliau produktif dalam menulis, diantara goresan-goresan pena
beliau yang terkenal adalah:
1. Tafsir al-Qur‟an al-Karim al-Ajza‟ al-Ashrata al-Ula8
Kitab tafsir ini merupakan karya beliau yang fenomenal, yang sedang dibahas di
dalam makalah ini. Kitab tafsir ini memakai metode yang berbeda dari kebanyakan tafsir-
tafsir sebelumnya, metode yang beliau gunakan dalam menulis tafsirnya adalah metode
maudhu‟I (tematik). Di dalam kitab tafsir ini, hanya sampai surah ke-9 (surah at-Taubah)
yang beliau tafsirkan, dan sudah diterjumahkan ke dalam bahsa Indonesia.
2. Al-Islam al-Aqidah wa al-Shari‟ah9
Dalam karyanya ini, beliau mengemukakan bahwa syari‟ah dan akidah
merupakan satu system yang tidak bisa dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang
mendorong manusia untuk menjalankan syari‟ah Allah. atau sebaliknya, menjalankan
syari‟ah Allah tetapi tidak berakidah maka tidak dianggap seorang muslim dan juga tidak
dihukumi islam. Kedudukan akidah dalam islam sebagai fondasi yang dibangun
diatasnya peraturan-peraturan agama (syari‟ah). Sedangkan syari‟ah merupakan hasil
yang dilahirkan dari akidah. Dalam masalah beragama, beliau menilai bahwa perbedaan
agama bukan berarti kita dibolehkan untuk bermusuhan dengan pemeluk agama lain
ataupun dilarang untuk melakukan kontak hubungan social.Karena itu, menurutnya, islam
membolehkan untuk melakukan perjanjian ataupun kontak hubungan social dengan
pemeluk agama lain selama tidak menyentuh hal-hal yang mendasar dari ideology islam,
ataupun membahayakan kemaslahatan terhadap penyebaran dakwah islam. Di dalam
karyanya ini pun beliau membahas sumber-sumber akidah dan syariah juga cabang-
cabang akidah.
3. Al-Qur‟an wa al-Mar‟ah (penafsiran terhadap ayat-ayat yang bertutur tentang wanita)10
4. Manhaj al-Qur‟an fi bina al-Mujtama‟
5. Min Hadyi al-Qur‟an : al-Thariqah al-Muthla fi Tafsir al-Qur‟an
6. Ila al-Qur‟an al-Karim

8
Kitab aslinya yang kami temukan ada 1 jilid dari al-Fatihah sampai al-Taubah. Dan terjemahannya terdiri
dari 4 jilid, Mahmud Shaltut, Tafsir al-Qur‟an al- Qarim (Pendekatan Shaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟an),
Bandung: CV.Diponogoro, 1989
9
Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Dar al-Syuruq: 1400 H (dalam versi B. Indonesia
diterbitkan diantaranya oleh Pustaka Amani: Jakarta 1986 ).
10
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir, h, 179

9
7. Muqaranah al-Madzahib fi al-Fiqh (Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh).11
Kitab ini merupakan satu dari sekian banyak karya beliau. Dalam kitab ini
membahas perbandingan mazhab-mazhab fiqih (terutama mazhab yang empat yang telah
disepakati). Dalam pembahasannya, beliau mengemukakan sebuah masalah yang
kemudian dikemukakanlah pendapat mazhab-mazhab tersebut dan disertai dalil-dalil
yang mendukung mazhab mereka. Karena menurut beliau membandingkan adalah wajib
bagi orang yang mampu dan beramal dengan hasilnya juga wajib, tidak dapat dicegah
oleh ulama-ulama mutaakhirin yang tidak berdasarkan kepada suatu dalil pun yang
menunjukkan kesahihannya. Selain itu, membandingkan adalah jalan untuk mengetahui
cara-cara para imam berijtihad dan juga jalan untuk dapat memilih hukum yang dapat
menentramkan jiwa.
8. Al- Fatawa (fatwa-fatwa)12
Karya ini merupakan fatwa-fatwa beliau yang dikumpulkan dan diterbitkan dalam
bentuk kitab. Sebagai seorang ulama besar, beliau mempunyai pandangan
yang luas dan memiliki alat-alat (pengetahuan) yang cukup untuk berijtihad, banyak
orang-orang yang menannyakan kepadanya soal-soal (masalah) peribadatan,
kemasyarakatan, dan lain-lain. Dalam memberikan fatwa, beliau selalu berhubungan
(menghubungkan) dengan nash-nash yang tercantum dalam kitab al-Qur‟an dan hadis-
hadis yang sahih. Dengan demikian beliau terhindar dari perselisihan yang terdapat
diantara ulama-ulama mazhab, sebagaimana beliau terhindar dari sifat taqlid (ikut-ikutan)
terhadap suatu kitab atau pengarang tertentu.
Salah satu fatwanya yang sangat monumental dan berkesan sekali yaitu beliau
menghalalkan umat Muslim untuk mengikuti mazhab Syi‟ah.

11
Dalam terjemahan ditulis oleh Prof Mahmud Shaltut dan Prof Shaik M. Ali as-Sayis, Perbandingan
Mazhab Dalam masalah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 (bisa dilihat di PU UIN Sharif Hidayatullah)
12
Lihat: Mahmud Syaltut, al-Fatawa. Dar al-Qalam. (dalam versi B. Indonesia: Mahmud Syaltut, fatwa-
fatwa. Jakarta: Bulan Bintang) diterjemahkan oleh: Bustami A. Gani dan Zaini Dahlan M.A

10

Anda mungkin juga menyukai