Anda di halaman 1dari 85

Asuhan Keperawatan Pada Tn.

A Dengan Contusio Cerebri

OLEH :
Listia Rahman Mayhesti
201030200011

PROGRAM PROFESI NERS


STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHLUAN CONTUSIO CEREBRI

A. Anatomi dan Fisiologi

1. Otak

Otak merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ.

Kita mengetahui bahwa seluruh angan-angan, keinginan dan nafsu,

perencanaan dan ingatan merupakan hasil akhir dari aktivitas otak.

Otak manusia berisi hampir 98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10

miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional. Kisaran

berat otak sekitar 1,4 kg dan mempunyai volume sekitar 1200 cc (71 in).

Ada pertimbangan variasi akan besarnya ukuran otak, yaitu otak laki-laki

lebih besar 10% dari perempuan dan tidak ada korelasi yang berarti antara

besar otak dengan tingkat intelejensi. Seseorang dengan ukuran otak kecil

(750 cc) dan ukuran otak besar (2100 cc) secara fungsional adalah sama

(simon dan Scuster, 1998 dalam Muttaqin, Arif. 2008).

Otak lebih kompleks daripada batang otak. Otak manusia kira-kira

merupakan 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima 15% dari

curah jantung, memerlukan sekiar 20% pemakaian oksigen tubuh dan

sekitar 400 kkal energi setiap harinya.


Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam

seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme

oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan akan

oksigenisasi dan glukosa melalui aliran darah adalah konstan.

Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa ada

masaistirahat. Bila aliran darah terhenti selama 10 detik saja, maka

kesdaran dapat hilang, dan penghentian dalam beberapa menit saja dapat

menimbulkan kerusakan permanen. Hipoglikemia yang berkepanjangan

juga merusak jaringan otak. Aktivitas otak yang tidak pernah berhenti ini

berkaitan degan fungsinya yang kritis sebagai pusat integrasi dan

koordinasi organ-organ sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, dan

sebagai pengatur informasi yang masuk, menyimpan pengalaman, impuls

yang keluar dan tingkah laku (Price, 1995 dalam Mutaqin, Arif. 2008).

Secara ringkas fisiologis dari otak dapat dilihat pada gambar 2-1.
2. Pelindung Otak

Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan

tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen,

yaitu pia mater, arakhnoid, dan dura mater.


Masing-masing merupakan suatu lapisan yang terpisah dan kontinu.

Antara lapisan pia mater dan arakhnoid terdapat penghubung yang disebut

trabekula. Dura mater juga disebut pakhimening, sedangkan pia mater dan

arakhnoid bersama-sama disebut leptomening.

3. Pria Meter

Pia mater langsung berhubungan dengan otak dan jaringan spinal, dan

mengikuti kontur struktur eksternal otak dan jaringan spianl. Pia mater

merupakan lapisan vaskular, tempat pembuluh- pembuluh darah berjalan

menuju struktur dalam SSP untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf. Pia

mater meluas ke bagian bawah medula spinalis (spinal cord), yang

seperti telah disebutkan sebelumnya, berakhir kira-kira setinggi bagian

bawah Lumbal.
4. Arakhnoid

Arakhnoid merupakan suatu membran fibrosa yang tipis, halus dan

avaskular. Arakhnoid meliputi otak da medula spinalis, tetapi tidak

mengikuti kontur luar seperti pia mater.

Daerah antara araknoid dan pia mater disebut ruang subarakhnoid di mana

terdapat arteri, vena serebri, dan trabekula arakhnoid, dan cairan

serebrospinal yang membasahi SSP. Ruang arakhnoid ini mempunyai

pelebaran-pelebaran yang disebut sisterna. Salah satu pelebaran yang

terbesar adalah sisterna lumbalis didaerah lumbal kolumna vertebralis.

Bagian bawah lumbal (biasanya antara L3-L4 atau L4-L5) merupakan

tempat yang biasanya digunakan untuk mendapatkan cairan serebrospinal

untuk pemeriksaan lumbal pungsi.

5. Dura Meter

Dura mater merupakan suatu jaringan liat, tidak elastis, dan mirip kulit

sapi, yang terdiri atas dua lapisan bagian luar yang disebut duraendosteal

dan bagian dalam yang disebut dura meningeal. Lapisan endosteal


membentuk bagian dalam periosteum tengkorak dan berlanjut sebagai

periosteum yang membatasi kanalis vertebralis medula spinalis.

Pada kerusakan otakdapat terjadi perdarahan di ruang ekstra dural atau

epidural (antara duraendosteal dan tulang tengkorak), ruang subdural

(antara dura meningeal dan arakhnoid), ruang subaraknoid (antar

arakhnoid dan pia mater), atau dibawah pia mater kedalam otak sendiri.

6. Cairan serebrospinal

Dalam setiap ventrikel terdapat struktur sekresi khusus yang dinamakan

pleksus koroideus. Pleksus koroideus inilah yang menyekresi CSS yang

jernih dan tak berwarna, yang merupakan bantal cairan pelndungdisekitar

SSP. CSS terdiri atas air, elektrolit, gas oksigen dan karbondioksida yang

terlarut, glukosa beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein

(Price, 1995 dalam Muttaqin, 2008).

Cairan ini berbeda dari cairan ekstraseluler lainnya karena cairan ini

mengandung kadar natrium dan klorida yang lebih tinggi, sedangkan

kadar glukosa dan kalium lebih rendah, ini menunjukkan bahwa

pembentukannya lebih bersifat sekresi bukan hanya filtrasi. Setelah

mencapai ruang subaraknoid, maka CSS akan bersirkulasi disekitar otak


dan medula spinalis, lalu keluar menuju sistem vaskular (SSP tidak

mengandung kelenjar getah bening). Sebagian besar CSS direabsorbsi

kedalam darah melalui struktur khusus yang disebut villi arakhnoids atau

granulasio arakhnoids, yang menonjol dari ruang subarakhnoid ke sinus

sagitalis superior otak. CSS diproduksi dan direabsorbsi terus-menerus

dalam SSP. Volume total cSS di seluruh rongga serebrospinal adalah 125

mL, sedangkan kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500-700 l per

hari. Adanya tekanan oleh cairan cerebrospinal mempengaruhi kecepatan

proses pembentukan cairan dan resistensi reabsorbsi oleh villi arakhnoids.

Tekanan CSS sering diukur pada saat lumbal pungsi dan pada posisi

terlentang biasanya berkisar antara 130 mmH2O (Price, 1999 dalam

Muttaqin, 2008).

Fungsi CSS antara lain:

1) Sebagai alas atau bantalan sistem neuron

2) Sebagai penyangga dari otak. Secara anatomis otak berada

dalam rongga kranium dan mengapung didalam cairan

cerebrospinal. Otak manusia mempunyai berat sekitar 1400

g dan hanya seberat 50 g apabila mendapat sanggahan dari

CSS.
3) Transportasi nutrisi, pesan kimia dan produk sisa.

7. Suplai Darah

SSP seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat tergantung pada aliran

darah yang memadai untuk nutrisidan pembuangan sisa-sisa

metabolismenya. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan

pembuluh darah yang bercabang-cabang, saing berhubungan erat sehingga

dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Suplai darah ini

dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis

interna, yang memiliki cabang-cabang yang beranastomosis membentuk

sirkulus arteriosus serebri Willisi.

Aliran vena otak tidak selalu paralele dengan suplaidarah arteri;

pembuluh vena meninggalkan otak melalui sinus dura mater yang besar

dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. Arteri

medula spinalis dan sistem vena paralel satu sama lain dan mempunyai

hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplai darah ke

jaringan. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis

komunis kira-kira setinggi kartilago krikoid.

Arteri karotis komunis kiri langsung bercabang dari arkus aorta,

sedangkan arteri karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika


(merupakan sisa dari arkus aorta kanan yang panjangnya1 inchi). Arteri

karotis eksterna memperdarahi wajah, tiroid, lidah dan faring. Cabang dari

arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media, memperdarahi

struktur-struktur dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang

yang besar ke dura mater. Arteri karotis interna yang sedikit berdilatasi

tepat setelah percabangannya disebut sinus karotikus. Arteri serebri

anterior memperdarahi pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan

basal ganglia, bagian kapsula interna dan korpus kalosum, serta bagian-

bagian 9terutama medial), lobus frontalis dan parietalis, termasuk korteks

somestetik dan korteks motorik. Bila arteri serebri anterior mengalami

sumbatan pada cabang utamanya, maka kan terjadi hemiplegia

kontralateral yang lebih berat dibagian kaki dibandingkan bagian tangan.

Paralisis bilateral dan gangguan sensorik timbul bila terjadi sumbatan total

pada kedua arteri serebri anterior. Arteri cerebri media menyuplai darah

untuk bagian lobus temporalis dan parietalis, dan frontalis korteks cerebri.

Apabila arteri media tersumbat didekat percabangan kortikal dapat

menimbulkan afasia berat bila yang terkena hemisfer cerebri dominan

bahasa. Selain itu juga mengakibatkan kehilangan sensasi posisi dan

diskriminasi taktil dua titik kontralateral yang berat, terutama ekstremitas

atas dan wajah (Price, 1995 dalam Muttaqin 2008)


8. Serebrum

Area atau wilayah terbesar dari otak adalah serebrum. Substansia grisea

(gray matter) dapat ditemukan pada korteks serebri dan nukleus serebri.

Substansia alba (white matter) terdapat pada korteks neural dan sekitar

nukleus. Disini terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan

sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, ingatan dan

intelejensi. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dibagi oleh

suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura longitudinalis mayor.

