Disusun oleh :
Nafisa (21901061039)
II
KATA PENGANTAR
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam VI,
namun demikian kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih belum
sempurna, karena kami sebagai penulis makalah ini juga masih dalam tahap
pembelajaran, sehingga pengalaman dan pengetahuan kami masih terbatas. Oleh
karena itu, kami berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang baik
terhadap makalah ini, sehingga kami dapat melakukan perbaikan di masa yang
akan datang.
Kami juga berharap, semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Aamiin Ya Robbal Aalaamiin.
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
I. Latar Belakang............................................................................................1
II. Rumusan Masalah...................................................................................2
III. Tujuan Pembahasan...............................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
II.I Definisi Takhalli, Tahalli, dan Tajalli........................................................3
II.2 Dalil Al-Quran & Hadits tentang tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli 4
II.3 Implementasi Takhalli, Tahalli, dan Tajalli di lingkungan sesama......7
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP.............................................................................................................13
III.I Kesimpulan...............................................................................................13
III.2 Saran.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
4
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
5
BAB II
PEMBAHASAN
II.2 Dalil Al-Quran dan Hadits tentang tahapan Takhalli, Tahalli, dan Tajalli
6
II.3 Implementasi Takhalli, Tahalli, dan Tajalli dalam lingkungan sesama.
Tasawuf sebagai disiplin keilmuan yang berfokus membersihkan
budi pekerti atau membersihkan hati, pikiran dan tingkah laku yang
berefek ketenangan jiwa yang dapat mengarahkan menuju kepada
7
kegiatan- kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan
(Yasin. N, 2019).
1. Takhalli
Fase takhalli adalah fase penyucian budi pekerti yaitu
mental, akal pikiran, jiwa dan hati sehingga menumbuhkan akhlak
8
(moral) yang terpuji dan mulia dalam kehidupan sehari-hari
(Hasan. S, 2016).
Menurut (Hasan. S, 2016) Metode takhalli secara teknis
ada lima yaitu:
Pertama, mensucikan yang najis, dengan melakukan istinja
dengan menggunakan tanah atau air dengan teliti, baik dan benar.
Cara yang pertama ini berkaitan dengan anggota tubuh atau
dohir.
Kedua, mensucikan yang kotor, dengan cara mandi atau
menyiramkan air keseluruh anggota badan.
Ketiga, menyucikan yang suci, dengan cara berwudu baik dengan
air maupun debu.
Keempat, mensucikan yang suci atau fitrah dengan cara
mengerjakan sholat taubat.
Kelima, mensucikan yang maha suci, dengan cara melakukan
dzikir dan mentauhidkan Allah SWT.
Artinya :
2. Tahalli
9
Pada tahap ini merupakan bagian dari pengisi jiwa yang
telah dikosongkan dari sifat- sifat tercela. Dengan kata lain
sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat tercela (takhalli)
dapat dilalui kemudian usaha ini harus berlanjut ketahap
berikutnya yaitu tahalli untuk memperoleh segala sifat terpuji.
Diantaranya Taubat, zuhud, qona'ah, sabar, tawakkal, mujahadah,
ridha, syukur, ikhlas dan lainya (Yasin. N, 2019).
a. Taubat
Al Ghazali mengklasifikasikan Taubat menjadi tiga tingkatan yaitu:
Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih
pada kebaikan karena takut terhadap siksa Allah.
Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang
lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut
dengan inabah
Rasa penyesalan yang dilakukan semata mata karena ketaatan
dan kecintaan kepada Allah hal ini disebut aubah (Khoiruddin,
2016).
10
sedangkan Khauf yang berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi
putus asa dan pesimistis. Keseimbangan antara Khauf dan Raja' sama-
sama penting karena tanpa Raja', orang akan serba khawatir, tidak
mempunyai gairah hidup, serba takut, dan pesimistis. Dimilikinya Khauf
dalam kadar sedang akan membuat orang senantiasa waspada dan hati-
hati dalam berperilaku agar terhindar dari ancaman (Khoiruddin, 2016).
Dengan demikian dua sikap tersebut merupakan sikap mental
yang bersifat untrospeksi dan selalu memikirkan kehidupan yang akan
datang, yaitu kehidupan abadi di alam akhirat.
C. Zuhud
Zuhud yaitu ke tidak tertarik pada dunia atau harta benda. Zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia
ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat
Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia
bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena
cinta kepada Allah (Khoiruddin, 2016).
Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang
segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa. Sesuai
dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber
kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa
nafsu, mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan nafsunya.
Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan
kesenjangan antar manusia dengan Allah (Khoiruddin, 2016).
d. Fakir
11
Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas
dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang
lain. Sikap mental fakir merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam
menghadapi pengaruh dalam menghadapi kehidupan materi. Hal ini
karena sikap fakir dapat menghindarkan seseorang dari semua
keserakahan. Sikap fakir dapat memunculkan sikap wara' yaitu sikap
berhati hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas
masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat
materi maupun yang tidak pasti hukumnya lebih baik dihindari
(Khoiruddin, 2016).
e. Sabar
Menurut Al Ghazali sabar adalah suatu kondisi jiwa yang terjadi
karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa
nafsu. Dengan demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan
semua perintah Allah, menghadapi kesulitan, dan tabah dalam
menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.
Oleh karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap
dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengendalikan nafsunya,
maka sikap sabar akan tercipta (Khoiruddin, 2016).
Tercapainya karakter sabar merupakan respons dari keyakinan
yang dipertahankan. Keyakinan adalah landasan sabar, apabila seseorang
telah yakin bahwa jalan yang ditempuhnya benar, maka ia akan teguh
dalam pendiriannya walaupun menghadapi tantangan (Khpiruddin,
2016).
Al Ghazali membedakan tingkatan sabar, menjadi iffah, hilm,
qana'ah dan syaja'ah. İffah ialah kemampuan mengatasi hawa nafsu. Hilm
merupakan kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak marah.
Qana'ah yaitu ketabahan hati untuk menerima nasib. Adapun syaja'ah
yaitu sifat pantang menyerah (Khoiruddin, 2016).
12
f. Ridha
Pengertian ridha adalah menerima hal-hal yang tidak
menyenangkan. Seorang dengan senang hati menerima ketentuan atau
qodho dari Allah dan tidak mengingkari apa yang telah menjadi
keputusan-Nya. Sikap mental ridha merupakan perpaduan dari
mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan
menimbulkan kelapangan hati untuk berkorban demi yang dicintainya.
Seorang hamba yang ridha, ia rela menuruti apa yang dikehendaki oleh
Allah dengan senang hati, sekaligus tidak dibarengi dengan sikap
menentang dan menyesal (Khoiruddin, 2016).
g. Muraqabah
Muraqabah berarti mawas diri. Muraqabah mempunyai makna
hampir sama dengan Introspeksi. Dengan kata lain muraqabah adalah
siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang sufi
sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari
pengawasan Allah. Seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada
sedekat mungkin dengan-Nya. la sadar bahwa Allah melihatnya.
Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah
(Khoiruddin, 2016).
3. Tajalli
Tajalli adalah proses terakhir atau ketiga dari proses
takhalli, tahalli dan tajalli dari metode tasawuf akhlaqi.
Peningkatan nur ghaib dalam jiwa harus dilakukan dengan
istiqomah dalam mengamalkan dari ketiga fase dari tasawauf
akhlaqi. Kesadaran ketuhanan dalam setiap aktivitas akan
kecintaan bahkan kerinduan kepadaan-Nya (Yasin, 2019).
13
Untuk memperdalam dan melanggengkan rasa kedekatan
dengan tuhan, para sufi mengajarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Munajat berarti memuja dan memuji keagungan Allah dengan
sepenuh hati.
b. Muhasabah seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali selalu
memikirkan dan merenungkan apa yang telah diperbuat dan akan di
perbuat. Dengan mushasabah seorang sufi akan selalu memikirkan dan
merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah di perbuat, serta
merenungkan kekurangan dalam ibadahnya dan memikirkan ataş
semua tingkah laku terhadap sesama manusia.
c. Selain itu adalah maqom muqorobah yakni meyakini dan
merasakan senantiasa berhadapan dengan Allah SWT. Semua yang
dilakukan manusia baik yang fisik maupun yang batin tidak pernah luput
dari pengawasan Allah SWT. Al-Ghazali menyatakan bahwa
muqorrabah memiliki arti yang sama dengan al-ihsan. Sebagaimana
yang diterangkan oleh Jibril kepada Rasulullah, adalah "engkau
menyembah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatnya dan
sekalipun engkau tidak melihatnya, Dia melihat engkau." (Yasin, 2019).
Dengan demikian tasawuf adalah ajaran atau amalan untuk
membersihkan jiwa dari berbagai penyakit tercela yang menutupi hati,
agar terbukanya nur Illahi. Hati yang terbebas dari segala penyakit
tercela yang bernaung di dalam jiwa seseorang, maka orang tersebut
akan terhindar dari segala perkara yang hina. Serta menjadikan
seseorang menjadi lebih bijak dalam masalah kehidupannya baik untuk
diri sendiri maupun lingkungan sosial (Yasin, 2019).
14
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Khusnita. 2017. Konsep Etika Lingkungan Dalam Tasawuf. Kediri: IAIN Kediri.
Khoiruddin, M.A. 2016. Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern.
Dalam Jurnal Tasawuf Vol. 27 No.1 Januari 2016. Kediri: IAIT Kediri.
Yasin, Noor. 2019. Implementasi Nilai-nilai Tasawuf Dalam Pembinaan Akhlak
Santri di Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading-Malang. Malang : UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang.
16