Al-Tashih Wa Al-Tadh'if Sebuah Polemik Penilaian Hadits
Al-Tashih Wa Al-Tadh'if Sebuah Polemik Penilaian Hadits
Dosen Pengampu :
Dr. H. Dzulfikar Rodafi, Lc. MA.
Disusun oleh:
M. Shoiful Muchlish A (21502011002)
akan sangat menentukan derajat hadits itu sendiri, apakah shahih, hasan
atau dhaif.
Para muhadditsin selanjutnya melakukan kajian-kajian kritik hadits
melalui studi al-Jarh wa al-Tadil dan melakukan verifikasi hadits dengan
al-Tashih wa al-Tadhif terhadap semua hadits dan sanadnya. Namun
mereka berbeda pendapat dalam memberikan kriteria atau syarat bagi
perawi hadits untuk dinilai apakah hadits-hadits yang diriwayatkannya
dapat diterima atau tidak. Langkah itu dimaksudkan sebagai tindakan
preventif terhadap upaya pemalsuan hadits atau menjaga otensitas hadits
nabi itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini akan
memfokuskan pada:
1. Bagaimana pengertian al-Tashih wa al-Tadhif dalam studi Hadits?
2. Bagaimana metode para muhadditsin dalam melakukan al-Tashih wa
al-Tadhif ?
3. Bagaimana hukum ulama mutaakhirin apabila ingin melakukan alTashih wa al-Tadhif ?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini bertujuan
mendeskripsikan:
1. Pengertian al-Tashih wa al-Tadhif dalam studi hadits.
2. Metode para muhadditsin dalam melakukan al-Tashih wa al-Tadhif.
3. hukum ulama mutaakhirin apabila ingin melakukan al-Tashih wa
al-Tadhif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Tashih wa al-Tadhif
Penilaian kualitas hadits merupakan salah satu pembahasan pokok
dalam studi hadits karena persoalan itu merupakan tujuan dan target kajian
terhadap sunah yaitu membedakan hadits sahih dan dhaif. Penilaian
tersebut terbagi dalam dua hal, pertama penilaian hadits dengan sahih atau
hasan (Tashih) dan yang kedua penilaian hadis dengan dhaif (tadh'if).
Kata tashhih ( ) berasal dari kata shahih yang merupakan
bentuk dasar dari kata yang berarti menshahihkan. Shahih secara
etimologi berarti sehat, selamat, benar, sah terhindar dari cacat dan
keraguan2. Demikian pula kata tadhif ( )yang berasal dari kata
dhaif adalah bentuk mashdar dari kata yang berarti mendhaifkan.3
Secara etimologi dhaif berarti lemah, lawan dari kuat (qawiyy), atau
sebagai lawan dari kata shahih, sehat, kata dhaif juga berarti sakit
(saqim).
B. Metodologi al-Tashih wa al-Tadhif
Sebelum dapat menentukan kualifikasi sebuah hadits, shahih atau
dhaifnya, maka perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal
di bawah ini4:
1. Kadangkala hadits dianggap gharib, atau mungkin salah dalam
beberapa hadits, dan beberapa haditsnya tidak diikuti.
2. Kadangkala hadits tersebut digunakan sebagai hujjah di satu disiplin
ilmu namun tidak di disiplin ilmu hadits.
3. Boleh jadi seorang rawi dianggap tsiqoh, namun ia pernah
meriwayatkan/diriwayatkan darinya hadits mursal.
4. Kadangkala hadits yang diriwayatkan melalui satu jalur sanad
dianggap sebagai hadits munkar meski para perawinya maqbul.
2 Lihat Lisan al-Arab, h. 108
3Lihat Mujam al-Washith Juz 1, h. 507
4 Mazhar, Abdul Ghani bin Ahmad Jabar. Ushul al-Tashih wa al-Tadhif.
hal. 3-4.
perawi tsiqoh dari perawi lain yang tsiqoh pula sejak awal sampai
ujungnya (Rasulullah SAW) tanpa syuzuz tanpa illat.6
b. Hadits hasan
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, oleh penukil
yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat
ingatannya) serta terhindar dari syaz maupun illat.7
Letak perbedaan antara hadits shahih dan hadits hasan terletak pada
tingkat atau kualitas ke-dhabit-annya rawi. Rawi dengan tingkat
dhabit yang tinggi menjadikan hadits yang ia riwayatkan menjadi
shahih, demikian sebaliknya.
c. Hadits dlaif
Dhaif secara etimologi adalah lawan dari kuat. Hadits dhaif menurut
istilah adalah: hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.8
Diantara
para
ulama
terdapat
perbedaan
rumusan
dalam
mendefinisikan hadits dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan
maksudnya sama. An-Nawawi mendefinisikannya dengan: hadits
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
syarat-syarat hadits hasan.9 Sedangkan As-Suyuthi mendefinisikan
6 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304-305.