Bagian luar hemisfer serebri terdiri atas substansia grisea yang disebut

sebagai korteks serebri, terletak diatas substansia alba yang merupakan

bagian dalam (inti) hemisfer dan disebut pusat medula. Kedua hemisfer

saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus

kalosum.

Didalam substansia alba terdapat kumpulan massa substansia grisea yang

disebut ganglia basalis. Pusat aktivitas sensorik dan motorik pada masing-

masing hemisfer dirangkap dua, dan sebagian besar berkaitan dengan

bagian tubuh yang berlawanan. Hemisfer serebri kanan mengatur bagian

tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri mengatur bagian tubuh kanan.

Kosnsep fungsional ini disebut pengendalian kontralateral.


9. Korteks Serebri

Korteks serebri atau subtansia grisea dari serebrum mempunyai banyak

lipatan yang disebut giri (tunggal girus). Susunan seperti ini

memungkinkan permukaan otak menjadi luas (diperkirakan luasnya 2200

cm2) untuk berada didalam rongga tengkorak yang sempat.

a) Lobus frontalis

Lobus frontalis adalah area dari korteks serebrum yang terletak

disepan sulkus sentralis (suatu fisura atau alur) dan didasar sulkus

lateralis. Daerah broca terletak di lobus frontalis dan mengendalikan

ekspresi bicara, bayak area asosiasi di lobus frontalis menerima

informasi dari seluruh otak dan menggabungkan informasi- informasi

tersebut menjadi pikiran, rencana, dan prilaku. Lobus frontalis

bertanggung jawab untuk prilaku bertujuan, menentukan keputusan

moral, dan pemikiran yang kompleks. Lobus frontalis memodifikasi

dorongan-dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem limbik dan

refleks-refleks vegetatif dari batang otak. Badan-badan sel didaerah

motorik primer lobus frontalis mengirim tonjolan-tonjolan akson ke

medula spinalis, yang sebagian besar berjalan dalam jalur yang

disebut sebagai sistem piramidalis.

b) Lobus Parietalis
Lobus parietalis adalah daerah korteks yang terletak di belakang

sulkus sentralis, didasar fisura lateralis, dan meluas ke belakang

menuju fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan daerah

sensorik primer otak untuk sensasi peraba dan pendengaran.

c) Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis adalah lobus posterior korteks serebrum. Lobus ini

terletak disebelah posterior dari lobus parietalis dan di dasar fisura

parieto-oksipitalis, yang memisahkannya dari serebellum. Lobus ini

adalah pusat asosiasi visual utama. Lobus ini menerima informasi

yang berasal dari retina mata.

d) Lobus Tempolaris

Lobus temporais merupakan bagian korteks serebrum yang berjalan

kebawah ari fisura lateralis dan kesebelah posterior dari parieto-

oksipitalis. Lobus temporalis adalah area asosiasi primer untuk

informasi auditorik dan mencakup area Wernicke tempat interpretasi

bahasa. Lobus ini juga terlibat dalam interpretasi bau dan

penyimpanan ingatan.

10. Serebellum

Serebellum terletak didalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh dura

mater yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang memisahkannya

dari bagian posterior serebrum, serebrum terdiri atas bagian tengah,

vermis dan dua hemisfer lateral. Serebellum dihubungkan dengan batang


otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pendikuli. Semua aktifitas

serebellum berada dibawah kesadaran. Fungsi utama serebellum:

a. Mengatur otot-otot postural tubuh. Serebellum mengoordinasi

penyesuaian secara tepat dan otomatis dengan memelihara

keseimbangan tubuh.

b. Melakukan program akan gerakan-gerakan pada keadaan

sadar dan bawah sadar.

11. Batang Otak

Kearah kaudal batang otak berlanjut sebagai medula spinalis dan ke

bagian rostral berhubungan dengan pusat-pusat otak yang lebih tinggi.

Bagian-bagian otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons, dan

mesensefalon (otak tengah). Batang otak merupakan pusat transimiter dan

refleks dari SSP.

12. Pons

Pons (dalambahasa latin berarti “jembatan”) berbentuk jembatan serabut

yang menghubungkan mesensefalon disebelah atas dengan medula

oblongata dibawah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang

penting pada jaras kortikoserebralis yang menyatukan hemisfer serebri dan


cerebellum. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernafasan.

Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis)

terdapat di sini.

13. Medula Oblongata

Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung,

vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur,

dan muntah.

14. Diensefalon

Fossa bagian tengah atau diensefalon berisi talamus,

hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.Talamus berada pada salah satu sisi

pada sepertiga ventrikel dan aktivitas primernya sebagai pusat

penyambung sensasi bau yang diterima. Semua impuls memori,

sensasi dan nyeri melalui bagian ini.


B. Definisi

Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak

akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara

makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya

menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik

otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar

selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis

akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didaptkan

daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri

menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah

yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut

“Pulp brain”.

Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa

prinsip pada trauma kepala :

a. Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya

elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.

b. Bila daya / toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur

c. Berat / ringannya cedera tergantung pada :

1) Lokasi yang terpengaruh :

 Cedera kulit.
 Cedera jaringan tulang / tengkorak.

 Cedera jaringan otak.

2) Keadaan kepala saat terjadi benturan.

a). Masalah utama adalah terjadinya peningkatan

tekanan intrakranial (PTIK)

b). TIK dipertahankan oleh 3 komponen :

 Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).

 Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).

 Volume LCS ( 75 - 150 ml).

2. Klasifikasi

Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,

tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :

a. Cidera otak primer

Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari

trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.

b. Cidera otak sekunder

Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,

metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.


Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala

yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai

klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The

Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma

Glasgow (Glasgow coma scale).

Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma

scale (GCS)

Penentuan Keparahan Deskripsi


Minor/ Ringan GCS 13 – 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi

kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak

ada kontusia cerebral, hematoma


Sedang GCS 9 – 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30

menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur

tengkorak.
Berat GCS 3 – 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari

24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau

hematoma intrakranial
Glasgow coma scale (GCS)

Membuka Mata
Spontan 4

Terhadap rangsang suara 3

Terhadap nyeri 2

Tidak ada 1
Respon Verbal

Orientasi baik 5

Orientasi terganggu 4

Kata-kata tidak jelas 3

Suara Tidak jelas 2

Tidak ada respon 1


Respon Motorik

Mampu bergerak 6

Melokalisasi nyeri 5

Fleksi menarik 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2

Tidak ada respon 1


Total 3 - 15

Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar

dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :

a. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung

kurang dari 30 menit.


b. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30

menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.

c. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24

jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran

ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas.

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah GCS saat masuk rumah sakit

merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).

3. Tipe

a. Cidera kepala terbuka

1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi

durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak

menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.

2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media

berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan

epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering

menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.

3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala

bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa

anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe)

dan adanya brill hematom (raccon eye).


4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih

jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior.

Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang

yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.

5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus

akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3

hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os

mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari

telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak

tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu

sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering

menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan

robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini

dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran

saraf (nerve pathway).

b. Cidera kepala tertutup

1) Komotio serebri (gegar otak)

2) Edema serebri traumatic

3) Kontusio serebri

4) Perdarahan Intrakranial
 Perdarahan epidural

 Perdarahan Subdural

 Perdarahan subarahnoid

Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri

meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan

cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal,

walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan

serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral

traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa

jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral.

C. Etiologi dan Faktor Resiko

1. Etiologi

a) Kecelakaan

b) Jatuh

c) Trauma (tembakan yang berupa trauma tembus dan pukulan langsung

pada kepala)

2. Faktor Resiko

a) Kecelakaan kendaraan bermotor

b) Olahraga dan aktifitas fisik

c) Serangan fisik
D. Patofisiologi dan Pathway

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam

jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun

neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk

terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga

menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang

destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh

karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan

blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat

blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran

hilang selama blockade reversible berlangsung

Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate

menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky

yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si

penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-

deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagina

tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan

densitas anar tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang

densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang

kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap

berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi


gesekan anatera jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya

terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom intra serebral,

hematom intravertikal.kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan

deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi

diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi

pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral

terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan

nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat

vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa

timbul.

Pathway contusio cerebral

Kecelakaan

Jatuh

Trauma persalinan

Cidera kepala TIK - oedem


-hematom

Respon biologi Hypoxemia


Kelainan metabolisme

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio Nyeri akut

Laserasi Kerusakan cel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin

Sistemik & TD   sekresi asam lambung

O2   gangguan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah

Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler Disfungsi motilitas gastrointestinal

Resiko perfusi oedema paru  cardiac out put 

cerebral tidak efektif

Difusi O2 terhambat

Pola napas tidak efektif  hipoksemia, hiperkapnea

E. Manifestasi Klinik

1. Sakit kepala persisten selama trauma

2. Perubahan perilaku

3. Kebingungan
4. Tinnitus

5. Kehilangan keseimbangan dan koordinasi

6. Pidato yang tidak normal

7. Mual dan muntah

F. Komplikasi

1. Peningkatan TIK,

2. Iskemia,

3. Infark,

4. Kerusakan otak irreversible,

5. Kematian,

6. Paralisis saraf fokal seperti anomsia (tidak dapat mencium aroma),

7. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, septicemia),

8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka,osteomielitis,meningitis, ventikulitis,

abses otak),

9. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi).

G. Penatalaksanaan

1. Obat-obatan

Penderita cedera kepala ringan biasanya tidak memerlukan tindakan medis

khusus dikarenakan kondisinya dapat membaik dengan beristirahat. Untuk


meredakan rasa nyeri, penderita dianjurkan untuk mengonsumsi paracetamol.

