Disusun oleh:
Made Diah Ayu M. R, S.Ked
Astri Taufi Ramadhani, S. Ked
07700203
072011101037
Dosen Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................4
BAB 1. SISTEM IMUN PADA MATA.................................................................5
1.1
Konjungtiva............................................................................................6
1.2
Film airmata...........................................................................................7
1.3
Kornea.....................................................................................................8
1.4
Uvea.........................................................................................................8
1.5
Korpus vitreus......................................................................................10
1.6
1.7
Lensa.....................................................................................................10
1.8
Air mata................................................................................................10
1.9
kelenjar lakrimalis...............................................................................11
1.10
1.11
Imunoglobulin......................................................................................15
2.1.1
2.1.2
Konjungtivitis Vernalis..................................................................19
2.1.3
Keratokonjungtivitis Atopik.........................................................24
2.1.4
Rhematoid Disease.........................................................................25
2.1.5
2.1.6
2.2
2.2.1
Sarcoidosis mata.............................................................................31
2.2.2
2.2.3
2.2.4
Poliarteritis nodosa........................................................................36
2.2.5
Granuloma Wegener......................................................................36
2.2.6
Penyakit Behcet..............................................................................36
2.2.7
Dermatitis kontak..........................................................................37
2.2.8
Keratokonjungtivitis fliktenularis................................................37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme Imunologi Pada Mata.........................................................6
Gambar 2. Konjungtivitis Hay Fever.....................................................................18
Gambar 3. Konjungtivitis Vernal Bentuk Palpebra................................................20
Gambar 4. Konjungtivitis Vernal Bentuk Limbal..................................................20
Gambar 5. Papil-papil Pada Keratokonjungtivitis Atopik.....................................25
Gambar 6. Vaskularisasi Kornea Pada Keratokonjungtivitis Atopik.....................25
Gambar 7. Cotton Wool Patches Pada SLE...........................................................28
Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh
reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Keadaan mata yang
meradang akibat respon imun sangat menonjol karena vaskularisasi mata
yang cukup dan sensitivitas dari pembuluh darah pada konjungtiva, yang
tertanam dalam medium yang jernih. Mata dan jaringan di sekitarnya juga
terlibat dalam berbagai gangguan yang dimediasi oleh imunologi lainnya.
(Bielory, 2000)
Ketika reaksi tersebut terjadi, hal ini tidak jarang dilihat pertama
oleh klinis ahli alergi atau imunologi, yang kemudian berada dalam posisi
untuk menghubungkan temuan okular dan sistemik dan kemudian
mengkoordinasikan terapi untuk mengobati penyakit yang mendasari (bila
ada) bukan hanya gejala lokal pada mata. (Bielory, 2000)
Mata dilengkapi dengan sistem imun baik imunitas alami maupun
spesifik. Mata pada dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya
terlibat dalam reaksi imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari
lapisan cairan air mata dan konjungtiva, yang memberikan barier utama
mata terhadap aeroalergen lingkungan, bahan kimia, dan agen infeksi, Air
mata mengandung berbagai zat anti bakteri seperti: laktoferin, betalisin,
lisosim, antibodi (2 ) sclera yang terbentuk dari kolagen terutama terlibat
dalam gangguan rematik (jaringan ikat), (3) Uvea yang sangat vaskular,
bagian yang memproduksi aqueous humor, yang terutama terlibat dalam
reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sirkulasi imun kompleks dan
reaksi hipersensitivitas cell-mediated, dan (4) retina, yang secara
fungsional merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat. Mata secara
imunologi unik karena tidak memiliki kelenjar limfe berbentuk di orbita,
kelenjar lakrimal, kelopak mata, atau konjungtiva. Limfosit biasanya
berada di substantia propria dari asinus kelenjar lakrimal dan konjungtiva.
