Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

PENYAKIT-PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA

Disusun oleh:
Made Diah Ayu M. R, S.Ked
Astri Taufi Ramadhani, S. Ked

07700203
072011101037

Dosen Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


di Lab/ SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi

LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
RSD DR SOEBANDI JEMBER
2012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
BAB 1. SISTEM IMUN PADA MATA.................................................................5
1.1

Konjungtiva............................................................................................6

1.2

Film airmata...........................................................................................7

1.3

Kornea.....................................................................................................8

1.4

Uvea.........................................................................................................8

1.5

Korpus vitreus......................................................................................10

1.6

Retina dan nervus optikus...................................................................10

1.7

Lensa.....................................................................................................10

1.8

Air mata................................................................................................10

1.9

kelenjar lakrimalis...............................................................................11

1.10

Komponen selular dan reseptor..........................................................11

1.11

Imunoglobulin......................................................................................15

BAB 2. PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA............................................17


2.1

Penyakit Yang Bergantung Antibodi dan Yang Diperantarai


Antibodi................................................................................................17

2.1.1

Konjungtivitis Hay Fever..............................................................18

2.1.2

Konjungtivitis Vernalis..................................................................19

2.1.3

Keratokonjungtivitis Atopik.........................................................24

2.1.4

Rhematoid Disease.........................................................................25

2.1.5

Retinopati Systemic Lupus Erytematous (SLE).........................26

2.1.6

Steven Johnsons Syndrome..........................................................30

2.2

Penyakit Yang Diperantarai Sel..........................................................31

2.2.1

Sarcoidosis mata.............................................................................31

2.2.2

Oftalmia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-harada..........32

2.2.3

Arteritis sel raksasa.......................................................................35

2.2.4

Poliarteritis nodosa........................................................................36

2.2.5

Granuloma Wegener......................................................................36

2.2.6

Penyakit Behcet..............................................................................36

2.2.7

Dermatitis kontak..........................................................................37

2.2.8

Keratokonjungtivitis fliktenularis................................................37

Reaksi Tandur Kornea.....................................................................................37


BAB 3. KESIMPULAN.......................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme Imunologi Pada Mata.........................................................6
Gambar 2. Konjungtivitis Hay Fever.....................................................................18
Gambar 3. Konjungtivitis Vernal Bentuk Palpebra................................................20
Gambar 4. Konjungtivitis Vernal Bentuk Limbal..................................................20
Gambar 5. Papil-papil Pada Keratokonjungtivitis Atopik.....................................25
Gambar 6. Vaskularisasi Kornea Pada Keratokonjungtivitis Atopik.....................25
Gambar 7. Cotton Wool Patches Pada SLE...........................................................28

BAB 1. SISTEM IMUN PADA MATA

Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh
reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Keadaan mata yang
meradang akibat respon imun sangat menonjol karena vaskularisasi mata
yang cukup dan sensitivitas dari pembuluh darah pada konjungtiva, yang
tertanam dalam medium yang jernih. Mata dan jaringan di sekitarnya juga
terlibat dalam berbagai gangguan yang dimediasi oleh imunologi lainnya.
(Bielory, 2000)
Ketika reaksi tersebut terjadi, hal ini tidak jarang dilihat pertama
oleh klinis ahli alergi atau imunologi, yang kemudian berada dalam posisi
untuk menghubungkan temuan okular dan sistemik dan kemudian
mengkoordinasikan terapi untuk mengobati penyakit yang mendasari (bila
ada) bukan hanya gejala lokal pada mata. (Bielory, 2000)
Mata dilengkapi dengan sistem imun baik imunitas alami maupun
spesifik. Mata pada dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya
terlibat dalam reaksi imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari
lapisan cairan air mata dan konjungtiva, yang memberikan barier utama
mata terhadap aeroalergen lingkungan, bahan kimia, dan agen infeksi, Air
mata mengandung berbagai zat anti bakteri seperti: laktoferin, betalisin,
lisosim, antibodi (2 ) sclera yang terbentuk dari kolagen terutama terlibat
dalam gangguan rematik (jaringan ikat), (3) Uvea yang sangat vaskular,
bagian yang memproduksi aqueous humor, yang terutama terlibat dalam
reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sirkulasi imun kompleks dan
reaksi hipersensitivitas cell-mediated, dan (4) retina, yang secara
fungsional merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat. Mata secara
imunologi unik karena tidak memiliki kelenjar limfe berbentuk di orbita,
kelenjar lakrimal, kelopak mata, atau konjungtiva. Limfosit biasanya
berada di substantia propria dari asinus kelenjar lakrimal dan konjungtiva.
(Bielory, 2000)

1.1 Konjungtiva
Konjungtiva adalah jaringan yang paling imunologi aktif dari mata
bagian luar dan mengalami hiperplasia limfoid dalam menanggapi
rangsangan. Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang
memanjang dari limbus mata ke tepi sudut kelopak mata. Secara
anatomis, konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian: konjungtiva bulbar,
yang meliputi bagian anterior sklera; konjungtiva palpebral, yang
melapisi permukaan bagian dalam kelopak mata, dan ruang yang
dibatasi oleh konjungtiva bulbar dan palpebral, yang merupakan
forniks atau kantung konjungtiva. Secara histologi, konjungtiva dibagi
menjadi 2 lapisan: lapisan epitelial dan substantia propia. Lapisan
epitelial terdiri dari 2 sampai 5 sel sel kolumnar bertingkat, dan lamina
propria terdiri dari jaringan ikat longgar. Substantia propria memiliki
lapisan superficial glandular, dan ada jaringan longgar, lapisan fibrous
dalam yang memungkinkan sejumlah besar cairan menumpuk pada
periorbital angioedema. Drainase dari bagian lateral mata mengalir ke
nodus preauricular sedangkan drainase dari bagian nasal konjungtiva
mengalir ke dalam nodus submental. (Bielory, 2000)
Lapisan epitelial mata biasanya tidak mengandung sel-sel inflamasi
resident seperti sel mast, eosinofil,atau basofil. Sel-sel ini biasanya
ditemukan pada lapisan di bawah permukaan epitel dalam substantia
propria. Sel mast pada konsentrasi hingga 6000/mm3 berada di
jaringan ini, sedangkan sel-sel inflamasi lainnya bermigrasi ke dalam
jaringan untuk menanggapi berbagai rangsangan. Laporan-laporan
awal populasi sel mast pada konjungtiva didasarkan pada tekhnik
immunostaining dan respon fisiologis diferensial untuk berbagai
aktivator sel mast seperti senyawa 48/80. Degranulasi sel mast dalam
konjungtiva dalam respon menanggapi senyawa 48/80 telah dibuktikan
dalam kelinci, tikus, dan marmut. Lebih dari 95% dari sel mast
konjungtiva di substantia propria adalah dari MCTC phenotype.
(Bielory, 2000)

