Disusun Oleh :
Rifqi Bahrusalam
Kelas : 3 B ESY
Islam juga melarang manusia berperilaku malas. Dalam satu kejadian Amirul Mu’minin
Khalifah Umar Ibn Khaththab pernah menegur seorang shahabat yang sering duduk berdo’a di
masjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Katanya: “janganlah salah
seorang dari kalian duduk di masjid dan berdo’a. Ya Allah berilah aku rezeki. Sedangkan kalian tahu
bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak”. Peringatan Umar ini
menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung kerja dan peningkatan produktifitas manusia dalam
setiap segi perekonomian.
g. Kepemilikan (al-Milk)
Islam tidak mengenal kepemilikan sumber-sumber
ekonomi secara absolute, tidak menghendaki terjadinya persaingan bebas dalam kegiatan ekonomi
dan transaksi bisnis, seperti dianut oleh sistem ekonomi kapitalisme. Islam juga tidak mengenal
sistem ekonomi yang terpusat pada satu pihak saja, seperti dalam sistem perekonomian sosialis dan
marxis yang terpusat pada kaum proletar di bawah pemimpin negara diktator, distribusi produksi
barang dan jasa diatur oleh negara secara ketat, pendapatan bersifat kolektif dan distribusi kolektif
menjadi acuan utama, hubungan- hubungan ekonomi secara perirangan dibatasi.
Berbeda dengan dua system perekonomian di atas, dalam perspektif ekonomi Islam
kepemilikan yang hakiki hanya milik Allah, sementara kepemilikan manusia bersifat relatif, dalam
pengertian manusia hanyalah sebagai penerima titipan (pemegang amanat) dan harus
mempertanggungjawabkan kepemilikan sementaranya kepada Allah. Kepemilikan manusia terhadap
sumber-sumber ekonomi baik barang dan jasa bersifat sementara. Kepemilikan manusia terhadap
sumber-sumber ekonomi yang bersifat absolute bertentangan dengan tauhid, karena pemilik segala-
galanya hanya Allah. Karena kepemilikan sumber-sumber ekonomi terpulang kepada Allah, maka
setiap individu memiliki akses yang sama terhadap milik Allah, sebab peruntukkan diciptakan alam
semesta adalah untuk seluruh umat manusia.
Namun dalam pengaturannya, dalam sistem ekonomi Islam masalah kepemilikan ini dibagi
menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dankepemilikan negara. Kepemilikan
individu diperoleh melalui bekerja, warisan, pemberian, hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang temuan,
dan jual beli. Kepemilikan umum terjadi pada barang-barang yang dibutuhkan manusia secara umum
dalam memenuhi kehidupan sehari-hari dan menyangkut hajat orang banyak, seperti kepemilikan
api, bahan bakar, gas, listrik, hasil hutan, barang tambang, dan sarana transfortasi yang disediakan
alam. Sementara kepemilikan negara terjadi untuk masalah sumber ekonomi yang semula bersifat
umum, namun karena membutuhkan pengelolaan secara teratur maka negara mengaturnya untuk
kepentingan rakyat, seperti pengelolaan terhadap sumber barang tambang dan pengelolaan jalan tol.
h. Kebebasan dan tanggung jawab (al-Huriyah wa al- Mas’uliyah)
Pakar ekonomi Islam yang pertama kali memasukkan kebebasan dan tanggungjawab sebagai
salah satu dasar dalam ekonomi Islam adalah an-Naqvi (2005). Bila semula kedua prinsip ini terpisah
yaitu kebebasan sendiri dan tanggung jawab sendiri, namun oleh an-Naqvi kemudian digabungkan.
Dalam perspektif ekonomi Islam kebebasan memiliki dua pengertian, yaitu kebebasan dalam
pengertian teologis dan kebebasan dalam pengertian filosofis. Kebebasan teologis mengandung arti
bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola
sumberdaya alam. Kebebasan untuk memilih itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah
dianugrahi akal pikiran untuk mempertimbangkan antara yang baik dan yang buruk, yang maslahah
dan mafsadat, yang manfaat dan madharat, sehingga manusia harus bertanggungjawab atas segala
keputusan yang diambilnya.
