Anda di halaman 1dari 22

TUGAS IKT 6

Skenario 3
“BAYI KUNING”

Oleh :
Mochamad Dava Wardana
NPM : 17700157
Kelompok 10
Dosen Pembimbing Tutor:
Eva Diah Setijowati, dr., MSi.Med

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2020

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN.....................................................................................................
Latar Belakang...........................................................................................................
BAB I Skenario..........................................................................................................
BAB II Kata Kunci....................................................................................................
BAB III Problem........................................................................................................
 Rumusan Masalah..........................................................................................
 Tujuan............................................................................................................
BAB IV Pembahasan.................................................................................................
 Batasan...........................................................................................................
 Anatomi Fisiologi..........................................................................................
BAB V Hipotesis Awal..............................................................................................
BAB VI Analisis Diferential Diagnosa......................................................................
BAB VII Hipotesis Akhir..........................................................................................
BAB VIII Mekanisme Diagnosis...............................................................................
BAB IX Strategy Menyelesaikan Masalah................................................................
BAB X Prognosis dan Komplikasi............................................................................
BAB XI Daftar Pustaka.............................................................................................

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada SGD ini pada scenario 3, didapatkan kasus Seorang bayi usia 6 hari
dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan badan menjadi kuning. Menurut Saifuddin,
(2002) Bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir selama 1 jam pertama kelahiran.
Menurut Donna L. Wong, (2003) Bayi baru lahir adalah bayi dari lahir sampai
usia 4 minggu. Lahirrnya biasanya dengan usia gestasi 38 – 42 minggu.
Menurut Dep. Kes. RI, (2007) Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir
dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram
sampai 4000 gram.
Masa neonatal adalah masa sejak lahir sampai dengan 4 minggu (28 hari)
sesudah kelahiran. Neonatus adalah bayi berumur 0 (baru lahir) sampai dengan usia
28 hari. Neonatus dini adalah bayi berusia 0-7 hari. Neonatus lanjut adalah bayi
berusia 8-28 hari. (Wafi Nur Muslihatun, 2010).
Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam
kebutuhan zat gizi (Wong, 2003).
Tanda-tanda neonatus normal adalah appearance color (warna kulit) seluruh tubuh
kemerahan, pulse (denyut jantung) >100 x/menit, grimace (reaksi terhadap
rangsangan) menangis/batuk/bersin, activity (tonus otot) gerakan aktif, respiration
(usaha nafas) bayi menangis kuat. (Mochtar 1998 dalam Rukiyah 2012).
Kehangatan tidak terlalu panas (lebih dari 380C) atau terlalu dingin (kurang
dari 360C), warna kuning pada kulit (tidak pada konjungtiva), terjadi pada hari ke-2
sampai ke-3 tidak biru, pucat, memar. Pada saat diberi makan, hisapan kuat, tidak
mengantuk berlebihan, tidak muntah. Tidak juga terlihat tanda-tanda infeksi seperti
tali pusat merah, bengkak, keluar cairan, berbau busuk, berdarah. Dapat berkemih
selama 24 jam, tinja lembek, sering hijau tua, tidak ada lendir atau darah pada tinja,
bayi tidak menggigil atau tangisan kuat, dan tidak terdapat tanda: lemas, mengantuk,
lunglai, kejangkejang halus tidak bisa tenang, menangis terus-menerus (Prawirohardjo
2002 dalam Rukiyah 2012).

BAB I
Scenario

Seorang bayi usia 6 hari dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan badan menjadi
kuning