Disarankan untuk tidak mengonsumsi obat antiinfalamasi, seperti ibuprofen

atau aspirin, tanpa instruksi dokter karena dikhawatirkan dapat meningkatkan

potensi perdarahan dalam otak.

Jika cedera kepala tergolong sedang atau berat, dokter akan memberikan obat

antikejang untuk menekan risiko kejang yang biasa terjadi seminggu setelah

trauma, atau diuretik untuk meredakan tekanan dalam otak dengan

mengeluarkan cairan dari tubuh.

Dalam kasus yang tergolong parah, seperti kerusakan pada pembuluh darah,

dokter mungkin akan memberikan obat penenang yang dapat membuat pasien

masuk dalam kondisi koma sementara (induced coma). Hal ini dilakukan

untuk meredakan tekanan dan beban kerja otak yang tidak dapat menerima

oksigen dan nutrisi seperti biasanya.

2. Terapi

Bagi pasien cedera kepala tingkat sedang hingga berat, terapi atau rehabilitasi

mungkin diperlukan untuk memperbaiki dan mengembalikan kondisi fisik dan

fungsi saraf. Serangkaian terapi yang biasa disarankan meliputi:

a) Fisioterapi untuk mengembalikan fungsi tubuh pasca trauma.

b) Terapi saraf untuk membantu memperbaiki disfungsi kognitif pasien dan

melatih pasien dalam mengontrol emosi serta perilaku.


c) Terapi okupasi untuk membantu pasien kembali menyesuaikan diri dalam

menjalankan pekerjaan sehari-hari.

d) Terapi wicara untuk membantu memperbaiki kemampuan berbicara dan

berkomunikasi.

e) Terapi rekreasi untuk melatih pasien menikmati waktu senggangnya dan

mengembangkan kemampuan hubungan sosial melalui kegiatan-kegiatan

yang menyenangkan.

f) Dokter biasanya akan mengedukasi keluarga dan kerabat pasien mengenai

terapi lanjutan yang dapat dilakukan di rumah setelah pasien keluar dari

rumah sakit.

3. Operasi

Tindakan operasi umumnya disarankan dalam kondisi darurat untuk

menghindari kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak pasien. Beberapa

tindakan yang biasa dilakukan adalah:

a) Membuka tulang tengkorak.  Tindakan ini dilakukan untuk meredakan

tekanan pada otak selain juga dengan mengeluarkan cairan tulang

belakang otak (CSF), sehingga memberikan ruang untuk

pembengkakan pada jaringan otak.

b) Mengangkat bekuan darah (hematoma). Tindakan ini dilakukan untuk

menangani penekanan pada otak oleh gumpalan darah.

c) Memperbaiki tulang tengkorak yang patah. Tindakan ini dilakukan

untuk memperbaiki kerusakan patah tulang yang parah.


H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan

adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

Indikasi :

Indikasi CT Scan kepala sangat beragam. Secara primer, CT Scan kepala

digunakan untuk tujuan evaluasi edema dan kerusakan jaringan otak, melihat

adanya perdarahan intrakranial serta lokasinya, dan untuk menilai ukuran

besarnya ventrikel otak.

Secara klinis, ada banyak indikasi pemeriksaan CT Scan kepala. Yang paling

sering dilakukan adalah pada keadaan cedera kepala, stroke, sakit kepala,

evaluasi awal space occupying lession (SOL), penurunan kesadaran yang

tidak dapat dijelaskan, kejang, suspek hidrosefalus, hematoma intrakranial,

gangguan psikiatrik, pusing, penyakit vaskular oklusif, dan evaluasi

aneurisma. Selain itu, CT Scan juga dapat digunakan untuk memandu

pelaksanaan biopsi atau operasi otak.

Kontraindikasi :

a) Pasien yang tidak dapat kooperatif terhadap protokol pemeriksaan dan

instruksi menahan nafas

b) Pasien yang terlalu besar untuk muat pada scanner CT


c) Gangguan ginjal, baik gagal ginjal akut maupun penyakit ginjal kronis

d) Hemodinamik tidak stabil dan riwayat hipotensi

e) Riwayat paru reversibel, misalnya asthma (kontraindikasi relatif)

f) Penggunaan rutin inhibitor fosfodiesterase, misalnya sildenafil

g) Penyakit kardiovaskular: stenosis aorta berat, hipertropik

kardiomiopati, gagal jantung dekompensata, Blok Atrioventricular

(AV) signifikan. 

I. Asuhan Keperawatan

1) Melakukan Pengkajian

Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan

sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan

keperawatan yang di hadapi pasien baik fisik, mental, sosial maupun

spiritual dapat ditentukan.tahap ini mencakup tiga kegiatan,yaitu

pengumpulan data,analisis data,dan penentuan masalah kesehatan serta

keperawatan.

1. Pengumpulan data

Tujuan :

Diperoleh data dan informasi mengenai masalah kesehatan

yang ada pada pasien sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus

di ambil untuk mengatasi masalah tersebut yang menyangkut aspek


fisik,mental,sosial dan spiritual serta faktor lingkungan yang

mempengaruhinya. Data tersebut harus akurat dan mudah di analisis.

Jenis data antara lain Data objektif, yaitu data yang diperoleh

melalui suatu pengukuran, pemeriksaan, dan pengamatan, misalnya

suhu tubuh, tekanan darah, serta warna kulit.Data subjekyif, yaitu data

yang diperoleh dari keluhan yang dirasakan pasien, atau dari keluarga

pasien/saksi lain misalnya,kepala pusing,nyeri,dan mual.

Adapun focus dalam pengumpulan data meliputi :

a) Status kesehatan sebelumnya dan sekarang

b) Pola koping sebelumnya dan sekarang

c) Fungsi status sebelumnya dan sekarang

d) Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan

e) Resiko untuk masalah potensial

f) Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien

2. Analisa data

Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan kemampuan

berpikir rasional sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuan.

3. Perumusan masalah

Setelah analisa data dilakukan, dapat dirumuskan beberapa masalah

kesehatan. Masalah kesehatan tersebut ada yang dapat diintervensi

dengan asuhan keperawatan (masalah keperawatan) tetapi ada juga

yang tidak dan lebih memerlukan tindakan medis. Selanjutnya disusun


diagnosis keperawatan sesuai dengan prioritas. Prioritas masalah

ditentukan berdasarkan criteria penting dan segera. Penting mencakup

kegawatan dan apabila tidak diatasi akan menimbulkan komplikasi,

sedangkan segera mencakup waktu misalnya pada pasien stroke yang

tidak sadar maka tindakan harus segera dilakukan untuk mencegah

komplikasi yang lebih parah atau kematian. Prioritas masalah juga

dapat ditentukan berdasarkan hierarki kebutuhan menurut Maslow,

yaitu : Keadaan yang mengancam kehidupan, keadaan yang

mengancam kesehatan, persepsi tentang kesehatan dan keperawatan.

2) Merumuskan Diagnosis Keperawatan

a. Definisi

Diagnosis Keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respon

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang

dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial.

Diagnosis keperawatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi respon

klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan

dengan kesehatan.

Nah, sebagai seorang perawat, kita diharapkan untuk memiliki rentang

perhatian yang luas terhadap berbagai respon yang dilakukan oleh

klien, baik pada saat klien sakit maupun sehat.


Respon-respon tersebut merupakan reaksi terhadap masalah kesehatan

dan proses kehidupan yang dialami klien. Sehingga, diharapkan

perawat mampu menangkap dan berfikir kritis dalam merespon

perilaku tersebut. Masalah kesehatan mengacu pada kepada respon

klien terhadap kondisi sehat-sakit, sedangkan proses kehidupan

mengacu kepada respon klien terhadap kondisi yang terjadi selama

rentang kehidupannya dimulai dari fase pembuahan hingga menjelang

ajal dan meninggal yang membutuhkan diagnosis keperawatan dan

dapat diatasi atau diubah dengan intervensi keperawatan . (Referensi :

Christensen & Kenney, 2009; McFarland & McFarlane, 1997;

Seaback, 2006).

b. Klasifikasi Diagnosis Keperawatan

International Council of Nurses (ICN) sejak tahun 1991 telah

mengembangkan suatu sistem klasifikasi yang disebut dengan

International Classification for Nursing Practice (ICNP). Sistem

klasifikasi ini tidak hanya mencakup klasifikasi intervensi dan tujuan

(outcome) keperawatan saja.

Lebih dari itu, sistem klasifikasi ini disusun untuk

mengharmonisasikan terminologi-terminologi keperawatan yang

digunakan diberbagai negara diantaranya seperti ;


- Clinical Care Classification (CCC), 

- North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), 

- Home Health Care Classification (HHCC), 

- Systematized Nomenclature of Medicine Clinical

Terms (SNOMED CT), 

- International Classification of Functioning, Disability and

Health (ICF), 

- Nursing Diagnosis System of the Centre for Nursing Development

and Research (ZEFP)  

- Omaha System. 

(Referensi : Hardiker et al, 2011, Muller-Staub et al, 2007; Wake

& Coenen, 1998.


c. Jenis Diagnosis

Diagnosis keperawatan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Diagnosis

Negatif dan Diagnosis Positif.

1. Diagnosis Negatif

Menunjukan bahwa klien dalam kondisi sakit atau beresiko

mengalami sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan


mengarahkan pemberian intervensi keperawatan yang bersifat

penyembuhan, pemulihan dan pencegahan.

Diagnosis ini terdiri dari Diagnosis Aktual dan Diagnosis Resiko.