Sementara kebebasan dalam pengertian filosofis (ushul fiqh) berarti bahwa dalam masalah
muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya dimana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang
tidak terdapat nash al-Qur’an dan hadis yang melarangnnya. Hal
ini didasarkan pada salah satu qaisah ushul fiqh “dalam muamalah segala sesuatu pada dasarnya
dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya”. Apabila aksioma ini dikorelasikan
dengan dunia bisnis, khususnya dalam masalah ekonomi, mengandung arti bahwa Islam benar-
benar memacu umat manusia untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan
tekonologi dan diversifikasi produk barang dan jasa.
i. Jaminan social (al-Dliman al-Ijtima’i)
Fakta menunjukan bahwa tidak setiap orang serba
berkemampuan, tidak sedikit justeru manusia masih banyak berada di bawah garis kemiskinan
dan tidak jarang manusia jerjebak pada prkatik mustad’afin yang sitemik. Terlebih lagi di era
global yang penuh persaingan seperti sekarang ini, dimana sumber-sumber perekonian dan
lapangan pekerjaan semakin langka, manusia harus berhadapan dengan persaingan untuk
meperebutkan sumber- sumber perekonomian, dan tidak sedikit untuk memperolehnya
dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan haram.
Demikian juga, sumber-sumber perekonomian tidak seluruhnya mampu menyediakan
barang dan jasa secara maksimal, dan produksinya terkadang terbatas, sehingga
penghasilannyapun berpareasi, ada sumber perekonomian yang menyediakan penghasilan yang
cukup besar dan melimpah, ada yang penghasilannya sedang-sedangsaja, dankebanyakan
penghasilannya sangat terbatas dan masih berkekurangan. Bagi mereka yang belum
berpenghasilan dan mereka yang penghasilannya masih kurang, maka Islam hadir dengan
membawa konsep jaminan sosial. Pada praktiknya jaminan sosial bila dilakukan melalui
lembaga, seperti lembaga zakat, infaq dan sodaqoh (Lazis), melalui mekanisme zakat fitrah
pada tanggal 1 Syawal setiap tahun, dan ibadah kurban pada setiap tanggal 10, 11, 12, san 13
Dzulhijjah setiap tahunnya.
j. Kenabian (al-Nubuwah)
Dunia ekonomi adalah dunia yang sangat dekat dengan
masalah keuangan, setiap orang sangat membutuhkan uang, begitu banyak orang yang terjebak
dan jatuh pada perilaku monopoli, kolusi dan korupsi karena merasa kekurangan dalam masalah
uang. Sumber-sumber perekonomian berupa barang dan jasa juga pada akhirnya berhenti pada
masalah uang. Oleh karena itu, supaya umat manusia tidak terjebak pada perilaku menyimpang
dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka semenjak dini Islam memberikan dasar, yaitu
dasar kenabian.
Yang dimaksud dengan dasar kenabian di sini terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki
oleh Rasulullah Saw, yaitu sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fatanah. (a) shiddiq berarti jujur
dan benar, prinsip ini harus menjiwai perilaku umat manusia dalam berkaitan dengan perilaku
ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. (b) amanah berarti dapat dipercaya,
professional, kredibilitas dan bertanggungjawab. Sifat amanah harus menjadi karakter bagi
para pelaku ekonomi Islam sehingga sukses dalam bisnisnya. (c) tabligh berarti
menyampaikan, komunikatif dan transparan. Para pelaku ekonomi Islam harus memiliki
kemampuan komunikasi yang handal dan dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi harus
dilakukan dengan transparan, dan (d) fathonah berarti cerdas dan memiliki intelektualitas yang
tinggi, kredibel, serta bertanggungjawab. Seorang pebisnis Islam harus memiliki dasar yang
cerdas, jeli terhadap pembacaan peluang dan mampu menciptakan peluang secara baik dan
benar sehingga dia mampu bersaing secara sehat dengan pebisnis lainnya.
c. Mekanisme Pasar Didukung Oleh Kontrol, Pengawasan dan Kerja Sama dengan
Perusahaan Negara Terbatas.
Mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem
harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara
persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak
menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi Mannan telah
memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit
untuk merelaisasikan norma tersebut dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi
yang jelas, Mannan tidak setuju dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan
output. Hal itu akan memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang mendasari
mekanisme pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan gagalnya mekanisme
pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan permintaan kelompok kaya. Oleh
karena itu, Mannan mengusulkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep
permintaan efektif..
d. Implementasi Zakat dan Penghapusan Bunga ( Riba )
Implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama
penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban
agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros
keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat ekonomi Islam melakukan
kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun dalam konotasi agama, kaum
muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat itu.
Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf delapan). Zakat
tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru zakat menjadi pendorong
kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat sehingga ia rajin bekerja agar
menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain itu, jika seseorang membiarkan
hartanya menganggur, maka ia akan semakin kehilangan hartanya karena dikurangi dengan
pengeluaran zakat tiap tahun. Oleh karena itu, ia harus bekerja dan hartanya harus produktif.
kedudukan zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya
dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa Rasulullah saw sampai
sekarang. Hal itu penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi
sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada Tuhannya
yang mensyariatkan zakat. Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan zakat untuk
membiayai proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya, Mannan
sangat menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.
Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif dengan mengalihkan
sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya merupakan bagi laba (rugi) dan
sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah, tidak saja semangat Qur’ani akan lebih
terpenuhi, namun, pada saat yang sama penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan kegiatan
ekonomi akan lebih sejalan dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja tawaran
Mannan tidak sebatas pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai pula
tawaran transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya.
Distribusi
Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si miskin demikian besar
sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat
berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan berpendapat bahwa distribusi
merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya.
Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena pemilikan
orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu, sebagian orang
memiliki lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar, asalkan keadilan
manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk mengakses faktor produksi
bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat memperoleh surplus penerimaannya asal ia telah
menunaikan semua kewajibannya. Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam ekonomi
Islam, inti masalah bukan terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak
pada ketidakmerataan distribusi kekayaan.
Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah
tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut
Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang. Mannan juga berpendapat
bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan tanah. Implikasi dari pendapatnya
itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil tanaman,
sekalipun ia lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak
disewakan dan lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.
Berkaitan dengan landlordism, Mannan memberikan kritikannya terhadap sewa tanah
tersebut karena hal itu dapat mengarah kepada penciptaan kelas kapitalistik dan dapat menjadi
ancaman bagi penciptaan masyarakat di negara Islam yang berkeadilan. Mannan
menambahkan bahwa penciptaan kelas kapitalistik juga mengancam etika dan moral Islam.
Namun demikian, Mannan memunculkan ambigu pada paparannya yang menyatakan bahwa
“Islam tidak mengenal eksploitasi pekerja dengan modal, dan tidak pula Islam menyetujui
penghapusan kelas kapitalis.
Kritikan Mannan pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada perlakuan distribusi
sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah distribusi fungsional
pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan ambigu karena Mannan juga
mengakui adanya empat faktor produksi serta menguraikan mengapa masing-masing faktor
produksi layak mendapat imbalan. Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun, mengkritik
bunga sebagai imbalan dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme perolehan
pendapatan dari imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan pekerja.
Produksi
Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau penciptaan nilai guna.
Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka barang
dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan menguntungkan, yaitu hanya
barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan, konsep Islam mengenai
kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan produksi barang yang baik
saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal
maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi.
Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan
partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang
berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm bukan hanya sebagai pemasok
komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan
ekonomi dan masyarakat.
Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah tangga produksi
yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus memperhatikan moral, sosial
dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul Mannan, gabungan dari motif laba,
kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta dorongan moral akan memacu proses produksi
dan distribusi menjadi maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, surplus produksi diperlukan sebagai persediaan generasi
sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dan
sosialis yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan pada mereka yang mampu
menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan pada individu dan pemerintah untuk
berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara anggota
masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi
mereka. Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan ekonomi akan
menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi, bukan konsentrasi dan
eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan demikian akan menimbulkan
efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, namun
berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu
norma dan nilai-nilai Islam.
Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi sebagai suatu
proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan kapasitas
potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota
masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah (miskin). Berdasarkan asumsi ini maka
produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga pasar, melainkan juga atas perencanaan
nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan
spesialisasi untuk berproduksi harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan
menekankan perlunya humanisasi proses produksi.
DAFTAR PUSTAKA
http://ajenghayyunurfadhilah.blogspot.com/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
http://yuliasabilla.blogspot.com/2016/12/pemikir-ekonomi-islam-monzer-al-khaf.html
https://media.neliti.com/media/publications/91284-ID-analisis-pemikiran-fzalur-rahman-
tentang.pdf
http://ajenghayyunurfadhilah.blogspot.com/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
http://yuliasabilla.blogspot.com/2016/12/pemikir-ekonomi-islam-monzer-al-khaf.html