7 Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, (Beirut; Dar alIlm,
1988), h. 156
8 Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis diterjemahkan
oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis, (jakarta:
Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) h. 129.
9 Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif
(Kairo: Dar Thibaah al-Muhammadiyah, 1992) h. 6
hadits dhaif adalah: Hadits yang hilang salah satu syarat atau
keseluruhan dari syarat-syarat hadits maqbul, atau dengan kata lain
hadits yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadits
maqbul.
Melihat beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik satu
kesimpulan bahwa para ahli hadits belum menemukan kesepakatan dalam
standarisasi hadits shahih. Satu ahli hadits memberikan kriteria yang
berbeda dengan ahli hadits lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut
bukanlah perbedaan yang substansial, namun hanya pemilihan redaksi
sematalah yang membedakannya. Dalam arti, antara satu kriteria dengan
kriteria lainnya menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam pemahaman
ciri hadits shahih.
Di antara kriteria persyaratan sebuah hadits dapat diklasifikasikan
sebagai hadits shahih ialah: (1) muttashil (bersambung) sanadnya, (2) para
perawinya adil, (3) para perawinya dhabith, (4) yang diriwayatkan tidak
syaz (janggal), dan (5) yang diriwayatkan terhindar dari illat (cacat).
Hal ini senada dengan kriteria yang telah diberikan oleh Imam
Bukhari yang notabene oleh umat Islam dianggap sebagai orang nomor
satu dalam sejarah periwayatan hadits, sehingga kitabnya al-Jami alShahih menjadi rujukan utama dalam ilmu hadits karena dinilai mayoritas
hadits di dalamnya merupakan hadits shahih. Hal ini disebabkan kriteria
dan metode al-Tashih wa al-Tadhif Iman Bukhari yang sangat ketat.
Kriteria Imam Bukhari tersebut adalah:
1. Perawi harus adil, dhabith, tsiqah, tidak mudallis (berdusta)
2. Sanadnya bersambung (Muttashil), tidak mursal, munqathi, atau
mudhal.
3. Matan hadits tidak janggal dan tidak cacat.
Berkenaan dengan syarat ittishal yang ditetapkan Bukhari, alHusaini, mengutip keterangan Ibn Hajar, menjelaskan bahwa maksud dari
ittishal adalah bahwa seorang perawi tidak saja harus sezaman
(muasharah) dengan marwi anhu (orang yang diriwayatkan haditsnya
oleh perawi), tetapi harus juga bertemu (liqa) meskipun hanya sekali.10
Oleh karena itu, maka ulama mengatakan bahwa Bukhari memiliki dua
syarat; syarat muasharah dan syarat liqa.
Di samping beberapa syarat di atas, Bukhari juga menetapkan
kriteria tingkat perawi (Thabaqat al-Ruwat) dalam haditsnya. Hammam
Abdurrahim menjelaskan Thabaqat al-Ruwat menurut Bukhari sebagai
berikut:11
1. Tingkatan pertama adalah para perawi yang terkenaladil, dhabith,
dan lama bersama gurunya.
2. Tingkatan kedua adalah para perawi yang terkenal adil, dhabith,
tetapi sebentar bersama gurunya.
3. Tingkatan ketiga adalah para perawi yang lama bersama gurunya,
tetapi kurang ke-dhabith-annya.
4. Tingkatan keempat adalah para perawi yang sebentar bersama
gurunya dan kurang ke-dhabith-annya.
5. Tingkatan kelima adalah para perawi yang terdapat cacat atau cela
pada dirinya.
Dari kelima tingkatan perawi (Thabaqat al-Ruwat) di atas, Bukhari
mengambil tingkatan pertama dari para perawi hadits untuk diambil hadits
darinya. Dengan demikian baik syarat (syuruth al-Shihhah) hadits maupun
tingkatan perawinya Bukhari tampaknya selalu mengambil kriteria yang
tertinggi. Maka tidak heran jika kemudian ia dinobatkan sebagai ahli
hadits paling terkemuka.
Kemudian, berdasarkan definisi dan beberapa kriteria hadits shahih
di atas, maka dapat dipahami bahwa apabila dari beberapa syarat sebuah
hadits dikategorikan shahih tersebut ada satu atau lebih yang tidak
terpenuhi, hal ini akan menjadikan hadits tersebut masuk dalam kategori
hadits dhaif.
