Anda di halaman 1dari 16

UMER CHAPRA, AFZALUR RAHMAN, MUHAMMAD ABDUL MANNAN

DAN MONZER AL- KHAF

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


SPEI
Dosen Pembimbing : H. Masngudi. SS, M.Ei.

Disusun Oleh :
Rifqi Bahrusalam
Kelas : 3 B ESY

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)


Jl. KH. Sufyan Tsauri Po. Box 16 Telp. (0280) 6235
Majenang Cilacap 2018......................................
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MUHAMMAD UMER CHAPRA
            Salah satu cara untuk mengetahui pemikiran-pemikiran seseorang adalah dengan membaca
karya-karyanya. Umer chapra adalah seorang ekonom Islam yang juga muslim yang produktif menulis.
Ia menuangkan segala ide-idenya tentang ekonomi Islam berupa tulisan-tulisan atau paper. Tulisan-
tulisan itu sudah banyak yang diterbitkan, bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Berikut
ini dipaparkan beberapa pemikiran ekonominya melalui karya-karya ilmiahnya yang sudah diterbitkan.

A. Muhammad Umer Chapra dan Sistem Moneter Islam


            Buku Umer Chapra yang membahas tentang moneter adalah Towards a Just Monetary
System 'Sistem Moneter Islam' merupakan buku keduanya yang terbit pada tahun 1985. Sebelumnya,
buku pertamanya adalah  The Economic System of Islam: A Discussion of Its Goals and
Nature (London, 1970).
             Buku yang kedua ini berusaha menjawab dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan
dengan sistem perbankan dan keuangan Islam.
            Buku ini terdiri dari sembilan bab. Bab pertama membahas tentang sasaran dan strategi sistem
perbankan dan keuangan dalam perekonomian Islam. Ada lima hal yang dibahas pada bagian ini, yaitu
a. kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan
ekonomi yang optimal; b. keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang
merata; c. stabilitas nilai mata uang untuk memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat
diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang ditangguhkan, dan alat penyimpan nilai yang
stabil; d. mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dalam suatu cara yang
adil sehingga pengembalian keuntungan dapat dijamin bagi semua pihak yang bersangkutan; dan e.
memberikan semua bentuk pelayanan yang efektif yang secara normal diharapkan berasal dari sistem
perbankan.
            Bab kedua membahas tentang hakikat riba dalam Islam baik yang terdapat al-Qur'an, hadis,
maupun dalam literatur fiqh. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah Islam melarang keras praktek
riba. Sebagai solusinya, diberikan beberapa alternatif bagi riba seperti (bab ketiga) pembiayaan lewat
penyertaan modal (equity financing), membuat saluran untuk penyertaan modal (sole
proprietorship  [usaha yang dikelola sendiri], parnertship[kemitraan], mudharabah, musyarakah, dan
perusahaan perseroan), dan koperasi.
            Pada bab keempat dikemukakan tentang beberapa reformasi fundamental sebagai solusi
selanjutnya untuk keluar dari praktek riba. Beberapa reformasi fundamental tersebut adalah tabungan
dan investasi, pembiayaan lewat penyertaan modal, mengurangi kekuasaan bank, dan menciptakan
bursa yang sehat.
            Dengan pengenalan berbagai reformasi fundamental tersebut, sisitem perbankan dapat
berfungsi untuk mencapai sasaran-sasaran sosioekonomi Islam. Suatu perubahan yang hanya
menggantikan riba dengan bagi hasil tidak akan dapat mencapai tujuan, meskipun hal tersebut
merupakan perubahan yang perlu disambut sebagai cara yang digunakan oleh para bankir muslim
untuk mencari pengalaman menjalankan perbankan bebas riba dan memberikan jalan bagi beberapa
reformasi di kemudian hari.
            Bab kelima mengevaluasi keberatan-keberatan yang timbul karena adanya penghapusan riba
dan memperlihatkan alasan di balik pelarangan riba. Keberatan yang pertama adalah bahwa hal ini
tidak akan dapat menciptakan sebuah alokasi sumber daya yang optimal karena bunga adalah seperti
harga-harga yang lain yang melakukan fungsi mengalokasikan dana-dana pinjaman "yang langka" di
antara para pengguna dana-dana yang jumlahnya tidak terbatas dalam suatu cara yang objektif
berdasarkan kemampuan untuk membayar harga.
            Keberatan yang kedua adalah kekhawatiran adanya suatu laju preferensi waktu yang sosial
yang positif yang diperkuat oleh efek erosif inflasi, akan terbentuk tabungan dan formasi modal sektor
swasta positif yang kecil dalam sebuah perekonomian Islam. Akan tetapi, kekhawatiran ini,menurut
Umar Chapra dianggap tidak berdasar karena bukti-bukti empiris tidak menunjukkan adanya suatu
korelasi positif yang signifikan antara bunga dan tabungan, bahkan di negara industri sekalipun.
Dampak suku bunga pada tabungan di negara-negara berkembang ditemukan sangat kecil (negligible)
dalam banyak studi.
            Keberatan ketika yang dituduhkan adalah bahwa keseluruhan sistem yang berbasis pada
penyertaan modal akan sangat tidak stabil. Tuduhan ini, oleh Umar Chapra dianggap sebagai
tuduhan yang yang tidak berdasar, tanpa dukungan empiris dan tidak logis. Keberatan yang
selanjutnya adalah bahwa prospek pertumbuhan akan redup dalam sebuah perekonomian
Islam setelah penghapusan bung yang oleh Umar Chapra hal ini dianggap sebagai kritikan yang
tidak valid.
Keberatan-keberatan lainnya adalah yang dianggap mengada-ada adalah bahwa dalam
perekonomian bebas riba (perekonomian Islam) kerugian-kerugian cenderung ditimpakan kepada
deposito. Keberatan keenam yang dikemukakan adalah adanya pinjaman jangka pendek sehingga
tidak dimungkan persiapan bagi hasil karena sulitnya menentukan keuntungan dalam periode yang
sempit.
Keberatan ketujuh terhadap perekonomian Islam adalah berkaitan dengan penyediaan kredit
konsumen dan pinjaman untuk proyek-proyek seperti pembangunan rumah dan industri
perumahan. Keberatan yang paling utama terhadap perekonomian Islam adalah bahwa dalam
ketiadaan bungan tidak mungkin pemerintah akan membiayai defisit(kekurangan) anggaran dengan
melakukan pinjaman dari sektor swasta. Defisit anggaran pemerintah adalah cara penting untuk
menghasilkan pertumbuhan dan memperbaiki standar kehidupan.
      Pada bab keenam dikemukakan tentang pendirian lembaga institusional yang secara prinsip
berbeda dengan institusi konvensional dalam hal lingkup dan tanggung jawab. Bab ketujuh membahas
tentang pengelolahan kebijakan moneter dalam lembaga yang baru. Kemudian pada bab kedelapan
mengevaluasi program yang diajukan sesuai dengan tujuan yang dibahas pada bab pertama dan
diakhiri dengan bab kesembilan yang merupakan bab kesimpulan.