(Bielory, 2000)
1.1 Konjungtiva
Konjungtiva adalah jaringan yang paling imunologi aktif dari mata
bagian luar dan mengalami hiperplasia limfoid dalam menanggapi
rangsangan. Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang
memanjang dari limbus mata ke tepi sudut kelopak mata. Secara
anatomis, konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian: konjungtiva bulbar,
yang meliputi bagian anterior sklera; konjungtiva palpebral, yang
melapisi permukaan bagian dalam kelopak mata, dan ruang yang
dibatasi oleh konjungtiva bulbar dan palpebral, yang merupakan
forniks atau kantung konjungtiva. Secara histologi, konjungtiva dibagi
menjadi 2 lapisan: lapisan epitelial dan substantia propia. Lapisan
epitelial terdiri dari 2 sampai 5 sel sel kolumnar bertingkat, dan lamina
propria terdiri dari jaringan ikat longgar. Substantia propria memiliki
lapisan superficial glandular, dan ada jaringan longgar, lapisan fibrous
dalam yang memungkinkan sejumlah besar cairan menumpuk pada
periorbital angioedema. Drainase dari bagian lateral mata mengalir ke
nodus preauricular sedangkan drainase dari bagian nasal konjungtiva
mengalir ke dalam nodus submental. (Bielory, 2000)
Lapisan epitelial mata biasanya tidak mengandung sel-sel inflamasi
resident seperti sel mast, eosinofil,atau basofil. Sel-sel ini biasanya
ditemukan pada lapisan di bawah permukaan epitel dalam substantia
propria. Sel mast pada konsentrasi hingga 6000/mm3 berada di
jaringan ini, sedangkan sel-sel inflamasi lainnya bermigrasi ke dalam
jaringan untuk menanggapi berbagai rangsangan. Laporan-laporan
awal populasi sel mast pada konjungtiva didasarkan pada tekhnik
immunostaining dan respon fisiologis diferensial untuk berbagai
aktivator sel mast seperti senyawa 48/80. Degranulasi sel mast dalam
konjungtiva dalam respon menanggapi senyawa 48/80 telah dibuktikan
dalam kelinci, tikus, dan marmut. Lebih dari 95% dari sel mast
konjungtiva di substantia propria adalah dari MCTC phenotype.
(Bielory, 2000)
dapat
menyebabkan
kemerahan
konjungtiva
dan
konjungtiva
kaya
dengan
pasokan limfatik,
mampu
berbagai
transforming
growth
faktor
imunosupresif
factor-2,
yang
mencakup
-melanosit-stimulating
hormon,
hampir
peningkatan
tidak
steroid
ada,
sehingga
alami.
Produksi
memberikan
aqueous
lingkungan
humor
dan
10
sel penghasil IgA adalah 10 dan 80 kali lebih banyak daripada jumlah
sel-sel penghasil IgM dan IgG masing-masing/kelenjar lakrimal.
(Haryana dan Soesatyo, 1993)
1.9 kelenjar lakrimalis
Kira-kira berjumlah 642 kelenjar pada jaringan konjungtiva atas. Sel
radang, limfosit dijumpai pada daerah interstitial dan pada kelenjar
lakrimalis asesoria. Sering dijumpai sel eosinofil dan (basofil tidak
ada) juga dijumpai IgG, IgA, IgD, dan IgE. (Haryana dan Soesatyo,
1993)
1.10 Komponen selular dan reseptor
Komponen seluler dari sistem imun mata dalam banyak hal mirip
dengan sistem imun sistemik, yang tercermin oleh conjunctivaassociated lymphoid tissue, yang secara histologis sangat mirip dengan
gut-associated lymphoid tissue atau bronchial-associated lymphoid
tissue. Populasi limfosit mirip antara semua sistem mukosa. Limfosit
tersebar di seluruh lapisan epitel konjungtiva dan membentuk lapisan
yang berbeda dalam substantia propria, saat beragreasi dalam folikel.
Sel-sel epitel yang melapisi folikel ini bermodifikasi, menampilkan
mikrovili memanjang dengan beberapa microplicae, dan tidak
mengandung sel goblet. Limfosit intraepitel didominasi CD8 +,
sedangkan dalam substantia propria sama-sama didistribusikan di
antara populasi CD4 + dan CD8 +. Konjungtiva sepenuhnya
dilengkapi untuk menangkap, memproses dan menyajikan antigen.
Secara umum dipercaya bahwa limfosit konjungtiva yang sudah
diaktivasi berjalan ke kelenjar limfe preauricular lokal dan
submandibula dan dari sana bermigrasi ke limpa dan kemudian
kembali ke konjungtiva. Organ drainase limfoid utama pada mata
adalah limpa. (Haryana dan Soesatyo, 1993)
11
adhesi
sel
juga
tampaknya
berperan
dalam
reaksi
12
13
14
1.11
Imunoglobulin
Ig dijumpai pada semua struktur mata dan jaringan sekitarnya
kompleks
imun,
dan
complement-activated
products. Hal ini dapat terlihat pada pasien dengan corneal melt
syndromes.
Kadar antibody pada airmata dapat diukur dengan beberapa metode
(misalnya, teknik spons [Schirmer tes] atau tabung kapiler). Tidak ada
perbedaan kuantitatif telah dicatat dalam penggunaan teknik spons atau
kapiler dalam pengukuran total IgE airmata.