Populasi sel mononuklear dari konjungtiva manusia normal


terutama terletak di lapisan epitelial dan termasuk Langerhans cells
(LCs) (CD1 +; 85 16 cells/mm2), CD3 + limfosit (189 27
cells/mm2), dan CD4 + / CD8 + limfosit dalam rasio 0.75.9. LCs
diketahui memfasilitasi reaksi imun pada kulit dengan berfungsi
sebagai antigen-presenting cells (APCs) dan tampaknya memiliki
fungsi yang sama pada mata. Menariknya LCs mata diakui oleh marker
CD1 + dan bukan oleh marker timosit CD6+, yang umum ditemukan
di LCs dari kulit atau pada histiosit dari pasien dengan histiocytosis X.
(Bielory, 2000)
1.2 Film airmata
Permukaan konjungtiva dimandikan dengan lapisan tipis dari film
air mata yang terdiri dari lapisan lipid luar, lapisan aqueous tengah,
dan lapisan dalam mucoprotein. Sel Goblet yang menghasilkan musin
didistribusikan sepanjang permukaan konjungtiva. Musin penting
dalam menurunkan tegangan permukaan dari film air mata, dengan
demikian mempertahankan kelembaban permukaan hidrofobik kornea.
Campuran ini menurunkan tingkat penguapan dari bagian aqueous.
Bagian aqueous dari film air mata mengandung berbagai zat terlarut,
termasuk elektrolit, karbohidrat, urea, asam amino, lipid, enzim, tearspecific prealbumin, dan protein imunologi aktif termasuk IgA, IgG,
IgM, IgE, tryptase, histamin, lisozim , laktoferin, plasmin, dan
ceruloplasmin. Pada konjungtivitis alergi, konsentrasi histamin dalam
airmata bisa mencapai nilai lebih besar dari 100 ng / mL,
dibandingkan dengan nilai normal dari 5 sampai 15 ng/mL.13
Histamin dapat menyebabkan perubahan yang sama dalam mata
seperti pada bagian lain dari tubuh manusia, yang meliputi dilatasi
kapiler, permeabilitas pembuluh darah meningkat, dan kontraksi otot
polos pupil. Sedikitnya 10 uL dari 50-ng/mL konsentrasi fosfat
histamin

dapat

menyebabkan

kemerahan

konjungtiva

dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah pada 50% dari subyek

yang diteliti. Tingkat histamin dalam air mata ditemukan di kontrol


nonatopic tidak berbeda dari yang ditemukan pada pasien alergi
selama periode bebas gejala. Provokasi alergen konjungtiva dari
subyek atopik hasilnya pada pelepasan berbagai mediator sel mast ke
dalam air mata seperti histamin, tryptase, D2 prostaglandin, dan
leukotrien C4/D4. (Bielory, 2000)
1.3 Kornea
Kornea dilengkapi dengan tight junction antar sel yang melindungi
terhadap masuknya partikel atau molekul asing. Permukaan selnya
ditutupi dengan lapisan jala seperti mikroplika dan mikrovili. Molekul
asing yang mencoba masuk ke dalam kornea harus melalui berbagai
rintangan tadi ditambah lagi dengan adanya serabut-serabut kolagen
pada stroma dan mukopolisakarida. Limfosit tidak dijumpai pada
stroma kornea maka hipersensitivitas lambat tidak dapat terjadi.
Kornea kadang-kadang mengalami peradangan yang biasanya dimulai
pada bagian limbus kemudian meluas ke kornea. Kepadatan struktur
seluler kornea menghambat inisiansi reaksi radang pada kornea, oleh
karena itu transplantasi kornea dapat dilakukan tanpa inflamasi sebab
limfosit tersensitisasi tidak dapat mencapai transplan. Transplantasi
kornea tidak menjadi masalah sebab antigen ABO tidak dijumpai pada
endotel kornea. Keberhasilan transplantasi kornea adalah 90% (10%
ketidakberhasilan karena adanya vaskularisasi atau terjadinya saluran
limfatik karena infeksi kronis). Walaupun kornea tidak mengandung
limfosit tetapi mata setiap beberapa detik sekali dibasahi oleh cairan
yang diproduksi kelenjar tarsalis superior yang mengandung limfosit
yang banyak.(Haryana dan Soesatyo, 1993)
1.4 Uvea
Uvea terdiri dari lapisan kontinu

dari iris, badan siliaris, dan

koroid, dengan arsitektur vaskular karakteristik dalam sebuah


"alymphatic" bola mata. Badan siliaris adalah tempat produksi dari

aqueous humor, dan seperti halnya struktur lain yang menghasilkan


filtrat (termasuk glomerulus ginjal [urin] dan pleksus koroid [cairan
serebrospinal]), merupakan bagian yang umum untuk pengendapan
kompleks imun. (Bielory, 2000)
Bagian dalam dari bola mata tidak memiliki pasokan limfatik (tidak
ada drainase kelenjar limfe spesifik), tetapi memiliki modifikasi
limfovaskular yang unik-uvea. Sebaliknya, bagian luar dari bola mata
termasuk

konjungtiva

kaya

dengan

pasokan limfatik,

mampu

menanggapi antigen asing. Limfatik dari konjungtiva lateral mengalir


ke nodus preauricular (misalnya, parotid node) hanya anterior tragus
dari telinga. Limfatik dari nasal konjungtiva mengalir ke kelenjar
submandibula. (Bielory, 2000)
Aqueous humor dapat mempengaruhi aktivasi sel-T. Reaksi
limfosit campuran ditekan jika tidak sepenuhnya dihapuskan ketika
aqueous humor ditambahkan ke kultur media. Aqueous humor
mengandung

berbagai

transforming

growth

faktor

imunosupresif

factor-2,

yang

mencakup

-melanosit-stimulating

hormon,

vasoactive intestinal peptide, dan calcitonin gene-related protein.


Namun, hanya TGF-2 pada konsentrasi ditemukan dalam aqueous
humor tampaknya memiliki kemampuan untuk menginduksi ACAID.
Sebuah penelitian terbaru melaporkan bahwa konsentrasi kortisol dalam
aquous humor mirip dengan yang ada di plasma, cortisol-binding
globulin

hampir

peningkatan

tidak

steroid

ada,

sehingga

alami.

Produksi

memberikan
aqueous

lingkungan
humor

dan

pengeluarannya merupakan faktor yang mendasari peningkatan tekanan


intraokular (yaitu, glaukoma). Banyak kondisi imunologi yang berbeda
berhubungan dengan kelainan pada kedua area ini. (Bielory, 2000)

1.5 Korpus vitreus


Korpus vitreus tak mempunyai sistem imun. Tetapi karena turnover
korpus vitreus sangat lambat, maka korpus vitreus dapat bertindak
sebagai adjuvant terhadap antigen. (Haryana dan Soesatyo, 1993)
1.6 Retina dan nervus optikus
Retina tidak mempunyai sistem imun sendiri. (Haryana dan Soesatyo,
1993)
1.7 Lensa
Lensa memiliki sistem imun khusus. Pada lensa yang utuh tidal( ada
antibodi atau limfosit atau molekul yang dapat masuk ke dalam lensa.
Lensa sebenarnya penuh dengan antigen yang dapat memacu respons
imunologik. Lensa tersusun atas 4 macam protein. Tiga di antaranya
adalah alfa, beta dan gama kristalin yang bersifat solubel, sedang yang
lain seperti albuminoid dan tidak larut. Protein ini sebetulnya berasal
dari kristalin alpha yang sifatnya seperti albumin. Protein yang paling
antigenik adalah kristalin alfa. Zat albumin sifat sebagai adjuvan
sehingga protein kristalin alpha dapat lebih antigenik. Bagian mata
yang lain seperti konjungtiva dan kelenjar air mata dilengkapi dengan
sistem imun lengkap, seperti limfosit T, B dan makrofag. (Haryana dan
Soesatyo, 1993)
1.8 Air mata
Kelopak mata dapat menyapu partikel dan membersihkan permukaan
mata dan air mata dapat membuang partikel setelah disapu. Dalam air
mata terkandung berbagai jenis Imunoglobulin (IgA, IgG, IgM, IgE).
Kadar lg dalam air mata sebanding dengan kadar dalam serum (lebih
rendah). Selain itu dalam mata terdapat lizozim, komplemen dan
histamin dalam kadar rendah. Ig predominan di dalam air mata adalah
IgA. Konsentrasi secretory (s) IgA pada air mata tikus kurang lebih
200 g/ml yang dihasilkan oleh sel-sel plasma di dalam kelenjar
lakrimal. Jumlah total sel-sel penghasil Ig tersebut meningkat sesuai
dengan pertambahan umur. Sel-sel penghasil Ig lainnya seperti IgG
dan IgM terdapat pula dalam jumlah yang relatif sedikit daripada selsel untuk IgA. Sebagai contoh, pada umur 21 hari (tikus), jumlah sel-