2. Diagnosis Positif

Menunjukan bahwa klien dalam kondisi sehat dan dapat mencapai

kondisi yang lebih sehat atau optimal. Diagnosis ini disebut juga

dengan istilah Diagnosis Promosi Kesehatan (ICNP, 2015; Standar

Praktik Keperawatan Indonesia – PPNI, 2005).

Berikut penjabaran lengkap mengenai macam-macam

diagnosis tersebut diatas (Carpenito, 2013; Potter & Perry,

2013).

1. Diagnosis Aktual

Diagnosis ini menggambarkan respon klien terhadap kondisi

kesehatan atau proses kehidupan yang menyebabkan klien

mengalami masalah kesehatan. Tanda atau gejala mayor dan

minor dapat ditemukan dan divalidasi pada klien secara

langsung.

2. Diagnosis Resiko

Diagnosis ini menggambarkan respon klien terhadap kondisi

kesehatan atau proses kehidupannya yang dapat menyebabkan

klien beresiko mengalami masalah kesehatan.


Dalam penegakan diagnosis ini, tidak akan ditemukan

tanda/gejala mayor ataupun minor pada klien, namun klien

akan memiliki faktor resiko terkait masalah kesehatan yang

mungkin akan dialaminya dikemudian hari.

3. Diagnosis Promosi Kesehatan

Diagnosis ini menggambarkan adanya keinginan dan motivasi

klien untuk meningkatkan kondisi kesehatannya ke tingkat

yang lebih baik atau optimal.

d. Komponen Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan memiliki 2 kompinen utama, yaitu Masalah

(Problem) atau Label Diagnosis dan Indikator Diagnostik.

1. Masalah (Problem)

Masalah merupakan label diagnosis keperawatan yang

menggambarkan inti dari respon klien terhadap kondisi kesehatan

atau proses kehidupannya. Label diagnosis ini terdiri dari

Deskriptor atau penjelas dan Fokus Diagnostik.


Deskriptor merupakan pernyataan yang menjelaskan bagaimana

suatu fokus diagnosis terjadi. Beberapa deskriptor yang digunakan

dalam diagnosis keperawatan diuraikan melalui gambar dibawah

ini.
2. Indikator Diagnostik

Indikator diagnostik terdiri dari penyebab, tanda/gejala, dan faktor

resiko dengan uraian sebagai berikut.

a. Penyebab (Etiology)

Merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status

kesehatan. Etiologi ini dapat mencakup 4 kategori, yaitu;

1) Fisiologis, Biologis atau Psikologis,

2) Efek Terapi/Tindakan,

3) Situasional (lingkungan atau personal)

4) Maturasional

b. Tanda (Sign) dan Gejala (Symptom)

Tanda merupakan data objektif yang diperoleh dari hasil

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan prosedur

diagnostik. Sedangkan gejala merupakan data subjektif yang

diperoleh dari hasil anamnesis atau pengkajian.

Tanda/gejala ini dikelompokan menjadi 2 kategori, yaitu:

1. Tanda/Gejala Mayor: Ditemukan sekitar 80% – 100%

untuk validasi diagnosis.

2. Tanda/Gejala Minor: Tidak harus ditemukan, namun jika

ditemukan dapat mendukung penegakan diagnosis.

c. Faktor Resiko (Risk Factor)


Merupakan kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan

kerentanan klien dalam mengalami masalah kesehatan atau

proses kehidupannya. Indikator diagnosis ini akan berbeda-

beda pada masing-masing macam jenis diagnosis.

1. Pada diagnosis aktual, indikator diagnostiknya terdiri dari

penyebab dan tanda/gejala.

2. Pada diagnosis resiko, tidak memiliki penyebab dan

tanda/gejala, melainkan hanya faktor resiko saja.

3. Pada diagnosis promosi kesehatan, hanya memiliki

tanda/gejala yang menunjukan kesiapan klien untuk

mencapai kondisi yang lebih optimal.

e. Proses Pengkajian Diagnosis Keperawatan

Proses penegakan diagnosis (diagnostic process) adalah suatu proses

yang sistematis yang terdiri dari 3 tahap yaitu, analisis data,

identifikasi masalah dan perumusan diagnosis.


Untuk perawat profesional yang telah berpengalaman, proses ini dapat

dilakukan secara simultan. Namun untuk perawat yang belum

memiliki pengalaman yang memadai, setidaknya diperlukan latihan

dan pembiasaan untuk melakukan proses penegakan diagnosis secara

sistematis.

Proses penegakan diagnosis keperawatan diuraikan sebagai berikut;

1. Analisis Data

Tahap pertama dalam proses penegakan diagnosis keperawatan

adalah Analisis data yang dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut ini.

a. Data dengan nilai normal/rujukan


Data-data yang didapatkan dari pengkajian, bandingkan dengan

nilai-nilai normal dan identifikasi tanda/gejala yang bermakna,

baik tanda/gejala mayor ataupun tanda/gejala minor.

b. Kelompokkan data

Tanda/gejala yang dianggap bermakna, dikelompokan

berdasarkan pola kebutuhan dasar yang meliputi;

1) respirasi,

2) sirkulasi,

3) nutri/cairan,

4) eliminasi,

5) aktivitas/istirahat,

6) neurosensori,

7) reproduksi/seksualitas,

8) nyeri/kenyamanan,

9) integritas ego,

10) pertumbuhan/perkembangan,

11) kebersihan diri,

12) penyuluhan/pembelajaran

13) interaksi sosial, dan

14) keamanan/proteksi.
Proses pengelompokan data ini dapat dilakukan baik secara

induktif, dengan memilah dara sehingga membentuk sebuah

pola, atau secara deduktif, menggunakan kategori pola

kemudian mengelompokan data sesuai kategorinya

2. Identifikasi Masalah

Setelah data dianalisis, perawat dan klien bersama-sama

mengidentifikasi masalah, mana masalah yang aktual, resiko dan

/atau promosi kesehatan.

3. Perumusan Diagnosis Keperawatan

Perumusan atau penulisan diagnosis disesuaikan dengan jenis

diagnosis keperawatannya. Terdapat 2 metode perumusan

diagnosis, yaitu;

a. Penulisan 3 Bagian (3 Parts Format)

Metode penulisan ini terdiri dari Masalah, Penyebab dan

Tanda/Gejala dan hanya dilakukan pada diagnosis aktual saja.

Formulasi diagnosis keperawatan penulisan 3 bagian adalah

sebagai berikut:

Masalah berhubungan dengan Penyebab dibuktikan

dengan Tanda/Gejala

Frase ‘berhubungan dengan’ dapat disingkat b.d dan

frase ‘dibuktikan dengan’ dapat disingkat d.d.


Contoh Penulisan:

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d spasme jalan

nafas d.d batuk tidak efektif, sputum berlebih, mengi, dispnea

dan gelisah.

b. Penulisan 2 Bagian (2 Parts Format)

Metode penulisan ini dilakukan pada diagnosis resiko dan

diagnosis promosi kesehatan, dengan formulasi sebagai

berikut:

1) Diagnosis Resiko

Masalah dibuktikan dengan Faktor Resiko

Contoh Penulisan:

Resiko aspirasi dibuktikan dengan tingkat kesadaran

menurun.

2) Diagnosis Promosi Kesehatan

Masalah dibuktikan dengan Tanda/Gejala

Contoh Penulisan:

Kesiapan peningkatan eliminasi urin dibuktikan dengan

pasien mengatakan ingin meningkatkan eliminasi urin,

jumlah dan karakteristik urin normal.

3) Menentukan Perencanaan

a. Definisi
Intervensi merupakan segala treatment yang dikerjakan oleh perawat

yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk

mencapai luaran (outcome) yang diharapkan

b. Klasifikasi Intervensi Keperawatan

Terdiri atas 5 kategori dan 14 subkategori dengan uraian sebagai

berikut :

1. Fisiologis

Kategori intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung

fungsi fisik dan regulasi homeostasis, yang terdiri dari :

- Respirasi : yang memuat kelompok intervensi keperawatan yang

memulihkan fungsi pernafasan dan oksigenasi

- Sirkulasi: yang memuat kelompok intervensi yang memulihkan

fungsi jantung dan pembuluh darah

- Nutrisi dan cairan : yang memuat kelompok intervensi yang

memulihkan fungsi gastrointestinal, metaboliesme dan regulasi

cairan/elektrolit

- Eliminasi : memuat kelompok intervensi yang memulihkan fungsi

eliminasi fekal dan urinaria

- Aktifitas dan istirahat : yang memuat kelompok intervensi yang

memulihkan fungsi musculoskeletal, penggunaan energy serta

istrahat/tidur
- Neurosensori : Memuat kelompok intervensi yang memulihkan

fungsi otak dan saraf

- Reproduksi dan seksualitas, yang memuat kelompok intervensi

yang melibatkan fungsi reproduksi dan seksualitas.

2. Psikologis

Kategori intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung

fungsi dan proses mental, yang terdiri dari ;

a. Nyeri dan kenyamanan, yang memuat kelompok intervensi

yang meredakan nyeri dan meningkatkan kenyamanan

b. Integritas ego, yang memuat kelompok intervensi yang

memulihkan kesejahteraan diri sendiri secara emosional


c. Pertumbuhan dan perkembangan, yang memuat kelompok

intervensi yang memulihkan fungsi pertumbuhan dan

perkembangan.

3. Perilaku

Ditujukan untuk mendukung perubahan perilaku pola hidup sehat,

yang terdiri dari :

a. Kebersihan diri, yang memuat kelompok intervensi yang

memulihkan perilaku sehat dan merawat diri.

b. Penyuluhan dan pembelajaran, yang memuat sekelompok

intervensi yang meningkatkan pengetahuan dan perubahan

perilaku sehat.

