Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

Ahwal dalam Tasawuf

Disusun Oleh :

Fandi Fahroji

Linda Efiana

Sri Rahayu

Dosen Pengampu :

Hayaturrahman, M. Si

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt karena atas izin dan kehendaknya Makalah ini dapat
terselesaikan pada waktunya. Penulisan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Akhlak Tasawuf. Adapun yang dibahas dalam Makalah ini mengenai Ahwal dalam
Tasawuf.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan kami mengucapkan terimakasihh
kepada dosen pembimbing Hayaturrahman, M. Si, yakni atas bimbingannya. Kami menyadari
bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan, pengutipan, maupun
penjelasan, oleh karena itu kami berharap kritik dan saran yang membangun agar kami bisa terus
belajar untuk memperbaikinya.

Akhir kata semoga Makalah ini dapat menjadi rujukan dan menjadi referensi di kemudian hari
dan dapat berguna bagi orang yang membacanya.

Jakarta, 18 Oktober 2019

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2


Daftar Isi ....................................................................................................................................................... 3
BAB 1 ........................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 4
A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................. 4
C. TUJUAN MASALAH ..................................................................................................................... 4
BAB 2 ........................................................................................................................................................... 5
ISI.................................................................................................................................................................. 5
1. Pengertian Ahwal ............................................................................................................................ 5
2. Macam-macam ahwal ..................................................................................................................... 5
a. Muraqabah .................................................................................................................................. 5
b. Al-Khauf ...................................................................................................................................... 6
c. Al-Raja’........................................................................................................................................ 7
d. Al-Syauq....................................................................................................................................... 9
e. Al-Uns......................................................................................................................................... 10
f. Al-Yakin ..................................................................................................................................... 10
BAB 3 ......................................................................................................................................................... 12
PENUTUP .................................................................................................................................................. 12
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................. 13
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun
hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu
antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff
(barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni
serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di
padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal
dekat ka’bah di masa jahiliyah.

Selain itu seseorang yang menuntut ilmu pengetahuan haruslah mempunyai jiwa yang baik
sehingga dapat menerima ilmu dengan baik pula. Contohnya kita tidaklah boleh selalu merasa
senang, sedih, takut dan sebagainya, jadi keadaan jiwa kita haruslah stabil. Dalam hal ini disebut
ahwal, dalam pengertian lain ahwal adalah situasi kejiwaan yang yang diperoleh seorang sufi
sebagai karunia dari Allah SWT, bukan dari hasil usahanya sendiri. Memperbaiki budi pekerti
dan membersihkan jiwa hanyalah bisa dilakukan dengan semata-mata mengikuti sunnah nabi
dimana berkat mengikuti sunnah nabi dan meneladaninya akan membuahkan hasil berupa ahwal
yang baik

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ahwal?
2. Apa sajakah macam-macam ahwal dalam keilmuan tasawuf?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian ahwal
2. Untuk mengetahui macam-macam ahwal dalam tasawuf
BAB 2

ISI
1. Pengertian Ahwal

Ahwal adalah proses pendekatan diri kepada Allah SWT. Ahwal merupakan sebuah keutamaan
yang diberikan tuhan dengan cara spontan tanpa adanya proses. Selain itu para Ahli juga
mengungkapkan pendapatnya mengenai Ahwal diantaranya yaitu:

Menurut syekh Abu nash As-sarraj, ahwal adalah sesuatu yang terjadi mendadak yang
bertempatan pada hati nurani dan tidak bertahan lama.

Menurut Harun Nasition, ahwal adalah keadaan mental berupa perasaan senang, takut, sedih, dan
sebagainya.

Menurut Imam Al-Ghazali, ahwal adalah keduduka atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan
Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal sholeh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.1

Konsep ahwal yang diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf yaitu sebagai suatu
perjalanan spiritual (suluk), dimana dalam perjalanan tersebut hanya untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam konteks ini, hal adalah keadaan-keadaan ritual sesaat yang dialami oleh
para pejalan di tengah-tengah perjalanan. Pada umumnya pengertian ahwal adalah suatu
kesepakatan dikalangan para sufi.