B. Muhammad Umer Chapra mengenai Islam dan Tantangan Ekonomi


            Buku Islam dan Tantangan Ekonomi merupakan hasil penelitian dan renungan selama satu
dekade. Dalam penelitian ini, ia mengkaji tiga sistem ekonomi Barat yaitu Kapitalisme, Sosialisme,
dan gabungan dari dua sistem tersebut yaitu "negara kesejahteraan". Ia mengemukakan neraca ketiga
sistem tersebut dari segi prestasi-prestasinya maupun kegagalan-kegagalannya.
            Pada pendahuluan bukunya ini, Umer Chapra mengemukakan tentang tujuan ditulisnya buku
tersebut. Ia mengemukakan bahwa buku ini merupakan suatu upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang apa, bagaimana, dan untuk siapa melakukan produksi. Berapa jumlah barang dan jasa yang
harus diproduksi, siapa yang akan memproduksinya, dan dengan kombinasi sumber-sumber daya apa
saja dan dengan teknologi yang bagaimana serta siapakah yang akan menikmati barang dan jasa yang
diproduksi itu.
            Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut menentukan alokasi sumber daya dalam ekonomi,
distribusi antarindividu dan antar (konsumsi) sekarang dan masa depan (tabungan dan investasi).
            Secara garis besar, buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama meliputi sistem-sistem
perekonomian yang gagal yang harus dihindari oleh negara-negara muslim, jika ingin
mengaktualisasikan tujuan sosioekonominya. Tiga bab pertama pada bagian ini, menganalisis
pandangan dunia dan strategi dari sistem yang berlaku. Umer bukan saja mengkritik, tetapi
mengidentifikasi  logika, hakikat, dan implikasi dari konflik yang terjadi antara tujuan-tujuan,
pandangan dunia, dan strateginya. Hal ini dilakukan agar pembaca mampu mengadakan apresiasi
mengapa ketidakharmonisan ini membuat mereka gagal dan terus akan menggagalkan usaha-usaha
dari negara-negara yang mengikuti sistem-sistem ini untuk merealisasikan  secara serentak efisiensi
dan pemerataan  dalam alokasi sumber daya mereka yang terbatas.
            Pada bab empat, diketengahkan masalah-masalah tentang formulasi kebijakan dalam perspektif
sistem yang berlaku yang mengakibatkan inkonsistensi dalam kebijakan-kebijakan ekonomi yang
dipakai oleh negara yang sedang  berkembang dan memperburuk berbagai hal. Bukan saja dalam
bentuk ketidakseimbangan makroekonomi dan masalah eksternal yang terus merisaukan, tetapi juga
makin menjauhkan mereka dari tujuan-tujuan mewujudkan pemerataan.
            Bagian kedua dari buku ini terdiri dari delapan bab. Bagian ini, yaitu bab lima menjelaskan
tentang pandangan dunia Islam dan strateginya. Pandangan dunia Islam ini didasarkan pada tiga
prinsip yang paling pokok yaitu tauhid 'keesaan', khilafah 'perwakilan', dan 'adalah 'keadilan'.
            Bab enam menjelaskan tentang musibah yang terjadi di dunia Islam. Musibah tersebut antara
lain terjadinya degenerasi moral dan politik, serta terjadinya kemunduran dalam bidang ekonomi. Pada
bab ini juga dijelaskan tentang perlunya perubahan di dunia Islam, perlunya peran ulama, dan
restrukturisasi kebijakan.
            Pada bab tujuh dibahas tentang bagaimana cara menghidupkan faktor-faktor kemanusiaan. Di
antaranya dengan pemberian motivasi, keadilan sosioekonomi, perbaikan kondisi pedesaan, dimensi
moral, meningkatkan  kemampuan dengan memberikan pendidikan dan latihan serta memperluas akses
kepada keuangan.
            Bab delapan berisi tentang bagaimana caranya mengurangi konsentrasi kekayaan pada
segelintir orang. Di antara yang diusulkan adalah adanya reformasi mengenai kepemilikan tanah,
pengembangan industri kecil dan mikro, kepemilikan yang lebih luas dan kontrol terhadap perusahaan,
menggerakkan kembali zakat dan sistem warisan, dan restrukturisasi sistem keuangan.
            Pada bab sembilan dan sepuluh membahas tentang bentuk-bentuk restrukturisasi ekonomi dan
keuangan. Bab sebelas memaparkan tentang perencanaan kebijakan strategis dan diakhiri dengan bab
dua belas mengenai kesimpulan yang memaparkan kembali intisari dari semua bab yang ada pada
buku ini.

C. Muhammad Umer Chapra mengenai Islam dan Pembangunan Ekonomi


            Muhammad Umer Chapra berbicara mengenai Islam dan Pembangunan Ekonomi. Ia
menuangkan gagasan-gagasannya ini dalam bentuk buku. Buku ini lahir karena dilatarbelakangi oleh
lima macam pertanyaan. Pertama, bagaimana jenis pembangunan yang diinginkan oleh
Islam? Kedua dan ketiga, apakah jenis pembangunan ini dapat direalisasikan dengan pendekatan
sekuler yang percaya pada sistem pasar atau sosialisme atau strategi-strategi yang diformulasikan  oleh
para ekonom pembangunan dalam kerangka kerja dua sistem itu. Keempat, bagaimana strategi Islam?
Apakah dapat membantu negara-negara muslim memformulasikan kerangka aktualisasi pembangunan
yang diinginkan oleh Islam dengan tujuan menanggulangi ketidakseimbangan makro
ekonomi? Kelima, kenapa, selama ini, negara-negara muslim gagal merumuskan dan
mengimplementasikan strategi tersebut?
            Di awal bukunya ini, Umer Chapra mengemukakan pandangan hidup Islam yang didasarkan
pada tiga konsep yang fundamental yaitu tauhid(keesaan Allah swt.), khilafah, keadilan ('adalah).
Tauhid adalah konsep yang paling penting dari ketiganya. Dua konsep lainnya merupakan turunan
logika. Tauhid mengandung implikasi bahwa alam semesta ini secara sadar atau sengaja dibentuk  dan
diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, dan Unik. Oleh karena itu, mustahil alam
raya ini muncul secara kebetulan (Q.S. Ali Imran [3]: 191, Q.S. Shad [38]: 27, Q.S. al-Mukminun [23]:
15).[34]
            Manusia adalah Khalifah Allah di Bumi (Q.S. al-Baqarah [2]: 30, al-An'am [6]: 165, Fathir
[35]: 39, Shad [38]: 28, dan al-Hadid [57]: 7) dan semua sumber daya yang ada di tangannya adalah
suatu amanah (Q.S. al-Hadid [57]: 7). Oleh karena Dialah yang menciptakan manusia, maka Dialah
yang memiliki pengetahuan yang sempurna tentang makhluk-Nya, kekuatannya, dan kelemahannya.
Dialah yang mampu memberikan petunjuk yang dengan petunjuk tersebut, manusia akan dapat hidup
harmonis dengan alamnya dan kebutuhannya.  Umat manusia diberi kebebasan untuk memilih atau
menolak petunjuk itu, meskipun demikian, mereka hanya dapat mencapai kebahagian (falah) dengan
mengimplementasikan petunjuk tersebut dalam kehidupan mereka sendiri dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai khalifah Allah, manusia bertanggung jawab kepada-Nya. Mereka akan diberi
pahala dan disiksa di hari akhirat kelak berdasarkan kehidupan mereka di dunia ini.
            Pada bab II bukunya, Umar Chapra menganggap bahwa sistem Kapitalisme laissez-faire dan
Sosialisme telah gagal merealisasikan pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh, distribusi
pendapatan, dan kekayaan yang merata. Kedua sistem itu tidak dapat mengantarkan perubahan
struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan dengan keadilan dan stabilitas.
Oleh karena itu, kedua sistem itu tidak mungkin dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara yang
sedang berkembang, khususnya negara-negara muslim karena  komitmen Islam yang tegas terhadap
keadilan sosioekonomi.
            Umar Chapra bukan hanya mengkritik kedua sistem di atas tanpa solusi. Ia menawarkan lima
tindakan kebijakan sebagai solusi bagi pembangunan yang disertai keadilan dan stabilitas. Kelima
kebijakan tersebut adalah,1) memberikan kenyamanan kepada faktor manusia; 2) mereduksi
konsentrasi kekayaan; 3) melakukan restrukturisasi ekonomi; 4) melakukan restrukturisasi keuangan;
dan 5) melakukan rencana kebijakan strategis.
            Sebenarnya, melalui buku ini, Muhammd Umer Chapra membuktikan bahwa Islamlah satu-
satunya alternatif untuk menggantikan Kapitalisme dan Sosialisme. Ia membuktikan bahwa Islam
mempunyai potensi untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan yang selama ini didamba-
dambakan oleh setiap manusia.