4. Relasional

Kategori intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mendukung

hubungan interpersonal atau interaksi social yang terdiri atas:

Interaksi social, yang memuat kelompok intervensi yang

memulihkan hubungan antar individu dengan individu lain

5. Lingkungan

Ditujukan untuk mendukung keamanan lingkungan dan

menurunkan resiko gangguan kesehatan yang terdiri dari :


Keamanan dan proteksi, yang memuat kelompok intervensi yang

meningkatkan keamanan dan menurunkan resiko cedera akibat

ancaman dari lingkungan baik internal maupun eksternal.

c. Tujuan perencanaan

Tujuan rencana keperawatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan

administrative dan tujuan klinik(Carpenito, 2000)

1. Tujuan administrative

a) Untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada klien atau

kelompok.

b) Untuk membedakan tanggung jawab perawat dan profesi

kesehatan yang lain.

c) Untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan

evaluasi keperawatan.

d) Untuk menyediakan klriteria klasifikasi klien.

2. Tujuan klinik

a) Menyediakan suatu pedoman penulisan.

b) Mengkomunikasikan dengan staf perawat, apa yang diajarkan,

apa yang di observasi dan apa yang dilaksnakan

c) Menyediakan criteria hasil sebagai pengulangan dan evaluasi

keperawatan
d) Rencana tindakan yang spesifik secara langsung bagi individu,

keluarga dan tenaga kesehatan lainnya dalam melakukan

tindakan.

d. Langkah-langkah Perencanaan

Langkah dalam rencana asuhan keperawatan adalah : menentukan

proritas, menetapkan tujuan, menentukan kriteria hasil,

1) Menentukan prioritas

Dalam menentukan perencanaan perlu disusun suatu sistem untuk

menentukan diagnosa yang akan diambil pertama kali. Salah satu

sistem yang bisa digunakan adalah hirarki “kebutuhan

manusia”(Lyer et al., 1996)

Dengan mengidentifikasi prioritas kelompok diagnosa

keperawatan dan masalah kolaburatif, perawat dapat

memprioritaskan peralatan yang diperlukan. Perbedaan antara

prioritas diagnosa dan diagnosa yang penting menurut

Capernito(2000) adalah :

a. Prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan atau maslah

keperawatan, jiak tidak diatasi saat ini, akan berdampak buruk

terhadap keadaan fungsi dan status kesehatan.

b. Diagnosa yang terpenting adalah diagnosa keperawatan atau

masalah kolaburatif dimana intervensi dapat ditunda utnuk


beberapa saat tanpa bedampak terhadap status fungsi

kesehatan.

Beberapa hirarki yang bisa digunakan untuk menentukan

prioritas perencanaan adalah :

1) HirarkiMaslow

Maslow(1943) menjelaskan kebuthan manusia dibagi

menjadi lima tahapan yaitu :

a. Fisiologis

b. Rasa aman dan nyaman

c. Sosial

d. Harga diri

e. Aktualisasi diri.

Kebutuhan fisiologis biasanya menjadi prioritas utama

bagi klien dibanding kebutuhan yang lain.

1. Hirarki Kalish

Kalish(1983) lebih jauh menjelaskan kebutuhan maslow dengan

berbagai macam perkembangan, yaitu :

a. Kebutuhan bertahan hidup : makanan, udara, air, suhu,

istirahat, eliminasi, penghindaran nyeri.

b. Kebutuhan stimuli : seks, aktivitas, eksplorasi, manipulasi,

kesenangan baru.
c. Kebutuhan keamanan : keselamatan, keamanan, kedekatan.

d. Mencintai, memiliki, kedekatan

e. Penghargaan, harga diri.

f. Aktualisasi diri.

Menetapkan tujuan

2) Tujuan perawatan

merupakan pedoman yang luas/umum dimana pasien diharapkan

mengalami kemajuan dalam berespon terhadap tindakan.

Tujuan dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Tujuan jangka panjang

Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang mengidentifikasi

arah keseluruhan atau hasil akhir perawatan. Tujuan ini tidak

tercapai sebelum pemulangan. Tujuan jangka panjang

memerlukan perhatian yang terus menerus dari pasien dan/atau

orang lain.

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam waktu yang lama,

biasanya lebih dari satu minggu atau satu bulan. Kriteria hasil

dalam tujuan jangka panjang ditujukan pada unsur

“problem/masalah” dalam diagnosa keperawatan.Misalnya :

pasien mampu mempertahankan kontrol kadar gula darah satu


kali dalam satu minggu selama dua bulan pertama pasca

perawatan di rumah sakit.

b. Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek adalah tujuan yang harus dicapai sebelum

pemulangan. Misalnya : rasa nyeri pasien berkurang/hilang

setelah dilakukan tindakan perawatan selama 2×24 jam.

tujuan yang diharapkan bisa dicapai dalam waktu yang singkat,

biasanya kurang dari satu minggu.

Tujuan jangka pendek ditujukan pada unsurE/S(etiologi, tanda

dan gejala) dalam diagnosa keperawatan aktual/resiko.

c. Menentukan kriteria hasil

Tujuan kilen dan tujuan keperawatan adalah standar atau ukuran

yang digunakan untuk mengevaluasi kemajuan klien atau

ketrampilan perawat. Menurut Alfaro(1994), tujuan klien

merupakan pernyataan yang menjelaskan suatu perilaku klien,

keluarga, atau kelompok yang dapat diukur setelah intervensi

keperawatan diberikan. Tujuan keperawatan adalah pernyataan

yang menjelaskan suatu tindakan yang dapat diukur berdasarkan

kemampuan dan kewenangan perawat. Kriteria hasil untuk

diagnosa keperawatan mewakili status kesehatan klien yagn

dapat dicapai atau dipertahankan melalui rencana tindakan yang

mandiri, sehingga dapat membedakan antara diagnosa


keperawatan dan masalah kolaburatif. Menurut Gordon(1994),

komponen kriteria hasil yang penting dalam kriteria hasil adalah

apakah intervensi keperawatan dapat dicapai.

Pedoman penulisan kriteria hasil :

a) Berfokus pada klien

Kriteria hail ditujukan pada klien yag harus menunjukan apa

yang akan dilakukan lien, kapan, dan sejauh mana tindakan

akan bisa dilaksanakan

S : Spesifik(tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti

ganda)

M : Measurable(harus dapat diukur, dilihat, didengar, diraba,

dirasakan dan dibau)

A : Tujuan harus dapat dicapai (Achievable)

R : tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

(Reasonable)

T : time(batasan waktu/tujuan keperawatan)

a) Singkat dan jelas.

Menggunakan kata-kata yang singkat dan jelas sehingga akan

memudahkan perawat untuk mengidentifikasikan tujuan dan

rencana tindakan.

c. Dapat diobservasi dan diukur utnuk menentukan

keberhasilan atau kegagalan. Tujuan yang dapat diobservasi


dan diukur meliputi pertanyaan “apa”dan “ sejauh

mana”.contoh kata kerja yang bisa diukur meliputi ;

menyatkan, melaksanakan, mengidentifikasi, adanya

penurunan dalam……., adanya peningkatan pada……., tidak

adanya……. Contoh kata kerja yang tidak dapat diukur melalui

penglihatan dan suara adalah : menerima, mengetahui,

menghargai dan memahami.

b) Ada batas waktunya.

c) Realistik.

Kriteria hasil harus dapat dicapai sesuai dengan sarana dan

prasarana yang tersedia, meliputi : biaya, peralatan, fasilitas,

tingkat pengetahuan, affek emosi dan kondisi fisik. Jumlah staf

perawat harus menjadi satu pertimbangan dalam penyusunan

tujuan dan kriteria hasil.

d) Ditentukan oleh perawat dan klien.

setelah menentukan diagnosa keperawatan yang ditentukan,

perlu dilakukan diskusi antara perawat dan klien untuk

menentukan kriteria hasil dan rencana tindakan utnuk

memvalidasi.

Penulisan kriteria hasil mencakup semua respon manusia,

meliputi : kornitif(pengetahuan), afektif(emosi dan perasaan),


psikomotor dan perubahan fungsi tubuh(keadaan umum dan

fungsi tubuh serta gejala)

d. Menentukan rencana tindakan

Rencana tindakan adalah desain spesifik intervensi untuk

membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana

mendefinisikan suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi

faktor-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan.

Bulecheck & McCloskey (1989) menyatakan bahwa intervensi

keperawatan adalah suatu tindakan langsung kepada klien yang

dilaksanakan oleh perawat. Tindakan tersebut meliputi tindakan

independen keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan,

tindakan medis berdasarkan diagnosa medis dan membantu

pemenuhan kebutuhan dasar fungsi kesehatan kepada klien

yang tidak dapat melakukannya.

1) Diagnosa keperawatan aktual, intervensi ditujukan untuk

a. Mengurangi atau membatasi faktor penyebab dan

masalah.

b. Meningkatkan status kesehatan klien.

c. Memonitor status kesehatan.

2) Diagnosa keperawatan risiko tinggi, intervensi ditujukan

untuk :

a. Mengurangi dan membatasi faktor resiko


b. Mencegah maslah yang akan timbul

c. Memonitor terjadinya masalah.

