Anda di halaman 1dari 12

AL-TASHIH WA AL-TADHIF;

SEBUAH POLEMIK PENILAIAN HADITS


(Disusun untuk memenuhi tugas Studi Hadits)

Dosen Pengampu :
Dr. H. Dzulfikar Rodafi, Lc. MA.

Disusun oleh:
M. Shoiful Muchlish A (21502011002)

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM


KONSENTRASI FIQIH
Pascasarjana Universitas Islam Malang
Mei 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam Islam, hadits merupakan sumber kedua dari


dua sumber utama. Dalam perjalanannya hadits memiliki
sejarah yang sangat panjang, mulai masa periwayatan
hingga masa kodifikasi, pembahasan tentangnya selalu
berkembang dari masa ke masa.
Sebagai sumber Islam, hadits dengan posisinya yang
sangat strategis dan perannya yang sangat penting
sehingga tidak sedikit golongan yang menggunakannya
sebagai alat legitimasi untuk kepentingan mereka. Bahkan
tak jarang yang dengan berani melakukan fabrikasi hadits
demi memperkuat golongan masing-masing.
Fenomena di atas tentu saja menyebabkan
munculnya keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadits sebagai
sumber otoritas kedua setelah al-Quran. Hal ini terletak pada keraguan
mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan
originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan
bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak
steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang.1
Para rawi yang meriwayatkan hadits juga bermacam-macam, ada
yang jujur dan kuat hafalannya ada pula yang sebaliknya. Kriteria rawi
seperti itu nantinya yang akan menentukan kualitas hadits. Oleh karena itu,
dilakukanlah kritik terhadap hadis- hadis yang beredar.
Dalam kajian hadits, studi sanad hadits menjadi salah satu obyek
kajian dan penelitian yang sangat penting, karena kedudukannya yang
menentukan otentisitas dan derajat sebuah hadits. Sebab untuk menerima
sebuah hadits tidak cukup hanya dengan pengakuan bahwa hadits yang
diriwayatkan itu adalah otentik berasal dari Nabi SAW. Namun di samping
itu, seberapa jauh tingkat kualifikasi seorang perawi hadits, apakah dilihat
dari adalah, dhabith, tsiqah-nya atau dilihat dari tingkat ketakwaannya,
1 Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadits, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif, dalam (http://www.pusat studi hadits fakultas agama islam
universitas islam makassar), diakses pada 18 April 2016.

akan sangat menentukan derajat hadits itu sendiri, apakah shahih, hasan
atau dhaif.
Para muhadditsin selanjutnya melakukan kajian-kajian kritik hadits
melalui studi al-Jarh wa al-Tadil dan melakukan verifikasi hadits dengan
al-Tashih wa al-Tadhif terhadap semua hadits dan sanadnya. Namun
mereka berbeda pendapat dalam memberikan kriteria atau syarat bagi
perawi hadits untuk dinilai apakah hadits-hadits yang diriwayatkannya
dapat diterima atau tidak. Langkah itu dimaksudkan sebagai tindakan
preventif terhadap upaya pemalsuan hadits atau menjaga otensitas hadits
nabi itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini akan
memfokuskan pada:
1. Bagaimana pengertian al-Tashih wa al-Tadhif dalam studi Hadits?
2. Bagaimana metode para muhadditsin dalam melakukan al-Tashih wa
al-Tadhif ?
3. Bagaimana hukum ulama mutaakhirin apabila ingin melakukan alTashih wa al-Tadhif ?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini bertujuan
mendeskripsikan:
1. Pengertian al-Tashih wa al-Tadhif dalam studi hadits.
2. Metode para muhadditsin dalam melakukan al-Tashih wa al-Tadhif.
3. hukum ulama mutaakhirin apabila ingin melakukan al-Tashih wa
al-Tadhif.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Tashih wa al-Tadhif
Penilaian kualitas hadits merupakan salah satu pembahasan pokok
dalam studi hadits karena persoalan itu merupakan tujuan dan target kajian
terhadap sunah yaitu membedakan hadits sahih dan dhaif. Penilaian
tersebut terbagi dalam dua hal, pertama penilaian hadits dengan sahih atau
hasan (Tashih) dan yang kedua penilaian hadis dengan dhaif (tadh'if).
Kata tashhih ( ) berasal dari kata shahih yang merupakan
bentuk dasar dari kata yang berarti menshahihkan. Shahih secara
etimologi berarti sehat, selamat, benar, sah terhindar dari cacat dan
keraguan2. Demikian pula kata tadhif ( )yang berasal dari kata
dhaif adalah bentuk mashdar dari kata yang berarti mendhaifkan.3
Secara etimologi dhaif berarti lemah, lawan dari kuat (qawiyy), atau
sebagai lawan dari kata shahih, sehat, kata dhaif juga berarti sakit
(saqim).
B. Metodologi al-Tashih wa al-Tadhif
Sebelum dapat menentukan kualifikasi sebuah hadits, shahih atau
dhaifnya, maka perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal
di bawah ini4:
1. Kadangkala hadits dianggap gharib, atau mungkin salah dalam
beberapa hadits, dan beberapa haditsnya tidak diikuti.
2. Kadangkala hadits tersebut digunakan sebagai hujjah di satu disiplin
ilmu namun tidak di disiplin ilmu hadits.
3. Boleh jadi seorang rawi dianggap tsiqoh, namun ia pernah
meriwayatkan/diriwayatkan darinya hadits mursal.
4. Kadangkala hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad
dianggap sebagai hadits munkar meski para perawinya maqbul.
2 Lihat Lisan al-Arab, h. 108
3Lihat Mujam al-Washith Juz 1, h. 507
4 Mazhar, Abdul Ghani bin Ahmad Jabar. Ushul al-Tashih wa al-Tadhif.
hal. 3-4.