10

sel penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah
sel-sel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.
(Haryana dan Soesatyo, 1993)
1.9 kelenjar lakrimalis
Kira-kira berjumlah 642 kelenjar pada jaringan konjungtiva atas. Sel
radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial dan pada kelenjar
lakrimalis asesoria. Sering dijumpai sel eosinofil dan (basofil tidak
ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan IgE. (Haryana dan Soesatyo,
1993)
1.10 Komponen selular dan reseptor
Komponen seluler dari sistem imun mata dalam banyak hal mirip
dengan sistem imun sistemik, yang tercermin oleh conjunctivaassociated lymphoid tissue, yang secara histologis sangat mirip dengan
gut-associated lymphoid tissue atau bronchial-associated lymphoid
tissue. Populasi limfosit mirip antara semua sistem mukosa. Limfosit
tersebar di seluruh lapisan epitel konjungtiva dan membentuk lapisan
yang berbeda dalam substantia propria, saat beragreasi dalam folikel.
Sel-sel epitel yang melapisi folikel ini bermodifikasi, menampilkan
mikrovili memanjang dengan beberapa microplicae, dan tidak
mengandung sel goblet. Limfosit intraepitel didominasi CD8 +,
sedangkan dalam substantia propria sama-sama didistribusikan di
antara populasi CD4 + dan CD8 +. Konjungtiva sepenuhnya
dilengkapi untuk menangkap, memproses dan menyajikan antigen.
Secara umum dipercaya bahwa limfosit konjungtiva yang sudah
diaktivasi berjalan ke kelenjar limfe preauricular lokal dan
submandibula dan dari sana bermigrasi ke limpa dan kemudian
kembali ke konjungtiva. Organ drainase limfoid utama pada mata
adalah limpa. (Haryana dan Soesatyo, 1993)

Molekul adhesi sel

11

Berbagai interaksi imunologi selular membutuhkan adhesi, migrasi,


proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi. Hal ini dimodulasi oleh molekul
adhesi sel yang muncul dalam berbagai struktur mata, termasuk
kornea, konjungtiva, koroid, uvea, dan saraf optik. Pada epitel mata,
molekul

adhesi

sel

juga

tampaknya

berperan

dalam

reaksi

hipersensitivitas okular , seperti terlihat pada studi provokasi ocular


allergy dari ekspresi molekul adhesi antar-1 (ICAM-1) (CD54)
molekul pada hewan dan manusia. Molekul ICAM-1 tampaknya
terlokalisasi pada sel epitel kornea dari basal dan lapisan tengah pada
pasien dengan alergi kronis pada mata, seperti keratokonjungtivitis
vernal (VKC). Setelah paparan alergen terhadap subyek alergi,
ekspresi ICAM-1 epithelial konjungtiva terjadi sebagai peristiwa awal
(yaitu, muncul dalam waktu 30 menit setelah stimulasi tertentu).
Waktu yang sama dengan inflamasi infiltrasi (neutrofil, eosinofil,
limfosit, dan monosit). (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)
Mast sel
Dalam jaringan okular dan adneksa dari satu mata manusia
terdapat sekitar 50 juta sel mast. Penemuan sel mast pada mata telah
didokumentasikan sejak tahun 1937, sel-sel mast dilaporkan di daerah
limbal mata manusia normal. Dalam mata itu sendiri, sel mast
ditemukan di koroid, ciliary body, iris, dan saraf optik. Namun, sel
mast belum ditemukan di kornea dan retina mata normal. Dalam
koroid manusia normal, sejumlah besar sel mast terkonsentrasi di
koroid posterior, terutama sepanjang pembuluh arteri. Pemeriksaan
spesimen biopsi dan kerokan konjungtiva telah memberikan sebagian
besar informasi mengenai keterlibatan sel mast dalam penyakit alergi
pada mata. Selain gangguan alergi okular, sel mast juga telah terlibat
dalam patogenesis gangguan imunologi mata lainnya, seperti neuritis
optik, uveitis dan bentuk konjungtivitis alergi. Sel mast Choroid

12

mengalami degranulasi selama EAU, 9 hari setelah injeksi awal dari


EAU-inducing protein.
Bentuk dominan dari sel mast ditemukan dalam konjungtiva
normal adalah dari jenis jaringan ikat karena mengandung chymase
dan tryptase. Dalam bentuk yang lebih kronis dari konjungtivitis
alergi, terjadi peningkatan nyata pada sel mast mucosal-type dan juga
migrasi sel mast ke lapisan epitel.
Tidak jelas apakah perubahan dalam jenis sel mast pada alergi
okular yang lebih kronis, seperti keratokonjungtivitis atopik (AKC)
atau VKC, mencerminkan migrasi jenis tiang ke dalam konjungtiva
atau diferensiasi lokal dari sel mast prekursor pada site. Perubahan
mukosa untuk tipe sel mast membutuhkan lingkungan mikro yang
tepat, yang meliputi IL-3, IL-4, IL-9, IL-10, stem cell factor, and
nerve growth factor, yang tampaknya berasal dari suatu variasi dari sel
konjungtiva. Sel epitel konjungtiva dan sel mast telah diakui sebagai
sumber penting dari berbagai kemokin (macrophage inflammatory
protein 1, RANTES, eotaxin, IL-8) dan dengan demikian mampu
terlibat langsung dalam peradangan pada alergi chemokine-mediated.
Neuropeptida seperti substansi P bertindak sebagai mediator kimia
dan sangat aktif dalam peradangan pada alergi. Konsentrasi substansi P
pada airmata ditemukan meningkat pada pasien dengan seasonal
konjungtivitis alergi dan VKC. Nedokromil telah diakui menjadi
stabilisator sel mast dan telah terbukti menurunkan eksperimental
autoimun neuritis. (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)
Histamin
Sejumlah besar histamin dilaporkan terdapat pada beberapa struktur
mata mamalia, termasuk retina, koroid, dan saraf optik. Reseptor
Histamin telah ditemukan pada konjungtiva, kornea, dan arteri-arteri
opthalmic. Reseptor histamin konjungtiva telah dianalisa lebih lanjut
dengan reseptor anti-H1 dan anti-H2 spesifik untuk menentukan
signifikansi fisiologis masing-masing reseptor dalam menimbulkan

13

respon peradangan okular. Sel-sel endotel kornea telah ditemukan


memiliki reseptor H1, yang ketika diaktifkan menyebabkan fluks
kalsium dalam hitungan detik dengan hasil produksi prostaglandin E2,
mirip dengan masuknya kalsium pada aktivasi sel mast. Diperkirakan
bahwa jaringan konjungtiva manusia mengandung sekitar 10.000 sel
mast per millimeter. Histamin merupakan mediator utama yang terlibat
dalam alergi dan peradangan pada mata. Kebanyakan reaksi alergi
pada mata melalui efek histamin pada receptor H1. Dalam sebuah
penelitian terbaru, histamin meningkat proliferasi, migrasi, dan
produksi kolagen pada fibroblast normal maupun VKC. Air mata dari
pemakai lensa kontak tanpa gejala memiliki tingkat signifikan
histamin, sedangkan air mata dari pasien yang memiliki masalah
dengan lensa kontak mereka memiliki tingkat lebih rendah, mungkin
mencerminkan perubahan dalam metabolisme histamin. (Haryana dan
Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)
T-limfosit
Reseptor sel-T di konjungtiva yang normal memiliki reseptor sel-T
kelas / yang mirip dengan yang ditemukan di sebagian besar darah
perifer dan limfoid limfosit-T manusia. Pada otot ekstra okular
terdapat peningkatan jumlah makrofag bila dibandingkan dengan otot
rangka normal. Kadar CD4 dan CD8 normal, meskipun ada yang
dominan sedikit limfosit CD8. (Haryana dan Soesatyo, 1993; Bielory,
2000)
Eosinofil
Penilaian langsung dari jaringan konjungtiva mengungkapkan eosinofil
yang absen dari epitel normal, bahkan pada pasien dengan seasonal
konjungtivitis alergi yang berada di luar musim alergi mereka,
sedangkan pasien di musim mereka akan mulai memiliki beberapa
infiltrasi dengan eosinophils. Perubahan fungsi eosinofil, bukan jumlah
sel, mungkin penting dalam variasi klinis, seperti keratopati. (Haryana
dan Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