14 Al-Nawawi. Al-Taqrib wa al-Taitsiir Lima'rifati Sunan al-Basyir alNadlir. Daarul Masyari' t. Kamal al-Khut hal: 22
15 Muhammad Alkhusyu'I, Ghayatul Idhoh fi Ulumil Istilah. th 1424 H/ 2004
M, hal: 180
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dewasa ini banyak ditemukan di dalam kitab baik klasik maupun
kontemporer, penyebutan hadits dengan kualifikasinya, shahih, hasan atau
dhaif. Terutama di dalam kitab fiqih, hal semacam itu akan banyak
dijumpai.
Proses pemberian nilai tersebut dalam ilmu hadits dikenal dengan
al-Tashih wa al-Tadhif. sebuah metode yang banyak digunakan oleh
muhadditsin terutama pada masa purifikasi hadits. Hal ini, pada saat itu,
merupakan satu hal yang memiliki urgensitas tinggi untuk dilakukan demi
mendapatkan hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah SAW karena
terlalu banyaknya hadits-hadits palsu yang bermunculan untuk legitimasi
kepentingan pribadi maupun golongan.
Dalam al-Tashih wa al-Tadhif ulama telah memberikan ramburambu guna menentukan mana hadits shahih dan mana hadits dhaif. di
antaranya adalah (1) ketersambungan sanad, (2) rawi yang adil, dan (3)
rawi yang dhabith. Imam Bukhari memberikan dua persyaratan lagi demi
mendapatkan hadits dengan kualitas terbaik, yaitu (1) muasharah dan (2)
liqa.
Bagi ulama mutaakhirin, bukanlah sebuah hal yang terlarang
untuk melakukan al-Tashih wa al-Tadhif apabila menemukan hadits yang
belum mendapat penilaian dari ulama salaf. Hanya saja, disyaratkan harus
memiliki kredibilitas dan kapabilitas serta kapasitas keilmuan yang
mumpuni dalam melakukan penelitian hadits.
begitupun terdapat golongan yang melarang ulama mutaakhirin
melakukan al-Tashih wa al-Tadhif karena dianggap kurang mampu dalam
memberikan penilaian. Hal ini disebabkan kompleksitas persyaratan untuk
penentuan kualitas sebuah hadits.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Hammam. al-Fikr al-Manhaji Inda al-Muhadditsin. Qathar: Kitab
al-Ummat.
Al-Iraqi. Attaqyid wal Idhoh syarah Muqaddimah Ibnu Shalah, t. Abdurrahman
Muhammad Utsman. Darul Fikril Arabi.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1975. Ushul Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu.
Beirut: Dar al-Fikr.
Alkhusyu'i, Muhammad. 2004. Ghayatul Idhoh fi Ulumil Istilah.
Al-Malibary, Hamzah Abdullah. Ulum al-Hadits; Fi Dlaui Tathbiqati alMuhadditsin al-Nuqqad. Multaqa Ahlil Hadits. (www.ahlalhadeeth.com)
Al-Nawawi. Al-Taqrib wa al-Taitsiir Lima'rifati Sunan al-Basyir alNadlir. Daarul Masyari' t. Kamal al-Khut.
Al-Qatthan, Manna Khalil. 2006. Mabahits Fi Ulum al-Hadits. Terj. Mifdol
Abdurrahman dalam judul Pengantar ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka alKautsar cet.II.
Al-Suyuthi. Tadriburrawi. jild 1.
Amin, Kamaruddin. Problematika Ulumul Hadits, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif. dalam (http://www.pusat studi hadits fakultas agama
islam universitas islam makassar), diakses pada 18 April 2016.
Fattah, Ibrahim Abdul. 1992. Al-Qaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif.
Kairo: Dar Thibaah al-Muhammadiyah.
Hasyim, Al-Husaini Abdul Majid. al-Imam al-Bukhari, Muhadditsan wa Faqihan.
Kairo: Dar al-Qaumiyyah.
Loeis, Wisnawati. Imam Bukhari dan Metode Tashhhih dan Tadhif. dalam Turats,
Vol.
4,
No.
1,
Juni
2008.
Diakses
penulis
di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19606&val=1234 pada
18 April 2016.
Mazhar, Abdul Ghani bin Ahmad Jabar. Ushul al-Tashih wa al-Tadhif.
Shalih, Subhi.1988. Ulumul Hadis Wamustalahatuhu. Beirut: Dar alIlm.
11