Anda di halaman 1dari 3

TUGAS KARYA TULIS

CERPEN FIKSI
“Secangkir Ketenangan”

Disusun Oleh :
Nama : Rosliani Suprihartini
NIM : 1033221029

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH. THAMRIN
JAKARTA
2023
Secangkir Ketenangan

Olivia melangkah memasuki sebuah kedai minuman yang terletak di sudut kota. Ia bersama tas
jinjing, sweater dan celana pendeknya memilih tempat duduk di sudut ruangan. Aura kedai ini
menemani Olivia yang sedang kacau. Ia melihat ke sisi jalan raya lewat kaca di sebelahnya,
terlihat ramai dan menyenangkan.

Gadis ini kemudian mengeluarkan novelnya. Nikmat sekali bisa membaca novel favorit di
tempat favorit dengan suasana favorit. Olivia memesan coklat hangat pada Nopi, si pelayan
kedai karena tiba-tiba hujan turun dan karena itulah minuman favoritnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Nopi saat mengantar coklat hangat ke meja Olivia. Yang
ditanya hanya mengangguk dengan senyum tipis. Nopi segera meninggalkan Olivia karena ia
harus memindahkan beberapa barang di dapur.

Olivia menghela napas. Gerombolan anak SMA seumurannya datang memasuki kedai dan duduk
di seberang Olivia. Dia memalingkan muka dan menatap dinding kedai yang terbuat dari kaca.
Butiran-butiran air menempel di baliknya. “Andai aku bisa jatuh saja. Seperti tetesan hujan ini,”
ujar Olivia lirih. Matanya berkaca-kaca. Hanya tempat inilah yang memberikan ketenangan dan
kebahagiaan untuknya. Menemaninya saat ia sedang lara. Hati Olivia serasa tertekan, ia melihat
betapa akrabnya gerombolan anak SMA tadi. Namun dirinya? Tidak ada teman yang mau
merangkulnya seperti sahabat, tidak ada yang mau mengerti Olivia.

Orangtua pun tak bisa menjadi sosok sebagaimana orangtua bagi Olivia. Ayah ibunya selalu
bertengkar, setiap hari. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Olivia. Gadis SMA ini hanya
ingin ketenangan dan perhatian. Aku lah yang remaja, emosiku yang tidak stabil, aku lah yang
butuh perhatian. Itulah kalimat yang ingin Olivia katakan saat marah dengan tindakan
orangtuanya yang menekan dia. Tapi kalimat itu tak pernah terucapkan olehnya. Dia terlalu takut
untuk marah. Dia tak tahu bagaimana dan di mana ia bisa meluapkan emosinya. Hanya buku
diarynya, yang selalu mendengarkan dan tahu seluruh isi hati Olivia. Kadang Olivia bertanya
dalam hati, apa aku salah menjadi orang introvert? Tapi siapa yang bisa memilih? Lagi pula aku
nyaman dengan ini.

Mata Olivia menangkap suatu pemandangan. Sebuah mobil yang dinaiki satu keluarga yang
begitu harmonis, mereka terlihat begitu bahagia. Tertawa terkena hujan sebelum air itu terhalang
payung. Sepertinya menyenangkan, tapi dunia adalah dongeng kalau Olivia lah yang di sana. Dia
selalu berdoa pada Tuhan agar suatu hari ia bisa mendapat dongeng itu, agar suatu hari Olivia,
ayah, dan ibunya bisa bersama tersenyum, makan malam, dan kehujanan bersama. Tapi Tuhan
tak mengabulkan doanya. Harapan Olivia mulai memudar. Olivia sadar bahwa ia berbuat salah
dengan berhenti percaya dan berharap pada kuasa Tuhan, tapi kali ini dia ingin mendengarkan
hati egoisnya. Olivia lelah menjadi orang penurut dan perhatian. Semua upayanya sia-sia, dia tak
dipandang oleh siapapun.

Tawa gerombolan siswa-siswi SMA tadi memenuhi ruangan. Semua orang memandang mereka,
kecuali Olivia. Mata bulatnya sekarang menatap seseorang di kedai kue di seberang jalan. Laki-
laki itu juga memilih tempat duduk di dekat dinding kaca. Olivia menopang kepala dengan
tangan kirinya dan mengamati lelaki di ujung sana. Dia sedang membaca buku. Orang itu juga
memandang ke arah Olivia, tersenyum tipis. Melihat matanya saja Olivia seperti ditiup angin
sepoi-sepoi dan hatinya jadi lebih tenang. Entah kuat magis apa yang membuatnya begitu. Kini
dia sedikit lebih tenang. Tuhan telah memberikan hujan, teman baru “sepertinya”, dan tentu
sudut kedai serta secangkir coklat hangat nikmat yang membawa ketenangan.

Anda mungkin juga menyukai