Istilah munkar digunakan oleh beberapa ahli hadits seperti an-Nasai


dan imam Ahmad, serta beberapa ahli hadits mutaakhirin seperti alBardiji. Tidak semua hadits yang dianggap munkar itu ditolak
sampai diketahui istilah dari penilai tersebut.
Disinilah diperlukan adanya ilmu al-Jarhu wa al-Tadilu, agar
tidak tergesa-gesa dan sembrono dalam menentukan kualifikasi sebuah
hadits. Syeikh Abdurrahman al-Malami memberikan beberapa hal sebagai
pertimbangan dalam menilai rawi, di antaranya5:
1. Jika ditemukan redaksi dalam biografi rawi pendapat yang
memberikan penilaian, baik tsiqah, dhaif, ataupun takdzib maka
selanjutnya dianalisa redaksi aslinya, karena kadangkala hal itu
hanyalah nukilan secara eksplisit dan tidak terdapat redaksi aslinya.
2. Teliti hal di atas di beberapa literatur, apabila ditemukan perbedaan
maka perlu mencari redaksi yang asli.
3. Sepatutnya meneliti ungkapan dari orang yang mengeluarkan
statemen tersebut, karena boleh jadi ia memberikan penilaian
berdasarkan pengetahuannya tentang orang tersebut. Ketika ia
memperoleh informasi berbeda ia memberikan penilaian yang
berbeda pula.
4. Boleh jadi penilaian tersebut dipengaruhi oleh penilaian munkar
akan hadits tersebut.
Kemudian, untuk memahami metode al-tashih wa al-tadhif maka
perlu untuk terlebih dahulu memahami perbedaan antara hadits shahih,
hasan dan hadits dlaif.
a. Hadits shahih
Menurut Ibnu Shalah definisi hadits shahih adalah: hadits yang
sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak
syaz dan tidak muallal (terkena illat). Sedangkan menurut Ajjaj alKhatib: hadits yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan

5 Mazhar. Op. Cit. hal. 5.

perawi tsiqoh dari perawi lain yang tsiqoh pula sejak awal sampai
ujungnya (Rasulullah SAW) tanpa syuzuz tanpa illat.6
b. Hadits hasan
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil
yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat
ingatannya) serta terhindar dari syaz maupun illat.7
Letak perbedaan antara hadits shahih dan hadits hasan terletak pada
tingkat atau kualitas ke-dhabit-annya rawi. Rawi dengan tingkat
dhabit yang tinggi menjadikan hadits yang ia riwayatkan menjadi
shahih, demikian sebaliknya.
c. Hadits dlaif
Dhaif secara etimologi adalah lawan dari kuat. Hadits dhaif menurut
istilah adalah: hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.8
Diantara

para

ulama

terdapat

perbedaan

rumusan

dalam

mendefinisikan hadits dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan
maksudnya sama. An-Nawawi mendefinisikannya dengan: hadits
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.9 Sedangkan As-Suyuthi mendefinisikan
6 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304-305.
7 Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar alIlm,
1988), h. 156
8 Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis diterjemahkan
oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, (jakarta:
Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) h. 129.
9 Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif
(Kairo: Dar Thibaah al-Muhammadiyah, 1992) h. 6

hadits dhaif adalah: Hadits yang hilang salah satu syarat atau
keseluruhan dari syarat-syarat hadits maqbul, atau dengan kata lain
hadits yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadits
maqbul.
Melihat beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa para ahli hadits belum menemukan kesepakatan dalam
standarisasi hadits shahih. Satu ahli hadits memberikan kriteria yang
berbeda dengan ahli hadits lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut
bukanlah perbedaan yang substansial, namun hanya pemilihan redaksi
sematalah yang membedakannya. Dalam arti, antara satu kriteria dengan
kriteria lainnya menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam pemahaman
ciri hadits shahih.
Di antara kriteria persyaratan sebuah hadits dapat diklasifikasikan
sebagai hadits shahih ialah: (1) muttashil (bersambung) sanadnya, (2) para
perawinya adil, (3) para perawinya dhabith, (4) yang diriwayatkan tidak
syaz (janggal), dan (5) yang diriwayatkan terhindar dari illat (cacat).
Hal ini senada dengan kriteria yang telah diberikan oleh Imam
Bukhari yang notabene oleh umat Islam dianggap sebagai orang nomor
satu dalam sejarah periwayatan hadits, sehingga kitabnya al-Jami alShahih menjadi rujukan utama dalam ilmu hadits karena dinilai mayoritas
hadits di dalamnya merupakan hadits shahih. Hal ini disebabkan kriteria
dan metode al-Tashih wa al-Tadhif Iman Bukhari yang sangat ketat.
Kriteria Imam Bukhari tersebut adalah:
1. Perawi harus adil, dhabith, tsiqah, tidak mudallis (berdusta)
2. Sanadnya bersambung (Muttashil), tidak mursal, munqathi, atau
mudhal.
3. Matan hadits tidak janggal dan tidak cacat.
Berkenaan dengan syarat ittishal yang ditetapkan Bukhari, alHusaini, mengutip keterangan Ibn Hajar, menjelaskan bahwa maksud dari
ittishal adalah bahwa seorang perawi tidak saja harus sezaman
(muasharah) dengan marwi anhu (orang yang diriwayatkan haditsnya

oleh perawi), tetapi harus juga bertemu (liqa) meskipun hanya sekali.10
Oleh karena itu, maka ulama mengatakan bahwa Bukhari memiliki dua
syarat; syarat muasharah dan syarat liqa.
Di samping beberapa syarat di atas, Bukhari juga menetapkan
kriteria tingkat perawi (Thabaqat al-Ruwat) dalam haditsnya. Hammam
Abdurrahim menjelaskan Thabaqat al-Ruwat menurut Bukhari sebagai
berikut:11
1. Tingkatan pertama adalah para perawi yang terkenaladil, dhabith,
dan lama bersama gurunya.
2. Tingkatan kedua adalah para perawi yang terkenal adil, dhabith,
tetapi sebentar bersama gurunya.
3. Tingkatan ketiga adalah para perawi yang lama bersama gurunya,
tetapi kurang ke-dhabith-annya.
4. Tingkatan keempat adalah para perawi yang sebentar bersama
gurunya dan kurang ke-dhabith-annya.
5. Tingkatan kelima adalah para perawi yang terdapat cacat atau cela
pada dirinya.
Dari kelima tingkatan perawi (Thabaqat al-Ruwat) di atas, Bukhari
mengambil tingkatan pertama dari para perawi hadits untuk diambil hadits
darinya. Dengan demikian baik syarat (syuruth al-Shihhah) hadits maupun
tingkatan perawinya Bukhari tampaknya selalu mengambil kriteria yang
tertinggi. Maka tidak heran jika kemudian ia dinobatkan sebagai ahli
hadits paling terkemuka.
Kemudian, berdasarkan definisi dan beberapa kriteria hadits shahih
di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila dari beberapa syarat sebuah
hadits dikategorikan shahih tersebut ada satu atau lebih yang tidak
terpenuhi, hal ini akan menjadikan hadits tersebut masuk dalam kategori
hadits dhaif.