14

1.11

Imunoglobulin
Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitarnya

kecuali lensa. Konsentrasi tertinggi pada kornea, khoroid, konjungtiva


dan lain-lain. Konsentrasi sedang pada otot dan sklera, dan konsentrasi
rendah dijumpai pada korpus siliare, iris, korpus vitreum, retina.
Imunoglobulin dapat diproduksi secara lokal atau dapat diangkut
dari sistem pembuluh darah ke berbagai jaringan mata. Cincin imun
kornea yang berkembang pada hewan percobaan kelinci setelah
suntikan intracorneal dari antigen asing terutama terdiri dari leukosit
polimorfonuklear,

kompleks

imun,

dan

complement-activated

products. Hal ini dapat terlihat pada pasien dengan corneal melt
syndromes.
Kadar antibody pada airmata dapat diukur dengan beberapa metode
(misalnya, teknik spons [Schirmer tes] atau tabung kapiler). Tidak ada
perbedaan kuantitatif telah dicatat dalam penggunaan teknik spons atau
kapiler dalam pengukuran total IgE airmata.
IgA, menjadi mucosal-related immuno-globulin yang dominan,
didistribusikan berbeda dalam cairan tubuh: 80% atau lebih dari IgA
serum merupakan subclass IgA1, sedankan di sekresi eksternal, IgA1
merupakan 50% sampai 74% dari jumlah total IgA. IgA Sekretori tidak
hanya menampilkan distribusi subclass khas tetapi juga dalam bentuk
polimer melalui penambahan rantai J. Para sekretori IgA diangkut ke
dalam cairan air mata melalui komponen sekretori yang berasal sel
epitel, yang melekat pada rantai J dalam proporsi yang berbeda dari
subclass ketika kita membandingkan serum dengan cairan air mata.
Dalam sistem nonmucosal IgA1 yang mengandung sel-sel plasma
adalah 75% dari jumlah tota IgA yang mengandung jumlah sel plasma.
Meskipun IgA adalah antibodi utama terdeteksi dalam air mata
normal,

IgG

juga

tampaknya

berperan

dalam

pengendalian

konjungtivitis virus. Kadar IgG dalam airmata meningkat menjadi ratarata 1,31 mg/mL, sedangkan IgA air mata terdeteksi pada rata-rata 0,84
mg/mL pada 6 pasien dengan akut hemoragik conjunctivitis.

15

_t

en

UTF-8

Tidak ada alergen spesifik IgE antibodi


terdeteksi dalam air mata individu nonatopic, sedangkan IgA antibodi
dalam serum dan air mata pasien dengan konjungtivitis alergi terutama
diarahkan terhadap gugus nonallergenic dan menunjukkan kekhususan
yang secara signifikan berbeda dengan antibodi IgE. (Haryana dan
Soesatyo, 1993; Bielory, 2000)

Gambar 1. Mekanisme imunologi pada mata


Sumber: Bielory, 2000

16

BAB 2. PENYAKIT IMUNOLOGI PADA MATA


2.1 Penyakit Yang Bergantung Antibodi dan Yang Diperantarai Antibodi
Sebelum penyakit mata dapat disimpulkan bersifat dependen-antibodi,
harus dipenuhi kriteria sebagai berikut (Vaughan dkk, 2002):
1. Harus terdapat bukti adanya antibody spesifik di dalam serum atau
sel-sel plasma pasien.
2. Antigennya harus dapat diidentifikasi dan apabila mungkin
ditentukan karakteristiknya
3. Antigen tersebut harus terbukti menghasilkan suatu respon
imunologik di mata pada hewan percobaan, dan kelainan patologik
yang terjadi pada hewan tersebut harus serupa dengan yang diamati
pada manusia.
4. Lesi serupa harus dapat ditimbulkan pada hewan percobaan secara
pasif disensitisasi dengan serum dari hewan sakit yang diberi
antigen spesifik tersebut.
Pada kondisi-kondisi tersebut, penyakit yang bersangkutan dapat dianggap
diperantarai antibodi hanya bila salah satu kriteria berikut terpenuhi (Vaughan
dkk, 2002):
1. Bila antibody terhadap suatu antigen terdapat dalam jumlah yang
lebih besar di dalam cairan mata dibandingkan di dalam serum
(setelah

dilakukan

penyesuaian

mengenai

jumlah

total

immunoglobulin dalam masing-masing cairan).


2. Bila terdapat penimbunan abnormal sel plasma di dalam lesi mata.
3. Bile terdapat penimbunan immunoglobulin di lokasi penyakit
4. Bila terdapat fiksasi komplemen oleh immunoglobulin di lokasi
penyakit
5. Bila terdapat penimbunan eosinofil di lokasi penyakit
6. Bila penyakit mata tersebut disertai dengan penyakit peradangan di
bagian tubuh mana pun yang diduga kuat atau telah terbukti
dependen-antibodi.

2.1.1
Konjungtivitis Hay Fever
Penyakit ini ditandai oleh oedem dan hiperemi konjungtiva dan palpebra,
serta rasa gatal yang selalu ada dan pengeluaran air mata. Sering timbul rasa

17

gatal serupa dihidung serta rinorea. Konjungtiva tampak pucat dan sembab
akibat edema hebat, yang onsetnya sering cepat. Insidens penyakit musiman,
sebagian pasien mampu menentukan onset gejala-gejala pada waktu yang
sama setiap tahun. Waktu-waktu tersebut biasanya berhubungan dengan
pengeluaran serbuk sari oleh rumput, pohon, atau semak tertentu (Vaughan
dkk, 2002; AAO, 2012).

Gambar 2. Konjungtivitis hay fever, tampak adanya kemosis pada


konjungtiva.
Sumber: Lang, 2007

Patogenesis Imunologik
Kelainan ini dikenal sebagai salah satu bentuk penyakit atopic dengan
kerentanan herediter yang tak langsung. IgE melekat pada sel mast yang
terletak di bawah epitel konjungtiva. Kontak antigen penyebab dengan IgE
memicu pelepasan zat-zat vasoaktif, terutama leukotrien dan histamine, yang
akan menimbulkan vasodilatasi dan kemosis. (Vaughan, 2002)
Diagnosis Imunologik
Kerokan epitel konjungtiva penderita konjungtivitis hay fever dengan
pewarnaan Giemsa memperlihatkan banyak eosinofil. Individu-individu
18

tersebut memperlihatkan respon tipe cepat, dengan wheal and flare, ketika
dilakukan uji gores kulit dengan ekstrak serbuk sari atau antigen penyebab
lainnya. Biopsi dari kulit yang diuji kadang-kadang memperlihatkan gambaran
lengkap reaksi Arthus, berupa pengendapan kompleks imun di dinding
pembuluh-pembuluh dermis. (Vaughan, 2002)
Pengobatan Imunologik
a. Imunoterapi,
Dengan cara pemberian serbuk sari atauu allergen yang dicurigai
lainnya secara sublingual atau suntikan subkutis dengan dosis rendah
dan semakin tinggi (ditingkatkan secara bertahap),
b. Antihistamin topical,
c. Penstabil sel mast,
d. Kortikosteroid. (AAO, 2012)
2.1.2

Konjungtivitis Vernalis

Konjungtivitis vernalis adalah konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas


(tipe I) yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Terdapat dua bentuk
utama konjngtivitis vernalis (yang dapat berjalan bersamaan), yaitu (AAO,
2012; Ilyas, 2008) :
1. Bentuk palpebra terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.
Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Cobble Stone) yang diliputi
sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edem, dengan
kelainan kornea lebih berat dari tipe limbal. Secara klinik, papil besar ini
tampak sebagai tonjolan besegi banyak dengan permukaan yang rata dan
dengan kapiler ditengahnya.