2. Macam-macam ahwal
a. Muraqabah

Adalah belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk ingat kepada Allah dan selalu
memperhambakan diri kepada Allah sehingga dengan sendirinya ia akan merasa selalu dalam
pengawasan Allah SWT2. Berarti dirinya sudah memasuki alam muraqabah. Muraqabah sebagai
salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi hakikat untuk mencapai ma’rifat
billah menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu

1
Hardono aris Mustafa jamaluddin. akhlak untuk11.hlm.2
2
Azis Saifulah, risalah memahami ilmu tasawuf, (Surabaya:terbit terang),hlm.200.
melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan apa saja
yang terlintas dalam hati kita. Menurut Al-Qusyairi “muraqabah adalah bahwa hamba tahu
sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya”.

Sedangkan menurut para ahli tasawuf “Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam
hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota tubuh”. Perkataan
shufi ini dimaksudkan, bahwa orang yang selalu muraqabah dengan Allah, pasti ia tidak akan
mengerjakan dosa lagi, karena Tuhan telah menjauhkan ia dari peruatan dosa. Berlainan dengan
orang munafik, ia takut diawasi dan diintai orang lain. Jadi kalau tidak dilihat orang maka
beranilah ia membuat dosa disetiap kesempatan. Muraqabah menurut para ahli shufi ada tiga
tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad al Husni dalam kitab Iqadhul
Himam, yaitu :

1. Muraqabah Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar
kehadiranya dengan Allah.

2. Muraqabatur Ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam
pengawasan dan pengintaian Allah.

3. Muraqabatus sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/rahasia, agar selalu
meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.

b. Al-Khauf3

Adalah rasa sakit serta bergetarnya hati karena ada sesuatu yang dibenci dihadapannya.
Perumpamaannya seperti seseorang yang akan dihukum pancung oleh raja, lalu raja itu telah
memerintahkan algojonya dan algojo itu telah memegang pedangnya, maka ia telah merasa yakin
akan kematiannya sebentar lagi, maka terasalah pedih hatinya saat itu dan bergetar karena rasa
takut yang sangat, dan inilah yang disebut Khauf. Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah
berarti takut terhadap hukumnya.

3
Disarikan dari Kitab Mukhtashar Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin Qudamah al-Maqdisiy
rahimahullah. Dan HR Abu Daud 904, Turmudzi dalam Syamaa’il 305, al-Baghawiy 729, Ahmad 4/25-26
Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang
kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju
Allah. Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada keyakinan seseorang pada Allah
SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada hukuman sebagaimana diatas, ada pula
Khauf yang disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan keagungan sesuatu. Jika manusia
itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan dihadapkan pada ke-Maha Agungan
Allah SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita, maka akan timbullah rasa takut. Dampak dari
Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka mulailah rasa Khauf
masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis, gemetar, dan dampaknya
kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen dalam ketaatan, lalu bersungguh-
sungguh dalam beramal. Khauf para salafus sholih bermacam-macam, ada yang takut meninggal
sebelum bertaubat, ada yang takut dicoba dengan nikmat, ada yang takut bergeser dari istiqomah,
ada yang takut su’ul khotimah, ada yang takut dahsyatnya berdiri dihadapan Allah SWT, ada
yang takut dihijab tidak bisa melihat wajah Allah SWT.

c. Al-Raja’

Raja' adalah sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat dicintai oleh si penanti.
Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab penantian
tanpa memenuhi syarat ini disebut berangan-angan (tamniyyan). Orang-orang yang menanti
ampunan dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja' namanya, tetapi berangan-angan
kosong. Ketahuilah bahwa hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi yang gersang
yang mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati ibarat tanah, keyakinan seseorang
ibarat benihnya, kerja/amal seseorang adalah pengairan dan perawatannya, sementara hari
akhirat adalah hari saat panennya. Seseorang tidak akan memanen kecuali sesuai dengan benih
yang ia tanam, apakah tanaman itu padi atau semak berduri ia akan mendapat hasilnya kelak, dan
subur atau tidaknya berbagai tanaman itu tergantung pada bagaimana ia mengairi dan
merawatnya.