10 Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhari, Muhadditsan wa


Faqihan, (Kairo: Dar al-Qaumiyyah, ttp), h. 28-29
11 Hammam Abdurrahim, al-Fikr al-Manhaji Inda al-Muhadditsin,
(Qathar: Kitab al-Ummat, 1408), h. 119.

C. Al-Tashhih wa al-Tadhif Masa Kini


Dalam al-Tashhih wa al-Tadhif , akan ditemukan dua golongan
ketika berbicara mengenai boleh tidaknya ulama mutaakhirin melakukan
hal tersebut. Pendapat pertama, merupakan kelompok yang melarang ahli
hadits mutaakhirin melakukan al-tashhih wa al-tadhif. Kelompok ini
diwakili oleh imam Ibnu Shalah dengan pendapatnya bahwa ulama
mutaakhirin tidak boleh melakukan al-tashhih wa al-tadhif apabila
menemukan hadits yang belum dihukumi oleh para ulama sebelumnya.
Ibnu Shalah beralasan dengan kekurangmampuan ulama
mutaakhirin menilai hadits, sebab keshahihan hadits tidak hanya terkait
dengan ketersambungan sanad dan ke-adil-an maupun ke-dhabith-an
perawi semata, akan tetapi lebih juga harus memenuhi dua unsur penting
lain yang berkaitan dengan matan yaitu tidak adanya syaz dan illat yang
tidak kasat mata yang sulit dipelajari karena hal itu sangat rumit kecuali
oleh para kritikus hadits handal (nuqqad).12 Kalaupun hadits itu shahih
tentu telah mendapat penilaian dari para ulama salaf karena ketelitian dan
kecermatan serta kecerdasan mereka.
Ibnu Khuzaimah sendiri lebih memilih berhati-hati dalam menilai
sebuah hadits dan tidak bersikap gegabah, justru ia sering tidak
memberikan penilaian atau mentashih dengan kata-katanya yang khas,in
sohhal khabar, in tsabata kadza.13
Golongan kedua yang diwakili oleh Imam Nawawi membolehkan
ulama mutaakhirin melakukan al-tashhih wa al-tadhif dengan syarat
memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan dan penelitian hadits yang
baik. Hal ini karena penilaian bukanlah hak ulama salaf saja, namun bagi
setiap orang yang memiliki kredibilitas dalam hal tersebut.14
Adapun menilai dhaif terhadap suatu hadits mayoritas ulama' telah
bersepakat untuk tidak memperbolehkan seseorang mendhaifkan hanya
12 Al-Iraqi. Attaqyid wal Idhoh syarah Muqaddimah Ibnu Shalah, t.
Abdurrahman Muhammad Utsman, Darul Fikril Arabi hal: 23
13 Al-Suyuthi. Tadriburrawi. jild 1 hal: 63

karena kelemahan sanad, karena masih dimungkinkan terdapat sanad lain


yang kuat seperti hadits Jabir tentang manasik hajinya Rasulullah SAW
yang diriwiyatkan sekitar sembilan tabiin atau sembilan jalur (thariq). Jika
seorang alim kemudian menjumpai hadits seperti itu seyogyanya ia
mengatakan, "hadits ini sanadnya lemah" artinya sanadnya saja yang
lemah tapi hadits secara keseluruhan belum tentu demikian.15

14 Al-Nawawi. Al-Taqrib wa al-Taitsiir Lima'rifati Sunan al-Basyir alNadlir. Daarul Masyari' t. Kamal al-Khut hal: 22
15 Muhammad Alkhusyu'I, Ghayatul Idhoh fi Ulumil Istilah. th 1424 H/ 2004
M, hal: 180