BAB II
Kata Kunci

 Bayi usia 6 hari


 Badan menjadi kuning

BAB III
Problem
Rumusan Masalah
 Apa penyebab warna kulit bayi tersebut kulitnya menguning?
 Apakah normal kulit menguning pada saat keadaan neonatus?
 Apakah bayi terlahir premature atau normal?
 Bagaimana pathofisiologi bayi menguning?
 Penyakit apa saja yang berhubungan dengan menguningnya bayi dalam
keadaan neonates
 Apa saja factor yang memper berat dan memperingan bayi menguning
 Apakah diagnose pada bayi menderita menguning tersebut?
 Apa saja pemeriksaan penungjang dari kasus tersebut?
 Komplikasi apa saja yang kemungkinan terjadi pada bayi tersebut?
 Bagaimana tatalaksana pada kasus tersebut?
 Apa prognosa dari kasus tersebut?
 Bagaimana memonitoring pada kasus tersebut?
 Bagimana cara pencegahan/edukasi pada kasus bayi menguning?
Tujuan
 Untuk mengetahui penyebab menguningnya warna kulit bayi tersebut
 Untuk mengetahui apakah normal kulit menguning pada neonates
 Untuk mengetahui pathofisiologis bayi menguning
 Untuk mengetahui penyakit apa yang berhubungan dengan menguningnya
bayi tersebut
 Untuk mengetahui factor pemberat pada kasus tersebut
 Untuk menganalisis diagnose pada kasus
 Untuk mengetahui komplikasi apasaja yang dapat terjadi pada kasus
 Untuk mengetahui prognosis pada kasus
 Untuk mengetahui cara monitoring pada kasus tersebut
 Untuk mengetahui bagaimana pencegahan dan mengedukasi pada kasus
tersebut
BAB IV
PEMBAHASAN

Anatomi dan Fungsi


Hepar adalah organ terbesar di dalam tubuh yang menempati superior cavum
abdominis pada kwadran kanan atas abdomen. Sebagian besar hepar terletak di bawah
arcus costalis dexter, dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan hepar dari
pleura, paru-paru, pericardium, dan jantung. Secara skeletopi, hepar terletak setinggi
costa V pada linea medioclavicularis dextra, setinggispatium intercosta V di linea
medioclavicularis sinistra, di mana bagian caudal dextranya mengikuti arcus costarum
costa IX – VIII dan bagian caudal sinistranya mengikuti arcus costarum costa VIII -
VII. Secara syntopi, hepar berbatasan dengan diaphragma dan berbatasan dengan
organ-organ lain seperti gaster, pars superior duodeni, glandula suprarenalis dexter,
sebagian colon transversum, flexura coli dextra, vesica fellea, oesophagus, dan vena
cava inferior. Permukaan luar hepar dibungkus dengan kapsul jaringan fibrosa dan
dilingkupi oleh peritoneum visceral.
Hepar mempunyai 2 lobus utama, yaitu lobus kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis dekstra yang
tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamen falsiformis yang terlihat dari luar. Lobus dextra, terletak di regio
hipokondrium kanan, lebih besar dibandingkan lobus sinistra. Lobus sinistra terletak
di regio epigastrik dan hipokondrium kiri.
Hepar mendapat vaskularisasi dari beberapa pembuluh darah yaitu vena porta,
arteri hepatika, dan vena hepatika berada dalam omentum minus dan alirannya
menuju porta hepatis, sedang duktus hepatikus dan vasa limpatikus juga berada dalam
omentum minus dengan aliran meninggalkan porta hepatis. Vena hepatika
meninggalkan hepar melalui pars posterior untuk bermuara ke vena cava inferior.
Vena porta bercabang-cabang dan menjadi venula porta kecil ke dalam celah
portal. Venula portal bercabang ke dalam vena pendistribusi, venula inlet kecil
bermuara ke dalam sinusoid. Sinusoid berjalan radier, berkonvergensi ke pusat
lobulus untuk membentuk vena sentralis atau vena sentrolobular. Pembuluh ini
berdinding tipis, dan hanya terdiri atas sel-sel endotel yang ditunjang sedikit serat
kolagen. Sewaktu vena sentralis berjalan di sepanjang lobulus, vena ini menerima
makin banyak curahan sinusoid dan berangsur bertambah besar. Akhirnya, vena
sentralis meninggalkan lobulus dari dasarnya dan menyatu dengan vena
sentralobularis yang lebih besar. Vena sublobularis secara berangsur berkonvergensi
dan menyatu, yang membentuk dua atau lebih vena hepatika besar yang bermuara ke
dalam vena kava inverior.
Arteri hepatika pada fetus merupakan cabang truncus coeliacus yang terbesar.
Pada dewasa berukuran di arteri gastrika sinistra dan arteri lienalis. Dari truncus
coeliacus sampai pecabangan arteri gastroduodenalis disebut arteri hepatika komunis.
Sampai pada bifurcationya disebut arteri hepatica propria. Arteri hepatika berada di
lembaran omentum minus di depan foramen epiploicum winslowi. Menempatu tepi
bebas omentum minus, di medial duktus choledocus dan di anterior vena porta. Arteri
hepatika propria kemudian bercabang menjadi arteri hepatika dekstra dan sinistra
sebelum masuk parenkim hepar, arteri hepatika dekstra menyilang di posterior duktus
hepatikus kommunis kemudia bercabang menjadi ramus anterior yang mengelola
segmentum V dan VIII, dan ramus posterior yang mengelola segmentum VI dan VII.
BAB V
HIPOTESIS AWAL ( DIFFERENTIAL DIAGNOSIS )