IgA, menjadi mucosal-related immuno-globulin yang dominan,
didistribusikan berbeda dalam cairan tubuh: 80% atau lebih dari IgA
serum merupakan subclass IgA1, sedankan di sekresi eksternal, IgA1
merupakan 50% sampai 74% dari jumlah total IgA. IgA Sekretori tidak
hanya menampilkan distribusi subclass khas tetapi juga dalam bentuk
polimer melalui penambahan rantai J. Para sekretori IgA diangkut ke
dalam cairan air mata melalui komponen sekretori yang berasal sel
epitel, yang melekat pada rantai J dalam proporsi yang berbeda dari
subclass ketika kita membandingkan serum dengan cairan air mata.
Dalam sistem nonmucosal IgA1 yang mengandung sel-sel plasma
adalah 75% dari jumlah tota IgA yang mengandung jumlah sel plasma.
Meskipun IgA adalah antibodi utama terdeteksi dalam air mata
normal,
IgG
juga
tampaknya
berperan
dalam
pengendalian
konjungtivitis virus. Kadar IgG dalam airmata meningkat menjadi ratarata 1,31 mg/mL, sedangkan IgA air mata terdeteksi pada rata-rata 0,84
mg/mL pada 6 pasien dengan akut hemoragik conjunctivitis.
15
_t
en
UTF-8
16
dilakukan
penyesuaian
mengenai
jumlah
total
2.1.1
Konjungtivitis Hay Fever
Penyakit ini ditandai oleh oedem dan hiperemi konjungtiva dan palpebra,
serta rasa gatal yang selalu ada dan pengeluaran air mata. Sering timbul rasa
17
gatal serupa dihidung serta rinorea. Konjungtiva tampak pucat dan sembab
akibat edema hebat, yang onsetnya sering cepat. Insidens penyakit musiman,
sebagian pasien mampu menentukan onset gejala-gejala pada waktu yang
sama setiap tahun. Waktu-waktu tersebut biasanya berhubungan dengan
pengeluaran serbuk sari oleh rumput, pohon, atau semak tertentu (Vaughan
dkk, 2002; AAO, 2012).
Patogenesis Imunologik
Kelainan ini dikenal sebagai salah satu bentuk penyakit atopic dengan
kerentanan herediter yang tak langsung. IgE melekat pada sel mast yang
terletak di bawah epitel konjungtiva. Kontak antigen penyebab dengan IgE
memicu pelepasan zat-zat vasoaktif, terutama leukotrien dan histamine, yang
akan menimbulkan vasodilatasi dan kemosis. (Vaughan, 2002)
Diagnosis Imunologik
Kerokan epitel konjungtiva penderita konjungtivitis hay fever dengan
pewarnaan Giemsa memperlihatkan banyak eosinofil. Individu-individu
18
tersebut memperlihatkan respon tipe cepat, dengan wheal and flare, ketika
dilakukan uji gores kulit dengan ekstrak serbuk sari atau antigen penyebab
lainnya. Biopsi dari kulit yang diuji kadang-kadang memperlihatkan gambaran
lengkap reaksi Arthus, berupa pengendapan kompleks imun di dinding
pembuluh-pembuluh dermis. (Vaughan, 2002)
Pengobatan Imunologik
a. Imunoterapi,
Dengan cara pemberian serbuk sari atauu allergen yang dicurigai
lainnya secara sublingual atau suntikan subkutis dengan dosis rendah
dan semakin tinggi (ditingkatkan secara bertahap),
b. Antihistamin topical,
c. Penstabil sel mast,
d. Kortikosteroid. (AAO, 2012)
2.1.2
Konjungtivitis Vernalis
19
20
pterigium pada usia muda. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang
dengan cepat akan mengalami degenerasi. (Vaughan, 2002)
Diagnosis Imunologik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva
untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan
banyak eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu,
terdapat basofil dan granula basofilik bebas. (Vaughan, 2002)
Pengobatan Imunologik
21
serbuksari;
Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak
dengan alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru
2. Terapi topikal
Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi saline
steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10%20% tetes mata.
Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala.
Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan
22
topical prednisolone fosfat 1%, 6-8 kali sehari selama satu minggu.
Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai ke dosis
terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Bila sudah terdapat
ulkus kornea maka kombinasi antibiotik steroid terbukti sangat
efektif.
Antihistamin
Antibakteri
Siklosporin
Stabilisator sel mast seperti Sodium kromolin 4% dan Lodoksamid
0,l%.