3) Diagnosa keperawatan kemungkinan, intervensi ditujukan

pada:

a. Pengkajian aktifitas untuk menyusun diagnosa

keperawatan dam masalah kolaburasi.

b. Memonitor aktifitas untuk mengevaluasi status fisiologi

tertentu.

c. Rencana tindakan keperawatan.

d. Tindakan medis, berhubungan dengan respon dari

tindakan medis.

e. Aktifitas fungsi kesehatan sehari-hari yang mungkin tidak

berpengaruh terhadap diagnosa keperawatan atau medis

tetapi telah dilakukan oleh perawat kepada klien yang

tidak dapat melaksanakan kebutuhannya.

f. Aktifitas untuk mengevaluasi dampak dan tindakan

keperawatan dan medis

4) Diagnosa keperawatan kolaburatif, intervensi ditujukan pada :

a. Memonitor perubahan status kesehatan.


b. Mengelola perubahan status kesehatan terhadap intervensi

keperawatan dan medis.

c. Mengevaluasi respon.

e. Komponen rencana tindakan keperawatan

Komponen tesebut dibawah ini harus diperhatikan untuk

menghindari kerancuan dalam rencana tindakan. Komponen

tersebut adalah :

a) waktu.

Semua rencana keperawatan harus diberi waktu untuk

mengidentifikasikan tanggal dilaksanakan, misalnya :

pertahankan tungkai kanan tetap dalam posisi istirahat

selama 24 jam

b) Menggunakan kata kerja

Semua rencana tindakan keperawatan secara jelas

menjabarkan setiap kegiatan, misalnya : lakukan kompres

dingin selama 20 menit.

c) Fokus pada pertanyaan

d) Spesifik pada pertanyaan “who, what, where, when, which,

and how..” : siapa, apa, dimana, kapan, yang mana, dan

bagaimana.
Karakteristik rencana tindakan keperawatan :

a. Konsisten dengan rencana tindakan.

b. Berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah(rasional)

c. Berdasarkan situasi individu klien.

d. Digunakan untuk menciptakan suatu situasi yang aman

dan terapeutik.

e. Menciptakan suatu situasi pengajaran.

f. Menggunakan saran yang sesuai(ANA, 1973)

6. Perencanaan Pulang

Perawat juga harus mempertimbangkan kebutuhan yang akan

datang bagi pasien, khususnya pemulangan dari fasilitas perawatan

kesehatan. Perencanaan pulang/discharge planning

dimulai/direncanakan disaat pasien memasuki tatanan perawatan

kesehatan. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan

kesinambungan perawatan dan untuk menentukan tempat

pemulangan yang diantisipasi, misalnya rumah atau fasilitas

keperawatan yang terlatih.

Perawat bertanggung jawab untuk :

a. merencanakan kesinambungan perawatan antara personal

keperawatan antara pelayanan dalam tatanan keperawatan

dan antara tatanan keperawatan dan komunitas.


b. Memulai rujukan ke pelayanan komunitas lainnya dan

memberikan arahan yang diperlukan bagi pasien/keluarga

yang sedang belajar utnuk mempercepat penyembuhan dan

meningkatkan keadaan sehat.

7. Dokumentasi

Dokumentasi rencana tindakan keperawatan merupakan penulisan

encana tindakan keperawatan dalam suatu bentuk yang bervariasi

guna mempromosikan perawatan yang meliputi : perawatan

individu, perawatan yang kontinyu, komunikasi, dan

evaluasi(Bower, 1982)

Karakteristik dokumentasi rencana keperawatan adalah :

a. Ditulis oleh perawat

Rencana tindakan keperawatan disusun dan ditulis oleh

perawat profesional yang mempunyai dasar pendidikan yang

memadai.

b. Dilaksanakan setelah kontak pertama kali dengan pasien.

Setelah kontak pertama kali dengan pasien/pengkajian

merupakan waktu yang tepat dilakukan dokumentasi diagnosa

aktual atau resiko, kriteria hasil dan rencana tindakan.

c. Diletakkan di tempat yang strategis(mudah didapatkan).

Bisa diletakkan dicatatan medis klien, di tempat tidur atau di

kantor perawat. Hal ini darus dilakukan karena rencana


tindakan ini disediakan untuk semua tenaga kesehatan yagn

ada.

d. Informasi yang baru.

Semua komponen rencana tindakan harus selalu diperbaharui.

Hal ini ditujukan agar waktu perawat bisa dipergunakan secara

efektif.

4) Implementasi Tindakan Keperawatan

Tahap – Tahap Implementasi

a. Tahap I: Persiapan merupakan tahap awal tindakan keperawatan ini

menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan

dalam tindakan. Meliputi : Review tindakan keperawatan yang

diidentifikasi pada tahap perencanaan, menganalisa pengetahuan dan

ketrampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui komplikasi

dari tindakan keperawatan yang mungkin timbul, menentukan dan

mempersiapkan peralatan yang diperlukan, mempersiapkan

lingkungan yang kondusif sesuai dengan tindakan, dan

mengidentifikasi aspek hukum dan etik terhadap resiko dari potensi

tindakan.

b. Tahap II: Intervensi merupakan tahap yang berfokus pada pelaksanaan

tindakan perawatan adalah kegiatan pelaksanaan tindakan dari

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.

Pendekatan ini meliputi: Independen adalah suatu kegiatan yang


dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter

atau tenaga kesehatan lainnya. Tipe tindakan independen keperawatan

dapat dikatagorikan menjadi 4, yaitu tindakan diagnostik, tindakan

terapeutik, tindakan edukatif, dan tindakan merujuk, interdependen

menjelaskan suatu kegiatan yang memelukan suatu kerjasama dengan

tenaga kesehatan lainnya,misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi

dan dokter, dan dependen ini berhubungan dengan pelaksanaan

rencana tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara

dimana tindakan medis dilaksanakan.

c. Tahap III: Dokumentasi merupakan pelaksanaan tindakan keperawatan

harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu

kejadian dalam proses keperawatan.

5) Evaluasi

Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana: (Suprajitno dalam

Wardani, 2013)

S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif

oleh      keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.

O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat

menggunakan   pengamatan yang objektif.

A:  Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.


P:   Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.

Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data

sesuai dengan kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi

untuk membuat keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan.

(Nurhayati, 2011)
3) Hasil-hasil penelitian tentang penatalaksanaan evidence based practice
4) Aspek, legal dan etis terkait kasus

a. Legal

Peran perawat bila ditinjau dari aspek legal dalam kasus contusion

cerebri adalah membantu klien dan keluarga dalam hal

inform concern atas tindakan keperawatan yang dilakukan.

b. Etik

1. Otonomi

Prinsip bahwa individu dan keluarga berhak menentukan

yang terbaik. Perawat yang mengikuti prinsip ini akan

menghargai kebebasan klien dan keluarga dalam menentukan

segala sesuatu yang berhubungan dengan sakitnya.

2. Non – maleficience

Prinsip menghindari tindakan yang membahayakan. Bahaya

disini dapat berarti dengan sengaja, risiko atau tidak sengaja

membahayakan klien dalam memberikan perawatan.

3. Beneficience

Prinsip bahwa seorang perawat harus melakukan kebaikan.

Dalam hal ini perawat melakukan kebaikan dengan

mengimplementasikan tindakan keperawatan yang menguntung

dan bermanfaat bagi klien dan keluarga


4. Justice

Prinsip ini yaitu prinsip bahwa individu berhak untuk

diperlakukan sama secara adil sesuai kebutuhan kesehatan klien

tanpa membeda–bedakan dengan klien lain.

5) Rencana Pendidikan Kesehatan dan Rencana Pemulangan Pasien

(Discarged Planning)

a. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan

pengobatan.

b. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk

menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang,

sering muntah, dan perubahan bicara.

c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping,

dan reaksi dari pemberian obat.

d. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang:

penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama

kejang.

e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk

aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal,

makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak

mengalami gangguan mobilitas fisik.

f. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat


pengaman.

g. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.

h. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan

tekanan intrakranial.

1) KASUS

Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan 2

hari yang lalu mengalami kecelakaan lalu lintas (KLL) jatuh dari sepedah

motor, tak sadar, muntah, pingsan, dari hidung keluar darah, pasien

sebelumnya minum alkohol.


FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
A. PENGKAJIAN

Pengkajian tgl : 19 Oktober 2020 Jam : 22.30 WIB


Tanggal MRS : 18 Oktober 2020 NO. RM : 13-18-51
Ruang/Kelas : Multazam/50.3 Dx. Masuk : Contusio cerebri
Dokter yang merawat : dr.Mudjadid

Nama : Tn.A Jenis Kelamin : Laki-laki


Identitas

Umur : 22 tahun Status Perkawinan : Belum menikah


Agama : Islam Penanggung Biaya :
Pendidikan : SLTA
Keluhan utama :
Riwayat Sakit dan Kesehatan

Klien post kecelakaan lalu lintas (KLL), penurunan kesadaran

Riwayat penyakit saat ini :


2 hari sebelum masuk RS pasien kecelakaan lalu lintas (KLL) jatuh dari sepedah motor, tak sadar, muntah, pingsan,
dari hidung keluar darah saat kejadian (pasien sebelumnya minum alcohol)

Penyakit yang pernah diderita :


Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit parah sebelumnya

Riwayat penyakitkeluarga :
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: baik  sedang lemah Kesadaran: semi koma
Tanda vital TD: 110/80 mmHg Nadi: 68 x/mnt Suhu : 37,2 ºC RR: 20 x/mnt
Masalah : Resiko perfusi serebral tidak efektif
Pola nafas irama:  Teratur Tidak teratur
Pernafasan

Jenis  Dispnoe  Kusmaul  Ceyne Stokes


Suara nafas:  verikuler  Stridor  Wheezing  Ronchi Lain-lain:
Sesak nafas  Ya  Tidak  Batuk  Ya  Tidak
Masalah: Tidak ada masalah