1. Ikterus Neonatorum ( Jaundice )


2. G6PD defisiensi
3. Kongenital hyper bilirubinia
4. Breast feeding jaundice
BAB VI
ANALISIS DIFFERENTIAL DIAGNOSA
1. Ikterus Neonatorum ( Jaundice )
Ikterik Neonatus adalah kondisi kulit dan membran mukosa neonatus
menguning setelah 24 jam kelahiran akibat bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam sirkulasi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Ikterus adalah
perubahan warna kuning pada kulit dan sklera yang terjadi akibat peningkatan
kadar bilirubin di dalam darah (Fraser & Cooper, 2011).
Etiologi
Penyebab ikterik neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, secara garis besar etiologi ikterik neonatus
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) : a. Penurunan berat badan abnormal (7-
8% pada bayi baru lahir yang menyusui ASI, >15% pada bayi cukup bulan) b.
Pola makan tidak ditetapkan dengan baik c. Kesulitan transisi ke kehidupan
ekstra uterin d. Usia kurang dari 7 hari e. Keterlambatan pengeluaran feses
(mekonium)
Faktor Resiko
faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum
di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO,
defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas.
Penelitian oleh Maulani dkk. (2007) menunjukkan bahwa insidensi
ikterus neonatorum adalah 63 dari 1559 kelahiran dengan persentase 4,04%
yang terdiri dari bayi prematur 15 responden (23,81%) dan bayi matur 48
responden (76,19%). Faktorfaktor risiko ikterus neonatorum adalah berat
badan lahir rendah dengan jumlah 20 responden (31,75%); multipara 35
responden (55,56%); seksio saesaria 32 responden (50,79%); vakum ekstraksi
16 responden (25,49%); usia ibu < 16 dan > 35 tahun 6 responden (9,52%);
plasenta previa 6 responden (9,52%); asfiksia 6 responden (9,52%); ketuban
pecah dini 4 responden (6,35%); kehamilan ganda 4 responden (6,35%); gawat
janin 4 responden (6,35%); preeklampsia berat 3 responden (4,76%); dan
kelainan kongenital 1 responden (1,59%). Angka kematian bayi ikterus
neonatorum hanya berjumlah 2 responden (3,17%). Meski bukan merupakan
faktor tertinggi namun berat bayi lahir rendah menunjukkan pengaruh
insidensi cukup tinggi pada bayi dengan ikterus neonatorum
Manifestasi Klinis
Menurut PPNI (2017) adapun gejala dan tanda mayor pada ikterik neonatus
yaitu:
a. Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2mg/dL,
bilirubin serum total pada rentang risiko tinggi menurut usia pada
normogram spesifik waktu)
b. Membran mukosa kuning
c. Kulit kuning
d. Sklera kuning
Sedangkan menurut Arief & Weni (2009) tanda dan gejala ikterik neonatus
sebagai berikut:
a. Ikterus fisiologis
1. Timbul pada hari kedua dan ketiga
2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus yang
cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% per hari
4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
5. Ikterus menghilang pada minggu pertama, selambat-lambatnya 10 hari
pertama setelah lahir
6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
b. Ikterus patologis
1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2. Kadar bilirubin serum melebihi 10 mg% pada neonatus yang cukup
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan
3. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