19

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk palpebra, tampak adanya cobble


stone.
Sumber: Lang, 2007
2. Bentuk Limbal,
hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang merupakan degenarasi epitel
kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus,
dengan sedikit eosinofil.(Ilyas, 2006; Vaughan, 2000)

Gambar 4. Konjungtivitis vernal bentuk limbal, tampak adanya HornerTrantas dot.


Sumber: AAO, 2012
Patogenesis Imunologik

20

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang


insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV.
Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang
dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang
menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini
akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva
sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan
ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak
buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal,
oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada
konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam
kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi
dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat,
kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan
menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus.
Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan dengan konjungtivalisasi pada
penderita

keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya

pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang
dengan cepat akan mengalami degenerasi. (Vaughan, 2002)
Diagnosis Imunologik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva
untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan
banyak eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu,
terdapat basofil dan granula basofilik bebas. (Vaughan, 2002)

Pengobatan Imunologik

21

Karena konjungtivitis vernalis adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu


diingat bahwa medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberi hasil
jangka pendek, berbahaya jika dipakai jangka panjang.
Opsi perawatan konjungtivitis vernalis berdasarkan luasnya symptom yang
muncul dan durasinya. Opsi perawatan konjungtivitis vernalis yaitu (Vaughan,
2002):
1. Tindakan Umum
Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang membantu
mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis. Beberapa
tindakan tersebut antara lain:
-

Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau


jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan
mekanis dari mediator-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk
mencegah superinfeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut

menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.


Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter;
Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa

serbuksari;
Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak
dengan alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru

harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen;


Kompres dingin di daerah mata;
Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata

juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen;


Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga
disebut sebagai climato-therapy.

2. Terapi topikal
Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi saline
steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10%20% tetes mata.
Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala.
Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan

22

20%. Larutan alkalin seperti 1-2% sodium karbonat monohidrat


dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun
tidak efektif sepenuhnya.
dekongestan
antihistamin
NSAID (Non-Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
Untuk konjungtivitis vernalis yang berat, bisa diberikan steroid

topical prednisolone fosfat 1%, 6-8 kali sehari selama satu minggu.
Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai ke dosis
terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Bila sudah terdapat
ulkus kornea maka kombinasi antibiotik steroid terbukti sangat
efektif.
Antihistamin
Antibakteri
Siklosporin
Stabilisator sel mast seperti Sodium kromolin 4% dan Lodoksamid

0,l%.
-

3. Terapi Sistemik
Pada kasus yang lebih parah, bisa juga digunakan steroid sistemik
seperti prednisolone asetat, prednisolone fosfat, atau deksamethason
fosfat 23 tablet 4 kali sehari selama 12 minggu.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat dipertimbangkan

sebagai pilihan lain, karena kemampuannya untuk mengurangi rasa


gatal

yang

dialami

pasien.

Apabila

dikombinasi

dengan

vasokonstriktor, dapat memberikan kontrol yang memadai pada


kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis.
4. Tindakan Bedah
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi, dan diatermi pada papil
raksasa konjungtiva tarsal kini sudah ditinggalkan mengingat
banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena dalam
waktu dekat akan tumbuh lagi.
2.1.3

Keratokonjungtivitis Atopik
Dapat mengenai segala usia dan tidak memperlihatkan insiden

musiman. Sering muncul pada penderita dengan riwayat dermatitis

23

atopi. Kulit palpebra biasanya tampak kering dan bersisik. Konjungtiva


pucat dan sembab. Baik konjungtiva maupun kornea dapat membentuk
jaringan parut pada tahap lanjut. Walaupun penyakit atopic dan
vernalis mungkin terletak pada suatu spectrum penyakit yang sama,
keduanya masih dapat dibedakan. Penyakit atopic cenderung terjadi
pada pasien yang lebih tua dan jarang atau tidak ada eksaserbasi
musiman. Papilla pada penyakit atopic lebih kecil dibandingkan pada
penyakit vernalis dan dijumpai di konjungtiva palpebra inferior dan
superior. Selain itu vaskularisasi kornea dan pembentukan jaringan
parut di konjungtiva jauh lebih sering pada penyakit atopic. Pada
penyakit atopic jumlah eosinofil dalam apusan jauh lebih sedikit dan
jarang mengalami degranulasi.

Gambar 5. Tampak papil-papil kecil pada konjungtiva tarsal pada


keratokonjungtivitis atopic.
Sumber: AAO, 2012

24

Gambar 6. Tampak vaskularisasi kornea pada konjungtiva tarsal pada


keratokonjungtivitis atopic.
Sumber: AAO, 2012
2.1.4 Rhematoid Disease
Patogenesis Imunologik
Faktor rheumatoid, suatu antibody IgM yang ditujukan kepada
IgG pasien sendiri, mungkin berperan penting dalam pathogenesis
arthritis rheumatoid. Penggabungan antibody IgM dengan IgG
kemudian diikuti oleh fiksasi komplemen di jaringan dan penarikan
leukosit dan trombosit ke daerah ini. Vaskulitis oklusif, yang terjadi
akibat rangaian proses di atas, diperkirakan merupakan penyebab
terbentuknya nodus-nodus arthritis rheumatoid di sclera dan di bagian
tubuh yang lain. Selain dapat mengenai sclera, antibody juga dapat
menyerang kelenjar lakrimalis. Kerusakan sel-sel asinar di dalam
kelenjar dan invasi sel-sel mononukleus ke kelenjar lakrimalis
menyebabkan berkurangnya produksi air mata sehingga menyebabkan
keratokonjungtivitis sika. (AAO, 2012)

2.1.5

Retinopati Systemic Lupus Erytematous (SLE)

Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang


ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh autoantibodi
patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem
25

yang bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah,


perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf
pusat.(Vaughan, 2002)
Manifestasi pada mata didapatkan pada 20% penderita SLE yang dapat
mengenai palpebra, kornea, retina dan saraf optik.5,6 Gambaran kelainan mata
yang dapat ditemukan antara lain (Vaughan, 2002; Patel, 2002):
a. Palpebra
Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang
tak jarang mengenai pipi dan hidung.
b. Konjungtiva
Sindroma

mata

kering

(konjungtivitis

Sicca)

dan

konjungtivitis

nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan


penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang
mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa.
Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat
menyebabkan pengerutan konjungtiva.
c. Sklera
Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler
yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan
bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi
skleritis nekrotik yang melanjut dari temapat lesi semula ke segala jurusan
sampai dihentikan dengan pengobatan.
d. Uvea
Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.
e. Retina

26

Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati


merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses
peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak
kedua setelah keratokonjungtivitis sicca (KCS). 88% penderita retinopati SLE
memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang
signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif
pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.
Pada mata penderita SLE, kompleks imun didepositkan pada endotel
vaskuler konjungtiva, sklera, koroid, corpus siliaris dan retina yang kemudian
akan mengubah struktur jaringan serta menekan fungsi dari jaringan tersebut.
Deposit dapat berkembang pada membrana basalis dari korpus siliaris, kornea
dan saraf-saraf perifer dari corpus siliaris dan konjungtiva. Penderita retinopati
pada SLE mempunyai angka morbiditas yang tinggi. Jika retinopati
berkelanjutan dan menjadi lebih berat atau telah mengenai area makula primer
pada retina maka dapat mengakibatkan kebutaan (Patel, 2002).
Gambaran fundus pada retinopati SLE dapat dibagi dalam 2 bentuk :
a.