Irama jantung:  Reguler  Ireguler S1/S2 tunggal  Ya  Tidak


Nyeri dada:  Ya  Tidak
Kardiovaskuler

Bunyi jantung: Normal  Murmur  Gallop lain-lain


CRT: < 3 dt > 3 dt
Akral:  Hangat  Panas  Dingin kering  Dingin basah
Masalah: Tidak ada masalah
Persyarafan

GCS Eye: 2 Verbal: 1 Motorik:6 Total: 9


Refleks fisiologis:  patella  triceps  biceps lain-lain:
Refleks patologis: babinsky  budzinsky  kerniglain-lain:
Lain-lain:
Istirahat / tidur: /hari Gangguan tidur:
Masalah:

Penglihatan (mata)
Pupil :  Isokor  Anisokor  Lain-lain:
Sclera/Konjungtiva :  tidak Anemis  Ikterus  Lain-lain:
Lain-lain :
Pendengaran/Telinga :
Penginderaan

Gangguan pendengaran :  Ya  Tidak Jelaskan:


Lain-lain :
Penciuman (Hidung)
Bentuk : Normal  Tidak Jelaskan:
Gangguan Penciuman :  Ya  Tidak Jelaskan:
Lain-lain
Masalah: Tidak ada masalah

Kebersihan:  Bersih  Kotor


Urin: Jumlah: cc/hr Warna: kuning Bau: -
Alat bantu (kateter)
Perkemihan

Kandung kencing:Membesar  Ya  Tidak


Nyeri tekan Ya  Tidak
Gangguan:  Anuria  Oliguri  Retensi
 Nokturia  Inkontinensia  Lain-lain:
Masalah: Tidak ada masalah

Nafsu makan:  Baik  Menurun Frekuensi: 2/hari


Porsi makan: Habis Tidak Ket: terpasang NGT
Diet :
Minum : 500 cc/hari (2 gelas) Jenis: air putih
Mulut dan Tenggorokan
Mulut:  Bersih  Kotor  Berbau
Mukosa  Lembab  Kering  Stomatitis
Tenggorokan  Nyeri telan  Kesulitan menelan
 Pembesaran tonsil Normal
Pencernaan

Abdomen  Tegang  Kembung  Ascitesi


Peristaltik 10 x/mnt
Pembesaran hepar  Ya  Tidak
Pembesaran lien  Ya Tidak
Buang air besar belum 1x/hari Teratur:  Ya Tidak
Konsistensi Bau: Warna: agak kehitaman
Lain-lain:

Masalah: Disfungsi motilitas gastrointestinal


Kemampuan pergerakan sendi: Bebas  Terbatas
Kekuatan otot: 3 3
3 3
Muskuloskeletal/ Integumen

Kulit
Warna kulit: coklat  Ikterus  Sianotik  Kemerahan  Pucat  Hiperpigmentasi
Turgor:  Baik  Sedang  Jelek
Odema: Ada  Tidak ada Lokasi
Luka  Ada  Tidak ada Lokasi
Tanda infeksi luka  Ada  Tidak ada Yang ditemukan :
Lain-lain :

Masalah:

Pembesaran Tyroid  Ya  Tidak


Endokrin

Hiperglikemia Ya  Tidak Hipoglikemia  Ya  Tidak


Luka gangren  Ya  Tidak Pus  Ya  Tidak
Masalah: Ada masalah
HigienePersonal

Mandi : 1x/hari Sikat gigi : 1x/hari


Keramas : belum selama di RS Memotong kuku: tidak teratur
Ganti pakaian : 1x/hari

Masalah: Gangguan pemenuhn ADL (personal hygiene)


Orang yang paling dekat:
Psiko-sosio-spiritual

Keluarga

Hubungan dengan teman dan lingkungan sekitar:


Pasien dapat bersosialisasi dengan baik antar teman, tetangga dan lingkungan sekitarnya

Kegiatan ibadah:
Keluarga mengatakan pasien sangat taat beribadah
Lain-lain :
Masalah: Tidak ada masalah
Laboratorium
Hari/ Jenis Hasil Nilai normal Satua Interpretasi
tgl Pemeri n
ksaan

19
oktob
er WBC 28,1 4,8-10,8 103/ul <dapat menyebabkan leucopenia (sel darah putih rendah
2020 dalam darah yang mengganggu kemampuan melawan
infeksi)
>dapat menyebabkan leukositosis (sel darah putih dalam
darah tinggi)

RBC 5,14 4,2-5,4 103/ul <disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah
perdarahan, misalnya akibat kecelakaan atau operasi. 

>berisiko menimbulkan komplikasi berupa penyumbatan


pembuluh darah, misalnya deep vein
thrombosis (DVT), stroke, serangan jantung, dan emboli
paru. Selain itu, tingginya kadar eritrosit juga dapat
membuat seseorang rentan mengalami perdarahan.

Hb 14,5 12-16 g/dl <dapat terjadi anemia

>dapat terjadi polisitemia


HCT 44,4 37-47 % < anemia
> menyebabkan dehidrasi, gagal jantung, tumor ginjal

BUN 9,1 7-18 mg/dl <adanya gangguan pada hati (harus dilakukan pemeriksaan
fungsi hati lainnya untuk konfirmasi), malnutrisi (terutama
bila konsumsi hanya sedikit sekali protein), overhidrasi
(pemberian cairan terlalu banyak atau minum terlalu
banyak).

>Uremia. menyebabkan cepat lelah, pusing, mual, muntah,


dan kram kaki. Pemeriksaan ureum biasanya termasuk
dalam pemeriksaan fungsi ginjal yang meliputi pemeriksaan
basal urea nitrogen (BUN) dan kadar kreatinin.

CREA 1,17 0,6-1,3 mg/dl <disebabkan karena kehilangan air dari tubuh (dehidrasi).
Pemeriksaan penunjang

Namun juga bisa disebabkan oleh kelebihan asupan air,


kehamilan, atau bahkan karena obat-obatan tertentu.
>ginjal tidak berfungsi dengan baik

GULA 13 80-110 mg/ a) Peningkatan gula darah (hiperglikemia) atau


DARA 2, dl intoleransi glukosa (nilai puasa lebih dari 120
H 6 mg/dL) dapat menyertai penyakit cushing (muka
SEWA bulan), stress akut, feokromasitoma, penyakit hati
KTU kronik, defisiensi kalium, penyakit yang kronik dan
sepsis.
b) Kadar gula darah menurun (hipoglikemia) dapat
Hari/ Jenis Hasil Nilai normal Satua Interpretasi
tgl Pemeri n
ksaan

19
oktob
er WBC 10,0 4,8-10,8 103/ul <dapat menyebabkan leucopenia (sel darah putih rendah
2020 dalam darah yang mengganggu kemampuan melawan
infeksi)
>dapat menyebabkan leukositosis (sel darah putih dalam
darah tinggi)

RBC 4,75 4,2-5,4 103/ul <disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah
perdarahan, misalnya akibat kecelakaan atau operasi. 

>berisiko menimbulkan komplikasi berupa penyumbatan


pembuluh darah, misalnya deep vein
thrombosis (DVT), stroke, serangan jantung, dan emboli
paru. Selain itu, tingginya kadar eritrosit juga dapat
membuat seseorang rentan mengalami perdarahan.

Hb 13,7 12-16 g/dl <dapat terjadi anemia

>dapat terjadi polisitemia


HCT 40,7 37-47 % < anemia
> menyebabkan dehidrasi, gagal jantung, tumor ginjal

GDS 118 80-110 mg/dl a) Peningkatan gula darah (hiperglikemia) atau


intoleransi glukosa (nilai puasa lebih dari 120
mg/dL) dapat menyertai penyakit cushing (muka
bulan), stress akut, feokromasitoma, penyakit hati
kronik, defisiensi kalium, penyakit yang kronik
dan sepsis.
b) Kadar gula darah menurun (hipoglikemia) dapat
disebabkan oleh kadar insulin yang berlebihan atau
penyakit Addison.
c) Bila konsentrasi glukosa dalam serum berulang-
ulang >140 mg/dL perlu dicurigai adanya diabetes
mellitus.
Tidak ada
Radiologi/USG, dll
Terapi:

Tidak ada

ANALISA DATA
No. Data Problem Etiologi
1 DS : Resiko perfusi serebral Tumor otak
- Tidak dapat dinilai tidak efektif
DO :
- Klien mengalami penurunan kesadaran
- GCS : E2 V1 M6
- Perubahan motorik dan persepsi sensori
2 DS : Sindrom pasca trauma kecelakaan
- Keluarga mengatakan sejak masuk RS
klien belum pernah berbicara
DO :
- Klien diam saja, tidak mengeluarkan kata-
kata ketika diajak komunikasi

3 DS : Disfungsi motilitas Intoleransi makanan


- Keluarga mengatakan sejak masuk RS gastrointestinal
klien belum pernah makan/minum per
oral

DO :
- Klien terpasang NGT
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d tumor otak
2. Sindrom pasca trauma b/d kecelakaan
3. Disfungsi motilitas gastrointestinal b/d intoleransi makanan

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Nama pasien : Tn.A Nama Mahasiswa : Listia Rahman M
Ruang : Multazam/50.3 NPM : 201030200011
No.M.R. : 13-18-51