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MENURUT AFZALUR RAHMAN


Menurut Rahman (1995), ekonomi Islam didasarkan pada sepuluh fondasi utama, yaitu tauhid,
keadilan, kepemimpinan, persaudaraan, kerja dan produktifitas, kepemilikan, kebebasan dan
tanggung jawab, jaminan sosial, dan nubuwah.
a. Tauhid (al-Tauhid)
Dalam ajaran Islam tauhid merupakan dasar seluruh
konsep dan aktivitas manusia, baik dalam bidang agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Tauhid
dapat berarti pengesaan Allah atau menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah, dengan demikian
dalam kegiatan ekonomi seluruh aktivitas ekonomi harus didasarkan pada penyerahan dann ketaatan
kepada aturan Allah. Menurut Islamil Raji al-Faruqi (1998) tauhid sebagai prinsip utama dalam
sistem ekonomi yang mewujudkan negara sejahtera, Islam secara sosial berkehendak mewujudkan
keadilan sosial, Islam berusaha mengangkat derajat dan martabat manusia. Bila sistem ekonomi
konvensional Barat didasarkan pada filosofis sekuralisme, materialisme dan hedonisme, dalam
ekonomi Islam mendasarkan pada falsafah Ilahiyah.
Konsep tauhid mengajarkan segala sesuatu harus bertitik tolak dari Allah dan semuanya
dikembalikan kepada Allah. Kegiatan ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, dan ekspor-
impor juga harus bertitik tolak dari tauhid dan terus bergerak dalam koridor syari’at Islam. Seorang
muslim yang bekerja di pabrik sejak dia berangkat dari rumah, ketiga berada di pabrik, sampai
kembali ke rumahnya harus dianiati dalam rangka takwa kepada Allah. Barang dan jasa yang
diproduksi atas nama Allah maka kualitasnya akan terjamin secara maksimal.
b. Maslahah (al-Maslahah)
Pondasi kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah
(kemaslahatan). Maslahah diposisikan sebagai pondasi kedua karena tujuan syari’at Islam adalah
mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Maslahah berarti bernilai baik atau berfungsi baik dunia
dan akhirat. Para fuqaha mendefinisikan maslahah sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat,
berguna, dan kebaikan. Dalam konsep al-Ghozali, maslahah adalah usaha mewujudkan dan
memelihara lima kebutuhan dasar umat manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
benda. Dalam perspektif ijtihad dalam ekonomi Islam al-maslahah sebagai suatu pendekatan sangat
vital terutama dalam pengembangan ekonomi islam dan kebijakan ekonomi Islam, sebab maslahah
adalah sesuatu yang hendak diwujudkan dalam syari’at Islam. Maka segala tindakan ekonomi Islam
baik yang terkait dengan produksi barang dan jasa harus mengandung unsur kemaslahatan bagi umat
manusia.
c. Keadilan (al-‘Adl)
Dasar ketiga bangunan ilmu ekonomi Islam adalah
keadilan (al-‘Adl). Keadilan adalah salah satu pilar kehidupan yang dibangun segera oleh nabi
Muhammad saw, kehidupan korup dan ketidakadilan yang menghinggapi masyarakat Arab kala itu
menjadi salah satu faktor ditegakkannya keadilan. Keadilan berlaku untuk semua segi kehidupan
umat manusia, termasuk dalam keadilan bidang ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan.
Islam berusaha menciptakan kehidupan berkeadilan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan
agama, seperti banyak ditegaskan dalam al- Qur’an dan Sunnah.
Menurut Syari’ati (1984), hampir dua pertiga dari isi al-Qur’an berisi tentang keharusan
menegakkan keadilan dan penghapusan kezhaliman, hal ini seperti diungkapkan dalam bentuk lafadz
zulum, ism, dalal, dan lainnya. Tujuan pengungkapan kata al-‘Adl ini sebagai bukti betapa Islam
sangat mengedepankan keadilan dan memusuhi kedzaliman di tengah-tengah kehidupan umat
manusia, seperti begitu kuatnya Islam untuk menciptakan rasa kedilan dalam bidang ekonomi. Oleh
karena itu, keadilan ini menjadi salah satu dasar perwujudan ekonomi Islam.
d. Kepemimpinan (al-Khilafah)
Dalam perspektif Islam tujuan diciptakannya manusia
adalah untuk beribadah kepada Allah, dan fungsi umat manusia di muka dunia ini adalah sebagai
khalifah atau pemimpin sebagai wakil Allah di dunia. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling
sempurna, kesempurnaan ini diperlengkap dengan banyak potensi, seperti potensi akal, spiritual, dan
material yang memungkinkan manusia bisa melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin di dunia.
Sebagai pemimpin manusia memiliki kewajiban mengelola alam dan memakmurkan bumi sesuai
dengan ketentuan dan syari’at Islam. Namun demikian, manusia juga diberikan kebebasan dan dengan
kekuatan akal pikiran manusia diberi kebebasan memilih pola pengelolaan dunia.
Konsep kepemimpinan Islam dalam bidang ekonomi bertujuan mengangkat martabat umat
manusia ke status terhormat di dalam alam semesta, seperti ditegaskan dalam al-Qur’an Surat 17 ayat
70. Memberikan arti dan misi begi kehidupan manusia. Sebagai khalifah manusia melaksanakan
tugasnya sesuai dengan syari’at Islam, mengelola sumber penghidupan dengan seadil dan seefisien
mungkin sehingga terwujud kesejahteraan yang menjadi tujuan ekonomi Islam. Tujuan ini akan
tercapai jika sumber penghidupan digunakan dengan penuh tanggungjawab dalam batas-batas yang
telah digariskan dalam syari’at Islam.
e. Persaudaraan (al-Ukhuwah)
Islam mengajarkan persaudaraan (ukhuwah), baik
persaudaraan seagama Islam (Ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sebangsa dan setanah air (Ukhuwah
Wathoniyah), dan persaudaraan sesama manusia (Ukhuwah al-Insaniyah). Persaudaraan yang dibangun
Islam bersifat universal dan menyeluruh, termasuk persaudaraan dalam perekonomian. Hal ini
seperti ditegaskan dalam al-Qur’an Surat 49 ayat 13, yang artinya: “Wahai manusia, sesuangguhnya
Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku- suku supaya kamu saling mengenal”.
Di samping itu, Islam juga sangat mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi. Dalam al-Qur’an diistilahkan dengan al-Itstar atau sikap mementingkan orang lain. Islam
juga mengenal konsep al-Musawat atau persamaan di atara sesama manusia, dalam sosiologi konsep
ini disebuat egaliter. Semua sumber daya alam diperuntukkan Allah bagi kemakmuran dan sebagai
sumber ekonomi manusia. Dari sini Nampak jelas bahwa konsep kebersamaan dan persaudaraan
manusia menjadi dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Konsep persaudaraan manusia juga menunjukkan bahwa Islam menolak adanya stratifikasi
manusia, dan sebagai implikasi konsep ini adalah bahwa antar sesame manusia terbangun rasa
persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerja sama dalam perekonomian,
seperti tercermin dalam bentuk syirkah, qiradh, dan mudharabah (profit and lost sharing). Sistem
ekonomi ini sudah diterapkan dalam aktivitas ekonomi mikro pada lembaga-lembaga keuangan
Islam, seperti di Maitul Mal wat Tamwil (BMT) dan bank-bank syariah.
f. Kerja dan produktifitas (al-‘Amalh wa al-Intajiyah)
Islam mengajarkan konsep keseimbangan antara kehidupan
dunia dan akhirat, antara ibadah dan bekerja, dan semua pekerjaan manusia yang beriman kepada
Allah (muslim) selama diniati dan diawali dengan menyebut nama Allah (basmallah) maka semuanya
bernilai ibadah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap kerja manusia sehingga sangat
mendukung meningkatnya produktifitas. Al-Qur’an dan Sunnah sangat mendukung hal ini, dalam
salah satu sabdanya, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Siapa yang bekerja keras untuk mencari
nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabilillah” (H.R. Imam Ahmad).
Dalam bekerja Islam mensyaratkan dengan cara-cara yang baik dan benar dan melalui jalan
yang diridhai Allah.

Islam juga melarang manusia berperilaku malas. Dalam satu kejadian Amirul Mu’minin
Khalifah Umar Ibn Khaththab pernah menegur seorang shahabat yang sering duduk berdo’a di
masjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Katanya: “janganlah salah
seorang dari kalian duduk di masjid dan berdo’a. Ya Allah berilah aku rezeki. Sedangkan kalian tahu
bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak”. Peringatan Umar ini
menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung kerja dan peningkatan produktifitas manusia dalam
setiap segi perekonomian.
g. Kepemilikan (al-Milk)
Islam tidak mengenal kepemilikan sumber-sumber
ekonomi secara absolute, tidak menghendaki terjadinya persaingan bebas dalam kegiatan ekonomi
dan transaksi bisnis, seperti dianut oleh sistem ekonomi kapitalisme. Islam juga tidak mengenal
sistem ekonomi yang terpusat pada satu pihak saja, seperti dalam sistem perekonomian sosialis dan
marxis yang terpusat pada kaum proletar di bawah pemimpin negara diktator, distribusi produksi
barang dan jasa diatur oleh negara secara ketat, pendapatan bersifat kolektif dan distribusi kolektif
menjadi acuan utama, hubungan- hubungan ekonomi secara perirangan dibatasi.
Berbeda dengan dua system perekonomian di atas, dalam perspektif ekonomi Islam
kepemilikan yang hakiki hanya milik Allah, sementara kepemilikan manusia bersifat relatif, dalam
pengertian manusia hanyalah sebagai penerima titipan (pemegang amanat) dan harus
mempertanggungjawabkan kepemilikan sementaranya kepada Allah. Kepemilikan manusia terhadap
sumber-sumber ekonomi baik barang dan jasa bersifat sementara. Kepemilikan manusia terhadap
sumber-sumber ekonomi yang bersifat absolute bertentangan dengan tauhid, karena pemilik segala-
galanya hanya Allah. Karena kepemilikan sumber-sumber ekonomi terpulang kepada Allah, maka
setiap individu memiliki akses yang sama terhadap milik Allah, sebab peruntukkan diciptakan alam
semesta adalah untuk seluruh umat manusia.
Namun dalam pengaturannya, dalam sistem ekonomi Islam masalah kepemilikan ini dibagi
menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dankepemilikan negara. Kepemilikan
individu diperoleh melalui bekerja, warisan, pemberian, hibah, hadiah, wasiat, mahar, barang temuan,
dan jual beli. Kepemilikan umum terjadi pada barang-barang yang dibutuhkan manusia secara umum
dalam memenuhi kehidupan sehari-hari dan menyangkut hajat orang banyak, seperti kepemilikan
api, bahan bakar, gas, listrik, hasil hutan, barang tambang, dan sarana transfortasi yang disediakan
alam. Sementara kepemilikan negara terjadi untuk masalah sumber ekonomi yang semula bersifat
umum, namun karena membutuhkan pengelolaan secara teratur maka negara mengaturnya untuk
kepentingan rakyat, seperti pengelolaan terhadap sumber barang tambang dan pengelolaan jalan tol.
h. Kebebasan dan tanggung jawab (al-Huriyah wa al- Mas’uliyah)
Pakar ekonomi Islam yang pertama kali memasukkan kebebasan dan tanggungjawab sebagai
salah satu dasar dalam ekonomi Islam adalah an-Naqvi (2005). Bila semula kedua prinsip ini terpisah
yaitu kebebasan sendiri dan tanggung jawab sendiri, namun oleh an-Naqvi kemudian digabungkan.
Dalam perspektif ekonomi Islam kebebasan memiliki dua pengertian, yaitu kebebasan dalam
pengertian teologis dan kebebasan dalam pengertian filosofis. Kebebasan teologis mengandung arti
bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola
sumberdaya alam. Kebebasan untuk memilih itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah
dianugrahi akal pikiran untuk mempertimbangkan antara yang baik dan yang buruk, yang maslahah
dan mafsadat, yang manfaat dan madharat, sehingga manusia harus bertanggungjawab atas segala
keputusan yang diambilnya.
Sementara kebebasan dalam pengertian filosofis (ushul fiqh) berarti bahwa dalam masalah
muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya dimana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang
tidak terdapat nash al-Qur’an dan hadis yang melarangnnya. Hal
ini didasarkan pada salah satu qaisah ushul fiqh “dalam muamalah segala sesuatu pada dasarnya
dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya”. Apabila aksioma ini dikorelasikan
dengan dunia bisnis, khususnya dalam masalah ekonomi, mengandung arti bahwa Islam benar-
benar memacu umat manusia untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan
tekonologi dan diversifikasi produk barang dan jasa.
i. Jaminan social (al-Dliman al-Ijtima’i)
Fakta menunjukan bahwa tidak setiap orang serba
berkemampuan, tidak sedikit justeru manusia masih banyak berada di bawah garis kemiskinan
dan tidak jarang manusia jerjebak pada prkatik mustad’afin yang sitemik. Terlebih lagi di era
global yang penuh persaingan seperti sekarang ini, dimana sumber-sumber perekonian dan
lapangan pekerjaan semakin langka, manusia harus berhadapan dengan persaingan untuk
meperebutkan sumber- sumber perekonomian, dan tidak sedikit untuk memperolehnya
dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan haram.
Demikian juga, sumber-sumber perekonomian tidak seluruhnya mampu menyediakan
barang dan jasa secara maksimal, dan produksinya terkadang terbatas, sehingga
penghasilannyapun berpareasi, ada sumber perekonomian yang menyediakan penghasilan yang
cukup besar dan melimpah, ada yang penghasilannya sedang-sedangsaja, dankebanyakan
penghasilannya sangat terbatas dan masih berkekurangan. Bagi mereka yang belum
berpenghasilan dan mereka yang penghasilannya masih kurang, maka Islam hadir dengan
membawa konsep jaminan sosial. Pada praktiknya jaminan sosial bila dilakukan melalui
lembaga, seperti lembaga zakat, infaq dan sodaqoh (Lazis), melalui mekanisme zakat fitrah
pada tanggal 1 Syawal setiap tahun, dan ibadah kurban pada setiap tanggal 10, 11, 12, san 13
Dzulhijjah setiap tahunnya.
j. Kenabian (al-Nubuwah)
Dunia ekonomi adalah dunia yang sangat dekat dengan
masalah keuangan, setiap orang sangat membutuhkan uang, begitu banyak orang yang terjebak
dan jatuh pada perilaku monopoli, kolusi dan korupsi karena merasa kekurangan dalam masalah
uang. Sumber-sumber perekonomian berupa barang dan jasa juga pada akhirnya berhenti pada
masalah uang. Oleh karena itu, supaya umat manusia tidak terjebak pada perilaku menyimpang
dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka semenjak dini Islam memberikan dasar, yaitu
dasar kenabian.
Yang dimaksud dengan dasar kenabian di sini terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki
oleh Rasulullah Saw, yaitu sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fatanah. (a) shiddiq berarti jujur
dan benar, prinsip ini harus menjiwai perilaku umat manusia dalam berkaitan dengan perilaku
ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. (b) amanah berarti dapat dipercaya,
professional, kredibilitas dan bertanggungjawab. Sifat amanah harus menjadi karakter bagi
para pelaku ekonomi Islam sehingga sukses dalam bisnisnya. (c) tabligh berarti
menyampaikan, komunikatif dan transparan. Para pelaku ekonomi Islam harus memiliki
kemampuan komunikasi yang handal dan dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi harus
dilakukan dengan transparan, dan (d) fathonah berarti cerdas dan memiliki intelektualitas yang
tinggi, kredibel, serta bertanggungjawab. Seorang pebisnis Islam harus memiliki dasar yang
cerdas, jeli terhadap pembacaan peluang dan mampu menciptakan peluang secara baik dan
benar sehingga dia mampu bersaing secara sehat dengan pebisnis lainnya.

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MUHAMMAD ABDUL MANNAN


Beberapa asumsi dasar dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:
Pertama, Mannan tidak percaya kepada “harmony of interests” yang terbentuk oleh
mekanisme pasar seperti teori Adam Smith. Sejatinya harmony of interests hanyalah angan-
angan yang utopis karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai naluri untuk menguasai
pada yang lain. Hawa nafsu ini jika tidak dikendalikan maka akan cenderung merugikan pada
yang lain. Begitulah kehidupan kapitalistik yang saat ini tengah terjadi, di mana kepentingan
pihak-pihak yang kuat secara faktor produksi dan juga kekuasaan mendominasi percaturan
kehidupan. Oleh karena itu, Mannan menekankan pada perlunya beberapa jenis intervensi
pasar. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia secara pribadi tidak bisa menciptakan keadilan
yang sesungguhnya. Manusia cenderung menindas pada manusia yang lain. Oleh karena itu,
ekonomi Islam diharapkan akan bekerja pada perpotongan antara mekanisme pasar dan
perencanaan terpusat.
Kedua, penolakannya pada Marxis. Teori perubahan Marxis tidak akan mengarah pada
perubahan yang lebih baik. Teori Marxis hanyalah reaksi dari kapitalisme yang jika ditarik
garis merah tidak lebih dari solusi yang tidak tuntas. Bahkan, lebih jauh teori Marxis ini
cenderung tidak manusiawi karena mengabaikan naluri manusia yang fitrah, di mana setiap
manusia mempunyai kelebihan antara satu dan lainnya dan itu perlu mendapatkan reward yang
berarti. Dia berpendapat, hanya ekonomi Islam yang dapat memberikan perubahan yang lebih
baik. Alasan utama Mannan adalah karena ekonomi Islam memiliki nilai-nilai etika dan
kemampuan motivasional. Tetapi, Mannan tidak menjelaskan perbedaan nilai etika Islam dan
kemampuan motivasional tersebut dengan nilai-nilai Marxis beserta motivasinya.
Ketiga, Mannan menyebarkan gagasan perlunya melepaskan diri dari paradigma kaum
neoklasik positivis, dengan menyatakan bahwa observasi harus ditujukan kepada data historis
dan wahyu. Argumen ini sebenarnya bertolak belakang dari agumennya sendiri untuk
meninggalkan paradigma kaum neoklasik yang mendasarkan pada historis. Hanya saja,
Mannan lebih jauh menampilkan “wahyu” sebagai penunjukan dan pelengkap dalam arah
observasi ekonomi. Jadi, rupanya Mannan sangat menaruh perhatian pada norma wahyu dalam
setiap observasi ekonominya. Ini dapat dipahami bahwa ekonomi Islam dibangun dari pondasi
utama yaitu dalil-dalil syara’ yang notabenenya sebagai wahyu. Oleh karena itu, semua
observasi ekonomi yang meninggalkan wahyu akan kehilangan ruh dari ekonomi Islam
tersebut.
Keempat, Mannan menolak gagasan kekuasaan produsen atau kekuasaan konsumen. Hal
tersebut menurutnya akan memunculkan dominasi dan eksploitasi. Dalam kenyataan, sistem
kapitalistik yang ada saat ini dikotomi kekuasaan produsen dan kekuasaan konsumen tak
terhindarkan. Oleh karena itu, Mannan mengusulkan perlunya keseimbangan antara kontrol
pemerintah dan persaingan dengan menjunjung nilai-nilai dan norma-normasepanjang
diizinkan oleh syariah. Hanya saja, mekanisme kontrol dengan upaya menjunjung nilai-nilai
dan norma yang sesuai dengan syariah belum dijabarkan dengan baik. Artinya, mekanisme ini
akan sangat beragam sesuai dengan persepsi dan sistem kekuasaan yang ada di tiap-tiap
negara.
Kelima, dalam hal pemilikan individu dan swasta, Mannan berpendapat bahwa Islam
mengizinkan pemilikan swasta sepanjang tunduk pada kewajiban moral dan etik. Dia
menambahkan bahwa semua bagian masyarakat harus memiliki hak untuk mendapatkan
bagian dalam harta secara keseluruhan. Namun, setiap individu tidak boleh menyalahgunakan
kepercayaan yang dimilikinya dengan cara mengeksploitasi pihak lain. Pandangan Mannan ini
masih bersifat normatif. Mannan dalam beberapa tulisannya belum menjelaskan secara
gamblang cara, instrumen dan sistem yang dia pakai sehingga keharmonisan ekonomi Islam di
masyarakat dapat terwujud. Misalnya, Mannan belum membedakan sifat dari kepemilikan
individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, serta hal-hal apa yang tidak boleh
dilakukan intervensi dari ketiganya. Hanya saja Mannan telah menjelaskan norma bahwa
kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada tangan orang-orang kaya saja. Menurutnya, zakat
dan shadaqah memegang peranan penting untuk memainkan peranan distributifnya, sehingga
paham kapitalis yang mengarah pada individualisme tidak ada dalam ekonomi Islam.
Keenam, dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, langkah pertama Mannan adalah
menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu
konsumsi, produksi dan distribusi. Ada lima prinsip dasar yang berakar pada syariah untuk
basic economic functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip righteousness, cleanliness,
moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
kebutuhannya sendiri yang secara umum adalah kebutuhan manusia yang terdiri dari
necessities, comforts dan luxuries.[5]
Pada setiap aktivitas ekonomi, aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek
produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem
produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria
obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait
erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi,
dalam sistem ekonomi kesejahteraan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja,
tetapi juga harus berorientasi pada etika Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan kapitalistik
yang berorientasi pada materi untuk mengukur kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Oleh
karena itu, tidak heran jika dalam pendekatan kapitalistik, azas yang dipakai adalah
pemenuhan kebutuhan materi secara melimpah dengan prinsip produk, to product and to
product. Akibat dari azas dan prinsip ini, maka telah muncul masyarakat pembosan dan
cenderung mencari materi secara terus menerus sehingga sering kali makna kebahagiaan dan
kesejahteraan yang sesungguhnya menjadi kabur. Islam tidak menekankan yang demikian,
namun, lebih menekankan pada keseimbangan antara pemenuhan materi dan senantiasa
berorientasi pada prinsip dan etika Islam. Dalam Islam, halal dan haram menjadi standar utama
dalam melakukan aktifitas ekonomi dan aktifitas lainnya.
Aspek penting lainnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan. Mannan
mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada
sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajibanyang dijustifikasi secara Islam
dan distribusi yang dilakukan secara sukarela.

Ciri – cirri dan Kerangka Institusional


Berdasarkan asumsi dasar di atas, Mannan membahas sifat, ciri dan kerangka institusinal
ekonomi Islam, sebagai berikut:
a.      Kerangka Sosial Islam dan Hubungan yang Terpadu antara Individu, Masyarakat,
dan Negara
Keterpaduan antara individu, masyarakat dan negara. Abdul Mannan menekankan
bahwa ekonomi berpusat pada individu, karena menurutnya, masyrakat dan negara ada karena
adanya individu. Oleh karena itu, ekonomi Islam harus digerakkan oleh individu yang patuh
pada agama dan bertanggung jawab pada Allah swt dan masyarakat. Menurutnya, kebebasan
individu dijamin oleh control social dan agama. Kebebasan individu adalah kemampuan untuk
menjalankan semua kewajiban yang digariskan oleh syariah. Mannan menjamin tidak ada
konflik antara individu, masyarakat dan negara, karena syariah telah meletakkan peranan dan
posisi masing-masing dengan jelas. Bahkan, antara kebebasan individu dan kontrol masyarakat
dan negara akan saling melengkapi, karena mempunyai tujuan dan maksud baik yang bersama-
sama diupayakan dalam menjalankan sistem ekonomi Islam.
b.      Kepemilikan Swasta yang Relatif dan Kondisional
Kepemilikan swasta yang bersifat relatif dan kondisional. Isu dasar dari setiap
pembahasan ekonomi, termasuk juga ekonomi Islam adalah masalah kepemilikan. Dalam hal
ini, Mannan mendukung pandangan yang menyatakan bahwa kepemilikan absolut terhadap
segala sesuatu hanyalah pada Allah swt saja. Manusia dalam posisinya sebagai khalifah di
muka bumi bertugas untuk menggunakan semua sumberdaya yang telah disediakan oleh-Nya
untuk kebaikan dan kemaslahatannya.
Kepemilikan resmi diakui keberadaannya menurut Islam, namun legitimasi
kepemilikan itu tidaklah mutlak. Dalam legitimasi kepemilikan tersebut terdapat kewajiban-
kewajiban moral, agama dan kemasyarakatan dari individu yang bersangkutan.
Mannan mengusulkan pandangannya untuk mengatur kepemilikan oleh swasta antara
lain; tidak boleh ada aset yang menganggur, pembayaran zakat, penggunaan yang
menguntungkan, penggunaan yang tidak membahayakan, pemilikan kekayaan secara sah,
penggunaan yang seimbang (tidak boros dan juga tidak kikir), distribusi returns yang tepat,
tidak boleh terjadi konsentrasi kekayaan dan penerapan Hukum Islam tentang warisan. Sebagai
konsekwensi dari tawaran Mannan ini, maka setiap pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut
membuka peluang campur tangan negara. Namun, Mannan tidak menyebutkan secara detail
apakah individu yang melanggar itu masih boleh memegang hak miliknya atau kehilangan
haknya.

c.       Mekanisme Pasar Didukung Oleh Kontrol, Pengawasan dan Kerja Sama dengan
Perusahaan Negara Terbatas.
Mekanisme pasar dan peran negara. Dalam upaya pencapaian titik temu antara sistem
harga dengan perencanaan negara, Mannan mengusulkan adanya bauran yang optimal antara
persaingan, kontrol yang terencana dan kerjasama yang bersifat sukarela. Mannan tidak
menjelaskan lebih lanjut bagaimana bauran ini dapat tercipta. Sekali lagi Mannan telah
memunculkan pemikiran normatif elektis yang masih sangat membutuhkan tindakan kongkrit
untuk merelaisasikan norma tersebut dengan teknik-teknik dan pendekatan tertentu. Tetapi
yang jelas, Mannan tidak setuju dengan mekanisme pasar saja untuk menentukan harga dan
output. Hal itu akan memunculkan ketidakadilan dan arogansi.
Lebih jauh, Mannan menegaskankan bahwa permintaan efektif yang mendasari
mekanisme pasar dan ketidakmerataan pendapatan akan mengakibatkan gagalnya mekanisme
pasar dalam penyediaan kebutuhan dasar untuk kepentingan permintaan kelompok kaya. Oleh
karena itu, Mannan mengusulkan konsep kebutuhan efektif untuk menggantikan konsep
permintaan efektif..
d.      Implementasi Zakat dan Penghapusan Bunga ( Riba )
Implementasi zakat. Mannan memandang bahwa zakat merupakan sumber utama
penerimaan negara, namun tidak dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban
agama, yaitu sebagai salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros
keuangan negara Islam. Sungguhpun demikian, beberapa pengamat ekonomi Islam melakukan
kritik terhadap zakat yang menyatakan bahwa sekalipun dalam konotasi agama, kaum
muslimin berupaya menghindari pembayaran zakat itu.
Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf delapan). Zakat
tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motifasi kerja. Justru zakat menjadi pendorong
kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat sehingga ia rajin bekerja agar
menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain itu, jika seseorang membiarkan
hartanya menganggur, maka ia akan semakin kehilangan hartanya karena dikurangi dengan
pengeluaran zakat tiap tahun. Oleh karena itu, ia harus bekerja dan hartanya harus produktif.
kedudukan zakat dalam kebijakan fiskal perlu dikaji lebih mendalam. Salah satunya
dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat muslim sejak masa Rasulullah saw sampai
sekarang. Hal itu penting karena zakat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi spiritual dan fungsi
sosial (fiskal). Fungsi spiritual merupakan tanggungjawab seorang hamba kepada Tuhannya
yang mensyariatkan zakat. Sedangkan fungsi sosial adalah fungsi yang dimainkan zakat untuk
membiayai proyek-proyek sosial yang dapat juga diteruskan dalam kebijakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
 Sistem ekonomi Islam melarang riba. Seperti juga ahli ekonomi yang lainnya, Mannan
sangat menekankan penghapusan sistem bunga dalam sistem ekonomi Islam.
Sehubungan dengan permasalahan bunga ini, Mannan memberi aternatif dengan mengalihkan
sistem bunga kepada sistem mudhrabah, yang menurutnya merupakan bagi laba (rugi) dan
sekaligus partisipasi berkeadilan. Dengan mudhrabah, tidak saja semangat Qur’ani akan lebih
terpenuhi, namun, pada saat yang sama penciptaan lapangan kerja dan pembangkitan kegiatan
ekonomi akan lebih sejalan dengan norma kerja sama menurut Islam. Tentu saja tawaran
Mannan tidak sebatas pada alternatif penggunaan akad mudhrabah saja, namun, disertai pula
tawaran transaksi lainnya, mulai mushyrakah, ijarah, kafalah, wakalah, dan sebagainya.
Distribusi
Mannan memandang kepedulian Islam secara realistis kepada si miskin demikian besar
sehingga Islam menekankan pada distribusi pendapatan secara merata dan merupakan pusat
berputarnya pola produksi dalam suatu negara Islam. Mannan berpendapat bahwa distribusi
merupakan basis fundamental bagi alokasi sumber daya.
Selanjutnya, Mannan menegaskan bahwa distribusi kekayaan muncul karena pemilikan
orang pada faktor produksi dan pendapatan tidak sama. Oleh karena itu, sebagian orang
memiliki lebih banyak harta daripada yang lain adalah hal yang wajar, asalkan keadilan
manusia ditegakkan dengan prinsip kesempatan yang sama untuk mengakses faktor produksi
bagi semua orang. Jadi, seseorang tetap dapat memperoleh surplus penerimaannya asal ia telah
menunaikan semua kewajibannya. Lebih jauh, Mannan menyatakan bahwa dalam ekonomi
Islam, inti masalah bukan terletak pada harga yang ditawarkan oleh pasar, melainkan terletak
pada ketidakmerataan distribusi kekayaan.
Pembahasan tentang kepemilikan yang paling menonjol dibahas oleh Mannan adalah
tentang kepemilikan tanah sebagai salah satu faktor produksi yang paling penting. Menurut
Mannan, secara umum tanah dapat dimiliki melalui kerja seseorang. Mannan juga berpendapat
bahwa seorang penggarap juga punya hak atas kepemilikan tanah. Implikasi dari pendapatnya
itu, maka pemilik tanah diperbolehkan untuk menyewa maupun berbagi hasil tanaman,
sekalipun ia lebih setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa tanah sebaiknya tidak
disewakan dan lebih baik digarap dengan sistem bagi hasil.
Berkaitan dengan landlordism, Mannan memberikan kritikannya terhadap sewa tanah
tersebut karena hal itu dapat mengarah kepada penciptaan kelas kapitalistik dan dapat menjadi
ancaman bagi penciptaan masyarakat di negara Islam yang berkeadilan. Mannan
menambahkan bahwa penciptaan kelas kapitalistik juga mengancam etika dan moral Islam.
Namun demikian, Mannan memunculkan ambigu pada paparannya yang menyatakan bahwa
“Islam tidak mengenal eksploitasi pekerja dengan modal, dan tidak pula Islam menyetujui
penghapusan kelas kapitalis.
Kritikan Mannan pada teori distribusi neoklasik lebih ditekankan pada perlakuan distribusi
sebagai perluasan dari teori harga, terutama menyangkut masalah distribusi fungsional
pendapatan. Namun, sekali lagi kritikan ini menimbulkan ambigu karena Mannan juga
mengakui adanya empat faktor produksi serta menguraikan mengapa masing-masing faktor
produksi layak mendapat imbalan. Mannan mengakui upah, sewa dan laba, namun, mengkritik
bunga sebagai imbalan dari modal. Dia tidak menjelaskan lebih jauh mekanisme perolehan
pendapatan dari imbalan faktor produksi modal tersebut dengan tidak merugikan pekerja.
Produksi
Mannan berpendapat bahwa produksi terkait dengan utility atau penciptaan nilai guna.
Agar dapat dipandang sebagai utility dan mampu meningkatkan kesejahteraan, maka barang
dan jasa yang diproduksi harus berupa hal-hal yang halal dan menguntungkan, yaitu hanya
barang dan jasa yang sesuai aturan syariah. Menurut Mannan, konsep Islam mengenai
kesejahteraan berisi peningkatan pendapatan melalui peningkatan produksi barang yang baik
saja, melalui pemanfaatan sumber-sumber tenaga kerja dan modal serta alam secara maksimal
maupun melalui partisipasi jumlah penduduk maksimal dalam proses produksi.
Pandangan Mannan yang menekankan pada kualitas, kuantitas dan maksimalisasi dan
partisipasi dalam proses produksi, menjadikan rumah tangga produksi memiliki fungsi yang
berbeda dalam ekonomi. Rumah tangga produksi atau firm bukan hanya sebagai pemasok
komoditas, namun juga sebagai penjaga kebersamaan antara pemerintah bagi kesejahteraan
ekonomi dan masyarakat.
Lebih jauh, pendapat Mannan ini akan berimplikasi pada tujuan rumah tangga produksi
yang tidak saja hanya memaksimalkan laba, namun juga harus memperhatikan moral, sosial
dan kendala-kendala institusional. Menurut Abdul Mannan, gabungan dari motif laba,
kebersamaan dan tanggung jawab sosial, serta dorongan moral akan memacu proses produksi
dan distribusi menjadi maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, surplus produksi diperlukan sebagai persediaan generasi
sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis dan
sosialis yang cenderung rakus dengan konsentrasi kekayaan pada mereka yang mampu
menguasai faktor produksi. Ekonomi Islam menekankan pada individu dan pemerintah untuk
berperan banyak dalam kegiatan produksi.
Sementara itu, proses produksi menurut Mannan adalah usaha bersama antara anggota
masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa bagi kesejahteraan ekonomi
mereka. Kebersamaan anggota masyarakat jika diaplikasikan dalam lingkungan ekonomi akan
menghasilkan lingkungan kerjasama dan perluasan sarana produksi, bukan konsentrasi dan
eksploitasi sumber daya dan faktor produksi lainnya. Keadaan demikian akan menimbulkan
efisiensi. Barang tidak akan dihasilkan dengan mempertimbangkan permintaan efektif, namun
berdasarkan kebutuhan efektif, yaitu kebutuhan yang didefinisikan menurut rambu-rambu
norma dan nilai-nilai Islam.
Tahap akhir dari pandangan Mannan tentang produksi adalah produksi sebagai suatu
proses sosial. Mannan mengajukan gagasannya bahwa penawaran harus berdasarkan kapasitas
potensial yang akan mengakomodasi pemberian kebutuhan dasar kepada semua anggota
masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah (miskin). Berdasarkan asumsi ini maka
produsen tidak hanya melakukan reaksi dari harga pasar, melainkan juga atas perencanaan
nasional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, pembagian kerja dan
spesialisasi untuk berproduksi harus berjalan secara efisien dan adil serta secara konstan
menekankan perlunya humanisasi proses produksi.

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MONZER AL- KHAF


Monzer Al- Khaf dalam pandagannya terhadap agen ekonomi dalam suatu sistem
ekonomi Islam tidak dilihat dari sudut pandang keagamaan, akan tetapi selama agen tersebut
bersedia untuk menerima paradigma Islam atau “rules of the game”. Seorang agen ekonomi
individual dapat saja seorang muslim ataupun non muslim selama ia bersedia menerima tata
nilai dan norma ekonomi di dalam Islam yang berasal dari tiga pilar berikut ini:
1. Dunia ini benar-benar dimiliki oleh Allah swt dan segala sesuatu adalah milik-Nya.
Manusia adalah wakil atau khalifah yang menjalankan atau melaksanakna semua peritah-
Nya. Hal ini antara lain, memiliki implikasi dalam soal kepemilikan.
2. Tuhan adalah Maha Esa dan oleh karenanya hanya ada satu hukum saja yang harus diikuti,
yakni hukum islam. Hal ini terdapat pada bagaimana seseorang harus mengatur sistem
ekonomi dan semua institusinya yang hendak di tetapkan.
3. Oleh karena dunia ini hanyalah sementara dan hari kiamat sebagai hari pengadilan diterima
sebagai suatu realitas, maka tindakan manusia haruslah didasarkan tidak saja pada
keuntungan di dunia ini melainkan juga pahala di akhirat.
Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan
memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau
haram, israf atau tabzir, memudaratkan masyarakat atau tidak dan[2] lain-lain. Islamic
man tidak materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat
kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan peduli
kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk
menyenangkan orang lain.

Teori Produksi dan Distribusi Monzer Al- Khaf


Dalam bukunya yang berjudul The Islamic Economy: Analytical of The
Functioning of The Islamic Economic System yang menyatakan bahwa tingkat
keshalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang
dilakukannya. Jika seseorang memiliki tingkat keshalehan yang semakin meningkat
maka nilai produktifitasnya juga akan semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika
keshalehan seseorang menurun maka akan mempengaruhi pada pencapaian nilai
produksinya yang ikut menurun.
Sebuah contoh, seseorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan
shalat berarti ia telah dianggap saleh. Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut telah
merasakan tingkat kepuasan batin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah
mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini
akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena
dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan
aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi
yang diharapkan.
Monzer Al- Khaf juga menyinggung kewajiban manusia untuk memanfaatkan
berbagai sumber yang telah dianugrahkan oleh Allah swt, kemudian sumber itu menjadi
pendorong terjadinya suatu produksi. Bebrapa klausul yang dikutip oleh Monzer Al-
Khaf yang disampaikan oleh Sadr yaitu:
1. Pemanfaatan adalah alasan bagi kepemilikan.
2. Harus ada pemnfaatan yang terus menerus untuk mempertahankan hak milik.
3. Kegiatan yang secara ekonomi tidak produktif adalah terlarang.
4. Tidak boleh ada penimbunan.
5. Dilarangnya spekulasi.
6. Harus menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat.
7. Negara berperan besar sebagai perencana dan penyelia.
Dalam hal ini Khaf setuju denagn pendapat Sadr tentang prinsip konstannya
kepemilikan dan imbalan bagi faktor produksi lain yang ikut serta dalam proses
produksi.
Monzer Al- Khaf tidak terlalu membicarkan masalah distribusi, dalam karya-
karyanya para ahli hanya menyinggung masalah kepemilikan di dua bidang yaitu, dalam
hubungannya dengan keadilan dan ketika membahas produksi. Namun sebagai salah satu
prinsip umum yang membentuk sistem ekonomi Islam ketika keadilan terdapat didalam
suatu proses distribusi. Khaf memandang keadilan sebagai akaibat dari tiga aturan umum
yaitu[4], penilaian yang tepat atas faktor produksi, penetapan harga output yang tepat dan
redistribusi output (pendapatan) bagi mereka yang tidak mampu mendapatkan melalui
kekuatan pasar, dalam hal ini pada dasarnya melibatkan zakat.
Dalam persoalan distribusi, khaf tidak memberi pentunjuk yang jelas sekalipun
ia mengusulkan adanya kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mencari
kesejahteraan ekonomi. Hal itu didukung pada pandangannya bahwa yang dikatakan hak
milik ketika mampu memanfaatkan miliknya itu, dan hal ini mengandung arti bahwa
pendistribusian hak milik berdasar pada kemauan bekerja adalah sesuatu yang mungkin.
Namun ia membuat perbedaan yang jelas antara hak milik dan hak guna. Seseorang
dapat kehilangan hak guna jika iya salah menggunakan barangnya, dan kehilangan
seluruh haknya jika iya tidak memanfaatkan barangnya atau tidak mengizinkan orang
lain untuk memanfaatkannya.

Konsep Zakat dan Pelarangan Riba


Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan
social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu
harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin. Zakat merupakan salah satu ciri dari
sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan
dalam sistem ekonomi Islam.  Namun Khaf yakin bahwa hasil pungutan zakat tidak akan
cukup untk membiayai semua jenis pengeluaran negara. Oleh karena itu ia mendukung
kemungkinan dipungutnya pajak sebagai tambahan. Sekalipun kahaf melihat adanya efek
positif zakat terhadap tabungan, investasi dan pendapatan nasional, yakni lebih efektif
dibanding dengan pajak sekuler, namun ia tidak melihat bahwa zakat adalah pengganti
pajak.
Khaf tidak ragu untuk menyatakan bahwa bunga dalah riba, dan mengkritik
mereka yang mencoba membedakan antara usury dan bunga dengan menyatakan bahwa
hanya usury sajalah yang riba. Khaf menuduh mereka itu berusaha meng- Islamkan yang
non- Islam di negara-negara muslim. Seperti halnya para ahli yang lain ia menyatakan
bahwa mudharabah/qirad adalah instrumen Islam untuk mengganti semua transaksi
berbasis riba.

Konsep Kepemilikan Monzer Al- Khaf


Manusia yang muncul dalam posisinya sebagai khalifah Allah swt di muka
bumi, memiliki hak dan tanggung jawab untuk memiliki sesuatu dan memanfaatkannya.
Sama seperti pendapat para ahli yang lainnya, hak memiliki ini terbatas dan sah, sejajar
dengan tanggung jawab manusia untuk bertindak sesuai dengan kehendak dan hukum
Allah swt.Purposive nature of property right ini memiliki implikasi bahwa kekayaan
tidak boleh terkonsentrasi di tangan sedikit orang saja, dan itu mengharuskan adanya
kerjasama anatara manusia dalam pemanfaatannya. Sejalan dengan filosofinya,
karakteristik kepemilikan itu adalah sebagai berikut:
1. Hak milik didasarkan dan mencakup kesempatan untuk memnfaatkannya. Dengan kata lain,
kerja atau kesempatan untuk memanfaatkan itu adalah unsur yang menyebabkan sesorang
boleh memiliki sesuatu barang. Kahf menekankan bahwa hak untuk memiliki itu adalah
pemanfaatannya, bukan pemilikannya semata-mata. Jika barang itu tidak dimanfaatkan
sesuai dengan gunanya, maka hak memiliki itupun  tidak ada pula. Hal ini sejalan dengan
posisi pemerintah yang boleh menyita barang yng menggangur untuk menempatkannya
pada pengguna ekonomis yang sesuai.
2. Tidak dipenuhinya fungsi ekonomi sesuatu hak milik atau dialihkannya pengunaan suatu
barang pada maksud-maksud non ekonomis, akan mengakibatkan dikuranginya hak milik
sejajar dengan kedhaliman yang dilakukan. Sanksi itu terentang dari lenyapnya hak dalam
hal barang yang tidak dimanfaatkan, hingga hilangnya kontrol seseorang atas miliknya
sendiri dalam  hal barang digunakan secara salah. Sekali lagi , hal ini menegaskan betapa
pentingnya penggu x.,naan hak milik secara tepat.
3. Hak memiliki dibatasi oleh umur pemiliknya, yakni ia terikat oleh hukum waris yang telah
menerapkan cara pembagian harta warisan kepada orang-orang tertentu.
4. Barang-barang tertentu, seperti sumber daya alam tidak dapat dimiliki secar pribadi dan
menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Disini pemerintah memainkan peranan utama
sebagai penyelia dan dalam redistribusinya.
Meskipun disebutkan bahwa kepemilikan adalah hanya dalam kemanfaatannya
dan bukan semata-mata dalam kepemilikan, sebenarnya Kahf membolehkan kepemilikan
asalkan tetap didalam batas- batas bahwa kepemilikan mutlak adalah Allah swt.
Menyadari bahwa segala sesuatu yang diberikan hanya berupa titipan semata dan
semuanya akan kembali kepada-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

http://ajenghayyunurfadhilah.blogspot.com/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
http://yuliasabilla.blogspot.com/2016/12/pemikir-ekonomi-islam-monzer-al-khaf.html
https://media.neliti.com/media/publications/91284-ID-analisis-pemikiran-fzalur-rahman-
tentang.pdf
http://ajenghayyunurfadhilah.blogspot.com/2014/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
http://yuliasabilla.blogspot.com/2016/12/pemikir-ekonomi-islam-monzer-al-khaf.html

Anda mungkin juga menyukai