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dewasa ini banyak ditemukan di dalam kitab baik klasik maupun
kontemporer, penyebutan hadits dengan kualifikasinya, shahih, hasan atau
dhaif. Terutama di dalam kitab fiqih, hal semacam itu akan banyak
dijumpai.
Proses pemberian nilai tersebut dalam ilmu hadits dikenal dengan
al-Tashih wa al-Tadhif. sebuah metode yang banyak digunakan oleh
muhadditsin terutama pada masa purifikasi hadits. Hal ini, pada saat itu,
merupakan satu hal yang memiliki urgensitas tinggi untuk dilakukan demi
mendapatkan hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW karena
terlalu banyaknya hadits-hadits palsu yang bermunculan untuk legitimasi
kepentingan pribadi maupun golongan.
Dalam al-Tashih wa al-Tadhif ulama telah memberikan ramburambu guna menentukan mana hadits shahih dan mana hadits dhaif. di
antaranya adalah (1) ketersambungan sanad, (2) rawi yang adil, dan (3)
rawi yang dhabith. Imam Bukhari memberikan dua persyaratan lagi demi
mendapatkan hadits dengan kualitas terbaik, yaitu (1) muasharah dan (2)
liqa.
Bagi ulama mutaakhirin, bukanlah sebuah hal yang terlarang
untuk melakukan al-Tashih wa al-Tadhif apabila menemukan hadits yang
belum mendapat penilaian dari ulama salaf. Hanya saja, disyaratkan harus
memiliki kredibilitas dan kapabilitas serta kapasitas keilmuan yang
mumpuni dalam melakukan penelitian hadits.
begitupun terdapat golongan yang melarang ulama mutaakhirin
melakukan al-Tashih wa al-Tadhif karena dianggap kurang mampu dalam
memberikan penilaian. Hal ini disebabkan kompleksitas persyaratan untuk
penentuan kualitas sebuah hadits.

10

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Hammam. al-Fikr al-Manhaji Inda al-Muhadditsin. Qathar: Kitab
al-Ummat.
Al-Iraqi. Attaqyid wal Idhoh syarah Muqaddimah Ibnu Shalah, t. Abdurrahman
Muhammad Utsman. Darul Fikril Arabi.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1975. Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu.
Beirut: Dar al-Fikr.
Alkhusyu'i, Muhammad. 2004. Ghayatul Idhoh fi Ulumil Istilah.
Al-Malibary, Hamzah Abdullah. Ulum al-Hadits; Fi Dlaui Tathbiqati alMuhadditsin al-Nuqqad. Multaqa Ahlil Hadits. (www.ahlalhadeeth.com)
Al-Nawawi. Al-Taqrib wa al-Taitsiir Lima'rifati Sunan al-Basyir alNadlir. Daarul Masyari' t. Kamal al-Khut.
Al-Qatthan, Manna Khalil. 2006. Mabahits Fi Ulum al-Hadits. Terj. Mifdol
Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka alKautsar cet.II.
Al-Suyuthi. Tadriburrawi. jild 1.
Amin, Kamaruddin. Problematika Ulumul Hadits, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif. dalam (http://www.pusat studi hadits fakultas agama
islam universitas islam makassar), diakses pada 18 April 2016.
Fattah, Ibrahim Abdul. 1992. Al-Qaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif.
Kairo: Dar Thibaah al-Muhammadiyah.
Hasyim, Al-Husaini Abdul Majid. al-Imam al-Bukhari, Muhadditsan wa Faqihan.
Kairo: Dar al-Qaumiyyah.
Loeis, Wisnawati. Imam Bukhari dan Metode Tashhhih dan Tadhif. dalam Turats,
Vol.
4,
No.
1,
Juni
2008.
Diakses
penulis
di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19606&val=1234 pada
18 April 2016.
Mazhar, Abdul Ghani bin Ahmad Jabar. Ushul al-Tashih wa al-Tadhif.
Shalih, Subhi.1988. Ulumul Hadis Wamustalahatuhu. Beirut: Dar alIlm.

11

Anda mungkin juga menyukai