Akibat SLE murni: pada retina ditemukan gambaran cotton wool


patches yang merupakan gejala utama yang dapat timbul pada
masa toksis, perdarahan superfisial, eksudat putih abu-abu dan

b.

edema papil.
Akibat hipertensi

yang

berlangsung

lama:

karena

SLE

menyebabkan nefropati yang kemudian dapat menyebabkan


hipertensi, maka pada penderita SLE yang lanjut dapat ditemukan
gambaran fundus hipertensi.

27

Gambar 7. tampak gambaran cotton wool patches pada pasien SLE.


Sumber: Patel, 2002

Retinopati pada SLE dapat memberikan gambaran menyerupai retinopati


hipertensi dan retinopati diabetikum, tapi pada retinopati SLE lebih sedikit
daerah iskemik dan penurunan visus. Temuan klasik pada retinopati SLE
adalah gambaran cotton-wool spot (bercak seperti kapas) pada pemeriksaan
funduskopi, yang mana telah berkolerasi dengan area avaskular pada
pemeriksaan angiografi floresensi.

Patogenesis Imunologik
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan
lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk :
1.

Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks

2.

imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen


Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit

3.

antigen-specific T dan Limfosit B)


Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
28

4.

Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.

Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat


ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik,
sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan
untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan
penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang
terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor
necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin
pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10.
Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu
petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal
menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk
memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody
yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan
dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik
yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan
memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim
perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan
produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
Diagnosis Imunologik
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan infiltrasi pada dinding
pembuluh darah oleh material fibrin yang menyebabkan konstriksi vaskular
dan penyebaran trombus hialin. Dinding pembuluh darah bebas dari sel-sel
radang, oleh sebab itu hal ini tidak dipertimbangkan sebagai vaskulitis sejati.

29

Uji-uji diagnostik mencakup antara lain antibodi anti-DNA dan antibody


mitokondria tipe V. Aktivitas penyakit diikuti oleh peningkatan kompleks
imun dalam darah dan penurunan fraksi komplemen. (Vaughan, 2002)
Pengobatan Imunologik
Penatalaksaan retino pati SLE sesuai dengan penyakit penyebabnya. Obat
paling efektif adalah steroid sistemik dan siklofosfamid intravena dosis
denyut. Retinopati dapat membaik sejalan dengan keberhasilan penanganan
penyakit sistemiknya. Bagaimanapun, penderita tetap harus dimonitor secara
seksama mengenai tanda-tanda eksaserbasi saat gejala sistemik tidak ada.
Terapi antiplatetlet dan antikogulandi indikasikan untuk keadaan retinopati
oklusal. Pemberian kortikosteroid sistemik diindikasikan pada nyeri hebat
optalmoplegia. (Vaughan, 2002)
2.1.6

Steven Johnsons Syndrome

Penyakit ini paling sering dipicu oleh obat-obatan seperti sulfonamide atau
penyakit-penyakit seperti infeksi herpes simpleks atau mikoplasma. (AAO,
2012)
Patogenesis Imunologik
Menunjukkan hipersensitivitas tipe III yang terdiri dari pengendapan
kompleks imun di dermis dan stroma konjungtiva. Pengendapan ini dapat
menimbulkan konjungtivitis sikatrikan yang berpotensi menyebabkan jaringan
parut dan kekeringan berat di kornea. (Vaughan, 2002; AAO, 2012)

2.2 Penyakit yang Diperantarai Sel


2.2.1 Sarcoidosis mata
Sarkoidosis pada mata ditandai oleh panuveitis yang kadangkadang ditandai disertai oleh peradangan nervus opticus,
konjungtiva, dan pembuluh-pembuluh darah retina
2.2.1.1 Patogenesis imunologi

30

Walaupun banyak infeksi atau alergi telah diajukan sebagai


penyebab sarkoidosis, belum ada satupun yang dapat
dibuktikan. Tampak granuloma nonkaseosa di uvea, nervus
opticus, konjungtiva, dan struktur-struktur adneksa mata
serta di bagian tubuh lain. Adanya makrofag dan sel raksasa
mengisyaratkan terjadinya fagositosis bahan berbentuk
partikel. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa
infeksi mycobacterium merupakan suatu faktor etiologi
Pasien sarkoidosis biasanya anergi terhadap antigen-antigen
mikroba yang sering dijumpai, misalnya antigen mumps,
trichopyton, candida, dan mycobacterium tuberculosis.
Seperti pada gangguan limfoproliferastif lainnya, misalnya
penyakit Hodgkin dan leukemia limfositik kronik, anergi
mungkin mencerminkan supresi aktivitas sel T sedemikian
sehingga respons hipersensitivitas tipe lambat yang normal
terhadap antigen-antigen yang umum tidak dapat terjadi.
Sementara itu, biasanya ditemukan immunoglobulin dalam
serum dengan kadar yang lebih tinggi daripada normal.

2.2.1.2 Diagnosis imunologi


Diagnosis kebanyakan

didasarkan

pada

penarikan

kesimpulan. Fakta yang sangat menunjang adalah hasil uji


kulit yang negative terhadap serangkaian antigen yang
diketahui telah dikenal oleh pasien, demikian juga
peningkatan immunoglobulin dalam serum. Biopsy nodul
di konjungtiva atau pembesaran kelenjar getah bening dapat
memberikan petunjuk histologik adanya penyakit ini. Pada
banyak kasus, pemeriksaan sinar-X toraks memperlihatkan
adenopati hilus. Kadar angiotensin-converting enzyme
dalam serum dapat meningkat.
2.2.1.3 Pengobatan

31

Memerlukan terapi kortikosteroid dan sesekali dengan obat


2.2.2

imunosupresan.
Oftalmia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-harada
Kedua penyakit ini dibahas bersama-sama karena keduanya
memiliki kesamaan gambaran klinis tertentu. Keduanya
diperkirakan mencerminkan suatu fenomena autoimun yang
mengenai struktur berpigmen di mata dan kulit, dan keduanya

dapat memperlihatkan gejala-gejala meningeal


2.2.1.1 Gambaran klinis
Oftalmia simpatika adalah suatu peradangan di mata kedua
(sebelahnya) setelah yang pertama mengalami kerusakan
akibat trauma tembus. Pada kebanyakan kasus, sebagian
uvea mata yang cedera telah terpajan ke atmosfir sekurangkurangnya selama 1 jam. Mata yang tidak cedera atau
yang bersimpatik memperlihatkan tanda-tanda minor
uveitis anterior setelah rentang waktu 2 minggu hingga
bertahun-tahun lamanya. Walaupun demikian, sebagian
besar kasus terjadi dalam 1 tahun. Sebagai akibat
peradangan pada corpus ciliare, timbul gejala-gejala dini
antara lain bercak-bercak melayang dan hilangnya daya
akomodasi.

Penyakit

dapat

berkembang

menjadi

iridosiklitis berat yang disertai nyeri dan fotofobia. Namun,


biasanya mata tetap tenang dan tidak nyeri, sementara
peradangan menyebar ke seluruh uvea. Retina biasanya
tetap tidak terlibat., kecuali ada cuffing perivaskular
pembuluh retina oleh sel-sel radang. Dapat Ada juga
sebuah akumulasi sel-sel epithelioid pada permukaan epitel
pigmen retina (RPE) atau Choroidal yang disebut DalenFuchs nodul. Dapat timbul edema nervus opticus dan
glaucoma sekunder. Dalam kasus yang berkepanjangan dan
tidak diobati dengan baik, butiran melanin pada koroid dan
epitel pigmen retina (RPE) yang hilang dan perubahan