Dengan mengambil perumpamaan di atas, maka Raja' seseorang atas ampunan ALLAH
adalah sebagaimana sikap penantian sang petani terhadap hasil tanamannya, yang telah ia pilih
tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi benih yang terbaik pula, kemudian diairinya dengan jumlah
yang tepat, dan dibersihkannya dari berbagai tanaman pengganggu setiap hari, sampai waktu
yang sesuai untuk dipanen. Maka penantiannya inilah yang disebut Raja'. Sedangkan petani yang
datang pada sebidang tanah gersang lalu melemparkan sembarang benih kemudian duduk
bersantai-santai menunggu tanpa merawat serta mengairinya, maka hal ini bukanlah Raja'
melainkan bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata Imam Ali ra tentang hal ini: "Iman itu
bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam di dalam hati dan
dibenarkan dalam perbuatannya”.

Raja’ atau harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa
yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya
beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan
adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang
Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena
menunggu Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa
bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan Khawf dan Raja’ namanya. Jika
seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit dan aku takut terbenamnya
disaat terbenam.”, ucapan itu menurut Al-Ghozali bukanlah Khawf dan Raja’ karena ada yang
terputus. Tapi jika ada yang mengatakan,” Aku berharap turun hujan dan aku takut
berhentinya.”, itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.

Abu Ali Al-Rudzbari memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung.
Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang
kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat
ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’
merupakan hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,. ” Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS.
Al-Ahzab : 21). Firmannya yang lain “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu
yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57)4

d. Al-Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa
syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora
cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih
dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan
pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang
dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk
selalu bertemu dan bersama Allah.

Secara literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi,
syauq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika
mahabbah sudah mantab akan tampak pula syauq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada
Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang
mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang syauq sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika
sang hamba sudah mencapai derajat Syauq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan
kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya. Pengetahuan dan pengenalan yang
mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah
melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora
agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan
hanya kepada Allah, itulah Syauq (rindu).

Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.

a. Pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tdntang
pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.

4
Shihab, Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam
b. Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan
bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.

c. Ketiga, mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir
tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.

e. Al-Uns5

Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns
adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Dzunun
memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya.
Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya
keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.
Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna
kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang
menjauhkannya dari Allah.

f. Al-Yakin

Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta
rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung
dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak
berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan
sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi
seluruh ahwal. Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan
rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al
Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan
yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.

Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus
bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak

5
Azis Saifulah, risalah memahami ilmu tasawuf, (Surabaya:terbit terang),hlm.200
pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam
firman-Nya.

”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al Hijr : 75). ”Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Dzariyat :20).

Lebih lanjut menurut Al sarraj seluruh ayat-ayat Allah yang berbicara mengenai yaqin
sesungguhnya terdiri atas tiga hal : Ilm Al-yaqin, ‘ain Al yaqin, dan haq Al yaqin. Al Junaid
berpandangan bahwa keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak
berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah bersabda,”Sekalian
makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka ketika mati.” Maksudnya sesuai
dengan keyakinan mereka ketika mati
BAB 3

PENUTUP

KESIMPULAN

Banyak orang mukmin yang sudah beribadah dengan baik kepada Allah SWT tetapi
mereka belum bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena keadaan jiwa mereka belum tenang atau
stabil, sedangkan agar kita bisa dekat kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita haruslah tenang.
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti merasakan apa yang namanya keadaan mental seperti
senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya, tetapi kita tidaklah boleh terlalu terhanyut di dalam
keadaan tersebut karena kita harus segera merubahnya menjadi lebih baik. Selain itu kita
haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu melatih sifat mentalnya dengan cara riyadlah yang
berarti latihan mental, mujahadah yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah
Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh keduniawian, muraqabah mendekatkan diri
kepada Allah. Setelah itu adalah suluk yang berarti menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu
berdzikir dan berdzikir.

Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu
dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah Allah yang diberikan kepada
sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Dalam
macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Khawf, Raja’,
Syauq, ‘Uns, al - yakin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing.
Daftar Pustaka

Hardono aris Mustafa jamaluddin. akhlak untuk11.hlm.2.


Azis Saifulah, risalah memahami ilmu tasawuf, (Surabaya:terbit terang),hlm.200.

Disarikan dari Kitab Mukhtashar Minhaajul Qaasidiin, Syaikh Ahmad bin Abdirrahman bin
Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah. Dan HR Abu Daud 904, Turmudzi dalam Syamaa’il 305,
al-Baghawiy 729, Ahmad 4/25-26.

Shihab, Alwi. 2001. Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam.

Azis Saifulah, risalah memahami ilmu tasawuf, (Surabaya:terbit terang),hlm.200.

Anda mungkin juga menyukai