2. G6PD defisiensi
Defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) adalah penyakit
keturunan akibat kekurangan enzim G6PD. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak laki-laki.
Enzim G6PD membantu sel darah merah tetap berfungsi normal dan menjaga
sel darah merah dari senyawa berbahaya. Bila tubuh kekurangan enzim ini, sel
darah merah akan pecah lebih cepat dibanding pembentukannya sehingga
menyebabkan anemia.
Etiologi
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) disebabkan oleh mutasi atau
perubahan pada gen penghasil enzim G6PD yang dapat diturunkan kepada
anak. Mutasi pada gen tersebut menyebabkan penderita penyakit ini
kekurangan atau tidak memiliki enzim G6PD sama sekali.
Kondisi tersebut akan memengaruhi keberlangsungan hidup sel darah. Bila
tidak memiliki enzim G6PD dalam jumlah yang cukup, sel darah merah akan
lebih mudah pecah. Sel darah merah juga akan lebih mudah pecah bila dipicu
oleh beberapa faktor berikut:
 Konsumsi fava beans.
 Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
 Paparan napththalene, senyawa yang terdapat dalam kamper.
 Obat-obatan, seperti antibiotik, antimalaria, serta obat pereda nyeri.
Faktor Resiko
Defisiensi G6PD lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Hal ini karena gen
penghasil enzim G6PD terdapat di kromosom X. Seperti diketahui, pria
memiliki kromosom XY, sedangkan wanita memiliki kromosom XX. Dengan
kata lain, seorang wanita hanya bisa terserang defisiensi G6PD, apabila kedua
orang tuanya menderita penyakit ini.
Manifestasi Klinis
Defisiensi G6PD bisa tidak menimbulkan gejala apapun. Namun bila banyak
sel darah merah yang pecah, penderita dapat mengalami gejala dan
tanda anemia hemolitik, seperti:
 Pusing.
 Kulit pucat.
 Tubuh mudah lelah.
 Urine berwarna gelap.
 Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning).
 Pembesaran organ hati dan limpa.
 Jantung berdebar.
 Sesak napas.

3. Kongenital hyper bilirubin (Kernikterus)


Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum (hasil
pemeriksaan laboratorium) yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin (Mansjoer, 2000).
Hiperbilirubinemia apabila kadar bilirubun serum total >5 mg/dL. Faktor
terjadinya hiperbilirubinemia yaitu (1) proses fisiologis pada bayi baru lahir
terutama bayi prematur, selama minggu pertama kehidupan terjadi
peningkatan kadar bilirubin indirek serum. Kompensasi tekanan partial
oksigen yang rendah, umur sel darah merah pendek dan peningkatan
resirkulasi enterohepatik dari bilirubin mengakibatkan volume sel darah merah
meningkat. Organ hati yang belum sempurna menyebabkan kurangnya
serapan hati sebagai dampak penurunan konsentrasi protein pengikat bilirubin
dan rendahnya aktivitas glukoronil transferase menyebabkan konjugasi
berkurang. (2) Meningkatnya kadar bilirubin indirek diakibatkan oleh
peningkatan produksi disertai peningkatan pemecahan sel darah merah yang
berlebihan. Hemolisis dapat disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah:
rhesus, ABO, kegagalan enzim pada sel darah merah, abnormalitas struktur
membran sel darah merah, infeksi (bakteri, virus, dan protozoa). (3) Kelainan
serapan oleh hati, (4) kegagalan konjugasi karena defisiensi kongenital enzim
glukuronil transferase, inhibisi enzim glukoronil transferase (pengaruh obat).
(5) Peningkatan hemolisis dan peningkatan beban jalur degradasi bilirubin
akibat dari sekuestrasi sel darah merah yang berasal dari sefal hematoma
perdarahan saluran cerna, serta (6) siklus enterohepatik (Haws, 2007).
Etiologi
Penyebab kernikterus bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin dan kadar albumin yang mengikat, perjalanan melewati sawar darah
otak, dan kerentanan saraf terhadap cedera. Gangguan sawar darah otak
hingga bilirubin dapat menembus ke otak akibat penyakit, kekurangan oksigen
(asfiksia), perubahan permeabilitas sawar darah otak, dan faktor lainnya.
Faktor Resiko
Risiko kernikterus meningkat jika seseorang memiliki penyakit hemolitik yang
tidak diobati dan kadar bilirubin lebih dari 25-30 mg/dL. Kelebihan bilirubin
lebih berisiko pada bayi yang mengidap penyakit kuning pada 24 jam pertama
kehidupan, riwayat saudara kandung pernah menerima fototerapi, ras Asia
Timur, bayi laki-laki, usia ibu lebih dari 25 tahun, dan pengidap diabetes.
Manifestasi Klinis
Karena kernikterus merupakan kondisi akibat penyakit kuning yang tidak
tertangani, maka yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah gejala
penyakit kuning. Meskipun penyakit kuning pada bayi umumnya sembuh
dengan sendirinya, namun bila berlangsung terlalu lama akan memicu gejala
kernikterus, seperti:
 Demam.
 Gerakan mata yang tidak normal, sehingga tidak dapat melirik ke atas.
 Kaku di seluruh tubuh.
 Otot yang tegang.
 Gangguan dalam pergerakan.
 Tidak mau menyusu.
 Suara yang melengking saat menangis.
 Mudah mengantuk.
 Tampak lemas.
 Kejang.
 Gangguan pendengaran.