32

warna fundus menjadi merah. Ini disebut "sunset glow


fundus " adalah salah satu temuan klinis paling khas pada
sindrom Vogt-Koyanagi-harada dan Oftalmia simpatika.
Untuk alasan yang tidak diketahui, insidens penyakit ini
telah sangat menurun selama beberapa dekade terakhir.
(Sugita dkk, 2006; Asbury, 2007).
Secara histologi, sindrom Vogt-Koyanagi-harada dan
Oftalmia simpatika ditandai dalam fase akut oleh ablasi
retina serosa, penebalan signifikan dari koroid, dan
infiltrasi sel inflamasi yang sudah ditandai ke dalam iris,
badan siliaris, dan koroid. Pada fase tengah-akhir, temuan
histologis khas adalah depigmentasi, dispersi pigmen, dan
fagositosis pigmen di Uvea. Penyakit ini biasanya diawali
oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala,
disakusis, dan kadang-kadang vertigo. Dilaporkan adanya
kerontokan rambut atau uban di beberapa tempat pada
bulan-bulan pertama penyakit. Sering terjadi vitiligo dan
poliosis tetapi tidak penting untuk diagnosis. Walaupun
iridosiklitis

awal

mungkin

membaik

dengan

cepat,

perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen


dengan efek jangka panjang berupa ablation retinae serosa
dan gangguan penglihatan yang bermakna. (Bielory, 2000)
2.2.1.2 Patogenesis Imunologi
Pada oftamia simpatika dan sindrom Vogt-KoyanagiHarada, diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin, di
mata, kulit, dan rambut. Bahan-bahan terlarut dari segmen
luar lapisan fotoreseptor retina (antigen S retina) telah
diajukan sebagai autoantigen yang mungkin. Pasien
sindrom

Vogt-Koyanagi-Harada

biasanya

merupakan

33

keturunan Asia tenggara, yang mengisyaratkan adanya


suatu predisposisi imunogenetik terhadap penyakit.
Immunogenetic studi telah mengungkapkan bahwa HLADRB1 * 0405 dan-DRB1 * 0410 yang berkaitan erat
dengan penyakit VKH dan SO pada populasi Jepang.
Penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui, meskipun
umumnya

dianggap

diperantarai

penyakit

autoimun

terhadap sel melanosit karena limfosit dari pasien dengan


penyakit VKH berproliferasi ketika dihadapkan oleh
ekstrak kasar dari melanosit dan limfosit bersifat sitotoksik
pada melanosit in vitro. (Bielory, 2000)
Sediaan histopatologik pada mata yang mengalami trauma
pada pasien oftalmia simpatika mungkin memperlihatkan
sebukan limfosit, sel epiteloid, dan sel raksasa yang
seragam di sebagian besar uvea. Retina di atasnya biasanya
utuh, tetapi dapat terlihat penonjolan sarang-sarang sel
epiteloid melalui epitel pigmen retina sehingga terbentuk
nodul-nodul Dalen-Fuchs. Peradangan tersebut dapat
menghancurkan arsitektur seluruh uvea hingga menyisakan
bola mata atrofi yang menciut.
2.2.1.3 Diagnosis imunologi
Uji kulit dengan ekstrak jaringan uvea manusia atau sapi
yang mudah larut dikatakan dapat mencetuskan respons
hipersensitivitas tipe lambat pada pasien-pasien tersebut.
Beberapa peneliti baru-baru ini memperlihatkan bahwa
biakan limfosit dari pasien dengan kedua penyakit ini
mengalami transformasi menjadi limfoblas (in vitro) bila
ditambahkan ekstrak uvea atau segmen luar sel batang ke
dalam medium biakan. Dalam darah pasien-pasien kedua
penyakit ini ditemukan antibody terhadap antigen uvea,
tetapi antibodi semacam itu sering dijumpai pada setiap
pasien dengan uveitis kronik termasuk mereka yang
34

mengidap berbagai ententitas penyakit infeksi. Pada


stadium-stadium awal, cairan spinal pasien sindrom VogtKoyanagi-Harada

mungkin

menunjukkan

peningkatan

protein dan jumlah sel mononukleus. Pengobatan kedua


kondisi tersebut sedikitnya memerlukan steroid sistemik
2.2.3

dan sering kali terapi imunosupresif oral.


Arteritis sel raksasa
Arteritis sel raksasa mungkin menyebabkan gangguan berat
pada mata. Kondisi ini dijumpai pada kelompok lansia,
biasanya disertai sakit kepala dan sejumlah keluhan sistemik
termasuk polimialgia rematika. Komplikasi pada mata berupa
neuropati optic iskemik anterior dan oklusi arteri centralis
retinae. Pasien-pasien yang demikian memperlihatkan infiltrasi
luas sel raksasa dan sel mononukleus di dinding pembuluh
darah.

2.2.4

Poliarteritis nodosa
Poliarteritis nodosa adalah suatu vaskulitis yang terutama
mengenai pembuluh berukuran kecil-sampai sedang. Kelainan
ini dapat mengenai segmen anterior dan posterior mata. Kornea
pasien mungkin memperlihatkan infiltrasi sel dan penipisan di
perifer. Pembuluh-pembuluh retina dan siliaris memperlihatkan
peradangan nekrotikans luas yang ditandai oleh serbukan

2.2.5

eosinofil, sel plasma dan limfosit


Granuloma Wegener
Granulomatosis Wegener adalah vaskulitis sistemik lain dengan
potensi manifestasi pada mata. Pada kelainan ini, peradangan
granulomatosa nekrotikans terutama melibatkan saluran napas
atas dan ginjal. Keterlibatan mata biasanya berupa skleritis dan
keratitis ulseratif perifer, tetapi dapat timbul vaskulitis di retina.

2.2.6

Keberadaan cANCA berguna dalam penegakan diagnosis.


Penyakit Behcet
Posisi penyakit Behcet dalam klasifikasi gangguan imunologi
masih belum jelas. Penyakit ini ditandai oleh iridosiklitis

35

rekurens disertai hipopion dan vaskulitis oklusif pembuluhpembuluh retina. Walaupun penyakit ini memiliki banyak
gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya
perubahan gambaran komplemen serum yang mencolok pada
permulaan serangan mengisyaratkan suatu kelainan kompleks
imun. Selain itu, baru-baru ini dideteksi adanya kompleks imun
berkadar tinggi dalam darah pasien-pasien penyakit Behcet.
Sebagian besar pasien dengan gejala-gejala pada matanya
positif untuk HLA-B51- suatu subtype HLA-B5, dan
merupakan keturunan Mediterania timur atau Asia tenggara.
2.2.7

Dermatitis kontak
Dermatitis kontak pada palpebrae menggambarkan penyakit
yang

bermakna

namun

ringan

yang

disebabkan

oleh

hipersensitivitas tipe lambat. Obat-obatan topical- seperti


brimonidin dan atropine, pengawet tetes mata, kosmetik
berparfum, bahan-bahan yang terkandung dalam bingkai kaca
mata plastic, dan bahan-bahan topical lainnya dapat berfungsi
sebagai

hapten

menimbulkan

yang

tersensitisasi.

sensitisasinya

berbentuk

Bila

bahan

tetesan,

yang

palpebra

inferior terkena lebih luas daripada palpebra superior. Yang


khas pada dermatitis kontak adalah keterlibatan periorbita
2.2.8

berupa lesi kulit vesicular, eritematosa, dan gatal.


Keratokonjungtivitis fliktenularis
Keratokonjungtivitis fliktenularis mencerminkan suatu respons
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen mikroba tertentu,
terutama antigen M. tuberculosis dan Staphylococcus aureus.