No Tanggal Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


dan jam Keperawatan (PES) Hasil
1 19 Resiko perfusi Setelah dilakukan Observasi : 1. Untuk
oktober serebral tidak intervensi 1. Identifikasi mengetahui
2020 efektif b/d tumor keperawatan penyebab tingkat
otak selama 2x24 jam peningkatan TIK kesadaran
maka perfusi 2. Monitor dan potensial
serebral meningkat tanda/gejala peningkatan
dengan criteria peningkatan TIK TIK
hasil : 3. Monitor MAP 2. Untuk
1. Tingkat 4. Monitor CVP mengetahui
kesadaran 5. Monitor PAWP potensial
membaik 6. Monitor PAP, jika peningkatan
2. Kesadaran perlu TIK
membaik 7. Monitor ICP, jika 3. Posisi semi
tersedia fowler untuk
8. Monitor CPP memberikan
9. Monitor rasa nyaman
gelombang ICP pasien
10. Monitor status 4. Kolaborasi
pernapasan sebagai terapi
11. Monitor intake terhadap
dan output kehulangan
cairan kesadaran
12. Monitor cairan akibat
serebro-spinalis kerusakan
otak
Terapeutik :
1. Minimalkan
stimulus
2. Berikan posisi
semi fowler
3. Hindari
maneuver
valsava
4. Cegah terjadinya
kejang
5. Hindari
penggunaan
PEEP
6. Hindari
pemberian cairan
IV hipotonik
7. Atur ventilator
agar PaCO2
optimal

Kolaborasi :
Kolaborasi
pemberian sedasi
dan anti konvulsan,
jika perlu

Kolaborasi
pemberian diuretic
osmosis, jika perlu

Kolaborasi
pemberian pelunak
tinja, jika perlu

2 19 Sindrom pasca Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1.


oktober trauma b/d intervensi kemungkinan
2020 kecelakaan keperawatan perilaku beresiko
selama 2x24 jam penyalahgunaan
maka ketahanan zat
personal
meningkat dengan Terapeutik :
criteria hasil : 1. Motivasi
1. Menggunakan mentolerir
strategi untuk peningkatan
meningkatkan tingkat stress
keamanan 2. Motivasi
meningkat mengantisipasi
2. Menggunakan lingkungan yang
strategi untuk mengakibatkan
menghindari stress
bahaya 3. Motivasi
meningkat pengambilan
3. Menghindari keputusan dalam
penyalahgunaa memilih gaya
n zat hidup
meningkat 4. Motivasi
mengikuti
program
disekolah,
tempat
5. Fasilitasi kerja
atau social
6. Motivasi
keluarga
mendukung
kebijakan
pelarangan zat
7. Diskusikan
strategi
pengurangan
stress
8. Diskusikan cara
mempersiapkan
diri dalam
kondisi stress
9. Libatkan dalam
program aktifitas
kelompok di
masyarakat
maupun
pelayanan
10. Dukung untuk
ikut serta dalam
kelompok
masyarakat,
seperti SADD
11. Dukung program
yang mengatur
penjualan dan
distribusi zat
12. Fasilitasi dalam
mengorganisir
kegiatan bagi
remaja
13. Fasilitasi dalam
mengkoordinasi
berbagai
kelompok
masyarakat

Edukasi :
1. Latih
kemampuan
asertif
2. Latih pikiran dan
perilaku dalam
mengurangi
kondisi stress
3. Anjurkan
menghindari
perilaku isolasi
social
4. Ajarkan keluarga
tentang
penggunaan zat
secara
substansial
5. Ajarkan keluarga
mengidentifikasi
tanda dan gejala
kecanduan
6. Anjurkan
keluarga
berpartisipasi
dalam kegiatan
anak sekolah

3 Setelah dilakukan 1. 1.Untuk


Disfungsi motilitas intervensi oemasangan mengetahui
gastrointestinal b/d keperawatan NGT sejauh mana
intoleransi selama 2x24 jam 2. perkembangan
19 makanan maka motilitas bahaya dari keadaan
oktober gastrointestinal pernapasan pasien dan
2020 membaik dengan Terapeutik : perubahan yang
criteria hasil : 1. terjadi
1. Pengosongan didada 2. Mencegah
lambung 2. perangsangan
menurun selang dengan yang mendadak
mengukur dari pada lambung
ujung hidung ke 3. Untuk
telinga lalu ke menghindari
prosesus xiphoid kerja lambung
3. yang berat
selang meminimalkan
4. iritasi lambung
penambahan 5 4. Untuk
cm untuk mengetahui
memastikan perkembangan
masuk kedalam berat badan
lambung 5. Pemberian
5. untuk mencegah
lubang hidung mual, nyeri dan
6. rasa tidak
selang 15-20 cm nyaman.
dengan gel
7.
aspirasi isi
lambung, jika isi
lambung tidak
keluar,
masukkan selang
2,5-5 cm dan
coba aspirasi isi
lambung
kembali
8.
aspirasi lambung
9.
30 ml dan
dengarkan bunyi
udara dalam
lambung dengan
stetoskop
10.
nasogastrik ke
hidung pasien
dengan plester
hipoalergik
11.
fowler

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
kepada pasien
dan keluarga
2. Informasikan
kemungkinan
ketidaknyamana
n pada hidung
dan
kemungkinan
muntah
3. Anjurkan
mengangkat
kepala, pegang
selang dan ujung
mengarah
kebawah dan
masukkan
perlahan
kedalam lubang
hidung
4. Anjurkan
menundukkan
kepala saat
selang mencapai
nasofaring,
putar selang 180
derajat kearah
lubang hidung
yang
berlawanan
5. Anjurkan
menelan saat
selang
dimasukkan

D. CATATAN PERAWATAN
Nama Klien : Tn.A
Diagnosis Medis : Contusio Cerebri
Ruang Rawat : Multazam/50.3
Tgl/ No. DK Implementasi Tanda Tangan
jam
1 Observasi :
19 oktober 1. Mengidentifikasi penyebab
2020 peningkatan TIK
2. Memonitor tanda/gejala
peningkatan TIK
3. Memonitor status pernapasan
4. Memonitor intake dan output cairan
5. Memonitor cairan serebro-spinalis

Terapeutik :
6. Meminimalkan stimulus
7. Memberikan posisi semi fowler

Kolaborasi :
Melakukan kolaborasi pemberian sedasi
dan anti konvulsan, jika perlu

Melakukan kolaborasi pemberian


diuretic osmosis, jika perlu

Melakukan kolaborasi pemberian


pelunak tinja, jika perlu
19 oktober 2 1. Mengidentifikasi kemungkinan
2020 perilaku beresiko penyalahgunaan
zat

Terapeutik :
2. Memotivasi keluarga mendukung
kebijakan pelarangan zat

Edukasi :
3. penggunaan zat secara substansial
4. Ajarkan keluarga mengidentifikasi
tanda dan gejala kecanduan
19 oktober 3 1. Mengidentifikasi indikasi
2020 oemasangan NGT
2. Memonitor tanda bahaya
pernapasan

Terapeutik :
1. Meletakkan perlak didada
2. Menentukan panjang selang dengan
mengukur dari ujung hidung ke
telinga lalu ke prosesus xiphoid
3. Menandai panjang selang
4. Mempertimbangkan penambahan 5
cm untuk memastikan masuk
kedalam lambung
5. Memeriksa kepatenan lubang hidung
6. Melumasi ujung selang 15-20 cm
dengan gel
7. Memasang spuit dan aspirasi isi
lambung, jika isi lambung tidak
keluar, masukkan selang 2,5-5 cm
dan coba aspirasi isi lambung
kembali
8. Menguji PH hasil aspirasi lambung
9. Memasukkan udara 30 ml dan
dengarkan bunyi udara dalam
lambung dengan stetoskop
10. Memfiksasi selang nasogastrik
ke hidung pasien dengan plester
hipoalergik
11. Memposisikan semi fowler
Edukasi :
1. Menjelaskan tujuan dan prosedur
kepada keluarga

E. CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : Ny.S
Diagnosis Medis : Gastritis
Ruang Rawat : Multazam/50.3
Tgl No. DK SOAP Tanda Tangan
S:
19 - Tidak dapat dinilai
oktober 1
2020 O:
- Klien mengalami penurunan
kesadaran
- GCS : E2 V1 M6
- Perubahan motorik dan persepsi
sensori

A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
19 2 S:
oktober - Keluarga mengatakan sejak
2020 masuk RS klien belum pernah
berbicara

O:
- Klien diam saja, tidak
mengeluarkan kata-kata ketika
diajak komunikasi

A:
Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan

19 3 S:
oktober - Keluarga mengatakan sejak
2020 masuk RS klien belum pernah
makan/minum per oral

O:
Klien terpasang NGT

A:
Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Alan (2007). Nursing Ethics: A Virtue-Based Approach. Palgrave
Macmillan. ISBN 978-0-230-50688-6.
Breier-Mackie, Sarah (March–April 2006). “Medical Ethics and Nursing Ethics: Is
There Really Any Difference?”. Gastroenterology Nursing. 29 (2): 182–3.
doi:10.1097/00001610-200603000-00099. Retrieved 25 June 2019.
Brunner and Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
Volume 2. Jakarta : EGC.
Carol T,Carol L, Priscilla LM. 1997. Fundamental Of Nursing Care, Third Edition,
by Lippicot Philadelpia, New York.
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 1999. Rencana
asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Ismaini, N. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika
Kozier. (2000). Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. 
Philadelphia. Addison Wesley.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius
McHale, J; Gallagher, A (2003). Nursing and Human Rights. Butterworth
Heinemann. ISBN 978-0-7506-5292-6.
PPNI (2016). Standar diagnosis keperawatan Indonesia : definisi dan indicator
diagnostic, edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2018). Standar intervensi keperawatan Indonesia: Definisi dan tindaka
keperawatan, edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2018).Standar luaran keperawatan Indonesia : definisi dan criteria hasil
keperawatan, edisi1. Jakarta : DPP PPNI
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1994. Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai