Anda di halaman 1dari 83

Bahan Belajar Bedah

- Triase
o Merah  terancam jiwa ex : fraktur femur karena bleedingnya banyak (circulation
instability),
o Kuning  fraktur tibia closed, hemodinamik stabil
o Hijau  stabil ABCnya
o Hitem
- Tx awal
o Airway  perhatikan snoring, gurgling, stridor.
 Snoring  pangkal lidah jatuh, sering pada pasien penkes, tx : head tilt chin
lift, jawthrust, OPA. Head tilit chin lift tidak boleh dilakukan pada kecurigaan
cervical spine injury. Curiga cervical spine injury jika ada jejas di atas clavicula
Trauma cervical ciri  jejas di atas clavicula,
 Gurgling  curiga cairan di orofaring misal : dari isi lambung, Tx : suction,
pasang NGT
 Stridor  penyempitan jalan nafas dikarenakan misal : trauma inhalasi,
edema laring. Tx : ETT
o Breathing 
 SpO2  normal 95-100%
 RR : 12-20 kali per menit
 Work of breathing : retraksi dinding dada, nasal flare
 Tx : oksigenasi
 Nasal kanul 1-3 lpm
 Simple mask 6-8lpm
 NRM 10-15lpm
 Pola nafas (CKACA)
 Cerebri dan diencephalon  Cheyne stoke
 Upper pontine  kussmaul
 Tegmentum  apneustic
 Lower pontine  cluster
 Medulla oblongata  ataxic

o Circulation 

- tipe syok yang terjadi


1. syok hipovolemik  paling sering terjadi pada korban trauma.
 Early sign : takikardia dan WPK >2 detik
 Late sign : penurunan tekanan darah
 Pelacakan penyebab : pada pasien trauma, bisa dipertimbangkan sumber
pendarahan dari 1) cavum thorax 2) cavum abdomen 3) pelvis injury 4)
retroperitoneal 5) fraktur pada tulang besar 6) external bleeding
 Penunjang : X-ray, FAST, DPL (diagnostic peritonela lavage)
 Terapi :
Menghentikan sumber pendarahan
Resusitasi cairan atau darah
Vasopressor tidak digunakan karena memperparah perfusi jaringan
2. Syok anafilaktik

3. syok neurogenic  biasanya dikarenakan trauma pada area servikal atau thoracal atas.
Adanya trauma intracranial TIDAK menyebabkan syok hemorrhagic
 early sign : adanya penurunan BP TANPA takikardi maupun penurunan perfusi
perifer
 terapi :
resusitasi cairan
pemberian vasopressor : norepinefrin, bisa juga phenylefrin (namun ada efek
bradikardia)
4. syok obstruktif  dikarenakan cedera di atas diafragma, seperti tension pneumothorax,
tamponade cordis, dll
 biasanya dikarenakan penetrating atau blunt trauma pada area dada
tamponade cordis, pneumothorax tension
 early sign : narrowed pulse pressure (diastole meningkat, namun sistol terus
menurun).
 Trias beck cardiac tamponade  JVP meningkat, muffled heart sound, hipotensi
yang tidak membaik dengan terapi cairan
 Tension pneumothorax  suara nafas hilang, pergeseran trachea, JVP
meningkat
 Terapi :
Definitive untuk penyebabnya misal : thoracotomy, needle decompression,
pericardiocentesis
5. Syok cardiogenic
 Terapi : dobutamine 5-20mcg

6. syok sepsis  jarang, biasanya jika pasien tidak tertangani dari awal
 penting untuk membedakan SIRS, sepsis, severe sepsis, dan septic shock
 sirs  Suhu >38 atau <36, takikardi >100. AL >12 000 atau <4000, > 10% bands,
PCO2 <32
 Sepsis  2 tanda SIRS + bukti adanya infeksi yang terkonfirmasi
 Severe sepsis  sepsis + sign of organ damage + hipotensi dengan sistol <90 +
laktat >4 mmol
 Shock sepsis  severe sepsis dengan persisten sign of organ damage,
hipotensisistol <90, dan laktata >4mmol
 Terapi :
 Resusitasi cairan
 Antibiotik broad spectrum
 Vasopressor  norepinefrin

 Derajat 2  nadi 100-119, RR20-30, TD terukur


 Derajat 3  nadi >120-139, RR >30, TD/palpasi
 Step to step :
 Hentikan pendarahan luar dengan balut tekan. Untuk pendarahan
internal dilakukan dengan pembedahan
 Pasang akses intravena dengan ukuran jarum 16G (besar), kaliber
pendek, 2 jalur di vena perifer
 Jika tidak bisa didapatkan akses vena perifer, dapat digunakan akses
vena central namun hanya untuk sementara dan dibawah pengawasan
 Pada anak-anak, jika tidak didapatkan akses IV di vena perifer, second
line adalah akses intraosseus
 Resusitasi cairan awal dengan 20cc/kgbb/ menit selama 10-15 menit
bolus.
 Resusitasi cairan berlebih harus dihindari karena dapat menyebabkan
bleeding, serta trias lethal yaitu asidosis, koagulopati, dan hipotermia.
 Permissive hypotension  menyeimbangkan perfusi organ dengan
pemberian cairan
 Evaluasi derajat syok  TTV, perfusi jaringan, dicari sumber pendarahan
internal (dengan USG FAST) maupun eksternal
 Setelah pemberian resusitasi cairan awal, liat respon apakah rapid respon,
transient respon, atau minimal/no respon
 Rapid respon  hemodinamik normal setelah pemberian resusitasi
awal dan ketika diturunkan ke maintenance drip. Biasanya kehilangan
darah <20%. Selanjtunya : cross match tetap dibutuhkan, konsultasi
untu kebutuhan pembedahan
 Transient respond  hemodinamik normal setelah pemberian resusitasi
awal, namun menurun ketika cairan diturunkan ke drip maintenance.
Biasanya kehilangan darah mencapai 20-40%. Pasien ini dibutuhkan
transfuse darah dan komponen darah lain, serta dipertimbangkan untuk
surgical therapy
 Fail atau minimal respon  hemodynamically unstable setelah
diberikan resusitasi awal dan transfuse. Kehilangan darah mencapai
>40%. Surgical therapy diindikasikan segera. MTP dibutuhkan (massive
transfusion protocol).
o MTP  pemberian >10Unit pRBC dalam 24 jam). Biasanya
selain pRBC, diberikan juga FFP atau platelet
o Hati- hati adanya KOAGULOPATI  cek PT, APTT, dan AT untuk
mengetahui adanya consumption coagulopathy, yang biasanya
diakibatkan oleh adanya resusitasi massive dengan RL atau NaCl
(lethal triad yaitu asidosis, koagulopati, hipotermia)
 Adjunct Therapy :
 pengambilan darah untuk sampel pemeriksaan lab CBC, AGD,
toksikologi, pp test (untuk wanita usia produktif),
 serta dilakukan chest Xray jika digunakan CVAcces untuk melihat adanya
pneumothorax atau hemothorax
 Persiapkan transfuse darah (10-Hb pasien) x 4cc x BB : 200 cc = …. Kolf PRC
 Persiapkan koloid
o Disability  penilaian kesadaran dengan GCS/AVPU, pemeriksaan neurologis seperti px
pupil, sensoris, motoris sederhana
o Exposure  melihat adanya trauma di area tubuh lain dibarengi dengan active
rewarming untuk mencegah hipotensi

- Trauma Medulla Spinalis


o UMN vs LMN
o Klasifikasi ASIA  klasifikasi trauma medspin dalam 72 jam – 7 hari
 A = komplit
 B = inkomplit, sensoris masih intak namun motoric sampai S4-S5 tidak ada
 C = inkomplit, fungsi motoric di bawah lesi masih ada namun kekuatan otot <
3
 D = inkomplit, fungsi motoric ada di bawah lesi, kekuatan otot minimal 3
 E = fungsi sensoris dan motoris normal
o

o Manifestasi klinis Transverse cord syndrome


 Selevel lesi  tampakan lesi LMN (hipotrefleks, hypotonus)
 Di bawah lesi  tampakan lesi UMN (refleks tendon meningkat, spastik)
 DCML dan ALS terkena
o Manifestasi anterior cord syndrome
 Motoric terkena
 ALS setinggi lesi dan dibawah lesi terkena
 DCML intak
o Manifestasi central cord syndrome
 Motoric  lebih parah pada bagian upper disbanding lower
 DCML
 Sacral sparing
o Manajemen trauma medulla spinalis
 Stabilisasi ABCDE
 Pemberian anagetik bila perlu
 Kortikosteroid
 <3 jam pasca trauma  bolus awal 30mg/ kgbb selama 15 menit,
tunggu 45 menit, lalu 5,4 mg/kgBB dalam infus 23 jam
 3-8 jam  bolus awal 30mg/ kgbb selama 15 menit, tunggu 45 menit,
lalu 5,4 mg/kgBB dalam infus 47 jam
 >8 jam  tidak disarankan memberi kortikosteroid

- Trauma kepala
Cara cepat menentukan apakah pasien butuh dipasang collar neck dan radiologi, atau tidak

Distracting injuries  adanya injuy di tempat lain yang menyebabkan injury di area cervical
terabaikan

o diffuse axonal injury  di CT tidak jelas gambarannya, namun ada deficit neurologis
yang jelas
o Kontusio cerebri  salt and pepper appearance, ada deficit neurologis
o Komosio cerebri/cerebral concussion  tidak ada deficit neurologis
o EDH  lucid interval, a meningea media, biconvex ct scan, paling sering di
temporooccipital
o SDH  crescent shape hiperdensity, penkes perlahan atau progresif karena yang
rupture bridging vena, tekanannya tidak sebesar arteri, terlokalisir terutama paling
sering di temporal
o SAH  thunderclap headache, meningeal sign (+) karena pendarahan generalized,
karena ada aneurisma, AVM, sering pada area vertebrobasilar, mengisi sulcus.
o ICH  stroke hemorrhage, brain trauma jarang
o
o Caput succedaneum  bisa berada di manapun dan melintasi sutura, namun tidak
sampe ke area kepala
o Cephal hematom  tidak melewati sutura karena tepat di bawah aponeurosis. Cecep
tak bisa lompat pagar
o Subgaleal hematom  bisa ada syok, bisa menyebar ke leher dan kepala
o Fraktur basis cranii
 Fossa cranii anterior  racoon eyes, rhinorrhea dengan halo sign,
 Fossa cranii media  tidak khas, jika fraktur longitudinal pada os temporal 
menyebabkan tuli konduksi, jika fraktur
 Fossa cranii posterior  battle sign, otorrhea dengan halo sign
o Herniasi otak

 Supratentorial herniation 
 Subfalcine (cingulate) herniation
 Central herniation
 Uncal herniation  dilated pupil ipsilateral, hemiplegia contralateral,
coma. Jika terdapat severe herniation, pedunculus cerebri akan
tertekan oleh kontralateral tentorial notch  ipsilateral hemiplegia
(terhadap herniasi)  KERNOHAN PHENOMENON
 Transcalvarial herniation
 Infratentorial herniation 
 Upward cerebellar herniation
 Tonsillar herniation (downward cerebellar)
o Cushing Triad  hipertensi, bradikardi, muntah proyektil
o Treatment
 Pada CKR  GCS 13-15, kesadaran menurun <=10 menit, deficit neurologis (-),
CT scan normal
 adanya riwayat disorientasi, amnesia, hilang kesadaran sementara. GCS
13-15.
 Primary survey
 Secondary survey : AMPLE, pemeriksaan head to toe,anamnesis terkait
mekanisme injury, lama pasien dalam keadaan unresponsive, lama
amnesia baik anterograde dan retrograde.
 Cek GCS berkala
 CT SCAN segera jika : GCS <15 dalam 2 jam setelah trauma, pasien usia
>65 tahun, suspek fraktur basis cranii, fraktur terbuka pada cranium,
dan >2 episode muntah
 CT scan dpaat dipertimbangkan pada  loss of consciousness lebih
dalam 5 menit, retrograde amnesia >30 menit, mekanisme injury yang
berbahaya, severe headache, focal neurologic deficit
 Pasien harus diobservasi jika ditemukan
o Abnormalitas pada CT scan
o Tidak ada CT scan
o GCS <15 atau terus menurun
o Ada tanda fraktur basis cranii : rhinorrhea, CSF leak, battle
sign, racoon eye
o Defisit neurologis fokal
o Moderate to severe headache
o Penetrating injury
 Jika tidak ditemukan adanya tanda2 di atas  bisa dipulangkan dengan
orang yang bisa mengawasi selama 24 jam + diberikan warning sheet
 Pada CK sedang  GCS 9-12, hilang kesadaran 10 menit-6 jam, deficit
neurologis (+), CT scan abnormal. masih bisa mengikuti perintah sederhana,
namun kadang bingung, somnolent, dapat disertai dengan deficit neurologis,
 Primary survey
 Secondary survey : AMPLE, head to toe exam, pemeriksaan neurologis,
anamnesis terkait mekanisme injury kepada saksi (karena pasien
mengalami penurunan GCS) secara singkat
 CT SCAN SEGERA + CBC
 Admisi ke intensive care/neurosurgical care dimana bisa dilakukan
penilaian berkala GCS + neurological exam dalam waktu 12-24 jam
 Jika CT scan pertama tidak normal  bisa dilakukan CT scan berkala
tiap 24 jam
 Jika memburuk  lakukan manajemen CKB
 Jika membaik  dapat dipulangkan setelah 24 jam stabil, follow up
rawat jalan

 Pada CKB, GCS <9  GCS <=8, kesadaran menurun >6 jam, deficit neurologis
(+), CT scan abnormal. tidak bisa mengikuti perintah sederhana. JANGAN
TUNDA PENANGANAN
 Primary survey ABCDE, evaluasi  pasang intubasi (GCS <8), oksigenasi,
 Secondary survey  AMPLE, anamnesis singkat, head to toe
examination, pemeriksaan neurologis (pupil, lateralisasi)
 Transfer pasien ke fasilitas neurosurgical care
 Head up 15-30 derajat
 Hindari hypovolemia, resusitasi cairan dengan RL atau NS. Jaga TD
optimum (TDS>100 usia 50-69 tahun, >110 usia 15-49 tahun dan >70
tahun). TD terlalu tinggi  edema cerebri, terlalu rendah  iskemia
otak
 Atasi kejang, nyeri dan cemas  benzo, opioid
 Menjaga suhu eutermi
 Hindari batik, mengejan, suction jalan nafas yang berlebihan
 Koreksi kelainan metabolic dan elektrolit
 Atasi hipoksia,  Hiperventilasi boleh diberikan dengan PCO2 35
mmhg, namun tidak boleh berlebih karena bisa menyebabkan
ischemia, menigkatkan ICP
 Osmoterapi  Pemberian mannitol 20 % (20 gram mannitol dalam 100
mL NS) 1gram/ kgBB dalam 5 menit, bisa ditambahkan furosemide 15
menit setelahnya. Jangan berikan mannitol pada pasien hipotensi
 Pada pasien hipotensi, pakai hypertonic saline 3-23.4 %.
 Antikonvulsan fenobarbital (untuk profilaksis kejang) dapat diberikan,
dengan dosis inisial 1 gram dengan kecepaatan 50 mg/menit, lalu
maintenance 100mg/8 jam
 Evaluasi : GCS, pemeriksaaan neurologis (pupil, lateralisasi)
 CT SCAN TIDKA BOLEH MENUNDA PENANGANAN PASIEN
- Scalp injury
o Inspeksi kedalaman luka, adanya kontaminasi, dan fraktur pada tulang di bawahnya
o Hentikan pendarahan dengan penekanan. Ligase arteri, atau kauter
o Dekontaminasi luka, bila sesuai kriteria WHO, berikan ATS
o jahit situasi
- Fraktur depresi
o CT scan bone window untuk melihat bentuk dan ukuran fraktur
o Jika terdapat fraktur depressed yang melewat lamina interna cranium, terbuka, atau
terkontaminasi  diperlukan pembedahan
o Jika tidak memenuhi kriteria tersebut  cukup jahit situasi pada soft tissue
- Penetrating injury dari kepala
o Jangan mencabut benda apapun sebelum dipastikan adanya cedera vascular dan
neurosurgeon sudah di tempat
o CT Scan  menentukan luas injury, foreign body
o Lakukan perawatan luka pada luka entrance
o Berikan antibiotic broad spectrum
- Brain death
o Diagnosis : jika memenuhi kriteria berikut
 GCS <4
 Pupil non reaktif
 Tidak terdapat refleks batang otak (doll eye +, reflek kornea -)
 Tidak ada nafas spontan dengan apneu test

BTKV

- Hemathorax
o Definisi : adanya darah di dalam cavum pleura bisa diakibatkan dari ekstrapleural
maupun intrapleural.
o Etiologic
 Trauma tumpul  bisa mengenaik dinding dada, atau langsung ke vascular
intrathorax. Bisa terjadi delayed hemothorax  akibat adanya clotting pembulu
darah yang terbuka akibat Gerakan nafas atau batuk
 Trauma penetrasi  bisa mengenai langsung pembulu darah + ada keterlibatan
jantung
 Atraumatic  paling sering aneurisma aorta thoracalis, atau bisa juga karena
matastasis
 Ekstrapleural  dikarenakan adanya kerusakan pada dinding dada 
pecahnya vaskularisasi di bagian dinding dada ex : a. mammaria interna, a
interkostali, vena intercostal dll
 Intrapleural  berasal dari vascular di dalam rongga thorax ex : aorta
(aneurisma aorta), VCS, VCI, truncus brachiocephalicus, vena brachiocephalis,
vena azygos
 Jantung  jika terjadi trauma pada pericardium
 Parenkim paru  umumnya tidak menghasilkan darah yang banyak, namun
risiko pneumothorax closed
o Klasifikasi
 minimal : darah <300 mL
 moderate : darah 300-1500 mL
 Massive  >1500 cc atau kecepatan aliran 200cc/jam
o Patofisiologi
 Cavum thorax dapat menampung darah hingga 4L
 Gejala yang muncul tergantung dari jumlah darah yang mengisi cavum thorax
 Gangguan breathing  volume darah yang sudah cukup banyak dapat
menyebabkan dyspneu atau tachipneu karena membatasi pengembangan paru.
Namun jika jumlah darah tidak sesuai dengan dyspneu yang dialami  curiga
hemothorax minimal tersebut karena adanya metastasis atau penyakit paru
yang mendasari, atau curiga adanya trauma lain misal : pneumothorax
 Gangguan hemodinamik  kehilangan darah <750 cc belum ada gejala atau
bisa Sudha mulai takikardi, 750-1500 cc muncul takipneu, takikardi, pulse
menurun, kehilangan darah >1500 cc muncul penurunan perfusi ke perifer
o Pemeriksaan fisik :
 Inspeksi : jejas, ketinggalan gerak dada
 Palpasi : fremitus taktil menurun
 Perkusi : dull
 Auskultasi : vesikuler menurun, suara jantung normal
o Resolusi hemothorax
 Terjadi efusi pleura  akibat adanya defibrinasi dari darah yang mengenai
organ organ thorax, sehingga clotting tidak sempuran. Clotting yang terbentuk
akan mengalami lysisi oleh enzyme yang ada pada cairan pleura, menyebabkan
adanya protein protein yang dilepaskan. Konsentrasi protein pada cairan pleura
bisa dicek dengan Tes Rivalta (membedakan transudate atau eksudat). Karena
adanya peningkatan protein  terjadi peningkatan tekanan onkotik dari cairan
pelura  menarik cairan dari paru2  efusi pleura berupa transudate
 Empyema  bisa terjadi akibat adanya bakteri pada sisa sisa darah  bisa jadi
bacteremia dan syok septic
 Fibrothorax  akibat deposisi fibrin pada sisa clotting darah  adanya adhesi
ke dinding dada  atelectasis, paru tidak bisa mengembang

o Terapi  Tx definitive : chest tube SIC 5 linea aksilaris anterior + WSD, jika belum
bisa : suntikkan fibrinolysis
 Medis : jika belum bisa dilakukan pemasangan chest tube, bisa diberikan agen
fibrinolysis seperti streptokinase atau urokinase
 Jika hemothorax minimal <300cc  aspirasi diulang setiap 12 jam
 Jika hemothorax moderate 100cc-1500 cc WSD ukuran 36 atau 40 Fr chest
tube
 Jika hemothorax massive >1500cc atau 200cc/24 jam  thoracotomy
 Pasang chest tube + WSD 3 tabung, lalu dicatat tiap hari volume cairan dan
kebocoran udara.
 Chest tube bisa dilepas jika produk drainase <100ml/24 jam.
 Jika terjadi cedera paru paru  perlu dilakukan thoracotomy, namun chest tube
tidak perlu diangkat
 Indikasi chest tube boleh diekstubasi :
 Jumlah cairan drainase <100mL/24 jam
 Warna cairan ke arah serosa
 Tidak ada kebocoran udara
 Paru sudah mengembang dari px radiologis
- Flail chest
o Fraktur costa di 3 costae berurutan pada minimal 2 segmen
o Patofisiologi :
 Paling jarang cedera adalah costae 1-3 karena terlindung oleh otot otto
ekstremitas yang kuat, sehingga jika terjadi fraktur  high energy, dan direct
trauma  curiga adanya cedera pada arteri axillaris, arteri/ vena subclavia,
plexus brachialis
 Paling sering cedera adalah costae 4-9  karena tidak terlindungi oleh banyak
otot.  komplikasi bisa terjadi contusion pulmo, pneumothorax jika mengenai
parenkim pulmo, hemothorax jika terkena arteri dan vena pada thoracic cage
 Costae 10-12  jarang cedera karena sangat mobile  jika ada cedera, curiga
adanya trauma pada diafragma, organ abdomen seperti heapar, lien, lambung.
 Pada anak  karena costae sangat lentur, ketika tidak terjadi Fraktur Costae
akibat trauma masih bisa terjadi contusion pulmo dan cedera pada jantung
o Gejala
 Nyeri pada saat bernafas pada titik fraktur
 Sesak nafas bisa terjaid jika ada komplikasi ke parenkim paru
 Batuk darah  adanya komplikasi pada parenkim paru
 Mekanisme trauma  direct/indirect trauma, high energy atau low energy
trauma
 Pada flail chest : Nyeri dada saat bernafas sehingga pasien tidak bisa bernafas 
hipoksia sianosis, takikardi, hipotensi (tanda syok karena cedar vascular)

o Tanda
 Pernafasan paradoksal  inspirasi kempis, ekspirasi ngembang

o Tx :
 Suntik lidocaine di sisi fraktur
 ORIF
- Closed Pneumothorax
o Etiologic : patah costae, dimana tulang menusuk paru paru, robekan esofagus atau
tracheobronchial tree
o Berdasarkan volume rongga pleura dan derajat penguncupan paru, dibagi menjadi
 <15% : mild
 15-60% : moderate
 >60% : severe
- Tension Pneumothorax
o Definisi : adalah suatu keadaan mengancam jiwa, dimana terjadi akumulasi udara di
dalam cavitas pleura akibat kebocoran pleura yang bersifat ventil, menyebabkan adanya
mediastinal shift, sehingga mengganggu fungsi kardiopulmonal
o Etiologi  blunt trauma, penetrating trauma.
o Pathogenesis :
 Lanjutan dari closed atau open pneumothorax, terjadi ketika terjadi fenomenal
ventil atau katup, dimana udara masuk ke cavitas pleura pada saat inspirasi
namun tidak bisa keluar., sehingga lama kelamaan mediastinum akan terdorong
kea rah paru yang sehat
 Mematikan karena pada mediastinum terdapat jantung, aorta, VCI dan VCS ,
dimana jika terjadi pergesseran dapat menyebabkan penekanan pada VCI dan
VCS  venous return menurun  preload menurun  CO menurun  syok
o
- Spontaneous pneumothorax  Dibagi menjadi 2  primer dan sekunder
o PRIMER
 Adalah spontan pneumothorax yang tidak didasari oleh adanya penyakit paru
sebelumnya, biasanya akibat pecahnya blep di area lobus superior paru
 Bulla  kantong berisi udara dilapisi oleh pleura yang fibrotic, jaringan fibrotic
dan jaringan emfisematous paru
 Blep  alveoli yang kempis, biasanya berkumpul dalam bentuk kista di apex
paru
 Bisa juga diakibatkan oleh rokok  adannya ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan, protease dan antiprotease
 Pathogenesis : adanya blep yang pecah  udara masuk ke interstitial paru 
masuk ke area bronchovesikuler  masuk ke area hilus  udara masuk ke
mediastinum  pneumomediastinum
o SEKUNDER
 Ada penyakit paru yang mendasari
 Patogenesis ;
 Dikarenakan penyakit paru yang meningkatkan tekanan intraalveolar
ex : asma karena ada air trapping, PPOK karena ada inflamasi yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas
 Penyakit yang menyebabkan penipisan dinding kista ex ; cystic fibrosis.
Sering menyebabkan terbentuknya kista subpleural di apex paru/ blep
 Penyakit yang merusak parenik paru ex : TBC, pneumocystic carinii
 Tekanan intraalveolar yang meningkat alveolus pecah, udara masuk
ke interstitial paru  masuk ke hilus > masuk ke mediastinum 
pneumomediastinum
 Parenkim paru yang rusak  udara dari alveolus masuk ke cavum
pleura
o Gejala :
 Pasien masih muda, sehat
 Ada penyakit paru kronis
 Sesak
 Nyeri pada bagian dada dimana blep atau bulla pepcah
o Tanda :
 Inspeksi :
 Palpasi : fremitus taktil menurun
 Perkusi : hipersonor
 Auskultasi : vesikuler menghilang
o Penunjang  tidak boleh menunda bantuan kepada pasien
 AGD  hipoksia, asidosis
 CXR  posisi erect PA ekspirasi dan inspirasi
 Adanya gambaran hiperlusen pada hemithorax tanpa corakan
bronchovaskular
 Adanya pleural white line  menggambarkan pleura visceral
 Paru kolaps ke arah hilus
o Terapi ;
o Primary survey : ABC  supplemetasi oksigen
o Observasi tiap 6-8 jam
o Aspirasi
o Tube torakostomi + drainase intercostal
jika keadaan pasien membaik, paru mengembang penuh, drainase dipertahankan
selama 1-2 hari hingga kebocoran menurup kembali. Jika baik hasilnya  dilepas
Jika dilakukan fisioterapi 1 minggu sesak menetap  drain dipasang lagi
o Tube torakostomi + instilasi sclerosant  menggunakan anestesi benzodiazepine +
lidocaine, agen sklerosan adalah talc atau tetrasiklin
o Torakoskopi  indikasi
 paru paru tidak mengembang setelah 7 hari suctioning
 bronchopleural fistula menetap > 7 hari
 pneumothorax recurrent setelah dilakukan pleurodesis
 pasien merupakan penerbang atau penyelam
o Open thoracotomy
- Open Pneumothorax
o Disebabkan oleh adanya penetrating wound pada dinding thorax yang lebarnya >2/3
trachea
o Pada saat pasien inspirasi, udara akan masuk ke dalam cavitas pleura, namun pada saat
ekspirasi karena luka menyempit maka udara tidak bisa keluar (seperti pintu satu arah)
o Tx :
 plester 3 sisi,  ketika inspirasi, bagian yang luka akan tertutup oleh plastic
sehingga udara tidak bisa masuk, pada saat ekspirasi, udara dapat keluar
melewati celah plester
 jika ringan  Aspirasi pada SIC 2,.5 cm dari parasternal
 jika 1/3 paru kolaps  pasang WSD dengan 3 tabung, kontrol Xray tiap 24 jam.
Jika paru sudah mengembang, drainase diklem 24 jam, lalu dilepas. Dilanjut
fisioterapi nafas selama 1 minggu

- Tamponade Cordis
o Definisi : adanya darah atau cairan di dalam pericardium yang menybabkan turunnya
pengisian diatolik jantung berkurang
o Patofisiologi
 Pericardium bersifat tidak elastis karena mengandung banyak jaringan fibrosa,
sehingga ketika terjadi perlukaan pada jantung yang menyebabkan darah keluar
ke kantung perikardium, pericardium tidak mengembang, sehingga terjadi
kompresi pada jantung itu sendiri
 Akibatnya venous return menurun  isian diastolic menurun  kontrakitilitas
jantung tidka maksimal  CO menurun  hipotensi
 Akibat isian diastolic tidak maksimal,  terdapat bendungan pada vena  JVP
meningkat
 Karena kontraktilitas jantung tidak maksimal  kesan suara jantung menjauh
o Tanda trias beck + kussmaul sign
 Hipotensi
 JVP meningkat
 Suarajantung menjauh
 Kussmaul sign  adanya peningkatan JVP ketika inspirasi spontan
o Penunjang
 FAST (focus assessment sonography on trauma)  untuk guidance
perikardiosentesis
o Membedakan antara tension pneumothorax dengan tamponade  pada tamponade
suara nafas normal
o Terapi :
 Untuk sementara Perikardiosentesis  dilakukan dari subcostal 45 derajat
kea rah jantung, bisa dilakukan untuk diagnosis + terapi. TIDAK BISA JADI
DIAGNOSIS + TERAPI JIKA SUDAH ADA CLOTTING
 Pericardiotomy via Thoracotomy 
- Contusio Pulmo
o Cedera pada parenkim paru akibat adanya blunt atau penetrating trauma
o Pada anak – anak  karena costaenya masih lentur, constusio pulmo bisa terjadi tanpa
adanya fraktur costae
o Pada orang dewasa  sering bersamaan dengan fraktur costae atau flail chest
o Tampakan radiologi : tidak spesifik, terdapat konsolidasi pada parenkim paru
- TRACHEOBRONCHIAL TREE INJURY
o Biasanya jika terjadi 1 inchi atau sekitar 2,5 cm di atas carina trachea,  pasien biasnaya
mati di tempat
o Dapat terjadi di seluruh tracheobronchial tree
o Tanda dan Gejala :
 Karena adanya edema  kesulitan nafas
 Hemoptysis
 Gejala tension pneumothorax
 Gejala Emfisema subkutan  ada krepitus pada saat palpasi,
o terapi ;
 airway  intubasi untuk memastikan patensi airway
 namun dikarenakan adanya injury, bisa kesulitan dipasang intubasi sehingga
harus segera ditindak operasi
 pasang chest tube biasanya lebih dari 1
o
- BLUNT CARDIAC INJURY
o Etiologic : blunt trauma atau penetrating trauma yang menyebabkan
 Rupture pada miokard
 Ruptu pada ruang jantung
 Kerusakan pada arteri coronaria
 Gangguan katup jantung
o Pemeriksaan :
 Gejala : nyeri dada
 Hipotensi
 Aritmia  bisa dijumpai pada EKG adanya PVC, sinus takikadi, atrial
fibrillation, RBBB, perubahan pada segment ST
- TRAUMATIC AORTIC DISRUPTION
o Etiologic : paling sering pada kecelakaan motor, pejalan kaki, atau jatuh dari
ketinggian
o Gejala dan tanda  gejala syok, JVP meningkat, nyeri punggung seperti terobek,
menjalar
- PAD  penyumbatan pada arteri perifer dari pembentukan aterosklerosis, menyebabkan
stenosis, atau thrombus. Ada underlying disease : DM, HT, dislipidemia, merokok
- Acute Limb Ischemia
o Definisi : kondisi kegawatdararuatan, dimana terjadi sumbatan secara akut <2 minggu
pada ekstremitas inferior, mengacam viabilitas dari ekstrremitas
o Etiologi : bisa dikarenakan emboli atau thrombus. Perbedaaan penyebab antara emboli
dan thrombus dapat dibedakan berdasarkan onset, underlying disease yang dipunya
pasien, serta px fisik dan penunjang

o
o Gejala dan tanda : Pain, pulselessness, pallor, parasthesia, paralysis.
o Penunjang :
 DUS/Duplex Ultrasonografi
 Angiografi dengan CT atau MRI
 Pemeriksaan Lab seperti LDH, myoglobin urin dan darah, asam laktat untuk
mengetahui tingkat keparahan kerusakan otot
o Klasifikasi
 Rutherford and TASC II

o Manajemen
 Algoritma

 Heparinisasi :
 Inisial dose 50-100 IU/kgbb/jam
 Dosis maintenance : 10 IU/kgbb, lalu cek APTT setiap 6 jam. Target apt
naik adalah 1.5-2.5 kali dari nilai awal. Jika tidak naik, maka dosis
ditambah sebanyak 20%.
 Revaskularisasi
 Surgical  thormboembolektomi dengan kateter Forgaty, bisa
dilakukan dalam waktu yang cepat
 Endovaskular  misal dengan CDT, percutaneous thrombolytic
aspiration, tapi ini butuh waktu lama sehingga tidak boleh dilakukan
pada Rutherford IIb
 Hybrid  thromboembolectomy untuk oklusi utama + intraoperative
angiografi + CDT untuk lesi oklusi lain
 Amputasi  untuk Rutherford III, atau high occlusion, sudah lewat golden
period limb dan risiko terjadi severe ischemia reperfusion injury

- Klaudikasio dan CLTI


o Klaudikasio intermittent  adanya nyeri pada ekstremitas bawah ketika beraktivitas,
dan membaik pada saat istirahat
o CLTI Chronic Limb threatening ischemia  keadaan kronis >14 hari yang dicirikan
adanya ischemic rest pain, gangrene atau ulcer pada 1 atau 2 kaki sekaligus, dengan
adanya bukti objektif penyakit oklusi arteri
o Gejala
 Asymptomatic
 Klaudikasio intermittent
 Atypical leg pain  nyeri pada saat exercise, kadang tidak membaik dengan
istirahat, sehingga menyebabkan keterbatasan aktivitas atau bisa juga
memenuhi kriteria Rose
 Resting pain
o Tanda :
 Inspeksi : gangrene, dependent rubor, elevate pallor
 Palpasi : penurunan pulsasi arteri distal
 Auskultasi : ada bruit vascular
o Penunjang
 Resting ABI : mengukur perbandingan antara tekanan darah sistol pada calf
dengan brachium, jika <0,9  suggest PAD, jika <0,5 suggest severe PAD.
 Jika arteri non compressible, saking kerasnya arteri (ABI >1,4)  dipakai TBI /
Toe brachial index/ toe pressure
 Jika resting ABI normal, dan pasien memiliki exercise related non joint leg
symptoms  ukur treadmill ABI (stress test)  untuk mengetahui limitasi dari
aktifitas sejauh mana


 Untuk menentukan letak anatomis :
 Angiografi dengan CT atau MR
o Terapi Klaudikasio
 Cylostazole antiplatelet dan vasodilator
 Antihipertensi
 Glikemik kontrol
 Smoking cessation
 Exercise program untuk PAD
o Terapi untuk CLTI
 Perawatan luka
 antibiotik
 Revaskularisasi
 Edukasi smoking cessation
- Thrombosis vena
o Definisi : adanya sumbatan akibat pembentukan thrombus pada vena profunda,
biasanya terjadi pada vena vena ekstremitas bawah seperti vena poplitea, vena
femoralis, vena iliaca
o Akut < 10 hari, kronis > 10 hari
o Patofisiologi :
 Sering terjadi pada vena di ekstremitas inferior karena vena tersebut memiliki
klep yang fungsinya untuk membantu lairan darah balik ke jantung, namun
sering terjadi kebocoran sehingga rentan terjadi bendungan.
 Sering terjadi pada vena dengan aliran darah lambat, vena profunda, pada katup
vena karena ada aliran darah balik, dan pada vena tempat direct trauma
 Thrombus pada vena  red thrombus, mengandung RBC, platelet, leukosit, dan
fibrin.
 Bisa juga terjadi pada vena superficial  pada various vein, namun benign, self
limiting, dan asymptomatis
 Thrombus pada deep vein / calf vein  aymptomatic, kecil, dan biasanya tidak
menyebabkan masalah serius, namun jika terdorong ke proksimal, bisa
menyebabkan thrombus vena proksimal  lebih berisiko terjadi emboli.
 Thrombus pada vena proksimal biasany berukuran besar  bisa menyebabkan
obstruksi, inflamasi pada dinding vena, dan risiko emboli jika terlepas
 Intinya : thrombosis di atas lutut  risiko tinggi PE, sedangkan di bawah lutut 
risiko rendah
-
o Tanda dan gejala : bengkak terutama pada calf, nyeri pada saat berdiri dan berjalan,
merah di sekitar tempat sumbatan, namun pulsasi arteri masih baik

o
-
o Pemeriksaan fisik  Well’s Score
o
 Phlegmasia alba dorolens  milk leg /white leg, akibat sumbatan pada deep
ileovein.
 Phlegmasia ceruale dorolens  sumbatan terjadi pada deep dan superficial
iliofemoral vein, lebih berbahaya dari PAD,
 Homan sign : calf pain saat dorsofleksi kaki

o
o Penunjang
o Gold standard  Venografi  invasive, dimasukkan kontras dari dalam vena
dorsalis pedis, lalu dilanjutkan dengan foto ekstremitas inferior hingga pelvis untuk
visualisasi ven avena proksimal (v. poplitea, v. femoralis, v. iliaca externa)
o Venous US  pemeriksaan dimulai pada vena femoralis ke distal. Positif bila vena
noncompressible pada probe pressure Impedance plethymography 
menggunakan electrode yang ditempel di ekstremitas inferior, lalu cuff
dikembangkan untuk membuat obstruksi, dan dikempeskan untuk menilai aliran
balik vena. Adanya sumbatan  impedansi meningkat.
Bagus untuk mendeteksi thrombus pada vena vena proksimal, namun tidak calf vein
o Tatalaksana  elevasi + heparinisasi dosis inisial 80IU + compression stocking
 Pasien dengan ciri – ciri DVT  didiagnosis DVT sampai terbukti bukan
 Thrombosis vena superficial  elevasi tungkai + NSAID + antikoagulan
(heparinisasi) selama 48 jam. Jika tidak membaik  curiga DVT
 DVT :
 Direncanakan heparinisasi + elevasi tungkai selama 5-7 hari.
 Heparinisasi  dosis bolus 80 IU/kgbb diikuti maintenance 18
IU/kgBB/jam selama 5 hari (mediko : 5000 IU/4 jam selama 5-10 hari)
Target APTT  2 – 3 kali lipat awal, dicek 6 jam.
 Pada ibu hamil  diberikan LMWH
 Pada pasien dengan flegmasia alba dolens atau flegmasia serulea
dolens  jika tidak membaik dalam 12 jam  butuh tindakan lebih
agresif
 Pemasangan compression stocking
 Warfarin  dimulai setelah 24 jam
o Komplikasi
 Post thrombotic syndrome  keadaan pasca terjadinya DVT, terdapat
hipertensi vena. Hipertensi vena muncul akibat adanya rekanalisasi major
thrombus, kerusakan pada katup vena (menjadi longgar sehingga terdapat
aliran darah balik) dan kerusakan pada dinding vena (menjadi ada parutnya). 
muscular pump gagal  adanya katup yang inkompeten + gagal pompa 
menyebabkan perforasi pada deep vein  aliran darah dari deep vein ke
superficial vein  terjadi edema dan kerusakan jaringan subkutan s/d vein ulcer
Gejala : nyeri pada betis saat beraktivitas, bengkak, adanya ulcer vena.
Adanya hiperpigmentasi akibat penumpukan hemosiderosis

o Recurrent Acute Venous Thrombosis


o Pulmonary Embolism  jika Thrombus lepas, maka dapat menyumbat arteri
pulmonalis dan vena pulmonalis, yang menyebabkan
Gejala : shortness of breath, nyari pada saat inspirasi (pleuritic type pain), hemptysis
Diagnosis : pulmonary angiografi, lung scan untuk lihat perfusi paru
o Profilaksis
 Diberikan pada
 Pasien yang akan menjalani operasi bedah umum + moderate risk VTE
 Hip surgery
 Knee surgery
 Genitourinary, neurosurgery, dan ocular surgery
 Jenis profilaksis yang diberikan
 LMWH  5000U/2 jam pre op dan 5000U/8-12 jam post op
 Intermittent pneumatic pressure
 Compression stocking  untuk mencegah stasis
- Buerger Disease/ Thromboangitis Obliterans
o Etiologic : vasculitis
o Perokok
o Lokasi : a tibialis dan radialis
o Gejala : klaudikasio intermittent, nyeri pada ujung kaki saat istirahat, gangrene pada
ujung2 jari, Allen test (+)
o Tx : cilostazole 100 mg 2x1
- Vena
o Insufisiensi Vena kronik
 Bisa berasal dari DVT atau inkompeten katup.
 Katup menebal
 Riwayat prolong standing, riwayat bed rest lama
o Vena varikosa  kerusakan pada katup vena
 Primer : berasal dari vena superficial, wanita > pria
 Sekunder : dari insuf vena dan thrombosis vena dalam, yang menyebabkan
pelebaran pada vena superficial
o Cara membedakan varises dan insuf vena kronik  tredelenberg brodie test
 Jika terjadi rapid filling dari bagian atas turniket  kerusakan pada katup vena
 Jika terjadi rapid filling dari bagian bawah turniket  rusak pada
communicating vein
 Bisa terdapat dermatitis stasis
o Terapi
 Insufisiensi vena 
 menghindari posisi berdiri dan duduk terlalu lama,
 elevasi tungkai secara periodic,
 compression stocking,

 ulkus diberikan occlusive hydrocolloid, operasi
 Vena varikosa
 Menghindari posisi berdiri terlalu lama
 Compression stocking
 Elevasi tungkai periodik

- Atelektasis 
o Retraksi  akibat adanya pembentukan fibrosis, deviasi trachea kea rah yang sakit.
Sedangkan pada pneumothorax tension dan tamponade jantung trachea akan deviasi
kea rah sehat karena terdorong massa
o Obstruktif
Bedah Plastik

- Luka Bakar
o Derajat :
 derajat 1  sebatas epidermis, merah, tidak ada scar dan blister
 derajat 2  partial thickness, sampai di dermis,
 2a  ada bula, nyeri sangat karena banyak persarafan di area dermis
(pin prick test positif)
 2b  tidak ada bula, nyeri tidak terlalu karena beberapa saraf rusak.
 Derajat 3  full thickness, meninggalkan scar, butuh skin grafting, warna putih
 Derajat 4  bone and tendon, item
o Body surface are

o Terapi
 Lepas semua pakaian dan asesoris
 Prinsip penanganan luka bakar = bersih
 Irigasi dengan air/NS 30 menit atau sampai nyeri hilang
 Derajat 1 dan 2 a  cukup diberikan pelembab dan analgesic. Jika luas 
berikan antibiotik
 Derajat 2b keatas  antibiotic topical (silver sulfadiazine, mupirocin) dan
profilaksis tetanus
 Bula  kalo kecil dibiarkan, kalo besar didrainase.
 Indikasi resusitasi cairan 
 Luka bakar derajat II >10% pada usia <10 tahun atau >50 tahun
 Luka bakar derajat IIi > 20 % pada usia 10-50 tahun
 Luka bakar api 50% untuk 8 jam pertama, 50% untuk 16 jam berikutnya
 Dewasa : 2cc/kgbb x BSA hingga UO 0,5cc/kgbb/jam
 Anak : 3 cc/kgbb x BSA hingga UO 1cc/kgbb/jam
 Luka bakar listrik  4cc/kgbb x BSA hingga UO 1-1,5cc/kgbb/jam sampai urin
bersih
o Luka bakar kimia
 Menentukan kerusakan akibat bahan asam atau basa. Asam  koagulasi
protein, basa  reaksi saponifikasi
 Jika bahan kimia kering  disikat bersih (menghindari reaksi dengan air)
 Tx : irigasi hingga nyeri berkurang
o Luka bakar listrik
 Kulit relative normal namunjaringan di bawahnya nekrosis
 Rhabdomyolisis  myoglobin meningkat  AKI
 Mematikan  artemia cordis
o Luka bakar sirkumferensial
 cari tanda KOmpartemen syndrome  pain pallor pulseless paresthesia
paralysis
 lakukan escarotomy
 jika tidak berhasil  fasciotomy
o Trauma inhalasi
 Terbakar pada ruangan terututup
 Terpapar ledakan
 Luka bakar mengenai muka
 Jelaga di area hidung dan mulut
 Bulu mata dan alis terbakar, bulu hidung
 Stridor  karena ada inflamasi pada trachea
 Sputum mengandung karbon
 Tx : ETT
- LE fort Fracture
o Grading
 1  floating jaw dan palatum, melewati maksilla secara horizontal, tanda : ,
krepitus maksilla
 2  floating maksilla, nose + palatum, tanda : gejala di mata infraorbital
paresthesia, ekimosis buccal, periorbital, subkonjungtiva
 3  floating face, os zygoma patah, tanda : wajah memanjang, rhinorreha,
lateral orbital rim defect,
- TMJ dislocation
o Tipe  anterior, posterior, superior, uni/bilateral
o Tanda dan gejala
 Pasien tidak bisa menutup mulutnya
 Drooling
 Nyeri
 Gargled speech
 Depressed preauricular area
 Proc. Coronoid terpalpasi di bawah mandibula
o Terapi :
 Barton bandage selama 2-3 hari
 Compress hangat selama 24 jam di bagian TMJ
 Hindari pembukaan rahang yang ekstrem selama 3 minggu
 Diet lunak
 NSAID  ibuprofen untuk antinyeri
- Facial Cleft
a. Anamnesis pada pasien
- Adanya sumbing sejak lahir
- Riwayat prenatal dan kelahiran  apakah konsumsi as folat teratur, obat obatan
kejang, alcohol. apakah ada infeksi pada saat kehamilan?
- Kesulitan menerima makanan  difficulty of feeding (kasus ini: kesulitan menyusui
atau tidak), mudah tersedak
- Bagaimana nafasnya? Apakah ada ngorok (snoring)?
- Riwayat keluarga memiliki cleft lip/palate, gangguan bicara
- Riwayat medis: riwayat infeksi telinga, riwayat diagnosis medis terkait sindroma, riwayat
operasi
b. Pemeriksaan fisik
- Labioschasis  terlihat pada saat pemfis setelah kelahiran
- Palatoschisis  perlu dilakukan pemeriksaan orofaring
- Ketika inspeksi tidak terlihat, bisa dibantu dengan palpasi dengan jari
- Inspeksi :
i. Tentukan unilateral atau bilateral
ii. Komplit atau inkomplit
Inkomplit  garis sumbing tidak mencapai dasar lubang hidung, terdapat
Simonart’s band intak
Komplit  garis sumbing melibatkan seluruh ketebalan bibir, sampai ke dasar
lubang hidung, palatum primer, alveolar, tidak terdapat Simonart’s band
iii. Keterlibatan palatum dan gusi
iv. Derajat severity
Catatan : Foramen incisivum  pemisah antara bagian anterior dan posterior
palatum (palatum durum dan mole).
- Palpasi : mengetahui keterlibatan palatum durum, palatum mole, dan gusi serta uvula
- Kelainan lain yang berhubungan dengan sindroma craniofacial (misal : pierre robin
sequence, van derwoude’s syndrome, wardenberg syndrome, own syndrome)
-
c. Masalah yang ada dan dapat terjadi pada pasien
- Gangguan nutrisi dan menelan
- Gangguan tumbuh kembang
- Gangguan pertumbuhan gigi dan orofaring
- Gangguan bicara
- Gangguan pertumbuhan maksila
- Infeksi telinga tengah
- Gangguan psikososial dan estetik
d. Tahapan penanganan operasi yang dilaksanakan
- 0-1 minggu : posisi tidur miring kea rah cleft, pemberian nutrisi dengan posisi
semierect
- 1-2 minggu : pemakaian feeding plate/obturator/nasoalveolar moulding device
- 10 minggu/ 3 bulan : labioplasty (rule of ten  10 pounds, 10 weeks, Hb >=10)
- 1.5-2 tahun : palatoplasty
- 2-4 tahun : terapi bicara
- 4-6 tahun : velopharyngoplasty
- 6-8 tahun : orthodontic
- 8-9 tahun: alveolar bone grafting
- 9-17 tahun : orthodontic
- 17/18 tahun : le fort osteotomy

- Hirschprung
o Gagal migrasi krista neuralis, sehingga plexus myentericus dan submucosal tidak
terbentuk.
o Hirschprung ini juga berhubungan dengan beberapa kelainan congenital ex : trisomy 21
o Paling sering pada rectosigmoid
o Tipe
 Ultra short segment  hanya di bagian rectum saja
 Short segment  classical, paling banyak , terkena di area Rectosigmoid
 Long segment  rectum sigmoid dan colon descendance
 Total colon aganglionosis
 Total intestinal Hirschprung disease dimana seluruh usus besar terlibat
o Klinis :
 delayed meconium >24 jamm,
 prune belly shape,
 bilous vomiting,
 konstipasi, lalu severe diare
 pada anak yang lebih besar : ada riwayat ketergantungan dengan perangsang
BAB, failed to thrive
o dx :
 barium enema dengan kontras water soluble  Gambaran : adanya distensi
pada segmen yang normal, transisional zone, dan aganglionic zone
 Rectal Biopsy (Gold Standard)
o Tx :
 dekompresi dengan NGT dan rectal tube (1/3 gelatin dan 2/3 nacl fisiologis
dengan spuit 10cc)
 rehidrasi : JANGAN terlalu cepat pemberian cairannya
 kateter
 Antibiotik profilaksis metronidazol
 Tx definitive : operasi kolostomi dan pull through
Pada anak yang lebih tua usianya, biasanya kan distensinya lebih besar
 harus menunggu pengecilan distensi baru bisa dioperasi, dengan
irigasi dan colostomy selama minggu-bulan
 Pemasangan kolostomi  diindikasikan pada
 Neonates, yang jika langsung dilakukan operasi definitive akan
berprognosis buruk
 Anak yang sudah lebih dewasa dengan distensi yang sangat
besar, harus menunggu 3-6 bulan agar distensi mengecil
 Keadaan klinis buruk
o Jika sudah terjadi infeksi sekunder pada usus  HAEC (hirschprung associated
enterocolitis)  demam, abdominal distention, diare (3D)
Etiologi : adanya aganglionik segment dari colon  terjadi stasis  bakteri
berkembang biak + kelainan immunoglobulin di mukosa colon  infeksi
sekunder, kemungkinan dari bakteri c. deficille atau rotavirus
o
- Malformasi anorectal
o Anus imperforate  anus tidak terbentuk sama sekali atau terbentuk anus namun tidak
sempurna
o Kloaka persisten : tidak terjadi pemisahan antara tractus urinarius, genital, dan digesti
tidak terjadi
o Klasifikasi atresia ani
 Menurut Berdon
 Letak tinggi : Distal rectum di atas m levator ani atau >1,5 cm dari kulit
luar
 Letak rendah : Distal rectum di bawah levator ani atau <1.5 cm dari
kulit luar
 Menurut Stephen
 Atresia ani letak tinggi : distal rectum di atas garis pubococcygeal
 Atresia ani letak rendah : di bawah garis pubococcygeal
o Pemeriksaan fisik :
 Inspeksi area anogenital, lihat ada lubang atau tidak.
 Penelusuran anus menggunakan sonde ukuran 5F, thermometer,
speculum nasal. Bayi dalam posisi litotomi.
 Pada laki laki dilakukan penelusuran dari anus ke arah cranial hingga ke
penis
 Pada perempuan dilakukan penelususan dari lubang di perineum
sampai ke vestibular
 Pada laki laki :
 Malformasi anorectal letak rendah jika  ditemukan stenosis
anal, bucket handle, fistula perineal
 Malformasi anorectal letak tinggi jika  ditemukan fistula
vesicoanal, flat bottom, udara di dalam vesica urinaria
 Jika pada pemeriksaan klinis meragukan hasilnya  dilakukan
invertogram. Bayi diposisikan knee chest position.
 Jika jarak antara udara rectum ke kulit <1 cm  malformasi
anorectal letak rendah
 Jika jarak antara udara rectum ke kulit >1 cm  malformasi
anorectal letak tinggi
 Pada perempuan  hampir selalu ada fistula.
 Terdapat fistula  dilihat apakah masih ada persistent cloaca,
fistula vesicoanal, atau fistula vestibuloanal, atau fistula perineal
 Tidak terdapat fistula  invertogram, idem yang laki laki
o Penunjang 
 Radiologi  dilakukan menunggu 20-24 jam  rectum pada waktu
tersebut masih terlihat collapse sehingga akan memberikan postifi
palsu (very high rectum)
 Screening kelainan yang berhubungan  VACTERL
 Vertebra  USG sm radiologi  ada hemivertebra
 Cardiac  EKG dan echo
 Tracheoesofageal  radiologi lihat adanya atresia atau fistula
 Renal  USG  ada hidronefrosis
 Limb
 Urinalisis  untuk melihat apakah ada meconium tercampur urin 
fistula vesico anal
o Terapi  dekompresi dengan NGT, resusitasi cairan
o Terapi 
 Malformasi anorectal letak tinggi  kolostomi dulu
 Malformasi anorectal letak rendah  posterior sagittal anorectoplasty
-

- Atresia Esofagus
o etiologi : terjadinya gagal pemisahan antara trachea dan esofagus oleh septum
tracheooesophageal, sehingga terbentuk saluran antara keduanya. Septum TE
terbentuk mulai dari kaudal ke arah kranial
o epidemiologi : berhubungan dengan VATER syndrome dan VACTREL syndrome
VATER (vertebral defects, anal atresia, TE fistule, Renal defects), VACTREL (Vertebra,
anal, cardiac, trachea, esophagus, renal, limb)
o gejala khas : 3c  coughing, choking, cyanosis
 awal awal kehidupan  hipersalivasi
 tersedak saat makan  batuk dan choking
 muntah saat makan
 jika masuk ke dalam paru paru  pneumonia aspirasi, di lobus superior
 sianosis pada saat tidak makan
 distensi abdomen nyata pada saat menangis  karena angin masuk ke dalam
abdomen
o

o atresia esofagus w/o fistula TE  paling sering dibarengi


dengan kelainan congenital lain
o atresia dengan Fistula TE proksimal  gejalanya tanpa
distensi gaster
o atresia dengan fistula TE distal  gejalanya ada distens
gaster, bisa ada refluks asam lambung yang
menyebabkan pneumonitis kimia
o atresia dengan double fistula TE
o H type fistula / Fistula TE w/o atresia
o Esophageal stenosis
o diagnosis
 memasukkan gauge catheter 10F tidak bisa masuk mencapai >10 cm
 dimasukkan caliber tube  coiling saat dimasukkan ke esofagus )coiling on
upper pouch)
 pada xray  gasless abdomen
o terapi sementara
 1. Posisi upright
 2. Ventilasi JANGAN dengan intubasi  risiko untuk perforasi gaster
 3. Penanganan terhadap atelectasis dan pneumonia aspirasi  Antibiotik broad
spectrum
 5. Resusitasi cairan dan d10%NaCl.
 - Terapi definitive  operasi
- Congenital Hypertrophic Pyloric Stenosiss
o Etiologic : dikarenakan adanya kekurangan sel ganglion atau sel ganglion yang
immatur pada otot sirkular pilorus, bisa juga karena kekurangan beberapa
sitokin dan kekurangan NO
o Faktor risiko : adanya alergi susu sapi, paparan antibiotic di awal kehidupan,
o Manifestasi klinis
 Onset dimulai pada usia 6 minggu
 Tanda cardinal dari HPS yaitu
 Muntah yang non bilous, di awal tidak menyemprot, lalu lama kelamaan
bisa menyemprot
 adanya Gerakan peristaltic yang terlihat pada LUQ  olive sign pada
saat palpasi
 hipokloremik hipokalemik alkalosis metabolic
 anak masih merasa lapar, tidak terlihat sakit atau demam
o Diagnosis
 USG  dapat diukur besar pilori secara keseluruhan > 16 mm, dan tebal
otot m. pylori >4 mm (pada anak preterm birth >3mm)

 cervix sign
(penonjolan pylori ke area antral pada USG)
Antral nipple sign  adanya penonjolan mukosa pilori kea rah antrum

 target sign , adanya


gambaran hipertrofi otot pilori yang hipoekoik mengelilingi mukosa
yang hiperekoik
Pada barium meal  tampak adanya umbrella sign, single bubble
appearance
o Terapi sementara
 Resusitasi cairan  sebaiknya menggunakan NaCL + KCl karena alkalosis
nya bersifat hipokloremik hipokalemia.
 Perbaiki imbalans elektrolit  memberikan D5% + 0,45 NS. NS bisa dibolus
terlebih dahulu untuk melarutkan hypernatremia, dan juga mengandung
Kalium 20 mEq.
 Jika terjadi severe hipokalemia  dinaikkan pemberian KCl menjadi 30 mEq
 NGT  tidak disarankan karena dapat menurunkan produksi klorin
 Kontrol UO
 Terapi definitive  operasi pyloromyotomy
- Komplikasi post op  muntah persisten menandakan adanya perforasi atau
incomplete myotomy

-Atresia duodenum

-
- Etiologi :
 Dikarenakan gagalnya rekanalisasi pada Upper GI tract pada minggu ke 6
 Dikarenakan gagal rotasi dari ventral bud pancreas ke dorsal bud CW
menyebabkan terbentuknya annular pancreas pada minggu ke 8
- Epidemiologi
 Ada 3 tipe atresia duodeni, yang paling sering yang Type I
- Patofisiologi
 Penyebab dari atresia bisa dari interistik (gagal rekanalisasi) dan bisa
eksterinsik (annulare pancreas).
 Stenosis bisa complete bisa parsial
 Tipea atresia duodeni
1. Tipe 1  terdapat septum pemisah pada bagian submucosa,
mesenterium intak, septum bisa imperforate (obstruksi komplit)
dan bisa juga parsial
2. Tipe 2  dua belah duodenum hanya dihubungkan oleh jaringan ikat,
mesenterium intak
3. Tipe 3  dua belah duodenum terpisah, mesenterium tidak intak,
terdapat gambaran V sign
-
- Manifestasi Klinis :
 Muntah mengandung empedu
 Di dalam kandungan  polihidraminion
- Penunjang
 Radiologi dengan kontras  double bubble sign
 USG fetal  idem
 Jika tidak ditemukan double bubble sign  ambil 30-60 cc udara, lalu
masukkan kedalam NGT
 Penting untuk membedakan dengan volvulus  dengan radiologi +
kontras. Pada atresia duodeni, pada segmen ke 2 duodenum tampak
membulat, dan jika terdapat obsrtuksi inkomplit, Lig Treitz dapat terlihat
- Terapi
 Dekompresii dengan OGT atau NGT
 Resusitasi cairan
 Pemasangan akses sentral untuk pemberian nutrisi
 Puasa makan dulu
 Tidak membutuhkan operasi secepat mungkin JIKA VOLVULUS SUDAH BISA
DIRULE OUT

- Atresia Jejunoileal
 Etiologic : kelaianan vaskularisasi intrauterine pada mesenteric artery
menyebabkan, bisa juga dikarenakan volvulus, intususpesi atau strangulasi
pada gastroschisis atau omphalocele.
 Kelainan pada atresia jejunoileal biasanya tidak berhubungan dengan
kelainan pada bagian tubuh lain
 Tipe astresia
1. type I (a completely occluding web),
2. type II (proximal and distal segments separated by a cord),
3. type IIIa (complete separation with a mesenteric defect),
4. type IIIb (proximal jejunal atresia with complete absence of the mesentery
to the distal small bowel, the so-called “Christmas tree” or “apple peel”
atresia), and
5. type IV (multiple atresias)
6. type V (stenosis)


- Gejala klinis
 Prenatal  polihidramnion
 Vomiting non bilous
 Distensi abdomen  menyebabkan kenaikan diafragma  mengganggu
pernafasan
 Jaundice
 Meconium belum keluar >24 jam
- Pemeriksaan penunjang  triple bubble sign
- Terapi awal :
 Dekompresi dengan NGT
 Resusitasi cairan

2. Urachus remnant

3. Omphalomesenteric duct remnan

4. Atresia bilier
5. Abdominal Wall Defect (gastroschisis, omphalocele)
o Omphalocele  defek pada fusi abdominal wall >4cm tepat pada area
umbulical ring, dimana terdapat midgut dan liver serta organ lain yang keluar
namun terbungkus dengan selaput amniotic dan peritoneum. Abdominal wall
rusak
o Membedakan omphalocele dengan hernia umbilicalis  1) omphalocele
ditutupi oleh amniotic sac, sedangkan kalo hernia umbel ditutupi oleh kulit 2)
biasanya organ di hernia Cuma midgut sedangkan kalo omphalocele bisa ada
hepar 3) ukuran hernia <4 cm, omphalocele > 4 cm 4) hernia umbilicalis memiliki
insersi umbilical cord yang normal, sedangkan pada omphalocele insersi berada
di atas umbilical ring
o Gastroschisis  keluarnya midgut dari abd wall defect, biasanya pada sisi kanan
umbilicus, tidak ditutupi oleh lapisan apapun, biasanya hanya midgut saja,
edema dan menebal, ditutupi oleh fibrinous layer. Pada gastroschisis terjadi
kerusakan pada bagian usus, kemungkinan dikarenakan paparan midgut
dengan cairan amnion.
o Terapi
o Wet Tx u/ omphalocele kassa direndam dalam saline hangat, lalu dibungkus plastic
wrap, resusitasi cairan, dekompresi, posisikan miring kanan untuk mencegah malrotasi
mesenterium
o Dry Tx untuk gastrochisis  masukkan ke plastic bag

1. Intususepsi
- Etiologic : dikarenakan adanya intususeptum yang masuk ke bagian intususipien,
pada anak – anak penyebabnya sering tidak diketahui, namun terdapat beberapa
faktor risiko yaitu : pemberian antidiare pada anak, kebiasaan memijat pada anak.
Pada orang dewasa paling sering disebabkan oleh adanya tumor jinak seperti polip
colon, diverticulum Meckel.
- Epidemiologi : paling sering pada ileum dan caecum  karena ileum mobile dan
kecil ukurannya jika dibandingkan caecum yang besar. Lebih sering pada anak laki-
laki karena motilitas usus lebih tinggi
- Patofisiologi :
o bagian intususeptum masuk ke intususipen, akibatnya ketika intususipen
berkontraksi, intususeptum akan nyangkut tertekan  edema  bisa
muncul ulkus pada mukosa  darah + mucus  red currant jelly stool
o yang terkena dampaknya mostly adalah intususeptum, jika dibiarkan dapat
terjadi gejala obstruksi mekanik  strangulasi  menimbulkan nyeri hebat
pada bagian abdomen
- Tanda dan gejala : trias intususepsi yaitu  Nyeri perut hebat,
muntah/diare/teraba massa abdomen, red currant jelly stool
o Nyeri perut  nyeri berupa nyeri kolik hebat diakibatkan adanya obstruksi
mekanik, nyeri berupa nyeri akibat iskemia. Disbeut juga Craping pain.
Biasanya anak akan menekuk panggul dan lutut
o Massa abdomen  tanda patognomonis adalah sausage like mass (teraba
massa di bagian periumbilical seperti sosis) dan dance’s sign (teraba kosong
pada bagian intususeptum berada)
o Red currant jelly stool  dikarenakan adanya edema akibat obstruksi, usus
akan mengeluarkan banyak mukosa. Lama kelamaan akan terjadi ulserasi
pada usus sehingga menghasilkan darah  darah + mucus
o Muntah  tanda awal adanya intususepsi.
o Diare
o Pada pemeriksaan RT  teraba pseudoportio pada akibat invaginasi yang
sudah lama
o Palpable abdominal mass (sausage app)
o Dance’s sign  kekosongan/depressi pada bagian RLQ
- Pemeriksaan penunjang
o USG  target sign pada potongan transversal, pseudokidney sign pada
potongan longitudinal
o CIL (colon in loop)  bisa dilakukan ketika kondisi anak stabil. Dapat sebagai
diagnostic dan terapi
 Ditemukan cupping sign (+), coil spring app (+), herringbone app (+),
air fluid level (mirip dengan tampakan radiologis dari ileus mekanik)
  cupping sign
 sebagai terapi  reduksi tekanan tinggi, dilakukan jika onset <24
jam, dan belum ada tanda-tanda obstruksi. Dianggap berhasil jika
kontras keluar bersama dengan feses dan udara dari rectal tube
o CT scan
- Terapi :
o AB clear
o Dekompresi dengan OGT dan rectal tube
o Resusitasi cairan jika terdapat tanda syok, perbaiki elektrolit
o Antibiotika broad spectrum
o Laparotomi
o Tindakan reduksi :
 Reduksi hidrostatis  dengan barium enema (jika <24 jam)
 Reduksi manual  dengan milking.
 Reseksi  jika terjadi invaginasi pada colon, karena pada colon risiko
terjadi keganasan. Reseksi juga dianjurkan apabila invaginasi terjadi
pada usus halus yang sudah ada tanda perforasi, nekrosis, edema

o Dipertimbangkan reseksi usus halus, jangan sampai terjadi Short Bowel


Syndrome yaitu
 Ada riwayat reseksi usus
 Diare
 Steatorrhea
 Malnutrisi  sisa usus <3 meter bisa mengganggu nutrisi dan
pertumbuhan, <2 meter bisa mengganggu fungsi hidup, <1 meter
nutrisi parenteral saja tidak adekuat
- Volvulus
o Obstruksi karena puntiran usus >180 derajat
o Lokasi tersering : sigmoid dan caecum, colon transversum
o Gejala
 Anak  bilous vomit, failure to thrive, malabsorbsi, gagal tumbuh
 Dewasa  nyeri intermittent pada perut, mual, muntah

o
Muskulo/Orthopedi

- Manajemen trauma  recognition, reduction, retention, rehabilitationt


o Primary survey  ABCDE
Adjunct  X-ray dan immobilisasi
Secondary survey  head to toe examination, AMPLE history
o Recognition  dengan px fisik look feel move dan X ray
 Kontrol pendarahan dengan balut tekan
 Rule of 2 :

Cara membaca rontgent tulang

- Rule of 2 
o 2 views  foto dari proyeksi yang berbeda agar mendapatkan gambaran 3 dimensi
o 2 sides  dibandingkan dengan sisi yang normal untuk menentukan kelainan
o 2 joints  harus terlihat 2 sendi
o 2 occasion/visits  dilakukan untuk evaluasi dari terapi yang sudah diberikan
o 2 abnormalities  cari abnormalitas lain yang biasanya berhubungan
o 2 records  interpretasi ditulis
o 2 opinions  opini dari sejawat lain
o 2 specialists
o 2 examination  selain xray, bisa menggunakan modalitas lain untuk menegakkan
diagnose
- Step how to read imaging correctly : dari Association of Orthopedic
1. Cek identitas pasien
2. Bagian ektremitas mana yang di foto
3. Cek marker, view dari X Ray (AP, PA, Lateral)
4. Cek kondisi gambar secara keseluruhan  apakah cukup, terlalu opaque atau terlalu lusen
5. Cek dari luar ke dalam atau dalam ke luar
a. Soft tissue  apakah intak? Ada swelling? Ada udara?
b. Tulang (SITES) nama tulang disebutkan
i. Aspek? diafisis, metafisis, atau epifisis(intraarticular)
ii. posisi?  proksimal, media, distal
c. Bentuk fraktur (Obliquity) 
i. Komplit atau inkomplit  jika kesulitan dalam menentukan bagian fraktur,
ikuti garis korteksnya
ii. Arah garis fraktur  linier, spiral, greenstick, torus, oblik, transverse,
butterfly
iii. Apakah ada penetrasi kulit? Open atau closed
iv. Kondisi tulang  kominutif, segmental, multiple, impaksi
d. Displacement  dinilai dengan singkatan LARA
i. Lengthening/shortening  overlapping jadi shortening
ii. Aposisi  ketika terjadi perubahan letak pada fragmen tulang sehingga
terjadi perubahan kontak antara fragmen tulang proksimal dengan distal.
Aposisi dinyatakan dalam presentasi, misal jika tidak ada kontak sama sekali
 aposisi 0%, atau aposisi komplit, kalo parsial misal aposisi 80%
iii. Rotasi  perputaran pada fragmen tulang pada aksis longitudinalnya
iv. Alignment  adanya kemiringan fragmen tulang, sehingga terjadi
perubahan pada aksis longitudinalnya. Jika aksis longitudinal fragmen
proksimal dan distal membentuk sudut, disebut sebagai angulasi,
dinyatakan dalam derajat

e. Densitas tulang secara umum


f. Joint  apakah ada penyempitan atau pelebaran celah sendi, apakah facies
artikularis licin, erosi, atau ada osteofit?
o Reduksi
 Tujuan : mengembalikan ke posisi anatomis
 Closed reduction  dilakukan pada fraktur yang minimally displaced, fraktur
tertutup. Lakukan traksi fragmen distal kea rah axis longitudinal tulang, beri
gaya berlawanan, perbaiki alignment
 Open reduction dilakukan pada
 Displacement berat
 CR gagal
 Fraktur terbuka
 Fraktur avulsi
o Retention/ hold the reduction
 Wooden spalk  melewati 2 sendi
 Continuous traction  butuh waktu lama, pasien harus ranap dalam waktu
lama, biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas inferior, dan fraktur pada
shaft tipe oblique atau spiral
 Traction by gravity  pada fraktur shaft humeri
 Skin traction
 Skeletal traction
 Cast splintage  macem macem, pasien bisa rawat jalan.
 Circular cast
 Posterior slab cast
 U slab cast
 Interbal fixation  digunakan untuk fraktur yang direduksi terbuka, tidak stabil,
fraktur patologis, kominutif
 External fixation  digunakan jika soft tissue damage parah, risiko infeksi,
fraktur dekat dengan sendi
o Rehabilitasi
 Butuh waktu 6-8 minggu untuk penyembuhan Upper Extremity Fracture, dan 2
kali lipatnya untuk lower wxtremity
 Fraktur healing  melalui 4 tahapan yaitu
 Hematome formation
 Fibrocartilaginous callus  1-2 minggu setelah cedera
 Bony callus  3-4 minggu
 Remodellling  1-2 tahun


- Fraktur fraktur
o Greenstick fracture  fraktur incomplete, sering pada anak
o Bow fracture  adanya tekanan longitudinal melebihi kemampuan recoil tulang, tulang
jadi begkok
o Salter Harris Fracture  fraktur pada lempeng epifisis. S = straight across, A = Above, L =
Lower, T = through, ER = Erased epifisial plate

o Fraktur colles  jatuh dalam posisi pergelangan tangan terekstensi, fragmen distal
mengarah ke dorsal, Dinner Fork deformity
o Fraktur smith  kebalikan dari colles, garden spade/
o Barton fracture  sama kayak colles smith, tapia da dislokasi radiocarpal joint
o Bannet fracture  fraktur pada metacarpal 1, menjalar ke carpometacarpal 1
o Boxer fracture  fraktur MCP IV dan V
o Scaphoid fracture  nyeri tekan pada tabatiere anatomicum
o DRUJ instability  pianokey sign
o Fraktur Clavicula 
 1/3 media  paling sering  arm sling/ figure of 8 bandage
 1/3 lateral/distal  ORIF
 1/3 medial/proksimal  arm sling/ figure of 8 bandage
 ORIF jika  shortening, tented, neurovascular injury
o Fraktur terbuka
 Luka terbuka yang satu segmen dengan lokasi fraktur  dianggap open #
sampai tidak terbukti open #
 Luka terbuka dengan lokasi dekat dengan persendian  dianggap terhubung
dengan bagian dalam sendi
 Klasifikasi Gustillo Anderson
 I  ukuran <1 cm, no contamination
 II  ukuran 1-10 cm, tidak ada kontaminasi
 III  berapapun ukurannya, terkontaminasi
a  kontaminasi berat, adekuat tissue coverage
b  bone exposure
c  vascular damage
 Terapi :
 ABC  pastikan clear
 Irigasi dengan NaC 3, 6 , dan 9 liter (berurutan untuk GA I, II, dan III)
 Imobilisasi
 Pemberian antibiotic  cephalosporin gen 1 + aminoglikosida
(cefazolin + gentamisin/klindamisin). Jika ada kontaminasi tanah 
tambah penicillin/piperacillin/tazobactam
 Pemberian profilaksis anti tetanus –> TIG 250 IU atau ATS 1500 + TT

- Komplikasi Fraktur  early dan late. Early (cedera nervus dan vascular, compartement
syndrome, osteomyelitis akut). Late (malunion, delayed union, non union, osteomyelitis, kaku
sendi, avascular necrosis)
o Cedera nervus
 Fraktur collum cirurgicum humeri  n axilaris  tidak bisa abduksi, atrofi m
deltoid
 Fraktur shaft humeri  n radialis  wrist drop, hilang sensasi bagian dorsal
manus
 Fraktur supracondylaris  n. medianus, ulnaris, radialis. Cedera n. medianus
 pitcher’s hand/obstetrician hand/Pope’s blessing, hilang sensasi di jari 123
 Fraktur medial epicondilus  n ulnaris  claw hand, hilang sensasi di jari 4 5,
 Fraktur/dislokasi lutut  n/ peroneus communis  drop foot, high stepping
gait, tidak bisa eversi

o Compartement syndrome
 Etiologic : adanya kenaikan tekanan pada kompartemen osteofaacial yang
menyebabkan adanya ischemia pada otot otot ekstremitas. kenaikan dari
tekanan ini bisa dikarenakan
 Memang tekanan pada intramuscularnya misal : diakibatkan adanya
revaskularisasi setelah terjadinya ischemia
 Berkurangnya space di dalam kompartemen misal : dikarenakan cast
splinting yang terlalu ketat
 Anatomi :
 Ekstremitas atas paling sering bagian antebrachia
o

 Compartement anterior cruris  paling sering terkena compartement


 Patofisologi :
 Muscle perfusion pressure (delta P)= diastole – intramuscle pressure.
Jika terjadi penurunan diastole atau terjadi kenaikan dari intramuscle
pressurenya, bisa menyebabkan berkurangnya MPP.
 Tekanna intramuscle atau tekanan intracompartemen normalnya 0-8
mmHg. Kenaikan tekanan intrakompartemen 10-30 mmHg 
compartement syndrome.
 Delta P <30  compartement syndrome
 adanya tekanan intrakompartemen yang meningkat atau
berkurangnya space di dalam kompartemen pertama menyebabkan
vena terbendung  terjadi peningkatan permeabilitas kapiler 
eksudasi  semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen 
perfusi arteri berkurang  kerusakan pada inervasi
 gejala dan tanda  6P
 pain  out proportion pain, pain on passive movement, nyeri saat
meregangkan otot, nyeri seperti terbakar dan deep
 Paresthesia  seiring dengan berjalan waktu, awalnya numb pada
localized area  meluas. bisa dilakukan px sensoris sesuai myotom
dan dermatome
 pressure  membutuhkan alat tertentu untuk cek, >30 mmHg
 pallor  jarang sebenarnya, tapi salah satu tanda adanya vascular
compromised.
 Pulselessness  pulsasi menurun atau hilang, tanda adanya late stage
 Paralysis  sudah sangat terlambat
 Faktor risiko :
 Fraktur tibia dan antebrachia
 Tight cast
 Adanya peningkatan permeabilitas pembulu darah akibat adanya
reperfusi
 Adanya eksternal pressure dan localize dalam jangka waktu lama misal
: pada posisi lithotomi dapat menyebabkan tekanan pada n. peroneal
 Burn
 Crush injury pada otot
 Excessive exercise
 Laki laki usia >30 tahun
 Terapi 
 Longgarkan atau lepaskan sirkular dressing pada area tersebut
 Jika setelah 30-60 menit tidak ada perbaikan  fasciotomy
 Komplikasi jika tidak di Tx  Volkmann Ischaemic Contracture,
o Crush syndrome
 Etiologic : adanya muscle injury (biasanya pada otot besar seperti femoral
muscle dan calf muscle), menyebabkan adanya ischemia, dan akhirnya kematian
sel otot yang melepaskan myoglobin. Rhabdomyolisis ini dapat menyebabkan
adanya AKI
 Tanda dan gejala :
 Urin berwarna hitam cokelat
 Asidosis metabolic  nafas kussmaul
 Hiperkalemia  adanya Tall T pada EKG
 Hiperkalsemia
 Gejala DIC
 Terapi :
 Pemberian cairan optimal  memberikan efek dilusi terhadap
myoglobin, adanya diuresis osmotic dan intravaskulat volume expansion
 kerja ginjal menjadi tak berat
 Pemberian cairan hingga mencapai UO pasien 100ml/jam hingga
myoglobin bersih
Hypertrofic  ada jaringan fibrous yang
Terapi : konservatif 6 bulan, masih berpotensi untuk terjadi union.
o jika tidak terjadi union  atrophic  ada pesudoartrosis,tidak
osteotomi dan bone grafting busa union

o Osteomyelitis
 Lokasi paling sering : metafisis
 Etiologi : s aureus dan basil negative
 Tipe : direct, contaguious (karena tindakan operasi), hematogenous

 cierny mader staging

 Involucrum  pembentukan tulang baru di sekitar area tulang yang nekrosis


 Sequestrum  tulang baru dikelilingi tulang yang necrosis dan pus
 Terapi :
 Anak <4 tahun  cefalosporin IV atau oral
 >4 tahun  fluoxacillin dan as fusidat
- Dislokasi
o Bahu 
 Anterior  squared off, acromion menonjol, posisi abduksi dan eksorotasi
 Posterior  bulb sign (+), posisi endorotasi
 Inferior  luksasi bahu
 Terapi : hipoccrates maneuver, stimson maneruver, traction countertraction
maneuver
o Siku
 Tennis elbow/ lateral epicondylitis  Cozen test, posisi tangan pasien pronasi
di meja, pemeriksa menaruh ibu jari di epicondylus lateral, pasien ekstensi wrist
+ lradial deviate, jika nyeri  (+)
 Golfer’s elbow / medial epicondylitis  Mill’s Test,
 Nursemaid elbow/ subluksasi caput radius  sering pada anak, lig annulare di
caput radius terjepit, posisi tangan sedikit fleksi dan pronasi
o Wrist Joint
 Tenosinovitis De Quervain  inflamasi tendon pollicis, Finklestein tes, Eichoff
test
 Trigger finger  inflamasi pada pulley, jari dalam posisi semifleksi dan ada
nodule. Tx : steroid intraarticular
 Infectioius tenosynovitis  riwayat tertusuk, pada jari 2/3, inflamasi pada
tendon sheath fleksor jari  posisi jari fleksi, bengkak fusiform, KANAVEL sign
(nyeri pada saat jari diekstensikan). Tx : evakuasi pus
o Hip dislocation
 Anterior  ngangkakng
 Posterior  putri malu
o Knee 
 Lachmann test  fleksi knee 15 derajat, lalu diendorotasikan. (+) rupture ACL
jika ada suara pop atau nyeri
 Pivot shift test  dari posisi ekstensi dan rotasiinterna tibia, lalu difleksikan.
(+) rupture ACL jika ada suara pop atau nyeri
 Drawer test  knee fleksi 90 derajat, lalu digerakkan ke anterior dan
posterior. (+) rupture ACL jika ada suara pop atau nyeri atau flleksibilitas
berlebih pada saat didorong ke depan, dan sebaliknya untuk rupture PCL
 Posterior Sag test  mendeteksi
 Valgus stress test  kaki dibengkokkan kea rah luar, (+) rupture lig collateral
medial jika nyeri atau pop
 Varus stress test  (+) rupture lig collateral lateral jika nyeri atau pop
 Mc murray test  untuk menilai meniscus medial dan lateral. Gerakan rotasi
eksternal/internal tibia + ekstensi kaki. (+) meniscus medial tear jika pada
rotasi internal tibia + ekstensi ada nyeri, dan sebaliknya
 Pivot shift test

 Unhappy triad  ACL and LCL tearm meniscus tear


- Rupture tendon achilles
 Mekanisme : dorsofleksi paksa pada posisi antefleksi
 Sudden snap, tidak bisa plantarfleksi, Thompson test (+)  tidak ada
plantarfleksi pada saat betis ditekan
- Plantar fasciitis/ Policeman heel/ Tennis Heel/ Gonorrhea Heel
o Adanya peradangan pada aponeurosis plantaris
o Gejala
 Nyeri pada saat bergerak setelah beberapa lama imobilisasi (misal : tidur,
duduk lama)
 Nyeri pada bagian depan heel
 Nyeri membaik ketika istirahat/ unloading
 Nyeri lebih dirasakan ketika berjalan di area yang keras atau naik tangga
o Tanda
 Nyeri pada area heel  tempat aponeurosis berinsersi
 Nyeri dorsifleksi
 Windlass test  nyeri pada saat dorsifleksi ibu jari

- Sprain dan strain
o Sprain  cedera ligament, strain  cedera tendon dan otot
o Grading
 1  teregang, nyeri ringan, laxity (-)
 2  robekan parsial, moderate laxity
 3  robekan total, gross laxity
o Tx : POLICE
 Protect  mencegah reinjury
 Optimum load  digerakkan dan digunakan semampunya untuk merangsang
penyembuhan
 Ice  kompres es 10-20 menit tiap 2-3 jam
 Compress  balut elastic bandage untuk mengurangi bengkak
 Elevate  mengurangi bengkak
-
- Pott’s disease / Spondilitis TB
o Biasanya pada Vertebra Thoracal bagian bawah
o Kifosis Knuckle Like (teraba proc spinosus), Gibbus deformity
- Metastasis vertebrae  winking owl sign
- Keganasan tulang

o Osteosarcoma primer terjadi usia <30 tahun, reaksi periosteal  Codmann triangle,
sunburst appearance, hair on end appearance.
o Osteosarcoma sekunder  didahului paget disease
o Ewing sarcoma  usia 10-20 tahun, multilaminar periosteal reaction (onion peel
appearance), moth eaten appearance, blue cell
o Giant Cell Tumor/osteoclastoma  lokasi di EPIFISIS femur distal, tibia proksima,
radius distal, lesi litik, osteoclast like giant cells, spindle shaped mononuclear cells,
bubble soap appearance
o Chondrosarcoma  Popcor Appearance
o Osteochondroma  tulang tumbuh dengan cap kartilago
- Osteoporosis  BMD <2,5 SD
o Primer  postmenopausal (karena kekurangan esterogen yang mengatur pengangkutan
kalsium ke dalam tulang, osteoporosis senilis (karena aktivitas osteoklas lebih cepat dari
osteoblast pada usia tua)
o Sekunder  hipertiroid, hiperparatiroid, hypogonadism, obat steroid, CKD (osteodistrofi
renal), alkohol
o Sering terjadi fraktur patologis  forearm, vertebra, hip
o

-
- Kelainan KOngenital Muskuloskeletal

PEnyakit Tanda Khas Terapi


Congenital Satu kaki pendek, Galleazi/Allis test Palvuc Harness splint
Dislocation of (lutut ditekuk lalu didirikan, (+) ada
the Hip perbedaan dari tinggi lutut)
Barlow test  hip dan lutut di fleksi,
lalu diadduksikan. (+) jika femoral
head terdislok ke posterior
Ortolani test  lanjutan barlow, kaki
diabduksikan, (+) jika femoral head
balik ke acetabulum
Osteogenesis kelainan kolagen tipe 1
Imperfecta tanda : Sklera tipis dan biru, multiple
fracture,
Osteopetrosis Marble bones, tulang sangat keras
sehingga sangat mudah retak
Akondroplasia Autosomal dominan, kelainan
FGFR3, trident hand, rhizomelia
(pemendekan pada proksimal
extremity), bowing tibia
CTEV (clubfoot) Cavus, Adduktus, Varus, Equinus Ponsetti method, dennis
(plantarfleksi) browne`
Arthrogryposis Adanya kontraktur sendi pada
Multiplex minimal 2 bagian tubuh sebelum lahir
Congenita
Rickets BMD < -1 s/d -2,5, akibat
Metatarsal Kidney shaped, tarsal adduktus,
Adductus deviasi metatarsal ke medial
Calcaneovalgus Kaki dorsifleksi, eversi, bisa juga
mengalami metatarsus adductu 
windswept appearance
Pes planus Flat foot fisiologis, familial
Tarsal Coalition Spastic flatfoot, bedanya sama pes
planus : nyeri, spasme otot peroneus,
terjadi fusi os tarsal secara kongenital
o

- Ankylosing Spondilitis  Bamboo spine


- Rupture Achilles  Thompson negative
- Sinus tarsi syndrome 
- Plantar fasciitis  nyeri pada telapak kaki
-
- Osteoartritis
o Paling sering : pada lutut, coxae, vertebra
o Primer : pada perempuan, tua, tidak berlebihan menggunakan sendinya
o Sekunder : apapun yang menyebabkan kerusakan pada sendi  RA, septic arthritis, dll
o Komplikasi
 OA : lebih sering terjadi penyempitan di medial  genu VARUS
 RA  lebih sering terjadi penyempitan di lateral  genu VALGUS
o Manifestasi klinis :
 Nyeri sendi, <30 menit, kaku
 Di tangan : Bouchard nodule (proksimal) dan Haberden nodule (di distal
o Untuk menegakan diagnosis OA menggunakan foto lutut, cari 4 kardinal sign :
 Joint space narrowing, pada orang normal tulang rawannya harusnya gak
terlihat (lusen) tpi saat kartilago makin menipis sehingga areanya makin
menyimpit
 Osteofit/Lipping, kompensasi pembentukan tulang baru pada ujungnya, femur
dan tibia menempel bergesek terus timbul tulang baru.
 Subchondral sklerosis, pembentukan tulang baru tpi bukan di ujung
 Subchondra cyt, synovial terderak masuk ke sendi2 tulang
o Terapi :
antinyeri
 Step 1 : NSAID
 Step 2 : weak opioid : codein, tramadol, hydrocodone
 Step 3 : strong opioid : morfin, fentanyl, methadone,
 Jika pemberian steroid tidak mempan  steroid intraarticular

o
o
o Grading :
 1 : possible osteofit
 2 : definit osteofit
 3 : definite narrowing
 4 : sclerosis + kissing joint

o
- Gout
o Radang sendi karena deposisi kristal monosodium urate
o FR : hiperurisemia >7 pada laki laki, >6 pada perempuan
o Manifestasi :
 Podagra  akut, inflamasi pertama kali
 Interkritikal  sudah lewat serangan akut, terjadi serangan akut berulang
 Tophus  kronis
o Bedanya dengan Pseudogout
 yg menumpuk kalsium pirofosfat, kebanyakan makan suplemen kalsium,
nyangkut di sendi lutut paling sering, reaksi inflamasi tidak sehebat gout , saat
di foto x-ray tampak kondrokalsinosis, pada tulang2 rawan ada kalsinosis
(putih2 di kartilagonya), susah di nilai menghitung kalsium dalam darah, jadi
sendi lutut di foto , anti di kartilago ada putih2 seperti kristal kalsium , kalau
ada soal nyeri di lutut tpi gak kayak OA jadi pikirkan pseudogout
 GOUT dapat di tegakan secara klinis saja
o Px penunjang : xray, gold standard  aspirasi cairan sendi. Namun gout bisa ditegakkan
lewat klinis saja

o
o Terapi
 Akut :
 DOC kolkisin 1mg, lanjut 0,5-0,6 mg per 2 jam sampai nyeri hilang.
Kontraindikasi : gg ginjal. Cara kerja : menghambat fagositosis,
pergerakan neutrophil, kemotaksis, dan menghambat prostaglandin
 NSAID : na diclofenac 2x50 mg
 Kronis :
 Dimulai 2-4 minggu setelah serangan akut.
 Xanthine oxidase inhibitor  allopurinol dosis awal 100mg
 Jika alergi : urikosurik agent  probeneside 0,5 gram/hari.
Kontraindikasi : gg ginjal
- Arthritits Autoimun
o Spondiloartropati ada 2 
 Seropositive  RF (_), CCP (+)  RA
 Seronegative  RF (-),  ankilosyng spondylitis
o Rheumatoid arthritis
 Infalamasi kronik karena autoimun, adanya HLA B27
 Patofis : inflamasi dan profliferasi synovial, kartilago sendi hilang, dan erosi
juxtaartikular. Inflamasinya meluas pada RA menyebabkan (adanya demam, LED
meningkat, WBC meningkat), dan merupakan penyakit autoimun (ditandai
dengan naiknya RF, anti CCB), merusak membrane synovial
 TRIAS : boutonierre deformity (DIP ekstensi dan PIP fleksi), ulnar deviation,
swanneck deformity (DIP fleksi, PIP ekstensi)
 Terapi :
 DOC  disease modifying antirheumatic drugs ex : methotrexat,
siklosporin, siklofosfamid
 NSAID dan steroid  untuk nyeri
 Urutannya : diberikan NSAID selama 6 bulan (bridging therapy), jika
tidak merespon  MTX.
o Ankylosing spondylitis (SERONEGATIF)
 TRIAS secara umum yang seronegative : sacroiliitis (kaku pada
pinggang/punggung), entersitis (kaku pada insersio tendon, paling serig
achilles), dactylitis (nyeri pada seluruh jari jari)
 Ankylosing spondylitis/marie stumple, manifestasi klinis
 Kaku tulang belakang
 Uveitis posterior
 Entersitis
 Inflamasi pada costosternal
 Tes yang khas  Schober test, Occiput wall test/flesche test
 Oksiput wall test nama lainnya flesche test(oksiput tidak bisa nempel
ke tembok, kaku sekali)
 Schober test (pasien posisi berdiri beri garis di L2 dan garis lurus ke
atas sebanyak 10 cm dan kasih marker juga lalu pasien di suruh
menunduk, orang normal dari 10 cm, jadi >14cm ; kalau <14cm berarti
spondilolitis
 Penunjang : bamboo spine pada x ray
o Reactive Arthritis (seronegative)
 Manifestasi : TRIAS SED + keratoderma + balanitis
 Didahului gonorrhea dan diare akibat campylobacter jejuni

o Enteropatic arthritis/ IBD related arthritis (seronegative) 
 TRIAS SED + penyakit IBD
o Psoriatic Arthritis
 TRIAS SED + psoriasis
o Juvenile Spondyloarthritis  pada anak
- SLE (sistemik lupus eritematosus)
o SOAP BRAIN MD
 S = serositis (pleuritis, pericarditis)
 O = oral ulcer
 A = arthritis
 P = photosensitivity
 B = blood (anemia hemolitik, trombositopenia)
 R = renal
 A = ANA test (+), anti ds DNA
 I = immunologic manifestation
 N = neuro (kejang)
 M = mallar rash
 D = discoid rash
o Manifestasi klinis
 Ringan = sakit terbatas di kulit dan sendi
 Sedang = kena beberapa system tapi vital sign stabil
 Berat = rawat inap
o Terapi
 Ringan = Klorokuin / MTX + steroid
 Sedang = MP plus dose + AZA
 Berat = MP plus dose + siklosforin
- Kelainan tulang karena konsumsi antikonvulsan  Osteogenesis imperfecta
o Patofis : antiepileptic menyebabkan defisiensi vitamin dan protein penyusun tulang
seperti osteonektin dan kolagen tipe 1, sehingga bisa terjadi penurunan BMD dan tulang
jadi rapuh
o TRIAS : blue sclera, bone fragility, deafness konduksi
o Tipe
 Autosomal dominant type  lebih ringan/ milder (tipe 1 dan 4)
 Autosomal recessive type  lebih berat/severe (tipe 2 dan 3)
 Grade 1 : fraktur sebelum pubertas, hearing loss, stature normal, paling sering,
paling ringan
 Grade 4 : fraktur sebelum pubertas, osteoporosis, bentuk wajah segitiga
 Grade 3 : moderate severe, fraktur in utero, bowing, bony deformity,
progressive deformity, bowing, osteoporosis, scoliosis
 Grade 2  paling parah, kematian terjadi di in uteri, infant, atau anak anak,
severe bone deformity (micromelia)
- Rickets dan osteomalacia
o Gangguan mineralisasi matriks tulang
o Rickets  terjadi pada tulang rawan di lempeng epifisis sebelum menutup, sehingga
hanya terjadi pada anak2 saja
Osteomalacia  terjadi pada osteoid, bisa pada anak dan dewasa)
o Etiologic : defisiensi vitamin D (nutritional rickets), hipofosfatemia (familial
hipofosfatemia rickets), gagal ginjal
o Gejala : general softening of bones (tulang mudah bengkok saat ada beban atau tarikan
o Manifestasi :
 Kepala : craniotabes (penipisan tulang cranium), frontal bossing,
craniosynostosis (sutura lebih cepat menutup)
 Dada : rachitic rosary (arcus costae sudut terlalu tajam), harrison groove
(diafragma menarik costae yang lunak ke dalam, sehingga terbentuk sulcus pada
bagian bawah thorax) pectus carinatum
 Punggung : skolioisis/lordosis/kifosis
 Ekstremitas: pergelangan tangan & kaki melebar, deformitas valgus/varus,
windswept deformity (kombinasi valgus & varus), tibia & femur bowing, coxa
vara
- Osteoporosis
o Penurunan BMD <-2.5 SD
o Primer  tipe 1 post menopause, tipe 2 age related
Sekunder  tipe 3 karena konsumsi steroid, osteodistrofi, hiperPTH

o Tanda dan gejala


 Fraktur patologis  colles, collum femoris, wedge #
 Tinggi badan menurun
 Kifosis thoracal
 Riwayat obat  steroid, siklosporin
 Pemeriksaan klinis : kifosis dorsal (Dowager’s Hump)
o Penunjang
 Gold standard  DXA <-2,5
 Biokimia tulang
o Terapi
 Aktivitas fisik teratur  berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda, berenang
 Intake kalsium 1000-1500mg/hari
 Bifosfonat  untuk yang tipe 2
 SERMS  untuk tipe 1
 Calcitonin  untuk CKD
- Septic Arthritis
o Manifestasi klinis : tanda inflamasi sendi, demam tinggi
o Etiologic : s aureus, streptococcus, Neisseria gonorrhea,

o
o Terapi
 Gram (+) coccus  cefazolin 1-2 gram IV tiap 8 jam
 Gram (-)  ceftazidime 2 gram IV/ 8 jam atau ceftriaxone 1gram/24 jam
 Selama 2 minggu untuk IV dan 14-21 hari apabila diberikan PO
- Skoliosis/Kifosis/Lordosis
- Tarsal Tunnel Syndrome  nyeri, dan kelainan motoris pada area persebaran n tibialis posterior

Urologi

- BPH
o Anatomi dasar
 Prostat  berbentuk pyramid, berbatasan dengan rectum, dipisah oleh septum
rectovesicalis
 Zona zona dalam prostat
 Peripheral zone  paling besar, paling sering terjadi keganasan, muara
di sepanjang urethra pars prostatica dan veromontanum
 Central zone  ditembus oleh ductus ejakulatorius (mengelilingi ductus
ejaculatorius), muara kelenjar di ductus ejaculatiorius
 Transisional zone  ditembus oleh urethra pars prostatica, paling
sering terjadi hyperplasia pada bagian ini (lobus medius), muara di
verumontanum(colliculus seminalis), urethra proksimal
 Periurethral zone  mengelilingi urethra pars prostatica
 Anterior fimrobmuscular  hanya ada stroma yang berisi jaringan
fibromuscular
 Vaskularisasi  arteri prostatica, cabang dari arteri vesicalis inferior
 Inervasi  pleksus hipogastricus (gabungan dari saraf parasimpatis dari s2-s4
dan simpatis dari T10-T12)
o Etiologi
 Peningkatan jumlah 5DHT (dehidrotestosterone)
5 DHT dihasilkan dari testosterone bebas di dalam darah (testosterone
dihasilkan sel Leydig dan adrenal, lalu ada yag diikat oleh globulin menjadi
SHBG, namun ada juga yang bebas di dalam darah) yang masuk ke dalam
prostat, lalu diubah oleh ensim 5alfa reductase.
5 DHT menyebabkan hiperplasian dan hiperproliferasi dari kelenjar prostat
 Ketidakseimbangan antara testosterone dan estrogen pada usia tua
Dikarenakan selleydig banyak yang apoptosis  jumlah testosterone turun
o Patofisiologi
 Adanya obstruksi akibat pembesaran prostat menyebabkan kontraksi dari
detrusor muscle harus lebih meningkat  lama kelamaan terjadi hipertrofi dari
detrusor muscle.
 Fase kompensata  terjadi hipertrofi dari m detrusor, untuk menyamai
tekanan yang dihasilkan oleh prostat dan urethra. Hipertrofi setrussor 
tekanan VU meningkat  menyebabkan adanya penonjolan mukosa ke dalam
VU, disebut trabekulasi. Penonjolan mukosa juga terjadi ke luar disebut sebagai
sakulasi dan divertikulasi.
 Fase dekompensata  terjadi atonia dtrussor akibat kelelahan dari m
detrusor untuk berkontraksi untuk miksi. Akibatnya terjadi retensi urin.
Retensi urin menyebabkan adanya refluks ke ureter  hydroureter 
hidronefrosis  gagal ginjal.
Adanya retensi urin  terbentuk endapan  terbentuk batu  sistitis,
hematuria
 Karena pada saat miksi harus mengejan  hernia dan hemoroid
o Tanda dan Gejala
 Gejala iritatif Akibat adanya iritasi pada VU akibat prostat yang membesar ke
arah VU (lobus medius), atau iritasi ke urethra (lobus lateral), atau dikarenakan
retensi urin yang meniritasi mukosa VU. Disingkat FUNDI
1. Frekuensiuria  sering bolak balik pipis karena iritasi vesica, jadi vesica
belum penuh malah terangsang untuk miksi. Dalam 1 hari pipis >8 kali
2. Urgency  tidak bisa menahan pipis
3. Nocturia  pipis di malam hari. Malam hari >2x pipis
4. Dysuria  nyeri berkemih
5. Inkontinensia  keluar tetesan air seni akibatretensi urin (tipe
inkontinensia overflow)
 Gejala osbtruktif.dikarenakan adanya obstruksi akibat prostat yang
membesar dan menyebabkan sempitnya urethra dan leher VU, dan
dikarenakan otot detrusor yang melemah Disingkat HISTERP
1. Hesitensi  harus menunggu sebelum urin keluar
2. Intermiensi  aliran putus putus mada saat di tengah miksi karena
kontraksi detrusor yang tidak sempurna
3. Strain  harus mengejan
4. Terminal dribbling adanya tetesan sisa urin di akhir miksi
5. Retensi urin  rasa tidak puas atau lampias
6. Pancaran lemah

o
o Pemeriksaan fisik 
 Pemeriksaan fisik ginjal  nyeri ketok CVA (curiga pyelonephritis), adanya ginjal
yang terabaa pada ballotemen (hydronefrosis)
 Pemeriksaan penis  dilihat adanya striktur uretra
 Abdomen  bulging suprapubic (tanda retensio urin)
 RT, menentukan konsistensi (lunak pada BPH, keras pada kanker), simetrisitas
(simetris pada BPH, asimetris pada Ca), terada pada bagian proksimal,
permukaan massa (reguer pada BPH, irregular pada Ca), batas atas teraba
(prostat <60 gram) atau tidak bisa teraba (>60 gram)
 Menilai berat ringan obstruksi  pasien pipis, lalu mengukur retensi urin
dengan kateter. Obstruksi butuh intervensi jika retensi >100mL
 Menilai IPSS (international Prostate Scoring System)

Ringan : < 8, tidak butuh intervensi, observasi saja


Sedang : 8-18, medikamantosa
Berat : >18, intervensi operasi
o Penunjang
 Prostate specific antigen  untuk melihat hiperproliferasi dari kelenjar prostat.
Tidak spesifik untuk Ca Prostat. Normal 0,5-4ug/ml
 Menilai berat ringan obstruksi  Uroflowmeter. Normal  15 - 20cc/detik
Borderline : 10-15 ml/detik
Obstruksi : <10 ml/detik
 Post Voiding Residual Urine (PVR)  menilai residu urin.
 Stadium 1 : <50 cc
 Stadium 2 : 50-100cc
 Stadium 3 : >100cc
 Stadium 4 : retensi urin kronis
 Miction diary  menulis konsumsi cairan, serta jumlah urine, dan frekuensi nya
dalam 3-4 hari berurutan, untuk mengetahui adanya hiperaktivitas dari
detrussor
 BNO/IVP  melihat adanya hidronefrosis, hydroureter. Divertikel. Sakulasi,
residu urintrabekuli,
 USG  bisa per abdominal, trans rectal (jika dicurigai ada keganasan)
o Terapi :
 Observasi :
Indikasi : gejala ringan, IPSS <8 , tidak ada penyulit, flowmeter non obstruksi
(borderline atau normal)
 Kontrol tiap 3, 6, 12 bulan, lalu tiap tahun
 Ipss score dinilai tiap kunjungan, flowmeter tiap 6 bulan, PSA tiap 6-12
bulan
 Medikamentosa
 Jika gejala ringan – sedang :IPSS 8-18  monoterapi dengan alfa
bloker (tamsulosin, prozasin bisa sekalian buat hipertensi)
 IPSS berat  alfa bloker + 5 alfa reductase inhibitor
 Alfa bloker  tamsulosin (alfa 1a selektif bloker) (Harnal), efek
samping hipotensi lebih kecil
 ARI  efek samping penurunan libido dan disfungsi ereksi

- Varicocele
o DDx : spermatocele, hydrocele
o Etiologic : dilatasi vena atau plexus pampiniformis pada scrotum. Terdapat insufisiensi
katup vena sehingga terdapat aliran darah balik, sehingga lama kelamaan terjadi
vasodilatasi abnormal
o Gejala :
 Nyeri skrotum, memberat ketika berdiri, berkurang ketika berbaring
 Aliran darah yang kembali miskin oksigen, sehingga dapat meningkatkan suhu di
skrotum
 Atrofi testis  apoptosis sel germinal dikarenakan suhu hangat, dan terjadi
infertilitas
o Grade
 Grade 1  varikokel terpalpasi ketika manuver valsava
 Grade 2  dapat teraba tanpa valsava atau dengan valsava bisa telihat
 Grade 3  terlihat tanpa valsava
o Terapi : operasi dilakukan sebelum ada gejala infertilitas, Palomo method
- Hidrocele
o Penumpukan cairan di kantong scrotum
o Etiologic :
 Congenital : gagal obliterasi processus vaginalis
 Akuisita : hernia inguinal, tekanan intraabdomen
o Anatomi : testis turun dipandu gubernaculum testis kea rah scrotum, sekaligus menarik
struktur di sekitarnya (m. TA, OIA, OEA, fascia scarpa) dan membentuk lapisan scrotum.
Jalurnya akan membentuk spermatic cord, dan jalur tempat lewatnya testis tadi
membentuk processus vaginalis. Processus vaginalis harusnya ketutup usia 2 tahun.
o Px fisik :
 Adanya benjolan pada scrotum, fluktuatif atau kistik (menandakan adanya
cairan)
 Transluminasi (+)  cahaya berpendar
o Indikasi operasi
 Besar sehingga menekan pembulu darah
 Indikasi kosmetik
 Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu aktivitas
- Spermatocele
o Benjolan pada caput epididymis di posterosuperior testes
o FR : vasektomi karena obstruksi pada vas deferens
o Gejala
 Benjolan kistik di bagian posterosuperior testis
 Painless, mobile
 Transluminasi (+)
 Aspirasi  ada sperma
- UDT
o Letak
 Intraabdominal
 Inguinal
 Preskrotal/suprascrotal
o Testis akan turun secara spontan dalam 1 tahun pertama kehidupan
o Gejala : testis tidak teraba, skrotum kempis, ruggae sedikit, infertile, hernia inguinalis
o Etiologi : defek sektesi androgen pada prenatal, GnRH bayi rendah, GnRH plasenta tinggi
o Tx :
 Tidak perlu terapi hormonal
 Ditunggu dulu sampai usia bayi 6 bulan. Jika setelah 6 bulan tidak turun
spontan orchidopexy usia 6 -12 bulan, maksimal 18 bulan
 Unilateral  orchidpopexy
 Bilateral  coba terapi hormonal, jika 1 bulan belum turun  operasi
 Apabila tidak teraba dimana  eksplorasi abdominal  orchidopexy
abdominal
- Epispadia dan Hipospadia
o Epispadias  OUE di dorsum penis
o HIpospadia  OUE di ventral penis. Biasanya dibarengi chordee penis  penis bengkok
tidak bisa ereksi
o
o Terapi Hipospadia
 JANGAN DISIRKUMSISI
 Sebaiknya dioperasi sebelum 3 tahun
 Tahapan  Chordektomi, urethroplasty, glansplasty
- FImosis
o Ketidak mampuan retraksi preputium
o Fimosis fisiologis  resolve sendiri usia 5-7 tahun
o Fimosis patologis  terjadi akibat jaringan parut, infeksi, inflamasi
o Gejala : dysuria, ujung penis menggembung saat pipis, mengedan untuk BAK, nyeri
ereksi, iritasi penis

o v
o Komplikasi : balanopostitis, parafimosis, ISK ulang
o Tx :
 Konservatif  lakukan retraksi rutin saat mandi, jaga kebersihan glans penis,
steroid topical 4-6 minggu
 Sirkumsisi  pada fimosis patologis, gagal terapi steroid 4-6 minggu, ISK
berulang, balanopostitis berat, atau fimosis fisiologis persisten pada remaja
- Parafimosis
o Preputium tertarik ke belakang glans namun tidak bisa dikembalikan  cincon
konstriksi  iskemia
o FR : fimosis, prosedur pemasangan kateter, trauma penis, aktivitas seksual
o Terapi :
 Lakukan nerve block atau analgetic topical atau narkotik oral
 Reduksi manual  teknan manual, icepack intermittent, elastic dressing
 Farmakoterapi  injeksi hyaluronidase, granulated sugar
 Minimal invasive  puncture, aspirasi darah
 Bedah  dorsal slit
 Definitif  sirkumsisi
- Priapismus
o Ereksi >4 jam tanpa adanya sexual arousal
o Tipe
 Low flow (HITAM) bersifat ischemic, nyeri, ereksi rigid, biasanya dikarenakan
kelainan darah seperti hemoglobinopati, sickle cell, thalassemia, kondisi
hiperkoagulasi
 High flow (MERAH) non ischemic, nyeri minimal, ereksi rigid minimal, aliran
darah cukup dan teroksigenasi baik, biasnya dikarenakan straddle injury
o Treatment
 Low flow 
 aspirasi dan irigasi ke dalam corpus cavernosis, JANGAN SUNTIK ATAU
ASPIRASI DI JAM 6 dan 12 jika gagal
 fenilefrin injection 10mg diencerkan dengan 9 cc saline (1mg/cc),
gunakan jarum 25-27 G untuk injeksi 0,5-1cc setiap 10-15 menit,
maksimal 4 x, jika gagal.
 distal shunting (pembelahan pada glans penis), jika gagal
 redodistal shunting or proksimal shunting
 supportif : IVF dan analgesic, terbutaline, pseudoefedrin PO

 High flow 
 observasi  arteriografi dan embolisasi  surgical ligation
 Golden period : 6 jam
- Torsio Testis
o Gejala
 Bell clapper deformity  axis testis cenderung horizontal, dikarenakan tidak
terfiksasi
 Angle sign : aksis berubah jadi horizontal
 Refleks cremaster (-)
 Nyeri akut hitungan jam
 Testis terletak lebih tinggi
 Phren sign (-)  nyeri tidak berkurang dengan elevasi scrotum
 Doppler USG  menurun
o Terapi
 Golden period : <6 jam
 Detorsi manual  jika ada doppler
 Jika >6 jam  USG doppler
 Orchidopexy  <6 jam
 Orchidectomy
 Bisa direndam dulu testisnya untuk menentukan masih viable atau tidak di
dalam saline hangat. Jika aliran darah kembali  orchidopexy saja.
- Epididimoorchitis
o Pada anak : riwayat mumps
o Pada dewasa : infeksi trikomonas atau gonorrhea
o Gejala
 Demam
 Nyeri gradual
 Letak testis normal
 Phren sign +  dengan pengangkatan nyeri berkurang karena tekanan
berkurang
 Refleks cremaster +
 Doppler - vaskularisasi bagus
o Terapi :
 Viral : antipiretik dan analgetic
 Bacterial : antibiotic ceftriakson, antipiretik, analgetic

- Epididimitis
o Tx : STI  ceftriaxone atau doksisiklin
o Non STI  cotrimoxazole atau ciprofloxacin
o Anak  cotrimoxazole 2x480 mg, ciprofloxacine 2x250mg
- Forniere Gangrene
o Nama lain abscess scrotal dextra
- Lithiasis
o Ginjal  nephrolithiasis  nyeri kolik flank (karena kontraksi kaliks), nyeri ketok CVA
(hidronefrosis)
o Ureter nyeri kolik hilang timbul, di proksimal (nyeri pusar dan pinggang), media
(menjalar ke inguinal, paha medial), distal (ujung penis)
o Batu buli  gejala iritatif FUNDI, pipis tiba2 berhenti, membaik dengan perubahan
posisi
o Urethra  benjolan di penis, nyeri banget, kencing berdarah
o

o Etiologic
 Pembentukan batu diawali dengan adanya supersaturasi urin, pembentukan
Randall Plaque, serta adanya nidus dari foreign body/ bakteri. Supersaturasi
urin  menghasilkan batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat, randall plaque
membentuk batu kalsium oksalat, dan nidus membentuk batu asam urat atau
struvit
 Batu kalsium (paling banyak)  kalsium oksalat atau kalsium fosfat
 Hiperkalsemia  pada hiperparatiroid (osteoklastik activity
meningkat), absorpsi usus meningkat, pembuangan kalsium di ginjal
meningkat
 Hiperoksalat  konsumsi oksalat tinggi dari the, kopi instan, cokelat
 Hipositrat  sitrat dapat mengikat kalsium  kalsium sitrat sehingga
tidak terbentuk batu
 Hipomagnesium  magnesium bisa mengikat oksalat
 Struvit/magnesium ammonia fosfat
 Sering pada wanita
 Berhubungan dengan upper urinary tract infection  menghasilkan
urease yang mengubah urea menjadi ammonia  pH urin meningkat
 kelarutan fosfat terganggu
 Staghorn calculi  jika batu terbentuk mengikuti bentuk calyx, besar,
butuh tindakan operas
 Batu asam urat
 Dikarenakan hiperurisemia, batu lusen tidak terlihat pada BNO.
 Cystine  asam amino cystine yang dibentuk terlalu banyak
o Pemeriksaan penunjang
 CT scan tanpa kontras merupakan gold standard
 Sedimen urin : mengetahui kristal pembentuk urin
 BNO/IVP
 USG  pilihan untuk ibu hamil
 Pemeriksaan fungsi ginjal  untuk melihat efek dari batu, sudah AKI atau CKD
o Tx :

Observasi
 Jika batu bisa keluar spontan, ukuran <5mm
 Belum indikasi operasi
 Lokasi di ureter distal
 Tidak ada obstruksi
 Medikamantosa  untuk batu ukuran <5mm  NSAID, diuretic, minum
banyak 2L/hari
 Batu >5-10 mm  ESWL
 Pembedahan
 Nefrolitiasis  jika ada gangguan ginjal, ESWL gagal, hidrokaliks,
nefrolitiasis kompleks
 Batu pelvis  ukuran besar, staghorn calculi
 Ureterolitihiasis  gangguan ginjal, nyeri hebat, impaksi ureter
 Vesicolitiasis  ukuran >3 cm
 Endourologi
 PNL  percutaneous litotripsi
 Open nefrolitotomi  untuk Staghorn calculi,

o Komplikasi
 Hidronefrosis


 BeLi FLA di CUBA  blunting, flattening, clubbing, ballooning
- Trauma Urethra
o Anatomi
 Urethra dibagi menjadi 2, urethra posterior (pars membranacea dan
prostatica), dan anterior (pars bulbosa, pendulosa, glanular). Dipisahkan oleh
diafragma pelvis
o Patofisiologi
 Rupture urethra posterior  diakibatkan trauma tumpul atau tajam pada area
pelvis, biasanya dibarengi fraktur pelvis
 Anterior  straddle injury, dibarengi penile trauma
o Gejala : retensi urin, meatal bleeding (BUKAN hematuria)
o Ruptur anterior  rupture pada urethra glanular, bulbar  ada butterfly hematom
(robek fascia buck), straddle injury, meatal bleeding, pakai sistostomi, penunjang :
urethrografi atau bipolar urethrocystografi
o Rupture posterior  trauma berat (pelvic fracture atau simfisis pubis), high riding
prostate, retensi urin, bulging suprapubic
o Terapi :
 Pungsi suprapubic dan sistostomi
- Trauma Buli
o Etiologic : pelvic injury
o Intraperitoneal  kondisi buli full, sudden force (cepat dan high impact)  terjadi
ekstravasasi urin ke rongga peritoneum (sunburst appearance)  komplikasi
peritonitis sekunder
o Ekstraperitoneal  pressure point di samping,  urin ekstravasasi ke cavum douglas
(flame shaped appearance)
o

- Peritonitis
o Primer  peritonitis tanpa kelainan structural dari usus ex : spontaneous bacterial
peritonitis pada ascites, TB peritoneum
o Sekunder  peritonitis dengan kelainan structural ex : appendicitis, rupture buli
o Tersier  peritonitis berkepanjangan walaupun penyebab sekunder sudah teratasi

- Trauma Ginjal
o Gejala :
 Cedera pada bagian pinggang, punggung, dada bawah
 Nyeri
 Hematuria gross atau mikroskopik (minimal 10 eritrosit/lp)
 Fraktur costa bawah atau processus spinosis
 Kadang syok disertai cedera organ lain  karena banyak sekali darah yang
masuk ke dalam ginjal
o Grading
 1  hematom subcapsular, tanpa laserasi
 2  ada hematom, laserasi <1 cm
 3  laserasi >1 cm, bisa sampai medulla, tidak ada ekstravasasi urin
 4  lesi korteks medulla dan SPC, ada ekstravasasi urin. Vasa ginjal masih
bagus atau sedikit jejas
 5  avulsi dari pedikel,
o Penunjang : CT scan (gold stadar), MRI, USG tak dianjurkan
o Jika pasien tidak stabil  Renal exploration
o Stabil  CT scan
o

- Inkontinensia
o Urge  instability dari detrusor muscle ex: stroke, Alzheimer, parkinson
o Stress  spinchter insufficiency, akibat adanya peningkatan tekanan intraabdominal
o Overflow  VU terlalu penuh, tekanan di intravesical = urethra, sehingga netes netes
ex : BPH
o Functional 
- Acute Abdomen
o Truam hollow viscous  peritonitis >24 jam
o Trauma organ padat  peritonitis <8 jam
- Trauma lien
o Gejala “
 Jejas dan nyeri pada abdomen kiri atas
 Kondisi hypovolemia
 Massa di perut kiri atas
 Tanda peritonitis
 Redup pada area traube
 Kehr sign  nyeri alih pada bahu kiri karena rupture
 Iritasi peritoneum
 Permukaan bawah diafragma kiriAS
- Trauma hepar
o Jejas abdomen kanan
o Tanda hipovolemi
o Tanda peritonitis
o Boas sign  nyeri di bawah scapula kanan
- Trauma Hollow Viscous
o Perforasi, kontusio, atau terlepasnya usus dari mesenterium
o Gejala umum : tanda peritonitis, ileus paralitik
o X ray 3 posisi  football sign, free air pada LLD, cupula sign
- Appendisits akut
o Etiologic : obstruksi lumen appendix oleh hyperplasia limfoid, fecalith, corpus alienum,
neoplasma
o Stage
 Simple app
 Suppurative app  infeksi transmural, ada pus
 Gangraneous app  ada gangguan pada arteri dan vena
 Perforasi app  rupture appendix
 Infiltrate appendicularis  pada orang yang imunitasnya bagus, ada
mechanisme walling off dari omentum majus
 Periapendicular abscess 
 Peritonitis sekunder
o Tes khas
 Blumberg sign  nyeri tekan lepas
 Mc burney sign  nyeri 1/3 sias- umbilicus
 Rovsing sign  tekan sebelah kiri, yang nyeri sebelah kanan
 Lasegue sign  ekstensi genu fleksi hip, nyeri (+)
 Dunphy sign  nyeri bertambah hebat ketika batuk
 Obturator sign
 RT  nyeri pada arah jam 9-12
o Alvarado score  MANTRELS
 Migrating pain
 Anoreksia
 Nausea vomiting
 Tenderness RLQ 2
 Rebound pain
 Elevated temperature
 Leukositosis 2
 Shift to the left
 Skor < 5  unlikely app, 5-6  possible, 7-8  app likely, 9-10  highly.
Appendektomi jika skor >5
- Peritonitis
o Gejala :
 Nyeri abdomen tumbuh yang menjadi tajam, persisten, di seluruh lapang
abdomen
 Distensi abdomen
 Nyeri tekan abdomen
 Demam dan menggigil
 Tanda dehirasi
o Tanda
 Bising usus menurun
 Defans muscular (perut papan)
 Nyeri tekan lepas
- Hernia Abdominalis
o Hernia epigastric  pada garis midline
o Hernia incisional  rowayat operasi
o Hernia umbilical  pada umbilicus, usia < 5 tahun
o Hernia direk  perlemahan dinding abdomen, lokus minoris pada trigonum hasselbach,
sering akibat tekanan intraabdomen yang tinggi
o Hernia indirek  perlemahan dinding abdomen
o Hernia pantalon  hernia inguinalis lateral dan medial pada satu sisi inguinal
o Hernia femoralis  pada fossa ovalis, di bawah lipatan paha
o Pemeriksaan : finger test, thumb test, ziemann test
o Hernia ventralis  membentuk kulit untuk menutupi omphalocele
o

o Tx :
 Herniotomy  dipotong dan dikembalikan
 Herniorraphy  diperkuat defeknya
 Hernioplasty
- Ileus
o Ileus obstruktif  ada sumbatan mekanik yang disebabkan oleh kelainan structural
sehingga menghalangi gerak peristaltic usus
o Ileus paralitik  kelainan fungsuinal atau terjadinya paralisis geral peristaltic usus
o Xray
 Paralitik  air fluid level
 Obstruktif  coil spring, herring bone

o
o Terapi  FIDA
 Fasting meal per os (tidak makan dan minum per oral)
 Infus
 Dekompresi dengan NGT dan rectal tube
 Antibiotik
- Hemorrhoid
o Hemorrhoid Interna  tissue toilet bleeding, mukosa
o Hemorrhoid eksterna  nyeri karena inervasi somatis
o Tx : antihemorrhoid suppository, boraginol

Rubber band ligation, hemorrhoidectomy  mulai grade 2


- Fissura Ani
o Robeknya anoderm distal dari anus
o Primer  karena trauma, sekunder  IBD, malignancy, infeksi
o Gejala : painful defecation, bright rectal bleeding, laserasi di posterior anal midline
o Terapi :
 Akut  konservatif, local wound management
 Kronis  surgical approach
 Pencegahan : anal hygiene, makan tinggi serat, banyak minum air, jangan
mengejan ketika BAB
- Proctitis
o Inflamesi pada mukosa rectum akibat STI (gonore, klamidia, sifilis, HSV)
o Gejala : edema mukosa, discharge mukopurulen, bleeding, contact bleeding, ulkus,
- Abses Perianal
o Abses sederhana, karena akumulasi pus dari glandular crypt yang terinfeksi di anus
atau rectum
o Gejala : nyeri berat, terus menerus, demam, drainease pus
o Tanda : massa eritem, fluktuasi (+), bisa juga ditemukan fistula
o Terapi : insisi drainase, antibiotic, analgetic, antipiretik
- Anal Fistula
o Lanjutan dari abscess perianal tadi
o Gejala : intermittent rectal pain, terutama saat BAB, duduk, aktivitas
o Tx : surgical
- Ca Colorectal
o Keganasan tersering pada kolon dan rectum
o Gejala
 Colon ascendens  karena di colon descendens fesesnya masih encer, kadang
asymptomatic, anemia karena occult blood loss. Tumor lebih lunak dan rapuh
 Colon descendens  karena feses sudah semisolid, massa lebih padat dan
sirkuler  gejala obstuktif (konstipasi
 Kolon sigmoid dan rectum  hematoschezia banyak, massa bulat, keras, feses
seperti kotoran kambing
o Penunjang
 FOBT
 CEA akan naik
 CIL  apple core appearance
 Colonoscopy dan biopsy

- Ca Mammae  pembesaran kelenjar axilla,


o DCIS (ductal Carsinoma Insitu)  nipple discharge (secret kuning, darah)
o LCIS (lobar carcinoma insitu)  peau d orang, tumor progressing, nyeri, penurunan BB
- FAM  tidak ganas, kecil 2x2 cm, batas tegas
- Fibrocyst  nyeri terkait menstruasi, fluktuatif (+), blue dome cyst
- Tumor Phylloides  besar bisa 10-15 cm, bukan tumor ganas. Tampakan phylloides pada
histologis  leaf like pattern

-
-

- Soft tissue tumor


o Ganglion cyst  berasal dari synovial membrane / tendon sheath, berisi cairan bening
kental. Predileksi : di dorsum tangan, baker cyst di poplitea
o Lipoma  soft mass, slippery edge, tidak nyeri, pseudofluktuatif, slip sign (+)
o Atheroma cyst/kista epidermoid  penyumbatan kelenjar sebacea (lemak
menumpuk, membentuk buur dikelilingi jaringan ikat), ada puncta, bulat, fluktuatif
o Kista dermoid  teratoma, berasal dari germ cell, sehingga tumor ada bagian dari 3
bagian tubuh yaitu endoderm, ectoderm,,dan mesoderm, misal gigi, rambut, kuku, dll.
- Kista pada area leher
o goiter  bergerak pada saat menelan, tidak bergerak saat menjulurkan lidah
o thyroglossal cyst  gagal penutupan ductus thyroglossus, bergerak saat menelan,
bergerak saat menjulurkan lidah, letak di tengah leher
o cystic hygroma  gagal pembentukan limfatik drainage di leher, adanya bengkak
pada bagian posterolateral leher, di posterior m SCM
o brachial cyst cleft  gagal penutupan brachial sinus, bengkak di depan m SCM

Anda mungkin juga menyukai