Reaksi Tandur Kornea


Kornea adalah salah satu dari jaringan manusia yang pertama kali berhasil
ditandur (graft). Kenyataan bahwa resipien tandur kornea umumnya menoleransi
36

tindakan tersebut dapa disebabkan oleh (1) tidak adanya pembuluh darah atau
limfe di kornea normal, (2) kurangnya sel penampil antigen (antigen presenting
cell), (3) ekspresi ligan Fas oleh sel-sel epitel dan endotel kornea, yang
menginduksi apoptosis sel-sel radang, (4) deviasi imun didapat bilik mata depan
(anterior chamber acquired immune deviation).
Mekanisme selular maupun humoral diperkirakan berperan dalam reaksi tandur
kornea. Penolakan tandur dini (2-4 minggu setelah pembedahan) kemungkinan
merupakan reaksi yang diperantarai sel. Limfosit sitotoksik ditemukan di daerah
limbus dan stroma individu yang mengalami, dan pemeriksaan dengan mikroskop
fase in vivo memperlihatkan serangan sungguhan terhadap sel endotel donor oleh
limfosit-limfosit tersebut. Akan tetapi, sel T CD8 mencit yang dibuat tak sadar
menunjukkan suatu perkembangan respon penolakan yang hebat, dengan
dominasi sel-sel radang hipersensitivitas tipe lambat, ini mengisyaratkan bahwa
sel-sel T sitolitik mungkin tidak penting dalam reaksi penolakan tandur. Limfositlimfosit yang memperantarai penolakan tersebut biasanya bergerak ke dalam dari
perifer kornea, membentuk apa yang disebut sebagai garis penolakan saat selsel tersebut bergerak ke bagian sentral. Kornea donor menjadi edema setelah
endotel melemah akibat akumulasi sel-sel limfoid.
Penolakan fase lambat suatu tandur kornea dapat terjadi beberapa minggu atau
bulan setelah penanaman jaringan donor ke mata resipien. Reaksi semacam ini
kemungkinan diperantarai oleh antibody karena pada anyaman pembuluh kornea
ditemukan adanya antibody sitotoksik dari serum pasien yang memiliki riwayat
reaksi penolakan tandur multiple. Reaksi-reaksi antibody ini dependen terhadap
komplemen dan menarik leukosit polimorfonuklear, yang mungkin membentuk
cincin-cincin padat di kornea di tempat-tempat pengendapan kompleks imun yang
terbanyak. Pada hewan percobaan, dapat diciptakan reaksi serupa oleh xenograft
kornea, tetapi intensitas reaksi dapat dikurangi secara bermakna dengan
mengurangi populasi leukosit melalui terapi mechlorethamine. (Vaughan, 2000)
Pengobatan

37

Pengobatan utama reaksi tandur kornea adalah pemberian kortikosteroid. Obat ini
biasanya diberikan dalam bentuk tetes mata (mis, prednisolon asetat 1% setiap
jam) sampai tanda-tanda klinis mereda. Tanda-tanda klinis tersebut adalah
hyperemia konjungtiva di daerah perilimbus, kornea yang keruh, adanya sel dan
protein di bilik mata depan, dan keratik precipitate di endotel kornea. Semakin
dini pengobatan diberikan, semakin baik hasilnya. Beberapa kasus mungkin
memerlukan tambahan kortikosteroid sistemik atau periokular selain terapi tetes
mata local. Steroid intravena dosis tinggi juga efektif bila diberikan sebelum hari
ke 8 onset masa penolakan. Kadang-kadang, vaskularisasi dan kekeruhan kornea
terjadi dengan cepat sehingga pemberian kortikosteroid tidak berguna. Namun,
reaksi tandur kornea yang paling tidak memiliki harapan sekalipun terkadang
masih dapat dipulihkan dengan pemberian kortikosteroid. Siklosporin oral
dilaporkan berhasil dalam pengobatan reaksi penolakan tandur kornea, dan tetes
mata siklosporin juga dapat memberikan manfaat.
Pasien-pasien yang diketahui sering mengalami reaksi penolakan tandur kornea
ditangani dengan cara yang sedikit berbeda, terutama bila penyakit mengenai satusatunya mata yang dimiliki. Beberapa ahli bedah mungkin memilih untuk mencari
kecocokan HLA yang dekat antara donor dan resipien. Praterapi resipien dengan
obat-obat imunosupresif, seperti azatioprin, siklosporin, atau, yang terbaru,
mycophenolate mofetil juga terpaksa diberikan pada beberapa kasus. (Vaughan,
2000)

38

BAB 3. KESIMPULAN

Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh
reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Mata dilengkapi
dengan sistem imun baik imunitas alami maupun spesifik. Mata pada
dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya terlibat dalam reaksi
imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari lapisan cairan air mata dan
konjungtiva; (2 ) sclera, (3) Uvea, dan (4) retina.
Kelainan umunologi pada mata dibagi menjadi 2 macam yaitu yang
diperantarai oleh antibodi dan yang diperantarai oleh sel. Penyakit
imunologi yang diperantarai oleh antibodi antara lain konjungtivitis Hay
fever,

konjungtivitis

vernal,

keratokonjungtivitis

atopic,

penyakit

Rheumatoid, retinopati SLE, dan Stenen Johnsons Syndrome. Penyakit


imunologi yang diperantarai oleh sel antara lain sarccoidosis mata,
oftalmia simpatika, sindrom Vogt Koyanagi Harada, arthritis sel raksasa,
poliartritis nodusa, reaksi tandur kornea dan lain-lain yang telah
disebutkan pada bab sebelumnya.
Secara garis besar pengobatan penyakit imunologi pada mata adalah
dengan menggunakan agen-agen imunosupresan salah satunya adalah
kortikosteroid. Pemakaiaan kortikosteroid jangka panjang inilah yang
harus diperhatikan oleh para klinisi karena pemakaian kortikosteroid
jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam efek samping baik
lokal maupun sistemik. Oleh karena itu para klinisi sebaiknya selalu
mengvaluasi terapi dari pasien yang menderita penyakit imunologi serta
mengedukasi pasien tersebut untuk kontrol rutin dan mematuhi aturan
penggunaan obat imunosupresan.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology.2007-2008. Lens and Cataract, p 112136


2. American Academy of Opthalmology. 2011-2012. Ocular Imunology, p 173223 dalam External Disease and Cornea Basic and Clincal Science Course.
USA: AAO
3. Asbury Taylor, Sanitato James J. Trauma, dalam Vaughan Daniel G, Abury
Taylor, Eva Paul Riordan. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2007. Hal: 372-78
4. Bielory, Leonard . 2000.
Part II: Ocular allergy.

Allergic and immunologic disorders of the eye


Diunduh tanggal 17 Februari 2012.

http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(00)75400-5/fulltext

5. Bielory, Leonard . 2000. Allergic and immunologic disorders of the eye


Part I: Immunology of The Eye. Diunduh tanggal 17 Februari 2012.
http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(00)225165/fulltext
6. Gerhard K. Lang. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd. Stuttgart
New York. 2006.
7. Haryana, Sofia Mubarika dan Soesatyo, Marsetyawan. 1993. Dasar-dasar
Imunologik pada Penyakit Mata. Cermin Dunia Kedokteran No. 87. Diun duh
tanggal 18 Februari 2012.
8. Ilyas, Sidarta. 2008.Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9. James, B., Chew, C., Bron, A. 2007. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta :
Erlangga Medical Series.
10. Popa, Eliane R. dkk. 1999. Differential B- and T-cell activation in Wegeners
granulomatosis.
Diunduh
tanggal
17
Februari
2012.
http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(99)70434-3/fulltext

40

11. Patel, Sayjal j. 2002. Ocular manifestations of autoimmune disease. American


family physician volume 66, number 6. Diunduh tanggal 20 februari 2012.
Www.aafp.org/afp
12. Sugita, Sunao dkk. 2006. Ocular Infiltrating CD4+ T Cells from Patients with
Vogt-Koyanagi-Harada Disease Recognize Human Melanocyte Antigens.
Diunduh
tanggal
17
Februari
2012.
http://www.jimmunol.org/content/165/12/7323.full

13. Tim Penyusun. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata. Surabaya : RSUD dr. SoetomoWijana, Nana, 1993. Ilmu Penyakit Mata
. Jakarta : Abadi Tegal.
14. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. 2002. Oftalmologi Umum.
Jakarta : Widya Medika.
15. Kanski, Jack J. 2011. Clinical Ophthamology : A System Approach 7th
edition. New York : Elsevier.

41

Anda mungkin juga menyukai