-
3. Terapi Sistemik
Pada kasus yang lebih parah, bisa juga digunakan steroid sistemik
seperti prednisolone asetat, prednisolone fosfat, atau deksamethason
fosfat 23 tablet 4 kali sehari selama 12 minggu.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat dipertimbangkan
yang
dialami
pasien.
Apabila
dikombinasi
dengan
Keratokonjungtivitis Atopik
Dapat mengenai segala usia dan tidak memperlihatkan insiden
23
24
2.1.5
mata
kering
(konjungtivitis
Sicca)
dan
konjungtivitis
26
b.
edema papil.
Akibat hipertensi
yang
berlangsung
lama:
karena
SLE
27
Patogenesis Imunologik
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan
lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk :
1.
2.
3.
4.
29
Penyakit ini paling sering dipicu oleh obat-obatan seperti sulfonamide atau
penyakit-penyakit seperti infeksi herpes simpleks atau mikoplasma. (AAO,
2012)
Patogenesis Imunologik
Menunjukkan hipersensitivitas tipe III yang terdiri dari pengendapan
kompleks imun di dermis dan stroma konjungtiva. Pengendapan ini dapat
menimbulkan konjungtivitis sikatrikan yang berpotensi menyebabkan jaringan
parut dan kekeringan berat di kornea. (Vaughan, 2002; AAO, 2012)
30
didasarkan
pada
penarikan
31
imunosupresan.
Oftalmia simpatika dan sindrom Vogt-Koyanagi-harada
Kedua penyakit ini dibahas bersama-sama karena keduanya
memiliki kesamaan gambaran klinis tertentu. Keduanya
diperkirakan mencerminkan suatu fenomena autoimun yang
mengenai struktur berpigmen di mata dan kulit, dan keduanya
Penyakit
dapat
berkembang
menjadi
32
awal
mungkin
membaik
dengan
cepat,
Vogt-Koyanagi-Harada
biasanya
merupakan
33
dianggap
diperantarai
penyakit
autoimun
mungkin
menunjukkan
peningkatan
2.2.4
Poliarteritis nodosa
Poliarteritis nodosa adalah suatu vaskulitis yang terutama
mengenai pembuluh berukuran kecil-sampai sedang. Kelainan
ini dapat mengenai segmen anterior dan posterior mata. Kornea
pasien mungkin memperlihatkan infiltrasi sel dan penipisan di
perifer. Pembuluh-pembuluh retina dan siliaris memperlihatkan
peradangan nekrotikans luas yang ditandai oleh serbukan
2.2.5
2.2.6
35
rekurens disertai hipopion dan vaskulitis oklusif pembuluhpembuluh retina. Walaupun penyakit ini memiliki banyak
gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya
perubahan gambaran komplemen serum yang mencolok pada
permulaan serangan mengisyaratkan suatu kelainan kompleks
imun. Selain itu, baru-baru ini dideteksi adanya kompleks imun
berkadar tinggi dalam darah pasien-pasien penyakit Behcet.
Sebagian besar pasien dengan gejala-gejala pada matanya
positif untuk HLA-B51- suatu subtype HLA-B5, dan
merupakan keturunan Mediterania timur atau Asia tenggara.
2.2.7
Dermatitis kontak
Dermatitis kontak pada palpebrae menggambarkan penyakit
yang
bermakna
namun
ringan
yang
disebabkan
oleh
hapten
menimbulkan
yang
tersensitisasi.
sensitisasinya
berbentuk
Bila
bahan
tetesan,
yang
palpebra
tindakan tersebut dapa disebabkan oleh (1) tidak adanya pembuluh darah atau
limfe di kornea normal, (2) kurangnya sel penampil antigen (antigen presenting
cell), (3) ekspresi ligan Fas oleh sel-sel epitel dan endotel kornea, yang
menginduksi apoptosis sel-sel radang, (4) deviasi imun didapat bilik mata depan
(anterior chamber acquired immune deviation).
Mekanisme selular maupun humoral diperkirakan berperan dalam reaksi tandur
kornea. Penolakan tandur dini (2-4 minggu setelah pembedahan) kemungkinan
merupakan reaksi yang diperantarai sel. Limfosit sitotoksik ditemukan di daerah
limbus dan stroma individu yang mengalami, dan pemeriksaan dengan mikroskop
fase in vivo memperlihatkan serangan sungguhan terhadap sel endotel donor oleh
limfosit-limfosit tersebut. Akan tetapi, sel T CD8 mencit yang dibuat tak sadar
menunjukkan suatu perkembangan respon penolakan yang hebat, dengan
dominasi sel-sel radang hipersensitivitas tipe lambat, ini mengisyaratkan bahwa
sel-sel T sitolitik mungkin tidak penting dalam reaksi penolakan tandur. Limfositlimfosit yang memperantarai penolakan tersebut biasanya bergerak ke dalam dari
perifer kornea, membentuk apa yang disebut sebagai garis penolakan saat selsel tersebut bergerak ke bagian sentral. Kornea donor menjadi edema setelah
endotel melemah akibat akumulasi sel-sel limfoid.
Penolakan fase lambat suatu tandur kornea dapat terjadi beberapa minggu atau
bulan setelah penanaman jaringan donor ke mata resipien. Reaksi semacam ini
kemungkinan diperantarai oleh antibody karena pada anyaman pembuluh kornea
ditemukan adanya antibody sitotoksik dari serum pasien yang memiliki riwayat
reaksi penolakan tandur multiple. Reaksi-reaksi antibody ini dependen terhadap
komplemen dan menarik leukosit polimorfonuklear, yang mungkin membentuk
cincin-cincin padat di kornea di tempat-tempat pengendapan kompleks imun yang
terbanyak. Pada hewan percobaan, dapat diciptakan reaksi serupa oleh xenograft
kornea, tetapi intensitas reaksi dapat dikurangi secara bermakna dengan
mengurangi populasi leukosit melalui terapi mechlorethamine. (Vaughan, 2000)
Pengobatan
37
Pengobatan utama reaksi tandur kornea adalah pemberian kortikosteroid. Obat ini
biasanya diberikan dalam bentuk tetes mata (mis, prednisolon asetat 1% setiap
jam) sampai tanda-tanda klinis mereda. Tanda-tanda klinis tersebut adalah
hyperemia konjungtiva di daerah perilimbus, kornea yang keruh, adanya sel dan
protein di bilik mata depan, dan keratik precipitate di endotel kornea. Semakin
dini pengobatan diberikan, semakin baik hasilnya. Beberapa kasus mungkin
memerlukan tambahan kortikosteroid sistemik atau periokular selain terapi tetes
mata local. Steroid intravena dosis tinggi juga efektif bila diberikan sebelum hari
ke 8 onset masa penolakan. Kadang-kadang, vaskularisasi dan kekeruhan kornea
terjadi dengan cepat sehingga pemberian kortikosteroid tidak berguna. Namun,
reaksi tandur kornea yang paling tidak memiliki harapan sekalipun terkadang
masih dapat dipulihkan dengan pemberian kortikosteroid. Siklosporin oral
dilaporkan berhasil dalam pengobatan reaksi penolakan tandur kornea, dan tetes
mata siklosporin juga dapat memberikan manfaat.
Pasien-pasien yang diketahui sering mengalami reaksi penolakan tandur kornea
ditangani dengan cara yang sedikit berbeda, terutama bila penyakit mengenai satusatunya mata yang dimiliki. Beberapa ahli bedah mungkin memilih untuk mencari
kecocokan HLA yang dekat antara donor dan resipien. Praterapi resipien dengan
obat-obat imunosupresif, seperti azatioprin, siklosporin, atau, yang terbaru,
mycophenolate mofetil juga terpaksa diberikan pada beberapa kasus. (Vaughan,
2000)
38
BAB 3. KESIMPULAN
Mata adalah target umum dari respon peradangan yang dipicu oleh
reaksi imunologi lokal dan sistemik hipersensitivitas. Mata dilengkapi
dengan sistem imun baik imunitas alami maupun spesifik. Mata pada
dasarnya dibangun dari 4 lapisan yang umumnya terlibat dalam reaksi
imunologi: (1) bagian anterior yang terdiri dari lapisan cairan air mata dan
konjungtiva; (2 ) sclera, (3) Uvea, dan (4) retina.
Kelainan umunologi pada mata dibagi menjadi 2 macam yaitu yang
diperantarai oleh antibodi dan yang diperantarai oleh sel. Penyakit
imunologi yang diperantarai oleh antibodi antara lain konjungtivitis Hay
fever,
konjungtivitis
vernal,
keratokonjungtivitis
atopic,
penyakit
39
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(00)75400-5/fulltext
40
13. Tim Penyusun. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata. Surabaya : RSUD dr. SoetomoWijana, Nana, 1993. Ilmu Penyakit Mata
. Jakarta : Abadi Tegal.
14. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan-Eva, P. 2002. Oftalmologi Umum.
Jakarta : Widya Medika.
15. Kanski, Jack J. 2011. Clinical Ophthamology : A System Approach 7th
edition. New York : Elsevier.
41