4. Breast feeding jaundice


Breastfeeding jaundice dan breastmilk jaundice merupakan peningkatan kadar
bilirubin yang berkaitan dengan pemberian ASI. Breastfeeding jaundice
muncul pada bayi yang mendapat ASI eksklusif yang terjadi pada hari ke-2
atau ke-3 disaat produksi air susu ibu sedikit. Neonatus kehilangan berat
badan/dehidrasi, frekuensi menyusu yang tidak adekuat, hambatan ekskresi
bilirubin hepatik serta adanya gangguan reabsorpsi bilirubin di usus (IDAI,
2013).
Etiologi
disebabkan oleh terhambatnya uridin diphosphoglucuronic acid glukuronil
transferase oleh hasil metabolisme progesteron yaitu pregnan-3-alpha 20 beta-
diol yang terdapat di dalam air susu ibu (IDAI, 2013).
Disebabkan ketika Bilirubin yang telah laut dalam air (water soluble) masuk
ke dalam usus untuk dibuang melalui BAB, ternyata ada sebagian yang akan
terserap kembali oleh tubuh setelah oleh dinding usus diubah lagi
komposisinya menjadi larut dalam lemak (fat soluble). Semakin banyak BAB
yang berhasil mengeluarkan Bilirubin, maka akan semakin sedikit yang
terserap kembali oleh tubuh bayi. Oleh karena itu, PENTING SEKALI bagi
BBL untuk MINUM ASI dalam bentuk KOLOSTRUM yang banyak
mengandung zat laksatif sehingga Bilirubin dapat dikeluarkan secara
maksimal sehingga sedikit sekali yang akan terserap kembali ke dalam
tubuhnya. Bayi yang TIDAK SERING MINUM ASI dapat mengalami gejala
ini, maka penting sekali untuk sering-sering menyusui BBL (minimal 8-12x
dalam 24 jam), dan memastikan bahwa BAYI MINUM ASI dan tidak hanya
ngempeng pada puting/payudara ibu. Makanya disebut Breastfeeding
Jaundice, karena umumnya disebabkan oleh KURANG MINUM ASI.
Faktor Resiko
Faktor risiko mayor:
 TSB atau TcB di high-risk zone
 Jaundice dalam 24 jam pertama
 Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
 Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi
G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
 Usia gestasi 35-36 minggu
 Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
 Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal:
pada kelahiran yang dibantu vakum
 Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi
kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
 Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina
Faktor risiko minor:
 TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
 Usia gestasi 37-38 minggu
 Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
 Riwayat jaundice pada saudara sekandung
 Bayi besar dari ibu yang diabetik
 Usia ibu ≥ 25 tahun
 Bayi laki-laki

Manifestasi Klinis
 Bayi menguning

Analisis DD
Icterus Kongenital G6PD Breast
neonatorum hiperbilirunema feeding
jaundice

Bilirubin + + + +
meningkat

Kulit tampak + + + +
menguning

Urin tampak + - + +
menguning

Feses berwarna + - + +
kuning kecoklatan

Bayi aktif + - - -
meminum asih
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR ( DIAGNOSIS )

Berdasarkan analisa kelompok, pada akhirnya mendapat diagnosis yang paling logis
yaitu Ikterus Neonatorum ( Jaundice )
BAB VIII
MEKANISME DIAGN

1. Keluhan Utama: Differential Diagnosis


2. kulit bayi menguning 1. Ikterus Neonatorum ( Jaundice)
3. Riwayat penyakit 2. Kongenital hyper bilirubinia
sekarang: 3. G6PD
4. Kulit tampak menguning 4. Breast feeding jaundice
mulai 4 hari mulai dari
vital sign:
muka sekarang sampi ke
o Panjang bayi : 49 cm
perut
o BB: 3560 gram
5. Urin tampak kuning
o Rr: 36 x/menit
6. Feses sering hingga 6 kali
sehari warna kuning o Nadi: 112 x/menit

kecoklatan bentuk o Suhu: 36 celcius

lembek status generalis:


7. Bayi masih aktif minum Kepala leher:
ASI - a/I/c/d : -/+/-/-
Pemeriksaan Penunjang: - ubun ubun: besar datar
Pemeriksaan Lab: Thorax: Simetris
- Laboratorium  Thorax
- Hematologi rutin: dalam batas C dan P= dalam batas normal
normal Denyut jantung simetris
- T3,T4: dalam batas normal Abdomen
- Bilirubin total: 14 gram/dl - Tidak ada kelainan
- Bilirubin indirect: 9,7 gram/dl - Warna kulit menguning
- Gol darah : A resus +
Pemeriksaan Radiologi
- USG abdomen: Dalam batas
normal

IKTERUS NEONATORUM
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
a. Medica Mentosa
ujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan
agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern ikterus
atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Pemberian
fototerapi, dan jika tidak berhasil dilanjut dengan transfuse tukar dapat dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi
preterm dan bayi cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat
metabolism bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik ,
pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga
dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin

Intravena immunoglobulin (IVIG)


Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik.
Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan
bayi, pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.

Transfusi tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yangdilanjutkan
dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini secara tepat
mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target
eritrosit juga disingkirkan. transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang
mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan
sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari
donor yang telah dilampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali
lipat volume darah telah digantikan. selama prosedur,elektrolit dan bilirubin serum harus
diukur secara periodik. jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung
jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata
kecepatan hemolisis.
b. Non Medica Mentosa

Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan
ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan
pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang
dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar
mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah.
BAB X
KOMPLIKASI DAN
PROGNOSIS
Bayi kuning adalah kondisi yang sering terjadi pada bayi baru lahir dan umumnya tidak
berbahaya. Tanda-tanda bayi kuning mudah terlihat karena ciri khas pewarnaan kuning pada
kulit dan juga pada bagian putih mata. Namun komplikasi juga dapat terjadi apabila bayi tidak
mendapat penanganan yang tepat dan komplikasi tersebut biasanya juga berbahaya dan berikut:

1. Encelopati bilirubin akut


2. Kernicterus (Neuro toxicitas)
Komplikasi tersebut jarang terjadi namum apabila terjadi biasanya akan menyebabkan kecacatan
yang dialami oleh bayi.

Prognosis :

Prognosis pada kasus tersebut adalah dubois ad bonam (Baik).

Edukasi :

Edukasi yang diberikan kepada orang tua adalah menyarankan untuk benar benar melihat gejala
yang sudah jelas dan untuk menindak cepat dengan cara berkonsultasi ke dokter, dan untuk
edukasi setelah penanganan terapi mengedukasi untuk melakukan perawatan lanjutan yang bias
dilakukan di rumah dan diharapkan supaya ibu bias memberikan asih yang cukup sesuai dengan
anjuran agar nutrisi bayi dapat terpenuhi
BAB XI
DAFTAR PUSTAKA

 Mudmainna. (2015). Faktor Resiko Kejadian Ikterus Neonatorum Pada Neonatus


Di Ruang Perinatologi Teratai Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Muna
Tahun 2014 S.D 2015. Diakses (2 Mei 2017)
 Mengenal ikterus neonatorum. [homepage on the internet]. Nodate [cited 2011
Oktober 17]. Available from: http://www.smallcrab.com/anak-anak/ 535-
mengenal-ikterus-neonatorum
 Ramasethu J. Neonatal Hyperbilirubinemia. . Neonatal Intensive Care Workshop,
Jakarta: RSAB Harapan Kita; 2002.
 Garosi E, Mohammadi F, Ranjkesh F. The Relationship between Neonatal
Jaundice and Maternal and Neonatal Factors. 2012;(14):14-17.
 Hidayati E, Rahmaswari M. Hubungan Faktor Ibu dan Faktor Bayi dengan
Kejadian Hiperbilirubinemia Pada Bayi Baru Lahir (BBL) di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara Tahun 2015. RAKERNAS AIPKEMA.
2016:93-98.
 Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics.
 Putri DV, Dewi SP, Mariatul J. Gambaran Sikap Ibu Tentang Penanganan Ikterus
Fisiologis Pada Bayi Baru Lahir di RSUD DR.H.MOCH Ansari Saleh
Banjarmasin. 2016;7(2):210-219.

Anda mungkin juga menyukai